Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di alam yang di lingkungan sekitar kita dapat di temui berbagai jenis makhluk
hidup, baik dari golongan hewan, tumbuhan ataupun mikroorganisme. Ditanah
yang lembab dan gembur sering di temukan berbagai jenis ikan, direrumputan
sering ditemukan belalang, di semsk belukar sering ditemukan ular. Mengapa
masing-masing hewan tersebut. Lebih sering di temukan di tempat-tempat yang
tertentu dan tidak sembarang tempat? Masalah kehadiran suatu populasi hewan di
suatu tempat dan penyebaran (distribusi) spesies hewan tersebut di muka bumi
ini, selalu berkaitan dengan masalah habitat dan relung ekologinya.
Habitat secara umum menunjukkan bagaimana corak lingkungan yang
ditempati populasi hewan, sedang relung ekologinya menunjukkan dimana dan
bagaimana kedudukan populasi hewan itu relatif terhadap faktor-faktor abiotik
dan biotik lingkungannya itu. Secara sederhana habitat diartikan sebagai tempat
hidup dari makhluk hidup, atau diistilahkan juga dengan biotop. Untuk
mudahnya, habitat seringkali diibaratkan sebagai ”alamat” dari populasi hewan,
sedang relung ekologi dimisalkan sebagai “profesi” di alamat itu.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah kami adalah:
Menjelaskan pengertian Habitat?
Menjelaskan pengertian Mikrohabitat?
Menjelaskan pengertian Relung Ekologi?
Menjelaskan tentang Asas Eksklusi Persaingan Dan Pemisahan Relung
Menjelaskan tentang Ekivalen Ekologi?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Habitat

Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya menunjukkan totalitas dari corak
lingkungan yang di tempati populasi itu, termasuk factor-faktor abiotik berupa
ruang, tipe substratum yang di tempati, cuaca dan iklimnya serta vegetasinya.
Definisi habitat : Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup, atau
tempat kemana seseorang harus pergi untuk menemukan organisme tersebut.
Istilah habitat banyak digunakan, tidak saja dalam ekologi tetapi dimana saja.
Tetapi pada umumnya istilah ini diartikan sebagai tempat hidup suatu makhluk
hidup. Contohnya habitat Notonecta (sejenis binatang air) adalah daerah-daerah
kolam, danau dan perairan yang dangkal yang penuh ditumbuhi vegetasi. Habitat
ikan mas (Cyprinus carpio) adalah di perairan tawar, habitat pohon durian (Durio
zibhetinus) adalah di tanah darat dataran rendah. Pohon enau tumbuh di tanah
darat dataran rendah sampai pegunungan, dan habitat enceng gondok di perairan
terbuka.
Menurut Sambas Wirakusumah dalam Dasar-Dasar Ekologi, habitat adalah
toleransi dalam orbit dimana suatu spesies hidup termasuk faktor lingkungan yang
cocok dengan syarat hidupnya. Orbit adalah ruang kehidupan spesies lingkungan
geografi yang luas, sedangkan habitat menyatakan ruang kehidupan lingkungan
lokasinya.
Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan kondisi
yang ada di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat
merupakan organisme-specific yang menghubungkan kehadiran species, populasi,
atau individu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan
karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari sekedar vegatasi atau struktur
vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu species.
Dimanapun suatu organisme diberi sumberdaya yang berdampak pada
kemampuan untuk bertahan hidup, itulah yang disebut dengan habitat.
Tipe Habitat: Habitat tidak sama dengan tipe habitat. Tipe habitat merupakan
sebuah istilah yang dikemukakan oleh Doubenmire (1968:27-32) yang hanya
berkenaan dengan tipe asosiasi vegetasi dalam suatu kawasan atau potensi
vegetasi yang mencapai suatu tingkat klimaks. Habitat lebih dari sekedar sebuah
kawasan vegetasi (seperti hutan pinus). Istilah tipe habitat tidak bisa digunakan
ketika mendiskusikan hubungan antara satwa liar dan habitatnya. Ketika kita
ingin menunjukkan vegetasi yang digunakan oleh satwa liar, kita dapat
mengatakan asosiasi vegetasi atau tipe vegetasi di dalamnya. Penggunaan Habitat:
Penggunaan habitat merupakan cara satwa menggunakan (atau ”mengkonsumsi”
dalam suatu pandangan umum) suatu kumpulan komponen fisik dan biologi
(sumber daya) dalam suatu habitat. Hutto (1985:458) menyatakan bahwa
penggunaan habitat merupakan sebuah proses yang secara hierarki melibatkan
suatu rangkaian perilaku alami dan belajar suatu satwa dalam membuat keputusan
habitat seperti apa yang akan digunakan dalam skala lingkungan yang berbeda.

Kesukaan Habitat: Johnson (1980) menyatakan bahwa seleksi merupakan


proses satwa memilih komponen habitat yang digunakan. Kesukaan habitat
merupakan konsekuensi proses yang menghasilkan adanya penggunaan yang
tidak proporsional terhadap beberapa sumberdaya, yang mana beberapa

2
sumberdaya digunakan melebihi yang lain. Ketersediaan Habitat: Ketersediaan
habitat menunjuk pada aksesibilitas komponen fisik dan biologi yang dibutuhkan
oleh satwa, berlawanan dengan kelimpahan sumberdaya yang hanya
menunjukkan kuantitas habitat masing-masing organisme yang ada dalam habitat
tersebut (Wiens 1984:402). Secara teori kita dapat menghitung jumlah dan jenis
sumberdaya yang tersedia untuk satwa; secara praktek, merupakan hal yang
hampir tidak mungkin untuk menghitung ketersediaan sumberdaya dari sudut
pandang satwa (Litvaitis et al., 1994). Kita dapat menghitung kelimpahan species
prey untuk suatu predator tertentu, tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa semua
prey yang ada di dalam habitat dapat dimangsa karena adanya beberapa batasan,
seperti ketersediaan cover yang banyak yang membatasi aksesibilitas predator
untuk memangsa prey. Hal yang sama juga terjadi pada vegetasi yang berada di
luar jangkauan suatu satwa sehingga susah untuk dikonsumsi, walaupun vegetasi
itu merupakan kesukaan satwa tersebut. Meskipun menghitung ketersediaan
sumber daya aktual merupakan hal yang penting untuk memahami hubungan
antara satwa liar dan habitatnya, dalam praktek jarang dilakukan karena sulitnya
dalam menentukan apa yang sebenarnya tersedia dan apa yang tidak tersedia
(Wiens 1984:406). Sebagai konsekuensinya, mengkuantifikasi ketersediaan
sumberdaya biasanya lebih ditekankan pada penghitungan kelimpahan
sumberdaya sebelum dan sesudah digunakan oleh satwa dalam suatu kawasan,
daripada ketersediaan aktual. Ketika aksesibilitas sumber daya dapat ditentukan
terhadap suatu satwa, analisis untuk menaksir kesukaan habitat dengan
membandingkan penggunan dan ketersediaan merupakan hal yang penting.

Kualitas Habitat: Istilah kualitas habitat menunjukkan kemampuan


lingkungan untuk memberikan kondisi khusus tepat untuk individu dan populasi
secara terus menerus. Kualitas merupakan sebuah variabel kontinyu yang berkisar
dari rendah, menengah, hingga tinggi. Kualitas habitat berdasarkan kemampuan
untuk memberikan sumberdaya untuk bertahan hidup, reproduksi, dan
kelangsungan hidup populasi secara terus menerus. Para peneliti umumnya
menyamakan kualitas habitat yang tinggi dengan menonjolkan vegetasi yang
memiliki kontribusi terhadap kehadiran (atau ketidak hadiran) suatu spesies
(seperti dalam Habitat Suitability Index Models dalam Laymon dan Barrett 1986
dan Morrison et al.1991). Kualitas secara eksplisit harus dihubungkan dengan
ciri-ciri demografi jika diperlukan. Leopold (1933) dan Dasman et al. (1973)
menyatakan bahwa suatu habitat diaktakan memiliki kualitas yang tinggi apabila
kepadatan satwa seimbang dengan sumberdaya yang tersedia, di lapangan pada
umumnya habitat yang memiliki kualitas ditunjukkan dengan besarnya kepadatan
satwa (Laymon dan Barrett 1986). Van Horne (1983) mengatakan bahwa
kepadatan merupakan indikator yang keliru untuk kulitas habitat. Oleh sebab itu
daya dukung dapat disamakan dengan level kualitas habitat tertentu, kualitasnya
dapat berdasarkan tidak pada jumlah organisme tetapi pada demografi populasi
secara individual. Kualitas habitat merupakan kata kunci bagi para ahli restorasi.
Secara garis besar dikenal empat tipe habitat utama , yakni: daratan, perairan
tawar, perairan payau dan estuaria serta perairan bahari/ laut. Masing-masing
kategori utama dapat dipilih-pilihkan lagi tergantung corak kepentingannya,
mengenai aspek yang ingin di ketahui. Dari sudut pandang dan kepentingan
popuasi-populasi hewan yang menempatinya, pemilihan tipe-tipe habitat itu
terutama didasarkan pada segi variasinya menurut waktu dan ruang.

3
Berdasarkan variasi habitat menurut ruang, dapat dikenal 4 macam habitat:
1. Habitat yang konstan, yaitu suatu habitat yang kondisinya terus menerus relatip
baik atau kurang baik.
2. Habitat yang bersifat memusim, yaitu suatu habitat yang kondisinya secara
relative teratur berganti-ganti antara baik dan kurang baik.
3. Habitat yang tidak menentu, yaitu suatu habitat yang mengalami suatu priode
dengan kondisi baik yang lamanya berfariasi, sehingga kondisinya tidak dapat
diramalkan.
4. Habitat yang efemeral,yaitu suatu habitat yang mengalami priode kondisi baik
yang berlangsung relative singkat, diikuti oleh suatu priode dengan kondisi yang
kurang baik yang berlangsung relative lama sekali.

Berdasarkan variasi kondisi habitat menurut ruang, habitat dapat diklasifikasi menjadi
tiga macam:
1) Habitat yang bersinambung, yaitu apabila suatu habitat mengandung area dengan
kondisi baik yang luas sekali, yang melebihi luas area yang dapat di jelajahi
populasi hewan pengaruhinya. Sehingga contoh yang luas sebagai habitat dari
populasi rusa yang berjumlah 10 ekor.
2) Habitat yang berputus-putus, merupakan suatu habitat yang mengandung area
dengan kondisi baik letaknya berselang-seling dengan area yang berkondisi
kurang baik, hewan penghuninya dengan mudah dapat menyebar dari area
berkondisi baik yang satu ke yang lainnya.
3) Habitat yang terisolasi, merupakan suatu habitat yang mengandung area
terkondisi baik yang terbatas luasnya dan letaknya terpisah jauh dari area
berkondisi baik yang lain, sehingga hewan-hewan tidak dapat menyebar untuk
mencapainya, kecuali bila didukung oleh faktor-faktor kebetulan. Misal suatu
pulau kecil yang di huni oleh populasi rusa. Jika makanan habis rusa tersebut
tidak dapat berpindah ke pulau lain. Pulau kecil tersebut merupakan bukan habitat
terisolasi bagi suatu populasi burung yang dapat dengan mudah pindah ke pulau
lainnya, tetapi lebih cocok disebut habitat yang terputus.

2.2 Pengertian Mikrohabitat

Habitat-habitat di alam ini umumnya bersifat heterogen, dengan area-area


tertentu dalam habitat itu yang berbeda vegetasinya. Populasi-populasi hewan
yang mendiami habitat itu akan terkonsentrasi ditempat-tempat dengan kondisi
yang paling cocok bagi pemenuhan persyaratan hidupnya masing-masing. Bagian
dari habitat yang merupakan lingkungan yang kondisinya paling cocok dan
paling akrab berhubungan dengan hewan dinamakan mikrohabitat.
Sehubungan dengan bagaimana kisaran-kisaran toleransinya terhadap
berbagai faktor lingkungannya, maka berbagai spesies hewan yang berkonsentrasi
dalam habitat yang sama (= berkohabitasi) akan menempati mikrohabitatnya
masing-masing.

Makrohabitat dan mikrohabitat : Beberapa istilah seperti makrohabitat dan


mikrohabitat penggunaannya tergantung dan merujuk pada skala apa studi yang
akan dilakukan terhadap satwa menjadi pertanyaan. (Johnson, 1980). Dengan
demikian makrohabitat dan mikrohabitat harus ditentukan untuk masing-masing
studi yang berkenaan dengan spesies spesifik. Secara umum, macrohabitat

4
merujuk pada ciri khas dengan skala yang luas seperti zona asosiasi vegetasi
(Block and Brennan, 1993) yang biasanya disamakan dengan level pertama
seleksi habitat menurut Johnson. Mikrohabitat biasanya menunjukkan kondisi
habitat yang sesuai, yang merupakan faktor penting pada level 2-4 dalam
hierarkhi Johnson. Oleh sebab itu merupakan hal yang tepat untuk menggunakan
istilah mikrohabitat dan makrohabitat dalam sebuah pandangan relatif, dan
Contoh makrohabitat dan mikrohabitat: Organisme penghancur (pembusuk) daun
hanya hidup pada lingkungan sel-sel daun lapisan atas fotosintesis, sedangkan
spesies organisme penghancur lainnya hidup pada sel-sel daun bawah pada
lembar daun yang sama hingga mereka hidup bebas tidak saling mengganggu.
Lingkungan sel-sel dalam selembar daun di atas disebut mikrohabitat sedangkan
keseluruhan daun dalam lingkungan makro disebut makrohabitat. pada skala
penerapan yang ditetapkan secara eksplisit.

Habitat dalam batas tertentu sesuai dengan persyaratan makhluk hidup yang
menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut titik minimum dan batas
atas disebut titik maksimum. Antara dua kisaran itu terdapat titik optimum.
Ketiga titik itu yaitu titik minimum, titik maksimum dan titik optimum disebut
titik cardinal. Apabila sifat habitat berubah sampai diluar titik minimum atau
maksimum, makhluk hidup itu akan mati atau harus pindah ke tempat lain.
Misalnya jika terjadi arus terus-menerus di pantai habitat bakau, dapat dipastikan
bakau tersebut tidak akan bertahan hidup . Apabila perubahannya lambat,
misalnya terjadi selama beberapa generasi, makhluk hidup umumnya dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi baru di luar batas semula.Melalui proses
adaptasi itu sebenarnya telah terbentuk makhluk hidup yang mempunyai sifat lain
yang disebut varietas baru atau ras baru bahkan dapat terbentuk jenis baru.
Batas antara mikrohabitat yang satu dengan yang lainnya acap kali tidak
nyata/jelas. Namun demikian mikrohabitat memegang peranan penting dalam
menentukan keanekaragaman spesies yang menempati habitat itu. Tiap spesies
akan berkonsentrasi pada mikrohabitat yang paling sesuai baginya. Sebagai
contoh, dalam suatu habitat perairan tawar yang mengalir (sungai) secara umum
dapat dibedakan menjadi bagian riam dan lubuk. Riam berarus deras dan dasarnya
berbatu-batu sedang lubuk hampir tidak berarus, relatif dalam dan dasarnya
berupa lumpur dan serasah. Ada beberapa populasi hewan air yang lebih
menyukai tinggal atau bermikrohabitat di riam dan ada beberapa populasi yang
lebih menyukai tinggal atau bermikrohabitat di lubuk. Pemilihan atas dasar
mikrohabitat utama ini dapat dipilah-pilah lagi lebih lanjut, seperti bagian
permukaan batu, di sel-sela batu, di bawah lapisan serasah dan sebagainya.
Pemilihan atas dasar mikrohabitat-mikrohabitat yang berbeda itu terkait dengan
masalah perbedaan status fungsional atau relung ekologi dari berbagai spesies
hewan yang manempati habitat perairan tersebut.

2.3. Relung Ekologi (Ecological Niche)

Berbeda dengan istilah habitat yang sekarang sudah digunakan secara luas,
istilah relung ekologi di luar bidang ekologi praktis tak kenel. Salah satu
penyebabnya ialah karena konsep relung ekologi relatif baru, bahkan dalam 30
tahun pertama selak istilah tersebut diperkenalkan pengertiannya masih kabur.
Sampai saat ini dikalangan guru-guru biologi sekolah menengah juga masih
kabur.

5
Secara umum dapat dikatakan bahwa relung ekologi merupakan suatu konsep
abstrak mengenai keseluruhan persyaratan hidup dan interaksi organisme dalam
habitatnya. Dalam hal ini habitat merupakan penyedia berbagai koondisi dan
sumberdaya yang dapat digunakan oleh organisme sesuai dengan persyaratan
hidupnya. Konsep relung (niche) dikembangkan oleh Charles Elton (1927)
ilmuwan Inggris, dengan pengertian relung adalah “status fungsional suatu
organisme dalam komunitas tertentu”. Dalam penelaahan suatu organisme, kita
harus mengetahui kegiatannya, terutama mengenai sumber nutrisi dan energi,
kecepatan metabolisme dan tumbuhnya, pengaruh terhadap organisme lain bila
berdampingan atau bersentuhan, dan sampai seberapa jauh organisme yang kita
selidiki itu mempengaruhi atau mampu mengubah berbagai proses dalam
ekosistem.
Relung menurut Resosoedarmo (1992) adalah profesi (status suatu
organisme) dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu yang merupakan akibat
adaptasi struktural, fungsional serta perilaku spesifik organisme itu. Berdasarkan
uraian diatas relung ekologi merupakan istilah lebih inklusif yang meliputi tidak
saja ruang secara fisik yang didiami oleh suatu makhluk, tetapi juga peranan
fungsional dalam komunitas serta kedudukan makhluk itu di dalam kondisi
lingkungan yang berbeda (Odum, 1993). Relung ekologi merupakan gabungan
khusus antara faktor fisik (mikrohabitat) dan kaitan biotik (peranan) yang
diperlukan oleh suatu jenis untuk aktivitas hidup dan eksistensi yang
berkesinambungan dalam komunitas (Soetjipto, 1992).
Niche (relung) ekologi mencakup ruang fisik yang diduduki organisme ,
peranan fungsionalnya di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta
posisinya dalam kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan keadaan lain dari
keberadaannya itu. Ketiga aspek relung ekologi itu dapat dikatakan sebagai
relung atau ruangan habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau
hypervolume. Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme tidak hanya
tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat (bagaimana
dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap dan mengubah
lingkungan fisik serta abiotiknya), dan bagaimana jenis lain menjadi kendala
baginya. Hutchinson (1957) telah membedakan antara niche pokok (fundamental
niche) dengan niche yang sesungguhnya (relized niche). Niche pokok
didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memungkinkan
populasi masih dapat hidup. Sedangkan niche sesungguhnya didefinisikan sebagai
sekelompok kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh organisme-organisme
tertentu secara bersamaan. Sebagaimana definisi-definisi pada umumnya, definisi
relung ekologi (niche) pun juga bermacam-macam. Menurut Kandeigh (1980),
relung ekologi adalah suatu populasi / spesies hewan adalah status fungsional
hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan dengan adaptasi-adaptasi
fisiologis, struktural/morfologi, dan pola perilaku hewan itu. Atau relung ekologi
merupakan posisi atau status suatu organisme dalam suatu komunitas dan
ekosistem tertentu yang merupakan akibat adaptasi struktural, tanggap fisiologis
serta perilaku spesifik organisme itu. Jadi relung suatu organisme bukan hanya
ditentukan oleh tempat organisme itu hidup, tetapi juga oleh berbagai fungsi yang
dimilikinya. Dapat dikatakan, bahwa secara biologis, relung adalah profesi atau
cara hidup organisme dalam lingkungan hidupnya.
Hutchinson (1957) dalam Begon,et al (1986) telah mengembangkan konsep
relung ekologi multidimensi (dimensi-n atau hipervolume). Setiap kisaran
toleransi hewan terhadap suatu faktor lingkungan, misalnya suhu merupakan

6
suatu dimensi. Dalam kehidupannya hewan dipengaruhi oleh bukan hanya satu
faktor lingkungan saja, melainkan bannyak faktor lingkungan secara simultan.
Faktor ligkungan yang mempengaruhi atau membatasi kehidupan organisme
bukan hanya kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya, kelembapan, salinitas tetapi
juga ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan hewan (makanan dan tempat
untuk membuat sarang bagi hewan).
Selanjutnya Hutchinson membagi konsep relung menjadi relung fundamental
dan relung yang terealisasi. Relung fundamental menunjukkan potensi secara
utuh kisaran toleransi hewan terhadap berbagai faktor lingkungan, yang hanya
dapat diamati dalam laboratorium dengan kondisi lingkungan terkendali.
Misalnya yang diamati hanya satu atau dua faktor saja, tanpa ada pesaing,
predator dan lain sebagainya. Relung terealisasi adalah status fungsional yang
benar-benar ditempati dalam kondisi alami, dengan beroperasinya banyak faktor
lingkungan seperti interaksi faktor, kehadiran pesaing, predator dan lain
sebagainya. Dibandingkan dengan kisaran relung fundamental, kisaran dari relung
yang terealisasikan itu pada umumnya lebih sempit, karena tidak seluruhnya dari
potensi hewan dapat diwujudkan, tentunya karena pengaruh dari beroprasinya
berbagai kendala dari lingkungan.
Dimensi-dimensi pada niche pokok menentukan kondisi-kondisi yang
menyebabkaN organisme-organisme dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan
bentuk, kekuatan atau arah interaksi. Dua faktor utama yang menetukan bentuk
interaksi dalam populasi adalah kebutuhan fisiologis tiap-tiap individu dan ukuran
relatifnya. Empat tipe pokok dari interaksi diantara populasi sudah diketahui
yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis. Agar terjadi interaksi antar
organisme yang meliputi kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis harusnya
ada tumpang tindih dalam niche. Pada kasus simbion, satu atau semua partisipan
mengubah lingkungan dengan cara membuat kondisi dalam kisaran kritis dari
kisaran-kisaran kritis partisipan yang lain. Untuk kompetitor, predator dan
mangsanya harus mempunyai kecocokan dengan parameter niche agar terjadi
interaksi antar organisme, sedikitnya selama waktu interaksi.
Menurut Odum (1993) tidak ada dua spesies yang adaptasinya identik sama
antara satu dengan yang lainnya, dan spesies yang memperlihatkan adaptasi yang
lebih baik dan lebih agresif akan memenangkan persaingan. Spesies yang menang
dalam persaingan akan dapat memanfaatkan sumber dayanya secara optimal
sehingga mampu mempertahankan eksistensinya dengan baik. Spesies yang kalah
dalam persaingan bila tidak berhasil mendapatkan tempat lain yang menyediakan
sumber daya yang diperlukannya dapat mengalami kepunahan lokal. Populasi
beraneka jenis hewan yang berkoeksistensi dalam habitat yang sama mempunyai
keserupaan pula dalam kisaran toleransinya terhadap beberapa faktor lingkungan
dalam mikrohabitat. Berdasarkan konsep relung ekologi menurut Hutchinson
keserupaan menunjukkan adanya keselingkupan dalam satu atau beberapa
dimensi relung (Kramadibrata, 1996).
Berjenis makhluk hidup dapat hidup bersama dalam satu habita, Akan tetapi
apabila dua jenis makhluk hidup mempunyai relung yang sama, akan terjadi
persaingan. Makin besar tumpang tindih relung kedua jenis makhluk hidup,
makin intensif persaingannya. Dalam keadaan itu masing-masing jenis akan
mempertinggi efisiensi cara hidup atau profesinya.Masing-masing akan menjadi
lebih spesialis, yaitu relungnya menyempit. Jadi efek persaingan antar jenis
adalah menyempitnya relung jenis makhluk hidup yang bersaing, sehingga terjadi
spesialisasi. Akan tetapi bila populasi semakin meningkat, maka persaingan antar

7
individu di dalam jenis tersebut akan terjadi pula. Dalam persaingan ini individu
yang lemah akan terdesak ke bagian niche yang marginal. Sebagai efeknya ialah
melebarnya relung, dan jenis tersebut akan menjadi lebih generalis. Ini berarti
jenis tersebut semakin lemah atau kuat. Makin spesialis suatu jenis semakin
rentan makhluk tersebut.
Makin spesialistis suatu jenis, makin rentan populasinya misalnya wereng
yang monofag dan hidup dari tanaman padi, populasinya kecil setelah masa panen
dan memesar lagi setelah sawah ditanami dengan padi. Populasi yang kecil
setelah panen menanggung resiko kepunahan. Sebaliknya jenis makhluk yang
generalis, populasinya tidak banyak berfluktuasi, ia dapat berpindah dari jenis
makanan yang satu ke jenis makanan yang lain. Pada manusia kita dapatkan hal
yang serupa. Bangsa yang makanan pokoknya hanya beras, hidupnya amat
rentan , apabila produksi beras menurun misalnya karena iklim yang buruk,
kehidupannya mengalami kegoncangan.
Pengetahuan tentang relung suatu organisme sangat perlu sebagai landasan
untuk memahami berfungsinya suatu komunitas dan ekosistem dalam habitat
utama. Untuk dapat membedakan relung suatu organisme, maka perlu diketahui
tentang kepadatan populasi, metabolisme secara kolektif, pengaruh faktor abiotik
terhadap organisme, pengaruh organisme yang satu terhadap yang lainnya.
Banyak organisme, khususnya hewan yang mempunyai tahap-tahap
perkembangan hidup yang nyata, secara beruntun menduduki relung yang
berbeda. Umpamanya jentik-jentik nyamuk hidup dalam habitat perairan dangkal,
sedangkan yang sudah dewasa menempati habitat dan relung yang sama sekali
berbeda Relung atau niche burung adalah pemakan buah atau biji, pemakan ulat
atau semut, pemakan ikan atau kodok. Niche ada yang bersifat umum dan
spesifik. Misalnya ayam termasuk mempunyai niche yang umum karena dapat
memakan cacing, padi, daging, ikan, rumput dan lainnya. Ayam merupakan
polifag, yang berarti makan banyak jenis. Makan beberapa jenis disebut oligofag,
hanya makan satu jenis disebut monofag seperti wereng, hanya makan padi.
Apabila terdapat dua hewan atau lebih mempunyai niche yang sama dalam satu
habitat yang sama maka akan terjadi persaingan. Dalam persaingan yang ketat,
masing-masing jenis mempertinggi efisiensi cara hidup, dan masing-masing akan
menjadi lebih spesialis yaitu relungnya menyempit.

Hutchinson (dalam Odum,1993) membedakan antara relung dasar


(Fundamental Niche) dengan relung nyata (Realized Niche). Relung dasar
didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memungkinkan
populasi masih dapat hidup, tanpa kehadiran pesaing, relung nyata didefinisikan
sebagai kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh organisme-organisme tertentu
secara bersamaan sehingga terjadi kompetisi. Keterbatasan suatu organisme pada
suatu relung tergantung pada adaptasinya terhadap kondisi lingkungan tersebut.
Relung dasar (Fundamental Niche) tidak dapat dengan mudah ditentukan
karena dalam suatu komunitas persaingan merupakan proses yang dinamis dan
kondisi fisik lingkungan yang beragam mempengaruhi kehidupan suatu
organisme. Mc Arthur (1968) dalam Soetjipta (1992) menyarankan penelitian
tentang perbedaan antara relung ekologi dibatasi dalam satu atau dua dimensi saja
seperti hanya diamati perbedaan relung makan saja atau perbedaan relung
aktivitas saja.
Jenis-jenis populasi yang berkerabat dekat akan memiliki kepentingan serupa
pada dimensi-dimensi relung sehingga mempunyai relung yang saling tumpang

8
tindih. Jika relung suatu jenis bertumpang tindih sepenuhnya dengan jenis lain
maka salah satu jenis akan tersingkir sesuai dengan prinsip penyingkiran
kompetitif. Jika relung-relung itu bertumpang tindih maka salah satu jenis
sepenuhnya menduduki relung dasarnya sendiri dan menyingkirkan jenis kedua
dari bagian relung dasar tersebut dan membiarkannya menduduki relung nyata
yang lebih kecil , atau kedua jenis itu mempunyai relung nyata yang terbatas dan
masing-masing memanfaatkan kisaran yang lebih kecil dari dimensi relung yang
dapat mereka peroleh seandainya tidak ada jenis lain.

2.4. Asas Eksklusi Persaingan Dan Pemisahan Relung


Dengan adanya interaksi persaingan antara dua spesies atau lebih yang
memiliki relung ekologi yang sangat mirip maka mungkin saja spesies-spesies
tersebut tidak berkonsistensi dalam habitat yang sama secara terus-menerus. Hal
ini menunjukkan bahwa suatu relung ekologi tidak dapat ditempati secara
simultan dan sempurna oleh populasi stabil lebih dari satu spesies. Pernyataan ini
dikenal sebagai ” Asas Eksklusi Persaingan” atau ”Aturan Gause”. Sehubungan
dengan asas tersebut di atas, menurut” asas koeksistensi’, beberapa spesies yang
dapat hidup secara langgeng dalam habitat yang sama ialah spesies-spesies yang
relung ekologinya berbeda-beda. Tentang pentingnya perbedaan-perbedaan
diantara berbagai spesies telah lama dikemukakan oleh Darwin (1859). Darwin
menyatakan bahwa makin besar perbedaan-perbedaan yang diperlihatkan oleh
berbagai spesies yang hidup di suatu tempat, makin besar pula jumlah spesies
yang dapat hidup di suatu tempat itu. Pernyataan Darwin tersebut dikenal sebagai
” Asas Divergensi”.

Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa aspek relung ekologi yang
menyangkut dimensi sumberdaya, khususnya yang vital untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan, dari beberapa spesies harus berbeda (terpisah) agar dapat
berkoeksistensi dalam habitat yang sama. Perbedaan atau pemisahan relung itu
juga mencakup aspek waktu aktif.
Contoh dari kasus pemisahan relung antara berbagai spesies yang
berkohabitasi dapat dilihat dari contoh berikut ini. Serumpun padi dapat menjadi
sumberdaya berbagai jenis spesies hewan. Orong-orong (Gryllotalpa africana)
memekan akarnya, walang sangit (Leptocorisa acuta) memakan buahnya, ulat
tentara kelabu (Spodoptera maurita) yang memakan daunnya, ulat penggerek
batang (Chilo supressalis) yang menyerang batangnya, hama ganjur
(Pachydiplosis oryzae) menyerang pucuknya, wereng coklat (Nilaparvata lugens)
dan wereng hijau (Nephotettix apicalis) yang menghisap cairan batangnya. Tiap
jenis hama tersebut masing-masing telah teradaptasi khusus untuk memanfaatkan
tanaman padi sebagai sumberdaya makanan pada bagian-bagian yang berbeda-
beda.

2.5. Ekivalen Ekologi


Jika memperhatikan tentang kehidupan berbagai jenis hewan di berbagai
tempat sering ditemukan spesies-spesies hewan serupa yang hidup di daerah
geografi yang berbeda. Kita dapat menemukan cacing tanah di mana saja, misal di
Indonesia, di Amerika, di Eropa, di Australia dan tempat lainnya. Cacing-cacing
tanah tersebut secara morfologi serupa, namun sebenarnya mereka berbeda
spesies. Cacing tanah di jawa (Pheretima javanica) serupa dengan cacing tanah di
Amerika (Lumbricus terestris). Kedua jenis cacing tanah tersebut menempati

9
habitat tanah lembab dengan relung ekologi yang serupa. Jenis-jenis hewan yang
menempati relung ekologi yang sama (ekivalen) dalam habitat yang serupa di
daerah zoogeografi yang berbeda disebut Ekivalen Ekologi.
Secara umum ekivalen-ekivalen ekologi itu dikenali dari kemiripan-kemiripan
yang diperlihatkan hewan-hewan tersebut dalam hal adaptasi morfologi serta pola
perilakunya. Sebabnya ialah karena berbagai adaptasi itu adalah tiada lain dari
pada perangkat ”modal” kemampuan hewan untuk memanfaatkan sumberdaya-
sumberdaya di dalam lingkungannya atau habitatnya.

2.6. Pergeseran Ciri

Spesies-spesies hewan yang berkerabat dekat, satu marga atau genus misalnya,
dapat ditemukan pada habitat atau daerah penyebaran yang sama (simpatrik) atau
ditemukan pada daerah penyebaran yang berbeda (alopitrik). Jika Spesies-spesies
hewan yang berkerabat dekat (kogenerik) ditemukan dalam keadaan simpatrik,
seleksi alam akan menghasilkan ciri-ciri tubuh yang semakin mencolok
perbedaannya diantara Spesies-spesies itu atau dikatakan mengalami evolusi
divergen. Sebaliknya, apabila dalam keadaan alopitrik seleksi alam akan
menghasilkan evolusi konvergen sehingga perbedaan ciri-ciri itu makin kabur.
Fenomena tersebut di atas di kenal sebagai Pergeseran Ciri.
Evolusi yang menghasilkan pergeseran ciri pada Spesies-spesies hewan dalam
keadaan simpatrik mempunyai dua kepentingan adaptif bagi spesies-spesies yang
bersangkutan. Pertama, karena ciri (adaptasi morfologis,misalnya) yang nyata
bedanya akan menyebabkan terjadinya pemisahan relung ekologi. Dengan
demikian maka kemungkinan terjadinya interaksi berupa persaingan, apabial
spesies itu berkohabitasi, akan tereduksi. Kedua, berbedanya ciri morfologi yang
menghasilkan berbedanya pola perilaku misalnya perilaku berbiak, akan lebih
menjamin terjadinya pemisahan genetik diantara Spesies-spesies yang berkerabat
itu bila berkohabitasi, atau menghindari terjadinya inbreeding yang tidak
mengintungkan.

2.7. Struktur Populasi Monyet Ekor Panjang

a. Populasi adalah sekelompok individu yang berasal dari satu spesies yang
mendiami habitat tertentu dimana perkawinan antar individu terjadi secara acak,
sehingga populasi menjadi relatif berkesinambungan. Sedangkan struktur
populasi merupakan komposisi populasi yang meliputi jenis kelamin (jantan,
betina) dan umur (kategori anak, kategori remaja dan kategori dewasa) yang
merupakan proposi antara tahapan hidup suatu jenis fauna. Struktur Populasi yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah struktur populasi Monyet Ekor Panjang
(Macaca fascicularis). Struktur populasi yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Monyet Ekor Panjang
(Macaca fascicularis)Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah monyet
kecil yang berwarna coklat dengan bagian perut berwarna lebih muda dan disertai
rambut keputih-putihan yang jelas pada bagian muka. Dalam perkembangannya,
rambut yang tumbuh pada muka tersebut berbeda-beda antara satu individu
dengan individu lainnya. Perbedaan warna ini dapat menjadi indikator yang dapat
membantu mengenali individu berdasarkan jenis kelamin dan kelas
umurnya.Monyet ekor panjang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
monyet ekor panjang yang terdapat di kawasan Tahura Pocut Meurah Intan zona

10
Seulawah Agam kabupaten Aceh Besar, Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut
Meurah Intan Zona Seulawah Agam Kabupaten Aceh Besar. Taksonomi Monyet
Ekor Panjang (Macaca fascicularis)Monyet ekor panjang banyak digunakan
dalam penelitian sebagai hewan percobaan karena secara anatomis maupun
fisiologis mempunyai kemiripan dengan manusia, dibandingkan dengan hewan
lainnya. Pengelolaan satwa primata tidak hanya ditunjukkan untuk perlindungan
tetapi juga untuk usaha pemanfaatan yang tetap mempertahankan kelestariannya.

Pemanfaatan tersebut meliputi bidang pendidikan, penelitian, pariwisata dan


rekreasi. Sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian, maka untuk mencapai sasaran
pemanfaatan tersebut diperlukan usaha penangkaran. Jenis satwa primata yang
sangat sering digunakan dalam penelitian adalah kera asia, terutama monyet
rhesus dan monyet ekor panjang Menurut Napier, taksonomi monyet ekor
panjang adalah sebagi berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Famili : Cercopithecidae
Genus : Macaca
Spesies : Macaca fascicularis Raffles
Monyet ekor panjang sering disebut juga long-tailed macaque, crab eating
monkey, dan cinomolgus monkey. Nama lokal monyet ekor panjang di
berbagaidaerah di Indonesia adalah cigaq (Minagkabau), karau (Sumatera),warik
(Kalimantan), warek (Dusun), bedes (Tengger), ketek (Jawa), kunyuk (Sunda),
motak (Madura), dan belo (Timor).

b. Morfologi dan Anatomi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis


Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah satwa primata yang
menggunakan kaki depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk berjalan dan
berlari (quandrapedalisme), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang kepala
dan badan. Disamping itu memiliki bantalan duduk (ischial sallosity) yang
melekat pada tulang duduk (ischial) dan memiliki kantong makanan di pipi
(cheek pouches). Monyet ekor panjang memiliki panjang ekor 127,55% dari
panjang tubuh dan panjang tangan 87,94% dari panjang kakinya. Panjang kepala
dan badan Monyet ekor panjang berkisar antara 400-565 cm, telapak kaki
belakang 120-140 cm, tengkorak 120 mm dan telingan 34-38 mm. Monyet ekor
panjang memiliki panjang tubuh berkisar antara 385-668 cm. Bobot tubuh jantan
dewasa berkisar antara 3,5-8 kg, sedangkan bobot tubuh rata-rata betina 3 kg,
lama hidup antara 25-30 tahun, umur kawin 36-48 bulan, umur sapih 5-6 bulan
dan umur dewasa 4,5-6,5 tahun.

11
Gambar. Monyet Ekor Panjang Jantan (Macaca fascicularis)
Monyet ekor panjang mempunyai dua warna utama yaitu coklat keabuabuan dan
kemerah-merahan dengan berbagai variasi warna menurut musim, umur, dan lokasi.
Monyet ekor panjang menghuni kawasan pantai pada umumnya berwarna lebih gelap
dan mengkilap, sedangkan monyet yang menghuni kawasan pantai pada umumnya
berwarna lebih terang. Hal ini dipengaruhi oleh udara lembab yang mengandung
garam dan sinar matahari. Bagian punggung monyet ekor panjang lebih gelap
dibanding dengan bagian perut dan dada, rambut kepalanya pendek tertalik
kebelakang dahi, rambut-rambut sekeliling wajahnya berbentuk jambang yang lebat,
ekornya tertutup bulu halus. Rambut pada bagian pipi monyet ekor panjang jantan
lebih lebat dibandingkan dengan monyet ekor panjang betina.

Gambar 2. Monyet Ekor Panjang Betina (Macaca fascicularis)

Berikut merupakan gambar dan bentuk perbandingan yang anakan, dewasa,


remaja pada Monyet ekor panjang.

12
(a) Gambar Anak-anak (b)Gambar Remaja (c) Gambar Dewasa

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun
biotik yang merupakan kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup, penyediaan
makanan, air, perlindungan serta berkembangbiaknya satwa liar. Habitat suatu
organisme adalah tempat organisme itu hidup. Istilah habitat banyak digunakan tidak
saja dalam ekologi tetapi dimana saja, umumnya istilah itu diartikan sebagaitempat
hidup suatu makhluk. Habitat dapat juga menunjukan tempat yang diduduki oleh
seluruh komunitas.
Habitat merupakan suatu keadaan yang lebih umum, yaitu tempat dimana
organisme terbentuk dan keadaan luar yang ada tempat tersebut, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung mempengaruhi organisme tersebut. Habitat bagi satwa
liar merupakan daerah dengan berbagai macam tipe makanan, cover dan faktor-faktor
lain yang dibutuhkan oleh suatu jenis satwa liar untuk kelangsungan hidup dan
perkembangbiakan yang berhasil. Monyet ekor panjang dapat bertahan hidup di
berbagai jenis habitat tropis sehingga disebut sebagai “ecologically diverse”. Monyet
ekor panjang dikenal menghuni hutan-hutan bakau dan nipah, hutan pantai, hutan
pinggiran sungai, baik di hutan primer maupun hutan seunder yang berdekatan dengan
pertanian dan habitat riparian (tepi danau, tepi sungai, atau sepanjang pantai).
Monyet ekor panjang juga ditemukan pada kawasan dengan ketinggian 0-1200
mdpl meskipun jenis ini sangat mungkin berada lebih tinggi lagi. Mereka adalah
spesies yang sangat cerdas, sebagaian besar waktunya dihabiskan dengan tinggal dan
beraktivitas di atas pohon (arboreal) dan dapat memanjat tebing yang hampir vertikal.
Daerah jelajah monyet ekor panjang yaitu antara 50 sampai 100 Ha tergantung dari
habitatnya, ukuran dan kelimpahan sumber makanan. Monyet ekor panjang juga
salah satu genus yang dapat beradaptasi dengan lingkungan yang bermacam-macam
dan iklim yang berbeda-beda. Kondisi habitat berpengaruh terhadap kepadatan
populasi monyet ekor panjang. Kepadatan populasi monyet ekor panjang di hutan
primer lebih rendah dibandingkan kepadatan populasi di hutan sekunder. Monyet ekor
panjang bersifat arboreal meskipun sering kali terlihat turun ke tanah/bawah, jika
dikejutkan umumnya lari ke puncak-puncak pohon. Monyet ekor panjang hidup
dalam kelompok-kelompok, satu kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri 8-40
ekor individu atau lebih termasuk beberapa betina dari semua usia dan menunjukan
suatu kecenderungan ke arah perluasan populasi. Penyebaran monyet ekor panjang
meliputi beberapa kawasan di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Penyebarannya berada di Kepulauan Nikobar, Burma, Malaysia, Thailand,
Vietnam Selatan, Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Kepulauan Nusa
Tenggara) dan Filipina. Selain itu, monyet ekor panjang juga terdapat di Indonesia
dan pulau-pulau kecil lainnya. Beberapa populasi monyet ekor panjang yang
menempati berbagai pulau di Indonesia telah dinyatakan sebagai subspesies yang

13
berbeda Keberadaan populasi monyet ekor panjang sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan pakan, predator, dan keadaan vegetasi. Monyet ekor panjang merupakan
salah satu jenis satwa pemakan buah dan mempunyai kebiasaan makan yang sangat
selektif. Monyet ekor panjang memakan bunga, buah dan daun-daun muda yang
terdapat pada tumbuhan tertentu.
Vegetasi yang ada pada satu tempat merupakan salah satu faktor yang penting
karena merupakan komponen dari habitat primata. Kondisi fisik seperti suhu,
kelembaban dan kecepatan angin juga mempengaruhi aktivitas populasi monyet ekor
panjang. Struktur populasi mempengaruhi sebaran populasi. Monyet ekor panjang
lebih menyukai vegetasi dengan kerapatan jarang dibandingkan dengan keberadaan
populasi padan hutan lebat Organisme-organisme hidup (biotik) dan lingkungan tidak
hidupnya (abiotik) berhubungan erat tak terpisahkan dan saling pengaruh-
mempengaruhi satu sama lain. Satuan yang mencakup semua organisme, yakni
“populasi” di dalam suatu daerah yang saling mempengaruhi dengan lingkungan
fisiknya sehingga arus energi mengarah ke struktur makanan, keanekaragaman biotik,
dan daur-daur bahan yang jelas (yakni pertukaran bahan-bahan antara bagian-bagian
yang hidup dan tidak hidup) di dalam sistem, merupakan sistem ekologi atau
ekosistem.
Oleh karena ekosistem mencakup organisme dan lingkungan abiotiknya yang
saling berinteraksi, maka ekosistem merupakan satuan dasar fungsional ekologi.
Dalam hirarki organisasi biologi, satuan terkecil dari kehidupan adalah sel, menyusul
jaringan, organ, organisme (individu), populasi (satu jenis), komunitas (banyak jenis),
dan ekosistem (komunitas dan lingkungan). Bidang bahasan ekologi meliputi
populasi, komunitas dan ekosistem. Ketiga tingkat tersebut dalam kajian ekologi
berkaitan satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan, mempelajari ekosistem dengan
sendirinya akan mempelajari pula komunitas dan populasinya.

14
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:


Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya menunjukkan totalitas dari corak
lingkungan yang ditempati populasi itu, termasuk faktor-faktor abiotik berupa
ruang, tipe substratum atau medium yang ditempati, cuaca dan iklimnya serta
vegetasinya.
Relung ekologi hewan adalah status fungsional hewan itu dalam habitat yang
ditempatinya berkaitan dengan adaptasi-adaptasi fisiologis, morfologi dan pola
perilaku hewan itu. Mikrohabitat adalah bagian dari habitat yang merupakan
lingkungan yang kondisinya paling cocok dan paling akrab berhubungan dengan
hewan.
Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik
maupun biotik yang merupakan kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup,
penyediaan makanan, air, perlindungan serta berkembangbiaknya satwa liar.
Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup. Istilah habitat banyak
digunakan tidak saja dalam ekologi tetapi dimana saja, umumnya istilah itu
diartikan sebagaitempat hidup suatu makhluk. Habitat dapat juga menunjukan
tempat yang diduduki oleh seluruh komunitas.
Struktur populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Kawasan
Tahura Pocut Meurah Intan zona Seulawah Agam di Kabupaten Aceh Besar, terdiri
kelompok(coetus) bayi 17 individu, anakan 25 individu, remaja 39 individu, betina
dewasa 37 individu, dan kelompok jantan dewasa 8 individu.

15
DAFTAR PUSTAKA

Darmawan,Agus. Ekologi Hewan. Malang : Universitas Negeri Malang, 2005.

Kramadibrata, H. Ekologi Hewan. Bandung : Institut Teknologi Press, 1996.

Odum, Eugene P. Fundamentals of Ecology. Saunders College, 1971.

Wirakusumah, Sambas. Dasar-Dasar Ekologi. Jakarta. Penerbit UIPress, 2003

Https://journal.uniko.ac.id./index.php/wanaraksa/article/download/1049/739

16

Anda mungkin juga menyukai