Pembimbing :
Pembimbing I : Dra. Ratna Dewi W., M.Si
Pembimbing II : Erna Heryanti, S.Si, M.Si
Kelompok 18 :
Jihan Nuraini 3415150907
Halimah Nur Hidayah 3415150000
Hasna Hanifah 3415154810
Raghib Azri Krisna 3415151099
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu daerah yang terdapat di Bali yaitu Cagar Alam Batukahu yang
merupakan bentuk kawasan hutan konservasi, artinya kawasan ini memiliki fungsi
untuk perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan kawasan serta tempat berbagai jenis
flora dan fauna. Cagar Alam Batukahu terletak pada kisaran ketinggian antara 1.060-
2.089 m dpl, dan sebagian besar wilayahnya berdekatan dengan lokasi Kebun Raya
”Eka Karya” Bali seperti kawasan Bukit Tapak dan Bukit Lesung. Cagar alam ini
merupakan salah satu bentuk hutan hujan tropis yang masih tersisa di antara sekian
banyak hutan tropis Indonesia yang telah rusak. Potensi keanekaragaman hayati yang
dikandungnya memiliki peran dan posisi yang penting dalam peta biodiversitas
Indonesia. Jenis-jenis flora yang terdapat di dalam Cagar Alam ini tercatat sebanyak 45
3
jenis dan yang termasuk tumbuhan langka adalah Dacrycarpus imbricatus atau dikenal
dengan nama lokal cemara pandak (Anonim, 2005 dalam Sutomo 2009). Adapun tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman dan pola
persebaran gymnospermae yang terdapat di Cagar Alam Batukahu.
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
Penelitan ini bermanfaat dalam upaya konservasi alam yang diharapkan dapat
digunakan sebagai media informasi dasar tentang keberadaan Tumbuhan
Gymnospermae di Cagar Alam Batukahu Bali yang selanjutnya diharapkan dinas yang
bertanggung jawab dapat melindungi tanaman tersebut dari eksploitasi manusia.
4
A. Definisi-definisi Konseptual
A.1. Keanekaragaman Hayati
A.3. Gymnospermae
langsung jatuh pada bakal biji, dan jarak penyerbukan sampai pembuahan relatif
panjang (pembuahan tunggal) (Hasanudin, 2006).
B. Penelitian Relevan
2. Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendeskripsikan
tentang keanekaragaman dan pola persebaran jenis tumbuhan gymnospermae di Cagar
Alam Batukahu Bali. Penentuan lokasi penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling yaitu berdasarkan keberadaan tumbuhan gymnospermae yang dianggap
mewakili tempat tersebut. Penelitian dilakukan dengan pengamatan secara langsung
menggunakan metode Belt Transek. Menurut Fachrul (2007) Belt Transek adalah jalur
sempit melintang pada lahan yang akan dipelajari atau diselidiki.
7
Metode yang digunakan agar pengambilan sampel dapat merata adalah dengan
menentukan satu titik transek menggunakan patok. Belt transek dibentangkan secara
horizontal dari daerah penelitian dengan tempat tertentu yang dipilih secara acak,
kemudian dibagi menjadi 10 titik pengamatan dengan jarak 10m/titik pengamatan. Pada
masing-masing titik pengamatan disepanjang garis transek dibuat polt ukuran 10 x 10 m
(fase pohon); 5 x 5 m (fase pancang); 2 x 2 m (fase semai) (Gambar 2). Pengamatan
vegetasi pada tingkat pohon dan pancang meliputi identifikasi jenis, jumlah individu,
tinggi, dan diameter, sedangkan pada tingkat semai pengamatan hanya meliputi
identifikasi jenis dan jumlah individu.
Kusuma (1995) mengungkapkan, secara ekologis cukup penting untuk membedakan
tumbuhan ke dalam stadium pertumbuhan. Untuk keperluan kriteria ini yang dapat
digunakan adalah : Tingkat semai (seedling), yaitu tumbuhan yang mulai berkecambah
dengan tingginya kurang dari 20 cm. Tingkat pancang (sapling), yaitu tumbuhan yang
tingginya kurang dari 1,5 meter dengan diameter kurang dari 10 cm. Tingkat pohon
(trees), yaitu tumbuhan yang tingginya lebih dari 1,5 meter dengan diameter lebih dari
10 cm.
2. Data Sekunder : Data yang diperoleh secara tidak langsung dari Cagar Alam
Batukahu Bali.
H‘ = − ∑𝑆𝑖=1 pi In pi
Keterangan :
Analisis Morisita adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menentukan penyebaran populasi. Metode ini bertujuan untuk mengetahui apakah pola
persebaran tumbuhan gymnospemae termasuk acak, seragam atau berkelompok. Indeks
ini tidak dipengaruhi oleh luas stasiun pengambilan sampel dan sangat baik untuk
membandingkan pola pemencaran populasi (Soegianto, 1994). Menurut Suin (2003)
pola persebaran individu suatu jenis pada tingkat pertumbuhan dihitung menggunakan
rumus Indeks Penyebaran Morisita sebagai berikut:
Σ x² − N
Id = n
N( N − 1)
Keterangan:
DAFTAR PUSTAKA
BKSDA [Balai Konservasi Sumber Daya Alam] Bali. (2017). Cagar Alam Batukahu.
https://www.ksda-bali.go.id/kawasan-hutan/kawasan-konservasi/cagar-alam-
batukahu/ .Diakses pada 22 Februari 2018.
Fachrul, M. F. (2007). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta : Bumi Aksara.
Hasanuddin. (2006). Taksonomi Tumbuhan Tinggi. Banda Aceh: Universitas Syiah
Kuala.
Ibrahim. (2009). Keanekaragaman Gastropoda Pada Daerah Pasang Surut Kawasan
Hutan Mangrove Kota Tarakan dan Hunungan Antara Pengetahuan, Sikap
dengan Manifestasi Perilaku Terhadap Pelestariannya. Tesis, Malang:
Universitas Negeri Malang Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan
Biologi.
Kusuma. (1995).Teknik Pengukuran Keanekaragaman Tumbuhan.Pelatihan Teknik dan
Monitoring Biodiversity di Hutan Tropika Indonesia. Bogor : Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Lakitan, Benyamin. (2011). Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: R. Grafindo.
LIPI [Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia]. (2014). Kekinian Keanekaragaman Hayati
Indonesia. Kerjasama Kementerian PPN/Bappenas, KLH dan LIPI. LIPI Press.
Bogor.
Mochamad, Indrawan, dkk,. (2007). Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obat
Indonesia.
Sudarsono. (2005). Taksonomi Tumbuhan Tingkat Tinggi. Malang: Universitas Negeri
Malang.