Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH TAKSONOMI TUMBUHAN TAK BERPEMBULUH

Tatanama Tumbuhan, Sejarah Tatanama, dan Sistem Binomial Nomenclature

Dosen Pembimbing:
Weni Lestari, M.Si

Oleh :
Kelompok 2
Nama Kelompok :
Dea Vitaloka (1830207075)
Dian Anisa Putri (1830207081)
Meriyono (1830207105)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tata Nama
Tumbuhan”. Penyusun makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
TAKSONOMI TUMBUHAN TAK BERPEMBULUH. Kami berharap dapat menambah
wawasan dan pengetahuan khususnya dalam morfologi tumbuhan, pembaca juga dapat
memahami macam-macam percabangan pada batang.

Menyadari banyaknnya kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Karena itu, kami
sangat mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk melengkapi segala
kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
selama proses penyusunan makalah ini

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... i

DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL.................................................................................................................... iii

BAB I........................................................................................................................................ 1

A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................... 3

A. Tata Nama Tumbuhan............................................................................................. 3


B. Sejarah Tatanama Tumbuhan.................................................................................. 5
C. Sistem Binomial Nomenclature............................................................................ 26

BAB III PENUTUP................................................................................................................ 30

A. Kesimpulan........................................................................................................... 30
B. Saran......................................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 31

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan Nama Ilmiah Dan Nama Biasa.................................................................. 5

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alam semesta terdiri dari komponen biotik dan abiotik.Komponen biotik (makhluk
hidup) jumlahnya sangat banyak dan sangat beraneka ragam.Mulai dari laut, dataran rendah,
sampai di pegunungan, terdapat makhluk hidup yang jumlahnya banyak dan sangat beraneka
ragam. Karena jumlahnya banyak dan beraneka ragam, maka kita akan mengalami kesulitan
dalam mengenali dan mempelajari makhluk hidup. Untuk mempermudah dalam mengenali
dan mempelajari makhluk hidup maka kita perlu cara. Cara untuk mempermudah kita dalam
mengenali dan mempelajari makhluk hidup disebut Sistem Klasifikasi (penggolongan /
pengelompokan).

Salah satu sapek yang diperlukan dalam mempelajari botani adalah pengetahuan
tentang nama botani (ilmiah/latin) jenis-jenis tumbuhan. Sebab seseorang yang bekerja
dengan suatu jenis tumbuhan harus yakin bahwa materi yang ditanganinya benar-benar sesuai
dengan nama manurut standar taksonomi tumbuhan. Sekali ia mempublikasikan hasil
pekerjaannya dan menyebarluasakannya, seluruh dunia akan siap menyerap informasi tentang
jenis tumbuhan yang dipublikasikan tersebut dengan berpegang kepada nama botani yang
dikenakan. Nama ilmiah suatu tumbuhan merupakan sebuah kunci mukjizat untuk membuka
khazanah yang berisi semua pengetahuan tentang jenis tumbuhan tersebuDalam makalah ini
sayaakan membahas secara lebih mengkhusus pada tata nama makhluk hidup (Binomial
nomenklatur).
Tatanama tubmbuhan merupakan bagian dari kegiatan taksonomi yang bertujuan
untuk mendeterminasi nama yang benar dari suatu takson atau kesatuan taksonomi. Menurut
Kode Internasional Tatanama Tumbuhan (KITT), pemberian nama ilmiah tumbuh didasarkan
pada bahasa Latin atau yang diperlakukan sebagai bahasa Latin, sehingga diharapkan dapat
dipergunakan secara universal oleh para ahli botani.
Dalam kehidupan sehari-hari kita jumpai begitu banyak nama tumbuhan yang diberikan
dalam bahasa yang sesuai dengan bahasa induk yang digunakan oleh daerah masing-masing,
yang sering disebut nama biasa. Oleh karena nama biasa itu terbatas pengertiannya pada
orang-orang sebahasa saja, maka pemakaian nama ilmiah sekarang sudah menjadi kebiasaan
umum yang diterapkan di seluruh dunia.

1
B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui Nama Biasa dan Nama Ilmiah pada tumbuhan
2. Mengetahui Sejarah Kode Internasional Tatanama Tumbuhan
3. Mengetahui Isi dari Kode Internasional Tatanama Tumbuhan (KITT)

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tata Nama Tumbuhan

Nama biasa dan nama ilmiah, dalam bab terdahulu telah dikemukakan, bahwa
mengingat kalian yang ada antara manusia dengan tumbuhan, tentulah sejak dahulu kala
mannusia telah terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang termasuk lingkupnya taksonomi
tumbuhan, antara lain pemberian nama, Bangsa-bangsa Cina, Mesir, dan Asiria, sejak ribuan
tahun yang lalu telah mengenal berbagai jenis tumbuhan dan telah mengklasifikasikannya
pula sesuai dengan kegunaanya. Di antara nama-nama tumbuhan dari masa lalu itu ada yang
bahkan bertahan sampai sekarang, praktis tanpa perubahan yang berrarti.

Nama-nama as, kudemeranu, papa, samasamu dalam bahasa Asiria, yang dalam
bahasa Inggris sekarang berturut-turut disebutr asa foetida, cardamon, poppy, sesamum,
merupakan bukti-bukti adanya kemiripan nama-nama yang dimaksud. Jadi, kalau kita harus
menjawab pertanyaan “sejak kapan manusia mulai memberi nama kepada tumbuhan?”,
jawabnya adalah seperti dinyatakan oleh Bloembergen bahwa hal itu, seperti ilmu
tumbuhannya sendiri, “telah hilang dalam kedalaman asalnya peri kemanusiaan”.

Pada mulanya tentu nama yang diberikan kepada tumbuhan itu adalah dlam bahasa
induk orang yang memberi nama. Dengan dmeikian satu jenis tumbuhan dapat mempunyai
nama yang berbeda-beda sesuai dengan bahasa orang yang memberikannya. Pisang dalam
bahasa indonesia oleh orang Indonesia oleh orang Inggris atau Belanda dinamakan banana.
Orang Jawa Tengah menyebutnya gedang. Sedangkan di Jawa Barat oleh orang-orang Sunda
pisang itu dinamakan cauk. Nama demikian itu, yang berbeda-beda menurutr bahasa yang
memberikan nama tadi, dalam taksonommi tumbuhan disebut nama biasa. Nama daerah atau
nama lokal “common name”, “vernacular nama”, “local name”. Demikian semangkin
berkembangnya ilmu taksonomi tumbuhan kemudian dikenal yang disebut “nama ilmiah”
(scientifie name”).

Lahirnya nama ilmiah disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah:

a. Beranekaragaman nama biasa, berarti tidakadanya kemungkinan nama biasa itu


diberlakukan secara umum untuk dunia internasional, mengingat adanya

3
perbedaan dalam setiap bahasa yang digunakan, sehingga tidak mungkin
dimengerti oleh semua bangsa.
b. Beranekaragamannya nama dalam arti ada yang pendek, ada yang panjang,
bahkan ada yang panjang sekali, misalnya nama Sambucus, Sambucus nigra
(sambucus hitam), Sambucus frutu in umbello nigro (Sambucus dengan buah
berwarna hitam yang tersusun dalam rangkaian sperti payung), atau Sambucus
caule ramosos floribus umbellatus (sambucus dengan batang berkayu yang
bercabang-cabang dan bunga yang tersusun sebagai payung). Nama-nama itu
diberikan kepada tumbuhan tanpoa adanya indikasi nama-nama tadi dimaksud
sebagai nama jenis, nam marga, atau nam ktegori takson yang l;ain lagi.
c. Banyaknya sinonima (dua nama atau lebih) untuk satu macam tumbuhan, seperti
misalnya nama-nama dalam bahasa Jawa: tela pohon, tela kaspa, tela jendral,
manyok, untuk ketela phon dan jufa banyaknya homonima, seperti misalnya
dalam bahasa Indonesia lidah buaya yang digunakan untuk marga Aloe dan
Opuntia.
d. Sukarnya untuk diterima oleh dunia Internasional, bila salah satu bahasa bangsa-
bangsa yang sekarang masih dipakai sehari-hari dipilih sebgaai bahasa untuuk
nama-nama ilmiah.

Karya-karya taksonomi yang pertama-tama berisi nama-nama tumbuhan yangg


diberikan dalam bahasa Yunani sesuai dengan bahasa induk tokoh-tokoh perintis taksonomi
waktu itu antara lain adalah Histroia Plantarum karya Theophrastes. Dengan munculnya
tokoh-tokoh bangsa Romawi nama-nama tumbuhan oleh mereka diganti dengan nama-nama
dalam bahasa Latin. Nama-nama Plinius maqsing-masing diganti dengan Quercus, Salix dan
Ulmus.

Sampai kira-kira pertengahan abad yang lalu para ilmu taksonomi mennerbitkan
karya-karyanya dlam bahasa Latin, jadi bukan hanya nama tumbuhannya saja, tetapi juga
seluruh teksnya. Inilah yang menyebabkan para mahasiswa yang ingin mendalami ilmu hayat
di masa lalu harus memiliki kemampuan untuk berbahasa Latin, bahkan penguasaan bahasa
itu dulu menjadi prasyaratuntuk memasuki jenjang Universitas. Para ilmuwan tidak hanya
menulis, tetapi juga berkomunikasi dalam bahasa Latin. Dalam bab terdahulu telah
disebutkan, bahwa Linnaeus selama tinggal di Negeri Belanda tidak mau belajara bahasa
Belanda, tetapi menulis dan bergaul dengan menggunakan bahas Latin. Sampai sekarang pun
salah satu pasal dalam KITT masih mensyaratkan, agar dalam publikasi asli untuk

4
memperkenalkan takson baru, bukan hanya nama takson baru yang pertama kali
diperkenalkan ditulis dengan bahasa Latin, tetapi juga Candra atau sekurang-kurangnya
diagnosis takson yang bersangkutan pun harus ditulis dalam bahas Latin. Tanpa penguasaan
bahasa Latin yang memadai, ahli-ahli taksonomi tidak akan mungkin dapat memanfaatkan
karya-karya taksonomi yang ditulis dalam abad ke-19 dan sebelumnya.

Nama Ilmiah Nama Biasa


1. Diatur dalam Kode Internasional Tata
1. Tidak mengikuti ketentuan manapun
Nama Tumbuhan
2. Dalam bahasa yang diperlakukan 2. Dalam bahasa daerah atau bahasa
sebagai bahasa Latin setempat
3. Berlaku Internasional 3. Hanya berlaku local
4. Kadang-kadang sukar dilafalkan 4. Biasanya mudah di lafalkan
5. Memberikan indikasi untuk kategori 5. Tidak jelas untuk kategori mana yang
takson yang mana nama itu diberikan itu diberikan
6. Satu takson dapat mempunyai lebih dari
6. Untuk tiap takson dengan definisi posisi,
satu nama yang berbeda-beda menurut
dan tingkat tertentu hanya ada satu nama
bahasa yang digunakan untuk
yang benar
menyebutkan
Tabel 1. Perbedaan Nama Ilmiah Dan Nama Biasa

B. Sejarah Tata Nama Tumbuhan

Tata nama dalam biologi telah mengalami perubahan berkali-kali semenjak manusia
mencatat berbagai jenis organisme. Plinius dari masa kekaisaran Romawi telah menulis
sejumlah nama tumbuhan dan hewan dalam ensiklopedia yang dibuatnya dalam bahasa Latin.
Sistem penamaan organisme selanjutnya selalu menggunakan bahasa Latin dalam tradisi
pencatatan Eropa. Hingga sekarang sukar dijumpai sistem penulisan nama organisme yang
dipakai dalam tradisi Arab atau Tiongkok. Kemungkinan dalam tradisi ini penulisan nama
menggunakan nama setempat (nama lokal). Keadaan berubah setelah cara penamaan yang
lebih sistematik diperkenalkan oleh Carolus Linnaeus atau Carl von Linne yang disebut
"Bapak Taksonomi" dalam buku yang ditulisnya, Systema Naturae (Sistematika Alamiah).
Tata nama binomial atau binomial nomenklatur merupakan aturan penamaan baku bagi

5
semua organisme Tata nama binomial (makhluk hidup) yang terdiri dari dua kata (binomial
berarti 'dua nama') dari sistem taksonomi (biologi), dengan mengambil nama genus dan nama
spesies. Nama yang dipakai adalah nama baku yang diberikan dalam bahasa Latin atau
bahasa lain yang dilatinkan. Aturan ini pada awalnya diterapkan untuk fungi, tumbuhan dan
hewan oleh penyusunnya (Carolus Linnaeus), namun kemudian segera diterapkan untuk
bakteri pula. Sebutan yang disepakati untuk nama ini adalah 'nama ilmiah' (scientific name).
Awam seringkali menyebutnya sebagai "nama latin" meskipun istilah ini tidak tepat
sepenuhnya, karena sebagian besar nama yang diberikan bukan istilah asli dalam bahasa latin
melainkan nama yang diberikan oleh orang yang pertama kali memberi pertelaan atau
deskripsi (disebut deskriptor) lalu dilatinkan ataupun dari bahasa Latin sendiri. Carolus
Linnaeus memilih penggunaan bahasa Latin untuk penamaan karena dari masa ke masa
hingga saat ini, bahasa Latin tidak mengalami perubahan maupun perkembangan, melainkan
tetap. Penamaan organisme pada saat ini diatur dalam Peraturan Internasional bagi Tata
Nama Botani (ICBN) bagi tumbuhan, beberapa alga, fungi, dan lumut kerak, serta fosil
tumbuhan; Peraturan Internasional bagi Tata Nama Zoologi (ICZN) bagi hewan dan fosil
hewan; dan Peraturan Internasional bagi Tata Nama Prokariota (ICNP). Aturan penamaan
dalam biologi, khususnya tumbuhan, tidak perlu dikacaukan dengan aturan lain yang berlaku
bagi tanaman budidaya (Peraturan Internasional bagi Tata Nama Tanaman Budidaya,
ICNCP).
a. Sejarah Kode Internasional Tatanama Tumbuhan
Manusia sejak zaman pra sejarah telah membicarakan tumbuhan, mungkin
membedakan yang berguna dan tidak berguna, dan dalam hal ini ia harus memberikan nama
pada mereka. Oleh karena itu nama-nama tumbuhan yang mereka kenal telah di berikan
berdasarkan pada sifat, keadaan, atau daerah dimana tumbuhan itu tumbuh. Mula-mula
mereka dalam memberika nama adalah sembarang, ada yang sangat panjang sperti uraian,
ada yang pendek. Pemberian nama ini pun disesuaikan pada bahasa masing-masing yang
dipergunakan sehari-hari, sehingga satu kelompok tumbuhan dapat mempunyai nama-nama
yang banyak sekali
Bertambah luasnya komunikasi antar manusia maka tumbuhan yang mmpunyai nama
sesuai bahasa dimana tumbuhan itu tumbuh dirasakan kurang praktis dan dijumpai banyak
kesukaran bagi orang yang ingin mempelajari tumbuhan tadi. Maka timbul pemikiran-
pemikiran untuk memnetukan mana yang dapat diketahui secara universal bagi ahli botani
diseluruh dunia.

6
Mulai abad 16-17 orang mulai merasakan perlu mengatur perihal nama tumbuhan.
Orang yang merintis jalan ini adalah Lineus dan ia sendiri mempraktekkannya. Sesudah
Lineus, orang yang berusaha keras kearah tersusunnya tatanama itu adalah Augustine de
Candolle yang karyanya kemudian dikemukakan pada Kongres Botani Internasional I yang
diselenggarakan di Paris tahun 1867. Hasil Konggres ini dikenal sebagai Kode paris yang
ditentukan sebagai Kode Tatanama. Hasil konggres ini belum diterima sepenuhnya oleh para
ahli botani di sleuruh dunia.
Pada tahun 1892 para ahli botani Amerika dibawah pimpinan N.L Britton dari New
York Botanical garde, menggambarkan sari set peraturan tatanama tumbuhan. Peraturan ini
mereka anggap lebih obyektif daripada Kode Paris. Pertemuan para ahli botani ini dipelopori
oleh Botanical Club di amerika pada pertemuan American Association for the Advancement
of Science di Rochester, New York tahun 1892. Set peraturan tatanama tumbuhan yang
dibuat oleh Britton tersebut biasanya dikenal dengan Kode Rochester inipun juga belum
diakaui sepenuhnya oleh para ahli diseluruh dunia. Selanjutnya pada tahun 1905 tercetus juga
Kod Bienna, dan pada tahun 1907 tercetus juga Kode Amerika.
Akhir tahun 1930 dirintis Konggres Botani Internasional di Inggris yang dapat
mencapai kespakatan diantara tokoh-tokoh ahli botani penting. Mereka mencapai
kesepakatan tatanama tumbuhan yang disebut “The International Rules of Botanical
Nomenclature”. Para ahli yang berjasa sampai tercapainya kesepaktan ini antara lain, T.A.
Sprague berasal dari Inggris, M.L. Green berasal dari Inggris, dan A.S. Hitchocock berasal
dari Amerika.

Sekarang dikenal sebagai “International Code of Botanical Nomenclature”, yang


setiap lima tahun sekali selalu dibahas dalam kongres para ahli botani Internasional sampai
masa sekarang.

b. Kode Internasional Tatanama Tumbuhan


Untuk menerapkan nama-nama ilmiah secara tepat, kita harus menguasai ketentuan-
ketentuan yang termuat dalam KITT yang susunan maupun isinya menggunakan gaya bahasa
yang tidak mudah dipahami oleh ilmuwan pada umumnya. Isi KITT yang disusun dengan
menggunakan bahasa yuris seperti buku undang-undang, membuat ahli taksonomi kurang
berminat untuk mencermati isinya.
Penerapan KITT tidaklah sesederhana yang kita kira. Dalam penggunaan nama ilmiah
sering terjadi kekisruhan-kekisruhan seperti dalam pemakaian nama-nama biasa. Ketentuan-
ketentuan yang termuat dalam KITT dapat mengalami perubahan, atau tidak berlaku lagi

7
sebagai akibat ususl-usul perubahan, penyempurnaan, penghapusan dan lain-lain dari para
ahli Muktamar Botani Internasional. Sehingga setelah selesai suatu muktamar, biasanya akan
terbit edisi KITT terbaru. Ini menunjukkan, bahwa siapapun yang melibatkan diri dengan
kegiatan taksonomi tumbuhan, harus selalu mengikuti perkembangan, agar terhindar dari
kemungkinan-kemungkinan ketentuan-ketentuan yang telah berubah atau yang tidak berlaku
lagi.
Sampai pada umurnya yang hampir ¼ abad ini peraturan tentang tatanama tumbuhan
telah mengalami bermacam-macan ujian dan cobaan, namun tampaknya segala ujian dan
cobaan telah di lalui dengan gemilang, sehingga kedudukannya menjadi semakin kokoh dan
isinya boleh dianggap sebagai aturan main bagi siapapun yang ingin mendalami taksonomi
tumbuhan.
Ujian-ujian dan cobaan-cobaan yang cukup berat telah harus dihadapi oleh Kode Paris
sebelum mencapai usia 10 tahun terhitung dari kelahirannya pada tahun 1967. Dalam waktu
yang relative singkat segera diketahui bahwa Kode Paris mengandung banyak sekali
kekurangan-kekurangan, dan sebagai akibatnya untuk hal yang dalam Kode Paris belum ada
ketentuannya para ahli taksonomi memberikan interpretasinya sendiri-sendiri dan mulai
muncul ketentuan-ketentuan yang bukan atau belum merupakan kesepakatan internasional.
Dalam bentuknya sebagai hasil Muktamar Sydney tahun 1981, Kode Internasianal
Tatanama Tumbuhan yang diterbitkan dalm tiga bahasa: Inggris, Perancis, dan Jerman pada
tahun 1983, memuat bagian-bagian penting berikut:

1. Mukadimah
2. Bagian I Asas-asas
3. Bagian II Peraturan dan Saran-saran yang terdiri atas 75 pasal, terbagi dalam 6
bab, dengan masing-masing bab terbagi lagi dalam beberapa seksi
4. Lampiran I Nama-nama hibrida
5. Lampiran II Nama-nama suku yang dilestarikan
6. Lampiran III Nama-nama marga yang dilestarikan dan ditolak
7. Lampiran IV Nama-nama yang bagaimanapun ditolak
Berikut ini adalah isi dari bagian-bagian KITT di atas;
1. Mukadimah
Mukadimah KITT memuat sepuluh butir yang penting , yaitu:

8
1. Pembenaran, bahwa ilmu tumbuhan memerlukan system tatanama yang
sederhana namun tepat, yang digunakan oleh semua ahli ilmu tumbuhan di
seluruh dunia.
2. Asas-asas yang seluruhnya hanya berjumlah enam merupakan dasar atau
pangkal tolak system tatanam tumbuhan, yang selanjutnya dijabarkan kedalam
peraturan-peraturan dan saran-saran atau rekomedasi yang lebih terinci,
3. Ketentuan-ketentuan yang terinci dibagi dalam peraturan-peraturan yang harus
ditaati, dan saran-saran yang seyogyanya diikiuti demi keseragaman yang
lebih luas, da tidak menjadi contoh yang tidak selayaknya untuk di tiru.
4. Sasaran yang ingin dicapai dengan penyusunan peraturan-peraturan tatanama
tumbuhan adalah untuk penertiban tatanama di masa lampau dan penyediaan
system tatanama untuk masa mendatang.
5. Sasaran yang ingin dicapai dengan pemberian saran- saran atau rekomendasi
adalah keseragaman yang lebih luas serta kejelasan yang lebih terang,
terutama untuk masa mendatang.
6. Ketentuan untuk mengubah kode tatanama tumbuhan merupakan bagian
terakhir kode ini.
7. Peraturan –peraturan dan saran-saran berlaku untuk semua makhluk yang
diperlakukan sebagai tumbuhan ( termasuk jamur, tetapi bakteri tidak), baik
yang telah bersifat fosil maupun yang sekarang masih hidup.
8. Dalam butir ini dinyatakan, bahwa satu-satunya alasan yang tepat untuk
mengubah suatu nama adalah atau adanya studi yang lebih mendalam yang
menghasilkan data yang membenarkan pengubahan suatu nama, karena
identifikasi sebelumnya dipandang tidak tepat lagi, atau karena nama yang
bersangkutan ternyata bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
9. Butir ini menyatakan bahwa dalam hal tidak adanya peraturan yang relevan,
atau dalam hal yang hasilnya akan meragukan bila suatu peraturan diterapkan,
maka kelaziman lah yang harus diikuti .
10. Butir terakhir mukadimah KITT menyatakan, bahwa dengan diterbitkannya
edisi terbaru, otomatis semua edisi sebelumnya tidak berlaku lagi.
2. Bagian I Asas-asas Tatanama Tumbuhan
a. Asas I
Tatanama tumbuhan dan tatanama hewan berdiri sendiri-sendiri.

9
Kode Internasional Tatanama Tumbuhan berlaku sama bagi nama-nama
takson yang sejak semua diperlakukan sebagai tumbuhan atau tidak. Kalimat pertama
menunjukkan bahwa peraturan nama ilmiah hewan dan tumbuhan itu berbeda.
Misalnya istilah “phylum” untuk suatu kategori dalam klasifikasi hewan yang dalam
klasifikasi tumbuhan disebut “division”. Kalimat kedua menunjukkan bahwa bila
organism itu dianggap hewan, maka nama organism itu harus mengikuti ketentuan-
ketentuan yang ada dalam Kode Internasional Tatanama Hewan, sebaliknya, bila
organism diperlakukan sebagai tumbuhan, maka namanya harus tunduk pada KITT.
b. Asas II
Penerapan nama-nama takson ditentukan dengan perantaraan tipe tatanamanya .
Yang dimaksud dengan tipe tatanama adalah unsure suatu takson yang
dikaitkan secara permanen dengan nama yang diberikan kepada takson itu.
c. Asas III
Tatanama takson didasarkan atas perioritas publikasinya.
Bila suatu takson mempunyai lebih dari satu nama, maka nama yang
dipublikasikan lebih dululah yang berlaku. Tentu saja dalam hal ini pemberian nama
telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Asas IV
Setiap takson dengan sirkum skripsi, dan tingkat tertentu hanya dapat mempunyai
satu nama yang benar, yaitu nama tertua yang sesuai dengan peraturan, kecuali
dalam hal-hal yang dinyatakan secara khusus.
Bila ditekankan pada hanya dapat mempunyai satu nama yang benar, maka
adanya sinonima merupakan suatu hal yang tidak dimungkinkan, namun dinyatakan
pula bahwa hal itu ada pengecualiannya. Seperti beberapa nama suku yang secara
eksplisit dinyatakan, bahwa suku-suku tadi mempunyai nama alternative. Nama-nama
suku Gramineae, Palmae, Umbelliferae, Compositae misalnya, berturut-turut boleh
diganti dengan Poaceae, Arecaceae, Apiaceae, dan Asteraceae.
e. Asas V
Nama-nama ilmiah diperlakukan sebagai bahasa latin tanpa memperhatikan asal
nya.
Nama ilmiah adalah nama yang terdiri atas kata-kata yang diperlakukan
sebagai bahasa Latin, dan tidak tepat bila nama ilmiah disamakan dengan nama latin.
f. Asas VI
Peraturan tatanama berlaku surut kecuali bila dibatasi dengan sengaja.

10
Peraturan tatanama tumbuhan lahir pada tahun 1867 yang diawali oleh
Muktamar Botani Internasional I di Paris. Namun demikian ketentuan-ketentuan yang
termuat di dalamnya dinyatakan berlaku sejak lebih seabad sebelumnya, yaitu
dinyatakan berlaku per 1 Mei 1753, jadi peraturan tatanama tumbuhan itu berlaku
surut.

3. Bagian II Peraturan-peraturan dan Saran-saran (rekomendasi)


a. Bab I : Tingkat-tingkat takson dan istilah-istilah untuk menyebutnya
Bab ini terdiri atas lima pasal. Pasal satu sampai lima yang memuat butir-butir
utama sebagai berikut.
1) Bahwa dalam taksonomi tumbuhan, setiap kelompok taksonomi dari
kategori yang manapun disebut suatu takson.
2) Bahwa dari sederetan takson yang bertingkat-tingkat itu yang dijadikan
unit dasar adalah kategori jenis.
3) Bahwa tingkat-tingkat takson (kategori) yang pokok berturut-turut dari
bawah ke atas disebut dengan istilah jenis (spesies), marga (genus), suku
(familia), bangsa (ordo), kelas (classis), dan divisi (division).
4) Bahwa bila dikehendaki jumlah tingkat takson yang lebih banyak dapat
ditambahkan atau diantara takson-takson lama disisipkan takson-takson
baru, asal hal itu tidak akan berakibat terjadinya kekeliruan atau
kekacauan. Untuk sederetan tingkat takson yang telah mendapat
kesepakatan internasional dari yang besar ke yang kecil disebut dengan
istilah-istilah dunia (regnum), anak dunia (sub regnum), divisi (division),
kelas (classis), anak kelas (sub classis), bangsa (ordo), anak bangsa (sub
ordo), suku (familia), anak suku (sub familia), rumpun (tribus), anak
rumpun (sub tribus), marga (genus), anak marga (sub genus), seksi
(sectio), anak seksi (sub section), seri (series), anak seri (sub series), jenis
(spesies), anak jenis (sub spesies), varitas (varietas), anak varitas (sub
varietas), forma (forma), anak forma (sub forma).
Bahwa urutan-urutan tingkat-tingkat takson (kategori) itu tidak boleh di ubah.
a. Bab II : Ketentuan umum untuk nama-nama takson
Bab ini terbagi dalam empat seksi yang seluruhnya memuat 10 pasal (pasal 6
sampai dengan 15).

11
Seksi I yang berjudul “definisi-definisi” hanya terdiri atas satu pasal, yaitu
pasal 6 dan isi yang penting pasal ini antara lain adalah definisi-definisi untuk:
1) Publikasi yang mangkus (efektif), yaitu publikasi yang sesuai dengan persyaratan
seperti tersebut dalam Pasal 29-31.
2) Publikasi yang sahih (berlaku), bila memenuhi persyaratan seperti tersebut dalam
Pasal-pasal 32-45.
Dalam seksi ini selanjutnya juga diberikan definisi-definisi untuk berbagai
nama dengan sebutan tertentu, antar lain:
1. Nama sah (legitimate), bila sesuai dengan bunyinya peraturan dan tidak
sah (illegitimate) bila bertentangan dengan bunyinya peraturan.
2. Nama yang benar (correct), merupakan nama sah yang tertera publikasi,
kecuali untuk nama-nama tertentu yang dinyatakan sebagai perkecualian
terhadap ketentuan itu.
3. Nama kombinasi, adalah nama-nama takson di bawah tingkat marga (jenis,
anak jenis, varietas, dst) yang terdiri atas nama marga digabung dengan
nama sebutan (epitheton) yang berjumlah satu sehingga membentuk
kombinasi ganda. Seperti pada nama jenis Hibiscus sabdariffa, yang terdiri
atas nama marga Hibiscus digabung dengan sebutan jenis sabdariffa.
4. Autonima atau nama automatis, yaitu nama yang harus berbentuk tertentu,
sesuai dengan bunyinya ketentuan.
5. Sinonima, dua nama atau lebih untuk suatu takson, misalnya Gramineae =
Poaceae, Compositae = Asteraceae untuk nama-nama suku.
6. Basionima, yaitu nama dasr yang dijadikan pangkal tolak dalam pemberian
nama kepada suatu takson tertentu, misalnya pemberian nama suatu jenis
yang mengalami perubahan status, yaitu dipindah ke lain marga, sehingga
namanya harus berubah. Sebagai contoh adalah Pseudodatura arborea yang
dipindahkan ke marga Brugmansia yang namanya berubah menjadi
Brugmansia arborea. Dalam contoh ini Pseudodatura arborea merupakan
basionimanya Brugmansia arborea.
7. Homonima, yaitu suatu nama yang digunakan untuk dua takson yang
berbeda. Nama Setaria misalnya oleh Acharius digunakan untuk nama
marga lumut kerak, tetapi Palisot de Beauvais menggunakan nama Setaria
untuk marga rumput. Ini merupakan contoh homonima, yang sesuai

12
dengan asas prioritas nama Setaria untuk marga rumput itu harus diganti
karena Setaria sudah lebih digunakan untuk nama lumut kerak.
8. Tautonima, yaitu nama jenis yang nama marga dan sebutan jenisnya terdiri
atas kata-kata yang persis sama atau hampir sama, misalnya Linaria
linaria, Boldu boldus. Berbeda dalam taksonomi hewan, dalam taksonomi
tumbuhan tautonima merupakan nama yang tidak sah, jadi tidak boleh
digunakan.
9. Nama telanjang (nomen nudum), nama yang diberikan tanpa disertai
candra atau diagnosis dalam bahasa Latin yag sesuai dengan ketentuan.
Seperti tautonima, nomen nudum juga merupakan nama yang tidak sah.
10. Nama yang meragukan (nomen ambiguum), adalah nama yang oleh
penciptanya tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai nama suatu takson
tertentu, sehingga meragukan, apakah kata-kata yang dipakai itu benar-
benar dimaksud sebagai nama takson atau bukan.
Nama-nama yang dilestarikan (nomen conservandum), nama yang
dipertahankan untuk terus dipakai, walaupun nama itu tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
a) Nama-nama marga yag dilestarikan (nomina generic conservanda)
b) Nama-nama suku yang dilestarikan (nomina familiarum conservanda)
Nama-nama yang ditolak (nomen rejiciendum), nama-nama yang secara luas
dan terus dipakai untuk takson yang tidak mencakup tipe-tipe tatanamanya.
Seksi II memuat masalah “tipifikasi”, terdiri atas 4 pasal ( pasal 7 -10 ),
memuat antara lain:
1) Penerapan nama-nama takson tingkat suku ke bawah harus didasarkan atas tipe
tatanamanya.
2) Tipe tatanama adalah unsure suatu takson yang padanya melekat secara permanen
nama dan candra takson yang bersangkutan, dan bahwa tiep tatanama tidak harus
merupakan wakil takson tadi yang dianggap paling tipikal.
3) Specimen atau unsure lain yang dipilih sebagai tipe tatanama disebut holotipe.
4) Bila seorang ahli member nama dan mencandra suatu takson tidak menentukan
holotipenya, atau karena sesuatu sebab holotipe itu hilang atau binasa, dapat
ditentukan penggantinya yang disebut lektotipe atau neotipe.
Seksi III dalam bab ini yang terdiri atas 1 pasal, yaitu pasal 11 memuat
masalah “prioritas” dan “nama yang benar” yang pada dasrnya tidak berbeda dengan

13
bunyi Asas IV, dengan ditambah bahwa: nama yang benar untuk marga atau genus
adalah nama tertua yang sah yang diberikan untuk tingkat takson itu kecuali bila ada
pembatasan prioritas karena adanya nama-nama yang dilestarikan.
Nama yang benar untuk setiap jenis atau takson di bawahnya adalah
kombinasi sebutan (epitheton) dalam nama sah yang tertua yang diberikan kepada
takson tadi, dengan nama marga atau nama jenis yang membawahinya, kecuali bila
kombinasi itu menjadi tidak berlaku karena adanya pembatasan asas prioritas, atau
sebab lain yang menyebabkan harus digunakannya kombinasi yang berbeda.
Seksi IV yang terdiri atas 3 pasal (pasal 13-15) berjudul “pembatasan asas
prioritas” berisi antara lain ketentuan-ketentuan, bahwa: Nama-nama tumbuhan dari
berbagai kategori diperlakukan seakan-akan dipublikasikan mulai dari tanggal-tanggal
seperti di bawah ini.
Bagi tumbuhan yang sekarang masih hidup:
a) 1 Mei 1753 untuk Spermatophyta dan Pteridophyta
b) 1 Januari 1801 untuk Musci dan Sphagnaceae
c) 1 Mei 1753 untuk Sphagnaceae dan Hepaticae
d) 1 Mei 1753 untuk Fungi dan Fungi pembentuk Lichenes
e) 31 Desember 1801 untuk jamur bangsa Uredinales, Ustilaginales dan
Gasteromycetes yang dipakai oleh Persoon
f) 1 Januari 1821 untuk Fungi Caeteri, selain Myxomycetes dan jamur pembentuk
Lichenes
g) 1 Mei 1753 untuk Algae
h) 1 Januari 1892 untuk Nostocaceae Homocysteae
i) 1 Januari 1886 untuk Nostocaceae Heterocysteae
j) 1 Januari 1848 untuk Desmidiaceae
k) 1 Januari 1900 untuk Oedogoniaceae
Bagi tumbuhan yang telah bersifat fosil, 31 Desember 1820 untuk semua golongan.
a. Bab III Tatanama takson sesuai dengan tingkatnya
Nama-nama ilmiah untuk takson tingkat mana pun lazin ditulis dengan
menggunakan huruf besar (capital) untuk huruf pertama setiap nama. Bab III ini
terdiri atas 13 pasal yang dikelompokkan ke dalam 6 seksi.
Seksi I dalam bab ini terdiri atas Pasal 16 dan 17 diberi judul “nama-nama
takson di atas tingkat suku” dan di dalamnya terdapat butir-butir penting sebagai
berikut:

14
1) Bahwa untuk takson di atas tingkat suku tidak diterapkan metode tipe, dan bahwa
asas prioritas tidak berlaku baginya.
2) Bahwa nama-nama takson di atas tingkat suku automatis dapat disebut
mempunyai tipe tatanama bila nama-namanya didasarkan atas nama suatu marga
yang tergolong di dalamnya, ditambah dengan akhiran yang sesuai untuk takson
itu.
Namun demikian, bagi kelompok ini ada beberapa saran yang menyangkut
pemberian namanya yang pantas untuk mendapatkan perhatian, adalah:
1) Untuk nama-nama divisi seyogyanya digunakan satu kata majemuk berbentuk
jamak yang diambilkan dari cirri khas yang berlaku untuk semua warga divisi
dengan ditambah akhiran –phyta, kecuali untuk jamur yang disarankan untuk
diberi akhiran –mycota.
2) Untuk nama anak divisi melalui cara yang sama dengan diberi akhiran –phytina
dan untuk golongan jamur dengan akhiran –mycotina.
3) Untuk nama-nama kelas juga dengan cara yang sama, namun disarankan untuk
menggunakan akhiran –phyceae bagi Algae, -mycetes bagi Fungi, dan –opsida
bagi Cormophyta.
4) Untuk anak kelas pun demikian, akhirannya saja yang berbeda-beda, yaitu –
phycidae untuk Algae, -mycetidae untuk Fungi, dan –idae untuk Cormophyta.
Seksi kedua Bab III yang memuat dua pasal (pasal 18 dan 19) membahas
masalah “nama-nama suku, anak suku, rumpun, dan anak rumpun”. Nama-nama suku
merupakan satu kata sifat yang diperlakukan sebagai kata benda yang berbentuk
jamak, biasanya diambil dari nama marga yang dipilih sebagai tipe tatanamanya
ditambah dengan akhiran –aceae, seperti misalnya: Malvaceae (dari Malva+aceae).
Seksi III yang terdiri atas Pasal-pasal 20-22 membahas “nama-nama marga
dan takson-takson di bawahnya.” Terdiri atas 3 pasal dengan butir-butir yang penting
sebagai berikut:
1) Nama marga merupakan kata benda berbentuk mufrad, atau kata lain yang
diperlakukan sebagai kata yang bersifat demikian, bahkan dapat dibentuk dengan
cara mana suka.
2) Nama marga tidak dibenarkan berupa istilah yang lazim digunakan dalam
morfologi tumbuha, misalnya Radicula atau Tuber (yang masing-masing berarti
akar lembaga dan umbi), kecuali bila pemberian nama itu telah terjadi sebelum 1

15
Januari 1912, dan pada waktu nama itu dipublikasikan dilengkapi pula dengan
nama jenis yang disusun sesuai dengan system biner menurut Linnaeus.
3) Nama marga tidak boleh terdiri atas dua kata, atau kedua kata itu harus disatukan
dengan tanda penghubung, misalnya Uva-ursi.
4) Kata-kata yang tidak dimaksud sebagai nama marga tidak dapat dianggap sebagai
nama marga, seperti kata Anonymos.
5) Dalam pembentukan nama-nama marga ada sejumlah saran yang dimohonkan
perhatian, dan sedapat mungkin tidak dilanggar, antara lain:
a) Agar sedapat mungkin menggunakan bentuk Latin
b) Menghindarkan penggunaan kata-kata yang tidak mudah disesuaikan dengan
bahasa Latin
c) Tidak menggunakan kata yang panjang dan sukar dilafalkan dalam bahasa
Latin
d) Tidak menggunakan kata-kata yang merupakan gabungan kata dari bahasa
yang berlainan
e) Bila mungkin, dengan pemberian akhiran tertentu menunjukkan kekerabatan
atau anlogi suatu marga dengan marga lain
f) Menghindarkan penggunaan kata sifat sebagai kata benda
g) Tidak menggunakan kata yang dijabarkan dari sebutan jenis yang tergolong
dalam marga itu
h) Tidak menggunakan nama orang yang tidak ada kaitannya dengan dunia ilmu
tumbuhan
i) Menggunakan sebagai nama marga potongan-potongan dari dua nama marga
lain.
Seksi IV Bab III “nama-nama jenis” hanya terdiri atas satu pasal, yaitu Pasal
23, yang berisi ketentuan-ketentuan dan saran-saran tentang nama jenis, memuat
butir-butir penting berikut:
1) Nama jenis adalah suatu kombinasi biner atau binomial yang terdiri atas nama
marga disusul dengan sebutan jenis, yang dalam penulisannya hanya huruf
pertamanya saja yang ditulis dengan huruf besar, bagian lainnya termasuk sebutan
jenisnya, semua ditulis dengan huruf kecil.
2) Sebutan jenis dapat diambil dari sumber yang mana pun, bahkan dapat dibentuk
secara arbitrar.

16
3) Lambang yang merupakan bagian sebutan jenis harus ditranskripsikan, jadi nama
Scandix pecten o L. harus ditulis Scandix pecten-veneris L., Veronica anagallis L.
harus ditulis Veronica anagallis aquatica L.
4) Sebutan jenis tidak boleh terdiri atas kata yang merupakan ulangan yang sama
atau hampir sama nama marga, dengan atau tanpa ditambah lambing yang telah
ditranskripsikan.
5) Sebutan jenis yang merupakan kata sifat, harus diberi bentuk yang menurut tata
bahasa sesuai dengan jenis kelamin nama marganya, misalnya: Aspergilllus niger,
Sambucus nigra, Piper nigrum, Crocus sativus, Oryza sativa, Triticum sativum.
Aspergillus dan Crocus berjenis kelamin jantan, Sambucus dan Oryza betina,
sedangkan Piper dan Triticum banci.
6) Ada beberapa kata yang ditempatkan di belakang nama marga namun kata itu
tidak dianggap sebagai sebutan jenis, karena kata-kata itu memang tidak dimaksud
sebagai sebutan jenis, melainkan untuk menunjukkan sesuatu hal/sifat mengenai
tumbuhan yang dimaksud. Atriplex “nova”, yang di sini kata “nova” hanya untuk
menunjukkan bahwa tumbuhan yang dimaksud adalah suatu jenis baru (nova)
dalam marga Atriplex, yang belum ada namanya.
7) Angka: dalam huruf yang menyatakan nomor urut, misalnya Boletus vicessimus
sextus, Agaricus octogesimus nonus. Kata sextus (=keenam) dan nonus
(kesembilan) di sini dimaksud untuk menunjukkan jenis yang ke-6 dan ke-9 dalam
urutan dalam marga masing-masing, jadi tidak merupakan bagian sebutan jenis.
8) Kata-kata yang biasanya menunjukkan suatu sifat, yang termuat sebagai sebutan
jenis, namun belum secara konsisten digunakan sesuai dengan system ganda
menurut Linnaeus. Dalam nama Abutilon flore flvo, kata “flore flavo” bukan
suatu sebutan jenis, melainkan suatu deskripsi yang menunjukkan salah satu ciri
tumbuhan yang bersangkutan, ialah bahwa tumbuhan iitu mempunyai bunga yang
berwarna kuning (flore flavo= berbunga kuning).
9) Formula yang menunjukkan nama hibrida. Nama-nama hibrida yang juga tampak
bersifat ganda, bagian belakang kombinasi nama hibrida itu tidak dapat dikatakan
sebagai sebutan jenis, namun merupakan sebagian formula yang merupakan nama
hibrida, yang biasanya dicirikan dengan adanya suatu tanda x (tanda
perkalian=multiplication sign)
Seksi V Bab III yang terdiri atas pasal 24, 25, dan 26 memuat ketentuan-
ketentuan untuk “nama-nama takson di bawah tingkat jenis” (takson infraspesifik).

17
Ketentuan-ketentuan yang penting yang berkaitan dengan pemberian nama-nama
takson di bawah tingkat jenis (anak jenis, varitas, anak varitas, forma dan anak
forma), antara lain ialah:
1) Nama takson di bawah tingkat jenis terdiri atas nama jenis dan suatu sebutan yang
dihubungkan dengan istilah untuk takson di bawah tingkat jenis yang dimaksud,
sehingga dengan demikian nama itu sekurang-kurangnya terdiri atas empat kata,
yaitu dua kata untuk nama jenis, satu kata untuk sebutan takson di bawah tingkat
jenis, dan satu kata yang merupakan istilah untuk takson di bawah tingkat jenis
(biasanya dalam bentuk singkatan) yang dimaksud. Contoh: Pedilanthus
tithymaloides subspecies retusus; Hibiscus sabdariffa varietas alba; Trifolium
stellatum forma nanum.
2) Sebutan untuk takson di bawah tingkat jenis, seperti halnya dengan sebutan jenis,
harus mempunyai bentuk yang dari segi tata bahasa disesuaikan dengan jenis
kelamin nama marganya.
3) Kata-kata typcus, originalis, orginarius, genuinus, verus, dst, yang berarti tipikal,
asli, atau sungguh, dan dimaksud untuk menunjukkan bahwa takson di bawah
tingkat jenis itu memuat tipe tatanama takson yang berada setingkat di atasnya,
justru sebutan-sebutan itu tidak dibenarkan untuk dipakai dan juga tidak dapat
dipublikasikan.
4) Penggunaan kombinasi ganda sebagai sebutan takson di bawah tingkat jenis tidak
dibenarkan, dan bila hal itu terjadi penulisannya harus dibetulkan
5) Takson-takson di bawah tingkat jenis yang tergolong dalam jenis yang berbeda,
dapat mempunyai sebutan yang sama dan takson di bawah tingkat jenis dapat
mempunyai sebutan yang sama dengan sebutan yang digunakan untuk jenis lain di
luar jenis yang membawahi takson tadi.
Seksi VI yang merupakan seksi terakhir dalam Bab III ini, berjudul “nama
tumbuhan budidaya”, yang hanya memuat satu pasal (Pasal 28) dan berisi ketentuan-
ketentuann berikut:
1) Tumbuhan dari keadaan liar yang kemungkinan dibudidayakan , mempertahankan
nama seperti yang diberikan kepada takson itu ketika masih tumbuh di alam,
misalnya untuk tebu namanya tetap Saccharum officinarum.
2) Hibrida atau bastar, baik yang putative maupun yamg merupakan hasil
pembastaran dengan sengaja, diberi nama sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam lampiran KITT tentang nama hibrida, yang seluruhnya terdiri atas

18
12 pasal, yang dicirikan dengan tanda perkalian (x) atau dengan penggunaan
awalan “Noto-“, misalnya: x Agropogon (bastar antar marga Agrostis x
Polypogon).
3) Unit-unit hasil kegiatan dalam pertanian yang tercakup dalam istilah pemuliaan,
lazimnya disebut sebagai kultivar, mempunyai tatanama yang diatur dalam Kode
Internasional Tatanama Tumbuhan Budidaya.
b. Bab IV : Publikasi mangkus (efektif) dan publikasi sahih (berlaku)
Bab ini dibagi dalam 4 seksi yang seluruhnya mencakup 22 pasal (Pasal 29
sampai dengan 50). Adapun ketentuan-ketentuan yang perlu mendapat perhatian kita
antara lain:
Seksi I tentang “kondisi dan tanggal publikasi yang mangkus”, yang terdiri
atas tiga pasal (Pasal 29 sampai dengan 31):
1) Di bawah KITT, publikasi hanya dianggap mangkus apabila merupakan distribusi
barang cetakan (melalui penjualan, tukar menukar, atau pemberian) kepada
khalayak umum atau sekurang-kurangnya kepada lembaga-lembaga ilmu
tumbuhan dengan perpustakaan yang terbuka bagi ilmuwan tumbuhan pada
umumya.
2) Pemasaran barang cetakan yang tidak ada untuk dijual tidak merupakan publikasi
yang mangkus.
3) Publikasi tulisan tangan yang tidak dapat dihapus merupakan publikasi yang
mangkus, bila hal itu terjadi sebelum 1 Januari 1953.
4) Publikasi nama-nama dalam catalog dagang pada 1 Januari 1953 dan setelah itu,
demikian pula publikasi nama-nama dalam daftar tukar menukar biji pada tanggal
1 Januari 1973 dan sesudahnya, merupakan publikasi yang tidak dianggap
mangkus.
5) Tanggal publikasi yang mangkus adalah tanggal mulainya barang cetakan itu
tersedia bagi masyarakat. Bila tidak ada bukti lain, tanggal yang disebut pada
barang cetakan itu harus diterima sebagai tanggal publikasinya yang benar.
6) Bila makalah-makalah lepas dari suatu berkala atau karya lain yang ditawarkan
untuk dijual terbit lebih dulu, tanggal pada separat itu dianggap sebagai tanggal
publikasinya yang mangkus, kecuali bila kemudian terbukti, bahwa tanggal tadi
keliru.
7) Mulai tanggal 1 Januari 1953 dan setelah itu distribusi barang cetakan yang
menyertai bahan kering tidak dapat dianggap sebagai publikasi yang mangkus.

19
Seksi II, “kondisi dan tanggal publikasi nama yang sahih”. Seksi II Bab IV ini
meliputi sampai 15 pasal (Pasal 32-46) yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai
persyaratan dan aspek publikasi yang dapat dinyatakan sebagai publikasi yang sahih
(valid). Di antara butir-butir yang penting yang mempunyai kaitan erat dengan masalh
publikasi yang sahih itu adalah:
1) Agar dapat terpublikasikan dengan sahih, nama suatu takson (kecuali bila berupa
autonima) harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:
a) Telah dipublikasikan dengan cara yang mangkus pada tanggal mulai
berlakunya tatanama yang diakui bagi kelompok yag bersangkutan, atau
dipublikasikan setelah tanggal tersebut.
b) b. Mempunyai bentuk yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
tingkat takson masing-masing.
c) c. Disertai candra atau diagnosis yang pernah dipublikasikan secara mangkus
sebelumnya.
c. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus seperti termuat dalam Pasal-pasal
33-45.
2) Nama yang dipublikasikan dengan sahih melalui rujukan dengan deskripsi atau
diagnosis yang dipublikasikan sebelumnya, mempunyai sebagai tipe tatanamanya
suatu unsure yang dipilih sesuai dengan bunyi candra atau diagnosis, yang
menyebabkan nama tadi dapat dipublikasikan dengan sahih.
3) Diagnosis suatu takson merupakan suatu candra yang pendek yang menurut
penulisnya dapat digunakan untuk membedakan takson itu dari takson yang lain,
yang berarti dapat digunakan untuk mengidentifikasikan takson tadi tanpa
kemungkinan kekeliruan dengan takson lain.
4) Rujukan tidak langsung merupakan petunjuk yang jelas, melalui sitasi penulisnya
atau dengan cara lain, bahwa untuk kesahihan publikasi suatu nama, dapat
digunakan candra atau diagnosis yang pernah diterbitkan sebelumnya.
5) Nama yang dipublikasikan dengan bentuk bahasa Latin yang salah, tetapi selain
itu telah sesuai dengan KITT, dianggap telah dipublikasikan dengan sahih, namun
kesalahnnya harus diperbaiki tanpa mengubah nama pencipta dan tanggal
publikasinya.
6) Autonima dianggap sebagai nama yang dipublikasikan dengan sahih, sejak
diterbitkannya karya yang memuat nama itu untuk pertama kali.

20
Seksi III Sitasi nama pencipta (author’s name) dan pustaka demi ketepatan.
Dalam karya-karya ilmiah, nama-nama takson tingkat suku ke bawah seringkali
diikuti dengan satu nama atau lebih yang lazimnya ditulis dalam bentuk singkatan.
Pemberi nama atau pencipta nama itu dalam pustaka berbahasa asing disebut “author”
(Inggris), “auteur” (Belanda), “autor” (Jerman), yang kata-kata itu sebenarnya berarti
penulis. Contoh nama takson dengan penciptanya adalah seperti di bawah ini:
a) Rosaceae Juss.
b) Rosa L.
c) Rosa gallica L.
d) Adiantum lunulatum Burm. F.
Pada contoh-contoh di atas Rosaceae merupakan nama suku yang diciptakan oleh
de Jussieu (seorang ahli taksonomi Prancis), yang di situ nama de Jussieu disingkat
Juss. Contoh kedua nama marga Rosa yang diciptakan oleh Lineus di singkat L.
Begitu pula contoh ketiga yang merupakan nama jenis ciptaan Linneus. Pada contoh
keempat di belakang nama Jenis Adiantum lumulatum Burm.f. yang merupakan
kepanjangan dari Burman filius yang berarti anaknya Burman atau Burman yang
muda. Dalam bahasa non-ilmiah f. (filius) biasa diganti dengan Jr. (junior).
Dalam pemberian nama takson tumbuhan dapat terlibat lebih dari seorang, bila
demikian semua orang yang terlibat tadi ikut di cantumkan dan ditulis sedemikian
rupa sehingga diketahui hubungan nama orang yang satu dengan yang lain seperti
dalam contoh-contoh berikut:
a) Impatiens holstii Engl. et Warb
Artinya nama jenis Impatiens hostlii diciptakan bersama oleh dua orang yaitu
Engler dan Warburg. Bila ada lebih dari dua orang terlibat dalam pemberian nama
suatu takson, maka di belakang nama takson itu hanya disebut nama salah seorang
disusul dengan kata et al (singkatan dari et allies) yang berarti dengan sekutu-
sekutunya.
b) Cinnamomun inners Reinw.ex Bl.
Artinya terjadinya nama jenis Cinnamomun iners terlibat dua orang, pemberi
nama pertama adalah Reinwardt (disingkat Reinw) tetapi yang mempublikasikan
adalah Blume (disingkat Bl.)
c) Myosotis L.emend. R.Br
Artinya marga Myosotus di ciptakan oleh L. (singkatan dari Linneus) tetapi
diadakan perubahan mengenai ciri-ciri diagnostiknya oleh R.Br. (singktan dari

21
Robert Brown). Kata emend adalh singkatan dari emendavit yang artinya di ubah
oleh.

d) Medicicago orbisularis (L.) Bartal.


Pada contoh ini nama orang yang di tempatkan dalam kurung adalh nama orang
yang pertama-tama emberikan nama yang didepannya, sedang nama orang yang
kedua tanpa tanda kurung adalah nama orang yang melakukan perubahan
kedudukan takson yang bersangkutan.
Pasal 46 KITT menyatakan bahwa pencantuman nama pencipta bertujuan
agar:
1) Nama ilmiah disebut dengan lebih akurat dan lebih lengkap.
2) Tersedia suatu sarana untuk melakukan verivikasi mengenai tanggal publikasi
nama dan memungkinkan seseorang yang berminat terhadap takson itu membaca
candra atau diagnosis orisinal yang dibuat oleh pencipta nama tadi.
Seksi IV Bab IV Saran-saran umum mengenai sitasi. Dalam
hubungannya dengan masalah sitasi nama-nama dalam seksi ini terdapat beberapa
saran atau anjuran, antara lain:
1) Sitasi nama yang dipublikasikan sebagai sinonima, kata “sebagai sinonima” atau
“pro syn.” harus ditambahkan, dan bila seorang penulis mempublikasikan sebagai
sinonima nama dari suatu naskah tulisan lain orang, dalam sitasi itu harus
digunakan kata “ex” untuk menghubungkan nama orang yang dikutip dan nama
pengutipnya.
2) Dalam mengutip suatu “nama telanjang”, agar ditambahkan kata-kata “nomen
nodum” atau disingkat “nom. nud”.
3) Sitasi homonima yang lebih muda harus diikuti dengan nama pencipta homonima
yang lebih tua yang didahului dengan kata “non”.
4) Nama yang merupakan hasil identifikasi yang keliru, seyogyanya tidak
dimasukkan sebagai sinonima tetapi ditambahkan di belakangnya. Penggunaannya
harus ditunjukkan dengan kata-kata “auct. non” diikuti oleh nama penciptanya
yang asli dan rujukan pustaka yang memuat identifikasi yang salah tadi.
5) Bila nama marga atau nama jenis diterima sebagai nama yang dilestarikan di
belakang nama-nama itu harus ditambahkan kata-kata “nomen conservandum”
yang biasnya disingkat dengan “nom. cons.”

22
e. Bab V : Retensi (pelestarian), pemilihan, dan penolakan nama serta sebutan
Seksi I. pelestarian nama atau sebutan pada takson yang diubah atau dipecah.
Dalam KITT ada tiga pasal (51-53) yang memuat ketentuan-ketentuan yang bertalian
dengan masalah-masalah seperti tercermin dari judul Bab IV dan Seksi I ini, yang
berbunyi:
1) Perubahan cirri-ciri diagnostic atau sirkumskripsi suatu takson tidak menjamin
terjadinya perubahan namanya, kecuali bila hal itu dituntut sebagai akibat adanya:
a) Pemindahan ke takson lain
b) Penggabungan dengan takson lain yang setinkat
c) Perubahan tingkt takson itu
2) Bila suatu marga dibagi menjadi dua marga atau lebih, nama marga yang lama
(bila nama marga itu merupakan nama yang benar harus dipertahankan untuk
salah satu marga baru yang merupakan pecahannya), yaitu untuk tetap mencakup
tipe tatanama marga yang asli, sedang untuk pecahan yang lain harus ditemukan
tipe tatanama baru yang lain bagi masing-masing.
3) Bila suatu jenis dipecah menjadi dua jenis atau lebih, sebutan jenisnya harus
dipertahankan bagi pecahan yang sebagai tipe tatanamnya tetap mempertahankan
tipe tatanama seberlumnya.
Seksi II Retensi sebutan jenis atau takson lain di bawah tingkat marga pada
pemindahan ke marga lain (pasal-pasal 54-56). Bila bagian suatu marga dipindahkan
ke marga lain atau ditempatkan di bawah nama lain untuk marga yang sama tanpa
perubahan tingkat, sebutan untuk nama yang benar sebelumnya harus dipertahankan,
kecuali bila terdapat perintang-perintang sebagai berikut:
1) Kombinasi nama yang terjadi merupakan suatu nama yang sebelumnya telah
dipublikasikan dengan sahih untuk suatu bagian marga yang didasrkan pada tipe
tatanama yang lain.
2) Terdapat sebutan untuk nama sah yang lebih tua
3) Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 21 dan 22 harus digunakan sebutan yang
lain.
Seksi III bab IV “pemilihan nama pada penggabungan takson yang setingkat”.
Seksi yang hanya memuat atas dua pasal ini (Pasal 57 dan 58), memuat ketentuan-
ketentuan yang menyatakan bahwa:

23
1) Bila dua takson atau lebih yang setingkat digabungkan, nama yang harus dipakai
untuk takson hasil penggabungan itu adalah nama tertua yang sah dari nama-nama
takson yang digabungkan itu.
2) Untuk hasil penggabungan dua takson atau lebih (yang merupakn takson di bawah
tingkat marga) nama yang harus digunakan adalah nama dengan sebutan yang
tertua dan sah.
Seksi V Pemilihan nama pada perubahan tingkat takson. Seksi ini terdiri atas dua
pasal (60-61), dan antara lain memuat butir-butir berikut:
1) Dalam keadaan yang bagaimanapun prioritas suatu nama tidak dapat dipersoalkan
di luar tingkatnya.
2) Bila suatu takson tingkat suku atau di bawahnya diubah ke tingkat pada tingkat
yang baru itu, dan bila hal itu tidak ada, nama sebelumnya dapat dipertahankan
dengan mengganti akhirannya agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
nama takson di tingkatnya yang baru itu.
Seksi VI Penolakan nama dan sebutan. Seksi ini terdiri atas sejumlah pasal
(Pasal 62-72), dan di antara butir-butir yang penting adalah:
1) Sebutan atau nama yang sah tidak dapat ditolak hanya karena nama atau sebutan
itu dianggap tidak tepat atau tidak dapat diterima, atau karena ada nama atau
sebutan lain yang lebih disukai atau lebih dikenal.
2) Nama-nama jenis atau suatu bagian di bawah marga yang ditempatkan di bawah
suatu marga, yang namnya merupakan homonima lebih muda yang dilestarikan,
dan yang sebelumnya ditempatkan pada marga dengan nama yang merupakn
homonima yang ditolak, nama marga yang merupakan homonima yang
dilestarikan adalah nama yang sah tanpa perubahan nama penciptanya, selama di
bawah ketentuan itu tidak ada lain penghalang.
3) Suatu nama merupakan nama yang tidak sah dan oleh karena iru harus ditolak,
bila nama itu pada waktu dipublikasikan merupakan nama yang berlebihan.
4) Suatu homonima, yaitu nama dengan ejaan yang persis sama dengan nama yang
telah digunakan untuk takson lain dengan tipe ttanama yang berbeda, merupakan
nama yang tidak sah dan harus ditolak, kecuali bila homonima yang lebih muda
itu merupakan nama yang dilestarikan atau diakui karena misalnya telah lama
biasa dipakai atau dikenal.

24
5) Dua nama marga atau lebih, demikian pula nama jenis atau takson di bawah
tingkat jenis, dengan tipe tatanama yang berbeda, tetapi memiliki nama yang
sangat mirip sehingga besar kemungkinannya untuk terjadinya kekeliruan.
6) Nama-nama bagian suatu marga yang sama atau dua takson di bawah satu jenis
yang tergolong dalam jenis yang sama, meskipun bagian-bagian itu terholong
dalam takson yang berbeda tingkatnya, diperlakukan sebagai homonima bila
nama-nama tadi mempunyai sebutan yang sama dan tidak didasrkan pada tipe
tatanama yang sama.
7) Bila dua homonima atau lebih mempunyai prioritas yang sama, homonima
pertama yang diterima oleh seorang penulis dan sekaligus menolak homonima
yang lain, diperlakukan sebagai homonima dengan prioritas paling tinggi dan
harus dipertahankan.
8) Pertimbangan mengenai homonima tidak berlaku untuk nama takson yang tidak
diperlakuakn sebagai tumbuhan.
9) Nama suatu bagian marga merupakan nama yang tidak sah dan harus ditolak bila
nama itu dipublikasikan bertentangan dengan pasapl-pasal yang menyatakan
bahwa pwnulis tidak menggunakan sebutan yang tersedia pada nama yang sah
yang tertua untuk takson yang bersangkutan.
10) Nama suatu jenis tidak dapat dinyatakan tidak sah hanya karena sebutannya
pernah digunakan dalam kombinasi nama yang tidak sah.
11) Suatu nama dapat dianggap sebagai nama yang ditolak, bila nama itu secara luas
dan terus-menerus digunakan untuk takson yang tidak mencakup tipe
tatanamanya.
12) Nama-nama yang ditolak harus diganti dengan nama yang dalam tingkat takson
yang bersangkutan mempunyai prioritas.
f. Bab VI : Penulisan (ejaan) nama-nama dan sebutan yang benar dan kelamin (gender)
nama-nama marga
Seksi I Penulisan (ejaan) nama dan sebutan yang benar. Seksi I bab VI terdiri
atas tiga pasal (73-75) memuat hal yang sesuai dengan judulnya menyangkut
penulisan nama-nama serta sebutan-sebutan dengan cara yang tepat.
1) Ejaan asli suatu nama atau sebutan harus dipertahankan, kecuali bila terdapat
salah ketik/cetak atau salah eja.

25
2) Kebebasan untuk membetulkan penulisan nama yang salah harus dilakukan
dengan hati-hati, lebih-lebih bila perbaikan itu akan berpengaruh terhadap suku
kata pertama, dan lebih dari itu mempengaruhi huruf pertama suatu nama.
3) Bila suatu nama atau sebutan dipublikasikan dalam suatu karya yang huruf u
dengan v, i dengan j, digunakan secara bergantian, seyogyanya dipilih yang
menurut kelaziman dalam praktek lebih banyak digunakan.
4) Dalam penulisan nama-nama ilmiah tidak digunakan tanda-tanda diakritik.
5) Penggunaan bentuk kata majemuk yang salah dalam suatu sebutan diperlakukan
sebagai salah ejaan yang harus dibetulkan.
6) Penggunaan tanda hubung dalam suatu sebutan yang merupakan kata majemuk
dengan awalan yang tidak dapat berdiri sendiri diperlakukan sebagai kesalahan
ejaan yang harus dibetulkan.
7) Sebutan jenis dan takson di bawah tingkat jenis yang terdiri atas dua kata yang
dapat berdiri sendiri harus ditulis dengan tanda penghubung atau digabung
menjadi satu kata.
Seksi II Bab VI Jenis kelamin (gender) nama-nama marga. Kata-kata benda
menurut tata bahasa Latin mempunyai satu di antara tiga kemungkinan jenis kelamin,
yaitu: jantan (masculinum), betina (feminum), banci (neutrum). Karena nama marga
merupakan kata benda, maka nama-nama marga pun mempunyai jenis kelamin, yang
sesuai dengan kaidah tata bahasa Latin.
Nama-nama Hibrida. Khusus untuk tumbuhan yang merupakan hibrida
ketentuan-ketentuan yang mengatur tatanamanya terdapat sebagai salah satu
Lampiran KITT yang dalam KITT hasil Muktamar Internasional ke-XIII di Sidney
memuat 12 pasal dengan kode H.
1) Pada nama hibrida, sifat hibrida dicirikan dengan tanda perkalian (x) atau dengan
penggunaan awalan “notho”, yang berasal dari bahasa Yunani “nothos”=hibrida
atau bastar.
2) Hibrida antara dua takson yang diketahui namanya dapat ditunjukkan dengan
menempatkan tanda perkaian di antara kedua nama takson yang menghasilkan
hibrida itu.
3) Hibrida yang berasal dari dua takson atau lebih dapat diberi nama tersendiri
(bukan formula). Sifatnya sebagai hibrida juga dicirikan dengan penempatan tanda
perkalian (x).

26
C. Sistem Binomial Nomenclature

Sudah menjadi naluri manusia untuk memberi nama kepada apa saja yang ada di
sekitarnya. Nama itu merupakan sesuatu yang mutlak perlu dalam kehidupan sehari-hari,
sebab tanpa nama untuk mengacu benda-benda konkrit seperti tumbuh-tumbuhan maupun
hal-hal yang abstrak tidak mungkin kita lakukan. Radford (1986) mengutip pendapat Macself
seperti yang ditulis oleh Johnson (1971): “Betapa aneh dan kacaunya kehidupan ini
seandainya kita mengabaikan penggunaan nama yang kita pakai untuk mengidentifikasi
segala sesuatu yang kita lihat, buat atau pakai. Perolehan dan penyebaran pengetahuan
tentulah tidak mungkin lagi dan aktivitas kehidupan akan terhenti”. Sulit dibayangkan
bagaimana kita harus berkomunikasi satu dengan yang lain tanpa menyebut suatu nama.
Pemberian nama pada tumbuhan disebut nomenklatur atau tatanama. Cara pemberian nama
itu melibatkan asas-asas yang diatur oleh peraturan-peraturan yang dibuat dan disahkan
Kongres Botani sedunia. Peraturan-peraturan tersebut secara formal dimuat pada Kode
Internasional Tatanama Tumbuhan (International Code of Botanical Nomenclature). Tujuan
utama sistem ini adalah menciptakan satu nama untuk setiap takson (Rideng, 1989).
Selanjutnya Rifai (1973) menyatakan bahwa kode tatanama ini bertujuan untuk menyediakan
cara yang mantap dalam pemberian nama bagi kesatuan-kesatuan taksonomi, menjauhi atau
menolak pemakaian nama-nama yang mungkin menyebabkan kesalahan atau keragu-raguan
atau yang menyebabkan timbulnya kesimpangsiuran dalam ilmu pengetahuan. Tatanama ini
juga bertujuan
a. menghindarkan terciptanya nama-nama yang tidak perlu.
b. Maksud pemberian nama pada setiap kesatuan taksonomi tumbuh-tumbuhan
bukanlah
c. untuk menunjukkan ciri-ciri atau sejarahnya, tetapi untuk memberikan jalan
guna pengacuan dan
d. sekaligus menunjukkan tingkat kedudukan taksonominya.

 Sejarah Tatanama Binomial Nomenclature


Dulu nama-nama ilmiah tumbuhan itu merupakan sebuah pertelaan sehingga sering
disebut nama pertelaan, yaitu terdiri atas tiga atau lebih kata (disebut juga polinomial).
Sebagai contoh: Sambucus caule arboreo ramoso floribus umbellatis, artinya Sambucus
dengan batang berkayu dan bercabang-cabang serta bunga bentuk payung. Bisa dibayangkan
betapa rumitnya untuk berkomunikasi dengan nama yang panjang seperti ini. Berdasarkan hal

27
ini para ahli botani berusaha untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistim penamaan
tersebut untuk mempermudah komunikasi. Sejak tahun 1753 sistim polynomial digantikan
dengan binomial sejak publikasi “systema plantarum” oleh Carolus Linnaeus dan berlaku
secara internasional. Sistim binomial yaitu sistim penamaan dimana nama jenis terdiri dari
dua kata, kata pertama adalah nama marga dan kata kedua merupakan penunjuk jenis atau
spesies epithet. Contoh: Hibiscus tiliaceus
 Prinsip Dan Peraturan Tatanama Tumbuhan:
a. Tatanama botani tidak berhubungan dengan tatanama zoologi. Nama yang
sama yang diberikan pada tumbuhan bisa juga digunakan ahli zoologi pada
hewan
b. Pelaksanaan penamaan di dalam kelompok taksonomi ditentukan dengan
menggunakan tipe tatanama. Tipe untuk famili adalah genus, tipe untuk genus
adalah jenis, tipe untuk jenis adalah spesimen dan seterusnya.
c. Tatanama dari kelompok taksonomi haruslah berdasar pada prioritas
d. publikasi, dan nama yang benar adalah nama yang telah dipublikasi terlebih
dahulu dan mengacu pada aturan-aturan. Tatanama yang telah dipublikasikan
lebih dulu harus dipakai sebagai dasar pada publikasi berikutnya.
e. Setiap kelompok taksonomi, batasannya, posisinya dan urutannya bisa
membuat satu nama yang benar.
f. Nama ilmiah kelompok taksonomi disajikan dalam bahasa Latin tanpa
menghiraukan asalnya.
g. Aturan untuk penamaan genus dan penunjuk jenis sama juga dengan yang lain
harus dalam bahasa Latin
h. Aturan tatanama adalah berlaku surut kecuali hal-hal yang kecil.
i. Suatu nama yang sah tidak boleh ditolak karena alas an tidak disukai atau
j. karena kehilangan arti aslinya. Contoh: Hibiscus rosa-sinensis, aslinya bukan
di Cina.
k. Perubahan nama hanya boleh dilakukan biala sudah betul-betul diteliti
taksonominya.
 Komposisi Nama Ilmiah :
Nama ilmiah suatu jenis merupakan penggabungan 3 hal :
1. Genus
2. Spesies epithet (penunjuk jenis)

28
3. Author
Contoh : Daucus carota L.
Nicotiana tabacum L
1. Nama-nama genera
 Kata benda tunggal dalam bahasa Latin atau dilatinkan dengan inisial huruf
besar
 Setelah penulisan pertama pada genus yang sama boleh disingkat, contoh:
Quercus alba → Q. alba, Q. rubra
 Tidak boleh terlalu panjang
 Tidak boleh menggunakan nama yang sama dengan jenisnya
Contoh: Salacca zalacca → tidak dianjurkan
2. Penunjuk Jenis
 Biasanya berupa kata sifat, akhirannya disesuaikan dengan nama marga.
Contoh: Syzygium aromaticum
 Dalam bahasa Latin atau dilatinkan
 Bisa berasal dari berbagai bentuk (nama orang, nama tempat, nama umum,
dll.)
 Tidak boleh terlalu panjang
 Tidak boleh mengulang nama marga
 Ditulis dengan huruf kecil dan apabila terdiri dari 2 suku kata harus diberi
tanda
 sambung. Contoh: Hibiscus rosa-sinensis Ipomea pes-capre
3. Author
Author adalah nama pengarang yang menerbitkan nama sah takson itu untuk
pertama kali. Tujuan pencantuman nama author adalah supaya penunjukan nama
suatu takson tepat dan lengkap serta memudahkan penelitian tentang keabsahan nama.
Contoh : Daucus carota L. (L.→ Linnaeus) Vernonia acaulis (Walter) Gleason

29
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nama biasa dan nama ilmiah telah dikemukakan, bahwa mengingat kalian yang ada
antara manusia dengan tumbuhan, tentulah sejak dahulu kala mannusia telah terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang termasuk lingkupnya taksonomi tumbuhan, antara lain pemberian
nama, Bangsa-bangsa Cina, Mesir, dan Asiria, sejak ribuan tahun yang lalu telah mengenal
berbagai jenis tumbuhan dan telah mengklasifikasikannya pula sesuai dengan
kegunaanya.Tata nama dalam biologi telah mengalami perubahan berkali-kali semenjak
manusia mencatat berbagai jenis organisme. Plinius dari masa kekaisaran Romawi telah
menulis sejumlah nama tumbuhan dan hewan dalam ensiklopedia yang dibuatnya dalam
bahasa Latin. Sistem penamaan organisme selanjutnya selalu menggunakan bahasa Latin
dalam tradisi pencatatan Eropa. Tata nama binomial atau binomial nomenklatur merupakan
aturan penamaan baku bagi semua organisme Tata nama binomial (makhluk hidup) yang
terdiri dari dua kata (binomial berarti 'dua nama') dari sistem taksonomi (biologi), dengan
mengambil nama genus dan nama spesies. Nama yang dipakai adalah nama baku yang
diberikan dalam bahasa Latin atau bahasa lain yang dilatinkan. Aturan ini pada awalnya
diterapkan untuk fungi, tumbuhan dan hewan oleh penyusunnya (Carolus Linnaeus), namun
kemudian segera diterapkan untuk bakteri pula. Sebutan yang disepakati untuk nama ini
adalah 'nama ilmiah' (scientific name).

B. Saran

Kepada pembaca diharapkan untuk membantu memberikan masukan kepada penulis


agar penulis bisa memperbaiki maupun menambahkan materi bahasan yang kurang dibahas
secara terperinci dalam makalah ini.

30
DAFTAR PUSTAKA

Gembong Tjitrosoepomo, 1993. Taksonomi Umum (Dasar-dasar Taksonomi). Gadjah Mada

University Press : Yogyakarta

Gembong Tjitrosoepomo, 2003. Taklsonomi Tumbuhan. Gadjah Mada

University Press : Yogyakarta

31

Anda mungkin juga menyukai