Anda di halaman 1dari 42

EVOLUSI MOLEKULER

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah Evolusi Molekuler
yang dibina oleh Prof. Dr. agr. Mohamad Amin, S.Pd., M.Si

Disusun Oleh:

Didik Dwi Prastyo 180341863038


Fatma Rahmadhani 180341863056

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PENDIDIKAN BIOLOGI
Maret 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Evolusi molekuler secara umum membahas tentang RNA, DNA, analisis


filogenetik, dan evolusi organisme. Evolusi molekuler merupakan ilmu
pengetahuan yang muncul pada tahun 1960-an ketika peneliti dari bidang biologi
molekuler, biologi evolusi, dan genetika populasi berusaha memahami struktur
dan fungsi asam nukleat, serta protein yang baru ditemukan. Menurut Amin dan
Lestari (2012), genetika populasi menyediakan data landasan teori untuk studi
mekanisme evolusi, sementara biologi molekuler menyediakan data empiris.
Biologi molekuler merupakan bidang ilmu yang berkembang dari genetika
molekuler. Bahasan biologi molekuler meliputi semua aspek proses hidup yang
meliputi sifat yang diturunkan, ekspresi fenotip, fisiologi, perkembangan,
reproduksi, taksonomi, serta adaptasi dan interaksi makhluk hidup dengan spesies
lain. Dengan demikian, biologi molekuler merupakan bidang kajian yang
mengandung unsur biokimia dan biofisika; berusaha memahami sifat/karakter
protein yang berperan dalam ekspresi suatu sifat. Telaah asal usul manusia,
hewan, dan tumbuhan tingkat tinggi banyak dilakukan dengan teknik analisis
DNA mitokondria dengan pendekatan molekuler (Amin dan Lestari, 2012).
Evolusi molekuler meliputi empat bahasan utama, yaitu sebagai berikut.
A. Evolusi fisika, menjelaskan tentang peristiwa pembentukan bumi.
B. Evolusi kimia, menjelaskan tentang perkembangan dan pembentukan
atmosfer bumi, sintesis mikromolekul, makromolekul, serta penyebab dan
efek perubahan pada molekul.
C. Evolusi biologi, menjelaskan peristiwa terbentuknya sel pertama
(progenot) di bumi, dan akhirnya sel tersebut menjadi sel prokariot purba
seperti Archaebacteria dan Eubacteria, lalu akan berkembang menjadi
organismo eukariot, dari organisme bersel tunggal (uniseluler) hingga
organisme bersel banyak (multiseluler).
D. Molecular phylogeny, merupakan rekonstruksi sejarah evolusi gen dan
organisme. Molecular phylogeny menjelaskan sejarah evolusi organisme
dan makromolekul, seperti adanya keterlibatan data molekuler.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Evolusi Fisika
Pembentukan alam semesta diawali dari peristiwa Big Bang yang terjadi 20
milyar tahun yang lalu. Sekitar 15 milyar tahun sesudah peristiwa tersebut,
terbentuk gumpalan kabut raksasa yang berputar pada porosnya. Putaran
gumpalan kabut tersebut memungkinkan bagian kecil dan ringan terlempar ke
luar dan bagian besar berkumpul di pusat, membentuk cakram raksasa. Suatu
saat, gumpalan kabut raksasa meledak dengan dahsyat di luar angkasa yang
kemudian membentuk galaksi dan nebula-nebula. Selama jangka waktu lebih
kurang 4,6 milyar tahun, nebula-nebula tersebut membeku dan membentuk suatu
galaksi yang disebut Galaksi Bima Sakti, kemudian membentuk sistem tata surya.
Sementara itu, bagian ringan yang terlempar ke luar dari gumpalan kabut
mengalami kondensasi, sehingga membentuk gumpalan-gumpalan yang
mendingin dan memadat. Lebih lanjut, gumpalan-gumpalan tersebut membentuk
planet-planet, termasuk planet bumi. Pada saat itu, hidrogen dan helium
merupakan unsur penyusun utama planet bumi.
Selama ratusan juta tahun pertama, bumi masih terlalu panas untuk air
berwujud cair, sehingga H2O hanya tersedia dalam bentuk uap. Pada tahap
selanjutnya, saat temperatur bumi mulai menurun, molekul air dapat
berkondensasi hingga terbentuk danau dan lautan. Kehidupan di bumi
diperkirakan berasal dari berbagai reaksi kimia di atmosfer yang diikuti dengan
terjadinya berbagai reaksi di perairan purba tersebut.
B. Evolusi Kimia
Evolusi kimia menjelaskan tentang peristiwa perkembangan dan pembentukan
atmosfer bumi, sintesis mikromolekul, makromolekul, serta penyebab dan efek
perubahan pada molekul. Atmosfer yang pertama kali terbentuk disebut dengan
atmosfer primer. Atmosfer primer hanya tersusun atas hidrogen dan helium.
Hidrogen dan helium memiliki massa yang ringan, sehingga mudah hanyut ke luar
angkasa. Pada tahap selanjutnya, terbentuk atmosfer sekunder yang terbentuk dari
semburan gunung berapi. Semburan gunung berapi mengandung 95% uap air dan
sisanya adalah berbagai senyawa, seperti CO2, SO2, H2S, HCl, belerang, H2, CH4,
SO3, dan NH3. Pada masa itu, oksigen belum terbentuk. Uap air yang tersebar di
atmosfer dapat bereaksi dengan beragam mineral purba, sehingga terbentuk
amonia, karbid membentuk metan, dan sulfida membentuk H2S.
Atmosfer selanjutnya yang terbentuk ada-lah atmosfer tersier yang merupakan
atmosfer yang ada sampai saat ini, dan menjadi asal mula kehidupan di bumi.
Pada atmosfer tersier telah muncul organisme fotosintetik pertama, yaitu
Cyanobacteria yang menghasilkan oksigen melalui fotosintesis. Lama kelamaan,
dengan semakin banyaknya jumlah organisme fotosintesis yang ter-bentuk, maka
kadar oksigen yang ada di atmosfer meningkat. Oksigen yang ada di atmosfer 800
juta tahun yang lalu hanya mencapai 1%, kemudian meningkat menjadi 10% ±400
juta tahun yang lalu, dan saat ini telah tersedia ±20% oksigen di atmosfer (Clark,
2005).
1. Teori Oparin (Asal Mula Kehidupan)
Oparin adalah seorang ilmuwan Rusia yang menyatakan bahwa:“Pada suatu
ketika, atmosfer bumi banyak mengandung senyawa H2O, CO2, CH4, NH3, dan
hidrogen. Adanya energi radiasi dari benda-benda angkasa yang sangat kuat,
seperti sinar ultraviolet; memungkinkan senyawa sederhana tersebut membentuk
senyawa organik atau senyawa hidrokarbon yang lebih kompleks di lautan.
Senyawa kompleks yang mula-mula terbentuk diperkirakan berupa senyawa
alkohol (C2H5OH) dan asam amino yang sederhana. Selama berjuta-juta ta-hun,
senyawa sederhana tersebut bereaksi membentuk senyawa yang lebih kompleks,
seperti: gliserin, asam organik, purin dan pirimidin. Senyawa kompleks tersebut
merupakan bahan pembentuk sel.
Kemudian kita pahami teori Big Bang (Dentuman Besar ) “ Seluruh materi
dan energi dalam alam semesta pernah bersatu membentuk sebuah bola raksasa.
Kemudian bola raksasa ini meledak sehingga seluruh materi mengembang karena
pengaruh energi ledakan yang sangat besar. Sejak terjadinya peristiwa Big Bang,
alam semesta telah mengembang secara terus-menerus dengan kecepatan maha
dahsyat. Para ilmuwan menyamakan peristiwa mengembangnya alam semesta
dengan permukaan balon yang sedang ditiup. Teori Big Bang didukung oleh
beberapa penemuan mutakhir.
Pertama, penemuan Edwin Powell Hubble, astronom kebangsaan Amerika
Serikat di observatorium California Mount Wilson thn 1924 ketika Hubble
mengamati bintang-bintang diangkasa Melalui teleskop raksasanya, ia mendapati
spectrum cahaya merah diujung bintang-bintang tersebut. Menurut teori fisika
yang sudah diakui, spectrum cahaya berkelap-kelip yang bergerak yang menjauhi
tempat observasi cenderung mendekati warna merah. Pengamatan tersebut
memberi kesimpualan bahwa berbagai galaksi saling menjauh dengan kecepatan
sampai beberapa ribu kilometer per detik. Hal ini berarti bahwa alam sedang
berekspansi (meluas/melebar) atau dikatakan bahwa alam bersifat dinamis.
Kedua, hasil hitungan cermat Albert Einstein yang menyimpulkan bahwa alam
semesta dinamis, tidak statis artinya alam semesta terus berkembang. Meskipun
pada mulanya terimbas gagasan bahwa alam itu statis, lalu mengembangkan
formula matematisnyanya dan berusaha melukiskan bahwa alam benar-benar
statis, namun hal itu justru menggambarkan bahwa alam itu dinamis. Ketiga, pada
tahun 1948, George Gamov berpendapat bahwa setelah ledakan dahsyat ini akan
ada radiasi yang tersebar merata dan melimpah di alam semesta, radiasi tersebut
dinamai radiasi kosmos. Hal ini ditemukan oleh Arno Penzias dan Robert Wilson
pada tahun 1965 keduanya mendapat hadiah nobel dari penemuan tersebut
Penemuan ini semakin menguatkan bahwa alam semesta terbentuk dari sebuah
ledakan dahsyat.
Keempat, adanya jumlah unsur hydrogen dan helium di alam semesta yang
sesuai dengan perhitungan konsentrasi hydrogen-helium merupakan sisa dari
ledakan dahsyat tersebut. Kalau saja alam ini tetap dan abadi maka hydrogen di
alam semesta telah habis berubah menjadi helium. Gagasan teori Big Bang itu
didasarkan juga bahwa galaksi-galaksi yang saling menjauh itu, kurang lebih
seragam di seluruh jagad raya. Ahli Fisika George Gamow menganalogikan
tentang efek perluasan tersebut sepeti sebuah balon yang menggembung. Kalau
kita meniup sebuah balon yang diberi bintik-bintik, maka seluruh bintik itu akan
terlihat saling menjauh. Kini, peristiwa Big Bang yang ditengarai menandai
dimulainya penciptaan alam semesta itu bukan hanya sekedar “teori”, tetapi sudah
menjadi “keyakinan ilmiah” para ilmuan. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa
galaksi-galaksi saling menjauh dengan kecepatan kira-kira 32 kilometer/ detik
untuk setiap jarak satu juta tahun cahaya, maka dapatlah diperhitungkan bahwa
alam semesta ini tercipta dengan proses Big Bang antara 15-20 milyar tahun yang
lalu.

Gambar 1. Skema Pembentukan Senyawa Kompleks dari Senyawa-


senyawa yang Lebih Sederhana.
Sumber: Clark(2005)

Oparin memberi penekanan bahwa kehidupan muncul di bumi sebelum


adanya oksigen. Alasannya adalah: karena O2 merupakan senyawa yang reaktif
dan bila bereaksi dengan molekul-molekul prekursor tersebut, dan terjadi
oksidasi, maka senyawa yang baru terbentuk akan terurai menjadi air dan
CO2dengan adanya O2 (Clark, 2005). Oparin mengungkapkan bahwa senyawa
kompleks yang dijelaskan di atas sangat berlimpah, baik di lautan maupun di
daratan. Ada-nya energi yang berlimpah, misalnya sinar ultraviolet, dalam jangka
waktu yang sangat panjang memungkinkan lautan menjadi timbunan senyawa
organik yang membentuk soup purba atau Soup Primordial (2).
Gambar 2. Pembentukan Soup Purba
Sumber: Clark (2005)

Timbunan senyawa kompleks di lautan purba selanjutnya berkembang


sedemikian rupa, sehingga memiliki kemampuan dan sifat sebagai berikut.
1. Memiliki sejenis membran yang mampu memisahkan ikatan kompleks
yang terbentuk dengan molekul organik yang terdapat di sekelilingnya.
2. Memiliki kemampuan untuk menyerap dan mengeluarkan molekul dari
dan ke sekelilingnya.
3. Memiliki kemampuan untuk memanfaatkan molekul yang diserap sesuai
dengan pola-pola ikatan di dalamnya.Mempunyai kemampuan untuk
memisahkan bagian-bagian dari ikatan ikatannya.
Kemampuan-kemampuan di atas dianggap oleh para ahli sebagai kemampuan
untuk berkembang biak pertama kali. Dengan demikian, senyawa kompleks
tersebut diduga sebagai kehidupan yang pertama kali terbentuk.
a. Senyawa kompleks hasil perkembangan soup purba telah memiliki sifat-
sifat hidup, seperti: nutrisi, ekskresi, mampu mengadakan metabolisme,
dan mempunyai kemampuan memperbanyak diri atau reproduksi.
b. Oparin mengalami kesulitan untuk menjelaskan mekanisme transformasi
dari molekul-molekul protein sebagai benda tak hidup menjadi benda
hidup.
2. Eksperimen Miller
Pada awal tahun 1950, biokimiawan Stanley Miller membuat suatu alat untuk
merekonstruksi keadaan atmosfer purba untuk menggambarkan evolusi kimia dari
beberapa molekul prekursor biologis. Miller menciptakan suatu sirkulasi uap air
dan beberapa gas, seperti CH4, NH3, dan H2 melalui ruang yang dialiri listrik
bertegangan tinggi. Listrik bertegangan tinggi pada eksperimen Miller merupakan
simulasi petir di masa lalu. Eksperimen tersebut mensirkulasikan gas di sekitar
alat, sehingga beberapa senyawa organik terbentuk di atmosfer tiruan yang bisa
dilarutkan dalam labu air, untuk menggambarkan lautan purba. Senyawa-senyawa
tersebut kemudian saling beraksi satu sama lain di dalam air. Setelah beberapa
hari,dilakukan pemeriksaan terhadap air yang tertampung dalam perangkap
embun, dan dianalisis secara kosmografi. Pada pemeriksaan tersebut,ditemukan
10 asam amino yang berbeda, beberapa aldehid, dan hidrogen sianida (Gambar
4.3). Pada eksperimen Miller, campuran gas yang digunakan meliputi CO, CO2,
N2, dan lainnya, diberikan beberapa bahan meliputi CH4 dan NH3, tidak akan
menyuplai atom H selama tidak ada tambahan O2, CO, CO2, dan N2. Atom H
yang terdapat pada tabung berasal dari uap air hasil fotolisis. Berdasarkan
eksperimen tersebut, Miller telah menghasilkan asam amino alami, asam hidroksi,
purin, pirimidin, dan gula.

Gambar 3. Ilustrasi Percobaan Miller


Sumber: Clark (2005)
Keterangan Gambar:
Miller menemukan banyak asam amino (organic compounds) pada bagian bawah
tabung percobaannya.
3. Evolusi Makromolekuler
Pembentukan molekul pada organisme diawali dengan pembentukan
makromolekul. Peristiwa pembentukan makromolekul dimulai dari polimerisasi
monomer menjadi makromolekul, hingga terbentuk materi genetik pertama pada
organisme. Penjelasan lebih lanjut diuraikan sebagai berikut.
a. Polimerisasi Monomer Menjadi Makromolekul
Protein merupakan salah satu hasil polimerisasi monomer menjadi
makromolekul. Para ahli melakukan eksperimen untuk membentuk polimer
protein purba tiruan. Polimer protein purba tersebut memiliki rangkaian asam
amino acak yang disebut proteinoid. Proteinoid dibentuk dengan cara
memanaskan campuran asam amino kering pada suhu 1500C selama beberapa
jam. Tidak seperti protein yang memiliki ikatan pada gugus NH2 dan COOH
karboksil, proteinoid memiliki banyak ikatan. Proteinoid tersusun atas ± 250 asam
amino yang memiliki aktivitas enzimatis primitif. Peristiwa pembentukan
proteinoid tersebut dapat terjadi di sekitar kawah gunung berapi pada zaman
dahulu.Mekanisme lain polimerisasi asam amino terjadi melalui penggunaan
mineral dari tanah liat yang memiliki sifat khusus, sehingga memungkinkan
terjadinya ikatan molekul-molekul kecil pada permukaan mineral. Peristiwa
tersebut memacu beragam reaksi, misalnya tanah liat jenis Montmorilonite, dapat
menggabungkan asam amino menjadi polipetida sepanjang 200 residu asam
amino. Mineral pada tanah liat tertentu memiliki sisi pelekatan untuk berbagai
asam amino, sehingga dapat terjadi kondensasi yang membentuk proteinoid

Gambar 4. Pembentukan Proteinoid oleh Katalisis Clay (Tanah Liat)


Sumber: Clark (2005)

Keterangan Gambar:
Asam amino juga dapat membentuk ikatan ketika asam amino tersebut berikatan
pada beberapa tipe tanah liat. Tanah liat tersebut memiliki sisi perlekatan dengan
asam amino (bagian pada tanda panah).
Penggabungan asam amino tunggal menjadi polipeptida dapat juga terjadi
dalam larutan, sebagai-mana dijelaskan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pembentukan Asil Fosfat dan Fosforamida


Sumber: Clark (2005)

Keterangan Gambar:
Kondensasi asam amino tunggal menjadi rantai polipeptida dapat terjadi pada
larutan; dengan syarat terdapat agen kondensasi pada area tersebut untuk menarik
air. Salah satu agen kondensasi yang memungkinkan adalah poli-fosfat. Polifosfat
akan bereaksi dengan gugus amino atau gugus karboksil pada asam amino
tunggal. Dua jenis produk yang mungkin dihasilkan adalah fosfaramida dan asil
fosfat yang dapat membentuk rantai polipeptida ketika dipanaskan.

b. Aktivitas Enzim dalam Proteinoid Acak


Proteinoid yang dikembangkan di laboratorium dalam simulasi kondisi bumi
masa lampau menunjukkan aktivitas enzimatik yang sederhana. Kemampuan
enzimatik proteinoid sebenarnya sangat lambat dan tidak akurat, tetapi jelas
menunjukkan adanya kemampuan enzimatik. Misalnya, proteinoid dapat melepas-
kan CO2 dari molekul seperti piruvat, oksalo-asetat, dan berbagai ester. Selain itu,
adanya ion logam pada proteinoid dapat meningkatkan kemampuan enzimatiknya;
sebagaimana ion logam pada enzim masa kini yang berperan sebagai kofaktor.
Perhatikan tabel Aktivitas enzim berikut.
Sekitar 50% dari enzim masa kini mengandung ion logam sebagai
kofaktor. Contoh: tembaga (Cu) akan memicu reaksi antara berbagai asam amino
dan reaksi reduksi-oksidasi yang difasilitasi oleh besi (Fe). Ion logam berfungsi
untuk membantu penguraian ATP yang akan menjadi polimer asam nukleat dan
pembawa energi. Sebagian besar enzim masa kini memiliki atom seng (Zn)
sebagai kofaktor.
c. Pembentukan Materi Genetik
Informasi genetik dari suatu organisme akan diwariskan pada keturunannya
melalui suatu untaian nukleotida. Campuran polifosfat, purin, dan pirimidin dapat
menghasilkan rantai asam nukleat; dengan adanya tambahan ribosa atau
deoksiribosa. Jika suatu RNA template diinkubasikan dalam campuran nukleotida
dan suatu agen kondensasi, maka dapat terbentuk untai RNA komplementer. Jika
campuran nukleotida dan polifosfat diinkubasikan dalam kondisi seperti bumi di
masa lampau, dan menggunakan Zn sebagai katalis, maka dapat terbentuk satu
untai RNA. Jika reaksi tersebut dikatalisis oleh ion Pb, maka tingkat kesalahannya
1:10, sedangkan penggunaan ion Zn dapat menghasilkan 40 pasang basa
nukleotida dengan tingkat kesalahan 1:200 (Clark, 2005). Proses polimerisasi
asam nukleatpada awalnya berjalan sangat lambat sampai terbentukpolimer RNA
pertama. Namun, bila polimer RNA pertama telah terbentuk, maka RNA dapat
berperan sebagai template untuk pembuatan RNA komplementer selanjutnya,
sehingga dapat terjadi perbanyakan RNA dengan lebih cepat.
Hingga saat ini, diperkirakan bahwa RNA merupakan molekul genetik
pertama bukan DNA. Setelah adanya RNA awal, kemudian terjadi pembentukan
DNA purba yang lebih stabil dan akurat dalam me-nyimpan materi genetik.
Materi genetik terdiri atas RNA dan DNA. Kajian asal mula materi genetik
dibahas sebagai berikut.

1) RNA
Ahli Evolusi memperkirakan bahwa RNA adalah molekul kehidupan pertama
yang muncul di bumi. Molekul RNA diperkirakan merupakan molekul enzim
primordial (purba) pada sistem kehidupan primitif, karena gula ribosa lebih
mudah disintesis pada simulasi kondisi primordial dibandingkan gula
deoksiribosa. Selain itu, molekul RNA memiliki kemampuan merakit dan
menduplikasi dirinya sendiri dalam kondisi bumi di masa lampau. Walter Gilbert
mengemukakan gagasan tentang RNA World yang menjelaskan bahwa RNA
memiliki kemampuan ganda; sebagai asam nukleat dan enzim. Gagasan tersebut
dikemukakan berdasarkan fakta pada RNA sebagai berikut.
a) Ribozim
Ribozim merupakan molekul RNA yang dapat berperan sebagai enzim;dapat
mengkatalis sejumlah besar molekul lain tanpa mengubah keadaan dirinya selama
reaksi. Ribozim saat ini telah banyak yang dapat diidentifikasi,salah satunya
adalah RNA ribo-nuklease P, yaitu rRNA yang berperan dalam sintesis protein.
Enzim ribonuklease P mempunyai komponen RNA dan protein yang mengatur
transfer molekul RNA; bagian RNA ribonuklease P berperan untuk memulai
reaksi; dan bagian protein melekatkan ribozim dan tRNA.
b) Self-splicing intron
Intron merupakan non-coding regionyang menyisipi gen pada sel
eukariot.Intron harus dilepaskan dari mRNA sebelum ditranslasi menjadi protein
dengan bantuan spliceosome atau molekul RNA kecil lainnya. Namun, intron juga
memiliki kemampuan untuk melepaskan dirinya dari mRNA tanpa bantuan mole-
kul apapun yang dikenal dengan self-splicing intron, sebagaimana dijumpai pada
kelompok protozoa, mitokondria sel fungi, dan kloroplas sel tumbuhan.
c) Viroid
Viroid adalah molekul RNA yang dapat menginfeksi tanaman. RNA viroid
mampu mereplikasi dirinya sendiri.
d) RNA polimerase
RNA polimerase dibutuhkan sebagai primer untuk inisiasi dan pemanjangan
untai DNA baru.Oleh sebab itu, RNA polimerase diperkirakan telah ada sebelum
DNA polimerase terbentuk.
e) Molekul RNA kecil
Molekul RNA kecil biasanya berperan pada berbagai fungsi, seperti:
melepaskan untaian intron dari ekson pada gen, modifikasi asam nukleat, dan
editing mRNA.
f) Riboswitch
Riboswitch merupakan senyawa yang berperan dalam pengendalian ekspresi
gen; jika tidak terdapat protein regulator.
Perakitan dan duplikasi RNA dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 6. Perakitan dan duplikasi RNA secara random


RNA molekul dapat berperan sebagai ribozim yang akan mengkopi RNA
genetik material dan juga memiliki kemampuan untuk mensintesis protein.

Gambar 7. Emergensi Proto-sel


2) DNA
Informasi genetik pada makhluk hidup umumnya berupa DNA, karena molekul
DNA mempunyai struktrur yang lebih stabil dibandingkan RNA. RNA primitif
diperkirakan beralih fungsi setelah DNA terbentuk. Pembentukan DNA primitif
diikuti dengan terbentuknya sel prokariot pertama yang mengandung DNA
(progenot), dan dalam ± 1 milyar tahun kemudian diikuti dengan pem-bentukan
sel eukariot.
d. Sekuen Protein
Beberapa asam amino dapat menghasilkan protein yang bervariasi dengan
adanya peristiwa mutasi dan rekombinasi. Penggantian suatu asam amino oleh
asam amino sejenis (substitusi konservatif) memberikan peluang yang kecil untuk
menghilangkan fungsi protein tersebut. Oleh sebab itu, jika dibandingkan antara
sekuen protein yang sama dari organisme berbeda, maka akan ditemukan bahwa
sekuen protein dari kedua organisme tersebut akan segaris (sejajar).Variasi pada
sekuen protein terbentuk dengan adanya evolusi gen, yang mana evolusi gen
terjadi terkait dengan perubahan fungsi (Prakash, 2007).
e. Pembuatan Gen Baru Melalui Duplikasi
Gen baru dapat terbentuk melalui duplikasi gen, dengan terjadinya mutasi pada
segmen DNA yang membawa beberapa gen maupun gen keseluruhan. Fungsi gen
secara normal harus menyimpan salin-an asli, sedangkan salinan yang lain dapat
bermutasi secara bebas. Namun, fakta yang sering terjadi di alam adalah: mutasi
secara umum akan merusak salinan duplikat. Beberapa duplikasi gen yang diikuti
oleh perubahan urutan, akan menyebabkan perubahan fungsi. Contoh gen baru
yang terbentuk melalui duplikasi terlihat pada gen. Berikut merupakan
pembentukan gen baru dari duplikasi (Gambar 8).
Gambar 8. Duplikasi mengahsilkan gen baru pada globin
Globin hemoglobin mengangkut oksigen dalam darah sedangkan mioglobin
membawa dalam otot. Kedua protein tersebut memiliki banyak fungsi yang sama,
dan memiliki bentuk tiga dimensi yang sama. Setelah gen globin moyang
digandakan, kedua gen untuk hemoglobin dan mioglobin perlahan-lahan
menyimpang atau bermutasi, karena protein globin tersebut bekerja pada jaringan
berbeda (Clark, 2005). Perbedaan anggota famili gen berdivergensi. Pada gen sel
globin janin yaitu 2 gamma dan 2 alfa, sedangkan sel gen globin 2 beta dan 2
alfa. Hal ini karna janin butuh oksigen dari ibu melewati plasenta membran
karena afinitas oksigen pada sel dewasa lebih tinggi dari sel janin.

Gambar 9. Hemoglobin janin lebih baik


C. Evolusi Biologi
Evolusi biologi merupakan evolusi yang terjadi pada makhluk hidup. Evolusi
biologi menjelaskan peris-tiwa terbentuknya sel pertama (progenot) di bumi, dan
akhirnya sel tersebut menjadi sel prokariot purba seperti Archaebacteria dan
Eubacteria, lalu akan berkembang menjadi organismo eukariot, dari organisme
bersel tunggal (uniseluler) hingga organisme bersel banyak (multiseluler).
1. Sel pertama: Asal mula terbentuknya sel
Usia planet bumi diperkirakan telah mencapai 4,6 milyar tahun. Fosil tertua
yang ditemukan adalah bakteri yang diperkirakan hidup ± 3,5 milyar tahun. Bak-
teri tersebut seperti sianobakteri pada lapisan batu stro-malit yang telah berusia
3,5 milyar tahun. Bakteri terse-but adalah bakteri fotosintetik yang diduga
memproduk-si oksigen dari hasil pemecahan air seperti yang dilaku-kan
sianobakteri modern saat ini. Sel awal (primitif) terbentuk dari molekul-molekul
biologis yang terpolimerisasi. Lebih lanjut, protein dan lipid diperkirakan
terkumpul di sekeliling RNA dan DNA primitif, sehingga membentuk suatu
kantung yang mem-bentuk struktur membran sel primitif. Diperkirakan bahwa sel
primitif terdiri atas materi genetik dan membran sel primitif. Bentuk sel primitif
sangat mirip dengan bakteri. Sel primitif diperkirakan hidup di dalam primitive
soup. Sel primitif awalnya berfotosintesis menggunakan cahaya matahari dan
belerang. Pada tahapan lanjutan, fotosintesis mulai menggunakan H2O. Molekul
H2O diuraikan untuk menghasilkan O2 yang dilepaskan ke atmosfer. Keberadaan
oksigen di atmosfer mengubah kondisi planet bumi. Perubahan tersebut membuat
organisme primitif mengembangkan kemampuan respirasi.
2. Teori Autotrof: Asal mula metabolisme
Menurut ahli kimia, sel primitif yang terbentuk pertama adalah sel yang
bersifat autotrof, bukan sel heterotrof. Pernyataan tersebut dikenal dengan Teori
Autotrof. Sel autotrof primitif diperkirakan mengikat CO2 dan menghasilkan
materi organik untuk dimanfaatkan sendiri (Clark, 2005). Teori autotrof
mengungkapkan bahwa kehidupan masa lampau menggunakan persenyawaan besi
untuk menghasilkan energi;yaitu perubahan FeS menjadi FeS2 oleh H2S dapat
melepaskan energi dan mengha-silkan atom H untuk mereduksi CO2 menjadi
materi organik.Beberapa jenis bakteri anaerobik di masa kini menghasilkan energi
dengan cara oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+, sementara organisme lain melakukan hal
serupa dengan cara mengoksidasi sulfur. Oleh sebab itu, diper-kirakan
metabolisme di masa lampau menggunakan besi dan sulfur.
3. Evolusi Sel Prokariotik dan Eukariotik
Prokariot diperkirakan berkerabat lebih dekat dengan progenot daripada
Eukariot. Sebagian besar prokariot diklasifikasikan menjadi domain Eubakteria,
sedangkan yang lainnya diklasifikasikan pada domainArchaea yang hidup di
lingkungan ekstrim, seperti: suhu tinggi, kadar garam tinggi, sulfur tinggi, dan
lain-lain. Habitat Archaea merupakan kondisi yang terjadi pada permukaan bumi
masa lampau, saat kehidupan mulai berevolusi untuk pertama kalinya. Oleh sebab
itu, para ahli memperkirakan bahwa Eubakteria berevolusi dari
Archaeprimitif,selanjutnyaEukariot berevolusi dari Eubakteria.

Hasil-hasil penelitian ahli evolusi secara berta-hap menemukan bahwa terdapat


banyak perbedaan yang memisahkan antara Archaeadan prokariot. Bebe-rapa sifat
dari Archaeasama dengan Eubakteria; yaitu keduanya sama-sama merupakan
Prokariot, namun beberapa sifat lainnya ditemukan pada Eukariot; misal-nya, gen-
gen rRNA dan tRNA mengandung intron. Oleh sebab itu, Woose, et al.(1990)
mengumumkan kesim-pulan bahwa Archae berbeda dengan Eubakteria dan
eukariot. Pernyataan tersebut dikemukakan Carl Woose berdasarkan hasil
analisisterhadap sekuen-sekuen nukleotida pada rRNA 16 Svedberg yang amat
lestari dari berbagai organisme, sehingga organisme dipisah-kan menjadi tiga
domain makhluk hidup, yaitu Archaea, Eubakteria, dan Eukariot. Ketiga
kelompok tersebut diperkirakan berevolusi dari progenot yang sama.

D. Molecular Filogeny

Molecular phylogeny merupakan alat untuk merekonstruksi sejarah biologi


organisme berdasarkan kajian molekuler terhadap materi genetik organisme.
Pemahaman terhadap molecular phylogeny mengharuskan kita untuk memahami
dan membedakan istilah filogenetik, fenetik, kladistik, kladogram, dan
dendogram.
Filogenetik adalah studi yang membahas tentang hubungan kekera-batan
antarorganisme melalui analisis molekuler dan morfologi. Fenetik adalah suatu
studi yang mengklasifikasikan berbagai macam organisme berdasarkan kesamaan
atau kemiripan morfologi dan sifat lainnya yang dapat diobservasi, tidak
tergantung pada asal evolusi organisme bersangkutan. Kladistik merupakan
kebalikan dari fenetik, yaitu merupakan studi yang mengelompokkan makhluk
hidup berdasarkan asal evolusinya. Kladistik merupakan suatu studi hipotesis
tentang evolusi organisme. Kladogram adalah gambaran pohon evolusi hasil studi
kladistik. Kladogram dikenal juga dengan istilah pohon filogenetik. Contoh.
Dendogram merupakan diagram bercabang yang menggambarkan hierarki
kategori berdasarkan derajat kesamaan sejumlah karakteristik dalam taksonomi.
1. Analisis Filogenetik
Analisis filogenetik mempelajari hubungan kekerabatan antar-organisme
melalui analisis molekuler, baik dari sekuen DNA maupun sekuen protein.
Struktur DNA dapat bermutasi dengan kecepatan yang berbeda pada tiap
organisme. Mutasi pada struktur DNA tidak selalu menyebabkan perubahan
produk protein. Mutasi yang tidak menyebabkan perubahan produk protein
dikenal dengan mutasi netral. Mutasi netral cenderung terakumulasi pada garis
keturunan secara seksual. Jika akumulasi mutasi netral terjadi dalam laju konstan
untuk protein yang terkonservasi, maka dapat ditentukan pola percabangan dari
pohon filogenetik.
Kajian asal usul organisme tingkat tinggi dipermudah dengan adanya
mitokondria dan kloroplas, karena kedua organel tersebut memiliki DNA yang
berbeda dengan DNA kromosom. Selain itu, telah terbukti bahwa DNA
mitokondria hanya berasal dari ibu. Dengan demikian, telaah asal usul manusia,
hewan, dan tanaman tingkat tinggi banyak dilakukan dengan melakukan analisis
DNA mitokondria. Contohnya,analisis kekerabatan itik yang tersebar di dunia
yang dilakukan dengan menggunakan analisis biogeografi dan DNA mitokondria,
yaitu partial cytochrome-b gene yang besarnya hanya 307 bp (Amin dan Lestari,
2012). Informasi tentang sitokrom C, hemoglobin, dan sebagainya, diperoleh para
ahli pada saat sekuensing protein. Namun, karena sekuensing DNA lebih mudah
dan lebih aku-rat dibanding sekuensing protein, maka penemuan selanjut-nya
diperoleh dari sekuen DNA Oleh sebab itu, sekarang telah diperoleh sejumlah
informasi DNA mengenai organisme-organisme yang berkerabat dekat.
Sebelum adanya sekuensing DNA, hewan dan tumbuhan telah
diklasifikasikan, namun fungi dan eukariot primitif, serta kelompok bakteri
lainnya masih belum bisa diklasifikasikan karena sedikit sekali ciri-ciri dari
golongan tersebut yang dapat diamati. Dengan menggunakan sekuensing DNA,
RNA, maupun protein, klasifikasi bakteri menjadi lebih berkembang.

2. Urutan Paralogous dan Orthologous

Suatu sekuen dikatakan homolog jika sekuen tersebut tersebar pada sekuen
moyang secara umum;meskipun terdapat kemungkinan bahwa sekuen gen tertentu
terduplikasi, sehingga ada yang sama dalam satu organisme. Orthologous
merupakan gen yang homolog yang ditemukan pada saat pemisahan spesies dan
dibedakan saat terbentuk organisme baru, sedang-kan genparalogusadalah gen
yang dilokasikan pada organisme yang sama,karena duplikasi gen. Gen-gen
ortolog harus dibandingkan dalam proses penyusunan pohon filogenetik yang
akurat. Sekuen paralog dan ortolog diilustrasikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Sekuen Paralog dan Ortolog


Sumber: Clark (2005)
Keterangan Gambar:
Suatu gen moyang diduplikasi dan memisah menjadi gen A dan gen B, yang
merupakan paralog. Kedua gen tersebut terdapat pada dua spesies moyang yang
telah memisah menjadi spesies 1 dan 2. Kedua spesies tersebut memiliki gen A
dan B (A1 dan B1 untuk spesies 1, A2 dan B2 untuk spesies 2). Masing-masing
gen tersebut masih merupakan paralog. Namun, sejak terjadinya pembentukan
spesies 1 dan 2 menjadi dua spesies berbeda, gen A1 dan A2 merupakan gen
ortolog, dan gen B1 dan B2 juga ortolog.

3. Membuat Gen Baru melalui Shuffling


Selain melalui duplikasi, cara lain dalam menghasilkan gen baru adalah
dengan menggunakan molekul yang sudah jadi. Segmen dari dua gen atau lebih
dapat digabungkan melalui penyusunan ulang DNA, sehingga menghasilkan gen
baru yang tersusun atas bagian-bagian yang berasal dari beberapa sumber
(Gambar ..a). Adapun contoh pembentukan gen dari beberapa komponen yang
berbeda adalah pada reseptor LDL. Reseptor LDL ditemukan pada permukaan sel
yang menggunakan LDL. Gen untuk reseptor ini terdiri atas beberapa daerah,
dimana dua diantaranya berasal dari gen lain. Mendekati bagian depan terdapat 7
pengulangan dari suatu sekuen yang juga ditemukan pada faktor C9 yang
komplementer, yaitu suatu protein dalam sistem imun tubuh. Lebih kedepan lagi
adalah berupa segmen yang berkerabat dengan suatu hormon, yaitu epidermal
growth factor. Ketika suatu gen mosaik ditranskripsikan dan ditranslasi, maka
akan terbertuk suatu yang tersusun atas sejumlah domain yang berbeda.

Gambar 11. Pembentukan gen baru dari gen yan telah ada sebelumnya. (a)
Evolusi Modular dari gen baru mungkin melibatkan fusi modul gen yang terpisah,
atau unit fungsional. Misalnya, modul oranye dari gen 1 dapat memberikan fungsi
yang melengkapi modul ungu gen 2. Jika dua domain ini memadukan mereka
kemudian bisa membentuk sebuah novel tapi gen fungsional. (b) LDL reseptor
memiliki domain ditemukan di beberapa protein lain. Bagian pertama dari gen
reseptor LDL memiliki tujuh modul berulang atau unit fungsional juga ditemukan
dalam faktor C9 pelengkap dari sistem kekebalan tubuh. Modul berikutnya
memungkinkan protein untuk mengikat membran sel. Modul ini sangat mirip
dengan sebagian dari faktor pertumbuhan epidermal reseptor. Akhirnya, reseptor
LDL memiliki modul yang unik (Sumber: Clark, 2005).

Protein yang Berbeda Berkembang dengan Laju yang Berbeda


Sudah jelas bahwa kita tidak dapat bergantung pada satu protein saja untuk
membuat pohon evolusioner. Jika kita membuat pohon silsilah dengan
menggunakan beberapa protein yang berbeda, maka hasil yang didapatkan sering
kali mirip. Walaupun begitu, protein yang berbeda berevolusi dengan kecepatan
yang berbeda. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, manusia memiliki
perbedaan 50% dibandingkan dengan ikan mengenai rantai alpha pada
hemoglobin, dan 20% pada sitokrom c. Jika kita membandingkan antara jumlah
perubahan beberapa jenis asam amino dengan skala waktu, maka kita dapat
melihat kecepatan evolusinya.
Sitokrom c lamban, sementara
hemoglobin (α dan β)
kecepatanya sedang, sedangkan
untuk fibrinopeptida A dan B laju
evolusinya sangat cepat.
Pada Tabel 2. berikut
nampak kecepatan evolusi dari
sejumlah protein. Di antara
protein tersebut, fibrinopeptida
merupakan protein yang terlibat
dalam proses pembekuan darah.

Gambar 12. Kecepatan evolusi protein Protein ini membutuhkan arginin


(Sumber: Clark, 2005)
Selama evolusi, beberapa protein
di bagian ujung, dan harus bersifat keasaman
menumpuk lebih mutasi daripada yang pada seluruh bagian. Terlepas dari itu,
lain. Sitokrom c gen sangat stabil, dan
hanya 50 perubahan/100 asam amino telah protein ini dapat bervariasi secara luas
terjadi di 800 juta tahun. Fibrinopeptides A
dan B, di sisi lain, telah mengumpulkan 50 karena sedikit sekali syarat yang diperlukan.
perubahan/100 asam amino dalam waktu
kurang dari 100 juta tahun. Sebaliknya, histon mengikat DNA dan
bertanggung jawab atas ketepatan pelipatan DNA. Hampir setiap perubahan pada
histon dapat bersifat letal pada sel, maka dari itu evolusi histon sangatlah lamban.

(Sumber: Clark, 2005)

Sitokrom c adalah suatu enzim yang fungsinya sangat bergantung pada


residu asam amino pada sisi aktifnya, yang berikatan dengan kofaktor heme.
Karena itu residu pada sisi aktif jarang bervariasi, walaupun asam amino
disekitarnya berubah-rubah. Dari 104 residu, hanya Cys-17, His-18, dan Met-80
yang tidak bervariasi sama sekali. Pada tempat lain, variasi sangatlah rendah.
Residu asam amino yang besar dan nonpolar selalu mengisi posisi 35 dan 36.
Beberapa molekul sitokrom c telah diamati menggunakan kristalografi sinar, dan
telihat bahwa semua molekul memiliki struktur 3D yang sama. Walaupun pada
molekul sitokrom c dapat terjadi variasi sampai 88% pada residu, bentuk 3D nya
tidak berubah. Sedikit variasi ini terlihat pada asam amino yang penting bagi
fungsi dan struktur sitokrom c.
Insulin adalah suatu hormon yang berevolusi dengan kecepatan yang kurang
lebih sama dengan sitokrom c. Insulin terdiri atas dua rantai protein (A dan B)
yang dikode oleh satu gen insulin. Selama sintesis protein, molekul pre-insulin
panjang akan dihasilkan. Bagian tengah molekul ini, yaitu peptida C, akan
dipotong dan dibuang. Ikatan disulfida kemudian menghubungkan antara rantai A
dan B bersama-sama. Karena rantai C bukanlah bagian dari hasil akhir (hormone),
maka ia dapat be revolusi dengan lebih cepat, yaitu kira-kira 10 kali lebih cepat
dari evolusi rantai B dan A. Seluruh protein ini menjaga residu penting mereka
selama evolusi. Hal penting yang perlu diperhatikan yaitu bahwa mutasi bersifat
acak. Mutasi bias saja terjadi pada bagian A, B, maupun C. Mutasi yang terjadi
pada A dan B kemungkinan bersifat merugikan bagi organisme, maka dari itu
tidak akan diturunkan ke generasi selanjutnya. Sebaliknya mutasi pada C tidak
merugikan organisme, maka dari itu akan diturunkan pada keturunannya.

Jam Molekular untuk Melacak Evolusi


Protein yang berevolusi secara cepat, lambat laun akan memiliki sekuen
yang sangat berbeda antar organisme dari asal yang sama, sehingga tidak dapat
dikenali lagi. Sebaliknya, protein yang berevolusi sangat lamban akan
menunjukan perbedaan yang kecil diantara dua organisme. Maka dari itu, kita
perlu menggunakan sekuen yang kecepatan perubahannya lambat, untuk
menunjukan hubungan evolutioner yang jauh serta sekuen yang berevolusi secara
cepat pada organisme yang berkerabat dekat.
Kebanyakan protein manusia memiliki sekuen yang identik dengan
simpanse. Bahkan ketika kita menelusuri kecepatan evolusi febrinopeptida, maka
manusia dan simpanse akan berada pada cabang yang sama dalam pohon evolusi.
Mutasi yang tidak mempengaruhi sekeuen protein akan lebih cepat terakumulasi
selama evolusi, karena mutasi tersebut tidak memberikan efek yang merugikan.
Jadi ketika kita melihat sekuen DNA dari beberapa organisme yang berkerabat
dekat, maka akan terlihat banyak perbedaan lain. Perbedaan tersebut cenderung
ditemukan pada sekuen bukan pengkode (non coding region) serta pada posisi
kodon ketiga (Gambar 13).
Intron adalah sekuen non koding yang akan dikeluarkan dari transkrip
primer sehingga tidak akan muncul pada mRNA. Karena sekuen intron ini tidak
merepresentasikan protein akhir yang akan dibentuk, maka sekuen intron pada
suatu DNA bebas bermutasi. Sekuen non koding lain yang ada di antara gen dan
bila tidak terlibat dalam proses regulasi, maka sekuens tersebut juga bebas untuk
bermutasi.
Data awal mengenai sitokrom c, hemoglobin, dll. diperoleh melalui
sekuensing langsung protein. Selama DNA sequencing lebih mudah dilakukan
dan lebih akurat, maka sekuen protein yang diperoleh saat ini diperoleh dari
sekuen DNA. Maka dari itu terdapat banyak sekali informasi DNA menganai
hewan yang berkerabat dekat. Dengan menggunakan data ini, maka kekerabatan
evolutioner antar hewan, misalnya manusia dengan simpanse menjadi lebih jelas.

Gambar 13. Sekuens non coding pada DNA berevolusi lebih cepat. (a) Mutasi
pada posisi basa ketiga dari triplet kodon jarang mengubah asam amino yang
terbentuk, (b) Daerah non coding seringkali idak memiliki fungsi yang jelas
sehingga banyak mutasi yang terakumulasi pada daerah tersebut. Mutasi pada
bagian bukan pengkode tersebut tidak akan mempengaruhi urutan asam amino
yang terbentuk (Sumber: Clark, 2005).

RNA Ribosom – A Slowly Thicking Clock


Untuk menyusun silsilah evolusi yang melibatkan seluruh organsime, serta
menunjukan hubungan antara setiap kelompok besar dari organisme tersebut,
maka, kita membutuhkan molekul yang dapat ditemukan pada setiap organisme.
Selanjutnya, molekul tersebut juga harus berevolusi dengan sangat lamban,
sehingga tetap dapat dikenali pada setiap kelompok besar tersebut.
Di antara molekul tersebut, histon merupakan salah satu molekul yang
berevolusi dengan sangat lamban. Akan tetapi histon hanya dimilki oleh sel
eukariot. Molekul yang lebih tepat digunakan dalam hal ini ialah RNA ribosomal.
DNA dari gen yang mengkode RNA suatu sub unit kecil ribosom (16S atau 18S
rRNA) selanjutnya disequencing untuk selanjutnya dibentuk sekuen rRNA nya.
Ribosom dimiliki oleh seluruh makhluk hidup karena seluruh makhluk hidup
tersebut pasti melakukan sintesis protein (kecuali virus, yang saat ini sejarah
evolusinya masih diperdebatkan). Terlebih lagi, karena sintesis protein begitu
penting, maka komponen ribosomal sangatlah dijaga dan berevolusi dengan
lambat.
Penggunaan kekerabatan berdasarkan RNA ribosom memungkinkan
pembuatan silsilah evolusi yang mencakup seluruh kelompok besar makhluk
hidup.Organsime tingkat tinggi terdiri atas 3 kelompok besar: hewan, tanaman,
dan fungi. Seperti pada Gambar 17, analisis RNA mengindikasikan bahwa fungi
purba tidak pernah berfotosintesis, dimana perkembangan mereka bercabang
dengan tanaman sebelum terdapatnya kloroplas. Fungi sebenarnya lebih mirip
hewan daripada tanaman. Banyak jenis organisme sel tunggal bercabang dari
bagian eukariot pada bagian bawah silsilah, dan tidak termasuk dalam 3 kingdom
tadi.

Gambar 17. Kingdom eukariot berdasarkan sequencing RNA ribosom.


Membandingkan urutan RNA ribosom telah memungkinkan para ilmuwan untuk
menyimpulkan seberapa dekat divisi utama organisme terkait. Protozoa seperti
amoeba adalah kelompok paling awal untuk cabang dari garis keturunan
eukariotik leluhur. Sebuah divisi antara fotosintesis dan non-fotosintetik
organisme terjadi berikutnya. Dua cabang berevolusi secara terpisah, cabang
membentuk ganggang fotosintetik dan tanaman lebih tinggi, sedangkan cabang
non fotosintetik berkembang menjadi ciliates, jamur dan hewan (Sumber: Clark,
2005).

Kebanyakan sel eukariot mengandung mitokondria sementara sel tumbuhan


memiliki kloroplas. Organel tersebut berasal dari bakteri simbion yang
mengandung ribosomnya masing-masing. Sekuen RNA mitokondria dan
kloroplast menunjukan hubungan organel-organel tersebut dengan bacteria.
Hubungan antara eukariot terbentuk dari penggunaan RNA dari ribosom yang
ditemukan pada sitoplasma sel eukariot. Ribosom tersebut memiliki rRNA yang
dikode oleh gen dalam inti sel.
Ketika silsilah berdasarkan rRNA dibuat dengan melibatkan prokariot dan
eukariot, maka dapat dilihat bahwa kehidupan di bumi terdiri atas tiga garis
keturunan, seperti yang nampak pada Gambar 18. Tiga kelompok kehidupan
tersebut yaitu eubacteria, archaea atau archaebacteria, dan eukariot. Hal ini
dikarenakan banyak sekali perbedaan antara kedua tipe prokariot tersebut, seperti
halnya antara prokariot dan eukariot. Hasil sequencing dari rRNA
mengindikasikan bahwa mitokondria dan kloroplas berasal dari garis keturunan
eubacteria.

Gambar 18. Tiga domain dalam kehidupan berdasarkan hasil sequencing rRNA.
Semua organisme hari ini termasuk salah satu dari tiga divisi utama berdasarkan
pada hubungan antara RNA ribosom: yang Eubacteria, yang archaebacteria (atau
archaea) dan eukariota. Mitokondria dan kloroplas memiliki rRNA yang paling
menyerupai Eubacteria (Sumber: Clark, 2005).

Archaebacteria dan Eubacteria


Archaebacteria dan eubacteria memilikiciri yang sama dari yaitu
mempunyai sel mikroskopik tanpa nucleus. Kedua bakteri tersebut memiliki
kromosom sirkuler tunggal dan terbagi menjadi dua oleh pembelahan biner
sederhana.
Dari kedua kelompok prokariot tersebut, archaea lebih dekat hubungannya
dengan eukariot, yaitu memiliki bentuk nucleus eukariot yang primitif. DNA pada
beberapa archea dibungkus oleh histon seperti protein yang menunjukkan sekuen
homolog dengan histon sejati pada organisme tingkat tinggi.Faktor untuk sintesis
protein dan translasi pada archea menyerupai eukariot, daripada
eubacteria.Kesamaan tersebut telah menyebabkan pemikiran bahwa eukariota
purba berevolusi dari nenek moyang archea.
Secara biokimia archaea berbeda dengan eubacteria.Archaea tidak
memiliki peptidoglikan dan membran sitoplasmanya mengandung lipid yang
berbeda pada umumnya, yaitu tersusun atas isoprenoid C5 bukan C2 seperti
halnya asam lemak normal (Gambar 19).Selain itu, rantai isoprenoid menempel
pada gliserol dengan ikatan eter bukan ester.Beberapa rantai hidrokarbon
isoprenoid ganda (double-length) menembus seluruh membran.

Gambar 19. Lipid yang tidak biasa pada archaea. Archaebacteria memiliki rantai
lipid yang tersusun dari lima karbonisoprenoid daripada dua unit karbon seperti
pada eubacteria. Rantai isoprenoid terkait dengan gliserol melalui ikatan eter
bukan ikatan ester.Dalam beberapa kasus rantai lipid isoprenoid mungkin berisi
40 karbon (misalnya pada bacterioruberin).Lipid tersebut menjangkau seluruh
membran archea (Sumber: Clark, 2005)
Archaea ditemukan pada lingkungan yang aneh dan mampu beradaptasi
pada kondisi ekstrim.Archaeaditemukan pada sumber air panas yang mengandung
belerang, celah panas di dasar laut (lempeng benua), pada kadar garam yang
tinggi misalnya pada laut mati yang sangat asin dan pada danau yang berkadar
garam tinggi serta pada usus-usus hewan, dan archaea juga dapat membuat
metana. Adapun jenis-jenis archaebacteri :
1. Halobacteria: memiliki toleransi terhadap garam dan hidup pada NaCl di atas
5 M, tidak dapat tumbuh pada NaCl di bawah 2,5 M. Halobacteriamenangkap
energi cahaya matahari dengan bantuan rodopsin bakteri, molekul ini sama
seperti pigmen rodopsin sebagai pendeteksi cahaya dibagian mata hewan.
2. Methanogens: mampu menghasilkan metan. Methanogens bersifat anaerob
oblige dan sangat sensitif terhadap oksigen. Methanogens mengubah H2
ditambah CO2 menjadi metana. Metabolisme methanogens sangat unik,
methanogensmengandung koenzim yang tidak dimiliki oleh organisme lain
tetapi tidak memiliki flavin dan quinon.
3. Sulfolobus: hidup pada perairan geothermal dan tumbuh dengan baik pada pH
optimum 2-3 dan suhu 70-80oC. Archaea ini mengoksidasi sulfur menjadi asam
sulfur.

Evolusi instan RNA Ribosom


Terdapat molekul penting yang berkembang secara perlahan-lahan, seperti
histon atau RNA ribosom.Hal tersebut dimungkinkan karenaadanya kombinasi
dari dua mutasi yang mungkin menghasilkan molekul fungsional, tetapi terdapat
salah satu lethal. Misalnya, mutasi dari G ke C yang menghancurkan pasangan
basa GC dalam struktur batang lingkaran akan berakibat fatal pada 16S rRNA.
Namun, mengganti GC dengan pasangan basa CG juga dapat memungkinkan
berfungsi kembali (Gambar 20).

Gambar 20. Perubahan tunggal mematikan, dua perubahan fungsional. Mutasi


pada RNA ribosom akan mematikan jika mengubah struktur batang loop dari
pada molekul. Dalam contoh ini, mutasi guanin menjadi sitosin mencegahkrisis
pada pasangan basa dari bagian batang. Jika mutasi kedua dilakukan untuk
mengubah sitosin menjadi guanin, pasangan basa akan terbentuk kembali dan
RNA ribosom akan berfungsi kembali. Meskipun pengubahan kedua posisi
terjadi bersamaan sangat tidak mungkin, hal ini tidak merugikan bagi
organisme dan mutasi dapat diteruskan ke generasi berikutnya (Sumber: Clark,
2005).
Untuk menganalisis hubungan struktur dan fungsi dalam molekul, misalnya
rRNA, beberapa mutasi buatan diintroduksi secara bersamaan.Hal ini dapat
dilakukan dengan prosedur yang dikenal sebagai "evolusi instan" yang
dikembangkan di laboratorium Dr Philip R Cunningham di Wayne State
University.Dalam pendekatan ini, 16S rRNA yang bermutasi dan mutasi yang
mencegah sintesis protein diisolasi.Selanjutnya, supresor mutasi yang
mengembalikan sintesis protein yang dipilih.Kemungkinan yang lain, beberapa
mutasi acak secara bersamaan diintoduksi pada daerah pendek dari rRNA yang
diduga memainkan peran penting dalam sintesis protein. Pada kedua kasus
tersebut sebagian besar mutasi pada rRNA akan mengalami letal atau mematikan
dalam keadaan normal, untuk menghindari terbunuhnya bakteri, maka bakteri
tersebut harus dimanipulasi sehingga bentuk mutan dari 16S rRNA tidak
mengganggu sintesis protein pada sel normal (Gambar 21).

Gambar 21. Evolusi Instan pada RNA Ribosom. Plasmid pRNA 122 membawa
sekuen untuk mengubah 16S rRNA dan gen reporter (misalnya CAT).
Pemisahan kromosom dan plasmid dalam sintesis protein terjadi secara primer
karena perubahan dalam urutan Shine-Dalgarno (SD).16S rRNA dikodekan
oleh plasmid yang tidak dapat mengenali sekuen SD pada mRNA sel normal,
tetapi mengenali urutan SD bagian upstream dari gen reporter (CAT).Jika
mutasi pada 16S rRNA mencegah dari berfungsinya, gen reporter tidak
ditranslasikan menjadi protein CAT, dan bakteri tidak resisten pada
kloramfenikol.Translasi dari protein sel normal terjadi tanpa gangguan karena
salinan kromosom dari 16S rRNA yang digunakan.Salinan kromosom dari 16S
rRNA tidak dapat mengenali sekuen SD dari mRNA CAT, sehingga tidak
memungkinkan terjadinya sintesis protein CAT (Chloramphinicol Acetyl
Transferase) (Sumber: Clark, 2005).
Awalnya urutan RNA ribosomal digunakan untuk klasifikasi. Namun
sekuen data yang diperoleh termasuk didalamnya seluruh genom, memungkinkan
untuk menambahkan sejumlah gen lain ke dalam laporan. Program komputer
digunakan untuk mengkalkulasi perbedaan relatif sekuen dan dapat menghasilkan
“pohon” seperti yang pada Gambar 22. Pada pohon tersebut terdapat empat
bakteri, semua dalam genera yang berbeda tetapi dalam keluarga yang sama,
enterobacteria. Untuk akar pohon diperlukan sekuen dari organisme "kelompok
luar," misalnya menggunakan bakteri pseudomonas, yang terkait jauhdengan
bakteri enterik.Titik atau simpul pada Gambar 22. mewakili nenek moyang yang
sama. Panjang cabang sering diskalakan untuk mewakili jumlah mutasi yang
diperlukan dan angka yang menunjukkan berapa banyak perubahan dasar
diperlukan untuk mengubah sekuen pada setiap titik cabang menuju titik
berikutnya (panjang total rRNA 16s bakteri enterik adalah 1.542 basa).

Gambar 22. Pohon Filogenetik dari Bakteri Enterik. Hubungan filogenetik


antara bakteri dapat disimpulkan dengan membandingkan urutan RNA
ribosomal. Sekuen gen 16S rRNA dibandingkan untuk empat bakteri enteric,
yaituE. coil, Erwinia herbicola, Yersinia pestis, dan Proteus vulgaris. Bakteri
yang relatif tidak berhubungan dengan Pseudomona aeruginosa, digunakan
sebagai outgroup atau kelompok luar pada organisme untuk memberikan dasar
atau akar pohon. Dari perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa P.
vulgarismerupakan bagian pertama untuk cabang dari nenek moyang primitif
E. coli dan E. herbicola adalah yang terbaru (Sumber: Clark, 2005)
DNA Mitokondria-A Rapidly Ticking Clock
Meskipun mitokondria mengandung molekul DNA sirkular atau melingkar
mengingatkan pada kromosom bakteri, tetapi genom mitokondria jauh lebih
kecil.DNA mitokondria dikode oleh beberapa protein dan RNA ribosom dari
mitokondrion, namun sebagian besar komponennya sekarang dikodekan oleh inti
eukariotik. DNA mitokondria hewan merupakan akumulasi mutasi yang lebih
cepat dari gen nukleus. Secara khusus, akumulasi mutasi secara cepat tersebut
terjadi pada posisi ketiga kodon dari gen struktural dan lebih cepat pada daerah
regulator intergenic atau pengaturan antargen. Hal tersebut berarti bahwa DNA
mitokondria dapat digunakan untuk mempelajari hubungan spesies yang
berkerabat dekat atau ras dalam spesies yang sama. Sebagian besar variabilitas
dalam DNA mitokondria manusia terjadi dalam segmen D-loop pada daerah
regulator. Sequencing segmen ini memungkinkan kita untuk membedakan antara
orang-orang dari kelompok ras yang berbeda.
DNA mitokondria kadang-kadang dapat diperoleh dari sampel museum dan
hewan yang punah.Misalnya, DNA mitokondria diekstraksi dari mammoth beku
yang ditemukan di Siberia yang menunjukkan perbedaan pada empat sampai lima
basa dari 350 dari gajah India dan gajah Afrika. Analisis DNA mendukung
pemisahan dengan menggunakan tiga cara yang diusulkan berdasarkan hubungan
anatomi. Quagga adalah binatang yang telah punah, mirip dengan
zebra.Ditemukan pada dataran Afrika Selatan lebih dari seratus tahun yang
lalu.Sebuah bulu diawetkan pada museum Jerman telah menghasilkan fragmen
otot dari DNA yang telah diekstraksi dan disecuensing. Dua fragmen gen yang
digunakan adalah dari DNA mitokondria quagga. DNA dari quagga berbeda
sekitar 5 persen basanya dari zebra modern.Quagga dan zebra gunung
diperkirakan memiliki nenek moyang yang sama sekitar tiga juta tahun yang lalu.

Hipotesis Eve Afrika


Upaya untuk memilah evolusi manusia dari tengkorak dan tulang lainnya
menyebabkan dua skema alternatif.Model multi-regional mengusulkan bahwa
Homo erectus berevolusi secara bertahap menjadi Homo sapiens secara serentak
di seluruh Afrika, Asia dan Eropa. Model Noah’s Ark mengusulkan bahwa
cabang sebagian besar keluarga manusia telah punah dan digantikan oleh
keturunan dari hanya satu lokal sub-kelompok (Gambar 23). Model ini
menyiratkan pertukaran genetik yang berkelanjutan antara suku meluas dan relatif
terisolasi selama periode panjang sejarah.Tidak mengherankan, analisis molekul
terbaru cenderung mendukung model Noah’s Ark.
Gambar 23. Multi-Regional dan Model Noah’s Ark pada Evolusi Manusia.
Model multiregional evolusi manusia (kiri) menunjukkan bahwa Homo sapiens
dikembangkan dari interaksi ganda antara beberapa garis leluhur, (kanan)
tampaknya lebih masuk akal berdasarkan analisis genetik. Model ini
menunjukkan bahwa Homo sapiens modern dikembangkan dari satu kelompok
leluhur di Afrika (Sumber: Clark, 2005)
Meskipun mitokondria berkembang cepat, variasi keseluruhan di antara
orang dari ras yang berbeda adalah kecil.Perhitungan didasarkan pada perbedaan
yang diamati dan tingkat estimasi menunjukkan bahwa nenek moyang kita hidup
di Afrika antara 100.000 dan 200.000 tahun yang lalu.Karena mitokondria yang
diwariskan maternal, nenek moyang ini bernama "African Eve".Asal Afrika ini
didukung oleh akar yang lebih dalam "akar genetik”dari populasi modern Afrika.
Dengan kata lain, sub-kelompok yang berbeda dari Afrika bercabang satu sama
lain sebelum ras lain bercabang dari Afrika secara keseluruhan (Gambar 24).

Gambar 24. African Eve, Hipotesis I-DNA. Hubungan Filogenetik berdasarkan


perbandingan urutan DNA mitokondria dari manusia. Menurut teori African
Eve, manusia awal yang berkembang di Afrika sekitar 1500 tahun dan
berkembang menjadi banyak tribal atau suku, sebagain masih tetap di Afrika.
Ras Eropa dan Asia berasal dari kelompok nenek moyang Afrika yang
berimigrasi ke Eurasia melalui Timur Tengah (Sumber: Clark, 2005)

Nenek moyang orang Eropa saat ini memisahkan diri dari Euro-Asia leluhur
mereka dan berjalan ke Eropa melalui Timur Tengah sekitar 40.000 sampai
50.000 tahun yang lalu (Gambar 25). Indian Amerika tampaknya berasal dari dua
migrasi besar yang berasal dari populasi daratanAsia. Yang sebelumnya Palco-
India (sekitar 30.000 tahun yang lalu) menghuni benua Amerika secara
keseluruhan, sedangkan migrasi yang lebih baru (kurang dari 10.000 tahun yang
lalu) menghasilkan masyarakat Na-Dene yang sebagian besar Indian Amerika
Utara.
Selain menggunakan DNA mitokondria, urutan daerah mikrosatelit dari
kromosom telah dibandingkan antara ras yang berbeda.Hasil filogenetik sangat
mirip.Mereka juga memberikan Afrika primermemisahkan menjadi non-Afrika,
mereka menunjukkan tanggal bahkan lebih baru untuk nenek moyang, dekat
100.000 tahun yang lalu.
Tapi bagaimana dengan Adam, atau "Y-guy" karena ia kadang-kadang
disebut oleh biologi molekuler? Kromosom Y manusia lebih pendek tidak
bergabung kembali dengan pasangan yang lebih panjang, sedangkan kromosom X
sebagian besar panjang.Hal ini memungkinkan untuk mengikuti garis keturunan
laki-laki tanpa komplikasi akibat rekombinasi.Misalnya, gen ZFY pada kromosom
Y yang diturunkan dari ayah ke anak dan terlibat dalam pematangan sperma.Data
urutan untuk ZFY menunjukkan pemisahan antara manusia dan simpanse sekitar 5
juta tahun yang lalu dan secara umum nenek moyang laki-laki untuk manusia
modern sekitar 250.000 tahun yang lalu.Namun, data terakhir jumlah yang jauh
lebih besar dari penanda genetik pada kromosom Y pada Y-guy kurang dari
100.000 tahun yang lalu.Baru-baru ini analisis dari cluster mutasi pada kromosom
Y tidak sesuai dengan model multi-regional dan baru-baru ini menegaskan bahwa
asal orang Afrika dari manusia modern.
Gambar 25. Hipotesis II-Migrasi Eve Afrika. Divergensi dari nenek moyang
Afrika menjadi ras Afrika modern, Eropa dan Asia termasuk migrasi menjadi
bagian-bagian yang berbeda di dunia.Para ilmuwan percaya bahwa Homo
sapiens modern berevolusi di Afrika Timur, sekitar Olduvai Gorge.Keturunan
dari nenek moyang awal bermigrasi ke Eropa dan Asia serta daerah-daerah
lainnya di Afrika.Keturunan dari beberapa kelompok di Asia menyeberangi
Selat Bering menghuni benua Amerika.Setelah terisolasi, berbagai kelompok
ini berevolusi secara mandiri atau independen (Sumber: Clark, 2005)

DNA Kuno dari Hewan yang Telah Punah


Urutan DNA pada mumi atau mammoth yang masih tertinggal biasanya
digunakan untuk membangun skema evolusi.DNA kuno yang diekstrak dari sisa-
sisa fosil makhluk yang punah dapat memberikan nilai berharga pada perkiraan
tingkat evolusi.DNA tertua yang tersedia sejauh ini berhasil dianalisis berasal dari
amber. Amber merupakan resin yang mengeras dihasilkan oleh pohon yang telah
punah secara bertahap dipadatkan untuk konsistensi selama jutaan tahun. Kadang-
kadang hewan kecil yang terjebak dalam resin ketika mengalir keluar dari pohon-
pohon akan diawetkan di sana (Gambar 26).
Sebagian besar hewan yang terperangkap adalah serangga.kadang-kadang
cacing, siput, dan bahkan kadal kecil juga ditemukan. Amber bertindak sebagai
bahan pengawet dan struktur internal sel individu dari serangga yang terperangkap
masih dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Hal ini memungkinkan untuk
memulihkan DNA yang telah berumur 25 sampai 125 juta tahun dari beberapa
serangga dan menggunakan amplifikasi dengan PCR dan sequencing.
Gambar 26. DNA Kuno Diawetkan dalam Amber. Jutaan tahun yang lalu,
seekor lebah terjebak dalam getah dari pohon.Getah secara bertahap mengeras
dan dipadatkan menjadi materi padatan kekuningan-amber.Lebah tersebut
dipertahankan bersama dengan spora bakteri yang dibawa.Setelah ekstraksi
dari amber resin, kadang mampu tumbuh jika diberikan nutrisi dan kondisi
lingkungan yang tepat (Sumber: Clark, 2005)
Bakteri yang terperangkap pada lebah tersebut teridentifikasi yaitu Bacillus
sphaericus. DNA dari leluhur Bacillus sphaericus menunjukkan kesamaan pada
sekuennya, tetapu tidak identik.Hal ini dimungkinkan bahwa bakteri leluhur
tersebut telah terkontaminasi.

Evolusi Menyamping: Transfer Horizontal Gen


Evolusi Darwin standar melibatkan perubahan dalam informasi genetik
yang diwariskan dari satu generasi ke generasi keturunannya. Namun, ini juga
dapat memungkinkan bagi informasi genetic diwariskan "menyamping" dari satu
organisme ke organisme lain yang bukan satu keturunan atau bahkan kerabat
dekat. Istilah transfer vertikal gen mengacu pada transmisi gen dari generasi tua
ke keturunan langsung. Transmisi vertikal mencakup transmisi gen dari semua
bentuk pembelahan sel dan reproduksiyang membuat salinan baru dari genom,
apakah seksual atau tidak. Hal ini kontras dengan “transfer horizontal gen" (juga
dikenal sebagai "transfer lateral gen") di mana informasi genetik dilewatkan ke
samping, dari organisme donor lain yang bukan keturunan langsungnya.
Misalnya, ketika gen resistensi antibiotik yang dibawa oleh plasmid dapat
diwariskan pada jenis bakteri yang tidak memiliki hubungan kerabat. Karena gen
yang ada dalam plasmid kadang-kadang dimasukkan ke dalam kromosom, gen
dapat berpindah dari genom dari satu organisme ke yang tidak berkerabat dalam
beberapa langkah. Genom lengkap pada banyak bakteri kini telah sepenuhnya
disekuen. Estimasi menggunakan data ini menunjukkan bahwa sekitar 5-6% dari
gen dalam genom rata-rata prokariotik diperoleh dengan transfer horisontal. Efek
transfer horisontal terutama terlihat nyata dalam konteks klinis. Kedua faktor
virulensi dan resistensi antibiotik yang umumnya dibawaoleh plasmid bakteri
yang dapat menular.

Gambar 27. Transfer horizontal Tipe-C Virogene pada Mamalia. Virogene


tipe-C merupakan cincin evolusi untuk kera dunia lama dari nenek moyang
mereka.Sebuah versi gen ini erat kaitannya dengan salah satu babon yang
diidentifikasi di Amerika Utara dan kucing Eropa. Karena babon dan kucing
tidak erat hubungannya, gen harus pindah dari satu kelompok ke kelompok lain
melalui transfer horisontal. Yang lebih mendukung gagasan transfer horisontal,
gen tersebut tidak ditemukan pada singa atau cheetah, yang berkembang
sebelum kucing Afrika Utara dan percabangan Eropa (Sumber: Clark, 2005)
Transfer horisontal tersebut dapat terjadi antara anggota, spesies yang sama
(misalnya transfer plasmid antara dua strain berkerabat dekat Escherichia coli)
atau terdekatdengan taksonomi besarnya (misalnya transfer Ti-plasmid dari
bakteri ke sel tanaman).Transfer horizontal gen tergantung pada operator yang
melintasi batas-batas dari satu spesies yang lain. Virus, plasmid dan transposon
semua terlibat dalam perpindahan menyamping gen tersebut.Retrovirus khususnya
mampu menginsersi dirinya sendiri ke dalam kromosom hewan, mengambil gen
dan memindahkannya ke spesies hewan lainnya.
Salah satu contoh yang menggambarkan transfer horizontal pada hewan
yaitu virogene tipe-C pada babon dan semua kera dunia lama lainnya. Virogene
tipe-C terdapat pada nenek moyang dari kera, sekitar 30 juta tahun yang lalu, dan
sejak itu telah menyimpang pada sekuennya sama seperti gen kera normal lainnya.
Sekuen yang terkait juga ditemukan di beberapa spesies kucing.Hanya kucing
kecil dari Afrika Utara dan Eropa memiliki virogene tipe-C babon.Kucing
Amerika, Asia danSub-Sahara Afrika semua tidak punya sekuen ini. Oleh karena
itu, nenek moyang kucing asli tidak memiliki virogene tipe-C.Selanjutnya, sekuen
ditemukan pada kucing Afrika Utara menyerupai babon lebih dekat dari urutan
pada kera yang lebih berkerabat dekat ke punca leluhur (Gambar 27.). Hal ini
menunjukkan bahwa sekitar 5-10 juta tahun lalu retrovirus membawa virogene
tipe-C secara horizontal dari nenek moyang babon modern ke nenek moyang
kucing kecil Afrika Utara. Asal anak kucing domestik Eropa datang dari Mesir,
sehingga juga membawa virogene tipe-C. Namun, kucing lain yang
menyimpanglebih dari 10 juta tahun yang lalu tidak punya urutan ini.

Permasalahan dalam Memperkirakan Transfer Horizontal Gen


Ketika genom manusia disekuensing, beberapa ratus gen manusia pada
awalnya dihubungkan untuk transfer horizontal dari bakteri. Namun, kemudian
analisis menunjukkan bahwa sedikit dari beberapa kasus ini merupakan asli
transfer horisontal. Beberapa faktor memberikan kontribusinya untuk over-
estimasi transfer horisontal, baik untuk genom manusia dan dalam kasus lainnya.
a. Sampling bias. Genom eukariotik relatif sedikit yang telah disekuensi
sedangkan ratusan genom bakteri telah disekuensi. Dengan demikian tidak
adanya sekuen yang homolog dengan gen manusia dari beberapa eukariota
lainnya tidak cukup buktiuntuk asal eksternal (bakteri). Data sekuens beberapa
eukariotik menjadi gen yang tersedia dianggap asal dari "bakteri" sebenarnya
yang telah ditemukan pada eukariota lainnya.
b. Hilangnya homolog di garis keturunan yang berkerabat dapat menunjukkan
bahwa gen berasal dari eksternal untuk kelompok organisme yang
mempertahankan hal tersebut. Solusi untuk artefak ini adalah kumpulan
beberapa data sekuens dari banyak garis keturunan yang berkerabat.
c. Duplikasi gen diikuti dengan divergensi yang cepat yang tampak dapat
memunculkan gen baru yang hilang secara vertikal langsung dari nenek
moyang dari kelompok organisme.
d. Seleksi evolusi yang kuat untuk gen tertentu dapat mengakibatkan peningkatan
yang besar dari perubahan urutan. Gen yang berevolusi lebih cepat dari
biasanya akan cenderung salah ketika membandingkan urutan yang digunakan
untuk membangun pohon evolusi.
e. Kemudahan transfer horizontal informasi genetik oleh plasmid, virus,
transposon dalam kondisi laboratorium yang menipu. Dalam kondisi alami
terdapat hambatan utama untuk perpindahan tersebut. Selanjutnya, hasil
transfer horisontal seringnya hanya sementara. Gen baru diperoleh, khususnya
pada plasmid, transposon, dan lain-lain, yang mudah hilang. Gen tersebut
cenderung diperoleh dalam menanggapi seleksi seperti resistensi antibiotik
dan, sebaliknya, mereka akan hilang bila kondisi selektif aslinya hilang.
f. Masalah-masalah eksperimen seperti kontaminasi DNA. Bakteri dan virus
parasitberhubungan dengan semua organisme penting yang lebih tinggi dan
benar-benar memurnikan DNA eukariotik tidak selalu mudah.
Banyak contoh awalnya diusulkan dari transfer horisontal gen yang secara
keseluruhan terancam oleh faktor-faktor di atas. Namun, beberapa contoh yang
tampaknya berlaku.Salah satu yang paling menarik adalah temuan terbaru dari
transfer horizontal gen yang relatif sering antara genom mitokondria dari tanaman
berbunga.Gen-gen tertentu untuk protein ribosom mitokondria tampaknya telah
ditransfer dari garis keturunan monokotil dini ke beberapa garis keturunan dikotil
yang berbeda. Contoh yang termasuk transfer gen rps2 untuk buah kiwi
(Actinidia) dan gen rps11 untuk bloodroot (Sanguinaria).
Analisis Molekuler untuk Evolusi
Pada organisme tingkat tinggi, kajian asal-usul organisme sangat
diuntungkan dengan keberadaan mitokhondria dan kloroplas karena dalam kedua
organel seluler tersebut diketahui adanya DNA yang berbeda dengan DNA
kromosom. Selain itu, telah terbukti bahwa DNA mitokhondria hanya berasal dari
ibu. Oleh karennya, telaah asal-usul manusia, hewan, dan tumbuhan tingkat tinggi
banyak dilakukan dengan menggunakan analisis DNA mitokhondria.
Contoh Analisis Molekuler untuk Evolusi
Salah satu contoh analisis molekuler, yaitu pada kekerabatan itik yang
tersebar di dunia dilakukan dengan menggunakan analisis biogeografi dan DNA
mitokhondria (partial cytochrome-b gene dengan besar hanya 307bp). Gambar 28
merupakan pohon filogeni sebagai hasil analisis sebaran, sedangkan Gambar 29
adalah pohon filogeni dengan menggunakan data sekuens dari DNA
mitokhondria.
Gambar 28. Rekonstruksi biogeografi daerah asal moyang anas dengan
menggunakan metode Brooks (1990) (dimodifikasi oleh Johnson, et al. 1999)

Gambar 29. Rekonstruksi pohon filogeni dengan menggunakan sekuens


‘cytochrome-b gene’ genus Anas direkonstruksi dengan ‘neighborjoining method’
Rekonstruksi pohon filogeni yang hanya menggunakan sedikit sekuens dari
sekian juta kali sekuens yang digunakan untuk analisis dapat membantu
memahami proses evolusi dari sudut kekerabatan antar-individu. Adanya sekuens
pembanding (outgroup) dapat dilihat adanya keragaman sekuens merupakan bukti
yang menunjukkan bahwa evolusi memang terjadi. Biologi molekuler adalah
bidang ilmu yang berkembang dari genetika molekuler yang diperluas. Bahasan
biologi molekuler meliputi semua aspek proses hidup tidak saja hanya
menyangkut sifat yang diturunkan melainkan juga ekspresi dan pelaksanaan
program kehidupan, seperti proses fisiologi, perkembangan, reproduksi,
taksonomi, hingga adaptasi dan interaksi dengan spesies yang lain. Oleh
karenanya, biologi molekuler merupakan bidang kajian yang mengandung unsur
biokimia, maupun biofisika dan mencakup ilmu tentang taksonomi, dan variasi
individual organisme objek kajian, fisiologi, dan metabolisme. Dengan demikian,
peneliti harus paham terlebih dahulu mengenai sifat atau karakter protein atau
enzim yang berperan dalam ekspresi suatu sifat. Hal ini karena tanpa adanya
penguasaan pengetahuan sedalam mungkin mengenai beberapa konsep dasar tidak
akan memungkinkan dilakukan telaah biologi molekuler.
BAB III
KESIMPULAN

1. Evolusi molekuler merupakan penjelasan tentang proses evolusi yang


mencakup kajian tentang evolusi fisika, evolusi kimia, evolusi biologis, dan
analisis filogenetik.
2. Evolusi fisika menjelaskan tentang peristiwa pembentukan bumi.
3. Evolusi kimia, menjelaskan tentang peristiwa pembentukan atmosfer bumi,
mikromolekul, makromolekul, serta penyebab dan efek perubahan pada
molekul.
4. Evolusi biologi merupakan evolusi yang terjadi pada makhluk hidup;
menjelaskan peristiwa terbentuknya sel pertama (progenot)dibumi, dan
akhirnya sel tersebut menjadi sel prokariot purba seperti Archaebakteria dan
Eubakteria, lalu akan berkembang menjadi organisme eukariot, dari organisme
bersel tunggal (uniseluler) hingga organisme bersel banyak (multiseluler).
5. Analisis filogenetik merupakan upaya manusia untuk memprediksi peristiwa
evolusi pada makhluk hidup berdasarkan data molekuler.
6. Pohon filogenetikumumnya dibuat dengan menunjukkan sejumlah perbedaan
sekuen pada rRNA. Alasan penggunaan ribosom un-tuk analisis filogenetik
makhluk hidup karena ribosom terdapat pada seluruh makhluk hidup, dan
ribosom berevolusi sangat lambat; sehingga ribosom adalah protein yang
terkonservasi.
7. Sekuen DNA dari makhluk hidup yang telah punah masih dapat dianalisis
untuk mengetahui hubungan kekerabatannya dengan makhluk hidup yang
terdapat sampai sekarang, serta untuk membuat rekonstruksi skema mekanisme
evolusi.
8. Transfer gen horizontal adalah transfer gen yang terjadi antar- spesiesyang
berbeda, seperti transfer gen plasmid kepada tumbuhan. Berbeda dengan
transfer gen horizontal, transfer gen vertikal transfer gen dari moyang kepada
keturunannya secara langsung, seperti pembelahan sel dan reproduksi baik
secara seksual maupun aseksual. Namun, perkiraan adanya transfer gen secara
horizontal masih menemui beberapa kelemahan, sehingga belum dapat
dipastikan kebenaran dari perkiraan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Clark, David. 2005. Molecular Biology. USA: Academic press in an Imprint of


Elsevier

Widodo, Lestari, U., dan Amin, M. 2012. Bahan Ajar Evolusi. Malang: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi

Anda mungkin juga menyukai