Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alkohol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku


tanaman yang mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu
biasanya disebut dengan bioethanol. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan
tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia,
sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk
dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioethanol atau gasohol.
Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang
setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi ethanol. Selain itu
pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bio-
ethanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pertimbangan keekonomian
pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman
sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya
produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan baku untuk memproduksi setiap
liter ethanol/bio-ethanol.

Secara umum ethanol/bio-ethanol dapat digunakan sebagai bahan baku


industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi,
campuran bahan bakar untuk kendaraan. Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-
ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda
sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol/bio-ethanol yang mempunyai grade
90-96,5% vol dapat digunakan pada industri, sedangkan ethanol/bioethanol yang
mempunyai grade 96-99,5% vol dapat digunakan sebagai campuran untuk miras
dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade
ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk
kendaraan yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif,

1
sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol.
Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat
menjadi gula (glukosa) larut air.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dibahas adalah :

1. Apa pengertian dan fungsi dari Bioetanol ?


2. Apa saja bahan-bahan pembuatan Bioetanol ?
3. Bagaimana proses pembuatan Bioetanol ?
4. Bagaimana kendala dan upaya pengembangan produksi Bioetanol ?

1.3 Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui :

1. Pengertian dan fungsi Bioetanol


2. Bahan-bahan pembuatan Bioetanol
3. Proses pembuatan Bioetanol
4. Kendala dan upaya pengembangan produksi Bioetanol

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Bioetanol

Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia pada proses fermentasi gula


dari sumber karbohidrat yang menggunakan bantuan mikroorganisme. Dalam
perkembangannya, produksi alkohol yang paling banyak digunakan adalah
metode fermentasi dan distilasi. Bahan baku yang dapat digunakan pada
pembuatan etanol adalah nira bergula (sukrosa): nira tebu, nira nipah, nira sorgum
manis, nira kelapa, nira aren, nira siwalan, sari buah mete; bahan berpati: tepung-
tepung sorgum biji, sagu, singkong, ubi jalar, ganyong, garut, umbi dahlia; bahan
berselulosa (lignoselulosa): kayu, jerami, batang pisang, bagas dan lain-lain (LIPI,
2008).

Bioetanol merupakan etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa


(gula) yang dilanjutkan dengan proses destilasi. Proses destilasi dapat
menghasilkan etanol dengan kadar 95% volume, untuk digunakan sebagai bahan
bakar (biofuel) perlu lebih dimurnikan lagi hingga mencapai 99% yang lazim
disebut Fuel Grade Ethanol (FGE). Proses pemurnian dengan prinsip dehidrasi
umumnya dilakukan dengan metode Molecular Sieve, untuk memisahkan air dari
senyawa etanol (Musanif, 2012).

Etanol dikategorikan dalam dua kelompok utama, yaitu:

1. Etanol 95-96%, disebut dengan “etanol berhidrat”, yang dibagai dalam:

a. Technical/raw spirit grade, digunakan untuk bahan bakar spiritua,


minuman, desinfektan, dan pelarut.
b. Industrial grade, digunakan untuk bahan baku industri dan pelarut.
c. Potable grade, untuk minuman berkualitas tinggi.

2. Etanol > 99,5%, digunakan untuk bahan bakar.

3
Jika dimurnikan lebih lanjut dapat digunakan untuk keperluan farmasi dan
pelarut di laboratorium analisis. Etanol ini disebut dengan dengan Fuel Grade
Ethanol (FGE) atau anhydrous ethanol (etanol anhidrat) atau etanol kering, yakni
etanol yang bebas air atau hanya mengandung air minimal (Prihandana, 2007).

Berdasarkan kadar alkoholnya, etanol terbagi menjadi tiga grade sebagai berikut:

1. Grade industri dengan kadar alkohol 90-94%


2. Netral dengan kadar alkohol 96-99,5%, umumnya digunakan untuk
minuman keras atau bahan baku farmasi.
3. Grade bahan bakar dengan kadar alkohol di atas 99,5%

Pada dasarnya etanol dapat diperoleh melalui 2 cara. Pertama, etanol yang
diperoleh melalui proses fermentasi dengan bantuan mikroorganisme. Kedua,
etanol diperoleh dari hasil sintesa etilen. Bioetanol dapat digunakan untuk
berbagai keperluan. Berikut ini merupakan tabel sifat fisik dari etanol berdasarkan
SNI 06-3565-1994:

Berdasarkan bahan bakunya, ada dua jenis generasi yaitu bioetanol


generasi pertama dan bioetanol generasi kedua. Bioetanol generasi pertama, bahan
baku yang digunakan berasal dari bahan berpati yang berbasis bahan pangan.
Bioetanol generasi kedua, bahan bakunya berasal dari 8 limbah biomassa.
Bioetanol generasi pertama mulai dikembangkan di Indonesia, namun bioetanol
generasi ini harganya masih relatif tinggi karena bahan bakunya juga digunakan
sebagai bahan pangan dan pakan. Bahan baku yang berbasis bahan makanan akan

4
mengakibatkan persaingan antara kebutuhan energi dengan kebutuhan pangan,
dan terbentur penggunaan lahan yang luas untuk tanaman pangan tersebut. Untuk
menurunkan harga dan menghindari konflik antar pangan dan energi, bioetanol
generasi kedua perlu dikembangkan. Bioetanol generasi kedua menggunakan
bahan limbah biomassa. Limbah biomassa mempunyai jumlah cukup besar di
Indonesia. Tahapan pembuatan bioetanol generasi kedua terdiri dari proses
penghalusan, perlakuan awal (delignifikasi), hidrolisis (sakarifikasi), fermentasi,
dan dilanjutkan proses destilasi (pemurnian). Perbedaan proses produksi bioetanol
generasi pertama dan bioethanol generasi 2 dapat dilihat pada gambar 1

Gambar 1 Tahapan proses bioetanol berdasarkan bahan bakunya

Bioetanol memiliki beberapa kelebihan dibandingkan bahan bakar minyak.


Bioetanol yang dikombinasikan dengan BBM terbukti dapat mengurangi emisi
karbon monoksida dan asap lainnya dari kendaraan. Semakin sedikitnya sumber
energi fosil yang ada di bumi dan semakin tingginya pencemaran lingkungan
menjadi faktor utama dibutuhkannya energi alternatif yang lebih ramah
lingkungan. Selain itu, etanol juga bisa terurai sehingga dapat mengurangi emisi
gas buang berbahaya (Komarayati, 2010).

Energi yang dihasilkan dari pembakaran 1 mol etanol adalah sebesar


1381,38 kJ dan energi yang dihasilkan dari pembakaran 1 mol isooktana adalah

5
sebesar 5460 kJ. Dilihat dari sisi CO2 yang dihasilkan, pembakaran 4 mol etanol
setara dengan pembakaran 1 mol isooktana. Energi yang dihasilkan untuk
pembakaran 4 mol etanol adalah sebesar 5525,52 kJ. Artinya dengan jumlah CO2
yang sama, pembakaran etanol menghasilkan energi yang jauh lebih besar
daripada pembakaran isooktana, dengan selisih energi sebesar 65,52 kJ.

Keuntungan lain dari bioetanol adalah bersifat terbarukan, artinya dapat


dihasilkan dari bahan baku atau sumber yang dapat dibudidayakan, misalnya ubi
kayu (Collares et al., 2012), jagung (Nicolić et al., 2010), gandum (Perez et al.,
2007), dan sorgum (Herrera et al., 2003). Faktor lain yang sangat mendukung
produksi bioetanol adalah perkembangan teknologi yang telah memungkinkan
bioetanol dapat diproduksi dari karbohidrat yang bukan merupakan bahan pangan
utama. Tiga diantaranya yang paling banyak dimanfaatkan adalah pati (Zamora et
al., 2010; Anozie and Aderibigbe, 2011), selulosa (Yu and Zhang, 2004; Wyman,
2008), dan lignoselulosa (Sun and Cheng, 2002; Mosier et al., 2005).

Di Indonesia, industri bioetanol berbahan baku pati memiliki potensi yang


sangat besar karena didukung oleh ketersediaan bahan baku yang melimpah, salah
satunya adalah onggok. Onggok merupakan limbah padat industri tapioka yang
diketahui mengandung pati sebesar 50-70% (Pandey et al., 2000). Di samping itu,
pertanian ubi kayu merupakan potensi yang banyak ditemukan di berbagai daerah
di Indonesia, termasuk Provinsi Lampung. Sebagai gambaran, data statistik tahun
2011 (BPS Provinsi Lampung, 2012) menunjukkan di Provinsi Lampung terdapat
pertanian ubi kayu dengan luas sekitar 368.000 ha dengan produksi mencapai
9.200.000 ton/tahun. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka menghasilkan
onggok sekitar 10-30% (Pandey et al., 2000). Hal ini berarti di Provinsi Lampung
tersedia onggok sekitar 920.000-2.700.000 ton/tahun.

Dalam pemanfaatan onggok sebagai bahan baku bioetanol, langkah


pertama adalah proses hidrolisis untuk memecah molekul pati menjadi gula
reduksi yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi bioetanol. Tahapan hidrolisis
ini diperlukan karena onggok tidak dapat difermentasi secara langsung. Hidrolisis
pati menghasilkan gula reduksi dapat dilakukan karena pati memiliki struktur
yang reaktif terhadap hidrolisis. Reaktifitas terhadap hidrolisis dimiliki oleh pati

6
karena adanya ikatan α-(1,4)-D-glikosidik, yang dapat dipecah menghasilkan gula
reduksi

Sementara di bawah ini merupakan tabel parameter kualitas bioetanol


berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).

2.2. Bahan-bahan Pembantu Pada Proses Pembuatan Bioetanol

2.2.1. Ragi (Saccharomyces cerevisiae)

Ragi atau fermen merupakan zat yang menyebabkan fermentasi. Ragi


biasanya mengandung mikroorganisme yang melakukan fermentasi dan media
biakan bagi mikroorganisme tersebut. Media biakan ini dapat berbentuk butiran-
butiran kecil atau cairan nutrien. Ragi umumnya digunakan dalam industri
makanan untuk membuat makanan dan minuman hasil fermentasi seperti acar,
tempe, tape, roti, dan bir (http://id.wikipedia.org/wiki/Ragi).

Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu spesies ragi yang


memiliki daya konversi gula menjadi bioetanol dengan baik. Mikroba ini biasanya
dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik.
Produk metabolik utama adalah bioetanol, CO2, dan air sedangkan beberapa
produk lain dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit. Ragi ini bersifat fakultatif

7
anaerobik. Saccharomyces cerevisiae memerlukan suhu 30oC dan pH 4,0-4,6 agar
dapat tumbuh dengan baik. Ragi tumbuh optimum pada suhu 25-30oC dan
maksimum pada 35-47oC. Nilai pH untuk pertumbuhan ragi yang baik antara 3-6.
Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi. Pada
pH tinggi maka konsentrasi gliserin akan naik dan juga berkorelasi positif antara
pH dan pembentukan asam piruvat. Pada pH tinggi maka lag phase akan
berkurang dan aktivitas fermentasi akan naik (Winjaya, 2011). Saccharomyces
cerevisiae merupakan genus khamir/ragi/yeast yang memiliki kemampuan
mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO2. Saccharomyces cerevisiae
merupakan mikroorganisme bersel satu tidak berklorofil, termasuk kelompok
Eumycetes. Tumbuh baik pada suhu 30oC dan pH 4,8.

Beberapa kelebihan Saccharomyces cerevisiae dalam proses fermentasi


yaitu mikroorganisme ini cepat berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol
yang tinggi, tahan terhadap suhu yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat
mengadakan adaptasi. Hasil ini lebih bagus dibanding genus lainnya seperti
Candida dan Trochosporon. Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dipengaruhi
oleh adanya penambahan nutrisi yaitu unsur C sebagai sumber karbon, unsur N
yang diperoleh dari penambahan urea, Z, amonium dan pepton, mineral dan
vitamin. Suhu optimum untuk fermentasi antara 28-30oC
(http://id.wikipedia.org/wiki/Saccharomyces).

2.2.2. Enzim Xylanase

Enzim adalah molekul biopolimer yang tersusun dari serangkaian asam


amino dalam komposisi dan susunan rantai yang teratur dan tetap. Enzim
memegang peranan penting dalam berbagai reaksi di dalam sel. Sebagai protein,
enzim diproduksi dan digunakan oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi antara
lain konversi energi dan metabolisme pertahanan sel. Xylanase merupakan
kelompok enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis hemiselulosa dalam
hal ini ialah xilan atau polimer dari xilosa dan xilo-oligosakarida. Xylanase dapat
diklasifikasikan berdasarkan substrat yang dihidrolisis, yaitu β-xilosidase,
eksoxilanase, dan endoxilanase. Xylanase umumnya merupakan protein kecil,

8
aktif pada suhu 55oC dengan pH 9. Pada suhu 60oC dan pH normal, xylanase
lebih stabil (Richana, 2002.

Salah satu kandungan terbesar di dalam ampas tebu adalah hemiselulosa.


Hemiselulosa terbentuk dari polisakarida jenis pentosa dengan kandungan paling
banyak adalah xylosa. Oleh karena itu digunakan enzim xylanase untuk memecah
monomer-monomer xylan pada hemiselulosa menjadi xylosa. Setelah polisakarida
dipecah menjadi monosakarida, maka oleh yeast akan difermentasi menjadi etanol
(Samsuri, 2007).

Xylanase adalah enzim dari kelas hidrolase yang berperan dalam


mendegradasi polisakarida linear menjadi xylosa serta memecah hemiselulosa,
yang merupakan salah satu komponen utama dari dinding sel tumbuhan. Xylanase
mempunyai banyak kegunaan, salah satunya adalah untuk biokonversi sisa-sisa
tanaman yang mengandung lignoselulosa menjadi gula dan etanol. Banyak
mikroorganisme yang mampu menghasilkan xylanase, di antaranya adalah
bakteri, ragi, dan fungi berfilamen, seperti Penicillium, Trichoderma, Aspergillus,
Cryptococcus, Fusarium dan sebagainya.

2.3 Proses Pembuatan Bioetanol

Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang


mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat
menjadi gula (glukosa) larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung
pati atau karbohydrat dan tetes menjadi bio-ethanol ditunjukkan pada tabel 3.

9
Tabel 3. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat
dan tetes menjadi bioetanol

Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat


dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam
dan Hydrolisa enzyme.

Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme


lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam
sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-
patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisa enzyme. Dalam proses
konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan
penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi
gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi
pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan pada reaksi
1 dan 2.

Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang


mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman
yang mengandung selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses
penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari
selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun teknik produksi
ethanol/bioethanol merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun
ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan
karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia
antara lain mengenai neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi,

10
sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol
masih perlu dilakukan. Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-
ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan
fermentasi.

2.3.1. Proses Gelatinasi

Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung
dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan
mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau
dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu: • Bubur pati dipanaskan sampai 130oC selama 30
menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperature 95oC yang
diperkirakan memerlukan waktu sekitar ¼ jam. Temperatur 95oC tersebut
dipertahankan selama sekitar 1 ¼ jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan
mencapai 2 jam. • Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung
sampai mencapai temperatur 130oC selama 2 jam. Gelatinasi cara pertama, yaitu
cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 95oC aktifitas
termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi
cepat aktif.

Pemanasan dengan suhu tinggi (130oC) pada cara pertama ini


dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak
dengan air enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi
untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan enzyme
termamyl) pada temperature 130oC menghasilkan hasil yang kurang baik, karena
mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme
pada suhu 130oC akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun
terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh
terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas termamyl akan semakin
menurun setelah melewati suhu 95oC. Selain itu, tingginya temperature tersebut
juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek, sebagai contoh
pada temperature 93oC, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan

11
pada temperature 107oC, half life termamyl tersebut adalah 40 menit. Hasil
gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 55o C,
kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya
difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.

2.3.2. Proses Fermentasi

Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi


ethanol/bioethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Proses fermentasi
merupakan suatu proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang
sederhana. Dalam proses mikrobiologi, fermentasi dilakukan oleh mikrobia yang
menghasilkan atau mempunyai enzim yang sesuai dengan proses tersebut.
Berdasarkan produk yang dihasilkan, fermentasi digolongkan menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut:

1. Fermentasi alkoholisis, yaitu fermentasi yang menghasilkan alkohol


sebagai produk akhir di samping produk samping lainnya. Misalnya pada
pembuatan wine, cider, dan tape.
2. Fermentasi non-alkoholisis, yaitu fermentasi yang tidak menghasilkan
alkohol sebagai produk akhir selain bahan lainnya. Misalnya pada
pembuatan tempe, antibiotika dan lain-lain (Rukmana, 2001).

Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini, biasanya alkohol


dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut
digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih
cepat. Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain,
yaitu memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses
fermentasi tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari
zat-zat yang tidak diperlukan.

Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih


mengandung gas-gas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan glucose
menjadi ethanol/bio-ethanol) dan aldehyde yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada
hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk

12
memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik, ethanol/bio-ethanol
tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut.

Proses pembersihan (washing) CO2 dilakukan dengan menyaring


ethanol/bio-ethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-
ethanol yang bersih dari gas CO2). Kadar ethanol/bioethanol yang dihasilkan dari
proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga
untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen diperlukan proses
lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat,
yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan rectifying
column. Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume
adalah “volume ethanol pada temperatur 15oC yang terkandung dalam 100 satuan
volume larutan ethanol pada temperaturtertentu (pengukuran).“ Berdasarkan BKS
Alkohol Spiritus, standar temperatur pengukuran adalah 27,5o C dan kadarnya
95,5% pada temperatur 27,5 o C atau 96,2% pada temperatur 15o C. Pada
umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai
kemurnian sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based
ethanol. Agar dapat mencapai kemurnian diatas 95% , maka lakohol hasil
fermentasi harus melalui proses destilasi.

2.3.3. Proses Distilasi

Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol menjadi


berkadar lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol
hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar 40% tadi harus melewati
proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air dengan memperhitungkan
perbedaan titik didih kedua bahan tersebut yang kemudian diembunkan kembali.
Untuk memperoleh bio-ethanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5% atau
yang umum disebut fuel based ethanol, masalah yang timbul adalah sulitnya
memisahkan hidrogen yang terikat dalam struktur kimia alkohol dengan cara
destilasi biasa, oleh karena itu untuk mendapatkan fuel grade ethanol dilaksanakan
pemurnian lebih lanjut dengan cara Azeotropic destilasi.

13
Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar
adalah air dan etanol). Titik didih etanol murni adalah 78oC sedangkan air adalah
100oC (kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78o-
100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit
kondensasi, akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95% volume (LIPI,
2008).

Perpindahan massa merupakan peristiwa yang dijumpai hampir dalam


setiap operasi dalam kegiatan teknik kimia. Salah satu proses tersebut adalah
distilasi yang merupakan proses pemisahan campuran cair-cair menjadi
komponen-komponennya dengan berdasarkan pada perbedaan kemampuan/daya
penguapan komponen-komponen tersebut. Adanya perbedaan kemampuan
penguapan antara komponen-komponen tersebut dikenal sebagai volatilitas relatif.

2.4 Kendala dan Upaya Pengembangan Produksi Bioetanol

Produksi ethanol/bio-ethanol harus mempertimbangkan keekonomiannya


dari dua sisi kepentingan, yaitu sisi produsen ethanol/bio-ethanol yang
memerlukan bahan baku produksi tanaman dengan harga rendah, dan dari segi

14
petani penghasil bahan baku yang menginginkan produksi tanamannya dibeli
dengan harga tinggi dan biaya produksi paling rendah. Hal tersebut disebabkan
nilai produksi tanaman adalah sebagai biaya pengeluaran untuk pembelian bahan
baku bagi produsen ethanol/bio-ethanol. Oleh karena itu, keekonomian program
pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan bukan saja
ditentukan oleh harga bahan bakar premium saja, tetapi ditentukan pula oleh harga
bahan baku pembuatan ethanol/bio-ethanol dalam hal ini produksi tanaman.

2.4.1. Kendala Pengembangan Produksi Bio-Ethanol

Dalam memenuhi program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan


bakar kendaraan, pemerintah telah membuat road map teknologi bio-ethanol, yaitu
pada periode tahun 2005-2010 dapat memanfaatkan bio-ethanol sebesar 2% dari
konsumsi premium (0.43 juta kL), kemudian pada periode tahun 2011-2015,
persentase pemanfaatan bio-ethanol ditingkatkan menjadi 3% dari konsumsi
premium (1.0 juta kL), dan selanjutnya pada periode tahun 2016-2025, persentase
pemanfaatan bio-ethanol ditingkatkan menjadi 5% dari konsumsi premium (2.8
juta kL). Namun untuk merealisasikan road map teknologi bio Prospek
Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak ethanol harus
melibatkan banyak pihak baik dari sisi Pemerintah maupun Swasta. Mengingat
sampai saat ini belum ada sinergi yang diwujudkan dalam satu dokumen rencana
strategis yang komprehensif dan terpadu, sehingga akan timbul beberapa kendala
yang harus diatasi. Beberapa kendala tersebut, meliputi:

 Rencana pengembangan lahan untuk tanaman penghasil bahan baku


bioethanol yang dibuat oleh Departemen Pertanian dan Departemen
Kehutanan belum terkait langsung dengan rencana pengembangan
bioethanol di sektor energi;
 Rencana Pemerintah dalam pengembangan energi dan instrumen kebijakan
yang diperlukan dalam pengembangan bio-ethanol belum terkait langsung
dengan rencana dari para pihak pelaku bisnis bio-ethanol dan pengelola
lahan pertanian yang sangat luas untuk menghasilkan bahan baku; dan
 Ketidakpastian resiko investasi dalam komersialisasi pengembangan
bioethanol dan belum terbentuknya rantai tata niaga bio-ethanol.

15
Agar kendala tersebut dapat diatasi harus didukung adanya kebijakan
Pemerintah mengenai pertanian dan kehutanan yang terkait dengan peruntukan
lahan, kebijakan insentif bagi pengembangan bio-ethanol, tekno-ekonomi
produksi dan pemanfaatan bio-ethanol, sehingga ada kejelasan informasi bagi
pengusaha yang tertarik dalam bisnis bio-ethanol.

2.4.2. Upaya Pengembangan Bio-Ethanol

Dalam upaya pengembangan bio-ethanol diperlukan adanya beberapa


langka yang harus dilakukan, yaitu:

 Menyusun agenda bersama untuk mendapatkan konsensus terhadap


program yang komprehensif dan terpadu agar supaya memberikan hasil
yang konkret dan maksimal, antara lain melalui penetapan sasaran dan
upaya pencapaiannya untuk produksi, distribusi dan pemakaian bio-
ethanol serta penjabaran agenda dan program implementasi yang konkret.
 Melakukan inventarisasi dan evaluasi secara rinci berbagai peluang dan
tantangan untuk investasi bio-ethanol, khususnya berbagai insentif yang
diperlukan
 Membangun rantai tata niaga bio-ethanol secara bertahap yang difasilitasi
oleh Pemerintah
 Menyatukan semua rencana pengembangan bio-ethanol dari berbagai
pihak terkait dalam suatu ”Blueprint Pengembangan Bio-fuel” yang dapat
dijadikan pegangan bagi para stakeholder.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Alkohol/bio-ethanol dapat diproduksi dari tanaman yang mengandung pati


atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi
gula (glukosa) larut air. Proses pembuatan glukosa dibedakan berdasarkan
zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa
enzyme. Selanjutnya dilakukan proses peragian atau fermentasi gula
menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi.
2. Keekonomian program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan
bakar kendaraan bukan saja ditentukan oleh harga bahan bakar premium
saja, tetapi ditentukan pula oleh harga bahan baku pembuatan ethanol/bio-
ethanol, oleh karenanya produksi ethanol/bioethanol harus
mempertimbangkan keekonomiannya dari dua sisi kepentingan, yaitu sisi
produsen ethanol/bio-ethanol dan dari segi petani penghasil bahan baku.

3.2 Saran

Sampai saat ini belum ada sinergi yang diwujudkan dalam satu dokumen
rencana strategis yang komprehensif dan terpadu, sehingga akan timbul beberapa
kendala yang harus diselesaikan. Namun agar kendala tersebut dapat diatasi harus
didukung adanya kebijakan Pemerintah mengenai pertanian dan kehutanan yang
terkait dengan peruntukan lahan, kebijakan insentif bagi pengembangan bio-
ethanol, tekno-ekonomi produksi dan pemanfaatan bio-ethanol, sehingga ada
kejelasan informasi bagi pengusaha yang tertarik dalam bisnis bio-ethanol.

17
DAFTAR ISI

Balai Besar Teknologi Pati-BPPT, Kelayakan Tekno-Ekonomi Bio-Ethanol


Sebagai Bahan Bakar Alternatif Terbarukan, 27 Januari 2005.

BPPT, Kajian Lengkap Prospek Pemanfaatan Biodiesel Dan Bioethanol Pada


Sektor Transportasi Di Indonesia. 2005.

Ir. Sutijastoto, MA, Kebijakan Energi Mix, Juni 2005.

Widjaja A dan Gunawan S (2012) Pengembangan Teknologi Produksi Bioetanol


Generasi 2 Melalui Pemanfaatan Selulosa dan Hemiselulosa Dalam Jerami
Padi. Prosiding InSInas

18
LAMPIRAN

19
20

Anda mungkin juga menyukai