Oleh:
Rendi Pramesti
F1C021081
Potensi limbah pertanian pada komoditi utama di Indonesia pada tahun 2015
mencapai 156.892.752,7 ton, yang dapat diubah menjadi bioetanol sebanyak
11.880.641,29 kiloliter. Di samping itu, jumlah sampah organik di beberapa kota
besar di Indonesia pada tahun yang sama adalah sekitar 1.035.889,2 ton, yang
berpotensi menjadi sekitar 72.511,2 kiloliter bioetanol. Seleksi teknologi untuk
mengolah bioetanol dari limbah pertanian dan sampah organik didasarkan pada jenis
bahan baku yang ada, yaitu bergula, berpati, atau berlignoselulosa. Selain itu,
efisiensi proses dapat ditingkatkan melalui berbagai metode, termasuk Separate
Hydrolysis and Fermentation(SHF),Simultaneous Saccharification and Fermentation
(SSF), dan Consolidated Bioprocessing (CBP).Pengembangan produksi bioetanol
dari limbah pertanian dan sampah organik memiliki dampak positif yang signifikan
dari berbagai perspektif, seperti lingkungan, sosial, dan ekonomi.(Wicakso dan
Mirwan,2020).
sampah yang dihasilkan di perkotaan memiliki komposisi yang beragam,
namun sebagian besar terdiri dari sampah organik, mencapai sekitar 65%. Sampah
organik ini mengandung lignoselulosa yang dapat diubah menjadi bioetanol melalui
proses hidrolisis dan fermentasi, seperti yang dijelaskan oleh Taherzadeh et al.
2007). Penggunaan sampah organik untuk produksi bioetanol dapat menjadi solusi
untuk masalah pengelolaan sampah yang kurang efisien di kota-kota besar. Seiring
dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan yang meningkat,
volume sampah di perkotaan terus bertambah. Sebagai contoh, di Kota Banjarmasin,
data dari Dinas Kebesihan Kota Banjarmasin (2010) menunjukkan bahwa rata-rata
16.000 m3 sampah diangkut setiap bulan, sementara kapasitas Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) yang ada hanya tersisa sekitar 203.992 m2, yang cukup untuk satu
tahun. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa sampah rumah tangga di Kota
Banjarmasin terdiri sebagian besar dari sampah organik sebesar 54,76% dan sampah
anorganik sebesar 45,24%. Fraksi V, yang termasuk sampah organik, merupakan
kontributor terbesar dalam jumlah sampah, mencapai 34,48%. Potensi teoritis
produksi etanol dari sampah
rumah tangga di Kota Banjarmasin diperkirakan sekitar 199,40 kiloliter per tahun.
Oleh karena itu, produksi etanol dari sampah kota memiliki potensi untuk
pengembangan komersial yang lebih lanjut..(Hartantio dkk,2018).
Karena limbah kertas mengandung selulosa, maka limbah tersebut memiliki
potensi sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol. Semakin tinggi kandungan
selulosa dalam kertas, semakin besar jumlah glukosa yang dapat dihasilkan melalui
proses hidrolisis enzimatis . Oleh karena itu, disarankan untuk memanfaatkan
limbah kertas dari PT. Temprina Media Grafika. Dengan demikian, diharapkan
dapat mengurangi dampak limbah kertas di perusahaan tersebut, terutama terkait
dengan masalah kesehatan para pekerja akibat debu dan serutan kertas yang
mencemari udara dan dapat mengganggu sistem pernapasan.Proses pengolahan
bioetanol dari limbah kertas memiliki beberapa perbedaan dengan bahan baku
lainnya. Salah satunya adalah kebutuhan untuk menghilangkan kandungan lignin
dalam kertas sebelum proses pembuatan bioetanol dapat dimulai. Hasil pengujian
bioetanol dari limbah kertas pada genset mengungkapkan beberapa temuan
penting.Dari 1 kilogram limbah kertas, dihasilkan 30 mililiter bioetanol dengan
konsentrasi sebesar 86%.Hasil uji kinerja mesin dengan berbagai variasi bahan
bakar seperti E85, E60, E35, dan E10 menunjukkan bahwa daya, voltase, frekuensi,
RPM, dan SFOC (Spesific Fuel Oil Consumption) dari bahan bakar campuran
bioetanol (E85, E60, dan E35) cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
penggunaan bensin (E10). Meskipun kualitas energi bahan bakar campuran
bioetanol belum sebaik bensin, namun kelebihannya terletak pada efisiensi bahan
bakar yang lebih tinggi, terutama dalam hal SFOC, sehingga bahan bakar campuran
bioetanol lebih efisien daripada bensin.Dengan demikian, penggunaan limbah kertas
sebagai bahan baku untuk produksi bioetanol memiliki potensi untuk mengurangi
dampak lingkungan dan memberikan alternatif yang lebih efisien dalam penggunaan
bahan bakar.(Susmiati Y, 2018).
Bioetanol merupakan salah satu jenis biofuel (bahan bakar cair dari
pengolahan tumbuhan) di samping Biodiesel. Bio-etanol adalah etanol yang
dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang dilanjutkan dengan proses destilasi.
Proses destilasi dapat menghasilkan etanol dengan kadar 95% volume, untuk
digunakan sebagai bahan bakar (biofuel) perlu lebih dimurnikan lagi hingga
mencapai 99% yang lazim disebut fuel grade ethanol (FGE). Bahan baku bioetanol
adalah bahan berpati, bahan bergula, bahan berselulosa, (Indrawati dan Ratnawati
2018).
Bioetanol yang berasal dari minyak nabati memiliki karakteristik yang mirip
dengan bensin premium. Untuk menggantikan bensin premium, ada alternatif
bernama gasohol, yaitu campuran bensin dan bioetanol. Peraturan Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral RI Nomor 12 Tahun 2015 telah menetapkan
bahwa 20% kebutuhan energi nasional harus dipenuhi dari E100. Oleh karena itu,
untuk mendukung inisiatif ini, diperlukan bahan baku yang hemat biaya dan mudah
didapat. Sejauh ini, fokus produksi bioetanol terutama ditujukan pada produk
pertanian dan perkebunan seperti tebu, sagu, jagung, dan singkong. Namun, sumber
daya ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi sehingga tidak praktis untuk
digunakan seluruhnya untuk produksi bioetanol karena akan berdampak pada
pasokan pangan. Di antara sumber biomassa yang potensial untuk bioetanol,
sampah organik perkotaan adalah yang paling menonjol (Wicakso dan Mirwan,
2020).
Sampah organik merujuk pada semua sisa-sisa yang berasal dari rumah
tangga, termasuk sisa makanan dan bagian buah serta sayuran yang alami mudah
terurai oleh mikroorganisme. Produksi sampah dapur meningkat seiring dengan
pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang meningkat, yang berdampak langsung
pada tingkat konsumsi rata-rata. Sampah dapur berasal dari berbagai sumber,
termasuk rumah tangga, restoran, dan industri pengolahan makanan yang
menghasilkan berbagai jenis bahan makanan yang tidak terpakai, seperti sisa nasi,
daging, buah-buahan, sayuran, roti, dan produk serupa. Secara keseluruhan, sampah
dapur biasanya mengandung sekitar 60% karbohidrat, 20% protein, dan 10%
lemak. Komposisi karbohidrat dalam sampah dapur melibatkan pati, selulosa, dan
hemiselulosa (Hafid et all, 2017).
2.2.1 Sampah
2.2.3Fermentasi
Bagian ini berisi tahapan-tahapan kegiatan penelitian yang dilakukan dalam bentuk
diagram sebagai berikut:
SAMPAH
BLENDER
FILTRASI
HIDROLISIS
FERMENTASI
SENTRIFUGE
PENGUJIAN
KADAR ETANOL
HASIL
DAFTAR PUSTAKA
anisah, d. (2014). pemanfaatan sampah sayuran sebagai bahan baku pembuatan bioetanol.
jurusan teknik kimia, fakultas teknologi industri universitas jayabaya jakarta, 13-18.
ba'diyah, u. (2012). pembuatan etanol dari biji nangka dengan variabel massa pati. jurusan
teknik kimia,fakultas teknik universitas muhammadiyah jakarta, 11-16.
hafid, h. s. (2017). feasibility of using kitchen waste as future substrate for bioethanol
production. Elsevier.
Hartanto, Y. (2018). Analisa penggunaan bahan bakarbioetanol dari limbah kertas sebagai bahan
bakar genset. Majalah ilmiah Teknologi elektro, 433-437.
indrawati, r. (2018). pemanfaatan sampah organik rumah tangga sebagai bahan dasar
pembuatan bioetanol dengan metode hidrolisis fisik menggunakan panas dan tekanan
tinggi. jurnal laboratorium khatulistiwa, 119-124.
irawan, D. (2010). pemanfaatan sampah organik kota samarinda menjadi bioetanol:klasifikasi
dan potensi. seminar rekayasa kimia dan proses.
mirwan, d. r. (2020). program studi program teknik kimia. studi potensi sampah rumah tangga
kota banjarmasin sebagai bahan baku pembuatan bioetanol, 95-98.
susmiati, y. (2018). Prospek produksi bioetanol dari limbah pertanian dan sampah organik.
Jurnal Teknologi dan manajamen agroindustri, 67-80.