Anda di halaman 1dari 13

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
Naskah Soal Ujian Semester Ganjil TA 2019/2020
Mata Kuliah : KONSERVASI HAYATI NAMA:
Penguji : Dr. Elfis, M.Si
NPM :
Tingkat/Semester : 3/5/Kelas A, B
Tanda Tangan
PETUNJUK PENGERJAAN SOAL

1. JAWABLAH PERTANYAAN-PERTANYAAN UJIAN INI PADA LEMBARAN SOAL INI (PERGUNAKAN


KATA SEEFESIEN MUNGKIN, TULISLAH DENGAN HURUF KAPITAL SETIAP KATA KUNCI
JAWABAN, gunakan kata sambung dan kata sandang seefesien mungkin. Jawaban tidak boleh melewati kotak
jawaban. Tidak ada tambahan lembaran jawaban)
2. Nilai Ujian ini memberikan kontribusi 30% untuk menentukan nilai akhir mata kuliah, 40% dari kuliah lapangan +
makalah + presentasi, 25% UTS dan 5% aktivitas/absensi perkuliahan.
3. Soal ujian 4 buah, masing-masing soal mempunyai skor 10, sehingga jumlah skor maskimal 40.
PERTANYAAN-PERTANYAAN

Jelaskan tujuh kategori pengelolaan ideal kawasan konservasi!

JAWABAN PANJANG

Terdapat tujuh kategori pengelolaan ideal kawasan konservasi yakni:

1) Perencanaan dan disain kawasan (Suatu wilayah yang akan dijadikan kawasan konservasi penting
memiliki rencana kawasan dan desain kawasan. Perencanaan kawasan akan sangat menentukan
keberhasilan pengelolaan. Di dalam perencanaan terdapat desain yang akan dibentuk dan dikelola.
Karakteristik setiap kawasan cenderung berbeda dengan kawasan lainnya, hal ini mempengaruhi
perencanaan kawasan. Perencanaan dan desain kawasan idealnya lahir melalui pembicaraan bersama
antara seluruh masyarakat atau perwakilan masyarakat dengan segenap stakeholder yang ada dalam
kawasan. Karena terdapat sangat banyak kepentingan di dalam suatu kawasan. Dengan demikian, desain
yang lahir merupakan harmonisasi berbagai kepentingan stakeholder untuk pencapaian tujuan
keuntungan bersama baik secara jangkan pendek maupun jangka panjang. Hal ini juga menghindari
munculnya masalah didalam pengelolaan nantinya).
2) Pelibatan stakeholder (Stakeholder atau para pihak merupakan segenap elemen yang punya kepentingan
terhadap sesuatu baik dalam hubungannya dengan ruang ataupun waktu. Stakeholder dalam suatu
kawasan termasuk di dalamnya masyarakat pelaku utama (petani, pekebun, nelayan, pembudidaya,
pengolah dan pemasara skala kecil), pelaku usaha maupun masyarakat, pemerintah, LSM, dll.
3) Kepatuhan dan penegakan hukum (Keberadaan aturan serta kepatuhan terhadap aturan akan
mendukung pengelolaan kawasan konservasi berjalan dengan baik. Semua perencanaan dan desain
pengelolaan kawasan hanya akan berjalan efektif jika ada kepatuhan terhadap hukum. Sumberdaya alam
sangat rentan terhadap degradasi oleh eksploitasi, apalagi dengan motivasi masyarakat untuk alasan
ekonomi dan bertahan hidup. Dengan adanya aturan yang ditegakkan maka akan meminimalisir
pelanggaran dan meminimalisir tingkat kerusakan sumberdaya).
4) Monitoring dan evaluasi (Monitoring dan evaluasi adalah maintenance dari program pengelolaan
kawasan konservasi. Monitoring atau pemantauan adalah kegiatan melihat proses pengelolaan kawasan
dan menyesuaikannya dengan pencapaian tujuan pengelolaan berkelanjutan. Dari hasil pemantauan akan
diketahui ada tidaknya perubahan yang terjadi pada sumberdaya berdasarkan rentang waktu periode
pemantauan dan seberapa besar perubahan yang terjadi jika ada. Monitoring dan evaluasi akan menjadi
perangkat yang mengingatkan pengelola tentang kondisi baik atau buruk yang terjadi. Kondisi seperti
ambang batas perubahan yang ditoleransi atau LAC (limit of acceptable change) atau standar perubahan
yang ditetapkan atas sumberdaya, hanya bisa diketahui melalui kegiatan monitoring. Perbaikan dan
percepatan pengelolaan juga bisa diperoleh dari informasi hasil monitoring dan evaluasi).
5) Pengembangan ekonomi berkelanjutan (Suatu kawasan konservasi sebagai wilayah yang pada
umumnya memiliki potensi sumber ekonomi berkelanjutan. Kawasan konservasi secara umum memiliki
potensi sumber daya hayati HHK, HHBK, perikanan, pariwisata dan jasa. Potensi tersebut jika dikelola
dengan baik akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang baik dan berkelanjutan bagi masyarakat
kawasan konservasi. Seluruh potensi ekonomi tersebut bisa dibangun dengan membekali masyarakat
dengan kapasitas yang sesuai kebutuhan mereka. Pihak pemerintah serta berbagai stakeholder bisa
bekerjasama dalam pembangunan kapasitas yang dibutuhkan masyarakat yang didahului dengan
lokakarya perencanaan pengembangan kapasitas pengelolaan wilayah konservasi).
6) Operasional lapangan (Pengelolaan kawasan konservasi sangat bergantung pada operasional lapangan
yang meliputi pengawasan dan patroli. Operasional lapangan membutuhkan dana yang cukup besar dan
komponen pendukung yang harus memadai. Operasional lapangan berkembang seiring perkembangan
pengelolaan kawasan konservasi. Suatu kawasan konservasi yang telah memiliki perangkat pengawasan
yang beroperasi dengan akan sangat mendukung pencapaian tujuan pengelolaan karena pengawasan yang
baik akan mencegah kerusakan sumberdaya. Jika suatu kawasan konservasi belum memiliki kelengkapan
operasional lapangan maka seluruh stakeholder harus memikirkan dan berupaya bersama untuk secara
bertahap mengefektifkan operasional lapangan bisa berjalan dengan baik).
7) Manajemen administrasi dan keuangan (Administrasi dan aspek finansial adalah salah satu faktor
penentu pengelolaan kawasan konservasi meskipun bukan satu-satunya tetapi tanpanya hampir semua
aspek tidak bisa berjalan dengan baik. Aspek keuangan bukan hal yang sulit diperoleh oleh pengelola
kawasan konservasi tetapi aspek adminstrasi dan pengelolaan keuangan yang baik butuh keterampilan
dan pendampingan dari stakeholders yang membidangi hal tersebut).
Jelaskan hubungan teori konservasi genetic, konservasi populasi, dan konservasi ekosistem dalam
mencegah kepunahan dan mempertahankan keanekaragaman hayati

JAWABAN PANJANG

 Keanekaragaman hayati (biodiversity) dibagi menjadi tiga kategori dasar, yaitu keragaman genetik,
keragaman spesies,dan keragaman ekosistem.

 Keragaman genetik merupakan variasi genetik di dalam setiap spesies yang mencakup aspek biokimia,
struktur, dan sifat organisme yang diturunkan secara fisik dari induknya dan dibentuk dari DNA.

 Keragaman spesies merupakan variasi seluruh tumbuhan, hewan, fungi, dan mikroorganisme yang
masing-masing bertumbuh dan berkembangbiak sesuai dengan karakteristiknya.

 Keragaman ekosistem merupakan variasi ekosistem, dimana ekosistem adalah unit ekologis yang
mempunyai komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi, dan antar komponen-komponen
tersebut terjadi pengambilan dan perpindahan energi.

 Kegiatan konservasi diperlukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati tersebut, dimana saat ini
kerusakan lingkungan akibat ulah manusia tidak hanya mengurangi populasi spesies hewan dan
tumbuhan, tetapi juga menyebabkan spesies-spesies tersebut terancam punah.
 KONSERVASI GENETIK; Memahami dan mempertahankan keragaman genetik suatu populasi sangat
penting dalam konservasi karena keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk mampu
beradaptasi terhadap penyakit-penyakit yang ada di alam. Sebagai contoh, suatu populasi dengan
keragaman genetik yang rendah dapat kita umpamakan sebagai suatu kelompok individu yang saling
bersaudara satu sama lain. Sehingga dalam jangka panjang, perkawinan yang terjadi di dalam kelompok
tersebut akan merupakan perkawinan antar saudara (inbreeding). Kejadian inbreeding ini akan
menyebabkan penurunan kualitas reproduksi dan menyebabkan suatu individu menjadi sensitif terhadap
patogen.
 Dengan mengetahui status genetik suatu populasi, kita dapat merancang program konservasi untuk
menghindari kepunahan suatu spesies. Segala usaha yang dilakukan tetap memiliki tujuan yang sama,
yaitu untuk mempertahankan keragaman genetik pada suatu populasi spesies untuk mempertahankan
keberadaannya di alam di masa yang akan datang.

 Keragaman genetik dapat hilang melalui efek founder, kemacetan (bottleneck) populasi, pergeseran
genetik, dan seleksi. Tingkat di mana keragaman genetik hilang akan tergantung pada ukuran populasi
dan tingkat isolasi; kecil, populasi terisolasi dapat kehilangan keragaman genetik dalam beberapa
generasi, sedangkan yang besar, populasi yang terus-menerus tidak kehilangan sejumlah besar
keragaman selama ribuan tahun. Dalam populasi kecil di mana pergeseran genetik yang paling cepat,
fiksasi alel umum akan mengakibatkan penurunan keragaman genetik. Konservasi keragaman genetik
merupakan aspek penting dari manajemen spesies terancam dan hampir punah. Ada tiga prinsip dalam
melakukan konservasi keragaman sumberdaya genetik yaitu: konservasi sumberdaya dengan tiga
tingkatan yaitu ekosistem, jenis, dan genetik; dan konservasi dengan tiga pilar; perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan jenis mahluk hidup serta ekosistemnya, serta pemanfaatan
berkelanjutan dan pembagian keuntungan. Konservasi keragaman genetik dapat diimplementasikan
dalam dua program; ex situ(di luar habitat alami) dan in situ (di dalam habitat alami). Konservasi
dilakukan pada tingkat rumpun, strain atau galur, dengan mempertimbangkan perannya dalam budaya
dan sejarah, keilmuan dan perekonomian. Keragaman genetik, juga bertujuan pengembangan pemuliaan,
pengelolaan terhadap ekosistem dan penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pertanian
secara berkelanjutan.

 Pengertian Konservasi Gen In Situ (In Situ Gene Conservation) adalah Perlindungan variasi genetik
dari suatu spesies pada tapak atau lingkungan asa/aslinya, misalnya dengan membangun Hutan Lindung
(Forest Reserves). Konservasi ini biasanya dilakukan dalam bentuk taman nasional atau wilayah yang
dilindungi misalnya kawasan konservasi laut atau kawasan konservasi laut daerah. Pada metode
konservasi in situ, spesies target dijaga di dalam ekosistem di mana spesies berada secara alami;
tataguna lahan terbatas pada kegiatan yang tidak memberikan dampak merugikan pada tujuan
konservasi habitat; dan regenerasi spesies target tanpa manipulasi manusia.

 Pengertian Konservasi Gen Ex Situ (Ex Situ Gene Conservation) adalah Perlindungan variasi genetik
dari suatu spesies di luar tapak atau lingkungan asal/aslinya, misalnya pembangunan hutan tanaman
(Plantations). Konservasi Gen Ex Situ merupakan proses melindungi spesies mahluk hidup
(langka) dengan mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau terancam dan menempatkannya
di bawah perlindungan manusia. Secara in vivo konservasi ex situ dilakukan dengan
mempertahankan hidup populasi aktif di luar lingkungan asal spesies.

 Konservasi genetik adalah salah satu cara aplikasi genetik untuk melestarikan berbagai jenis binatang
dan tumbuhan sebagai mahkluk hidup yang dinamis yang mampu mengatasi perubahan lingkungan.
Seperti yang ditulis oleh Bonde dkk., (2008) dalam jurnal marine animals and their ecology, konservasi
genetik merupakan metode genetik yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati.

 Konservasi genetik di Indonesia sudah dilakukan, seperti pada penelitian konservasi genetik Rusa Timor
(Cervus timorensis) di Papua dengan analisis genetik menggunakan metode RAPD (Randomly Amplified
Polymorphyce DNA). Metode RAPD adalah teknik penting dalam menyelidiki fenomena genetik
berbagai organisme yang tersebar luas seperti hewan verterbrata, invertebrate, dan tanaman. Metode
RAPD ini mampu mengidentifikasi penanda genetik untuk membedakan spesies-spesies yang berkerabat
dan dapat digunakan dalam pembuatan peta genetik, identifikasi strain spesies. Konservasi genetik
dengan metode RAPD tidak memerlukan informasi awal dari genom yang akan diteliti, metode ini juga
metode yang cepat untuk mendeteksi polimorphisme.

 Tujuan utama KONSERVASI POLUASI adalah untuk memelihara tiga aspek penting kehidupan bumi :
(1) keragaman hayati yang terdapat dalam system kehidupan (keragaman hayati), (2) komposisi, struktur,
dan fungsi system tersebut (keutuhan ekologi), dan (3) kemampuan aspek-aspek tersebut dalam
menyesuaikan seiring waktu).

 Secara umum, suatu rencana konservasi yang baik untuk spesies terancam punah bertujuan agar
sebanyak mungkin individu spesies tersebut dapat dilestarikan dalam habitat yang berkualitas, dan agar
seluas mungkin habitat tersebut dapat terlindungi. Griffiths and Schaick (1993) mengemukakan istilah
Minimum Valiable Population (MVP) untuk mendefinisikan jumlah individu minimal yang diperlukan
untuk menjaga keberlangsungan hidup suatu spesies. Ringkasnya MVP merupakan ukuran populasi
terkecil yang diperkirakan memiliki peluang yang sangat tinggi untuk bertahan hidup di masa
mendatang. Griffith menekankan bahwa definisi MVP dalam konteks ini tidak mutlak, karena ditentukan
berdasarkan tingkat peluang bertahan hidup, serta kerangka waktu yang akan diperkirakan (atau
diperhitungkan).
 Terdapat tiga sebab mengapa populasi kecil terancam oleh berkurangnya jumlah individu dan kepunahan
lokal, yaitu : (1) Hilangnya keragaman genetik dan timbulnya masalah dalam tekanan silang, dalam atau
perkawinan sedarah (Inbreeding depession) serta hanyutan genetik (genetic drift), (2). Perubahan
demografik, ketika laju kelahiran dan laju kematian akan mengalami variasi acak dan mengakibatkan
perubahan pada struktur dan komposisi populasi, (3) Perubahan lingkungan, yang dapat disebabkan oleh
bermacam ragam peristiwa termasuk pemangsaan, kompetisi, penyakit, persediaan pangan, maupun
bencana alam yang terjadi sewaktu-waktu, seperti kebakaran, banjir maupun musim kering
berkepanjangan.

 Perlindungan dan Restorasi keragaman hayati, penangkaran, pengendalian spesies bukan asli,
perlindungan spesies terancam punah dan spesies dengan resiko kepunahan memerlukan perlindungan
dari berbagai eksploitasi dan hilangnya habitat.

 Perlidungan spesies dilakukan dengan dengan melakukan identifikasi factor-faktor yang mengarahkan
pada penurunan ukuran populasi serta penghilangan factor-faktor tersebut. Sistem pencadangan kawasan
ekologi. Kawasan yang ditujukan untuk keperluan konservasi perlu dibentuk dan dikelola sehingga dapat
melindungi suatu ekosistem secara utuh, termasuk perlindungan terhadap spesies-spesies terancam
punah.

 Kekayaan flora fauna merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sampai batas-batas tertentu yang tidak
mengganggu kelestarian. Penurunan jumlah dan mutu kehidupan flora fauna dikendalikan melalui
kegiatan konservasi secara insitu maupun eksitu. Konservasi in-situ (dalam kawasan) adalah
perlindungan populasi dan komunitas alami. Konservasi ex-situ adalah kegiatan konservasi di luar
habitat aslinya, dimana fauna tersebut diambil, dipelihara pada suatu tempat tertentu yang dijaga
keamanannya maupun kesesuaian ekologinya. Konservasi ex-situ tersebut dilakukan dalam upaya
pengelolaan jenis satwa yang memerlukan perlindungan dan pelestarian.

 Contoh konservasi secara in-situ dan konservasi secara ek-situ Salah satu penyebab semakin langkanya
bunga Rafflesia yaitu terjadinya pengrusakan dan penyempitan habitat alaminya (hutan hujan tropis).
Ancaman lain datang dari para pemburu dan kolektor flora langka termasuk para wisatawan asing yang
mungkin saja jika tidak diawasi berusaha mendapatkan bunga Rafflesia lewat cara-cara ilegal, juga para
perambah hutan yang secara langsung mengambil tunas Rafflesia untuk bahan dasar ramuan
tradisionalnya semakin menambah kehawatiran hilangnya Rafflesia dari habitat alaminya

 Rafflesia dengan cara memindahkan bunga tersebut dari habitat alaminya ke habitat buatan seperti ke
Kebun Botani. Meskipun konservasi secara eksitu lebih mahal dan lebih sulit jika dibandingkan
konservasi in situ, namun cara ini telah membawa hasil yang cukup menggembirakan bagi usaha
pelestarian Rafflesia, seperti bunga Rafflesia yang tumbuh di Kebun Raya Bogor salah satu bukti
keberhasilan konservasi eksitu. Keuntungan lain dari konservasi eksitu yaitu memudahkan para peneliti,
peminat, pemerhati dan pengunjung bunga Rafflesia untuk meneliti sekaligus menikmati keindahan
bunga tersebut tanpa harus merusak habitat alaminya.

 KONSERVASI EKOSISTEM; Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga
suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling
memengaruhi.

 Konflik konservasi ekosistem muncul karena:

1) Penciutan lahan & kekurangan SDA (Sumber Daya Alam)


2) Pertumbuhan jumlah penduduk meningkat dan permintaan pada SDA meningkat (sebagai contoh,
penduduk Amerika butuh 11 Ha lahan per orang, jika secara alami)
3) SDA diekstrak berlebihan (over exploitation) menggeser keseimbangan alami.
4) Masuknya/introduksi jenis luar yang invasif, baik flora maupun fauna, sehingga mengganggu atau
merusak keseimbangan alami yang ada.
5) SDA berhadapan dengan batas batas politik (mis: daerah resapan dikonversi utk HTI, HPH
(kepentingan politik ekonomi)
6) Pemerintah dengan kebijakan tata ruang (program jangka panjang) yang tidak berpihak pada prinsip
pelestarian SDA dan lingkungan.
7) Perambahan dengan latar kepentingan politik untuk mendapatkan dukungan suara dari kelompok
tertentu dan juga sebagai sumber keuangan ilegal.

 Kawasan konservasi ekosistem mempunyai karakteristik yang perlu dilindungi:

1) Karakteristik, keaslian atau keunikan ekosistem


2) Habitat penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna) khusus endemik
3) Tempat yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami.
4) Lansekap (bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientik.
5) Fungsi perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global.
6) Pengusahaan wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar yang menarik).
Pilihlah dua dari tiga gambar di atas, untuk menjelaskan usaha strategi konservasi yang dilakukan !

JAWABAN PANJANG

Penyu merupakan reptil yang hidup di laut yang keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam
maupun dari kegiatan manusia. Secara internasional, penyu masuk ke dalam ‘red list’ di IUCN dan
Appendix I CITES yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk
pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Oleh karena itu, upaya konservasi
penyu merupakan program penting dan mendesak untuk melindungi dan menyelamatkan populasi penyu,
terutama di Indonesia karena di Indonesia terdapat 6 dari 7 spesies penyu yang masih ada saat ini. Guna
mendukung keberhasilan dan keberlanjutan upaya pengelolaan konservasi penyu di Indonesia, maka
diperlukan suatu pedoman teknis bagi para pelaku pengelolaan konservasi penyu di lapangan.
Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di sepanjang
kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Keberadaannya telah lama terancam, baik
dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak
langsung. Dari tujuh jenis penyu di dunia, tercatat enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu
penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys
olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu
tempayan (Caretta caretta).
Pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian penyu
akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim,
penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor penyebab
penurunan populasi penyu. Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang (terutama penyu
hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan populasi konstan
selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya
pelestarian terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak.Kondisi inilah yang menyebabkan semua
jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7
tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.Secara internasional,
penyu masuk ke dalam daftar merah (red list) di IUCN dan Appendix I CITES yang berarti bahwa
keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus
mendapat perhatian secara serius. Konservasi penyu secara internasional mulai bergaung saat The First
World Conference on the Conservation of Turtles di Washington DC, 26 sampai 30 Nopember 1979.
Konferensi tersebut dihadiri sekitar 300 orang ahli ekologi penyu, biologi satwa, biologi perikanan dan
konservasionisyang membahas lebih dari 60 paper dan melakukan analisa dalam menyelamatkan populasi
setiap spesies yang hidup di masing- masing negara (Nuitja, 2006).Sejauh ini berbagai kebijakan terkait
pengelolaan penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik oleh Departemen Kehutanan, Kementerian
Lingkungan Hidup, maupun Departemen Kelautan dan Perikanan. Bahkan pemerintah secara terus-menerus
mengembangkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dalam upaya pengelolaan konservasi penyu dengan
melakukan kerjasama regional seperti IOSEA-CMP, SSME dan BSSE. Munculnya UU No. 31 tahun 2004
tentang perikanan dan PP 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan membawa nuansa baru
dalam pengelolaan konservasi penyu.
Akan tetapi pemberian status perlindungan saja jelas tidak cukup untuk memulihkan atau setidaknya
mempertahankan populasi penyu di Indonesia. Pengelolaan konservasi yang komprehensif, sistematis dan
terukur mesti segera dilaksanakan.
Kompleksitas isu penyu berdampak pada pengaturan pengelolaan dan konservasinya, dan kenyataannya
tidak tak satu aturanpun yang mampu menjawab kompleksitas permasalahan ini. Seluruh aturan mesti
dipergunakan secara bersamaan. Aturan-aturan baru mesti dibangun untuk mengisi kesenjangan yang masih
tersisa. Luasnya cakupan siklus hidup penyu mengharuskan adanya pengaturan yang meliputi daratan
(pantai), wilayah perairan pesisir (hingga 12 mil), zona ekonomi ekslusif sampai di lautan lepas. Sifat-sifat
migrasinya yang cenderung lintas negara mewajibkan adanya pengaturan bilateral, tri nasional bahkan
regional. Kompleksitas dampak sosial-ekonomi yang muncul pada setiap keputusan pengelolaannya
memandatkan adanya partisipasi aktif dan progresif dari berbagai pihak. Hal terakhir ini, barangkali adalah
salah satu faktor penting yang mendasari keterlibatan lembaga–lembaga keagamaan serta komunitas Adat
dalam upaya penyelamatan populasi penyu.
Konservasi penyu merupakan upaya yang sangat penting untuk menjamin keberlangsungan populasi penyu
tersebut. Kelangkaan yang terjadi secara terus-menerus dengan kecenderungan semakin lama semakin sulit
ditemukan, dapat menjurus pada kepunahan. Penyu, sebagai salah satu hewan langka, perlu segera
dilakukan upaya konservasi. Untuk itu mutlak diperlukan pendidikan tentang kaidah-kaidah konservasi
populasi penyu. Langkah-langkah yang dianggap penting dalam melaksanakan pendidikan konservasi
penyu.

Gajah asia (Elephas maximus) di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan bagian timur.
Spesies ini terdaftar dalam red list book IUCN (The World Conservation Union), dengan status ter- ancam
punah, sementara itu CITES (Convention on International Trade of Endangered Fauna and Flora /
Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan) telah mengkategorikan gajah Asia
dalam kelompok Appendix I. di Indonesia sejak tahun 1990.
Populasi gajah sumatera tersebar di tujuh provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau,
Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung. Sekalipun satwa ini tergolong da- lam prioritas
konservasi yang tinggi, ternyata sam- pai dengan saat ini kajian dan analisa distribusi dan populasi kedua
satwa ini belum dilakukan secara komprehensif dan menggunakan metode ilmiah yang baku.

Pada tahun 1980-an, pernah dilakukan survei gajah di seluruh Sumatera dengan menggunakan metode
penaksiran secara cepat (rapid assessment survey). Hasil survei tersebut memperkirakan populasi gajah
sumatera berjumlah 2800-4800 individu dan terse- bar di 44 lokasi. Hasil survey ini tidak pernah
diperbaharui secara sistematis kecuali di provinsi Lampung yang dilakukan oleh Wildlife Conservation
Society (WCS) pada tahun 2000. Hasil penelitian yang komprehensif di provinsi ini menunjukkan bahwa
provinsi Lampung telah kehilangan 9 (sembilan) kantong populasi gajah dari 12 (dua belas) kantong yang
ditemukan pada tahun 1980.

Hingga saat ini diketahui bahwa 85% populasi gajah di Sumatera berada diluar kawasan konservasi.
Kondisi ini menyulitkan para pengelola untuk melakukan manajemen konservasi gajah karena adanya
tumpang tindih kegiatan dan perbedaan usulan alokasi peruntukan lahan dari pihak-pihak lain.

Kelompok gajah bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lain, dan memiliki daerah jelajah (home range)
yang terdeterminasi mengikuti ketersediaan makanan tempat berlindung dan berkembang biak. Luasan
daerah jelajah akan sangat bervariasi tergantung dari ketiga faktor tersebut.

Untuk mengetahui kondisi habitat yang ideal bagi gajah sumatera dan kalimantan diperlukan penge-
tahuan tentang perilaku sosial, pola pergerakan dan kebutuhan ekologinya. Pergerakan musiman gajah
adalah merupakan daerah jelajah yang rutin dan daerah jelajah suatu kelompok gajah dapat tumpang tindih
dengan daerah jelajah kelompok lainnya.

Kehilangan habitat, fragmentasi habitat serta menurunnya kualitas habitat gajah karena konversi hutan atau
pemanfaatan sumberdaya hutan untuk keperluan pembangunan non kehutanan maupun industri kehutanan
merupakan ancaman serius terhadap kehidupan gajah dan ekosistemnya. Ancaman lain yang tidak kalah
serius adalah kon- flik berkepanjangan dengan pembangunan dan perburuan ilegal gading gajah.
Namun kini diperkirakan telah menurun jauh dari angka tersebut karena habitatnya terus menyusut dan
pembunuhan yang terus terjadi. Kajian WWF-Indonesia menunjukkan bahwa populasi gajah Sumatera kian
hari makin memprihatinkan, dalam 25 tahun, Gajah Sumatera telah kehilangan sekitar 70% habitatnya, serta
populasinya menyusut hingga lebih dari separuh. Estimasi populasi tahun 2007 adalah antara 2400-2800
individu, namun kini diperkirakan telah menurun jauh dari angka tersebut karena habitatnya terus menyusut
dan pembunuhan yang terus terjadi.
Khusus untuk di wilayah Riau dalam seperempat abad terakhir ini estimasi populasi Gajah Sumatera, yang
telah lama menjadi benteng populasi gajah, menurun sebesar 84% hingga tersisa sekitar 210 ekor saja di
tahun 2007. Lebih dari 100 individu Gajah yang sudah mati sejak tahun 2004. Ancaman utama bagi Gajah
Sumatera adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang tidak berkelanjutan
perburuan dan perdagangan liar juga konversi hutan alam untuk perkebunan (sawit dan kertas) skala besar.
Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia dan populasi
gajah berkurang lebih cepat dibandingkan jumlah hutannya. Penyusutan atau hilangnya habitat satwa besar
ini telah memaksa mereka masuk ke kawasan berpenduduk sehingga memicu konflik manusia dan gajah,
yang sering berakhir dengan kematian gajah dan manusia, kerusakan lahan kebun dan tanaman dan harta
benda.
Pengembangan industri pulp dan kertas serta industri kelapa sawit sebagai salah satu pemicu hilangnya
habitat gajah di Sumatera, mendorong terjadinya konflik manusia-satwa yang semakin hari kian memuncak.
Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah dan kerusakan yang ditimbulkan gajah ini dapat
menyebabkan terjadinya pembunuhan (umumnya dengan peracunan) dan penangkapan. Ratusan gajah mati
atau hilang di seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan satwa besar
yang sering dianggap ‘hama’ ini.
Untuk memitigasi konflik manusia dan gajah, sejak Juli 2009, WWF-Indonesia bekerjasama dengan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Dinas Kehutanan
Kabupaten Lampung Barat, serta Forum Komunikasi Mahout Sumatera (FOKMAS) melakukan
pemasangan GPS Satellite Collar. Alat ini dipasang pada Gajah liar untuk mengetahui keberadaan sebagai
upaya monitoring keberadaan dan pergerakannya, dan sebagai peringatan dini untuk mitigasi konflik Gajah
sehingga dapat mencegah masuknya Gajah liar ke area pemukiman atau perkebunan sehingga dapat
meminimalkan konflik antara Gajah dan manusia.
Tahun 2012, WWF-Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Biologi Molekular Eijkman.
Tujuannya adalah mengetahui sebaran, populasi dan hubungan kekerabatan Gajah khususnya di Tesso Nilo
melalui DNA gajah. Lembaga penelitian ini juga memberikan pelatihan untuk pengambilan sampel kotoran
gajah dan memastikan penggunaan alat dan bahan yang tepat. Sampel kotoran ini kemudian akan di
ekstraksi, amplifikasi dan analisa DNA. Selain mengetahui sebaran dan populasi gajah di Tesso Nilo, studi
ini diharapkan dapat mengungkapkan keanekaragaman genetika gajah Sumatera di Tesso Nilo serta
hubungan kekerabatan antar individu maupun antar kelompok Gajah.

Pelestarian Biodiversitas Melalui Penguatan Berbasis Kearifan Lokal (Local Wisdom)

Keanekaragaman hayati atau biodiversitas yang dimiliki oleh Indonesia sangat besar. Potensi-potensi
sumber daya alam yang terdapat di dalam pun sangat banyak. Mengingat potensi sumber daya alam (SDA)
yang dimiliki oleh Indonesia, kelestarian biodiversitas di Indonesia sangat penting untuk dijaga. Tidak dapat
dipungkiri bahwa masyarakat merupakan salah satu pemegang peran penting dalam kelestarian biodiversitas
tersebut. Masyarakat dengan lingkungan yang berbeda akan menimbulkan perilaku yang berbeda pula,
sehingga kearifan lokal dalam masyarakat juga akan berpengaruh terhadap pelestarian biodiversitas di
Indonesia. Agar eksistensi kearifan lokal tetap kukuh maka salah satunya yaitu melalui penguatan kearifan
lokal yang mengarah kepada pelestarian biodiversitas.
Kearifan lokal adalah pengetahuan asli (indigineous knowledge) atau kecerdasan lokal (local genius) suatu
masyarakat yang berasal dari nilai luhur. tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat
dalam rangka mencapai kemajuan komunitas baik dalam penciptaan kedamaian maupun peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal itu mungkin berupa pengetahuan lokal, keterampilan lokal,
kecerdasan lokal, sumber daya lokal, proses sosial lokal, norma-etika lokal, dan adat-istiadat lokal.
Sejatinya masyarakat adat dan masyarakat lokal telah lama melakukan praktik konservasi dengan menjaga
hutan, danau, sungai, pesisir dan sumber daya alam lainnya. Mereka melakukannya dengan menetapkan
Barong Karamaka (hutan keramat) di komunitas adat Ammatoa Kajang-Bulukumba, leuweung tutupan dan
leuweung titipan di komunitas adat kasepuhan-Lebak Banten, pangae kapali (hutan larangan yang tidak
boleh dikunjungi) di komunitas adat Wanaposangke-Morowali, sasi lompa di Haruku-Maluku, lubuk
larangan di Kenegerian Batusonggan Kampar, awig-awig di Teluk Jor Lombok Timur, dan perlindungan
danau Empangau oleh masyarakat desa Empangau di Kapuas Hulu. Selain itu masyarakat adat dan lokal
juga memiliki peraturan adat yang melarang pengambilan sumber daya alam secara berlebihan. Sumber
daya alam bagi masyarakat adat dan lokal merupakan sumber penghidupan dan mendatangkan
kesejahteraan bagi mereka secara berkelanjutan.
Keanekeragaman hayati merupakan sumber daya yang penting bagi pembangunan bangsa dan negara.
Untuk menekan laju penurunan kualitas kehidupan, maka upaya konservasi keanekaragaman hayati perlu
dilakukan secara serius oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Peran serta masyarakat untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati sangat dibutuhkan. Salah satu hal yang dapat dipertahankan
adalah kearifan tradisional dari tiap-tiap masayarakat di Indonesia ini. Kearifan tradisional umumnya berisi
ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam (hutan, tanah, dan air) secara berkelanjutan.
Dari sisi lingkungan hidup keberadaan kearifan tradisional sangat menguntungkan karena secara langsung
atau pun tidak langsung sangat membantu dalam memelihara lingkungan serta mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan. Mengingat begitu pentingnya peranan kearifan tradisional dalam upaya memelihara
dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, maka kearifan tradisional tersebut perlu terus dipelihara dan
diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang juga
merupakan wujud dari konservasi oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, maka prinsip-prinsip
konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional sebagai berikut :

1. Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam
hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri
2. Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis sumberdaya alam tertentu
sebagai hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua
warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar.
3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge sistem) yang memberikan kemampuan
kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang terbatas.
4. Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (input) energi sesuai
dengan kondisi alam setempat
5. Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama
dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang).
Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua
aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu.
6. Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya milik bersama yang dapat mencegah
munculnya kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau
kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang
berlaku.

Prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah yang
berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam, dimana masyarakat setempat tinggal dan
kemauan masyarakat untuk tetap menjaga keseimbangan dengan lingkungan meskipun menghadapi
berbagai tantangan. Maka dari itu penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam melakukan tindakan di
lingkungan dimana mereka tinggal guna menghindari konflik-konflik sosial bahwa pengelolaan sumberdaya
dalam hal ini pengelolaan hutan wana tani yang kurang memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat
lokal akan dapat menimbulkan konflik terutama dalam pengelolaan, alternatif pengelolaan lahan, dan
pemetaan sumberdaya alam serta kepentingan antar kelompok masyarakat lokal. Melihat pentingnya peran
masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian lingkungannya maka penting untuk mempertahankan dan
melindungi tindakan-tindakan masyarakat yang merupakan bentuk dari kearifan ekologis.
Mengapa upaya konservasi tidak bertentangan dengan kepentingan ekonomi, lengkapi dengan contoh-
contoh faktual ? atau anda bisa menggunakan contoh area konservasi berdasarkan gambar di atas!

JAWABAN PANJANG

 Nilai ekonomi yang dihasilkan dari masing-masing tipe pemanfaatan sumber daya alam (hasil hutan
kayu, non kayu, tambang, perikanan, pertanian, pariwisata, dll) serta nilai ekonomi dari jasa lingkungan
yang disediakan oleh kawasan hutan , hendaknya tidak dilihat sebagai nilai-nilai yang terpisah satu sama
lain, karena setiap kegiatan pemanfaatan sumber daya alam (kegiatan ekonomi lain) tidak berdiri sendiri,
melainkan saling berinteraksi dan saling memberikan dampak satu sama lain.
 Kawasan konservasi sebagai benteng terakhir pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia memiliki
potensi ekonomi yang cukup besar. Namun sayangnya, pemerintah menganggap potensi pendapatan
negara dari sektor pariwisata di wilayah konservasi masih minim.
 Dari sisi pengertian, pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya untuk tujuan konservasi semata,
dikembangkan utamanya untuk perlindungan hidupan liar (conservation for protecting wildlife) namun
kini, konservasi mencakup tujuan sosial dan ekonomi (conservation for community welfare), restorasi,
rehabilitasi dan tujuan-tujuan sosial ekonomi dan budaya.
 Kawasan konservasi Indonesia sekitar 2,2 juta hektare dan memiliki 551 unit keunikan obyek dan daya
tarik wisata alam. Selain itu, kawasan konservasi juga memiliki potensi 6,5 miliar meter kubik air dan
2.460 Megawatt potensi listrik dari panas bumi.
 Dari 17 Taman Nasional yang memiliki potensi panas bumi, Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki
potensi yang paling besar. Taman nasional terbesar di Sumatera yang memiliki luas wilayah 13,750 km
persegi ini memiliki potensi panas bumi sebesar 847,62 Megawatt.
 Selain itu, kawasan konservasi juga memiliki potensi jasa lingkungan serta objek wisata alam yang
memiliki dampak luas terhadap perekonomian masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Belum lagi
nilai ekonomi konservasi yang tidak bisa dihitung seperti pengaturan air, nilai estetika, penyuplai
oksigen, pengatur iklim mikro, nilai potensi kelangkaan, sumber plasma nutfah, nilai strategis pertahanan
dan keamanan.
 Bioprospeksi merupakan upaya untuk mencari kandungan kimiawi baru pada makhluk hidup (baik
mikroorganisme, hewan dan tumbuhan) yang mempunyai potensi sebagai obat-obatan atau untuk tujuan
komersial lainnya. Bioprospeksi meliputi pemanenan, prosesing dan transformasi material biologi.
 Masyarakat lokal telah mengembangkan mekanisme pengelolaan sumberdaya hayati. Pada daerah-
daerah yang terpencil, manfaat-manfaat ini didapat secara langsung tanpa melalui mekanisme pasar.
 Dalam pembangunan ekonomi, masyarakat edesaan yang hidup paling dekat dengan hutan atau kawasan
alami lainnya, dapat mendapatkan manfaat dari adanya pemanenan satwaliar secara lestari untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi lokal.
 Hampir semua masyarakat pedesaan bisa meningkatkan manfaat pembangunan melalui pengelolaan yang
tepat bagi sumberdaya biologi yang bisa dikonsumsi secara langsung.
 Manfaat ekonomi dari suatu kawasan yang dikelola secara berkelanjutan sebenarnya bisa sangat besar,
tanpa adanya gangguan logging
 Indonesia – mendapatkan US$ 200 juta dari hasil hutan bukan-kayu.
 India – hasil hutan bukan kayu memberikan masukan 40% dari total net revenue yang didapatkan oleh
pemerintah dari sektor kehutanan
 Hutan hujan tropis dengan luas 50,000 ha, dengan pengelolaan yang efektif, mampu untuk menghasilkan
flora fauna dengan nilai potensial sedikitnya US$ 10 juta/thn (sekitar US$200/ha), dimana pendapatan
dari hasil logging komersial hanya kurang lebih US $150/ha (McNeely, 2000).
 Keberadaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil (CBGSKBB) yang terletak di Kabupaten Bengkalis dan
Kabupaten Siak, Provisni Riau membantu pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan sekitarnya
yang melakukan pemanfaatan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui
sertifikasi, pemberian label, dan branding produk cagar biosfer dunia tersebut, baik berbentuk barang
maupun jasa.

Anda mungkin juga menyukai