Anda di halaman 1dari 8

Nama : Ivana Ruth Christy Silangen

NIM : 19507055

Mata Kuliah : Ekologi Hewan

Soal : Mencari dan mendeskripsikan tentang "Persaingan 7& Pemisahan Relung serta
Pergeseran Ciri pada hewan dlm topik Habitat dan Relung Ekologi.

Asas Eksklusi Persaingan Dan Pemisahan Relung

Dengan adanya interaksi persaingan antara dua spesies atau lebih yang memiliki relung ekologi
yang sangat mirip maka mungkin saja spesies-spesies tersebut tidak berkonsistensi dalam
habitat yang samasecara terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa suatu relung ekologi tidak
dapat ditempati secara simultan dan sempurna oleh populasi stabil lebih dari satu spesies.
Pernyataan ini dikenal sebagai ” Asas Eksklusi Persaingan” atau ” Aturan Gause”.

Sehubungan dengan asas tersebut di atas, menurut ” asas koeksistensi’, beberapa spesies yang
dapat hidup secara langgeng dalam habitat yang sama ialah spesies-spesies yang relung
ekologinya berbeda-beda. Tentang pentingnya perbedaan-perbedaan diantara berbagai spesies
telah lama dikemukakan oleh Darwin (1859). Darwin menyatakan ahwa makin besar
perbedaan-perbedaan yang diperlihatkan oleh berbagai spesies yang hidup di suatu tempat,
makin besar pula jumlah spesies yang dapat hidup di suatu tempat itu. Pernyataan Darwin
tersebut dikenal sebagai ” Asas Divergensi”.

Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa aspek relung ekologi yang menyangkut dimensi
sumberdaya, khususnya yang vital untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan, dari beberapa
spesies harus berbeda (terpisah) agar dapat berkoeksistensi dalam habitat yang sama.
Perbedaan atau pemisahan relung itu juga mencakup aspek waktu aktif.

Contoh dari kasusu pemisahan relung antara berbagai spesies yang berkohabitasi dapat dilihat
dari contoh berikut ini. Serumpun padi dapat menjadi sumberdaya berbagai jenis spesies
hewan. Orong-orong (Gryllotalpa africana) memekan akarnya, walang sangit (Leptocorisa
acuta) memakan buahnya, ulat tentara kelabu (Spodoptera maurita) yang memakan daunnya,
ulat penggerek batang (Chilo supressalis) yang menyerang batangnya, hama ganjur
(Pachydiplosis oryzae) menyerang pucuknya, wereng coklat (Nilaparvata lugens) dan wereng
hijau (Nephotettix apicalis) yang menghisap cairan batangnya. Tiap jenis hama tersebut masing-
masing telah teradaptasi khusus untuk memanfaatkan tanaman padi sebagai sumberdaya
makanan pada bagian-bagian yang berbeda-beda.

Habitat

Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya menunjukkan totalitas dari corak lingkungan yang
di tempati populasi itu,termasuk factor-faktor abiotik berupa ruang,tipe substratum yang di
tempati,cuaca dan iklimnya serta vegetasinya.

Definisi habitat : Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup, atau tempat
kemana seseorang harus pergi untuk menemukan organisme tersebut. Istilah habitat banyak
digunakan , tidak saja dalam ekologi tetapi dimana saja. Tetapi pada umumnya istilah ini
diartikan sebagai tempat hidup suatu makhluk hidup. Contohnya habitat Notonecta (sejenis
binatang air) adalah daerah-daerah kolam, danau dan perairan yang dangkal yang penuh
ditumbuhi vegetasi. Habitat ikan mas (Cyprinus carpio) adalah di perairan tawar, habitat pohon
durian (Durio zibhetinus) adalah di tanah darat dataran rendah. Pohon enau tumbuh di tanah
darat dataran rendah sampai pegunungan, dan habitat eceng gondok di perairan terbuka.

Menurut Sambas Wirakusumah dalam Dasar-Dasar Ekologi, habitat adalah toleransi dalam orbit
dimana suatu spesies hidup termasuk faktor lingkungan yang cocok dengan syarat hidupnya.
Orbit adalah ruang kehidupan spesies lingkungan geografi yang luas, sedangkan habitat
menyatakan ruang kehidupan lingkungan lokasinya.

Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan kondisi yang ada di suatu
kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat merupakan organism-specific:
ini menghubungkan kehadiran species, populasi, atau idndividu (satwa atau tumbuhan) dengan
sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari sekedar vegatasi atau
struktur vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu species. Dimanapun
suatu organisme diberi sumberdaya yang berdampak pada kemampuan untuk bertahan hidup,
itulah yang disebut dengan habitat.

Tipe Habitat: Habitat tidak sama dengan tipe habitat. Tipe habitat merupakan sebuah istilah
yang dikemukakan oleh Doubenmire (1968:27-32) yang hanya berkenaan dengan tipe asosiasi
vegetasi dalam suatu kawasan atau potensi vegetasi yang mencapai suatu tingkat klimaks.
Habitat lebih dari sekedar sebuah kawasan vegetasi (seperti hutan pinus). Istilah tipe habitat
tidak bisa digunakan ketika mendiskusikan hubungan antara satwa liar dan habitatnya. Ketika
kita ingin menunjukkan vegetasi yang digunakan oleh satwa liar, kita dapat mengatakan asosiasi
vegetasi atau tipe vegetasi didalamnya.
Penggunaan Habitat: Penggunaan habitat merupakan cara satwa menggunakan (atau
”mengkonsumsi” dalam suatu pandangan umum) suatu kumpulan komponen fisik dan biologi
(sumber daya) dalam suatu habitat. Hutto (1985:458) menyatakan bahwa penggunaan habitat
merupakan sebuah proses yang secara hierarkhi melibatkan suatu rangkaian perilaku alami dan
belajar suatu satwa dalam membuat keputusan habitat seperti apa yang akan digunakan dalam
skala lingkungan yang berbeda.

Kesukaan Habitat: Johnson (1980) menyatakan bahwa seleksi merupakan proses satwa memilih
komponen habitat yang digunakan. Kesukaan habitat merupakan konsekuensi proses yang
menghasilkan adanya penggunaan yang tidak proporsional terhadap beberapa sumberdaya,
yang mana beberapa sumberdaya digunakan melebihi yang lain.

Ketersediaan Habitat: Ketersediaan habitat menunjuk pada aksesibiltas komponen fisik dan
biologi yang dibutuhkan oleh satwa, berlawanan dengan kelimpahan sumberdaya yang hanya
menunjukkan kuantitas habitat masing-masing organisme yang ada dalam habitat tersebut
(Wiens 1984:402). Secara teori kita dapat menghitung jumlah dan jenis sumberdaya yang
tersedia untuk satwa; secara praktek, merupakan hal yang hampir tidak mungkin untuk
menghitung ketersediaan sumberdaya dari sudut pandang satwa (Litvaitis et al., 1994). Kita
dapat menghitung kelimpahan species prey untuk suatu predator tertentu, tetapi kita tidak bisa
mengatakan bahwa semua prey yang ada di dalam habitat dapat dimangsa karena adanya
beberapa batasan, seperti ketersediaan cover yang banyak yang membatasi aksesibilitas
predator untuk memangsa prey. Hal yang sama juga terjadi pada vegetasi yang berada di luar
jangkauan suatu satwa sehingga susah untuk dikonsumsi, walaupun vegetasi itu merupakan
kesukaan satwa tersebut. Meskipun menghitung ketersediaan sumber daya aktual merupakan
hal yang penting untuk memahami hubungan antara satwa liar dan habitatnya, dalam praktek
jarang dilakukan karena sulitnya dalam menentukan apa yang sebenarnya tersedia dan apa
yang tidak tersedia (Wiens 1984:406). Sebagai konsekuensinya, mengkuantifikasi ketersediaan
sumberdaya biasanya lebih ditekankan pada penghitungan kelimpahan sumberdaya sebelum
dan sesudah digunakan oleh satwa dalam suatu kawasan, daripada ketersediaan aktual. Ketika
aksesibilitas sumber daya dapat ditentukan terhadap suatu satwa, analisis untuk menaksir
kesukaan habitat dengan membandingkan penggunan dan ketersediaan merupakan hal yang
penting.

Kualitas Habitat: Istilah kualitas habitat menunjukkan kemampuan lingkungan untuk


memberikan kondisi khusus tepat untuk individu dan populasi secara terus menerus. Kualitas
merupakan sebuah variabel kontinyu yang berkisar dari rendah, menengah, hingga tinggi.
Kualitas habitat berdasarkan kemampuan untuk memberikan sumberdaya untuk bertahan
hidup, reproduksi, dan kelangsungan hidup populasi secara terus menerus. Para peneliti
umumnya menyamakan kualitas habitat yang tinggi dengan menonjolkan vegetasi yang
memiliki kontribusi terhadap kehadiran (atau ketidak hadiran) suatu spesies (seperti dalam
Habitat Suitability Index Models dalam Laymon dan Barrett 1986 dan Morrison et al. 1991).
Kualitas secara eksplisit harus dihubungkan dengan ciri-ciri demografi jika diperlukan. Leopold
(1933) dan Dasman et al. (1973) menyatakan bahwa suatu habitat diaktakan memiliki kualitas
yang tinggi apabila kepadatan satwa seimbang dengan sumberdaya yang tersedia, di lapangan
pada umumnya habitat yang memiliki kualitas ditunjukkan dengan besarnya kepadatan satwa
(Laymon dan Barrett 1986). Van Horne (1983) mengatakan bahwa kepadatan merupakan
indikator yang keliru untuk kulitas habitat. Oleh sebab itu daya dukung dapat disamakan
dengan level kualitas habitat tertentu, kualitasnya dapat berdasarkan tidak pada jumlah
organisme tetapi pada demografi populasi secara individual. Kualitas habitat merupakan kata
kunci bagi para ahli restorasi.

Secara garis besar dikenal empat tipe habitat utama , yakni:daratan,perairan tawar,perairan
payau dan estuaria serta perairan bahari/laut..Masing-masing kategori utama dapat dipilih-
pilihkan lagi tergantung corak kepentingannya,mengenai aspek yang ingin di ketahui.Dari sudut
pandang dan kepentingan popuasi-populasi hewan yang menempatinya,pemilihan tipe-tipe
habitat itu terutama didasarkan pada segi variasinya menurut waktu dan ruang.

Berdasarkan variasi habitat menurut ruang,dapat dikenal4 macam habitat.

1. Habitat yang konstan,yaitu suatu habitat yang kondisinya terus-menerus relatip baik atau
kurang baik.

2. Habitat yang bersifat memusim,yaitu suatu habitat yang kondisinya secara relative teratur
berganti-ganti antara baik dan kurang baik.

3. Habitat yang tidak menentu,yaitu suatu habitat yang mengalami suatu priode dengan
kondisi baik yang lamanya berfariasi ,sehingga kondisinya tidak dapat diramalkan.

4. Habitat yang efemeral,yaitu suatu habitat yang mengalami priode kondisi baik yang
berlangsung relative singkat,diikuti oleh suatu priode dengan kondisi yang kurang baik yang
berlangsung relative lama sekali.

Relung Ekologi (Ecological Niche)

Berbeda dengan istilah habitat yang sekarang sudah digunakan secara luas, istilah relung
ekologi di luar bidang ekologi praktis tak kenel. Salah satu pennyebabnya ialah karena konsep
relung ekologi relatif baru, bahkan dalam 30 tahun pertama selak istilah tersebut diperkenalkan
pengertiannya masih kabur. Sampai saat ini dikalangan guru-guru biologi sekolah menengah
juga masih kabur.
Secara umum dapat dikatakan bahwa relung ekologi merupakan suatu konsep abstrak
mengenai keseluruhan persyaratan hidup dan interaksi organisme dalam habitatnya. Dalam hal
ini habitat merupakan penyedia berbagai koondisi dan sumberdaya yang dapat digunakan oleh
organisme sesuai dengan persyaratan hidupnya.

Konsep relung (niche) dikembangkan oleh Charles Elton (1927) ilmuwan Inggris, dengan
pengertian relung adalah “status fungsional suatu organisme dalam komunitas tertentu”.
Dalam penelaahan suatu organisme, kita harus mengetahui kegiatannya, terutama mengenai
sumber nutrisi dan energi, kecepatan metabolisme dan tumbuhnya, pengaruh terhadap
organisme lain bila berdampingan atau bersentuhan, dan sampai seberapa jauh organisme
yang kita selidiki itu mempengaruhi atau mampu mengubah berbagai proses dalam ekosistem.

Relung menurut Resosoedarmo (1992) adalah profesi (status suatu organisme) dalam suatu
komunitas dan ekosistem tertentu yang merupakan akibat adaptasi struktural, fungsional serta
perilaku spesifik organisme itu. Berdasarkan uraian diatas relung ekologi merupakan istilah
lebih inklusif yang meliputi tidak saja ruang secara fisik yang didiami oleh suatu makhluk, tetapi
juga peranan fungsional dalam komunitas serta kedudukan makhluk itu di dalam kondisi
lingkungan yang berbeda (Odum, 1993). Relung ekologi merupakan gabungan khusus antara
faktor fisik (mikrohabitat) dan kaitan biotik (peranan) yang diperlukan oleh suatu jenis untuk
aktivitas hidup dan eksistensi yang berkesinambungan dalam komunitas (Soetjipto, 1992).

Niche (relung) ekologi mencakup ruang fisik yang diduduki organisme , peranan fungsionalnya
di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta posisinya dalam kondisi lingkungan tempat
tinggalnya dan keadaan lain dari keberadaannya itu. Ketiga aspek relung ekologi itu dapat
dikatakan sebagai relung atau ruangan habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau
hypervolume. Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme tidak hanya tergantung pada
dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat (bagaimana dia merubah energi, bersikap
atau berkelakuan, tanggap terhadap dan mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya), dan
bagaimana jenis lain menjadi kendala baginya. Hutchinson (1957) telah membedakan antara
niche pokok (fundamental niche) dengan niche yang sesungguhnya (relized niche). Niche pokok
didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memungkinkan populasi masih
dapat hidup. Sedangkan niche sesungguhnya didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi
fisik yang ditempati oleh organisme-organisme tertentu secara bersamaan.

Sebagaiman definisi-definisi pada umumnya, definisi relung ekologi (niche) pun juga bermacam-
macam. Menurut Kandeigh (1980), relung ekologi adalah suatu populasi / spesies hewan adalah
status fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan dengan adaptasi-
adaptasi fisiologis, struktural/morfologi, dan pola perilaku hewan itu. Atau relung ekologi
merupakan posisi atau status suatu organisme dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu
yang merupakan akibat adaptasi struktural, tanggap fisiologis serta perilaku spesifik organisme
itu. Jadi relung suatu organisme bukan hanya ditentukan oleh tempat organisme itu hidup,
tetapi juga oleh berbagai fungsi yang dimilikinya. Dapat dikatakan, bahwa secara biologis,
relung adalah profesi atau cara hidup organisme dalam lingkungan hidupnya.

Hutchinson (1957) dalam Begon,et al (1986) telah mengembangkan konsep relung ekologi
multidimensi (dimensi-n atau hipervolume). Setiap kisaran toleransi hewan terhadap suatu
faktor lingkungan, misalnya suhu merupakan suatu dimensi. Dalam kehidupannya hewan
dipengaruhi oleh bukan hanya satu faktor lingkungan saja, melainkan bannyak faktor
lingkungan secara simultan. Faktor ligkungan yang mempengaruhi atau membatasi kehidupan
organisme bukan hanya kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya, kelembapan, salinitas tetapi
juga ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan hewan (makanan dan tempat untuk membuat
sarang bagi hewan).

Selanjutnya Hutchinson membagi konsep relung menjadi relung fundamental dan relung yang
terealisasi. Relung fundamental menunjukkan potensi secara utuh kisaran toleransi hewan
terhadap berbagai faktor lingkungan, yang hanya dapat diamati dalam laboratorium dengan
kondisi lingkungan gterkendali. Misalnya yang diamati hanya satu atau dua faktor saja, tanpa
ada pesaing, predator dan lain sebagainya. Relung terealisasi adalah status fungsional yang
benar-benar ditempati dalam kondisi alami, dengan beroperasinya banyak ffaktor lingkungan
seperti interaksi faktor, kehadiran pesaing, predator dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan
kisaran relung fundamental, kisaran dari relung yang terealisasikan itu pada umumnya lebih
sempit, karena tidak seluruhnya dari potensi hewan dapat diwujudkan, tentunya karena
pengaruh dari beroprasinya berbagai kendala dari lingkungan.

Dimensi-dimensi pada niche pokok menentukan kondisi-kondisi yang menyebabkan organisme-


organisme dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan bentuk, kekuatan atau arah interaksi.
Dua faktor utama yang menetukan bentuk interaksi dalam populasi adalah kebutuhan fisiologis
tiap-tiap individu dan ukuran relatifnya. Empat tipe pokok dari interaksi diantara populasi sudah
diketahui yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis.

Agar terjadi interaksi antar organisme yang meliputi kompetisi, predasi, parasitisme dan
simbiosis harusnya ada tumpang tindih dalam niche. Pada kasus simbion, satu atau semua
partisipan mengubah lingkungan dengan cara membuat kondisi dalam kisaran kritis dari
kisaran-kisaran kritis partisipan yang lain. Untuk kompetitor, predator dan mangsanya harus
mempunyai kecocokan dengan parameter niche agar terjadi interaksi antar organisme,
sedikitnya selama waktu interaksi.

Menurut Odum (1993) tidak ada dua spesies yang adaptasinya identik sama antara satu dengan
yang lainnya, dan spesies yang memperlihatkan adaptasi yang lebih baik dan lebih agresif akan
memenangkan persaingan. Spesies yang menang dalam persaingan akan dapat memanfaatkan
sumber dayanya secara optimal sehingga mampu mempertahankan eksistensinya dengan baik.
Spesies yang kalah dalam persaingan bila tidak berhasil mendapatkan tempat lain yang
menyediakan sumber daya yang diperlukannya dapat mengalami kepunahan lokal

Populasi beraneka jenis hewan yang berkoeksistensi dalam habitat yang sama mempunyai
keserupaan pula dalam kisaran toleransinya terhadap beberapa faktor lingkungan dalam
mikrohabitat. Berdasarkan konsep relung ekologi menurut Hutchinson keserupaan
menunjukkan adanya keselingkupan dalam satu atau beberapa dimensi relung (Kramadibrata,
1996).

Berjenis makhluk hidup dapat hidup bersama dalam satu habitat . Akan tetapi apabila dua jenis
makhluk hidup mempunyai relung yang sama, akan terjadi persaingan. Makin besar tumpang
tindih relung kedua jenis makhluk hidup, makin intensif persaingannya. Dalam keadaan itu
masing-masing jenis akan mempertinggi efisiensi cara hidup atau profesinya.Masing-masing
akan menjadi lebih spesialis, yaitu relungnya menyempit. Jadi efek persaingan antar jenis
adalah menyempitnya relung jenis makhluk hidup yang bersaing, sehingga terjadi spesialisasi.

Akan tetapi bila populasi semakin meningkat, maka persaingan antar individu di dalam jenis
tersebut akan terjadi pula. Dalam persaingan ini individu yang lemah akan terdesak ke bagian
niche yang marginal. Sebagai efeknya ialah melebarnya relung, dan jenis tersebut akan menjadi
lebih generalis. Ini berarti jenis tersebut semakin lemah atau kuat. Makin spesialis suatu jenis
semakin rentan makhluk tersebut.

Makin spesialistis suatu jenis, makin rentan populasinya misalnya wereng yang monofag dan
hidup dari tanaman padi, populasinya kecil setelah masa panen dan memesar lagi setelah
sawah ditanami dengan padi. Populasi yang kecil setelah panen menanggung resiko kepunahan.
Sebaliknya jenis makhluk yang generalis, populasinya tidak banyak berfluktuasi, ia dapat
berpindah dari jenis makanan yang satu ke jenis makanan yang lain. Pada manusia kita
dapatkan hal yang serupa. Bangsa yang makanan pokoknya hanya beras, hidupnya amat
rentan , apabila produksi beras menurun misalnya karena iklim yang buruk, kehidupannya
mengalami kegoncangan.

Pengetahuan tentang relung suatu organisme sangat perlu sebagai landasan untuk memahami
berfungsinya suatu komunitas dan ekosistem dalam habitat utama. Untuk dapat membedakan
relung suatu organisme, maka perlu diketahui tentang kepadatan populasi, metabolisme secara
kolektif, pengaruh faktor abiotik terhadap organisme, pengaruh organisme yang satu terhadap
yang lainnya.

Banyak, organisme, khususnya hewan yang mempunyai tahap-tahap perkembangan hidup yang
nyata, secara beruntun menduduki relung yang berbeda. Umpamanya jentik-jentik nyamuk
hidup dalam habitat perairan dangkal, sedangkan yang sudah dewasa menempati habitat dan
relung yang samasekali berbeda Relung atau niche burung adalah pemakan buah atau biji,
pemakan ulat atau semut, pemakan ikan atau kodok.

Niche ada yang bersifat umum dan spesifik. Misalnya ayam termasuk mempunyai niche yang
umum karena dapat memakan cacing, padi, daging, ikan, rumput dan lainnya. Ayam merupakan
polifag, yang berarti makan banyak jenis. Makan beberapa jenis disebut oligofag, hanya makan
satu jenis disebut monofag seperti wereng, hanya makan padi.

Apabila terdapat dua hewan atau lebih mempunyai niche yang sama dalam satu habitat yang
sama maka akan terjadi persaingan. Dalam persaingan yang ketat, masing-masing jenis
mempertinggi efisiensi cara hidup, dan masing-masing akan menjadi lebih spesialis yaitu
relungnya menyempit.

Hutchinson (dalam Odum,1993) membedakan antara relung dasar (Fundamental Niche) dengan
relung nyata (Realized Niche). Relung dasar didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi
fisik yang memungkinkan populasi masih dapat hidup, tanpa kehadiran pesaing, relung nyata
didefinisikan sebagai kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh organisme-organisme tertentu
secara bersamaan sehingga terjadi kompetisi. Keterbatasan suatu organisme pada suatu relung
tergantung pada adaptasinya terhadap kondisi lingkungan tersebut.

Relung dasar (Fundamental Niche) tidak dapat dengan mudah ditentukan karena dalam suatu
komunitas persaingan merupakan proses yang dinamis dan kondisi fisik lingkungan yang
beragam mempengaruhi kehidupan suatu organisme. Mc Arthur (1968) dalam Soetjipta (1992)
menyarankan penelitian tentang perbedaan antara relung ekologi dibatasi dalam satu atau dua
dimensi saja seperti hanya diamati perbedaan relung makan saja atau perbedaan relung
aktivitas saja.

Jenis-jenis popilasi yang berkerabat dekat akan memiliki kepentingan serupa pada dimensi-
dimensi relung sehingga mempunyai relung yang saling tumpang tindih. Jika relung suatu jenis
bertumpang tindih sepenuhnya dengan jenis lain maka salah satu jenis akan tersingkir sesuai
dengan prinsip penyingkiran kompetitif.Jika relung-relu ng itu bertumpang tindih maka salah
satu jenis sepenuhnya menduduki relung dasarnya sendiri dan menyingkirkan jenis kedua dari
bagian relung dasar tersebut dan membiarkannya menduduki relung nyata yang lebih kecil ,
atau kedua jenis itu mempunyai relung nyata yang terbatas dan masing-masing memanfaatkan
kisaran yang lebih kecil dari dimensi relung yang dapat mereka peroleh seandainya tidak ada
jenis lain.

Anda mungkin juga menyukai