Anda di halaman 1dari 6

TATANAMA TIJMBUHAN

Nama biasa dan nama ilmiah Dalam bab terdahulu telah dikemukakan, bahwa mengingat kaitan yang ada antara manusia dengan tumbuhan, tentulah sejak dahulu kala manusia telah terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang termasuk lingkupnya taksonomi tumbuhan, antara lain pemberian nama. Bangsa-bangsa Cina, Mesir, dan Asiria, sejak ribuan tahun yang lalu telah mengenal berbagai jenis tumbuhan dan telah

mengklasifikasikannya pula sesuai dangan kegunaanya. Di antara nama-narna tumbuhan dari masa lalu itu ada yang bahkan bertahan sampai sekarang, praktis tanpa perubahan yang berarti. Nama-nama as, kudimeranu, papa, samasamu dalam bahasa Asiria, yang dalam bahasa Inggris sekarang berturut-tunrt disebut asa foetida, cardamon, poppy, sesamum, merupakan bukti-bukti adanya kemiripan nama-nama yang dimaksud. Jadi, kalau kita harus menjawab pertanyaan 'sejak kapan manusia mulai memberi nama kepada tumbuhan?', jawabnya adalah seperti dinyatakan oleh Bloembergen bahwa hal itu, seperti ilmu tumbuhannya sendiri, telah hilang dalam kedalaman asalnya peri kemanusiaan. Pada mulanya tentu nama yang diberikan kepada tumbuhan itu adalah dalam bahasa induk orang yang memberi nama. Dengan demikian satu jenis tumbuhan dapat mempunyai nama yang berbeda-beda sesuai dengan bahasa orang yang memberikannya. Pisang, dalam bahasa Indonesia oleh orang Inggris atau Belanda dinamakan banana, orang Jawa Tengah menyebutnya gedang, sedang di Jawa Barat oleh orang-orang Sunda pisang itu dinamakan Cauk. Nama demikian itu, yang berbeda-beda menurut bahasa yang memberikan nama tadi, dalam taksonomi tumbuhan disebut nama biasa, nama daerah, atau nama lokal common name ,vernacular nama, "local name". Dengan semakin berkembangnya ilmu taksonomi tumbuhan kemudian dikenal yang disebut nama Ilmiah, (scientific name).

Lahirnya nama ilmiah disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain ialah: a. Beranekaragamnya nama biasa, berarti tidak adanya kemungkinan nama biasa itu diberlakukan secara umum untuk dunia intenasional, mengingat adanya perbedaan dalam setiap bahasa yang digunakan, sehingga tidak mungkin dimengerti oleh semua bangsa. b. Beranekaragamnya nama dalam arti ada yang pendek, ada yang panjang, bahkan ada yang panjang sekali, misalnya nama Sambucus, Sambucus nigra (sambucus hitam), Sambucus fructu in umbello nigro (Sambucus dengan buah berwarna hiam yang tersusun dalam rangkaian seperti payung), atau Sambucus caule ramoso floribus umbellatus (Sambucus dengan batang berkayu yang bercabang-cabang dan bunga yang tersusun sebagai paiung). Nama-nama itu diberikan kepada tumbuhan tanpa adanya indikasi nama-nama tadi dimaksud sebagai nama jenis, nama marga, atau nama kategori takson yang lain lagi. c. Banyak sinonima (dua nama atau lebih) untuk satu macam tumbuhan ssperti misalnya nama-nama dalam bahasa Jawa: tela pohong, tela kaspa, tela jendral, menyok, untuk ketela pohon, dan juga banyaknya homonima, seperti misalnya dalam Bahasa Indonesia lidah buaya yang digunakan untuk marga Aloe dan Opuntia. d. Sukarnya untuk diterima oleh dunia internasional. bila salah satu bahasa bangsa-bangsa yang sekarang masih dipakai sehari-hari dipilih sebagai bahasa untuk nama-nama ilmiah. Karya-karya taksonomi pertama-tama berisi nama-nama tumbuhan yang diberikan dalam bahasa Yunani sesuai dengan bahasa induk tokoh-tokoh perintis taksonomi waktu itu antara lain adalah Historia plantarum karya Theophrastes. Dengan munculnya tokoh-tokoh bangsa Romawi nama-nama tumbuhan oleh mereka diganti dengan nama-nama dalam bahasa Latin. Nama-nama Dryas, Itexa, Ptelea yang diberikan oleh Theophrastes, oleh Plinius masing-masing diganti dengan Quercus, Salix,dan Ulmus. Sampai kira-kira pertengahan abad yang lalu para ahli ilmu taksonomi menerbitkan karya-karyanya dalam bahasa latin, jadi bukan hanya nama

tumbuhannya saja, tetapi juga seluruh teksnya. inilah yang menyebabkan para mahasiswa yang ingin mendalami ilmu hayat di masa lalu harus memiliki

kemampuan untuk berbahasa Latin, bahkan penguasaan bahasa itu dulu menjadi prasyarat untuk memasuki jenjang universitas. Para ilmuwan tidak hanya menulis, tetapi juga berkomunikasi dalam bahasa Latin. Linnaeus selama tinggal di Negeri Belanda tidak mau belajar bahasa Belanda, tetapi menulis dan bergaul dengan menggunakan bahasa Latin. Sampai sekarang pun salah satu dalam pasal dalam KITT masih mensyaratkan agar dalam publikasi asli untuk memperkenalkan takson baru, bukan hanya nama takson baru yang pertama kali diperkenalkan itu ditulis dalam bahasa Latin, tetapi juga candra atau sekurang-kurangnya diagnosis (candra yang singkat, namun cukup untuk mengenali takson baru tanpa kemungkinan terjadinya salah identifikasi) takson yang bersangkutan pun harus ditulis dalam bahasa Latin. Tanpa penguasaan bahasa Latin yang memadai, ahliahli taksonomi tidak akan mungkin memanfaatkan karya-karya taksonomi yang ditulis dalam abad ke-19 dan sebelumnya. Keadaan yang "semrawut" mengenai tatanama tumbuhan itu berakhir pada tahun 1867 dengan terciptanya seperangkat ketentuan yang mengatur pemberian nama kepada tumbuhan, yang merupakan hasil Muktamar Botani Internasional I yung diadakan di Paris. Itulah sebabnya publikasi pertama yang memuat peraturanperaturan tentang pemberian nama kepada tumbuhan diberi nama dalam bahasa Perancis Lois de la Nomenclature de la Botanique yang disebut pula Kode Paris (Paris Code). Terbitnya buku ini juga menandai lahirnya kode tatanama tumbuhan secara intrnasional yang mengatur pemberian "nama-nama ilmiah" kepada tumbuhan. Sebenarnya sejak sebelum Linnaeus telah dirasakan perlunya untuk menciptakan nama-nama yang dapat disebut nama ilmiah yang teratur, yang diterima baik dan diikuti oleh semua ahli ilmu taksonomi di seluruh dunia. Nama-nama Caspar Bauhin, Linnaeus, de Candolle, merupakan nama-nama yang dapat disebut sebagai perintis ke arah terciptanya nama ilmiah yang berlaku secara internasional.

Pada waktu sekarang kita telah terbiasa dengan adanya dua macam nama tumbuhan, yaitu nama biasa dan nama ilmiah. Bila kedua macam nama tersebut kita bandingkan, akan kita temukan perbedaan-perbedaan seperti pada tabel berikut ini. No 1 Nama Biasa Nama Ilmiah kesepakatan internasional

Tidak mengikuti ketentuan yang Melalui manapun.

yang diatur dalam KITT.

Dalam bahasa sehari-hari yang Dalam bahasa yang diperlakukan bersifat lokal atau setempat. sebagai bahasa Latin. internasional, sekurang-

Biasanya hanya dimengerti oleh Berlaku penduduk setempat.

kurangnya bagi kaum ilmuwan. Kadang-kadang dilafalkan. sulit dieja dan

Mudah dieja dan dilafalkan.

Tidak jelas untuk kategori yang Dengan indikasi yang jelas untuk mana nama itu diperuntukkan. kategori mana nama itu dimaksud.

Satu takson dapat menjumpai Satu takson dengan sirkumskripsi, nama yang berbeda menurut posisi, dan tingkat tertentu hanya bahasa yang digunakan, sering mempunyai satu nama yang benar, banyak homonima. sinonima dan kecuali dalan hal-hal yang dinyatakan secara khusus.

Meskipun nama biasa menunjukkan banyak kelemahan-kelemahan bila dilihatdari segi ilmu pengetahuan, namun melihat untung ruginya bila nama biasa diterapkan, rasanya penggunaan nama biasa tidak boleh secara a priori begitu saja diabaikan. Di daerah-daerah tertentu nama setempat itu demikian pasti, sehingga tak perlu diragukan untuk kelompok tumbuhan mana nama iu dimaksud, dan dari kategori apa. Oleh karena itu, dalam karangan-karangan ilmiah pun, tidak ada salahnya, untuk bila mungkin juga menyebut nama-nama biasa di samping nama ilmiah. Sekalipun penerapan nama biasa itu harus dibatasi dan dilakukan dengan sangat hati-hati, nemiadakan sama sekali nama biasa kiranva bukan suatu langkah

yang bijaksana, terlebih-lebih dalam karya-karya tulis yang tidak hanya ditujukan untuk kaum ilmwuan, tetapi juga dimaksud untuk konsumsi umum. Bagi khalayak ramai, nama-nama llmiah itu terdengar terlalu muluk, kadangkadang dirasakan terlalu panjang, dan sering kali sukar dilafalkan dan oleh karena itu juga sukar diingat. Sebagian besar kata-kata yang dipakai untuk nama ilmiah berasal dari bahasa asing (Latin dan Yunani), sehingga banyak yang tidark diketahui maknanya dan dengan demikian semakin menjauhkan nama-nama itu dari orang-oang awam.

Kode Internasional Tatrnama Tumbuhan Telah disebut di atas, bahwa untuk dapat menerapkan nama-nama ilmiah secara tepat, kita harus menguasai ketentuan-ketentuan yang termuat dalarn KITT yang susunan maupun isinya menggunakan gaya bahasa yang tidak mudah dipahami oleh ilmuwan pada umumnya dan ahli-ahli taksonomi pun banyak yang kurang besar minatnya untuk benar-benar mencermati isi KITT yang disusun dan menggunakan gaya "bahasa yuris" seperti buku-buku yang berisi undang-undang atau peraturan-peraturan pemerintahan. Kenyataan inilah yang menyebabkan di antara ahli-ahli taksonomi ada yang mengemukakan pendapat bahwa KITT bagi rata-rata ahli ilmu hayat sama impopulernya dengan buku-buku undang-undang bagi rata-rata warga negara bahkan ada barangkali seorang yang mengaku mcnggeluti taksonomi, tetapi tidak pernah memperhatikan eksistensinya KITT. Walaupun bagi nama-nama ilmiah automatis berlaku ketentuan-ketentuan yang termuat dalam KITT, penerapannya tidaklah sesederhana yang kita kira. Dalam penggunaan nama ilmiah sering pula rerjadi kekisruhan-kekisruhan seperti dalam pemakaian nama-narna biasa. Pertanyaan: "Narna yang manakah yang benar?" atau "Ketentuan yang manakah yang harus kira ikuti?" merupakan pertanyaanpertanyaan yang paling sering dilontarkan dalarn hubungannya penggunaan namanama ilmiah secara tepat sesuai dcngan ketentuan.ketentuan dalam KITT. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang termuat dalam KITT dapat mengalami perubahan, atau tidak berlaku lagi sebagai akibat usul-usul perubahan, penyempurnaan,

parghapusan, dan lain- lain, dari para ahli peserta Muktamar Botani Internaional, sehingga setelah selesai suatu Muktamar, biasanya akan terbit edisi KITT terbaru. Padahal kalimat terakhir Mukadimah KITT itu berbunyi "This edition supersedes all previous editions" (Edisi ini membatalkan semua edisi-edisi sebelumnya). Ini berarti, bahwa siapa pun yang melibatkan diri dengan kegiatan taksonomi tumbuhan harus selalu mengikuti perkembangan, agar terhindar dari kemungkinan penerapan ketentuan-ketentuan yang telah berubah atau yang telah tidak berlaku lagi. Sebaliknya pun jangan sampai terjadi, seorang yang mengaku ahli taksonomi tapi tidak mengetahui adanya ketentuan-ketentuan baru. Sampai pada umurnya yang hampir satu seperempat abad ini peraturan tentang tatanama tumbuhan telah mengalami bermacam-macam "ujian" dan "cobaan", namun tampaknya segala ujian dan cobaan telah dilalui dengan gemilang, sehingga kedudukannya menjadi semakin kokoh dan isinya boleh

Anda mungkin juga menyukai