Anda di halaman 1dari 18

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN EMBRIO IKAN NILEM

Oleh:
Nama : Anjar Sari
NIM : B1A016123
Rombongan :V
Kelompok :5
Asisten : Novita Tri Winarni

LAPORAN PRAKTIKUM PERKEMBANGAN HEWAN

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Tujuan

Tujuan praktikum fertilisasi dan perkembangan embrio ikan nilem adalah


melakukan fertilisasi pada ikan, mengenali sel telur ikan yang telah difertilisasi, dan
mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan fertilisasi.

B. Manfaat

Manfaat praktikum fertilisasi dan perkembangan embrio ikan nilem adalah


dapat melakukan fertilisasi sendiri untuk hewan akuatis terutama ikan dan tahu akan
perkembangan embrio ikan hingga menjadi individu yang utuh.
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum fertilisasi dan perkembangan


embrio ikan nilem adalah well plate untuk pengenceran sperma, spuit tanpa jarum,
pipet transfer berkala, spuit volume 1 mL, cawan plastik untuk pembuahan,
mangkok plastik untuk pemeliharaan embrio, mikroskop cahaya, cavity slide,
pencatat waktu, hand counter, kertas tissue, dan haemocytometer .
Bahan-bahan yang diperlukan dalam praktikum fertilisasi dan
perkembangan ikan nilem adalah sel telur dan milt segar hasil stripping, larutan
NaCl fisiologis, dan air sumur atau air ledeng.

B. Metode

Metode yang dilakukan dalam praktikum ini adalah:


1. Seluruh peralatan yang akan digunakan dipersiapkan.
2. Ikan jantan matang gonad diangkat dari akuarium, dinding abdomen terutama
disekitar genital pore dibersihkan menggunakan kertas tissue.
3. Dinding abdomen diurut secara halus mulai dari depan sirip abdomen menuju
genital pore, sehingga keluar cairan putih kental seperti santan. Cairan
tersebut adalah milt (spermatozoa di dalam seminal plasma).
4. Milt yang diperoleh ditampung dalam spuit tanpa jarum yang sekaligus
berfungsi sebagai alat pengukur volume milt. Volume milt diukur dan dicatat.
5. Pengenceran milt dilakukan dalam well plate. Pada well pertama dimasukkan
1 bagian milt ditambah 9 bagian larutan NaCl fisiologis dan dihomogenkan
dengan memipetnya beberapa kali sehingga didapatkan pengenceran 10x.
Kemudian 1 bagian milt diambil dari pengenceran pertama, dimasukkan
kedalam well kedua, 9 bagian larutan NaCl fisiologis ditambahkan dan
dihomogenkan sehingga didapatkan milt dengan pengenceran 100x.
Pengenceran dilakukan hingga 1000x.
6. Ikan betina matang gonad diangkat dari akuarium, dinding abdomen terutama
disekitar genital pore dibersihkan menggunakan kertas tissue.
7. Dinding abdomen diurut secara halus mulai dari depan sirip abdomen menuju
genital pore, sehingga keluar sel telur dengan warna cokelat tua kekuningan.
Sel telur ditampung dalam piring kecil yang kering dan bersih.
8. Satu sendok kecil sel telur diambil dan ditambahkan 1 mL milt yang telah
diencerkan 10x, agitasi secara perlahan agar sel telur dan milt bercampur rata,
air diteteskan sedikit demi sedikit untuk mengaktivasi spermatozoa sambil
tetap diagitasi perlahan selama 5 menit.
9. Setelah 5 menit sejak pencampuran sel telur dan milt, ditambahkan medium
pembuahan yang sesuai secara perlahan kedalam masing-masing cawan
hingga volumenya mencapai 100 mL. Sel telur yang telah dicampur dengan
milt didiamkan dalam masing-masing medium selama 5 menit, kemudian sel
telur dicuci dengan air biasa.
10. Sel telur yang sudah dicuci dimasukkan ke dalam baskom berisi air sumur
atau air ledeng dengan volume air sekitar 1,5 L.
11. Sepuluh sel telur diambil dari masing-masing hasil pembuahan dengan waktu
pengamatan 20 menit, 35 menit, dan 50 menit menggunakan pipet transfer dan
diletakkan diatas cavity slide, kemudian diamati dibawah mikroskop dengan
perbesaran 40x.
12. Proporsi sel telur yang dibuahi maupun yang tidak dibuahi dihitung. Sel telur
yang dibuahi ditandai dengan warna yolk yang tajam. Sel telur yang tidak
dibuahi ditandai dengan warna yolk yang kusam.
13. Tahap 8-12 dilakukan untuk milt yang diencerkan 10x, 100x, dan 1000x.
14. Data yang diperoleh diisi ke dalam tabel yang telah disediakan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Persentase telur pada setiap tahap perkembangan selama waktu


pengamatan pada perlakuan jeda waktu.

%telur pada setiap


tahap
Waktu Tahap perkembangan Jumlah Jumlah
Perlakuan
pengamatan perkembangan (%) (%)
Ulangan Ulangan
1 2
Hylock 50 - 50 50
20 Rusak 20 - 20 20
Belum terbuahi 30 - 30 30
Hylock - - - -
2 sel 40 - 40 40
Kontrol 35 4 sel - - - -
Belum terbuahi 50 - 50 50
Rusak 10 - 10 10
16 sel 10 - 10 10
50 4 sel 20 - 20 20
8 sel 70 - 70 70
Hylock 20 30 50 25
20 Belum terbuahi 80 60 140 70
Rusak - 10 10 10
2 sel 40 30 70 35
4 sel 60 40 100 50
35
Hylock - - - -
1 menit
Belum terbuahi - 30 30 30
8 sel 100 50 150 75
Hylock - 10 10 10
50 4 sel - 10 10 10
16 sel - 20 20 20
Rusak - 10 10 10
Hylock 40 70 110 55
2 sel 20 - 20 20
20
Tidak terbuahi 40 20 60 30
3 menit Rusak - 10 10 10
Belum terbuahi 40 20 60 30
35 Hylock 60 30 90 45
Rusak - 10 10 10
4 sel 10 20 30 15
8 sel 10 40 50 25
Tidak terbuahi 10 30 40 20
50
2 sel 30 10 40 20
Hylock 30 - 30 30
16 sel 10 - 10 10
Belum terbuahi 50 80 130 65
20
Hylock 50 20 70 35
Belum terbuahi 70 20 90 45
Hylock 10 - 10 10
35 4 sel 20 30 50 25
5 menit 2 sel - 40 40 40
Rusak - 10 10 10
2 sel 10 - 10 10
8 sel 70 40 110 55
50
16 sel 20 30 50 25
4 sel - 30 30 30
Tabel 2. Persentase telur pada setiap tahap perkembangan selama waktu
pengamatan pada perlakuan tingkat pengenceran

%telur pada setiap


tahap
Waktu Tahap perkembangan Jumlah Jumlah
Perlakuan
pengamatan perkembangan (%) (%)
Ulangan Ulangan
1 2
Hylock 30 - 30 30
20 Rusak - - - -
Belum terbuahi 70 - 70 70
Hylock 10 - - -
2 sel 30 - 30 30
35
Belum terbuahi 50 - 50 50
Kontrol
Rusak 10 - 10 10
2 sel 10 - 10 10
4 sel 10 - 10 10
50 8 sel 60 - 60 60
Hylock 10 - 10 10
Rusak 10 - 10 10
Hylock 30 20 50 25
20 Tidak terbuahi 70 70 140 70
2 sel - 10 10 10
4 sel 90 40 130 65
Tidak terbuahi 10 10 20 10
35
10 X Hylock - 20 20 20
2 sel - 30 30 30
8 sel 70 40 130 65
Hylock 10 - 10 10
50
Rusak 20 30 50 25
4 sel - 30 30 30
Hylock 40 100 140 70
20
Tidak terbuahi 60 - 60 60
Hylock 70 - 70 70
Tidak terbuahi 60 - 60 60
35
2 sel - 40 40 40
100 X
4 sel - 10 10 10
Hylock 10 10 20 10
Tidak terbuahi 90 - 90 90
50
8 sel - 20 20 20
∑ Telur yang terbuahi 501
FR= × 100 %¿ ×100 %¿ 98,24 %
∑ Total telur 510

∑ Embrio yang menetas


HR= × 100 %
∑ Total telur yang terbuahi
183
¿ ×100 %¿ 36,52 %
501

Kontrol:
1. Pengenceran
808
FR= × 100 %=100 %
808
808
H R= × 100 %=100 %
808

2. Jeda waktu
403
FR= ×100 %=100 %
403
398
H R= ×100 %=97,8 %
403
Tabel 3. Persentase telur terbuahi pada jeda waktu yang berbeda
Persentase telur terbuahi (%)
Jeda Waktu Total (%) Rerata (%)
Ulangan 1 Ulangan 2
Kontrol 100 - 100 100
1 menit 92,6 94,1 186,7 93,35
3 menit 90 99 189 94,5
5 menit 98,2 100 198,2 99,1

Tabel 4. Persentase telur terbuahi pada tingkat pengenceran milt


Tingkat Persentase telur terbuahi (%)
Total (%) Rerata (%)
pengenceran Ulangan 1 Ulangan 2
Kontrol 100 - 100 100
10 X 100 84,7 184,7 92,35
100 X 100 98 198 99

Tabel 5. Persentase embrio menetas pada jeda waktu yang berbeda


Persentase telur terbuahi (%)
Jeda Waktu Total (%) Rerata (%)
Ulangan 1 Ulangan 2
Kontrol 97,8 - 97,8 97,8
1 menit 91,5 89,4 180,9 90,45
3 menit 10 81,41 91,4 45,7
5 menit 36,5 93,04 129,54 64,77

Tabel 6. Persentase embrio menetas pada tingkat pengenceran milt


Tingkat Persentase telur terbuahi (%)
Total (%) Rerata (%)
pengenceran Ulangan 1 Ulangan 2
Kontrol 100 - 100 100
10 X 77,1 74 151,1 75,55
100 X - 42,4 42,4 42,4
Gambar 3.2 Hylock
Gambar 3.1 Belum Terfertilisasi
Gambar 3.3 Dua Sel Gambar 3.4 Empat Sel

Gambar 3.5 Delapan Sel


Gambar 3.6 Enam-belas Sel
Gambar 3.7 Embrio
B. Pembahasan

Fertilisasi adalah penggabungan antara 2 gamet yaitu gamet jantan dan


gamet betina yang diakhiri dengan bergabungnya nukleus dari 2 gamet tersebut
sehingga terbentuk zigot (Faruk et al, 2011). Fertilisasi yang dialami makhluk
hidup untuk menghasilkan dua macam cara yaitu fertilisasi internal dan fertilisasi
eksternal. Fertilisasi eksternal merupakan fertilisasi yang terjadi di luar tubuh
induk betina dan sering terjadi pada sejumlah hewan laut dan hewan air tawar
serta semua hewan darat. Kemungkinan terjadinya fertilisasi ditingkatkan oleh
fertilisasi internal karena sperma berada di dekat telur. Hal ini meningkatkan
persentase telur yang dibuahi dan dengan demikian memungkinkan pengurangan
produksi sperma dan telur (Soeminto, 2004).
Perkembangan embrio diawali saat proses impregnasi, dimana sel telur
(ovum) dimasuki sel jantan (spermatozoa). Proses pembuahan pada ikan bersifat
monospermik, yakni hanya satu spermatozoa yang akan melewati mikropil dan
membuahi sel telur. Pembuahan ini terjadi pencampuran inti sel telur dengan inti
sel jantan, kedua macam inti sel ini masing-masing mengandung gen (pembawa
sifat keturunan) sebanyak satu set (haploid). Sel telur dan sel jantan yang berada
dalam cairan fisiologis masing-masing dalam tubuh induk betina dan jantan masih
bersifat non aktif, ada beberapa hal yang mendukung berlangsungnya pembuahan
dengan baik. Saat sel telur dan spermatozoa dikeluarkan ke dalam air, mereka
menjadi aktif. Spermatozoa yang tadinya non aktif bergerak (motil) dengan
menggunakan ekornya yang berupa cambuk. Berjuta-juta spermatozoa
dikeluarkan pada saat pemijahan dan menempel pada sel telur, tetapi hanya satu
yang dapat melewati mikropili, satu-satunya lubang masuk spermatozoa pada sel
telur. Kepala spermatozoa, dimana terdapat inti, menerobos mikropil dan bersatu
dengan inti sel telur, sedangkan ekornya tertinggal pada saluran mikropili tersebut
dan berfungsi sebagai sumbat untuk mencegah sel-sel jantan yang lain ikut masuk
(Khana, 2004).
Ikan nilem (Osteochilus hasselti) merupakan ikan air tawar yang telah
banyak dibudidayakan masyarakat scara tradisional di Kabupaten Banyumas
karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi.  Ikan ini biasa hidup di sungai, danau,
waduk dan kolam pemeliharaan yang cukup oksigen (Simanjutak, 2006).
Sel telur yang terbuahi ditandai dengan warna yolk yang tajam dan jernih.
Yolk yang terbuahi memiliki integritas yang baik, dan pada kutub animalis
terdapat kuncup fertilisasi. Sel telur yang tidak terbuahi ditandai dengan warna
yolk yang kusam, integritas yolk menurun, dan tidak ada kuncup fertilisasi. Telur
dikatakan terbuahi apabila pada saat evaluasi terdapat dua blastomer pada kutub
animalisnya (Wijayanti, 1997).
Berhasil atau tidaknya proses fertilisasi ditentukan oleh beberapa faktor.
Faktor eksternal misalnya oleh kondisi aliran air pada saat melakukan pemijahan.
Aliran air yang sangat deras dapat menyebabkan spermatozoa yang dikeluarkan
oleh ikan jantan terbawa arus, kemungkinan untuk bertemunya ovum dan sperma
sangat kecil sehingga fertilisasi tidak dapat terjadi. Kualitas air juga menetukan
dalam proses fertilisasi, kondisi air yang banyak mengandung material-material
lain yang bersifat toksik dapat menyebabkan ketidakberhasilan fertilisasi karena
sperma maupun ovum mati. Air yang asam juga dapat membebaskan
karbondioksida bebas dari bikarbonat. Kelembapan menyebabkan telur tidak
terbuahi sehingga mengakibatkan kerusakan pada sel telur tersebut. Kerusakan itu
dapat berupa robeknya ruang perivitelin dan korionnya. Telur yang tidak terbuahi
akan mati dan terlihat berwarna putih keruh karena kecerahannya hilang
(Harinadi, 2010).
Selain itu, faktor internal juga sangat mempengaruhi, seperti kondisi
fisiologis dari ikan yang bersangkutan yang mengalami gangguan pada alat
kelamin (Arfah, 2008). Menurut Wijayanti (1997), semakin tinggi tingkat
pengenceran milt, maka lama motilitas spermatozoa semakin pendek, begitu juga
sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin pendek motilitas sperma berarti
semakin sedikit pula jumlah spermatozoa yang hidup yang dapat teramati.
Semakin tinggi tingkat pengenceran menimbulkan perbedaan osmolitas.
Hal senada juga disebutkan dalam jurnal yang ditulis oleh Cuadrado et al
(2013), bahwa motilitas sperma yang baik memiliki peran penting untuk kultur
ikan karena dapat sebagai alternatif produksi embrio dan larva yang berkualitas.
Hal tersebut memfasilitasi proses fertilisasi pada waktu beragam setelah aktivasi
sperma dapat meningkatkan telur yang terbuahi menggunakan jumlah milt yang
sedikit.
Menurut Balinsky (1970), telur yang terbuahi tidak dapat menetas menjadi
larva, hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya:
1. Ikan dalam keadaan stress akibat faktor lingkungan yang kurang mendukung,
misalnya media dan tempat pemijahan yang kurang bersih, suasana yang
kurang tenang, kandungan oksigen yang rendah atau faktor cahaya.
2. Ikan yang digunakan belum matang kelamin, sehingga meskipun sudah di
hipfisasi dengan hormon ovaprim tetap tidak akan memijah karena kandungan
hormon gonadotropin dalam kelenjar hipofisisnya sedikit.
3. Penyuntikan ikan resipien yang tidak hati-hati sehingga kemungkinan terjadi
kerusakan pada sisik ikan, maka ikan tidak akan memijah walaupun sudah
diinduksi hormon ovaprim.
Praktikum fertilisasi dan perkembangan embrio ikan kali ini dilakukan
dengan dua tipe pengujian yaitu berdasarkan waktu kontak spermatozoa-sel telur
selama 1 menit, 3 menit, 5 menit, serta uji kontrol, dan berdasarkan pada tingkat
pengenceran yaitu 10x, 100x, serta uji kontrol. Kelompok kami melakukan
fertilisasi dengan tingkat pengenceran 10x pada ulangan pertama, pengamatan
dilakukan pada 10 telur yang diambil acak dengan jeda waktu 5 menit. Hasil yang
didapatkan yaitu pada waktu pengamatan 20 menit pertama terdapat 5 sel telur
terbuahi yang ditandai dengan adanya hylock dari 10 telur yang diamati dan
sisanya 10 sel telur belum terfertilisasi. Pengamatan pada menit ke 35, sudah
terdapat sel yang membelah yaitu 4 sel, terbentuk hylock sebanyak 1 sel, dan
sisanya 7 sel masih belum terfertilisasi. Setelah 50 menit dilakukan pengamatan
kembali dan didapatkan 1 sel dalam tahap 2 sel, 7 sel tahap 8, serta 2 sel tahap 16.
Kemudian data dikalibrasi dan didapatkan presentasi sel terbuahi sebesar 98,24%.
Rerata ulangan I dan II persentase telur terbuahi pada jeda waktu 1 menit
yaitu 93,35%; pada jeda waktu 3 menit 94,5%; dan 99,1% untuk jeda waktu 5
menit; didapatkan kontrol dengan nilai 100%. Dari hasil tersebut menunjukan
bahwa semakin lama waktu kontak antara sperma dengan sel telur maka semakin
besar juga presentasi sel telur yang terbuahi. Tahap empat sel dari hasil
pembelahan mitosis II yang terlihat pada bidang vertikal, proses ini terjadi satu
jam atau limapuluh menit usai fertilisasi, dan berlanjut ke pembelahan 8 sel, 16
sel, dan 32 sel (Shukla, 2010).
Pengenceran 10x ada 100% telur terbuahi pada ulangan I, dan untuk
ulangan II 84,7% dengan total 184,7% dan rata-rata 92,35%. Pengenceran 100x
ulangan I terdapat 100% telur terbuahi dan 98% telur terbuahi pada ulangan II
sehingga total 198% dan rata-rata 99%. Sedangkan untuk kontrol bernilai 100%.
Dapat disimpulkan hanya 2,8% telur yang tidak terbuahi pada tingkat
pengenceran milt. Percobaan ini sesuai dengan referensi yang mengatakan bahwa
uji dari perlakuan dengan pengenceran 10x dan 100x menunjukan semakin tinggi
tingkat pengenceran, maka lama motilitas spermatozoa akan semakin pendek,
begitu juga sebaliknya, ini menunjukkan bahwa semakin pendek motilitas sperma
berarti semakin sedikit pula jumlah spermatozoa yang hidup dan membuahi sel
telur (Arsianingtyas, 2009).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan


sebagai berikut:
1. Fertilisasi merupakan peleburan dua gamet yang dapat berupa nukleus atau
 

sel-sel bernukleus untuk membentuk sel tunggal (zigot).


2. Sel telur yang telah difertilisasi ditandai dengan warna yolk cerah, tajam, dan
berintegrasi yang baik, dan adanya kuncup fertilisasi pada kutub animalis.
3. Keberhasilan fertilisasi ikan nilem dipengaruhi oleh kualitas masing-masing
gamet, tingkat pengenceran sperma, dan jeda waktu kontak masing-masing
gamet.
C. Saran

Sebaiknya praktikan bekerja cepat sesuai dengan waktunya agar


pengamatan yang dilakukan tepat waktu.
DAFTAR REFERENSI

Arfah, H., 2008. Pemijahan Secara Buatan pada Ikan Gurame (Osphronemus
gouramy Lac) dengan Penyuntikan Ovaprim. Jurnal Akuakultur
Indonesia, 5(2), pp. 103-112.

Arsianingtyas, H., 2009. Pengaruh kejutan suhu panas dan lama waktu setelah
pembuahan terhadap daya tetas dan abnormalitas larva ikan nila
(Oreochromisniloticus). In: SKRIPSI. Surabaya: Fakultas Perikanan dan
Kelautan.

Balinsky, 1976. An Introduction to Embryology. Philadelphia: W. B. Saunders,


Co.

Cuadrado, E. E. H. et al., 2013. Extension of Sperm Motility Leads to Increased


Rates of Fertilization and Hatching in Curimba, Prochilodus lineatus. J.
Appl. Ichthyol, pp. 1-5.

Faruk, A., Erdin, S. & Zafer, D., 2010. Embronic Larval Development. Journal of
Acquaculture, Volume 5, pp. 54-94.

Harinadi, 2010. Embriologi dan Perkembangannya. Jakarta: Erlangga.

Khana, D. R., 2004. Text Book of Embryology. New Delhi: Discovery Publishing
House.

Shukla, 2010. Fish and Fisheries. India: Rakesh Kumar Rastogi.

Simanjutak, I., Yuwono, E. & Rachmawati, F., 2006. Pengaruh Penyuplemenan


Spirulina dalam pakan terhadap hematologis ikan nilem (Osteochilus
hasselti). Jurnal Pembangunan Pedesaan, 6(2).

Soeminto, 2004. Embriologi Vertebrata. Purwokerto: Unsoed.

Wijayanti, G., 1998. Perkembangan Awal Ikan Nilem Sampai Larva. Purwokerto:
Fakultas Biologi Unsoed.

Anda mungkin juga menyukai