“TATANAMA”
DISUSUN OLEH :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya akhirnya Makalah Phanerogamae yang berjudul “Tatanama” dapat
terselesaikan. Penulisan makalah ini dilakukan guna memenuhi tugas dari dosen yang diberikan
sebagai tugas terstruktur kepada penulis. Penulis selaku penyusun makalah ini mengucapkan
terima kasih kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah dan kepada semua pihak yang telah
banyak membantu penulis dalam menyusun tugas makalah ini, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Kami menyadari bahwa meskipun makalah ini telah disusun dengan baik dan teliti, tetapi
didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun isi. Oleh
karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca makalah ini.
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1. Mengetahui tentang perbedaan nama biasa dan nama ilmiah.
2. Mengetahui tentang kode internasional tatanama tumbuhan.
3. Mengetahui tentang tatanama binomial.
4. Mengetahui tentang tatanama hybrid.
5. Mengetahui tentang tatanam tanaman budidaya / kultivar.
6. Mengetahui tentang biocode dan filokode.
BAB II
PEMBAHASAN
Berbicara tentang tatanama tumbuhan, perlu dingat bahwa yang hendak ditata dan
dibuatkan peraturan-peraturannya adalah nama-nama yang sekarang kita kenal sebagai nama
ilmiah, yang seringkali disebut pula sebagai nama Latin atau nama dalam bahasa Latin.anggapan
ini sebenarnya kurang tepat, karena nama ilmiah tidak hanya berasal dari bahasa Latin saja,
tetapi tepat bila dikatakan, bahwa nama ilmiah adalah nama dalam bahasa yang di berlakukan
sebagai bahasa Latin, tanpa memperhatikan dari bahsa mana asalnya kata yang digunakan untuk
nama tadi.
Oleh karena itu nama biasa terbatas pengertiannya pada orang-orang sebahasa saja, maka
pemakaian nama ilmiah sekarang sudah menjadi kebiasaan umum diterapkan orang di seluruh
dunia ini. Salah satu keuntungan nama ilmiah ialah bahwa pnentuan, pemberian, atau cara
pemakaian untuk setiap golongan tumbuhan dapat didasarkan pada suatu aturan atau system
tatanama.
Bila kedua macam nama ini di bandingkan, akan di ketemukan perbedaan perbedaan
berikut ini :
Nama Ilmiah Nama Biasa
1. Diatur dalam Kode Internasional Tata
1. Tidak mengikuti ketentuan manapun
Nama Tumbuhan
2. Dalam bahasa yang diperlakukan sebagai 2. Dalam bahasa daerah atau bahasa
bahasa Latin setempat
3. Berlaku Internasional 3. Hanya berlaku local
4. Kadang-kadang sukar dilafalkan 4. Biasanya mudah di lafalkan
5. Memberikan indikasi untuk kategori 5. Tidak jelas untuk kategori mana yang itu
takson yang mana nama itu diberikan diberikan
6. Satu takson dapat mempunyai lebih dari
6. Untuk tiap takson dengan definisi posisi,
satu nama yang berbeda-beda menurut
dan tingkat tertentu hanya ada satu nama
bahasa yang digunakan untuk
yang benar
menyebutkan
Meskipun dari segi ilmiah nama biasa mempunyai banyak kelemahan-kelemahan tetapi
nama biasa perlu dipertahankan karena kadang-kadang memang nama itulah yang diketahui
sedang nama ilmiahnya tidak atau belum ada. Sehingga dapat digunakan sebagai pegangan
sementara dalam mengacu pada suatu takson.
1. Mukadimah
2. Bagian I Asas-asas
3. Bagian II Peraturan dan Saran-saran yang terdiri atas 75 pasal, terbagi dalam 6 bab, dengan
masing-masing bab terbagi lagi dalam beberapa seksi
4. Lampiran I Nama-nama hibrida
5. Lampiran II Nama-nama suku yang dilestarikan
6. Lampiran III Nama-nama marga yang dilestarikan dan ditolak
7. Lampiran IV Nama-nama yang bagaimanapun ditolak
Berikut ini adalah isi dari bagian-bagian KITT di atas;
Mukadimah
Mukadimah KITT memuat sepuluh butir yang penting , yaitu:
a. Pembenaran, bahwa ilmu tumbuhan memerlukan system tatanama yang sederhana namun
tepat, yang digunakan oleh semua ahli ilmu tumbuhan di seluruh dunia.
b. Asas-asas yang seluruhnya hanya berjumlah enam merupakan dasar atau pangkal tolak
system tatanam tumbuhan, yang selanjutnya dijabarkan kedalam peraturan-peraturan dan
saran-saran atau rekomedasi yang lebih terinci,
c. Ketentuan-ketentuan yang terinci dibagi dalam peraturan-peraturan yang harus ditaati,
dan saran-saran yang seyogyanya diikiuti demi keseragaman yang lebih luas, da tidak
menjadi contoh yang tidak selayaknya untuk di tiru.
d. Sasaran yang ingin dicapai dengan penyusunan peraturan-peraturan tatanama tumbuhan
adalah untuk penertiban tatanama di masa lampau dan penyediaan system tatanama untuk
masa mendatang.
e. Sasaran yang ingin dicapai dengan pemberian saran- saran atau rekomendasi adalah
keseragaman yang lebih luas serta kejelasan yang lebih terang, terutama untuk masa
mendatang.
f. Ketentuan untuk mengubah kode tatanama tumbuhan merupakan bagian terakhir kode
ini.
g. Peraturan –peraturan dan saran-saran berlaku untuk semua makhluk yang diperlakukan
sebagai tumbuhan ( termasuk jamur, tetapi bakteri tidak), baik yang telah bersifat fosil
maupun yang sekarang masih hidup.
h. Dalam butir ini dinyatakan, bahwa satu-satunya alasan yang tepat untuk mengubah suatu
nama adalah atau adanya studi yang lebih mendalam yang menghasilkan data yang
membenarkan pengubahan suatu nama, karena identifikasi sebelumnya dipandang tidak
tepat lagi, atau karena nama yang bersangkutan ternyata bertentangan dengan ketentuan
yang berlaku.
i. Butir ini menyatakan bahwa dalam hal tidak adanya peraturan yang relevan, atau dalam
hal yang hasilnya akan meragukan bila suatu peraturan diterapkan, maka kelaziman lah
yang harus diikuti .
j. Butir terakhir mukadimah KITT menyatakan, bahwa dengan diterbitkannya edisi terbaru,
otomatis semua edisi sebelumnya tidak berlaku lagi.
Bagian I Asas-asas Tatanama Tumbuhan
a. Asas I
Tatanama tumbuhan dan tatanama hewan berdiri sendiri-sendiri.
Kode Internasional Tatanama Tumbuhan berlaku sama bagi nama-nama takson
yang sejak semua diperlakukan sebagai tumbuhan atau tidak. Kalimat pertama
menunjukkan bahwa peraturan nama ilmiah hewan dan tumbuhan itu berbeda. Misalnya
istilah “phylum” untuk suatu kategori dalam klasifikasi hewan yang dalam klasifikasi
tumbuhan disebut “division”. Kalimat kedua menunjukkan bahwa bila organism itu
dianggap hewan, maka nama organism itu harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada
dalam Kode Internasional Tatanama Hewan, sebaliknya, bila organism diperlakukan
sebagai tumbuhan, maka namanya harus tunduk pada KITT.
b. Asas II
Penerapan nama-nama takson ditentukan dengan perantaraan tipe tatanamanya .
Yang dimaksud dengan tipe tatanama adalah unsure suatu takson yang dikaitkan
secara permanen dengan nama yang diberikan kepada takson itu.
c. Asas III
Tatanama takson didasarkan atas perioritas publikasinya.
Bila suatu takson mempunyai lebih dari satu nama, maka nama yang
dipublikasikan lebih dululah yang berlaku. Tentu saja dalam hal ini pemberian nama
telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Asas IV
Setiap takson dengan sirkum skripsi, dan tingkat tertentu hanya dapat mempunyai satu
nama yang benar, yaitu nama tertua yang sesuai dengan peraturan, kecuali dalam hal-
hal yang dinyatakan secara khusus.
Bila ditekankan pada hanya dapat mempunyai satu nama yang benar, maka
adanya sinonima merupakan suatu hal yang tidak dimungkinkan, namun dinyatakan pula
bahwa hal itu ada pengecualiannya. Seperti beberapa nama suku yang secara eksplisit
dinyatakan, bahwa suku-suku tadi mempunyai nama alternative. Nama-nama suku
Gramineae, Palmae, Umbelliferae, Compositae misalnya, berturut-turut boleh diganti
dengan Poaceae, Arecaceae, Apiaceae, dan Asteraceae.
e. Asas V
Nama-nama ilmiah diperlakukan sebagai bahasa latin tanpa memperhatikan asal nya.
Nama ilmiah adalah nama yang terdiri atas kata-kata yang diperlakukan sebagai
bahasa Latin, dan tidak tepat bila nama ilmiah disamakan dengan nama latin.
f. Asas VI
Peraturan tatanama berlaku surut kecuali bila dibatasi dengan sengaja.
Peraturan tatanama tumbuhan lahir pada tahun 1867 yang diawali oleh Muktamar
Botani Internasional I di Paris. Namun demikian ketentuan-ketentuan yang termuat di
dalamnya dinyatakan berlaku sejak lebih seabad sebelumnya, yaitu dinyatakan berlaku
per 1 Mei 1753, jadi peraturan tatanama tumbuhan itu berlaku surut.
Bagian II Peraturan-peraturan dan Saran-saran (rekomendasi)
a. Bab I : Tingkat-tingkat takson dan istilah-istilah untuk menyebutnya
Bab ini terdiri atas lima pasal. Pasal satu sampai lima yang memuat butir-butir
utama sebagai berikut.
1) Bahwa dalam taksonomi tumbuhan, setiap kelompok taksonomi dari kategori yang
manapun disebut suatu takson.
2) Bahwa dari sederetan takson yang bertingkat-tingkat itu yang dijadikan unit dasar
adalah kategori jenis.
3) Bahwa tingkat-tingkat takson (kategori) yang pokok berturut-turut dari bawah ke atas
disebut dengan istilah jenis (spesies), marga (genus), suku (familia), bangsa (ordo),
kelas (classis), dan divisi (division).
4) Bahwa bila dikehendaki jumlah tingkat takson yang lebih banyak dapat ditambahkan
atau diantara takson-takson lama disisipkan takson-takson baru, asal hal itu tidak akan
berakibat terjadinya kekeliruan atau kekacauan. Untuk sederetan tingkat takson yang
telah mendapat kesepakatan internasional dari yang besar ke yang kecil disebut
dengan istilah-istilah dunia (regnum), anak dunia (sub regnum), divisi (division),
kelas (classis), anak kelas (sub classis), bangsa (ordo), anak bangsa (sub ordo), suku
(familia), anak suku (sub familia), rumpun (tribus), anak rumpun (sub tribus), marga
(genus), anak marga (sub genus), seksi (sectio), anak seksi (sub section), seri (series),
anak seri (sub series), jenis (spesies), anak jenis (sub spesies), varitas (varietas), anak
varitas (sub varietas), forma (forma), anak forma (sub forma).
5) Bahwa urutan-urutan tingkat-tingkat takson (kategori) itu tidak boleh di ubah.
b. Bab II : Ketentuan umum untuk nama-nama takson
Bab ini terbagi dalam empat seksi yang seluruhnya memuat 10 pasal (pasal 6
sampai dengan 15).
Seksi I yang berjudul “definisi-definisi” hanya terdiri atas satu pasal, yaitu pasal 6
dan isi yang penting pasal ini antara lain adalah definisi-definisi untuk:
1) Publikasi yang mangkus (efektif), yaitu publikasi yang sesuai dengan persyaratan
seperti tersebut dalam Pasal 29-31.
2) Publikasi yang sahih (berlaku), bila memenuhi persyaratan seperti tersebut dalam
Pasal-pasal 32-45.
Dalam seksi ini selanjutnya juga diberikan definisi-definisi untuk berbagai nama
dengan sebutan tertentu, antar lain:
1) Nama sah (legitimate), bila sesuai dengan bunyinya peraturan dan tidak sah
(illegitimate) bila bertentangan dengan bunyinya peraturan.
2) Nama yang benar (correct), merupakan nama sah yang tertera publikasi, kecuali
untuk nama-nama tertentu yang dinyatakan sebagai perkecualian terhadap ketentuan
itu.
3) Nama kombinasi, adalah nama-nama takson di bawah tingkat marga (jenis, anak
jenis, varietas, dst) yang terdiri atas nama marga digabung dengan nama sebutan
(epitheton) yang berjumlah satu sehingga membentuk kombinasi ganda. Seperti pada
nama jenis Hibiscus sabdariffa, yang terdiri atas nama marga Hibiscus digabung
dengan sebutan jenis sabdariffa.
4) Autonima atau nama automatis, yaitu nama yang harus berbentuk tertentu, sesuai
dengan bunyinya ketentuan.
5) Sinonima, dua nama atau lebih untuk suatu takson, misalnya Gramineae = Poaceae,
Compositae = Asteraceae untuk nama-nama suku.
6) Basionima, yaitu nama dasr yang dijadikan pangkal tolak dalam pemberian nama
kepada suatu takson tertentu, misalnya pemberian nama suatu jenis yang mengalami
perubahan status, yaitu dipindah ke lain marga, sehingga namanya harus berubah.
Sebagai contoh adalah Pseudodatura arborea yang dipindahkan ke marga Brugmansia
yang namanya berubah menjadi Brugmansia arborea. Dalam contoh ini Pseudodatura
arborea merupakan basionimanya Brugmansia arborea.
7) Homonima, yaitu suatu nama yang digunakan untuk dua takson yang berbeda. Nama
Setaria misalnya oleh Acharius digunakan untuk nama marga lumut kerak, tetapi
Palisot de Beauvais menggunakan nama Setaria untuk marga rumput. Ini merupakan
contoh homonima, yang sesuai dengan asas prioritas nama Setaria untuk marga
rumput itu harus diganti karena Setaria sudah lebih digunakan untuk nama lumut
kerak.
8) Tautonima, yaitu nama jenis yang nama marga dan sebutan jenisnya terdiri atas kata-
kata yang persis sama atau hampir sama, misalnya Linaria linaria, Boldu boldus.
Berbeda dalam taksonomi hewan, dalam taksonomi tumbuhan tautonima merupakan
nama yang tidak sah, jadi tidak boleh digunakan.
9) Nama telanjang (nomen nudum), nama yang diberikan tanpa disertai candra atau
diagnosis dalam bahasa Latin yag sesuai dengan ketentuan. Seperti tautonima, nomen
nudum juga merupakan nama yang tidak sah.
10) Nama yang meragukan (nomen ambiguum), adalah nama yang oleh penciptanya tidak
secara eksplisit dinyatakan sebagai nama suatu takson tertentu, sehingga meragukan,
apakah kata-kata yang dipakai itu benar-benar dimaksud sebagai nama takson atau
bukan.
11) Nama-nama yang dilestarikan (nomen conservandum), nama yang dipertahankan
untuk terus dipakai, walaupun nama itu tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
a) Nama-nama marga yag dilestarikan (nomina generic conservanda)
b) Nama-nama suku yang dilestarikan (nomina familiarum conservanda)
12) Nama-nama yang ditolak (nomen rejiciendum), nama-nama yang secara luas dan
terus dipakai untuk takson yang tidak mencakup tipe-tipe tatanamanya.
Seksi II memuat masalah “tipifikasi”, terdiri atas 4 pasal ( pasal 7 -10 ), memuat
antara lain:
1) Penerapan nama-nama takson tingkat suku ke bawah harus didasarkan atas tipe
tatanamanya.
2) Tipe tatanama adalah unsure suatu takson yang padanya melekat secara permanen
nama dan candra takson yang bersangkutan, dan bahwa tiep tatanama tidak harus
merupakan wakil takson tadi yang dianggap paling tipikal.
3) Specimen atau unsure lain yang dipilih sebagai tipe tatanama disebut holotipe.
4) Bila seorang ahli member nama dan mencandra suatu takson tidak menentukan
holotipenya, atau karena sesuatu sebab holotipe itu hilang atau binasa, dapat
ditentukan penggantinya yang disebut lektotipe atau neotipe.
Seksi III dalam bab ini yang terdiri atas 1 pasal, yaitu pasal 11 memuat masalah
“prioritas” dan “nama yang benar” yang pada dasrnya tidak berbeda dengan bunyi Asas
IV, dengan ditambah bahwa: nama yang benar untuk marga atau genus adalah nama
tertua yang sah yang diberikan untuk tingkat takson itu kecuali bila ada pembatasan
prioritas karena adanya nama-nama yang dilestarikan.
Nama yang benar untuk setiap jenis atau takson di bawahnya adalah kombinasi
sebutan (epitheton) dalam nama sah yang tertua yang diberikan kepada takson tadi,
dengan nama marga atau nama jenis yang membawahinya, kecuali bila kombinasi itu
menjadi tidak berlaku karena adanya pembatasan asas prioritas, atau sebab lain yang
menyebabkan harus digunakannya kombinasi yang berbeda.
Seksi IV yang terdiri atas 3 pasal (pasal 13-15) berjudul “pembatasan asas
prioritas” berisi antara lain ketentuan-ketentuan, bahwa: Nama-nama tumbuhan dari
berbagai kategori diperlakukan seakan-akan dipublikasikan mulai dari tanggal-tanggal
seperti di bawah ini.
Bagi tumbuhan yang sekarang masih hidup:
a) 1 Mei 1753 untuk Spermatophyta dan Pteridophyta
b) 1 Januari 1801 untuk Musci dan Sphagnaceae
c) 1 Mei 1753 untuk Sphagnaceae dan Hepaticae
d) 1 Mei 1753 untuk Fungi dan Fungi pembentuk Lichenes
e) 31 Desember 1801 untuk jamur bangsa Uredinales, Ustilaginales dan
Gasteromycetes yang dipakai oleh Persoon
f) 1 Januari 1821 untuk Fungi Caeteri, selain Myxomycetes dan jamur pembentuk
Lichenes
g) 1 Mei 1753 untuk Algae
h) 1 Januari 1892 untuk Nostocaceae Homocysteae
i) 1 Januari 1886 untuk Nostocaceae Heterocysteae
j) 1 Januari 1848 untuk Desmidiaceae
k) 1 Januari 1900 untuk Oedogoniaceae
Bagi tumbuhan yang telah bersifat fosil, 31 Desember 1820 untuk semua golongan.
c. Bab III Tatanama takson sesuai dengan tingkatnya
Nama-nama ilmiah untuk takson tingkat mana pun lazin ditulis dengan
menggunakan huruf besar (capital) untuk huruf pertama setiap nama. Bab III ini terdiri
atas 13 pasal yang dikelompokkan ke dalam 6 seksi.
Seksi I dalam bab ini terdiri atas Pasal 16 dan 17 diberi judul “nama-nama takson
di atas tingkat suku” dan di dalamnya terdapat butir-butir penting sebagai berikut:
1) Bahwa untuk takson di atas tingkat suku tidak diterapkan metode tipe, dan bahwa
asas prioritas tidak berlaku baginya.
2) Bahwa nama-nama takson di atas tingkat suku automatis dapat disebut mempunyai
tipe tatanama bila nama-namanya didasarkan atas nama suatu marga yang tergolong
di dalamnya, ditambah dengan akhiran yang sesuai untuk takson itu.
Namun demikian, bagi kelompok ini ada beberapa saran yang menyangkut
pemberian namanya yang pantas untuk mendapatkan perhatian, adalah:
1) Untuk nama-nama divisi seyogyanya digunakan satu kata majemuk berbentuk jamak
yang diambilkan dari cirri khas yang berlaku untuk semua warga divisi dengan
ditambah akhiran –phyta, kecuali untuk jamur yang disarankan untuk diberi akhiran –
mycota.
2) Untuk nama anak divisi melalui cara yang sama dengan diberi akhiran –phytina dan
untuk golongan jamur dengan akhiran –mycotina.
3) Untuk nama-nama kelas juga dengan cara yang sama, namun disarankan untuk
menggunakan akhiran –phyceae bagi Algae, -mycetes bagi Fungi, dan –opsida bagi
Cormophyta.
4) Untuk anak kelas pun demikian, akhirannya saja yang berbeda-beda, yaitu –phycidae
untuk Algae, -mycetidae untuk Fungi, dan –idae untuk Cormophyta.
Seksi kedua Bab III yang memuat dua pasal (pasal 18 dan 19) membahas masalah
“nama-nama suku, anak suku, rumpun, dan anak rumpun”. Nama-nama suku merupakan
satu kata sifat yang diperlakukan sebagai kata benda yang berbentuk jamak, biasanya
diambil dari nama marga yang dipilih sebagai tipe tatanamanya ditambah dengan akhiran
–aceae, seperti misalnya: Malvaceae (dari Malva+aceae).
Seksi III yang terdiri atas Pasal-pasal 20-22 membahas “nama-nama marga dan
takson-takson di bawahnya.” Terdiri atas 3 pasal dengan butir-butir yang penting sebagai
berikut:
1) Nama marga merupakan kata benda berbentuk mufrad, atau kata lain yang
diperlakukan sebagai kata yang bersifat demikian, bahkan dapat dibentuk dengan cara
mana suka.
2) Nama marga tidak dibenarkan berupa istilah yang lazim digunakan dalam morfologi
tumbuha, misalnya Radicula atau Tuber (yang masing-masing berarti akar lembaga
dan umbi), kecuali bila pemberian nama itu telah terjadi sebelum 1 Januari 1912, dan
pada waktu nama itu dipublikasikan dilengkapi pula dengan nama jenis yang disusun
sesuai dengan system biner menurut Linnaeus.
3) Nama marga tidak boleh terdiri atas dua kata, atau kedua kata itu harus disatukan
dengan tanda penghubung, misalnya Uva-ursi.
4) Kata-kata yang tidak dimaksud sebagai nama marga tidak dapat dianggap sebagai
nama marga, seperti kata Anonymos.
5) Dalam pembentukan nama-nama marga ada sejumlah saran yang dimohonkan
perhatian, dan sedapat mungkin tidak dilanggar, antara lain:
a) Agar sedapat mungkin menggunakan bentuk Latin
b) Menghindarkan penggunaan kata-kata yang tidak mudah disesuaikan dengan
bahasa Latin
c) Tidak menggunakan kata yang panjang dan sukar dilafalkan dalam bahasa Latin
d) Tidak menggunakan kata-kata yang merupakan gabungan kata dari bahasa yang
berlainan
e) Bila mungkin, dengan pemberian akhiran tertentu menunjukkan kekerabatan atau
anlogi suatu marga dengan marga lain
f) Menghindarkan penggunaan kata sifat sebagai kata benda
g) Tidak menggunakan kata yang dijabarkan dari sebutan jenis yang tergolong dalam
marga itu
h) Tidak menggunakan nama orang yang tidak ada kaitannya dengan dunia ilmu
tumbuhan
i) Menggunakan sebagai nama marga potongan-potongan dari dua nama marga lain.
Seksi IV Bab III “nama-nama jenis” hanya terdiri atas satu pasal, yaitu Pasal 23,
yang berisi ketentuan-ketentuan dan saran-saran tentang nama jenis, memuat butir-butir
penting berikut:
1) Nama jenis adalah suatu kombinasi biner atau binomial yang terdiri atas nama marga
disusul dengan sebutan jenis, yang dalam penulisannya hanya huruf pertamanya saja
yang ditulis dengan huruf besar, bagian lainnya termasuk sebutan jenisnya, semua
ditulis dengan huruf kecil.
2) Sebutan jenis dapat diambil dari sumber yang mana pun, bahkan dapat dibentuk
secara arbitrar.
3) Lambang yang merupakan bagian sebutan jenis harus ditranskripsikan, jadi nama
Scandix pecten o L. harus ditulis Scandix pecten-veneris L., Veronica anagallis L.
harus ditulis Veronica anagallis aquatica L.
4) Sebutan jenis tidak boleh terdiri atas kata yang merupakan ulangan yang sama atau
hampir sama nama marga, dengan atau tanpa ditambah lambing yang telah
ditranskripsikan.
5) Sebutan jenis yang merupakan kata sifat, harus diberi bentuk yang menurut tata
bahasa sesuai dengan jenis kelamin nama marganya, misalnya: Aspergilllus niger,
Sambucus nigra, Piper nigrum, Crocus sativus, Oryza sativa, Triticum sativum.
Aspergillus dan Crocus berjenis kelamin jantan, Sambucus dan Oryza betina,
sedangkan Piper dan Triticum banci.
6) Ada beberapa kata yang ditempatkan di belakang nama marga namun kata itu tidak
dianggap sebagai sebutan jenis, karena kata-kata itu memang tidak dimaksud sebagai
sebutan jenis, melainkan untuk menunjukkan sesuatu hal/sifat mengenai tumbuhan
yang dimaksud. Atriplex “nova”, yang di sini kata “nova” hanya untuk menunjukkan
bahwa tumbuhan yang dimaksud adalah suatu jenis baru (nova) dalam marga
Atriplex, yang belum ada namanya.
7) Angka: dalam huruf yang menyatakan nomor urut, misalnya Boletus vicessimus
sextus, Agaricus octogesimus nonus. Kata sextus (=keenam) dan nonus (kesembilan)
di sini dimaksud untuk menunjukkan jenis yang ke-6 dan ke-9 dalam urutan dalam
marga masing-masing, jadi tidak merupakan bagian sebutan jenis.
8) Kata-kata yang biasanya menunjukkan suatu sifat, yang termuat sebagai sebutan
jenis, namun belum secara konsisten digunakan sesuai dengan system ganda menurut
Linnaeus. Dalam nama Abutilon flore flvo, kata “flore flavo” bukan suatu sebutan
jenis, melainkan suatu deskripsi yang menunjukkan salah satu ciri tumbuhan yang
bersangkutan, ialah bahwa tumbuhan iitu mempunyai bunga yang berwarna kuning
(flore flavo= berbunga kuning).
9) Formula yang menunjukkan nama hibrida. Nama-nama hibrida yang juga tampak
bersifat ganda, bagian belakang kombinasi nama hibrida itu tidak dapat dikatakan
sebagai sebutan jenis, namun merupakan sebagian formula yang merupakan nama
hibrida, yang biasanya dicirikan dengan adanya suatu tanda x (tanda
perkalian=multiplication sign)
Seksi V Bab III yang terdiri atas pasal 24, 25, dan 26 memuat ketentuan-
ketentuan untuk “nama-nama takson di bawah tingkat jenis” (takson infraspesifik).
Ketentuan-ketentuan yang penting yang berkaitan dengan pemberian nama-nama takson
di bawah tingkat jenis (anak jenis, varitas, anak varitas, forma dan anak forma), antara
lain ialah:
1) Nama takson di bawah tingkat jenis terdiri atas nama jenis dan suatu sebutan yang
dihubungkan dengan istilah untuk takson di bawah tingkat jenis yang dimaksud,
sehingga dengan demikian nama itu sekurang-kurangnya terdiri atas empat kata, yaitu
dua kata untuk nama jenis, satu kata untuk sebutan takson di bawah tingkat jenis, dan
satu kata yang merupakan istilah untuk takson di bawah tingkat jenis (biasanya dalam
bentuk singkatan) yang dimaksud. Contoh: Pedilanthus tithymaloides subspecies
retusus; Hibiscus sabdariffa varietas alba; Trifolium stellatum forma nanum.
2) Sebutan untuk takson di bawah tingkat jenis, seperti halnya dengan sebutan jenis,
harus mempunyai bentuk yang dari segi tata bahasa disesuaikan dengan jenis kelamin
nama marganya.
3) Kata-kata typcus, originalis, orginarius, genuinus, verus, dst, yang berarti tipikal, asli,
atau sungguh, dan dimaksud untuk menunjukkan bahwa takson di bawah tingkat jenis
itu memuat tipe tatanama takson yang berada setingkat di atasnya, justru sebutan-
sebutan itu tidak dibenarkan untuk dipakai dan juga tidak dapat dipublikasikan.
4) Penggunaan kombinasi ganda sebagai sebutan takson di bawah tingkat jenis tidak
dibenarkan, dan bila hal itu terjadi penulisannya harus dibetulkan
5) Takson-takson di bawah tingkat jenis yang tergolong dalam jenis yang berbeda, dapat
mempunyai sebutan yang sama dan takson di bawah tingkat jenis dapat mempunyai
sebutan yang sama dengan sebutan yang digunakan untuk jenis lain di luar jenis yang
membawahi takson tadi.
Seksi VI yang merupakan seksi terakhir dalam Bab III ini, berjudul “nama
tumbuhan budidaya”, yang hanya memuat satu pasal (Pasal 28) dan berisi ketentuan-
ketentuann berikut:
1) Tumbuhan dari keadaan liar yang kemungkinan dibudidayakan , mempertahankan
nama seperti yang diberikan kepada takson itu ketika masih tumbuh di alam,
misalnya untuk tebu namanya tetap Saccharum officinarum.
2) Hibrida atau bastar, baik yang putative maupun yamg merupakan hasil pembastaran
dengan sengaja, diberi nama sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
lampiran KITT tentang nama hibrida, yang seluruhnya terdiri atas 12 pasal, yang
dicirikan dengan tanda perkalian (x) atau dengan penggunaan awalan “Noto-“,
misalnya: x Agropogon (bastar antar marga Agrostis x Polypogon).
3) Unit-unit hasil kegiatan dalam pertanian yang tercakup dalam istilah pemuliaan,
lazimnya disebut sebagai kultivar, mempunyai tatanama yang diatur dalam Kode
Internasional Tatanama Tumbuhan Budidaya.
d. Bab IV : Publikasi mangkus (efektif) dan publikasi sahih (berlaku)
Bab ini dibagi dalam 4 seksi yang seluruhnya mencakup 22 pasal (Pasal 29
sampai dengan 50). Adapun ketentuan-ketentuan yang perlu mendapat perhatian kita
antara lain:
Seksi I tentang “kondisi dan tanggal publikasi yang mangkus”, yang terdiri atas
tiga pasal (Pasal 29 sampai dengan 31):
1) Di bawah KITT, publikasi hanya dianggap mangkus apabila merupakan distribusi
barang cetakan (melalui penjualan, tukar menukar, atau pemberian) kepada khalayak
umum atau sekurang-kurangnya kepada lembaga-lembaga ilmu tumbuhan dengan
perpustakaan yang terbuka bagi ilmuwan tumbuhan pada umumya.
2) Pemasaran barang cetakan yang tidak ada untuk dijual tidak merupakan publikasi
yang mangkus.
3) Publikasi tulisan tangan yang tidak dapat dihapus merupakan publikasi yang
mangkus, bila hal itu terjadi sebelum 1 Januari 1953.
4) Publikasi nama-nama dalam catalog dagang pada 1 Januari 1953 dan setelah itu,
demikian pula publikasi nama-nama dalam daftar tukar menukar biji pada tanggal 1
Januari 1973 dan sesudahnya, merupakan publikasi yang tidak dianggap mangkus.
5) Tanggal publikasi yang mangkus adalah tanggal mulainya barang cetakan itu tersedia
bagi masyarakat. Bila tidak ada bukti lain, tanggal yang disebut pada barang cetakan
itu harus diterima sebagai tanggal publikasinya yang benar.
6) Bila makalah-makalah lepas dari suatu berkala atau karya lain yang ditawarkan untuk
dijual terbit lebih dulu, tanggal pada separat itu dianggap sebagai tanggal
publikasinya yang mangkus, kecuali bila kemudian terbukti, bahwa tanggal tadi
keliru.
7) Mulai tanggal 1 Januari 1953 dan setelah itu distribusi barang cetakan yang menyertai
bahan kering tidak dapat dianggap sebagai publikasi yang mangkus.
Seksi II, “kondisi dan tanggal publikasi nama yang sahih”. Seksi II Bab IV ini
meliputi sampai 15 pasal (Pasal 32-46) yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai
persyaratan dan aspek publikasi yang dapat dinyatakan sebagai publikasi yang sahih
(valid). Di antara butir-butir yang penting yang mempunyai kaitan erat dengan masalh
publikasi yang sahih itu adalah:
1) Agar dapat terpublikasikan dengan sahih, nama suatu takson (kecuali bila berupa
autonima) harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:
a) Telah dipublikasikan dengan cara yang mangkus pada tanggal mulai berlakunya
tatanama yang diakui bagi kelompok yag bersangkutan, atau dipublikasikan
setelah tanggal tersebut.
b) b. Mempunyai bentuk yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk tingkat
takson masing-masing.
c) c. Disertai candra atau diagnosis yang pernah dipublikasikan secara mangkus
sebelumnya.
e. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus seperti termuat dalam Pasal-pasal 33-
45.
2) Nama yang dipublikasikan dengan sahih melalui rujukan dengan deskripsi atau
diagnosis yang dipublikasikan sebelumnya, mempunyai sebagai tipe tatanamanya
suatu unsure yang dipilih sesuai dengan bunyi candra atau diagnosis, yang
menyebabkan nama tadi dapat dipublikasikan dengan sahih.
3) Diagnosis suatu takson merupakan suatu candra yang pendek yang menurut
penulisnya dapat digunakan untuk membedakan takson itu dari takson yang lain, yang
berarti dapat digunakan untuk mengidentifikasikan takson tadi tanpa kemungkinan
kekeliruan dengan takson lain.
4) Rujukan tidak langsung merupakan petunjuk yang jelas, melalui sitasi penulisnya
atau dengan cara lain, bahwa untuk kesahihan publikasi suatu nama, dapat digunakan
candra atau diagnosis yang pernah diterbitkan sebelumnya.
5) Nama yang dipublikasikan dengan bentuk bahasa Latin yang salah, tetapi selain itu
telah sesuai dengan KITT, dianggap telah dipublikasikan dengan sahih, namun
kesalahnnya harus diperbaiki tanpa mengubah nama pencipta dan tanggal
publikasinya.
6) Autonima dianggap sebagai nama yang dipublikasikan dengan sahih, sejak
diterbitkannya karya yang memuat nama itu untuk pertama kali.
Seksi III Sitasi nama pencipta (author’s name) dan pustaka demi ketepatan.
Dalam karya-karya ilmiah, nama-nama takson tingkat suku ke bawah seringkali diikuti
dengan satu nama atau lebih yang lazimnya ditulis dalam bentuk singkatan. Pemberi
nama atau pencipta nama itu dalam pustaka berbahasa asing disebut “author” (Inggris),
“auteur” (Belanda), “autor” (Jerman), yang kata-kata itu sebenarnya berarti penulis.
Contoh nama takson dengan penciptanya adalah seperti di bawah ini:
a) Rosaceae Juss.
b) Rosa L.
c) Rosa gallica L.
d) Adiantum lunulatum Burm. F.
Pada contoh-contoh di atas Rosaceae merupakan nama suku yang diciptakan oleh de
Jussieu (seorang ahli taksonomi Prancis), yang di situ nama de Jussieu disingkat Juss.
Contoh kedua nama marga Rosa yang diciptakan oleh Lineus di singkat L. Begitu pula
contoh ketiga yang merupakan nama jenis ciptaan Linneus. Pada contoh keempat di
belakang nama Jenis Adiantum lumulatum Burm.f. yang merupakan kepanjangan dari
Burman filius yang berarti anaknya Burman atau Burman yang muda. Dalam bahasa non-
ilmiah f. (filius) biasa diganti dengan Jr. (junior).
Dalam pemberian nama takson tumbuhan dapat terlibat lebih dari seorang, bila
demikian semua orang yang terlibat tadi ikut di cantumkan dan ditulis sedemikian rupa
sehingga diketahui hubungan nama orang yang satu dengan yang lain seperti dalam
contoh-contoh berikut:
a) Impatiens holstii Engl. et Warb
Artinya nama jenis Impatiens hostlii diciptakan bersama oleh dua orang yaitu Engler
dan Warburg. Bila ada lebih dari dua orang terlibat dalam pemberian nama suatu
takson, maka di belakang nama takson itu hanya disebut nama salah seorang disusul
dengan kata et al (singkatan dari et allies) yang berarti dengan sekutu-sekutunya.
b) Cinnamomun inners Reinw.ex Bl.
Artinya terjadinya nama jenis Cinnamomun iners terlibat dua orang, pemberi nama
pertama adalah Reinwardt (disingkat Reinw) tetapi yang mempublikasikan adalah
Blume (disingkat Bl.)
c) Myosotis L.emend. R.Br
Artinya marga Myosotus di ciptakan oleh L. (singkatan dari Linneus) tetapi diadakan
perubahan mengenai ciri-ciri diagnostiknya oleh R.Br. (singktan dari Robert Brown).
Kata emend adalh singkatan dari emendavit yang artinya di ubah oleh.
d) Medicicago orbisularis (L.) Bartal.
Pada contoh ini nama orang yang di tempatkan dalam kurung adalh nama orang yang
pertama-tama emberikan nama yang didepannya, sedang nama orang yang kedua
tanpa tanda kurung adalah nama orang yang melakukan perubahan kedudukan takson
yang bersangkutan.
Pasal 46 KITT menyatakan bahwa pencantuman nama pencipta bertujuan agar:
1) Nama ilmiah disebut dengan lebih akurat dan lebih lengkap.
2) Tersedia suatu sarana untuk melakukan verivikasi mengenai tanggal publikasi nama
dan memungkinkan seseorang yang berminat terhadap takson itu membaca candra
atau diagnosis orisinal yang dibuat oleh pencipta nama tadi.
Seksi IV Bab IV Saran-saran umum mengenai sitasi. Dalam
hubungannya dengan masalah sitasi nama-nama dalam seksi ini terdapat beberapa
saran atau anjuran, antara lain:
1) Sitasi nama yang dipublikasikan sebagai sinonima, kata “sebagai sinonima” atau “pro
syn.” harus ditambahkan, dan bila seorang penulis mempublikasikan sebagai
sinonima nama dari suatu naskah tulisan lain orang, dalam sitasi itu harus digunakan
kata “ex” untuk menghubungkan nama orang yang dikutip dan nama pengutipnya.
2) Dalam mengutip suatu “nama telanjang”, agar ditambahkan kata-kata “nomen
nodum” atau disingkat “nom. nud”.
3) Sitasi homonima yang lebih muda harus diikuti dengan nama pencipta homonima
yang lebih tua yang didahului dengan kata “non”.
4) Nama yang merupakan hasil identifikasi yang keliru, seyogyanya tidak dimasukkan
sebagai sinonima tetapi ditambahkan di belakangnya. Penggunaannya harus
ditunjukkan dengan kata-kata “auct. non” diikuti oleh nama penciptanya yang asli dan
rujukan pustaka yang memuat identifikasi yang salah tadi.
5) Bila nama marga atau nama jenis diterima sebagai nama yang dilestarikan di
belakang nama-nama itu harus ditambahkan kata-kata “nomen conservandum” yang
biasnya disingkat dengan “nom. cons.”
e. Bab V : Retensi (pelestarian), pemilihan, dan penolakan nama serta sebutan
Seksi I. pelestarian nama atau sebutan pada takson yang diubah atau dipecah.
Dalam KITT ada tiga pasal (51-53) yang memuat ketentuan-ketentuan yang bertalian
dengan masalah-masalah seperti tercermin dari judul Bab IV dan Seksi I ini, yang
berbunyi:
1) Perubahan cirri-ciri diagnostic atau sirkumskripsi suatu takson tidak menjamin
terjadinya perubahan namanya, kecuali bila hal itu dituntut sebagai akibat adanya:
a) Pemindahan ke takson lain
b) Penggabungan dengan takson lain yang setinkat
c) Perubahan tingkt takson itu
2) Bila suatu marga dibagi menjadi dua marga atau lebih, nama marga yang lama (bila
nama marga itu merupakan nama yang benar harus dipertahankan untuk salah satu
marga baru yang merupakan pecahannya), yaitu untuk tetap mencakup tipe tatanama
marga yang asli, sedang untuk pecahan yang lain harus ditemukan tipe tatanama baru
yang lain bagi masing-masing.
3) Bila suatu jenis dipecah menjadi dua jenis atau lebih, sebutan jenisnya harus
dipertahankan bagi pecahan yang sebagai tipe tatanamnya tetap mempertahankan tipe
tatanama seberlumnya.
Seksi II Retensi sebutan jenis atau takson lain di bawah tingkat marga pada
pemindahan ke marga lain (pasal-pasal 54-56). Bila bagian suatu marga dipindahkan ke
marga lain atau ditempatkan di bawah nama lain untuk marga yang sama tanpa
perubahan tingkat, sebutan untuk nama yang benar sebelumnya harus dipertahankan,
kecuali bila terdapat perintang-perintang sebagai berikut:
1) Kombinasi nama yang terjadi merupakan suatu nama yang sebelumnya telah
dipublikasikan dengan sahih untuk suatu bagian marga yang didasrkan pada tipe
tatanama yang lain.
2) Terdapat sebutan untuk nama sah yang lebih tua
3) Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 21 dan 22 harus digunakan sebutan yang lain.
Seksi III bab IV “pemilihan nama pada penggabungan takson yang setingkat”.
Seksi yang hanya memuat atas dua pasal ini (Pasal 57 dan 58), memuat ketentuan-
ketentuan yang menyatakan bahwa:
1) Bila dua takson atau lebih yang setingkat digabungkan, nama yang harus dipakai
untuk takson hasil penggabungan itu adalah nama tertua yang sah dari nama-nama
takson yang digabungkan itu.
2) Untuk hasil penggabungan dua takson atau lebih (yang merupakn takson di bawah
tingkat marga) nama yang harus digunakan adalah nama dengan sebutan yang tertua
dan sah.
Seksi V Pemilihan nama pada perubahan tingkat takson. Seksi ini terdiri atas dua
pasal (60-61), dan antara lain memuat butir-butir berikut:
1) Dalam keadaan yang bagaimanapun prioritas suatu nama tidak dapat dipersoalkan di
luar tingkatnya.
2) Bila suatu takson tingkat suku atau di bawahnya diubah ke tingkat pada tingkat yang
baru itu, dan bila hal itu tidak ada, nama sebelumnya dapat dipertahankan dengan
mengganti akhirannya agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk nama takson
di tingkatnya yang baru itu.
Seksi VI Penolakan nama dan sebutan. Seksi ini terdiri atas sejumlah pasal (Pasal
62-72), dan di antara butir-butir yang penting adalah:
1) Sebutan atau nama yang sah tidak dapat ditolak hanya karena nama atau sebutan itu
dianggap tidak tepat atau tidak dapat diterima, atau karena ada nama atau sebutan lain
yang lebih disukai atau lebih dikenal.
2) Nama-nama jenis atau suatu bagian di bawah marga yang ditempatkan di bawah suatu
marga, yang namnya merupakan homonima lebih muda yang dilestarikan, dan yang
sebelumnya ditempatkan pada marga dengan nama yang merupakn homonima yang
ditolak, nama marga yang merupakan homonima yang dilestarikan adalah nama yang
sah tanpa perubahan nama penciptanya, selama di bawah ketentuan itu tidak ada lain
penghalang.
3) Suatu nama merupakan nama yang tidak sah dan oleh karena iru harus ditolak, bila
nama itu pada waktu dipublikasikan merupakan nama yang berlebihan.
4) Suatu homonima, yaitu nama dengan ejaan yang persis sama dengan nama yang telah
digunakan untuk takson lain dengan tipe ttanama yang berbeda, merupakan nama
yang tidak sah dan harus ditolak, kecuali bila homonima yang lebih muda itu
merupakan nama yang dilestarikan atau diakui karena misalnya telah lama biasa
dipakai atau dikenal.
5) Dua nama marga atau lebih, demikian pula nama jenis atau takson di bawah tingkat
jenis, dengan tipe tatanama yang berbeda, tetapi memiliki nama yang sangat mirip
sehingga besar kemungkinannya untuk terjadinya kekeliruan.
6) Nama-nama bagian suatu marga yang sama atau dua takson di bawah satu jenis yang
tergolong dalam jenis yang sama, meskipun bagian-bagian itu terholong dalam takson
yang berbeda tingkatnya, diperlakukan sebagai homonima bila nama-nama tadi
mempunyai sebutan yang sama dan tidak didasrkan pada tipe tatanama yang sama.
7) Bila dua homonima atau lebih mempunyai prioritas yang sama, homonima pertama
yang diterima oleh seorang penulis dan sekaligus menolak homonima yang lain,
diperlakukan sebagai homonima dengan prioritas paling tinggi dan harus
dipertahankan.
8) Pertimbangan mengenai homonima tidak berlaku untuk nama takson yang tidak
diperlakuakn sebagai tumbuhan.
9) Nama suatu bagian marga merupakan nama yang tidak sah dan harus ditolak bila
nama itu dipublikasikan bertentangan dengan pasapl-pasal yang menyatakan bahwa
pwnulis tidak menggunakan sebutan yang tersedia pada nama yang sah yang tertua
untuk takson yang bersangkutan.
10) Nama suatu jenis tidak dapat dinyatakan tidak sah hanya karena sebutannya pernah
digunakan dalam kombinasi nama yang tidak sah.
11) Suatu nama dapat dianggap sebagai nama yang ditolak, bila nama itu secara luas dan
terus-menerus digunakan untuk takson yang tidak mencakup tipe tatanamanya.
12) Nama-nama yang ditolak harus diganti dengan nama yang dalam tingkat takson yang
bersangkutan mempunyai prioritas.
f. Bab VI : Penulisan (ejaan) nama-nama dan sebutan yang benar dan kelamin (gender)
nama-nama marga
Seksi I Penulisan (ejaan) nama dan sebutan yang benar. Seksi I bab VI terdiri atas
tiga pasal (73-75) memuat hal yang sesuai dengan judulnya menyangkut penulisan nama-
nama serta sebutan-sebutan dengan cara yang tepat.
1) Ejaan asli suatu nama atau sebutan harus dipertahankan, kecuali bila terdapat salah
ketik/cetak atau salah eja.
2) Kebebasan untuk membetulkan penulisan nama yang salah harus dilakukan dengan
hati-hati, lebih-lebih bila perbaikan itu akan berpengaruh terhadap suku kata pertama,
dan lebih dari itu mempengaruhi huruf pertama suatu nama.
3) Bila suatu nama atau sebutan dipublikasikan dalam suatu karya yang huruf u dengan
v, i dengan j, digunakan secara bergantian, seyogyanya dipilih yang menurut
kelaziman dalam praktek lebih banyak digunakan.
4) Dalam penulisan nama-nama ilmiah tidak digunakan tanda-tanda diakritik.
5) Penggunaan bentuk kata majemuk yang salah dalam suatu sebutan diperlakukan
sebagai salah ejaan yang harus dibetulkan.
6) Penggunaan tanda hubung dalam suatu sebutan yang merupakan kata majemuk
dengan awalan yang tidak dapat berdiri sendiri diperlakukan sebagai kesalahan ejaan
yang harus dibetulkan.
7) Sebutan jenis dan takson di bawah tingkat jenis yang terdiri atas dua kata yang dapat
berdiri sendiri harus ditulis dengan tanda penghubung atau digabung menjadi satu
kata.
Seksi II Bab VI Jenis kelamin (gender) nama-nama marga. Kata-kata benda
menurut tata bahasa Latin mempunyai satu di antara tiga kemungkinan jenis kelamin,
yaitu: jantan (masculinum), betina (feminum), banci (neutrum). Karena nama marga
merupakan kata benda, maka nama-nama marga pun mempunyai jenis kelamin, yang
sesuai dengan kaidah tata bahasa Latin.
Nama-nama Hibrida. Khusus untuk tumbuhan yang merupakan hibrida ketentuan-
ketentuan yang mengatur tatanamanya terdapat sebagai salah satu Lampiran KITT yang
dalam KITT hasil Muktamar Internasional ke-XIII di Sidney memuat 12 pasal dengan
kode H.
1) Pada nama hibrida, sifat hibrida dicirikan dengan tanda perkalian (x) atau dengan
penggunaan awalan “notho”, yang berasal dari bahasa Yunani “nothos”=hibrida atau
bastar.
2) Hibrida antara dua takson yang diketahui namanya dapat ditunjukkan dengan
menempatkan tanda perkaian di antara kedua nama takson yang menghasilkan hibrida
itu.
3) Hibrida yang berasal dari dua takson atau lebih dapat diberi nama tersendiri (bukan
formula). Sifatnya sebagai hibrida juga dicirikan dengan penempatan tanda perkalian
(x).
Tata nama binomial atau binomial nomenklatur merupakan aturan penamaan baku bagi semua
organisme (makhluk hidup) yang terdiri dari dua kata (binomial berarti 'dua nama') dari sistem
taksonomi (biologi), dengan mengambil nama genus dan nama spesies. Nama yang dipakai
adalah nama baku yang diberikan dalam bahasa Latin atau bahasa lain yang dilatinkan. Aturan
ini pada awalnya diterapkan untuk fungi, tumbuhan dan hewan oleh penyusunnya (Carolus
Linnaeus), namun kemudian segera diterapkan untuk bakteri pula. Sebutan yang disepakati untuk
nama ini adalah 'nama ilmiah' (scientific name). Awam seringkali menyebutnya sebagai "nama
latin" meskipun istilah ini tidak tepat sepenuhnya, karena sebagian besar nama yang diberikan
bukan istilah asli dalam bahasa latin melainkan nama yang diberikan oleh orang yang pertama
kali memberi pertelaan atau deskripsi (disebut deskriptor) lalu dilatinkan ataupun dari bahasa
Latin sendiri. Carolus Linnaeus memilih penggunaan bahasa Latin untuk penamaan karena dari
masa ke masa hingga saat ini, bahasa Latin tidak mengalami perubahan maupun perkembangan,
melainkan tetap.
Penamaan organisme pada saat ini diatur dalam Peraturan Internasional bagi Tata Nama
Botani (ICBN) bagi tumbuhan, beberapa alga, fungi, dan lumut kerak, serta fosil tumbuhan;
Peraturan Internasional bagi Tata Nama Zoologi (ICZN) bagi hewan dan fosil hewan; dan
Peraturan Internasional bagi Tata Nama Prokariota (ICNP). Aturan penamaan dalam biologi,
khususnya tumbuhan, tidak perlu dikacaukan dengan aturan lain yang berlaku bagi tanaman
budidaya (Peraturan Internasional bagi Tata Nama Tanaman Budidaya, ICNCP).
1. Binomial Nomenklatur
Mungkin kontribusi tunggal terbesar yang dibuat Linnaeus untuk ilmu adalah metodenya
penamaan spesies. Metode ini, yang disebut binomial nomenklatur, memberikan masing-masing
nama spesies dengan dua kata Latin yang unik terdiri dari nama genus dan nama spesies.
Contohnya adalah Homo sapiens, dua kata nama Latin untuk manusia. Secara harfiah berarti
“manusia yang bijaksana.” Ini adalah mengacu pada otak besar kita.
Mengapa memiliki dua nama ini begitu penting? Hal ini mirip dengan orang yang memiliki nama
pertama dan terakhir. Anda mungkin tahu beberapa orang dengan nama pertama Michael, tapi
nama belakang ditambahkan ke Michael biasanya diberi garis bawah yang menunjukan persis
siapa yang Anda maksud. Dengan cara yang sama, memiliki dua nama unik yang
mengidentifikasi spesies.
Anda juga dapat mendengar nama-nama ilmiah yang disebut sebagai “nama Latin,” dalam
referensi ke banyaknya penggunaan Latin dalam taksonomi. Namun, juga hal yang biasa jiga
melihat nama Latin, biasanya menghormati orang yang menemukan organisasi, atau daerah di
mana ia ditemukan, misalnya, Branta canadensis adalah Goose Kanada. Bahasa Yunani juga
digunakan dalam nama ilmiah, sering campur aduk dengan bahasa Latin karena pengaruh
beberapa sarjana tempo dulu.
Sistem tata nama binomial dikembangkan oleh Carolus Linnaeus, seorang ilmuwan abad
ke-18 yang berusaha untuk menyusun alam dengan sistem taksonomi. Berbagai sistem
taksonomi telah digunakan sebelum titik ini, tapi Linnaeus membangun secara fleksibel, mudah
untuk menggunakan sistem juga mengcakup dengan cepat. Taksonomi sebenarnya sebagian
besar masih dilakukan dengan disiplin sampai abad ke-19, ketika orang mulai menetapkan kode
dan organisasi untuk mengawasi bidang taksonomi. Ketika organisme baru ditemukan, mereka
melaporkan organisasi ini untuk memastikan bahwa penemuan ini, pada kenyataannya adalah
baru, yang memungkinkan nama baru yang akan dihasilkan.
Hal ini dapat membantu untuk mengetahui tentang beberapa konvensi yang digunakan dalam hal
binomial nomenklatur. Sebagai contoh, nama ilmiah selalu diberikan dengan genus yang
dikapitalisasi, huruf miring, seperti ini: Genus spesies. Dalam jurnal ilmiah, penghargaan
diberikan kepada orang yang menemukan organisme dalam tanda kurung setelah daftar pertama
dari nama ilmiah, seperti ini: Contoh hewan (Jones, 1997). Ketika nama umum dari suatu
organisme diberikan, nama ilmiah berikut dalam tanda kurung, seperti dalam contoh ini: “The
Common Wombat (Vombatus ursinus) tinggal di Australia.”
Nama genus selalu disebutkan, kecuali jika Anda menyebutkan nama ilmiah suatu
organisme lebih dari sekali dalam dokumen tertulis atau penulisan ilmiah, dalam hal ini Anda
dapat mengubahnya menjadi sebuah awal, seperti ini: “Makhluk biologis dari Atlantik yaitu
cumi-cumi raksasa Architeuthis dux belum sepenuhnya dipahami, tetapi para ilmuwan berharap
bahwa penelitian lebih lanjut dari A. dux dan sepupunya, cumi-cumi raksasa Selatan (A.
sanctipauli) akan menghasilkan informasi lebih lanjut tentang makhluk-makhluk yang menarik”.
Penggunaan nama yang umum seperti” E. coli ” lebih disukai oleh konvensi binomial
nomenklatur, yang para ilmuwan sepakat mengacu pada Escherichia coli yang ditulis dalam tiap
diskusi bakteri yang menarik ini.
Pengertian dan penamaan kultivar diatur dalam "Aturan Internasional untuk Tatanama
Tanaman Budidaya" (International Code of Nomenclature for Cultivated Plants, ICNCP). Istilah
kultivar (bahasa Inggris: cultivar, singkatan dari cultivated varieties) merupakan pengelompokan
dasar (culton istilah yang sejajar dengan taxon dalam botani) untuk tanaman budidaya, dan
dikoinekan oleh L.H. Bailey pada tahun 1923. Berbagai kultivar dengan kekhasan sifat yang
sama dikata sebagai gugusan kultivar. Kedua istilah ini (kultivar dan kelompok) dijelaskan dan
diatur penggunaannya dalam ICNCP.
Tanaman-tanaman yang didomestifikasi atau dijinakkan dari alam memakai nama seperti
tumbuh-tumbuhan yang sama yang masih hidup secara liar. Variasi takson dibawah tingkat jenis
yaitu terjadi dalam pemeliharaan baik itu karena persilangan buatan, mutasi, seleksi atau usaha
pemuliaan lain, sehingga diperlakukan nama tersendiri untuk membedakannya, dapat diberi
petunjuk kultivar , sebaiknya dalam bahasa daerah yang nyata bedanya dengan penunjuk-
penunjuk jenis atau varietas dalam bahasa Latin
Sistem klasifikasi yang banyak digunakan saat ini adalah taksonomi Linnaeus. Sistem ini
meliputi tingkatan, dan tatanama binomial. Cara penamaan organisme diatur oleh persetujuan
internasional seperti International Code of Botanical Nomenclature (ICBN), International Code
of Zoological Nomenclature (ICZN), dan International Code of Nomenclature of Bacteria
(ICNB). Klasifikasi virus, viroid, prion, dan agen sub-viral ditentukan oleh International
Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV), dan sistemnya disebut International Code of Viral
Classification and Nomenclature (ICVCN).
Sebuah usulan yang disebut BioCode diterbitkan pada tahun 1997 dengan maksud untuk
menstandardisasi tata nama di tiga bidang tersebut, namun usulan ini masih belum diterapkan.
BioCode tidak banyak diperhatikan semenjak tahun 1997; rencana penerapannya pada tahun 1
Januari 2000 tidak banyak disadari. Revisi BioCode yang tidak mengganti kode yang ada, dan
hanya menyediakan konteks pemersatu diusulkan pada tahun 2011. Namun, International
Botanical Congress pada tahun 2011 menolak mempertimbangkan usulan BioCode. ICVCN
berada di luar ranah BioCode karena BioCode tidak meliputi klasifikasi virus.
2. Filocode
The Kode Internasional filogenetik Nomenklatur , yang dikenal sebagai PhyloCode untuk
jangka pendek, adalah satu set formal aturan yang mengatur nomenklatur filogenetik . Versi saat
ini secara khusus dirancang untuk mengatur penamaan clades , meninggalkan tata nama spesies
hingga kode nomenklatur berbasis peringkat ( ICN , ICZN , ICNB , ICVCN ).
PENUTUP
A.KESIMPULAN
http://flora-kampung.blogspot.com/p/blog-page.html
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/adoc.pub_kode-internasional-tata-nama-tumbuhan-siti-
muslich.pdf