PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di tengah rencana pemerintah dalam pembatasan subsidi BBM menuntut
masyarakat Indonesia semakin berpikir untuk mencari sumber bahan bakar yang murah
dan mudah didapat. Penelitian terbaru membuktikan bahwa jerami padi yang kita kenal
hanya sebagai limbah ternyata mengandung bio ethanol sebesar 85% setara dengan
bensin premium setelah dilakukan proses penyulingan. Hal ini karena jerami padi
mengandung komponen hemiselulosa sebesar 27+0,5 %,selulosa 39+1%,lignin 12+0,5%,
dan abu 11+0,5%.
Potensi ethanol yang dihasilkan dari jerami pun cukup menggiurkan dalam
memenuhi kebutuhan bensin negara selama satu tahun. Kim dan Dale (2004) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa ethanol yang dihasilkan sebesar 0,28 L/kg jerami,
sehingga jika kebutuhan bensin per tahun untuk Indonesia sebesar 12 juta liter maka
dibutuhkan jerami sebanyak 3360 ton jerami per tahun. Dari segi pengolahannya pun
fermentasi jerami tidak sulit untuk dilakukan. Namun, bukan berarti Pertamina menjadi
merasa khawatir jika rakyat Indonesia dapat membuat bensin sendiri sehingga
menimbulkan kerugian. Ada banyak cara agar pertamina bekerja sama dengan masyarakat
Indonesia yang ingin mengolah limbah jerami menjadi bensin.
Etanol saat ini yang diproduksi umumnya berasal dari etanol generasi pertama,
yaitu etanol yang dibuat dari gula (tebu, molases) atau pati-patian (jagung, singkong, dll).
Bahan- bahan tersebut adalah bahan pangan/ pakan. Banyak dugaan, terutama dari Eropa
dan Amerika menyebutkan bahwa konversi bahan pangan/pakan menjadi etanol
merupakan
salah
satu
penyebab
naiknya
harga-harga
pangan
dan
pakan.
besar
antara
lain
adalah
jerami-jeramian
(wheat,
oat,
barley, corn).
minim. Swedia telah memproduksi bioetanol dari limbah pulp kertas. Swedia memulai
riset etanol berbasis selulosa sejak 1995 pada skala laboratorium. Sejak 2005, negara itu
membuat
pilot
plant
skala
kecil
dengan
memproduksi
200
liter/hari
Sedangkan di Amerika, para peneliti menganalisis ongkos produksi etanol asal selulosik
dan dari biji-bijian. Mark Wright dan Robert Brown, periset Iowa State University,
Amerika Serikat, dalam penelitiannya menunjukkan produksi bahan bakar asal biji-bijian
secara konvensional meningkat 9 dolar AS sen/liter. Itu lantaran harga bahan baku
menjulang. Sedangkan biaya produksi etanol selulosik turun 9,5 dolar AS sen/liter karena
kemajuan teknologi.
Indonesia kaya dengan matahari dan air sehingga tanaman selulosa mudah
tumbuh. Jika didukung penelitian memadai, produksi bioetanol selulosa efektif untuk
dikembangkan. Limbah biomassa paling potensial karena tidak bersaing dengan
pangan, kata Meine van Noordwijk, Direktur Regional International Centre for Research
in Agroforestry, Bogor.
Produksi bioetanol dari limbah tidak butuh penanaman khusus sehingga tidak
perlu perluasan lahan dan penggunaan pupuk kimia. Selain itu, penggunaan limbah juga
membantu mengatasi permasalahan lingkungan seperti polusi air, udara, dan tanah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan:
1) Apa pengertian dari pemanfaatan limbah sebagai pengganti BBM?
2) Bagaimana Proses pembuatan bioethanol?
3) Bagaimana Proses pencampuran bensin dengan hasil bioethanol?
4) Apakah Bioetanol dapat meningkatkan angka oktan pada bensin ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini yaitu :
1) Mengetahui pengertian dari pemanfaatan limbah sebagai pengganti BBM
2) Mengetahui proses pembuatan bioethanol
3) Mengetahui proses pencampuran bensin dengan hasil bioethanol
4) Mengetahui bioetanol dapat meningkatkan angka oktan pada bensin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kimia Minyak Bumi| 2
2.1
Limbah Jerami
Kandungan minyak bumi didunia semakin menipis dan semakin berkurang
berdasarkan data Ditjen migas pada tahun 2004 menunjukkan bahwa ketersediaan
minyak bumi di Indonesia sekitar 8.61 milyar barrel sedangkan data terbaru dari Ditjen
migas tahun 2011 menunjukkan bahwa cadangan minyak bumi di Indonesia tersisa 7.73
milyar barrel. (Ditjen Migas, 2010).
Dari data tersebut menunjukkan bahwa semakin berkurangnya kandungan
minyak bumi di Indonesia. Hal ini mendorong manusia untuk mencari energi
alternative untuk menggantikan penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar. Salah
satu energy alternaif yang dapat digunakan untuk menggantikan minyak bumi sebagai
bahan bakar adalah bahan bakar Bioethanol.
Bioethanol (C2H5OH) merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan
bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Merupakan
bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan yang memiliki keunggulan karena
mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18%, dibandingkan dengan emisi bahan bakar
fosil seperti minyak tanah (Anonim, 2007a).
Bioethanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di
Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan
bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan
bioethanol antara lain tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti tebu,
nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete (limbah jambu mete), garut, batang pisang,
ubi jalar, jagung, bonggol jagung, jerami, dan bagas (ampas tebu). (Gusmailina, 2010)
Jerami padi mengandung kurang lebih 39% selulosa dan 27,5% hemiselulosa
(dasar berat kering). Kedua bahan polisakarida ini, sama halnya dengan tetes tebu dapat
dihidrolisis menjadi gula sederhana yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi
bioethanol. Potensi produksi jerami padi per ha kurang lebih 10-15 ton, keadaan basah
dengan kadar air kurang lebih 60%. Jika seluruh jerami per ha ini diolah menjadi
ethanol fuel grade ethanol (FGE), maka potensi produksinya kurang lebih 766-1.148
liter/ha FGE (perhitungan ada di lampiran). Dengan asumsi harga ethanol fuel
grade(FGE) sekarang adalah Rp. 5500,- per liter (harga dari pertamina), maka nilai
ekonominya kurang lebih Rp. 4.210.765 hingga Rp. 6.316.148 /ha. (Gusmailina, 2010).
Potensi etanol dari jerami padi menurut Kim dan Dale (2004) adalah sebesar 0,28
L/Kg jerami. Dan menurut Badger (2002) adalah sebesar 0,20 L/Kg jerami. Dari data
ini, tentunya bisa diperkirakan berapa potensi etanol daari padi di Indonesia, yaitu
Jerami (ton)
54,700
82,050
(Jannah, 2010)
2.2
Badger (2002)
10,940 juta liter
16,410 juta liter
Bioetanol
Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber
karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Etanol atau Etil Alcohol (lebih
dikenal dengan alkohol, dengan rumus kimia C2H5OH) adalah cairan tak berwarna
dengan karakteristik antara lain mudah menguap, mudah terbakar, larut dalam air, tidak
karsinogenik, dan jika terjadi pencemaran tidak memberikan dampak lingkungan yang
signifikan. Penggunaan etanol sebagai bahan bakar bernilai oktan tinggi atau aditif
peningkat bilangan oktan pada bahan bakar sebenarnya sudah dilakukan sejak abad 19.
Mula-mula etanol digunakan untuk bahan bakar lampu pada masa sebelum perang
saudara di Amerika Serikat. Kemudian pada tahun 1860 Nikolous Otto menggunakan
bahan bakar etanol dalam mengembangkan mesin kendaraan dengan siklus Otto.
Etanol dan air membentuk larutan azeotrop. Karena itu pemurnian etanol yang
mengadung air dengan cara penyulingan bisa hanya mampu menghasilkan etanol
dengan kemurnian 96%. Etanol murni (absolute) dihasilkan pertama kali pada tahun
1796 oleh Johan Tobias Lowitz yaitu dengan cara menyaring alkohol hasil distilasi
melalui arang.
Pada tahun 1985 Brazil mengeluarkan program pencampuran 20% bioetanol
dengan bensin untuk menghemat 40% konsumsi bensin.
Kelebihan-kelebihan bioetanol dibandingkan bensin:
1. Bioetanol aman digunakan sebagai bahan bakar, titik nyala etanol tiga kali lebih
tinggi dibandingkan bensin.
2. Emisi hidrokarbon lebih sedikit.
Kekurangan-kekurangan bioetanol dibandingkan bensin:
1. Mesin dingin lebih sulit melakukan starter.
2. Bioetanol bereaksi dengan logam seperti magnesium dan aluminium.
Kimia Minyak Bumi| 4
b. Etanol > 99,5% v/v, digunakan untuk bahan bakar. Jika dimurnikan lebih lanjut
dapat digunakan untuk keperluan farmasi dan pelarut di laboratorium analisis.
Etanol ini disebut Fuel Grade Ethanol (FGE) atau anhidrous ethanol (etanol
anhidrat) atau etanol kering, yakni ethanol yang bebas air atau hanya
mengandung air minimal.
Standar Nasional Indonesia (SNI) Bioetanol Terdenaturasi yang disahkan
dengan tanggal 27 desember 2006. Penyusunan SNI Bioetanol terdenaturasi untuk
gasohol dilakukan untuk memperhatikan standar sejenis yang telah berlaku di negaranegara lain yang pemakaian bioetanolnya sudah luas dan mencapai tahap komersial.
Dimana spesifikasinya dapat dilihat pada table.1 dibawah ini :
No
Sifat
Unit, Min/Maks
Spesifikasi)
Kadar etanol
%-v,min
99,4
(sebelum
denaturan))
94,0
denaturan)
300
1
2
2
3
4
Kadar methanol
Kadar air
Kadar denaturan
Mg/l,maks
%-v,maks
%-v,min
5
6
%-v,maks
Kadar Tembaga
Mg/kg,maks
Keasaman
sebagai
5
0,1
30
CH3COOH
Tampakan
Jernih
tidak
2.3
(Setelah
dan
ada
8
9
10
dan kotoran
40
50
5,0
11
dicuci
pH
6,5-9,0
terang,
endapan
2.4
Kandungan
27
39
12
11
%
0,5
1
0,5
0,5
Destilasi
Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia
berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam
penyulingan, campuran zat di didihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian
didinginkan kembali kedalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah
akan menguap lebih dulu. Uap yang dikeluarkan dari campuran disebut uap bebas,
kondensat yang jatuh sebagai destilat dan bagian cairan yang tidak menguap sebagai
residu. Apabila yang diinginkan adalah bagian campuran yang tidak teruapkan dan
bukan distilatnya, maka proses tersebut biasanya dinamakan evaporasi. Dalam hal ini
seringkali bukan pemisahan sempurna yang dikehendaki melainkan peningkatan
konsentrasi bahan- bahan yang terlarut dengan cara menguapkan sebagian pelarut.
Jika suatu larutan yang terdiri dari dua buah larutan komponen yang cukup
mudah menguap misalnya larutan benzene-toluene dididihkan, maka fase uap yang
terbentuk akan mengandung komponen yang lebih mudah menguap dalam jumlah yang
relative banyak dibandingkan dengan fase cair. Jika ada perbedaan titik didih
merupakan syarat utama supaya pemisahan dengan distilasi dapat dilakukan.
Titik didih suatu cairan bergantung pada tekanan. Apabila tekanan sekeliling
meningkat, titik didih akan naik dan apabila tekanan sekeliling berkurang, titik didih
akann turun (sifat ini dimanfaatkan pada penguapan pada kondisi vakum, misalnya
pada distilasi vakum).
2.4.1 Distilasi vakum
Distilasi vakum terutama digunakan untuk secara hati-hati, memisahkan
campuran yang peka terhadap suhu. Dalam hal ini tekanan rendah (tekanan absolute)
yang dipilih tergantung pada titik didih yang diinginkan, namun pada instalasi teknik
jarang yang kurang dari 1 mbar.
Pengoperasian sebuah instalasi sebuah distilasi vakum dilihat dari segi
peralatan (pompa vakum, sambungan kedap vakum, penampang yang lebih besar)
namun dari segi penggunaan energi, akan lebih mahal dari pada operasi dengan alat
tekanan normal. Lagi pula kerena beda suhu yang diizinkan lebih kecil, yang berarti
laju perpindahan panas lebih kecil, maka untuk kerjanya lebih rendah.
Tekanan terendah yang mungkin dicapai dalam alat penguap (yang berarti titik
didih yang paling rendah) tidak hanya bergantung pada vakum maksimum yang dapat
dihasilkan pompa vakum, melainkan terutama tergantung pada kerugian tekanan di
dalam kolom. Kerugian ini sedapat mungkin bernilai kecil, karena tekanan dalam alat
penguap harus mengatasi kerugian tekanan dalam kolom. Adapun peralatan distilasi
vakum yang digunakan adalah terlihat pada gambar 3 dibawah ini.
Adapun Rangkaian Alat Distilasi Atmosferik dapat dilihat pada gambar 4 dibawah ini:
7. Recorder yang banyak digunakan pada saat ini disebut integrator yang
mempunyai fasilitas yang lebih lengkap daripada recorder biasa.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pembuatan Bioetanol dari jerami
3.1.1 Proses Bioethanol
Proses pembuatan bioetanol dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu pretreatment,
hidrolisis, fermentasi dan destilasi
3.1.2
Pretreatment
Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan hasil
yang tinggi dimana penting untuk pengembangan teknologi biokonversi dalam skala
komersial (Mosier, et al., 2005). Pretreatment merupakan tahapan yang banyak
Kimia Minyak Bumi| 10
memakan biaya dan berpengaruh besar terhadap biaya keseluruhan proses. Sebagai
contoh pretreatment yang baik dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan dalam
proses hidrolisis (Wyman, Dale, Elander, Holtzapple, Ladisch, & Lee, Coordinated
development of leading biomass pretreatment technologies, 2005) (Wyman, Dale,
Elander, Holtzapple, Ladisch, & Lee, Comparative sugar recovery data from laboratory
scale application of leading pretreatment technologies to corn stover, 2005).
Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Gula yang diperoleh
tanpa pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment dapat meningkat
menjadi 90% dari hasil teoritis (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005). Tujuan dari
pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih
mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer polisakarida menjadi monomer
gula. Tujuan pretreatment secara skematis ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.
3.1.3
Hidrolisis
Setelah melewati pretreatment, kemudian jerami padi dihidrolisis selama 30
pekat dan hidrolisis asam encer (Taherzadeh & Karimi, 2007). Hidrolisis asam pekat
merupakan teknik yang sudah dikembangkan cukup lama. Braconnot di tahun 1819
pertama menemukan bahwa selulosa bisa dikonversi menjadi gula yang dapat
difermentasi dengan menggunakan asam pekat (Sherrad and Kressman 1945 in
(Taherzadeh & Karimi, 2007).
Hidrolisis asam pekat menghasilkan gula yang tinggi (90% dari hasil teoritik)
dibandingkan dengan hidrolisis asam encer, dan dengan demikian akan menghasilkan
ethanol yang lebih tinggi (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005). Hidrolisis asam
encer dapat dilakukan pada suhu rendah. Namun demikian, konsentrasi asam yang
digunakan sangat tinggi (30 70%).
3.1.4 Fermentasi
Tahap fermentasi dimulai dengan mengondisikan larutan glukosa dari tahap
hidrolisis pada pH 4,5 dengan menambahkan larutan asam sitrat dan mengondisikan
pada suhu 30oC. kemudian mengambil 50 ml larutan glukosa dari hasil hidrolisis
sebagai starter, kemudian kedalam larutan tersebut ditambahkan 5 gram ragi fermipan
(saccharomyces cerevisiae) dan 0,5 % (b/v) urea juga 0,1 % NPK (b/v) sebagai nutrisi
bagi saccharomyces cerevisiae, selanjutnya ditambahkan pada larutab glukosa hasil
hidrolisis, dan fermentasi dilakukan selama 24 jam.
3.1.5 Destilasi
Destilasi dilakukan pada suhu +80oC untuk memisahkan antara air dan
bioetanol yang diperoleh dari hasil fermentasi. Proses distilasi akan meningkatkan
kandungan ethanol hingga 95%. Sisa air yang masih ada dihilangkan dengan proses
dehidrasi hingga kandungan ethanol mencapai 99.5%.
3.1.6 Pemurnian
Bioetanol dari proses destilasi memiliki kadar maksimum berkisar 95%,
karena pemisahan etanol-air mengalami titik azeotrof di sekitar 95%. Agar dapat
dipergunakan sebagai campuran dari premium maka bioetanol
harus
melewati
tahap pemurnian (pengeringan) agar bioetanol yang diperoleh memiliki kadar lebih
dari 95% yang biasa disebut anhydrous ethanol atau Fuel Grade Ethanol. Agen
pengering yang digunakan pada penelitian ini adalah Na2SO4, CaCl2, dan MgSO4.
Metode pengeringan dilakukan dengan mencampurkan 10% (b/v) agen pengering
Kimia Minyak Bumi| 12
3.2
Pencampuran
Pencampuran antara premium dan bioetanol dilakukan dengan variasi 80:20
(BE 20), 75:25 (BE 25), dan 70:30 (BE 30).
3.3
GC-MS
(Gas
cara
membandingkan
komposisi
senyawa
dalam
setiap
variasi
NP
NP2
= NP NP1
IP
= Total iso-paraffin
IP1
3.4
IP2
= IP-IP1
CP
= Total Cycloparaffin
AR
= Total Aromatis
Karakterisasi
Untuk
instrument
Gas
Gas
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil destilasi bioethanol
Dari pembuatan bioethanol dari 30 kg batang padi menghasilkan tujuh liter air hasil
fermentasi.
4.2 Hasil pemurnian bioethanol
Bioetanol yang diperoleh dari hasil destilasi masih harus dimurnikan lagi untuk
mendapatkan unhydrous bioetanol. Pada penelitian ini, digunakan desiccants atau
agen pengering yaitu kalsium klorida (CaCl2), natrium sulfat (Na2SO4) dan
magnesium sulfat (MgSO4). Dari ketiga bahan tersebut mudah membentuk hidrat
pada suhu yang rendah dengan reksi sebagai berikut :
A + n.H2O A*(H2O)n
Efisiensi hidrat diukur dengan intensitas, kapasitas dan kecepatan yang dapat sangat
Kimia Minyak Bumi| 14
bervariasi dari suatu pelarut. Kapasitas mengacu pada jumlah maksimum mol air
yang dapat diikat agen pengeringan (n). Parameter lain yang penting adalah
efisiensi, yang mengacu pada jumlah air yang tersisa dalam larutan organic setelah
proses pengeringan selesai. Dari ketiga bahan yang digunakan, diperoleh hasil
bahwa magnesium sulfat (MgSO4) merupakan desiccant atau agen pengering yang
paling efektif untuk mengeringkan bioetanol hasil ini mendukung penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh schenck [12] yang melakukan pengeringan pada
ekstrak senyawa organik dengan membandingkan antara MgSO4 dengan Na2SO4,
perbandingan volume dan kadar bioetanol setelah dilakukan pengeringan dengan
ketiga agen pengering dapat dilihat pada tabel 1.
Jenis
Jumlah
Volume
Volume
Kadar
Desiccants
Desiccants
Bioetanol
Hasil
Bioetanol
(gr)
(ml)
Bioetanol
(%)
1
1
1
5
5
5
(ml)
4
3,5
3,5
87
88,5
90
CaCl2
Na2SO4
MgSO4
sampel
berupa
premium
pada
gambar
menunjukan adanya 45 peak atau puncak yang terdeteksi dari sampel. Setiap
puncak menandakan jenis senyawa yang berbeda, dan setiap tinggi puncak
menandakan kadar senyawa
Gambar 2. Kromatogram BE 20
Kromatogram
gambar 2
menunjukan adanya 48 peak atau puncak yang terdeteksi dari sampel. Setelah
dilakukan pengelompokan dan perhitungan angka oktan, diperoleh hasil
perhitungan untuk BE 20 adalah 91,3.
c. Perhitungan angka oktan BE 25
Gambar 3. Kromatogram BE 25
Kromatogram
gambar 3
menunjukan adanya 46 peak atau puncak yang terdeteksi dari sampel. Setelah
dilakukan pengelompokan dan
perhitungan
angka
Gambar 4. Kromatogram BE 30
Kromatogram
menunjukan adanya 41 peak atau puncak yang terdeteksi dari sampel. Setelah
dilakukan pengelompokan dan perhitungan angka oktan, diperoleh hasil
perhitungan untuk BE 30 adalah 92,7.
e. Perhitungan angka oktan bioetanol
Angka oktan Bioetanol dapat dihitung dengan membandingkan angka oktan
yang dihasilkan dari setiap komposisi pencampuran, dalam penelitian ini angka
oktan bioetanol yang diperoleh adalah 108,47. Angka ini mendekati angka
oktan bioetanol yang disebutkan oleh Deenanath [3].
Sesuai dengan hasil perhitungan angka oktan antara premium dan campuran
premium dengan biotanol diperoleh data peningkatan angka oktan. Grafik Pengaruh
penambahan bioetanol pada premium disajikan dalam gambar 5.
60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
NP2
IP1 IP2 CP AR
Karakterisasi
a. Gas Chromatography (GC)
Karakterisasi sampel menggunakan instrumen Gas Chromatography (GC),
menunjukan waktu retensi yang relatif sama antara standar bioetanol dengan
sampel, tabel 2.
Kadar
Etanol
(%)
80
85
90
96
Sampel
Waktu
Retensi
(menit)
3,503
3,534
3,543
3,566
3,565
Luas Area
(V*sec)
656518,82
729061,62
767663,08
793636,22
688080,58
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Zat Na2SO4, CaCl2, dan MgSO4 dapat digunakan untuk memurnikan
bioetanol dengan zat MgSO4 sebagai zat yang paling efektif untuk
memurnikan bioetanol dari jerami padi, dan kadar bioetanol yang dihasilkan
setelah pemurnian adalah 100%.
2. Campuran antara premium dengan bioetanol dapat meningkatkan angka oktan,
Kimia Minyak Bumi| 20
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. N., 2011, International Journal of Engineering Science and Technology
(IJEST), Vol 3, No.2
Annah, Asyeni Miftahul , Proses fermentasi hidrolisat jerami padi untuk menghasilkan
bioethanol. (2010)
Bustaman, S., 2008, Perspektif, Vol 7, No.2, Hal: 65-79
Deenanath, E. D., Iyuke, S., Rumbold, K, 2012, Journal of Biomedicine and
Biotechnology. Volume
2012, DOI.10.1155/2012/416491
Gusmailina, Sri Komarayati, Prospek bioethanol sebagai pengganti minyak tanah (2010).
Jannah, Asyeni Miftahul , Proses fermentasi hidrolisat jerami padi untuk menghasilkan
bioethanol. (2010)
Judoamidjojo, Muljono, Darwis, Abdul Aziz, dan Said, Endang Gumbira. Teknologi
Fermentasi. Rajawali Pers. Jakarta
Kunimitsu, Y., Ueda, T., 2013, Paddy Water Environ, Vol 11, Hal: 411-421 DOI;
10.1007/s10333-012-0332-4
Lasovic, G. P., Jambrec, N., Siftar, D. D., Prostenic, M. V., 1990, Fuel, Vol 69, Hal:
525-528
Maryani, 2007. Pembuatan Etanol dari Ubi Kayu (Cassava) secara Fermentasi. Politeknik
Negeri Sriwijaya. Palembang.
Murty, B. S. N., Rao, R. N., 2004, Fuel Processing Technology, Vol 85, Hal: 1595
1602, DOI: 10.1016/j.fuproc.2003.08.004
Musanif, Jamil, BIO-ETHANOL (2008)
Nikolao, N., Papadopoulos, C. E., Gaglias, I. A., Pitarakis K. G., 2004, Fuel, Vol 83,
Hal: 517523 DOI: 10.1016/j.fuel.2003.09.011
Pasadakis, N., Gaganis, V., Foteinopoulos, N., 2006, Fuel Processing Technology, Vol
87, Hal: 505509 DOI:10.1016/j.fuproc.2005.11.006
Prihandana, Rama, Noerwijayari K, Adinuari P G, Setiadi S, dan Hendroko R. 2007.
Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. AgroMedia. Jakarta
Retno, D., Kriswiyanti, A., Nur, A., 2009, Equilibrium, Vol 8, no.1 Hal: 1-6
Rimbawan, Nurbaini, R., 2013, Jurnal Gizi dan Pangan, Vol 8(2), Hal: 145150
Schenck, F. J., Callery, P., Gannett, P. M., Daft, J. R., Lehotay, S. J., 2002, JAOAC,
Vol 8(5), Hal: 1117-1180
Wijaya, Prabu P. 2007. Pembuatan Bioetanol dari Nira Aren secara Fermentasi.
Laporan Akhir tahun 2007. Politeknik Negeri Sriwijaya. Palembang.