Anda di halaman 1dari 36

Tugas Kelompok

Mata Kuliah : BIOMEDIK 1

Dosen : Hamzah B, S.KM ., M.Kes

TATA NAMA PADA TUMBUHAN

KELOMPOK 1

NAMA : NIM :

1. ZAFAR IKHZA AZIZ SOFYAN 01901040033


2. YULISTYA POBELA 01901040031
3. SULASTRI ADAM 10901040032
4. ULFA F.N AHMAD 01901040035
5. PATRICIA R. POLUAN 01901040037
6. YUDEA SENDEONG 01901040030
7. AUDITA MOKOAGOW 01901040034
8. NOVIANTI PAPUTUNGAN 01901040036

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

STIKES GRAHA MEDIKA KOTAMOBAGU

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Biomedik
mengenai Tata Nama Pada Tumbuhan tepat pada waktunya. Ucapan terimakasih
kami sampaikan kepada semua pihak yang turut serta membantu dan
memberikan dukungan dalam menyalesaikan tugas ini

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan tugas ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.
Akhirnya, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Kotamobagu, 25 September 2019


DAFTAR ISI

- KATAPENGANTAR
- DAFTAR ISI
- BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
- BAB II PEMBAHASAN
2.1 Nama Biasa Dan Nama Ilmiah
2.2 Sejarah Kode Internasional Tata Nama Tumbuhan
2.3 Kode Internasional Tata Nama Tumbuhan
2.4 Klasifikasi Pada Tumbuhan
- BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
- DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alam semesta terdiri dari komponen biotik dan abiotik.Komponen biotik


(makhluk hidup) jumlahnya sangat banyak dan sangat beraneka ragam.Mulai dari
laut, dataran rendah, sampai di pegunungan, terdapat makhluk hidup yang
jumlahnya banyak dan sangat beraneka ragam. Karena jumlahnya banyak dan
beraneka ragam, maka kita akan mengalami kesulitan dalam mengenali dan
mempelajari makhluk hidup. Untuk mempermudah dalam mengenali dan
mempelajari makhluk hidup maka kita perlu cara. Cara untuk mempermudah kita
dalam mengenali dan mempelajari makhluk hidup disebut Sistem Klasifikasi
(penggolongan / pengelompokan).

Salah satu sapek yang diperlukan dalam mempelajari botani adalah pengetahuan
tentang nama botani (ilmiah/latin) jenis-jenis tumbuhan. Sebab seseorang yang
bekerja dengan suatu jenis tumbuhan harus yakin bahwa materi yang ditanganinya
benar-benar sesuai dengan nama manurut standar taksonomi tumbuhan. Sekali ia
mempublikasikan hasil pekerjaannya dan menyebarluasakannya, seluruh dunia
akan siap menyerap informasi tentang jenis tumbuhan yang dipublikasikan
tersebut dengan berpegang kepada nama botani yang dikenakan. Nama ilmiah
suatu tumbuhan merupakan sebuah kunci mukjizat untuk membuka khazanah
yang berisi semua pengetahuan tentang jenis tumbuhan tersebuDalam makalah ini
sayaakan membahas secara lebih mengkhusus pada tata nama makhluk hidup
(Binomial nomenklatur).

Tatanama tubmbuhan merupakan bagian dari kegiatan taksonomi yang bertujuan


untuk mendeterminasi nama yang benar dari suatu takson atau kesatuan
taksonomi. Menurut Kode Internasional Tatanama Tumbuhan (KITT), pemberian
nama ilmiah tumbuh didasarkan pada bahasa Latin atau yang diperlakukan
sebagai bahasa Latin, sehingga diharapkan dapat dipergunakan secara universal
oleh para ahli botani.

Dalam kehidupan sehari-hari kita jumpai begitu banyak nama tumbuhan yang
diberikan dalam bahasa yang sesuai dengan bahasa induk yang digunakan oleh
daerah masing-masing, yang sering disebut nama biasa. Oleh karena nama biasa
itu terbatas pengertiannya pada orang-orang sebahasa saja, maka pemakaian nama
ilmiah sekarang sudah menjadi kebiasaan umum yang diterapkan di seluruh
dunia.

1.2 Rumusan Masalah

a. Mengetahui Nama Biasa dan Nama Ilmiah pada tumbuhan


b. Mengetahui Sejarah Kode Internasional Tatanama Tumbuhan
c. Mengetahui Isi dari Kode Internasional Tatanama Tumbuhan (KITT)
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Nama Biasa dan Nama Ilmiah

Tatanama merupakan bagian dari kegiatan taksonomi yang bertujuan


untuk mendeterminasi nama yang benar suatu takson atau kesatuan taksonomi.
Sekali tumbuhan telah diidentifikasi, nama yang benar harus di berikan. Menurut
Kode Internasional tatanama tumbuhan pemberian nama ilmiah tumbuhan di
dasarkan pada bahasa Latin atau yang diperlakukan sebagai bahasa Latin sehingga
d harapkan dapat dipergunakan secara universal oleh para ahli botani. Hal ini
dapat di pahami karena komunikasi ilmiah memerlukan nama ynag tepat
danpenuh kepastian. Dalam kehidupan sehari-hari kita jumpai begitu banyak
nama tumbuhan yang di berikan dalam bahsa yang sesuai dengan bahasa induk
yang digunakan oleh daerah masing-masing, yang sering di sebut nama biasa
(nama local).

Berbicara tentang tatanama tumbuhan, perlu dingat bahwa yang


hendakditata dan dibuatkan peraturan-peraturannya adalah nama-nama yang
sekarang kita kenal sebagai nama ilmiah, yang seringkali disebut pula sebagai
nama Latin atau nama dalam bahasa Latin.anggapan ini sebenarnya kurang tepat,
karena nama ilmiah tidak hanya berasal dari bahasa Latin saja, tetapi tepat bila
dikatakan, bahwa nama ilmiah adalah nama dalam bahasa yang di berlakukan
sebagai bahasa Latin, tanpa memperhatikan dari bahsa mana asalnya kata yang
digunakan untuk nama tadi.

Oleh karena itu nama biasa terbatas pengertiannya pada orang-orang


sebahasa saja, maka pemakaian nama ilmiah sekarang sudah menjadi kebiasaan
umum diterapkan orang di seluruh dunia ini. Salah satu keuntungan nama ilmiah
ialah bahwa pnentuan, pemberian, atau cara pemakaian untuk setiap golongan
tumbuhan dapat didasarkan pada suatu aturan atau system tatanama.
Bila kedua macam nama ini di bandingkan, akan di ketemukan perbedaan
perbedaan berikut ini :

Nama Ilmiah Nama Biasa


1. Diatur dalam Kode Internasional 1. Tidak mengikuti ketentuan
Tata Nama Tumbuhan manapun
2. Dalam bahasa yang diperlakukan 2. Dalam bahasa daerah atau bahasa
sebagai bahasa Latin setempat
3. Berlaku Internasional 3. Hanya berlaku local
4. Kadang-kadang sukar dilafalkan 4. Biasanya mudah di lafalkan
5. Memberikan indikasi untuk
5. Tidak jelas untuk kategori mana
kategori takson yang mana nama
yang itu diberikan
itu diberikan
6. Satu takson dapat mempunyai
6. Untuk tiap takson dengan definisi lebih dari satu nama yang
posisi, dan tingkat tertentu hanya berbeda-beda menurut bahasa
ada satu nama yang benar yang digunakan untuk
menyebutkan

Meskipun dari segi ilmiah nama biasa mempunyai banyak kelemahan-


kelemahan tetapi nama biasa perlu dipertahankan karena kadang-kadang memang
nama itulah yang diketahui sedang nama ilmiahnya tidak atau belum ada.
Sehingga dapat digunakan sebagai pegangan sementara dalam mengacu pada
suatu takson.

2.2 Sejarah Kode Internasional Tatanama Tumbuhan


Manusia sejak zaman pra sejarah telah membicarakan tumbuhan, mungkin
membedakan yang berguna dan tidak berguna, dan dalam hal ini ia harus
memberikan nama pada mereka. Oleh karena itu nama-nama tumbuhan yang
mereka kenal telah di berikan berdasarkan pada sifat, keadaan, atau daerah dimana
tumbuhan itu tumbuh. Mula-mula mereka dalam memberika nama adalah
sembarang, ada yang sangat panjang sperti uraian, ada yang pendek. Pemberian
nama inipiun disesuaikan pada bahasa masing-masing yang dipergunakan sehari-
hari, sehingga satu kelompok tumbuhan dapat mempunyai nama-nama yang
banyak sekali
Bertambah luasnya komunikasi antar manusia maka tumbuhan yang
mmpunyai nama sesuai bahasa dimana tumbuhan itu tumbuh dirasakan kurang
praktis dan dijumpai banyak kesukaran bagi orang yang ingin mempelajari
tumbuhan tadi. Maka timbul pemikiran-pemikiran untuk memnetukan mana yang
dapat diketahui secara universal bagi ahli botani diseluruh dunia.
Mulai abad 16-17 orang mulai merasakan perlu mengatur perihal nama
tumbuhan. Orang yang merintis jalan ini adalah Lineus dan ia sendiri
mempraktekkannya. Sesudah Lineus, orang yang berusaha keras kearah
tersusunnya tatanama itu adalah Augustine de Candolle yang karyanya kemudian
dikemukakan pada Kongres Botani Internasional I yang diselenggarakan di Paris
tahun 1867. Hasil Konggres ini dikenal sebagai Kode paris yang ditentukan
sebagai Kode Tatanama. Hasil konggres ini belum diterima sepenuhnya oleh para
ahli botani di sleuruh dunia.
Pada tahun 1892 para ahli botani Amerika dibawah pimpinan N.L Britton
dari New York Botanical garde, menggambarkan sari set peraturan tatanama
tumbuhan. Peraturan ini mereka anggap lebih obyektif daripada Kode Paris.
Pertemuan para ahli botani ini dipelopori oleh Botanical Club di amerika pada
pertemuan American Association for the Advancement of Science di Rochester,
New York tahun 1892. Set peraturan tatanama tumbuhan yang dibuat oleh Britton
tersebut biasanya dikenal dengan Kode Rochester inipun juga belum diakaui
sepenuhnya oleh para ahli diseluruh dunia. Selanjutnya pada tahun 1905 tercetus
juga Kod Bienna, dan pada tahun 1907 tercetus juga Kode Amerika.
Akhir tahun 1930 dirintis Konggres Botani Internasional di Inggris yang
dapat mencapai kespakatan diantara tokoh-tokoh ahli botani penting. Mereka
mencapai kesepakatan tatanama tumbuhan yang disebut “The International Rules
of Botanical Nomenclature”. Para ahli yang berjasa sampai tercapainya
kesepaktan ini antara lain, T.A. Sprague berasal dari Inggris, M.L. Green berasal
dari Inggris, dan A.S. Hitchocock berasal dari Amerika.
Sekarang dikenal sebagai “International Code of Botanical
Nomenclature”, yang setiap lima tahun sekali selalu dibahas dalam kongres para
ahli botani Internasional sampai masa sekarang.

2.3 Kode Internasional Tatanama Tumbuhan

Untuk menerapkan nama-nama ilmiah secara tepat, kita harus menguasai


ketentuan-ketentuan yang termuat dalam KITT yang susunan maupun isinya
menggunakan gaya bahasa yang tidak mudah dipahami oleh ilmuwan pada
umumnya. Isi KITT yang disusun dengan menggunakan bahasa yuris seperti buku
undang-undang, membuat ahli taksonomi kurang berminat untuk mencermati
isinya.
Penerapan KITT tidaklah sesederhana yang kita kira. Dalam penggunaan
nama ilmiah sering terjadi kekisruhan-kekisruhan seperti dalam pemakaian nama-
nama biasa. Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam KITT dapat mengalami
perubahan, atau tidak berlaku lagi sebagai akibat ususl-usul perubahan,
penyempurnaan, penghapusan dan lain-lain dari para ahli Muktamar Botani
Internasional. Sehingga setelah selesai suatu muktamar, biasanya akan terbit edisi
KITT terbaru. Ini menunjukkan, bahwa siapapun yang melibatkan diri dengan
kegiatan taksonomi tumbuhan, harus selalu mengikuti perkembangan, agar
terhindar dari kemungkinan-kemungkinan ketentuan-ketentuan yang telah
berubah atau yang tidak berlaku lagi.
Sampai pada umurnya yang hampir ¼ abad ini peraturan tentang tatanama
tumbuhan telah mengalami bermacam-macan ujian dan cobaan, namun
tampaknya segala ujian dan cobaan telah di lalui dengan gemilang, sehingga
kedudukannya menjadi semakin kokoh dan isinya boleh dianggap sebagai aturan
main bagi siapapun yang ingin mendalami taksonomi tumbuhan.
Ujian-ujian dan cobaan-cobaan yang cukup berat telah harus dihadapi oleh
Kode Paris sebelum mencapai usia 10 tahun terhitung dari kelahirannya pada
tahun 1967. Dalam waktu yang relative singkat segera diketahui bahwa Kode
Paris mengandung banyak sekali kekurangan-kekurangan, dan sebagai akibatnya
untuk hal yang dalam Kode Paris belum ada ketentuannya para ahli taksonomi
memberikan interpretasinya sendiri-sendiri dan mulai muncul ketentuan-ketentuan
yang bukan atau belum merupakan kesepakatan internasional.
Dalam bentuknya sebagai hasil Muktamar Sydney tahun 1981, Kode
Internasianal Tatanama Tumbuhan yang diterbitkan dalm tiga bahasa: Inggris,
Perancis, dan Jerman pada tahun 1983, memuat bagian-bagian penting berikut:

1. Mukadimah
2. Bagian I Asas-asas
3. Bagian II Peraturan dan Saran-saran yang terdiri atas 75 pasal, terbagi dalam 6
bab, dengan masing-masing bab terbagi lagi dalam beberapa seksi
4. Lampiran I Nama-nama hibrida
5. Lampiran II Nama-nama suku yang dilestarikan
6. Lampiran III Nama-nama marga yang dilestarikan dan ditolak
7. Lampiran IV Nama-nama yang bagaimanapun ditolak
Berikut ini adalah isi dari bagian-bagian KITT di atas;
1. Mukadimah
Mukadimah KITT memuat sepuluh butir yang penting , yaitu:
a. Pembenaran, bahwa ilmu tumbuhan memerlukan system tatanama yang
sederhana namun tepat, yang digunakan oleh semua ahli ilmu tumbuhan di
seluruh dunia.
b. Asas-asas yang seluruhnya hanya berjumlah enam merupakan dasar atau
pangkal tolak system tatanam tumbuhan, yang selanjutnya dijabarkan
kedalam peraturan-peraturan dan saran-saran atau rekomedasi yang lebih
terinci,
c. Ketentuan-ketentuan yang terinci dibagi dalam peraturan-peraturan yang
harus ditaati, dan saran-saran yang seyogyanya diikiuti demi keseragaman
yang lebih luas, da tidak menjadi contoh yang tidak selayaknya untuk di
tiru.
d. Sasaran yang ingin dicapai dengan penyusunan peraturan-peraturan
tatanama tumbuhan adalah untuk penertiban tatanama di masa lampau dan
penyediaan system tatanama untuk masa mendatang.
e. Sasaran yang ingin dicapai dengan pemberian saran- saran atau
rekomendasi adalah keseragaman yang lebih luas serta kejelasan yang
lebih terang, terutama untuk masa mendatang.
f. Ketentuan untuk mengubah kode tatanama tumbuhan merupakan bagian
terakhir kode ini.
g. Peraturan –peraturan dan saran-saran berlaku untuk semua makhluk yang
diperlakukan sebagai tumbuhan ( termasuk jamur, tetapi bakteri tidak),
baik yang telah bersifat fosil maupun yang sekarang masih hidup.
h. Dalam butir ini dinyatakan, bahwa satu-satunya alasan yang tepat untuk
mengubah suatu nama adalah atau adanya studi yang lebih mendalam yang
menghasilkan data yang membenarkan pengubahan suatu nama, karena
identifikasi sebelumnya dipandang tidak tepat lagi, atau karena nama yang
bersangkutan ternyata bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
i. Butir ini menyatakan bahwa dalam hal tidak adanya peraturan yang
relevan, atau dalam hal yang hasilnya akan meragukan bila suatu peraturan
diterapkan, maka kelaziman lah yang harus diikuti .
j. Butir terakhir mukadimah KITT menyatakan, bahwa dengan
diterbitkannya edisi terbaru, otomatis semua edisi sebelumnya tidak
berlaku lagi.
2.Bagian I Asas-asas Tatanama Tumbuhan
a. Asas I
Tatanama tumbuhan dan tatanama hewan berdiri sendiri-sendiri.
Kode Internasional Tatanama Tumbuhan berlaku sama bagi nama-
nama takson yang sejak semua diperlakukan sebagai tumbuhan atau tidak.
Kalimat pertama menunjukkan bahwa peraturan nama ilmiah hewan dan
tumbuhan itu berbeda. Misalnya istilah “phylum” untuk suatu kategori
dalam klasifikasi hewan yang dalam klasifikasi tumbuhan disebut
“division”. Kalimat kedua menunjukkan bahwa bila organism itu dianggap
hewan, maka nama organism itu harus mengikuti ketentuan-ketentuan
yang ada dalam Kode Internasional Tatanama Hewan, sebaliknya, bila
organism diperlakukan sebagai tumbuhan, maka namanya harus tunduk
pada KITT.
b. Asas II
Penerapan nama-nama takson ditentukan dengan perantaraan tipe
tatanamanya .
Yang dimaksud dengan tipe tatanama adalah unsure suatu takson
yang dikaitkan secara permanen dengan nama yang diberikan kepada
takson itu.
c. Asas III
Tatanama takson didasarkan atas perioritas publikasinya.
Bila suatu takson mempunyai lebih dari satu nama, maka nama
yang dipublikasikan lebih dululah yang berlaku. Tentu saja dalam hal ini
pemberian nama telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Asas IV
Setiap takson dengan sirkum skripsi, dan tingkat tertentu hanya dapat
mempunyai satu nama yang benar, yaitu nama tertua yang sesuai dengan
peraturan, kecuali dalam hal-hal yang dinyatakan secara khusus.
Bila ditekankan pada hanya dapat mempunyai satu nama yang
benar, maka adanya sinonima merupakan suatu hal yang tidak
dimungkinkan, namun dinyatakan pula bahwa hal itu ada
pengecualiannya. Seperti beberapa nama suku yang secara eksplisit
dinyatakan, bahwa suku-suku tadi mempunyai nama alternative. Nama-
nama suku Gramineae, Palmae, Umbelliferae, Compositae misalnya,
berturut-turut boleh diganti dengan Poaceae, Arecaceae, Apiaceae, dan
Asteraceae.
e. Asas V
Nama-nama ilmiah diperlakukan sebagai bahasa latin tanpa
memperhatikan asal nya.
Nama ilmiah adalah nama yang terdiri atas kata-kata yang
diperlakukan sebagai bahasa Latin, dan tidak tepat bila nama ilmiah
disamakan dengan nama latin.
f. Asas VI
Peraturan tatanama berlaku surut kecuali bila dibatasi dengan sengaja.
Peraturan tatanama tumbuhan lahir pada tahun 1867 yang diawali
oleh Muktamar Botani Internasional I di Paris. Namun demikian
ketentuan-ketentuan yang termuat di dalamnya dinyatakan berlaku sejak
lebih seabad sebelumnya, yaitu dinyatakan berlaku per 1 Mei 1753, jadi
peraturan tatanama tumbuhan itu berlaku surut.
3.Bagian II Peraturan-peraturan dan Saran-saran (rekomendasi)
a. Bab I : Tingkat-tingkat takson dan istilah-istilah untuk menyebutnya
Bab ini terdiri atas lima pasal. Pasal satu sampai lima yang memuat
butir-butir utama sebagai berikut.
1) Bahwa dalam taksonomi tumbuhan, setiap kelompok taksonomi dari
kategori yang manapun disebut suatu takson.
2) Bahwa dari sederetan takson yang bertingkat-tingkat itu yang dijadikan
unit dasar adalah kategori jenis.
3) Bahwa tingkat-tingkat takson (kategori) yang pokok berturut-turut dari
bawah ke atas disebut dengan istilah jenis (spesies), marga (genus),
suku (familia), bangsa (ordo), kelas (classis), dan divisi (division).
4) Bahwa bila dikehendaki jumlah tingkat takson yang lebih banyak
dapat ditambahkan atau diantara takson-takson lama disisipkan takson-
takson baru, asal hal itu tidak akan berakibat terjadinya kekeliruan atau
kekacauan. Untuk sederetan tingkat takson yang telah mendapat
kesepakatan internasional dari yang besar ke yang kecil disebut dengan
istilah-istilah dunia (regnum), anak dunia (sub regnum), divisi
(division), kelas (classis), anak kelas (sub classis), bangsa (ordo), anak
bangsa (sub ordo), suku (familia), anak suku (sub familia), rumpun
(tribus), anak rumpun (sub tribus), marga (genus), anak marga (sub
genus), seksi (sectio), anak seksi (sub section), seri (series), anak seri
(sub series), jenis (spesies), anak jenis (sub spesies), varitas (varietas),
anak varitas (sub varietas), forma (forma), anak forma (sub forma).
5) Bahwa urutan-urutan tingkat-tingkat takson (kategori) itu tidak boleh
di ubah.
b. Bab II : Ketentuan umum untuk nama-nama takson
Bab ini terbagi dalam empat seksi yang seluruhnya memuat 10
pasal (pasal 6 sampai dengan 15).
Seksi I yang berjudul “definisi-definisi” hanya terdiri atas satu
pasal, yaitu pasal 6 dan isi yang penting pasal ini antara lain adalah
definisi-definisi untuk:
1) Publikasi yang mangkus (efektif), yaitu publikasi yang sesuai dengan
persyaratan seperti tersebut dalam Pasal 29-31.
2) Publikasi yang sahih (berlaku), bila memenuhi persyaratan seperti
tersebut dalam Pasal-pasal 32-45.
Dalam seksi ini selanjutnya juga diberikan definisi-definisi untuk
berbagai nama dengan sebutan tertentu, antar lain:
1) Nama sah (legitimate), bila sesuai dengan bunyinya peraturan dan
tidak sah (illegitimate) bila bertentangan dengan bunyinya peraturan.
2) Nama yang benar (correct), merupakan nama sah yang tertera
publikasi, kecuali untuk nama-nama tertentu yang dinyatakan sebagai
perkecualian terhadap ketentuan itu.
3) Nama kombinasi, adalah nama-nama takson di bawah tingkat marga
(jenis, anak jenis, varietas, dst) yang terdiri atas nama marga digabung
dengan nama sebutan (epitheton) yang berjumlah satu sehingga
membentuk kombinasi ganda. Seperti pada nama jenis Hibiscus
sabdariffa, yang terdiri atas nama marga Hibiscus digabung dengan
sebutan jenis sabdariffa.
4) Autonima atau nama automatis, yaitu nama yang harus berbentuk
tertentu, sesuai dengan bunyinya ketentuan.
5) Sinonima, dua nama atau lebih untuk suatu takson, misalnya
Gramineae = Poaceae, Compositae = Asteraceae untuk nama-nama
suku.
6) Basionima, yaitu nama dasr yang dijadikan pangkal tolak dalam
pemberian nama kepada suatu takson tertentu, misalnya pemberian
nama suatu jenis yang mengalami perubahan status, yaitu dipindah ke
lain marga, sehingga namanya harus berubah. Sebagai contoh adalah
Pseudodatura arborea yang dipindahkan ke marga Brugmansia yang
namanya berubah menjadi Brugmansia arborea. Dalam contoh ini
Pseudodatura arborea merupakan basionimanya Brugmansia arborea.
7) Homonima, yaitu suatu nama yang digunakan untuk dua takson yang
berbeda. Nama Setaria misalnya oleh Acharius digunakan untuk nama
marga lumut kerak, tetapi Palisot de Beauvais menggunakan nama
Setaria untuk marga rumput. Ini merupakan contoh homonima, yang
sesuai dengan asas prioritas nama Setaria untuk marga rumput itu
harus diganti karena Setaria sudah lebih digunakan untuk nama lumut
kerak.
8) Tautonima, yaitu nama jenis yang nama marga dan sebutan jenisnya
terdiri atas kata-kata yang persis sama atau hampir sama, misalnya
Linaria linaria, Boldu boldus. Berbeda dalam taksonomi hewan, dalam
taksonomi tumbuhan tautonima merupakan nama yang tidak sah, jadi
tidak boleh digunakan.
9) Nama telanjang (nomen nudum), nama yang diberikan tanpa disertai
candra atau diagnosis dalam bahasa Latin yag sesuai dengan ketentuan.
Seperti tautonima, nomen nudum juga merupakan nama yang tidak
sah.
10) Nama yang meragukan (nomen ambiguum), adalah nama yang oleh
penciptanya tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai nama suatu
takson tertentu, sehingga meragukan, apakah kata-kata yang dipakai
itu benar-benar dimaksud sebagai nama takson atau bukan.
11) Nama-nama yang dilestarikan (nomen conservandum), nama yang
dipertahankan untuk terus dipakai, walaupun nama itu tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
a) Nama-nama marga yag dilestarikan (nomina generic conservanda)
b) Nama-nama suku yang dilestarikan (nomina familiarum
conservanda)
12) Nama-nama yang ditolak (nomen rejiciendum), nama-nama yang
secara luas dan terus dipakai untuk takson yang tidak mencakup tipe-
tipe tatanamanya.
Seksi II memuat masalah “tipifikasi”, terdiri atas 4 pasal ( pasal 7
-10 ), memuat antara lain:
1) Penerapan nama-nama takson tingkat suku ke bawah harus didasarkan
atas tipe tatanamanya.
2) Tipe tatanama adalah unsure suatu takson yang padanya melekat
secara permanen nama dan candra takson yang bersangkutan, dan
bahwa tiep tatanama tidak harus merupakan wakil takson tadi yang
dianggap paling tipikal.
3) Specimen atau unsure lain yang dipilih sebagai tipe tatanama disebut
holotipe.
4) Bila seorang ahli member nama dan mencandra suatu takson tidak
menentukan holotipenya, atau karena sesuatu sebab holotipe itu hilang
atau binasa, dapat ditentukan penggantinya yang disebut lektotipe atau
neotipe.
Seksi III dalam bab ini yang terdiri atas 1 pasal, yaitu pasal 11
memuat masalah “prioritas” dan “nama yang benar” yang pada dasrnya
tidak berbeda dengan bunyi Asas IV, dengan ditambah bahwa: nama yang
benar untuk marga atau genus adalah nama tertua yang sah yang diberikan
untuk tingkat takson itu kecuali bila ada pembatasan prioritas karena
adanya nama-nama yang dilestarikan.
Nama yang benar untuk setiap jenis atau takson di bawahnya
adalah kombinasi sebutan (epitheton) dalam nama sah yang tertua yang
diberikan kepada takson tadi, dengan nama marga atau nama jenis yang
membawahinya, kecuali bila kombinasi itu menjadi tidak berlaku karena
adanya pembatasan asas prioritas, atau sebab lain yang menyebabkan
harus digunakannya kombinasi yang berbeda.
Seksi IV yang terdiri atas 3 pasal (pasal 13-15) berjudul
“pembatasan asas prioritas” berisi antara lain ketentuan-ketentuan, bahwa:
Nama-nama tumbuhan dari berbagai kategori diperlakukan seakan-akan
dipublikasikan mulai dari tanggal-tanggal seperti di bawah ini.
Bagi tumbuhan yang sekarang masih hidup:
a) 1 Mei 1753 untuk Spermatophyta dan Pteridophyta
b) 1 Januari 1801 untuk Musci dan Sphagnaceae
c) 1 Mei 1753 untuk Sphagnaceae dan Hepaticae
d) 1 Mei 1753 untuk Fungi dan Fungi pembentuk Lichenes
e) 31 Desember 1801 untuk jamur bangsa Uredinales, Ustilaginales dan
Gasteromycetes yang dipakai oleh Persoon
f) 1 Januari 1821 untuk Fungi Caeteri, selain Myxomycetes dan jamur
pembentuk Lichenes
g) 1 Mei 1753 untuk Algae
h) 1 Januari 1892 untuk Nostocaceae Homocysteae
i) 1 Januari 1886 untuk Nostocaceae Heterocysteae
j) 1 Januari 1848 untuk Desmidiaceae
k) 1 Januari 1900 untuk Oedogoniaceae
Bagi tumbuhan yang telah bersifat fosil, 31 Desember 1820 untuk semua
golongan.
c. Bab III Tatanama takson sesuai dengan tingkatnya
Nama-nama ilmiah untuk takson tingkat mana pun lazin ditulis
dengan menggunakan huruf besar (capital) untuk huruf pertama setiap
nama. Bab III ini terdiri atas 13 pasal yang dikelompokkan ke dalam 6
seksi.
Seksi I dalam bab ini terdiri atas Pasal 16 dan 17 diberi judul
“nama-nama takson di atas tingkat suku” dan di dalamnya terdapat butir-
butir penting sebagai berikut:
1) Bahwa untuk takson di atas tingkat suku tidak diterapkan metode tipe,
dan bahwa asas prioritas tidak berlaku baginya.
2) Bahwa nama-nama takson di atas tingkat suku automatis dapat disebut
mempunyai tipe tatanama bila nama-namanya didasarkan atas nama
suatu marga yang tergolong di dalamnya, ditambah dengan akhiran
yang sesuai untuk takson itu.
Namun demikian, bagi kelompok ini ada beberapa saran yang
menyangkut pemberian namanya yang pantas untuk mendapatkan
perhatian, adalah:
1) Untuk nama-nama divisi seyogyanya digunakan satu kata majemuk
berbentuk jamak yang diambilkan dari cirri khas yang berlaku untuk
semua warga divisi dengan ditambah akhiran –phyta, kecuali untuk
jamur yang disarankan untuk diberi akhiran –mycota.
2) Untuk nama anak divisi melalui cara yang sama dengan diberi akhiran
–phytina dan untuk golongan jamur dengan akhiran –mycotina.
3) Untuk nama-nama kelas juga dengan cara yang sama, namun
disarankan untuk menggunakan akhiran –phyceae bagi Algae,
-mycetes bagi Fungi, dan –opsida bagi Cormophyta.
4) Untuk anak kelas pun demikian, akhirannya saja yang berbeda-beda,
yaitu –phycidae untuk Algae, -mycetidae untuk Fungi, dan –idae untuk
Cormophyta.
Seksi kedua Bab III yang memuat dua pasal (pasal 18 dan 19)
membahas masalah “nama-nama suku, anak suku, rumpun, dan anak
rumpun”. Nama-nama suku merupakan satu kata sifat yang diperlakukan
sebagai kata benda yang berbentuk jamak, biasanya diambil dari nama
marga yang dipilih sebagai tipe tatanamanya ditambah dengan akhiran –
aceae, seperti misalnya: Malvaceae (dari Malva+aceae).
Seksi III yang terdiri atas Pasal-pasal 20-22 membahas “nama-
nama marga dan takson-takson di bawahnya.” Terdiri atas 3 pasal dengan
butir-butir yang penting sebagai berikut:
1) Nama marga merupakan kata benda berbentuk mufrad, atau kata lain
yang diperlakukan sebagai kata yang bersifat demikian, bahkan dapat
dibentuk dengan cara mana suka.
2) Nama marga tidak dibenarkan berupa istilah yang lazim digunakan
dalam morfologi tumbuha, misalnya Radicula atau Tuber (yang
masing-masing berarti akar lembaga dan umbi), kecuali bila pemberian
nama itu telah terjadi sebelum 1 Januari 1912, dan pada waktu nama
itu dipublikasikan dilengkapi pula dengan nama jenis yang disusun
sesuai dengan system biner menurut Linnaeus.
3) Nama marga tidak boleh terdiri atas dua kata, atau kedua kata itu harus
disatukan dengan tanda penghubung, misalnya Uva-ursi.
4) Kata-kata yang tidak dimaksud sebagai nama marga tidak dapat
dianggap sebagai nama marga, seperti kata Anonymos.
5) Dalam pembentukan nama-nama marga ada sejumlah saran yang
dimohonkan perhatian, dan sedapat mungkin tidak dilanggar, antara
lain:
a) Agar sedapat mungkin menggunakan bentuk Latin
b) Menghindarkan penggunaan kata-kata yang tidak mudah
disesuaikan dengan bahasa Latin
c) Tidak menggunakan kata yang panjang dan sukar dilafalkan dalam
bahasa Latin
d) Tidak menggunakan kata-kata yang merupakan gabungan kata dari
bahasa yang berlainan
e) Bila mungkin, dengan pemberian akhiran tertentu menunjukkan
kekerabatan atau anlogi suatu marga dengan marga lain
f) Menghindarkan penggunaan kata sifat sebagai kata benda
g) Tidak menggunakan kata yang dijabarkan dari sebutan jenis yang
tergolong dalam marga itu
h) Tidak menggunakan nama orang yang tidak ada kaitannya dengan
dunia ilmu tumbuhan
i) Menggunakan sebagai nama marga potongan-potongan dari dua
nama marga lain.
Seksi IV Bab III “nama-nama jenis” hanya terdiri atas satu pasal,
yaitu Pasal 23, yang berisi ketentuan-ketentuan dan saran-saran tentang
nama jenis, memuat butir-butir penting berikut:
1) Nama jenis adalah suatu kombinasi biner atau binomial yang terdiri
atas nama marga disusul dengan sebutan jenis, yang dalam
penulisannya hanya huruf pertamanya saja yang ditulis dengan huruf
besar, bagian lainnya termasuk sebutan jenisnya, semua ditulis dengan
huruf kecil.
2) Sebutan jenis dapat diambil dari sumber yang mana pun, bahkan dapat
dibentuk secara arbitrar.
3) Lambang yang merupakan bagian sebutan jenis harus ditranskripsikan,
jadi nama Scandix pecten o L. harus ditulis Scandix pecten-veneris L.,
Veronica anagallis L. harus ditulis Veronica anagallis aquatica L.
4) Sebutan jenis tidak boleh terdiri atas kata yang merupakan ulangan
yang sama atau hampir sama nama marga, dengan atau tanpa ditambah
lambing yang telah ditranskripsikan.
5) Sebutan jenis yang merupakan kata sifat, harus diberi bentuk yang
menurut tata bahasa sesuai dengan jenis kelamin nama marganya,
misalnya: Aspergilllus niger, Sambucus nigra, Piper nigrum, Crocus
sativus, Oryza sativa, Triticum sativum. Aspergillus dan Crocus
berjenis kelamin jantan, Sambucus dan Oryza betina, sedangkan Piper
dan Triticum banci.
6) Ada beberapa kata yang ditempatkan di belakang nama marga namun
kata itu tidak dianggap sebagai sebutan jenis, karena kata-kata itu
memang tidak dimaksud sebagai sebutan jenis, melainkan untuk
menunjukkan sesuatu hal/sifat mengenai tumbuhan yang dimaksud.
Atriplex “nova”, yang di sini kata “nova” hanya untuk menunjukkan
bahwa tumbuhan yang dimaksud adalah suatu jenis baru (nova) dalam
marga Atriplex, yang belum ada namanya.
7) Angka: dalam huruf yang menyatakan nomor urut, misalnya Boletus
vicessimus sextus, Agaricus octogesimus nonus. Kata sextus
(=keenam) dan nonus (kesembilan) di sini dimaksud untuk
menunjukkan jenis yang ke-6 dan ke-9 dalam urutan dalam marga
masing-masing, jadi tidak merupakan bagian sebutan jenis.
8) Kata-kata yang biasanya menunjukkan suatu sifat, yang termuat
sebagai sebutan jenis, namun belum secara konsisten digunakan sesuai
dengan system ganda menurut Linnaeus. Dalam nama Abutilon flore
flvo, kata “flore flavo” bukan suatu sebutan jenis, melainkan suatu
deskripsi yang menunjukkan salah satu ciri tumbuhan yang
bersangkutan, ialah bahwa tumbuhan iitu mempunyai bunga yang
berwarna kuning (flore flavo= berbunga kuning).
9) Formula yang menunjukkan nama hibrida. Nama-nama hibrida yang
juga tampak bersifat ganda, bagian belakang kombinasi nama hibrida
itu tidak dapat dikatakan sebagai sebutan jenis, namun merupakan
sebagian formula yang merupakan nama hibrida, yang biasanya
dicirikan dengan adanya suatu tanda x (tanda perkalian=multiplication
sign)
Seksi V Bab III yang terdiri atas pasal 24, 25, dan 26 memuat
ketentuan-ketentuan untuk “nama-nama takson di bawah tingkat jenis”
(takson infraspesifik). Ketentuan-ketentuan yang penting yang berkaitan
dengan pemberian nama-nama takson di bawah tingkat jenis (anak jenis,
varitas, anak varitas, forma dan anak forma), antara lain ialah:
1) Nama takson di bawah tingkat jenis terdiri atas nama jenis dan suatu
sebutan yang dihubungkan dengan istilah untuk takson di bawah
tingkat jenis yang dimaksud, sehingga dengan demikian nama itu
sekurang-kurangnya terdiri atas empat kata, yaitu dua kata untuk nama
jenis, satu kata untuk sebutan takson di bawah tingkat jenis, dan satu
kata yang merupakan istilah untuk takson di bawah tingkat jenis
(biasanya dalam bentuk singkatan) yang dimaksud. Contoh:
Pedilanthus tithymaloides subspecies retusus; Hibiscus sabdariffa
varietas alba; Trifolium stellatum forma nanum.
2) Sebutan untuk takson di bawah tingkat jenis, seperti halnya dengan
sebutan jenis, harus mempunyai bentuk yang dari segi tata bahasa
disesuaikan dengan jenis kelamin nama marganya.
3) Kata-kata typcus, originalis, orginarius, genuinus, verus, dst, yang
berarti tipikal, asli, atau sungguh, dan dimaksud untuk menunjukkan
bahwa takson di bawah tingkat jenis itu memuat tipe tatanama takson
yang berada setingkat di atasnya, justru sebutan-sebutan itu tidak
dibenarkan untuk dipakai dan juga tidak dapat dipublikasikan.
4) Penggunaan kombinasi ganda sebagai sebutan takson di bawah tingkat
jenis tidak dibenarkan, dan bila hal itu terjadi penulisannya harus
dibetulkan
5) Takson-takson di bawah tingkat jenis yang tergolong dalam jenis yang
berbeda, dapat mempunyai sebutan yang sama dan takson di bawah
tingkat jenis dapat mempunyai sebutan yang sama dengan sebutan
yang digunakan untuk jenis lain di luar jenis yang membawahi takson
tadi.
Seksi VI yang merupakan seksi terakhir dalam Bab III ini, berjudul
“nama tumbuhan budidaya”, yang hanya memuat satu pasal (Pasal 28) dan
berisi ketentuan-ketentuann berikut:
1) Tumbuhan dari keadaan liar yang kemungkinan dibudidayakan ,
mempertahankan nama seperti yang diberikan kepada takson itu ketika
masih tumbuh di alam, misalnya untuk tebu namanya tetap Saccharum
officinarum.
2) Hibrida atau bastar, baik yang putative maupun yamg merupakan hasil
pembastaran dengan sengaja, diberi nama sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang termuat dalam lampiran KITT tentang nama hibrida,
yang seluruhnya terdiri atas 12 pasal, yang dicirikan dengan tanda
perkalian (x) atau dengan penggunaan awalan “Noto-“, misalnya: x
Agropogon (bastar antar marga Agrostis x Polypogon).
3) Unit-unit hasil kegiatan dalam pertanian yang tercakup dalam istilah
pemuliaan, lazimnya disebut sebagai kultivar, mempunyai tatanama
yang diatur dalam Kode Internasional Tatanama Tumbuhan Budidaya.
d. Bab IV : Publikasi mangkus (efektif) dan publikasi sahih (berlaku)
Bab ini dibagi dalam 4 seksi yang seluruhnya mencakup 22 pasal
(Pasal 29 sampai dengan 50). Adapun ketentuan-ketentuan yang perlu
mendapat perhatian kita antara lain:
Seksi I tentang “kondisi dan tanggal publikasi yang mangkus”,
yang terdiri atas tiga pasal (Pasal 29 sampai dengan 31):
1) Di bawah KITT, publikasi hanya dianggap mangkus apabila
merupakan distribusi barang cetakan (melalui penjualan, tukar
menukar, atau pemberian) kepada khalayak umum atau sekurang-
kurangnya kepada lembaga-lembaga ilmu tumbuhan dengan
perpustakaan yang terbuka bagi ilmuwan tumbuhan pada umumya.
2) Pemasaran barang cetakan yang tidak ada untuk dijual tidak
merupakan publikasi yang mangkus.
3) Publikasi tulisan tangan yang tidak dapat dihapus merupakan publikasi
yang mangkus, bila hal itu terjadi sebelum 1 Januari 1953.
4) Publikasi nama-nama dalam catalog dagang pada 1 Januari 1953 dan
setelah itu, demikian pula publikasi nama-nama dalam daftar tukar
menukar biji pada tanggal 1 Januari 1973 dan sesudahnya, merupakan
publikasi yang tidak dianggap mangkus.
5) Tanggal publikasi yang mangkus adalah tanggal mulainya barang
cetakan itu tersedia bagi masyarakat. Bila tidak ada bukti lain, tanggal
yang disebut pada barang cetakan itu harus diterima sebagai tanggal
publikasinya yang benar.
6) Bila makalah-makalah lepas dari suatu berkala atau karya lain yang
ditawarkan untuk dijual terbit lebih dulu, tanggal pada separat itu
dianggap sebagai tanggal publikasinya yang mangkus, kecuali bila
kemudian terbukti, bahwa tanggal tadi keliru.
7) Mulai tanggal 1 Januari 1953 dan setelah itu distribusi barang cetakan
yang menyertai bahan kering tidak dapat dianggap sebagai publikasi
yang mangkus.
Seksi II, “kondisi dan tanggal publikasi nama yang sahih”. Seksi II
Bab IV ini meliputi sampai 15 pasal (Pasal 32-46) yang berisi ketentuan-
ketentuan mengenai persyaratan dan aspek publikasi yang dapat
dinyatakan sebagai publikasi yang sahih (valid). Di antara butir-butir yang
penting yang mempunyai kaitan erat dengan masalh publikasi yang sahih
itu adalah:
1) Agar dapat terpublikasikan dengan sahih, nama suatu takson (kecuali
bila berupa autonima) harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:
a) Telah dipublikasikan dengan cara yang mangkus pada tanggal
mulai berlakunya tatanama yang diakui bagi kelompok yag
bersangkutan, atau dipublikasikan setelah tanggal tersebut.
b) b. Mempunyai bentuk yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku
untuk tingkat takson masing-masing.
c) c. Disertai candra atau diagnosis yang pernah dipublikasikan secara
mangkus sebelumnya.
e. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus seperti termuat dalam
Pasal-pasal 33-45.
2) Nama yang dipublikasikan dengan sahih melalui rujukan dengan
deskripsi atau diagnosis yang dipublikasikan sebelumnya, mempunyai
sebagai tipe tatanamanya suatu unsure yang dipilih sesuai dengan
bunyi candra atau diagnosis, yang menyebabkan nama tadi dapat
dipublikasikan dengan sahih.
3) Diagnosis suatu takson merupakan suatu candra yang pendek yang
menurut penulisnya dapat digunakan untuk membedakan takson itu
dari takson yang lain, yang berarti dapat digunakan untuk
mengidentifikasikan takson tadi tanpa kemungkinan kekeliruan dengan
takson lain.
4) Rujukan tidak langsung merupakan petunjuk yang jelas, melalui sitasi
penulisnya atau dengan cara lain, bahwa untuk kesahihan publikasi
suatu nama, dapat digunakan candra atau diagnosis yang pernah
diterbitkan sebelumnya.
5) Nama yang dipublikasikan dengan bentuk bahasa Latin yang salah,
tetapi selain itu telah sesuai dengan KITT, dianggap telah
dipublikasikan dengan sahih, namun kesalahnnya harus diperbaiki
tanpa mengubah nama pencipta dan tanggal publikasinya.
6) Autonima dianggap sebagai nama yang dipublikasikan dengan sahih,
sejak diterbitkannya karya yang memuat nama itu untuk pertama kali.
Seksi III Sitasi nama pencipta (author’s name) dan pustaka demi
ketepatan. Dalam karya-karya ilmiah, nama-nama takson tingkat suku ke
bawah seringkali diikuti dengan satu nama atau lebih yang lazimnya
ditulis dalam bentuk singkatan. Pemberi nama atau pencipta nama itu
dalam pustaka berbahasa asing disebut “author” (Inggris), “auteur”
(Belanda), “autor” (Jerman), yang kata-kata itu sebenarnya berarti penulis.
Contoh nama takson dengan penciptanya adalah seperti di bawah ini:
a) Rosaceae Juss.
b) Rosa L.
c) Rosa gallica L.
d) Adiantum lunulatum Burm. F.
Pada contoh-contoh di atas Rosaceae merupakan nama suku yang
diciptakan oleh de Jussieu (seorang ahli taksonomi Prancis), yang di situ
nama de Jussieu disingkat Juss. Contoh kedua nama marga Rosa yang
diciptakan oleh Lineus di singkat L. Begitu pula contoh ketiga yang
merupakan nama jenis ciptaan Linneus. Pada contoh keempat di belakang
nama Jenis Adiantum lumulatum Burm.f. yang merupakan kepanjangan
dari Burman filius yang berarti anaknya Burman atau Burman yang muda.
Dalam bahasa non-ilmiah f. (filius) biasa diganti dengan Jr. (junior).
Dalam pemberian nama takson tumbuhan dapat terlibat lebih dari
seorang, bila demikian semua orang yang terlibat tadi ikut di cantumkan
dan ditulis sedemikian rupa sehingga diketahui hubungan nama orang
yang satu dengan yang lain seperti dalam contoh-contoh berikut:
a) Impatiens holstii Engl. et Warb
Artinya nama jenis Impatiens hostlii diciptakan bersama oleh dua
orang yaitu Engler dan Warburg. Bila ada lebih dari dua orang terlibat
dalam pemberian nama suatu takson, maka di belakang nama takson
itu hanya disebut nama salah seorang disusul dengan kata et al
(singkatan dari et allies) yang berarti dengan sekutu-sekutunya.
b) Cinnamomun inners Reinw.ex Bl.
Artinya terjadinya nama jenis Cinnamomun iners terlibat dua orang,
pemberi nama pertama adalah Reinwardt (disingkat Reinw) tetapi yang
mempublikasikan adalah Blume (disingkat Bl.)
c) Myosotis L.emend. R.Br
Artinya marga Myosotus di ciptakan oleh L. (singkatan dari Linneus)
tetapi diadakan perubahan mengenai ciri-ciri diagnostiknya oleh R.Br.
(singktan dari Robert Brown). Kata emend adalh singkatan dari
emendavit yang artinya di ubah oleh.
d) Medicicago orbisularis (L.) Bartal.
Pada contoh ini nama orang yang di tempatkan dalam kurung adalh
nama orang yang pertama-tama emberikan nama yang didepannya,
sedang nama orang yang kedua tanpa tanda kurung adalah nama orang
yang melakukan perubahan kedudukan takson yang bersangkutan.
Pasal 46 KITT menyatakan bahwa pencantuman nama pencipta
bertujuan agar:
1) Nama ilmiah disebut dengan lebih akurat dan lebih lengkap.
2) Tersedia suatu sarana untuk melakukan verivikasi mengenai tanggal
publikasi nama dan memungkinkan seseorang yang berminat terhadap
takson itu membaca candra atau diagnosis orisinal yang dibuat oleh
pencipta nama tadi.
Seksi IV Bab IV Saran-saran umum mengenai sitasi.
Dalam hubungannya dengan masalah sitasi nama-nama dalam seksi ini
terdapat beberapa saran atau anjuran, antara lain:
1) Sitasi nama yang dipublikasikan sebagai sinonima, kata “sebagai
sinonima” atau “pro syn.” harus ditambahkan, dan bila seorang penulis
mempublikasikan sebagai sinonima nama dari suatu naskah tulisan lain
orang, dalam sitasi itu harus digunakan kata “ex” untuk
menghubungkan nama orang yang dikutip dan nama pengutipnya.
2) Dalam mengutip suatu “nama telanjang”, agar ditambahkan kata-kata
“nomen nodum” atau disingkat “nom. nud”.
3) Sitasi homonima yang lebih muda harus diikuti dengan nama pencipta
homonima yang lebih tua yang didahului dengan kata “non”.
4) Nama yang merupakan hasil identifikasi yang keliru, seyogyanya tidak
dimasukkan sebagai sinonima tetapi ditambahkan di belakangnya.
Penggunaannya harus ditunjukkan dengan kata-kata “auct. non” diikuti
oleh nama penciptanya yang asli dan rujukan pustaka yang memuat
identifikasi yang salah tadi.
5) Bila nama marga atau nama jenis diterima sebagai nama yang
dilestarikan di belakang nama-nama itu harus ditambahkan kata-kata
“nomen conservandum” yang biasnya disingkat dengan “nom. cons.”
e. Bab V : Retensi (pelestarian), pemilihan, dan penolakan nama serta
sebutan
Seksi I. pelestarian nama atau sebutan pada takson yang diubah
atau dipecah. Dalam KITT ada tiga pasal (51-53) yang memuat ketentuan-
ketentuan yang bertalian dengan masalah-masalah seperti tercermin dari
judul Bab IV dan Seksi I ini, yang berbunyi:
1) Perubahan cirri-ciri diagnostic atau sirkumskripsi suatu takson tidak
menjamin terjadinya perubahan namanya, kecuali bila hal itu dituntut
sebagai akibat adanya:
a) Pemindahan ke takson lain
b) Penggabungan dengan takson lain yang setinkat
c) Perubahan tingkt takson itu
2) Bila suatu marga dibagi menjadi dua marga atau lebih, nama marga
yang lama (bila nama marga itu merupakan nama yang benar harus
dipertahankan untuk salah satu marga baru yang merupakan
pecahannya), yaitu untuk tetap mencakup tipe tatanama marga yang
asli, sedang untuk pecahan yang lain harus ditemukan tipe tatanama
baru yang lain bagi masing-masing.
3) Bila suatu jenis dipecah menjadi dua jenis atau lebih, sebutan jenisnya
harus dipertahankan bagi pecahan yang sebagai tipe tatanamnya tetap
mempertahankan tipe tatanama seberlumnya.
Seksi II Retensi sebutan jenis atau takson lain di bawah tingkat
marga pada pemindahan ke marga lain (pasal-pasal 54-56). Bila bagian
suatu marga dipindahkan ke marga lain atau ditempatkan di bawah nama
lain untuk marga yang sama tanpa perubahan tingkat, sebutan untuk nama
yang benar sebelumnya harus dipertahankan, kecuali bila terdapat
perintang-perintang sebagai berikut:
1) Kombinasi nama yang terjadi merupakan suatu nama yang sebelumnya
telah dipublikasikan dengan sahih untuk suatu bagian marga yang
didasrkan pada tipe tatanama yang lain.
2) Terdapat sebutan untuk nama sah yang lebih tua
3) Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 21 dan 22 harus digunakan
sebutan yang lain.
Seksi III bab IV “pemilihan nama pada penggabungan takson yang
setingkat”. Seksi yang hanya memuat atas dua pasal ini (Pasal 57 dan 58),
memuat ketentuan-ketentuan yang menyatakan bahwa:
1) Bila dua takson atau lebih yang setingkat digabungkan, nama yang
harus dipakai untuk takson hasil penggabungan itu adalah nama tertua
yang sah dari nama-nama takson yang digabungkan itu.
2) Untuk hasil penggabungan dua takson atau lebih (yang merupakn
takson di bawah tingkat marga) nama yang harus digunakan adalah
nama dengan sebutan yang tertua dan sah.
Seksi V Pemilihan nama pada perubahan tingkat takson. Seksi ini
terdiri atas dua pasal (60-61), dan antara lain memuat butir-butir berikut:
1) Dalam keadaan yang bagaimanapun prioritas suatu nama tidak dapat
dipersoalkan di luar tingkatnya.
2) Bila suatu takson tingkat suku atau di bawahnya diubah ke tingkat
pada tingkat yang baru itu, dan bila hal itu tidak ada, nama sebelumnya
dapat dipertahankan dengan mengganti akhirannya agar sesuai dengan
ketentuan yang berlaku untuk nama takson di tingkatnya yang baru itu.
Seksi VI Penolakan nama dan sebutan. Seksi ini terdiri atas
sejumlah pasal (Pasal 62-72), dan di antara butir-butir yang penting
adalah:
1) Sebutan atau nama yang sah tidak dapat ditolak hanya karena nama
atau sebutan itu dianggap tidak tepat atau tidak dapat diterima, atau
karena ada nama atau sebutan lain yang lebih disukai atau lebih
dikenal.
2) Nama-nama jenis atau suatu bagian di bawah marga yang ditempatkan
di bawah suatu marga, yang namnya merupakan homonima lebih muda
yang dilestarikan, dan yang sebelumnya ditempatkan pada marga
dengan nama yang merupakn homonima yang ditolak, nama marga
yang merupakan homonima yang dilestarikan adalah nama yang sah
tanpa perubahan nama penciptanya, selama di bawah ketentuan itu
tidak ada lain penghalang.
3) Suatu nama merupakan nama yang tidak sah dan oleh karena iru harus
ditolak, bila nama itu pada waktu dipublikasikan merupakan nama
yang berlebihan.
4) Suatu homonima, yaitu nama dengan ejaan yang persis sama dengan
nama yang telah digunakan untuk takson lain dengan tipe ttanama
yang berbeda, merupakan nama yang tidak sah dan harus ditolak,
kecuali bila homonima yang lebih muda itu merupakan nama yang
dilestarikan atau diakui karena misalnya telah lama biasa dipakai atau
dikenal.
5) Dua nama marga atau lebih, demikian pula nama jenis atau takson di
bawah tingkat jenis, dengan tipe tatanama yang berbeda, tetapi
memiliki nama yang sangat mirip sehingga besar kemungkinannya
untuk terjadinya kekeliruan.
6) Nama-nama bagian suatu marga yang sama atau dua takson di bawah
satu jenis yang tergolong dalam jenis yang sama, meskipun bagian-
bagian itu terholong dalam takson yang berbeda tingkatnya,
diperlakukan sebagai homonima bila nama-nama tadi mempunyai
sebutan yang sama dan tidak didasrkan pada tipe tatanama yang sama.
7) Bila dua homonima atau lebih mempunyai prioritas yang sama,
homonima pertama yang diterima oleh seorang penulis dan sekaligus
menolak homonima yang lain, diperlakukan sebagai homonima dengan
prioritas paling tinggi dan harus dipertahankan.
8) Pertimbangan mengenai homonima tidak berlaku untuk nama takson
yang tidak diperlakuakn sebagai tumbuhan.
9) Nama suatu bagian marga merupakan nama yang tidak sah dan harus
ditolak bila nama itu dipublikasikan bertentangan dengan pasapl-pasal
yang menyatakan bahwa pwnulis tidak menggunakan sebutan yang
tersedia pada nama yang sah yang tertua untuk takson yang
bersangkutan.
10) Nama suatu jenis tidak dapat dinyatakan tidak sah hanya karena
sebutannya pernah digunakan dalam kombinasi nama yang tidak sah.
11) Suatu nama dapat dianggap sebagai nama yang ditolak, bila nama itu
secara luas dan terus-menerus digunakan untuk takson yang tidak
mencakup tipe tatanamanya.
12) Nama-nama yang ditolak harus diganti dengan nama yang dalam
tingkat takson yang bersangkutan mempunyai prioritas.
f. Bab VI : Penulisan (ejaan) nama-nama dan sebutan yang benar dan
kelamin (gender) nama-nama marga
Seksi I Penulisan (ejaan) nama dan sebutan yang benar. Seksi I bab
VI terdiri atas tiga pasal (73-75) memuat hal yang sesuai dengan judulnya
menyangkut penulisan nama-nama serta sebutan-sebutan dengan cara yang
tepat.
1) Ejaan asli suatu nama atau sebutan harus dipertahankan, kecuali bila
terdapat salah ketik/cetak atau salah eja.
2) Kebebasan untuk membetulkan penulisan nama yang salah harus
dilakukan dengan hati-hati, lebih-lebih bila perbaikan itu akan
berpengaruh terhadap suku kata pertama, dan lebih dari itu
mempengaruhi huruf pertama suatu nama.
3) Bila suatu nama atau sebutan dipublikasikan dalam suatu karya yang
huruf u dengan v, i dengan j, digunakan secara bergantian, seyogyanya
dipilih yang menurut kelaziman dalam praktek lebih banyak
digunakan.
4) Dalam penulisan nama-nama ilmiah tidak digunakan tanda-tanda
diakritik.
5) Penggunaan bentuk kata majemuk yang salah dalam suatu sebutan
diperlakukan sebagai salah ejaan yang harus dibetulkan.
6) Penggunaan tanda hubung dalam suatu sebutan yang merupakan kata
majemuk dengan awalan yang tidak dapat berdiri sendiri diperlakukan
sebagai kesalahan ejaan yang harus dibetulkan.
7) Sebutan jenis dan takson di bawah tingkat jenis yang terdiri atas dua
kata yang dapat berdiri sendiri harus ditulis dengan tanda penghubung
atau digabung menjadi satu kata.
Seksi II Bab VI Jenis kelamin (gender) nama-nama marga. Kata-
kata benda menurut tata bahasa Latin mempunyai satu di antara tiga
kemungkinan jenis kelamin, yaitu: jantan (masculinum), betina (feminum),
banci (neutrum). Karena nama marga merupakan kata benda, maka nama-
nama marga pun mempunyai jenis kelamin, yang sesuai dengan kaidah
tata bahasa Latin.
Nama-nama Hibrida. Khusus untuk tumbuhan yang merupakan
hibrida ketentuan-ketentuan yang mengatur tatanamanya terdapat sebagai
salah satu Lampiran KITT yang dalam KITT hasil Muktamar Internasional
ke-XIII di Sidney memuat 12 pasal dengan kode H.
1) Pada nama hibrida, sifat hibrida dicirikan dengan tanda perkalian (x)
atau dengan penggunaan awalan “notho”, yang berasal dari bahasa
Yunani “nothos”=hibrida atau bastar.
2) Hibrida antara dua takson yang diketahui namanya dapat ditunjukkan
dengan menempatkan tanda perkaian di antara kedua nama takson
yang menghasilkan hibrida itu.
3) Hibrida yang berasal dari dua takson atau lebih dapat diberi nama
tersendiri (bukan formula). Sifatnya sebagai hibrida juga dicirikan
dengan penempatan tanda perkalian (x)

2.4 Klasifikasi Pada Tumbuhan

Klasifikasi adalah proses pengaturan tumbuhan dalam


tingkat-tingkat kesatuan kelasnya yang sesuai secara ideal.
Menurut Rideng (1989) klasifikasi adalah pembentukan
takson-takson dengan tujuan mencari keseragaman dalam
keanekaragaman. Dikatakan pula bahwa klasifikasi adalah
penempatan organisme secara berurutan pada kelompok
tertentu (takson) yang didasarkan oleh persamaan dan
perbedaan. Sedangkan (Tjitrosoepomo, 1993) mengatakan
bahwa dasar dalam mengadakan klasifikasi adalah
keseragaman, kesamaan-kesamaan itulah yang dijadikan
dasar dalam mengadakan klasifikasi. Jadi setiap kesatuan
taksonomi mempunyai sejumlah kesamaan sifat dan ciri.
Kesatuan taksonomi yang anggotanya menunjukkan
kesamaan sifat dan ciri yang banyak tentulah merupakan
unit kesatuan taksonomi yang lebih kecil dibandingkan
dengan kesatuan taksonomi yang anggotanya menunjukkan
kesamaan yang lebih sedikit. Klasifikasi ini dicapai untuk
menyatukan golongan-golongan yang sama dan memisahkan
golongan-golongan yang berbeda. Hasilnya merupakan
proses pengaturan yaitu suatu sistem klasifikasi.

1) Pinus ( Pinus Merkusii )


Klasifikasi Tumbuhan Pinus (Pinus Merkusii)
Yaitu :
Kingdom : Plantae
Divisi : Coniferophyta
Kelas : Pinopsida
Ordo : Pinales
Famili : Pinaccea
Genus : Pinus
2) Rambutan ( Nephelium Lappaceum )
Klasifikasi Tumbuhan Rambutan (Nephelium Lappaceum)
Yaitu :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Famili : Sapidaceae
Genus : Nephelium L.
Spesies : Nephelium Lappaceum L
3) Melinjo ( Gnetum Gnemon )
Klasifikasi Tumbuhan Melinjo (Gnetum Gnemon)
Yaitu :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Kelas : Gnetopsida
Orda : Ephedrales
Famili : Genetaceae
Genus : Gnetum L
Spesies :Gnetum Gnemon L

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penamaan (nomenklatur) merupakan terjemahan dari kata Nomenclature
yang berasal dari bahasa latin yaitu : nomen (nama) dan clature (menyebut). Jadi
penamaan berarti menyebut nama dan memberi nama kepada semua organisme
dalam berbagai takson (tingkatan). Nama untuk makhluk hidup sebetulnya telah
diberi semenjak dahulu kala. Nama yang diberikan itu adalah nama dalam bahasa
induk orang yang memberi nama, dengan demikian nama yang diberikan untuk
satu jenis organisme berbeda-beda sesuai dengan bahasa orang yang
memberikannya.Ketentuan dalam pemberian nama-nama takson adalah menurut
tingkatnya (kategori): Spesies-Genus-Famili-Ordo-Kelas-Divisio.K

Kode Internasional Tatanama Tumbuhan merupakan peraturan


internasional yang mengatur tatanama ilmiah tumbuhan. Tujuan diciptakannya
KITT adalah untuk menyediakan metode yang mantap dalam pemberian nama
takson-takson tumbuhan dengan menghindarkan dan menolak penggunaan nama-
nama yang dapat menimbulkan kekeliruan atau keraguan atau mengacaukan ilmu
pengetahuan.Pada bagian Mukadimah KITT memuat 10 butir yang penting. Kode
internasional Tatanama Tumbuhan mempunyai 6 asas. Pada bagian peraturan-
peraturan dan saran-saran KITT, bagian ini terdiri atas 75 pasal yang
dikelompokkan dalam sejumlah bab dan setiap bab selanjutnya dapat dibagi lagi
dalam seksi.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Arwin dan Tri Jalmo. 2002. Biologi Umum. Lampung : Universitas
Lampung
Anonim. 2013. KITT. http://e-dukasi .net/mapok/mpfull. Diakses pada tanggal 09
Oktober 2015
Anonim. 2014. Kode Internasional Tatanama Tumbuhan. http://id.wikipedia.org/.
Diakses pada tnggal 09 Oktober 2015
Anonim. 2010. Keanekaragaman Hayati..http://www.e-dukasi.net/ Diakses pada
tanggal 09 Oktober 2015

Hasnunidah, Neni. 2007. Buku Ajar Botani Tumbuhan Rendah. Lampung :


Universitas Lampung
Junaidi, Wawan. 2009. SISTEM TATA NAMA MAKHLUK HIDUP. http://wawan-
junaidi.blogspot.com. Dikases pada tanggal 09 Oktober 2015

Naiola, B. Paul. 1986. Tanaman Budidaya Indonesia, Nama Serta Manfaatnya.


Jakarta: CV. Yasaguna.

Pudjoarinto, Agus dkk. 1994. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta: Fakultas


Biologi Universitas Gajah Mada

Sulastri, Sri dkk. 2004. Taksonomi Tumbuhan Rendah. Jakarta : Pusat penerbitan
Universitas terbuka

Tjitrosoepeomo, G. 1991. Taksonomi Umum.Yogyakarta : Gadjah Mada


University Press
Van CGGJ, Steenis.1978. Flora, untuk sekolah di Indonesia. Jakarta: PT Pradnya
Paramitha.

Anda mungkin juga menyukai