Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

POTENSI EKOWISATA
HUTAN MBELILING DI MANGGARAI BARAT

OLEH
KELOMPOK VIII :
1. ANDRIYANTO ( KETUA )
2. INGGUMI RUMAWAK
3. LIBERTUS A. GUNAWAN
4. DIMAS BIMO PRASETYO
5. ADRIANUS SAPUTRA BAUK
6. YULIANUS HADIANTO HALOUVIN

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS PERJALANAN


STP AMPTA YOGYAKARTA
2015
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanegaraman hayati yang

sangat tinggi yang berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di daratan, udara maupun

di perairan. Semua potensi tersebut mempunyai peranan yang sangat penting bagi

pengembangan kepariwisataan, khususnya wisata alam. Potensi Obyek dan Daya Tarik

Wisata Alam (ODTWA) yang dimiliki Indonesia, antara lain berupa keanekaragaman hayati,

keunikan dan keaslian budaya tradisional, keindahan bentang alam, gejala alam, peninggalan

sejarah/budaya yang secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat.

Keseluruhan potensi ODTWA tersebut di atas merupakan sumber daya ekonomi yang

bernilai tinggi dan sekaligus merupakan media pendidikan dan pelestarian

lingkungan. Sasaran tersebut di atas dapat tercapai melalui pengelolaan dan pengusahaan

yang benar dan terkoordinasi, baik lintas sektoral maupun swasta yang berkaitan dengan

pengembangan kegiatan pariwisata alam, misalnya kepariwisataan, biro perjalanan,

pemerintah daerah, lingkungan hidup, dan lembaga swadaya masyarakat. Dalam

pengembangan kegiatan pariwisata alam terdapat dampak positif dan dampak negatif, baik

dalam masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan alami.

Dampak positifnya antara lain menambah sumber penghasilan dan devisa negara,

menyediakan kesempatan kerja dan usaha, mendorong perkembangan usaha-usaha baru, dan

diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat/wisatawan tentang konservasi

sumber daya alam. Dampak positif tersebut perlu ditingkatkan.


Dampak negatifnya antara lain gangguan terhadap ODTWA (erosi dan vandalisme),

dan munculnya kesenjangan sosial. Dampak negatif ini perlu mendapatkan perhatian dan

ditanggulangi secara bersama antara pihak terkait. Berkenaan dengan hal itulah makalah ini

saya susun dengan mengacu pada teori-teori ekologi wisata.

Pada saat ini, ekowisata telah berkembang. Wisata ini tidak hanya sekedar untuk

melakukan pengamatan burung, mengendarai kuda, penelusuran jejak di hutan belantara,

tetapi telah terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal. Ekowisata ini

kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan

terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan

konservasi. Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata

bertanggungjawab.

Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip

konservasi. Bahkan dalam strategi pengembangan ekowisata juga menggunakan strategi

konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam

mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Bahkan dengan

ekowisata pelestarian alam dapat ditingkatkan kualitasnya karena desakan dan tuntutan dari

para eco-traveler.

Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan peninggalan sejarah, seni dan

budaya yang sangat besar sebagai daya tarik pariwisata dunia. Ahli biokonservasi

memprediksi bahwa Indonesia yang tergolong negara Megadiversity dalam hal keaneka

ragaman hayati akan mampu menggeser Brasil sebagai negara tertinggi akan keaneka jenis,

jika para ahli biokonservasi terus giat melakukan pengkajian ilmiah terhadap kawasan yang

belum tersentuh. Bayangkan saja bahwa Indonesia memiliki 10% jenis tumbuhan berbunga

yang ada di dunia, 12% binatang menyusui, 16% reptilia and amfibia, 17% burung, 25%
ikan, dan 15% serangga, walaupun luas daratan Indonesia hanya 1,32% seluruh luas

daratan yang ada di dunia (BAPPENAS, 1993).

Di dunia hewan, Indonesia juga memiliki kedudukan yang istimewa di dunia. Dari

500-600 jenis mamalia besar (36% endemik), 35 jenis primata (25% endemik), 78 jenis paruh

bengkok (40% endemik) dan 121 jenis kupu-kupu (44% endemik) (McNeely et.al. 1990,

Supriatna 1996). Sekitar 59% dari luas daratan Indonesia merupakan hutan hujan tropis atau

sekitar 10% dari luas hutan yang ada di dunia (Stone, 1994). Sekitar 100 juta hektar

diantaranya diklasifikasikan sebagai hutan lindung, yang 18,7 juta hektarnya telah ditetapkan

sebagai kawasan konservasi.

Hutan merupakan salah satu unsur obyek dalam pengembangan ekowisata di

Indonesia. Hampir sebagian besar wilayah Indonesia adalah hutan. Salah satu wilayah

Indonesia yang masih memiliki wilayah hutan yang asli adalah Manggarai Barat, Flores,

NTT.

Di Manggarai Barat, salah satu hutan yang masih asli dan sangat berpotensi untuk

pengembangan wilayah ekowisata manggarai barat yaitu hutan mbeliling. Hutan Mbeliling

adalah hutan terluas di Flores, mencakup 72,4 km2 hutan lindung, 41,8 km2 hutan

konservasi, dan 120 km2 hutan produksi terbatas. Hutan ini terdapat beberapa mata air yang

menjadi sumber air bersih bagi masyarakat di Labuan Bajo (floresecotourism.com). hutan

mbeliling menjadi habitat bagi 152 jenis burung termasuk jenis burung endemic flores yang

dilindungi seperti Kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), Serindit Flores (Loriculus

Flosculus), dan Gagak Flores (Corvus Florensis).

Hutan Mbeliling merupakan hutan alami yang terletak di kawasan perbukitan

kecamatan mbeliling dan kecamatan sano nggoang. Hutan Mbeliling berada di desa roe

kecamatan mbeliling, dapat ditempuh dari pusat kota Labuan bajo dengan menggunakan
kendaraan roda dua dan empat berjarak sekitar 300 km dari Labuan bajo (30 menit 1 jam

perjalan).

Hutan mbeliling seluas 30. 142 Ha merupakan oasis, dimana walaupun dalam musim

kemarau, hutan ini tetap hijau dan rimbun, Di sekitar hutan mbeliling terdapat hamparan

sawah dan air terjun cunca rami (ketinggian 30 m). cunca lolos, dan cunca wulang.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan melihat penjelasan di atas, kelompok kami akan membahas masalah-masalah

yang terdapat dalam upaya pengembangan ekowisata hutan mbeliling, Labuan bajo,

manggarai barat, flores, NTT.

Berikut adalah masalah-masalah yang akan kami bahas, yaitu :

Belum adanya kesadaran sebagian masyarakat lokal di sekitar hutan mbeliling akan

pentingnya pelestarian hutan mbeliling

Belum maksimalnya penguasaan ketrampilan berbahasa asing (inggris) di kalangan

masyarakat, sehingga ketika para wisatawan dating berkunjung masih terdapat

kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Kebanyakan wisatawan yang dating

berkunjung adalah wisatawan yang pergi sendiri tanpa ditemani oleh seorang

pramuwisata

Belum adanya kepenuhan pengelolaan wilayah hutan mbeliling oleh pemerintah

daerah dan aparatnya. Masih menganggap bahwa akan ada pihak luar yang peduli

dengan memberikan bantuan dana beserta manajemennya, pemerintah daerah hanya

cukup sebagai penentu kebijakan.

Belum adanya alokasi dana khusus untuk pengembangan pelestarian hutan mbeliling

dari pemerintah daerah manggarai barat


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian dan Batasan Ekowisata

Lascurain & Ceballos (1998) yang lebih menekankan perjalanan pada daerah yang masih

alami, oleh The Ecotourism Society (1993) sebagai suatu perjalanan yang bertanggungjawab

kelingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk

setempat.

Menurut Lindberg (1991) ekowisata merupakan perjalanan yang bertanggungjawab

kewilayah-wilayah alami, yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan

sedemikian rupa sehingga menekan sekecil mungkin dampak terhadap lingkungan dan sosial

budaya, membangkitkan pendanaan bagi kawasan-kawasan yang dilindungi serta

meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat, kegiatan ini merupakan gabungan dari rasa

cinta terhadap alam dan memiliki rasa tanggungjawab sosial terhadap masyarakat.

Menurut hasil rumusan Simposium dan Semiloka INDECON (1996), ekowisata

didefenisikan sebagai perjalanan wisata yang bertanggungjawab di daerah yang masih alami

atau di daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujannya selain untuk

menikmati keindahannya juga melibatkan unsure pendidikan, pemahaman dan dukungan

terhadap usaha-usaha konservasi alam serta peningkatan pendapatan masyarakat setempat

sekitar daerah tujuan wisata.

Ekowisata menurut KMNLH (1996) disebut dengan istilah wisata ekologia yang

berarti wisata dalam bentuk perjalanan ke tempat-tempat di alam terbuka yang relatif belum

terjamah atau tercermar dengan tujuan khusus untuk mempelajari, mengagumi dan

menikmati pemandangan dengan tumbuh-tumbuhan serta satwa liarnya (termasuk kawasan


berupa ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa liar)

juga semua manifestasi kebudayaan yang ada (termasuk tatanan lingkungan sosial budaya),

baik dari masa lampau maupun masa kini ditempat-tempat tersebut dengan tujuan untuk

melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Menurut Alikodra (1997) ekowisata merupakan salah satu kegiatan strategis bagi

implementasi konservasi sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia. Program ini selain

dapat meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat, meningkatkan devisa

negara, juga dapat melindungi dan melestarikan sumberdaya alam khususnya bagi

sumberdaya alam hayati dan lingkungannya. Selanjutnya menurut Ridwan (2000) ekowisata

juga dapat dikembangkan di kawasan hutan produksi, lindung dan di desa-desa yang

mempunyai kekhasan/keunikan. Ada empat prinsip yang harus menjadi pegangan dalam

pengembangan hutan untuk ekowsiata yaitu konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat dan

ekonomi.

Dari beberapa pengertian tentang ekowisata maka dapat disimpulkan ekowisata bukan

pariwisata masal, bukan pariwisata untuk bermain-main atau hanya sekedar berkunjung.

Ekowisata adalah mengunjungi daerah-daerah yang masih alami, tidak menimbulkan atau

sedikit efek samping terhadap daerah tujuan wisata, perlindungan alam (konservasi),

pendidikan lingkungan bagi wisatawan dan masyarakat setempat, pemberdayaan masyarakat

setempat serta adanya saling menghormati terhadap budaya yang berbeda antara wisatawan

dan masyarakat setempat.

2.2. Permasalahan yang terjadi di Kawasan Hutan Mbeliling

Kawasan hutan mbeliling ini telah dikenal keluar daerah manggarai barat seperti contoh

adanya lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sangat peduli dengan keadaan hutan

mbeliling yakni Burung Indonesia NGo. LSM Burung Indonesia adalah salah satu lembaga

masyarakat yang bekerja dan membangun konservasi terpadu hutan mbeliling. Upaya-upaya
lsm seperti membentuk lembaga conservative development group (CDGs) yang melibatkan

27 desa di sekitar hutan mbeliling, pelatihan-pelatihan serta pengembangan mata pencaharian

masyarakat desa yang berkelanjutan. Lsm ini didanai oleh DANINA (badan bantuan

kementrian luar negeri Denmark yang didukung oleh Dansk Ornitologisk Forening (DOF),

Mitra Birdlife Denmark) sejak tahun 2007.

Perhimpunan pelestarian burung liar Indonesia juga melakukan upaya dengan

membangun kemitraan dengan pemangku kepentingan di manggarai barat, dalam hal ini

lembaga burung Indonesia hanya sebagai fasilitator kegiatan tetapi yang berperan adalah

masyarakat lokal sendiri mulai dari perencanaan, monitoring, serta evaluasi. Peran

masyarakat ini tertuang dalam kesepakatan pembentukan perhimpunan pelestarian alam desa

(PKAD) dan hingga sekarang masih bekerja. Intinya bahwa peranan lsm ini sangat signifikan

bagi keberlangsungan keberadaan hutan mbeliling. Burung Indonesia ini mengajak

pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam penanaman pemahaman akan pentingnya

pelestarian hutan mbeliling.

Seperti yang diutarakan di bagian permasalahan bahwa ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dan hingga sekarang masih dicari penyelesaiannya. Namun tidak bisa dipungkiri

bahwa permasalahan ini membutuhkan waktu yang relatif lama karena untuk mengajak

bersadar wisata kepada masyarakat ini sulit karena wawasan dan pengetahuan mereka tentang

kepariwisataan masih sangat kurang.

Masalah pertama; masih adanya penebangan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum

masyarakat terhadap pohon yang berada di kawasan hutan mbeliling.

Solusi altenatifnya ; pemerintah dalam hal ini adalah dinas kehutanan melakukan sosialisasi

rutin kepada setiap desa di sekitar hutan mbeliling tentang arti dan manfaat hutan, pemerintah

dan DPRD memberikan bantuan kepada lsm-lsm yang bergerak dalam sosialisasi sadar
wisata, membentuk satuan tugas untuk pengawasan dan penjagaan kawasan hutan mbeliling

(polisi hutan).

Masalah kedua; ketrampilan berbahasa inggris untuk masyarakat lokal di daerah

kawasan hutan mbeliling ini perlu diperhatikan karena bisa jadi mata pencaharian tambahan

bagi masyarakat, dimana kebanyakan wisatawan adalah wisatawan mancanegara, disamping

itu juga berguna bagi pengembangan taraf pendidikan masyarakat. Namun sampai saat ini

masih sangat jauh dari harapan.

Solusi alternatifnya : Melakukan pelatihan yang berkesinambungan kepada masyarakat.

Untuk hal ini, perlu adanya donatur dan tutor dari lsm, perwakilan pihak pemerintah daerah,

dan para pelaku pariwisata lainnya seperti para guide, guru smk, dan wisatawan (guru tamu).

Agar pelatihan ini terwujud, perlu ada perencanaan (konsep) dan pendanaan yang memadai.

Masalah ketiga ; Untuk masalah ketiga ini boleh dikatakan gampang2 susah karena

urusan dengan pemerintah itu berbelit-belit atau terikat dengan aturan ataupun kebijakan

pemerintah daerah. Bahkan bisa saja upaya pelestarian hutan ini dijadikan obyek dalam

berpolitik sehingga penerapannya hanya sebatas konsep tetapi penerapan di lapangan

tergantung dari untung tidaknya kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Kalaupun

ada kebijakan namun masih tetap kaku dalam pelaksanaannya.

Solusi alternatifnya ; Pemerintah menunjuk salah seorang staf khusus menangani hal yang

menyangkut pelestarian hutan mbeliling, atau mempercayakan salah satu lsm sebagai pihak

perwakilan pemerintah. Pemerintah perlu melibatkan DPRD dalam perencanaan serta

penerapan kegiatan maupun pendanaan. Memasukkan kegiatan ini dalam kegiatan utama dan

berkelanjutan pada RAPBD setiap tahun dan bersifat tetap, mengingat pariwisata adalah

sector terbesar dalam hal peningkatan pendapatan daerah.

Masalah keempat ; kurangnya pendanaan atau sumber dana baik dari pihak

pemerintah maupun dari pihak donasi lainnya.


Solusi alternatifnya ; perlu membentuk lsm lokal yang berkomitmen, bertanggung jawab dan

melibatkan masyarakat.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Manggarai Barat adalah salah satu destinasi pariwisata yang menjanjikan bagi Indonesia

pada umumnya dan daerah flores pada khususnya, oleh karena itu untuk mengembangkan

dan meningkatkan pendapatan daerah, serta kesejahteraan masyarakat lokal diperlukan kerja

sama yang baik antara pemerintah daerah, lsm dan masyarakat dlam hal pengelolaan

pelestarian hutan mbeliling. Kerja sama ini dapat dilakukan secara berkelanjutan mulai dari

tahap perencanaan, pengawasan/monitoring hingga pada tahap evaluasi.

Kelestarian hutan mbeliling merupakan tanggung jawab bersama dan mengupayakan

pengelolaannya selalu bersifat ecologi wisata

3.2. Saran

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Manggarai Barat perlu melakukan

sosialisasi sadar wisata secara berkesinambungan

Mengutus beberapa anggota masyarakat ke daerah yang pariwisatanya sudah maju

seperti ke Bali untuk mengadakan studi banding

Memasukkan mata pelajaran sadar wisata ke sekolah-sekolah dasar dan lanjutan

pertama, agar mereka tahu tentang hal-hal yang perlu dan tidak perlu dilakukan untuk

kemajuan pariwisata daerah.

Pihak pemerintah harus lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada

kepentingan golongan dan diri sendiri dan menghilangkan sikap acuh tak acuh

terhadap kenyataan bahwa Manggarai Barat memiliki potensi pariwisata yang hebat
Untuk destinasi wisata seperti hutan mbeliling tidak perlu dilakukan penambahan

prasarana, cukup dengan menjaga, merawat, serta melestarikan keasliannya.

Anda mungkin juga menyukai