Anda di halaman 1dari 12

STRUKTUR KOMUNITAS ARTHROPODA DI AREA TANAMAN KUBIS

SENTRA PERKEBUNAN SUMBERBRANTAS BATU JAWA TIMUR

Fatchur Rohman 1 , Sofia Ery Rahayu 2


1
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang
2
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang

fatroh_ongs@yahoo.com

ABSTRAKS
Keanekaragaman hayati Arthropoda yang berperan sebagai predator sangat banyak
jumlahnya dan beragam. Interaksi antara tumbuhan dan insekta saling menguntungkan.
Sebelum menemukan jenis Arthropoda mana yang termasuk predator perlu dilakukan kajian
struktur komunitas Arthropoda yang hidup di suatu habitat tertentu. Dengan demikian
penelitian ini bertujuan untuk mengungkap komposisi, keanerkaragamn dan kemerataan
Arthropoda yang ditemukan di Area Tanaman Kubis di Sentra Perkebunan Sumberbrantas
Batu Jawa Timur. Kajian struktur komunitas Arthropoda di kebun kubis dilakukan dengan
metode Pitfall trap, Yelow sticky trap, dan Swingnet. Tingkat keanekargaman Arthropoda
yang ditemukan dapat dilihat berdasarkan penghitungan indeks tingkat keanekaragaman dan
nilai kemerataan jenis Arthropoda. Nilai indeks keanekaragaman (H’) sebesar 2.167,
artinya bahwa tingkat keanekaragamannya termasuk kategori sedang (Begon, et al, 1986).
Kemerataan jumlah individu dari setiap jenis Arthropoda yang ditemukan termasuk rendah,
ditunjukkan denga nilai kemerataan sebesar 0,021.Kemerataan termasuk tinggi apabila nilai
kemerataan mendekati nilai 1. Jenis Arthropoda yang ditemukan sebagai predator hama
aphid di tanaman Kubis adalah Menochilus sexmaculata dan Coccinela tranversalis.
Kedua jenis serangga predator tersebut termasuk dalam suku Coccinellidae. Selanjutnya
kedua jenis predator tersebut akan di uji preferensi/ketertarikannya pada jenis tumbuhan
gulma dominan yang ditemukan dari analisis struktur komunitas tumbuhan gulma.

Kata kunci: struktur komunitas, arthropoda, tanaman kubis, mikrohabitat

PENDAHULUAN

Beberapa penelitian dan informasi berkaitan dengan musuh alami serangga hama pada
beberapa tanaman budidaya telah cukup banyak dipublikasikan. Smith & Papacek (1991
dalam Landis, et al. 2000) melaporkan tumbuhan ”Rhodes grass” (Chloris gayana Kunth.)
merupakan mikrohabitat bagi ”mite” Amblyseius victoriensis (Womersly), suatu predator
hama tanaman Citrus aurantium L. Tegolophus australis Keifer. Bowie et al. (1999 dalam
Landis, et al., 2000) melaporkan bahwa tumbuhan Brassica napus L. dapat dijadikan
mikrohabitat bagi Syrphid dewasa, suatu predator dari aphid Rhopalosiphum padi (L.).

Penelitian Rohman, dkk., (2007a) menemukan komposisi Arthropoda pada tumbuhan


liar/gulma di kebun teh Wonosari Kabupaten Malang meliputi 47 taksa Artropoda yang
terbagi atas 40 taksa insekta terdiri 22 famili dan 7 taksa Arachnida terdiri 3 famili. Diantara
Arthropoda yang ditemukan berstatus sebagai musuh alami seperti anggota kelompok famili
Coccinelidae, Gryllidae, Lycosidae, dan Oxyopidae. Penelitian Rohman, dkk., (2007b) yang
lain menunjukkan bahwa beberapa predator (famili Coccinellidae, Mantidae, Lycosidae, dan
Oxyopidae) cenderung tertarik pada beberapa tumbuhan liar/gulma di sekitar kebun teh
seperti Borreria repen DC., Bidens pilosa L., Centella asiatica (L.) Urb. Interaksi antara
tumbuhan dan insekta saling menguntungkan. Insekta dapat melangsungkan proses
penyerbukan pada tumbuhan, insekta ”Syrphid flies” memperoleh nektar (Nentwig, 1998),
tumbuhan inang bagi beberapa aphid dan tumbuhan juga menyediakan makanan tambahan
”Coccinellid beetless” (Stary & Gonzales 1991), atau bentuk arsitektur tumbuhan
mempermudah laba-laba membuat sarang (Jennings 1971; Nentwig, 1998).
Keanekaragaman hayati Arthropoda yang berperan sebagai predator sangat banyak
jumlahnya dan beragam. Interaksi antara tumbuhan dan insekta saling menguntungkan.
Sebelum menemukan jenis Arthropoda mana yang termasuk predator perlu dilakukan kajian
struktur komunitas Arthropoda yang hidup di suatu habitat tertentu

METODE PENELITIAN

Kajian tentang struktur komunitas Arthropoda predator di kebun kubis dilakukan


dengan menerapkan metode Pitfall trap, Yelow sticky trap, dan Swingnet. Pengambilan data
dengan menggunakan Pitfall trapdigunakan untuk menangkap Arthropoda pada permukaan
tanah. Pitfall trap yang digunakan sebanyak 70 buah dan diletakkkan secara acak pada lahan
tanaman kubis dengan luas lahan 100m X 70m. Pitfall trap dipasang pada lahan pengambilan
sampel selama 2 X 24 jam. Artropoda tanah yang masuk dalam perangkap kemudian di
identifikasi dan diklasifikasikan berdasarkan fungsi ekologisnya.
Pengambilan data dengan menggunakan jebakan warna “(Yellow sticky trap)”
dilakukan untuk menangkap Artropoda yang berada di kanopi tanaman.Yellow sticky
trapdiletakkan pada 22 titik yang tersebar secara diagonal pada lahan tanaman kubis.Yellow
sticky trapdiletakkan ke pancang kayu (1,5-2 m diatas tanah) ditingkat kanopi tanaman.
Sebanyak 4 buah yellow sticky trap dipasang ditengah-tengah titik sampling sesuai dengan
arah angin (Utara, Selatan, Timur, Barat), yellowsticky trap dipasang selama 24 jam di
lapangan dimulai 07.00.
Pengambilan data dengan menggunakan swingnetdigunakan untuk menangkap
Artropoda terbang (Aeria). Pengambilan dilakukan dengan cara mengayunkan jaring serangga
diatas tanaman kubis sebanyak sepuluh kali, Artropoda yang tertangkap selanjutnya di
masukkan dalam botol sampel untuk kepentingan identifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keanekaragaman dan kemerataan sebagai aspek yang dapat menggambarkan struktur
komunitas Arthropoda di sekitar tanaman Kubis di desa Sumberbrantas Batu disajikan pada
Tabel 1. Aspek yang dapat menggambarkan keadaan struktur komunitas Arthropoda adalah
dapat dijelaskan dengan melihat keadaan keanekaragaman dan kerataan Arthropoda yang
diamati. Tingkat keanekargaman Arthropoda yang ditemukan dapat dilihat berdasarkan
penghitungan indeks tingkat keanekaragaman dan nilai kemerataan jenis Arthropoda yang
ditemukan.Hasil perhitungan indeks keanekaragaman dan kemerataan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perhitungan Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Arthropoda yang
Ditemukan di Lahan Tanaman Kubis Sumber Brantas, Batu

No Nama Spesies jumlah dominansi pi ln pi pi ln pi

1 Soleonopsis sp. 30 29.70 0.29 -1.21 -0.36


Menochilus
2 10 9.90 0.09 -2.31 -0.22
sexmaculata
Neucortilla
3 8 7.92 0.07 -2.53 -0.20
hexadactyla
4 Spenophorus sp. 11 10.89 0.10 -2.21 -0.24
5 Opthius sp. 3 2.97 0.02 -3.51 -0.10
Coccinela
6 7 6.93 0.06 -2.66 -0.18
tranversalis
7 Colydiidae 5 4.95 0.04 -3.01 -0.14
8 Trechus pulchellus 3 2.97 0.02 -3.51 -0.10
9 Scleriphron sp. 9 8.91 0.08 -2.41 -0.21
10 Syrphinae sp. 5 4.95 0.04 -3.01 -0.14
11 Trypoxilon sp. 10 9.90 0.09 -2.31 -0.22
Jumlah 101 2.16
Keanekaragaman (H’) 2.16
Kemerataan (E) 0.02

Berdasarakan Tabel 1 diperoleh nilai indeks keanekaragaman (H’) sebesar 2.16,


artinya bahwa tingkat keanekaragamannya termasuk kategori sedang (Begon, et al, 1986).
Kemerataan jumlah individu dari setiap jenis Arthropoda yang ditemukan termasuk rendah,
ditunjukkan denga nilai kemerataan sebesar 0,02. Kemerataan termasuk tinggi apabila nilai
kemerataan mendekati nilai 1 (Begon, et al., 1986). Jenis Arthropoda yang ditemukan
sebagai predator hama aphid di tanaman Kubis adalah Menochilus sexmaculata danCoccinela
tranversalis (Rahayu dkk., 2012). Kedua jenis serangga predator tersebut termasuk dalam
suku Coccinellidae. Kalshoven (1991) mengemukakan bahwa kebanyakan jenis jenis dalam
suku Coccinellidae pada umunya memiliki peran sebagai predator. Selanjutnya kedua jenis
predator tersebut akan di uji preferensi/ketertarikannya pada lima jenis tumbuhan gulma
dominan yang ditemukan dari analisis struktur komunitas tumbuhan gulma. Jenis Jenis
Arhtropoda yang Ditemukan di Lahan Tanaman Kubis Sumber Brantas, Batu disajikan dalam
Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa Jenis Arhtropoda yang Ditemukan di Lahan Tanaman Kubis


Sumber Brantas, Batu

No Gambar Deskripsi jumlah


Tubuh terbagi atas 3 bagian (kepala,
torak, dan
abdomen), panjang tubuh 1mm, tubuh
1 dominan 30
berwarna merah, bentuk kepala segitiga,
memiliki
Soleonopsis sp. 3 pasang kaki, antena 12 ruas.

Panjang seluruh tubuh 4,7mm, berwarna


merah muda mengkilat, tubuh cembung,
2 bergaris seperti salib hitam pada bagian 10
dorsal, corak pronotum seperti huruf W
dan memiliki tiga ruas tarsus yang jelas
Menochilus
sexmaculata

Tubuh berwarna kehitaman, memiliki


kulit pelindung yang tebal, memiliki
3 sepasang tungkai depan termodifikasi 8
berbentuk cangkul untuk menggali
Neucortilla tanah, tipe kaki fossarial
hexadactyla
Panjang tubuh 4-6mm, memiliki
sungut, elytra bermotif titik-titik pada
4 garis, berwarna hitam dengan corak 11
coklat muda, bagian torak terlihat ada
cekungan
Sphenophorus sp.
Bagian kepala berbentuk bulat lonjong,
mata
berwarna hitam, antena 12 ruas, bagian
torax kecil terlihat menyatu dengan
5 abdomen, dibagian abdomen elytra 3
berwarna hitam mengkilap dan
Opthius sp. bergerigi, memiliki 3 pasang kaki jalan,
panjang tubuh seluruhnya 2mm, tubuh
seluruhnya berwarna hitam mengkilap.
Panjang seluruh tubuh 5mm, berwarna
orange, tubuh cembung, bergaris seperti
6 salib hitam pada bagian dorsal, corak 7
pronotum hamper memenuhi dan
memiliki tiga ruas tarsus yang jelas
Coccinela
tranversalis

Panjang seluruh tubuh 4mm, berwarna


7 coklat kehitaman, tubuh kasar, 5
Pronotum berbentuk persegi
Colydiidae
Bagian kepala berbentuk segitiga, mata
warna
hitam menonjol dan bulat terlihat jelas,
memiliki antena dengan 9 ruas, bagian
torak melengkung seperti tempurung,
8 memiliki 3 pasang kaki jalan berwarna 3
coklat kekuningan, elytra bergaris-garis
Trechus pulchellus berwarna hitam mengkilap menutupi
seluruh bagian abdomen, panjang tubuh
seluruhnya 3mm, warna tubuh hitam
mengkilap
Tubuh terdiri atas kepala, torak sdan
abdomen, kepala berbentuk segitiga
jumlah ruas antenna sebanyak 12,
9 9
memiliki 3 pasang kaki, panjang tubuh
2mm, warna tubuh hitam dan orientasi
kuning pada bagian kaki
Scleriphron sp.
Panjang tubuh seluruhnya ±1mm,
memiliki 3
pasang kaki, pada kepala antena 3
10 segmen, 5
aristate, jari-jari sayap radius bercabang,
sel anal pada sayap terletak dekat tepi
sayap.
Syrphinae sp.
Tubuh terdiri atas kepala, torak sdan
abdomen, kepala berbentuk segitiga
11 jumlah ruas antenna sebanyak 12, 10
memiliki 3 pasang kaki, panjang tubuh
Trypoxilon sp. 2mm, warna tubuh kuning keemasan

Keberadaan musuh alami dalam agroekosistem mempunyai peran penting dalam


pengendalian hayati organisme pengganggu tanaman (OPT). Musuh alami serangga hama
merupakan agensia hayati yang berperan sebagai salah satu faktor pembatas peningkatan
padat populasi serangga hama. Pengendalian hama secara hayati memanfaatkan musuh alami
sebagai agensia yang menekan populasi hama. Secara ekologi, pengertian pengendalian hayati
adalah pengaturan yang dilakukan oleh musuh alami dalam mengendalikan populasi serangga
hama pada tingkat yang rendah (Nurindah dan Indrayani, 2002). Dengan demikian peran
penting musuh alami dalam agroekosistem adalah sebagai faktor mortalitas biotik utama bagi
perkembangan populasi serangga hama.

Salah satu kelompok biota dalam pengendalian hayati yang berperan sebagai musuh
alami penting adalah predator, parasitoid dan patogen (Bugg dan Pickett, 1998; Sosromarsono
dan Untung, 2000). Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan atau
memangsa binatang lainnya. Price (1997) dan Mudjiono (1996) mengemukakan ciri-ciri
umum predator sebagai berikut.

1) Laju pencarian ditentukan oleh laju pergerakan predator daripada oleh pergerakan
mangsanya dan reaksi penerimaan oleh predator. Kedua nilai tersebut dipengaruhi
oleh keadaan internal predator, yaitu kelaparan, keadaan fisik lingkungan, pengalaman
penangkapan, dan oleh ciri-ciri mangsa, yaitu ukuran tubuh dan warna,
2) Apabila pemilihan terhadap individu binatang mangsa dibentuk dari kelompok,
perbedaan yang sifatnya individual biasanya dirusak,
3) Predator tidak menyerang semua umur atau klas ukuran jenis mangsa dengan
frekuensi yang sama. Biasanya beberapa ukuran dan klas ukuran tertentu tahan
terhadap serangan predator.
4) Beberapa jenis predator menyerang hanya pada satu jenis, kebanyakan predator hidup
pada beberapa jenis mangsa. Frekuensi individu mangsa sebagai pakan ditentukan
oleh faktor-faktor berikut, yaitu:
a) frekuensi jenis mangsa di dalam lingkungan,
b) preferensi predator terhadap jenis mangsa,
c) kompetisi dengan predator yang lain, dan
d) sejauh mana mangsa tersebut menguntungkan bagi predator.
5) Laju penangkapan oleh predator adalah hasil dari hal-hal sebagai berikut:
a) unsur-unsur yang terdiri dari padat populasi mangsa, waktu yang tersedia untuk
mencari mangsa,
b) persentase serangan yang dihasilkan. Untuk kebanyakan predator derajat
keberhasilan lebih rendah dari yang dibayangkan.
6) Respon predator untuk berubah dalam padat populasi mangsa ditentukan oleh perilaku
makan predator, yaitu apabila respon terhadap jenis tunggal bersifat obligat, maka
banyaknya populasi predator yang berosilasi meningkat dengan meningkatnya
mangsa. Emigrasi dan imigrasi oleh predator dan terbebasnya mangsa pada stadia
tertentu dari serangan predator dapat mendukung kestabilan osilasi. Apabila predator
makan lebih dari 1 jenis, perubahan padat populasi salah satu mangsa dapat
menyebabkan terjadinya pergeseran dalam persentase komposisi pakan predator,
7) Predator bereaksi mengubah padat populasinya dengan cara yang sama sebagaimana
ditunjukkan oleh binatang lain ketika berkompetisi untuk kebutuhan yang umum,
8) Kompetisi di antara dua atau lebih jenis predator untuk memperoleh mangsa dapat
menurunkan efisiensi kedua jenis predator dan mengakibatkan perubahan dalam
persentase komposisi pakan kedua predator.
Jumar (2000) juga menyebutkan beberapa ciri dari predator sebagai berikut.

1) Predator dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsanya (telur, larva,


nimfa, pupa, dan imago)
2) Predator membunuh dengan cara memakan atau menghisap mangsanya secara cepat,
3) Seekor predator memerlukan dan memakan banyak mangsa selama hidupnya.
4) Kebanyakan predator bersifat karnifora, baik pada saat pradewasa maupun dewasa
(imago) dan memakan jenis mangsa yang sama atau beberapa jenis mangsa
5) Predator memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkankan dengan tubuh
mangsanya
6) Predator selain ada yang monofag, oligofag, dan polifag, ada juga yang omnifora,
yaitu sebagai pemakan bagian tertentu dari tanaman.

Serangga predator merupakan serangga yang memangsa serangga lain untuk


kelangsungan hidupnya. Lebih dari setengah jenis serangga di dunia memakan serangga yang
lain (Ross et al., 1982). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian dari jumlah jenis serangga
berperan sebagai predator. Ukuran predator biasanya lebih besar dibandingkan dengan
mangsanya. Biasanya yang bersifat pemangsa adalah pada stadia aktif (larva/nimfa dan
dewasa). Beberapa predator, terutama dewasanya, memakan nektar atau embun madu sebagai
makanan tambahan, bahkan beberapa kepik pemangsa juga mengisap cairan tanaman, tetapi
tidak menyebabkan kerusakan yang berarti (Nurindah & Indrayani, 2002).

Keanekaragaman hayati Arthropoda yang berperan sebagai predator sangat banyak


jumlahnya dan beragam. Banyak jenis tungau (Acari) dan Laba-laba bermata tajam (Araneae)
hidup sebagai predator, memangsa kelompok sendiri atau serangga (Sosromarsono dan
Untung, 2000). Setidaknya terdapat 27 familia tungau yang anggotanya hidup sebagai
predator atau parasit. Delapan familia diantaranya mempunyai jenis-jenis yang berpotensi
dimanfaatkan sebagai agensia hayati dalam pengendalian hayati arthtropoda hama tanaman,
yaitu familia Phytoseiidae, Stigmaeidae, Anystidae, Bdellidae, Cheyletidae, Hemisarcoptidae,
Laealptidae dan Macrochelidae. Familia Phytoseiidae adalah yang terpenting dan telah
banyak diteliti, serta telah digunakan dalam pengendalian tungau hama di lapangan di
beberapa negara (van Driesche & Bellows, 1996 dalam Sosromarsono dan Untung, 2000).
Kalshoven (1981); Sosromarsono dan Untung (2000) tidak banyak menguraikan tentang
tungau predator, hanya menyatakan jenis-jenis Phytoseiidae kini banyak mendapat perhatian,
khususnya karena merupakan predator tungau merah (Tetranychidae) hama penting berbagai
tanaman budidaya. Selain itu dinyatakan predator ini juga dapat memangsa perangkak
(crawlers) dan nimfa berbagai jenis kutu tanaman serta telur-telur serangga (trips, kupu-kupu,
ngengat). Dalam hubungan dengan tungau predator itu, Sosromarsono dan Untung (2000)
mengutarakan telah dipelajari tungau-tungau predator pemangsa tungau jingga teh
Brevipalpus phoenicis (Geysk.) (Tenuipalpidae) di beberapa perkebunan di Indonesia. Ia
menemukan 11 jenis tungau pemangsa tergolong dalam familia Phytoseiidae, 10 jenis dalam
familia Stigmaeidae, dan 1 jenis dalam familia Anthocoridae (Hemiptera).

Sosromarsono dan Untung (2000) menyebutkan semua jenis Laba-laba bermata


tajam adalah predator, khususnya pemangsa arthropoda serangga. Lebih lanjut dikemukakan
juga bahwa kelompok Laba-laba bermata tajam (Aranaeae) terbagi dalam 60 familia,
beberapa familia diantaranya dianggap penting sebagai predator serangga hama. Meskipun
Laba-laba bermata tajam umumnya predator generalis, namun mereka menunjukkan
kekhususan habitat. Oleh karena itu dapat dimanfaatkan dalam pengendalian serangga hama
pertanian dengan mengkonservasi jenis-jenis Laba-laba bermata tajam lokal melalui
konservasi habitatnya di ekosistem pertanian (Sosromarsono dan Untung, 2000).

Sosromarsono dan Untung (2000) berpendapat keanekaragaman hayati jenis serangga


predator dan parasitoid di Indonesia termasuk tinggi mengingat keanekaragaman habitat dan
serangga inangnya. Kalshoven (1981) mencatat lebih dari 230 jenis serangga predator dan
parasitoid yang tergolong dalam 8 ordo dan 49 familia. Familia Carabidae (Coleoptera),
kumbang tanah tercatat ada 7 jenis predator; familia Coccinellidae ((Coleoptera) ditemukan
32 jenis predator; dan familia Formicidae (Hymenoptera) terdapat 20 jenis predator dan bukan
predator. Sosromarsono dan Untung (2000) berpendapat apa yang telah disebutkan Kalshoven
(1981) itu pasti hanya sebagian saja dari seluruh fauna serangga predator dan parasitoid di
Indonesia. Jadi keadaan ini masih terbuka untuk dilakukan penelitian lanjut pada kondisi
agroekosistem yang beragam. Data empiris dan teknis mengenai hal ini perlu lebih banyak
diungkap untuk dasar pertimbangan menuju pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Beberapa fauna arthropoda dilaporkan ada juga yang berperan sebagai predator hama
Empoasca sp. Patang (2004) melaporkan kajian tentang potensi kemampuan memangsa
Laba-laba bermata tajam Plexippus sp. (Aranea, Salticidae) terhadap Wereng hijau Empoasca
sp. (Homoptera: Cicadellidae) di perkebunan teh Gambung-Ciwidey Jawa Barat. Nurindah et
al. (2005) melaporkan Laba-laba bermata tajam dan Paederus sp. yang ditemukan di area
kebun kapas (indiginous) merupakan predator potensial terhadap serangga hama kapas
Amrasca (sinomim dengan Empoasca) biguttula (Homoptera: Cicadellidae). Takafuji dan
Amano (2001) mengungkapkan bahwa suatu predator yakni Amblyseius womersleyi
(Phytoseiid mite) mampu menekan hama tanaman teh ”Spider mite”. Musuh alami lokal
(indiginous) telah diketahui sebagai agensia hayati yang sangat berpengaruh dalam
pengendalian hama (Nurindah et al., 2005).

Interaksi predator dengan mangsa membentuk hubungan yang timbal balik.


Tarumingkeng (1994) dan Mudjiono (1996) mengemukakan asumsi model predasi Lotka-
Volterra adalah sebagai berikut:

1) dalam keadaan tidak ada predator, lingkungan hidup populasi mangsa sangat ideal
sehingga perkembangannya mengikuti model pertumbuhan eksponensial,
2) pertumbuhan predator juga berlangsung ideal kecuali hanya apabila populasi mangsa
sebagai pakan dalam keadaan terbatas,
3) laju predasi proporsional dengan laju perjumpaan antara predator dengan mangsanya,
4) laju kematian predator adalah konstan tidak tergantung pada kepadatan dan umur
predator,
5) efisiensi pemangsaan tak tergantung umur mangsa dan umur predator,
6) efisiensi penggunaan mangsa sebagai makanan predator untuk keperluan bereproduksi
adalah konstan dan tidak tergantung umur mangsa, dan kerapatan mangsa,
7) gerakan dan kontak mangsa dan predator berlangsung secara acak, artinya setiap
individu mangsa memiliki peluang yang sama untuk dimangsa oleh predator,
8) waktu yang digunakan oleh predator untuk makan mangsa diabaikan,
9) kepadatan mangsa tidak mempengaruhi peluang pemangsaan,

10) kepadatan predator tidak mempengaruhi peluang bagi predator untuk menangkap
mangsa dan
11) keadaan lingkungan adalah homogen.
KESIMPULAN

Tingkat keanekargaman Arthropoda yang ditemukan dapat dilihat berdasarkan


penghitungan indeks tingkat keanekaragaman dan nilai kemerataan.jenis Arthropoda yang
ditemukan. diperoleh nilai indeks keanekaragaman (H’) sebesar 2.167, artinya bahwa tingkat
keanekaragamannya termasuk kategori sedang (Begon, et al, 1986). Kemerataan jumlah
individu dari setiap jenis Arthropoda yang ditemukan termasuk rendah, ditunjukkan denga
nilai kemerataan sebesar 0,021.Kemerataan termasuk tinggi apabila nilai kemerataan
mendekati nilai 1. Jenis Arthropoda yang ditemukan sebagai predator hama aphid di tanaman
Kubis adalah Menochilus sexmaculata danCoccinela tranversalis.Kedua jenis serangga
predator tersebut termasuk dalam suku Coccinellidae.

DAFTAR PUSTAKA
Altieri, M.A. & W. H. Whitcomb. 1979. The potential use of weeds in the manipulation of
beneficial insects. HortScience14: 12-18.
Begon, M., J.L. Harper, and C.R. Townsed. 1986. Ecology: Individuals, Populations and
Communities, Blackwell Scientifics Publications. Oxford, London, Edinburgh,
Boston, Palo Alto, Melbourne. p. 583.
Bosch, J. 1987. Der Einfuss einiger dominter Ackerunkrauter auf Nutzund Schadarthropoden
in einem Zuckerrubenfeld.Zeitschift fur Pfanzenkrankheiten und Pflanzenschutz 94:
398-408.
Curry, J.P. 1976. The arthropod fauna of some common grass and weed species of pasture.
Proc. R. Irish Acad. B. 76: 1-35.
Frei, G. & C. Manhart. 1992. Nützlinge und Schadlinge an kunstlich angelegten
Ackerkrauststreifen in Getreidefeldern. Agrarökologie 4: 1-140.
Helenius, J. 1998. Enhanchement of Predation Through Within-field Diversivicatio, In. C.H.
Pickett and R.L. Bugg (ed.). Enhanching biological control, habitat management to
promote natural enemies of agricultural pests.University of California Press. Berkeley,
Los Angeles, London. pp. 121- 160.
Hickman, J. M. & S. D. Wratten. 1977. Use of Phacelia tanacetitolia (Hydrophyllaceae) as a
plooen source to enhance hoverly (Diptera: Syrphidae) population in cereal fields.
Journal of Economic Entomology89: 832 – 840.
Huffaker & Messenger, 1989.Theory and Practice of Biological Control.Academic Press, Inc.
(London) Ltd., 1976. Soeprapto Mangoendihardjo (penterjemah). 1989. Teori dan
Praktek Pengendalian Biologis. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. pp.
3 – 20.
Jennings, D.T. 1971. Pant associations of Misuminops coloradensis Gertsch (Araneae:
Thomisidae) in central New Mexico. Southw. Nat.16: 201 – 207.
Knauer. 1993. ökologie und landwirschaft, situatiom konflikte. Losungen. StutgartJenis
Arhtropoda yang Ditemukan di Lahan Tanaman Kubis Sumber Brantas, Batu
Landis, D.A., S.D. Wratten, and G.M. Gurr. 2000. Habitat Management to Conserve Natural
Enemies of Arthropoda Pests in Agriculture. In. M.R. Berenbaum, R.T. Carde, and
G.E. Robinson (ed.). Annual Review of Entomology.Volume 45, 2000.Annual
Reviews Palo Alto California USA. pp. 175-201.
Liang, W. & M. Huang. 1994. Influence of citrus orchad ground cover plant on arthropods
communities in China: E. review .Agricultur Ecosystem and Enviromental 50: 29 –
37.
Murphy, B.C., J.A. Resenheim, J. Granet, C.H. Pickett, and R.V. Dowell. 1998. Measuring
the Impact of a Natural Enemy Refuge: The Prune Tree/Vineyard Exmple. In. C.H.
Pickett and R.L. Bugg (ed.). Enhanching biological control, habitat management to
promote natural enemies of agricultural pests.University of California Press. Berkeley,
Los Angeles, London. pp. 297-309.
Nentwig, W. 1998. Weedy plant species and their benefecial arthropods: potential for
manipulation in field crops. In. C.H. Pickett and R.L. Bugg (ed.). Enhanching
biological control, habitat management to promote natural enemies of agricultural
pests.University of California Press. Berkeley, Los Angeles, London. pp. 49-71.
Nurindah, D.A. Sunarto, Subiyakto, Sujak, dan Suhadi. 2002. Upaya Peningkatan Populasi
Musuh Alami Hama Utama Kapas Melalui Manipulasi Habitat pada Pertanaman
Kapas, Laporan Kegiatan Penelitian Balai Penelitian Tanaman tembakau dan Serat.
Karangploso Malang. 70 p.
Perrin, R.M. 1975. The role of perennial stinging nettle Urtica dioica as a reservoir of
beneficial natural enemies. Ann. Appl. Biol. 81: 289-297.
Rohman, F., Fathurrachman, I.D. Maulina, 2007a.Keanekaragaman dan Kelimpahan
Artropoda pada Komunitas Tumbuhan Liar di Kebun Teh Wonosari Singosari
Kabupaten Malang. Laporan Penelitian.
Rohman, F., B. Yanuwiadi, M. Mukti, 2007b. Preferensi Kumbang Kubah (Coccinellidae),
Belalang Sembah (Mantidae), dan Laba-laba Srigala (Lycosidae) Terhadap Tumbuhan
Liar Borreria repens D.C., Biden pilaosa L., dan Centella asiatica (L.) Urb. Laporan
Penelitian.
Sosromarsono, S. & K. Untung. 2000. Keanekaragaman Hayati Arthropoda Predator dan
Parasit di Indonesia dan Pemanfaatannya, Makalah Simposium Keanekaragaman
Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian PEI. Bogor. 8 p.
Stary, P.& D. Gonzales. 1991. The chenopodium aphid Hayhurstia atriplicis (L).
(Homoptera: Aphididae), a parasitoid reservoir and a source of biocontrol agents in
pest management.J. Appl. Entomol.111: 243-248.
Takafuji, A & H. Amano. 2001. Biological Control of Insect Pest in Japan: A Control of
Multiple Pests of Tea, and Spider Mites in Greenhouses,
www.agnet.org/library/article/eb499a.html. April, 17 2006.
van Emden, H.F. 1965. The role of uncultivated land in the biology of crop pests and
beneficial insects. Sci. Hortic.17: 121-136.
Weiss, E. & C. Stettmer, 1991. Unkräuter in der Agrarlandschaft locken blüten besuchende
Nützlinge an. Agrarökologie1: 1 – 104.
Wingeier, T. 1992. Agraokonomische Auswirkungen von in Ackerflachen angesaten
Grunsteifen. Agrarökologie2: 1 -97.
Wratten, S.D., H.F. van Emden, and M.B. Thomas. 1998. Whitin-field and Bordr Refugia for
the Enhanchement of Natural Enemies. In. C.H. Pickett and R.L. Bugg (ed.).
Enhanching biological control, habitat management to promote natural enemies of
agricultural pests.University of California Press. Berkeley, Los Angeles, London. pp.
375-403.

Anda mungkin juga menyukai