Anda di halaman 1dari 33

KELAINAN PERKEMBANGAN EMBRIO DAN

FAKTOR PENYEBAB KELAINAN EMBRIO

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah SPH II


Yang dibina oleh Dra. Nursasi Handayani, M.Si

Disusun oleh:

Kelompok 6/ Offering C 2016

Destha Ramadanty P 160341606015


Rizalatul Hasanah 160341606040
Robert Fikri A 160341606050
Yulia Dewi S 160341606020

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS NEGERI MALANG
JURUSAN BIOLOGI
November 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul Kelainan Perkembangan Embrio Dan Faktor Penyebab Kelainan
Perkembangan Embrio dengan sebaik mungkin.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1) Ibu Dra. Nursasi Handayani, M.Si, selaku dosen pembimbng mata kuliah
Struktur Perkembangan Hewan II Universitas Negeri Malang yang telah
membimbing penulis,
2) Kedua orang tua penulis yang memberikan dukungan materi dan moril,

3) Seluruh anggota kelompok 6 (enam) yang telah berpartisipasi dalam


menuntaskan makalah ini,
4) Seluruh teman S1 Pendidikan Biologi Offering C Tahun 2016 yang telah
membantu penulis,
5) Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih belum sempurna.


Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi terwujudnya masalah yang lebih baik. Penulis juga berarap agar makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya di kalangan pendidikan.

Malang, 22 November 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada hampir semua makhluk hidup suatu generasi baru dimulai dari suatu
telur yang telah difertilisasi (dibuahi) atau zigot yaitu suatu sel yang dibentuk
sebagai hasil bersatunya sel telur induk betina dengan spermatozoa dari yang
jantan. Perkembangan merupakan suatu totalitas proses dimana sifat ini akan
dicapai dan perubahan-perubahannya menjelang dan sepanjang fase dewasa, tua
dan akhirnya mati. Struktur utama yang dicapai oleh organisme ini adalah yang
berhubungan dengan ukuran, bentuk dan konstruksi sel-sel, jaringan-jaringan, dan
organ-organnya secara keseluruhan membangun bientuk dari organisme yang
bersangkutan. Perkembangan awal embrio dimulai dari embriogenesis.
Embriogenesis merupakan proses pembentukan organ dari tahap embrio sampai
menjadi organ yang dapat berfungsi. Embriogenesis normal merupakan proses
yang sangat kompleks. Dalam kehidupan di alam, tidak ada satupun makhluk
hidup yang sempurna, sering terlihat kekurangan atau kecacatan. Kekurangan
tersebut secara umum dapat disebut kelainan. Kelainan sejak lahir atau cacat lahir
dikarenakan proses terjadinya pada masa perkembangan embrio mengalami
ketidaknormalan karena berbagai macam faktor genetik maupun non genetik.
Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan gangguan bentuk
(cacat). Setiap proses yang mengganggu janin dapat berakibat pertumbuhan organ
yang salah misalnya otak, jantung atau seluruh janin. Kegagalan atau ketidak
sempurnaan dalam proses embriogenesis dapat menyebabkan terjadinya
malformasi pada jaringan atau organ. Sifat dari kelainan yang timbul tergantung
pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme, perkembangan, dan
waktu saat terjadinya. Pada makalah ini, penulis berusaha menjelaskan mengenai
kelainan perkembangan embrio dari macam- macam kelainan perkembangan
embrio dan faktor-faktor penyebab kelainan perkembangan embrio.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa macam-macam kelainan perkembangan embrio?
2. Apa saja faktor penyebab kelainan perkembangan embrio?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui macam-macam kelainan perkembangan embrio
2. Mengetahui faktor-faktor penyebab kelainan perkembangan embrio
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Macam-macam Kelainan Perkembangan Embrio


Kelainan Perkembangan Embrio atau penyimpangan kongenital secara
umum terjadi pada struktur individu selama perkembangan prakelahiran.
Penyimpangan ini menimbulkan cacat kelahiran pada sebagian populasi manusia.
Dalam beberapa hal penyimpangan ini merupakan kejadian alamiah kualitatif, dan
hanya sedikit saja yang merupakan penyimpangan kuantitatif. Untuk kasus-kasus
tertentu, sebenarnya sulit untuk membedakan antara kondisi normal dengan
kondisi abnormal. Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan
gangguan bentuk atau kematian. Setiap proses yang menggangu janin dapat
berakibat pertumbuhan organ yang salah misalnya otak, jantung atau seluruh
janin. Teratogenesis adalah proses yang menyebabkan terjadinya berbagai bentuk
kelainan perkembangan embrio selama periode embrional yang disebabkan oleh
factor-faktor khemo-external sehingga menyebabkan terjadinya cacat kelahiran.
Ilmu yang yang khusus mempelajari tentang akibat, mekanisme dan manifestasi
embrionik yang cacat (abnormal) yaitu teratologi.

2.1.1 Patogenesis

Menurut Effendi (2014) mengklasifikasikan kelainan kongenital atau jenis


anomali pada perkembangan embrio berdasarkan patogenesis, yakni sebagai berikut :
1) Malformasi

Malformasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau


ketidak sempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis. Perkembangan
awal dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti, melambat atau menyimpang
sehingga menyebabkan terjadinya suatu kelainan struktur yang menetap.
Kebanyakan malformasi berawal dari minggu ketiga sampai minggu kedelapan
kehamilan. Anomali ini dapat menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh
struktur organ dan/atau perubahan-perubahan konfigurasi normal. Beberapa
contoh malformasi misalnya bibir sumbing dengan atau tanpa celah langit-langit,
defek penutupan tuba neural, stenosis pylorus, spina bifida, dan defek sekat
jantung.
Malformasi dapat digolongkan menjadi malformasi mayor dan minor.
Malformasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila tidak dikoreksi akan
menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan hidup.
Atau dapat diartikan bahwa malformasi yang menyebabkan cacat struktural pada
organ dan mempunyai risiko kesakitan dan kematian tinggi dan memerlukan
intervensi medis, sedangkan malformasi minor merupakan gangguan
perkembangan yang kurang memberikan dampak medis operarif maupun
kosmetik dan biasanya kurang mempengaruhi kelangsungan hidup penderita
(Rodeck et al, 2001). Sehingga malformasi minor tidak akan menyebabkan
problem kesehatan yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi
kosmetik. Malformasi pada otak, jantung, ginjal, ekstrimitas, saluran cerna
termasuk malformasi mayor, sedangkan kelainan daun telinga, lipatan pada
kelopak mata, kelainan pada jari, lekukan pada kulit (dimple), ekstra putting susu
adalah contoh dari malformasi minor.
2) Deformasi

Deformasi terbentuk akibat adanya tekanan mekanik yang abnormal sehingga


mengubah bentuk, ukuran atau posisi sebagian dari tubuh yang semula berkembang
normal, misalnya kaki bengkok atau micrognatia (mandibula yang kecil). Tekanan
ini dapat disebabkan oleh keterbatasan ruang dalam uterus ataupun faktor ibu
yang lain seperti primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus seperti uterus
bikornus, kehamilan kembar.
3) Disrupsi

Disrupsi adalah defek morfologik satu bagian tubuh atau lebih yang disebabkan
oleh gangguan pada proses perkembangan yang mulanya normal. Ini biasanya
terjadi sesudah embriogenesis. Berbeda dengan deformasi yang hanya disebabkan
oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau
perlekatan.Disrupsi mengakibatkan perubahan morfologi struktur organ setelah
pembentukannya. Penyebabnya adalah proses-proses yang merusak, seperti
kecelakan pada pembuluh darah yang menyebabkan atresia usus dan misalnya
helaian-helaian membrane amnion, yang disebut pita amnion, dapat terlepas dan
melekat ke berbagai bagian tubuh, termasuk ekstrimitas, jari-jari, tengkorak, serta
muka.
4) Displasia

Istilah displasia dimaksudkan dengan kerusakan (kelainan struktur) akibat


fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai satu macam jaringan di seluruh
tubuh. Sebagian kecil dari kelainan ini terdapat penyimpangan biokimia di dalam
sel, biasanya mengenai kelainan produksi enzim atau sintesis protein. Sebagian
besar disebabkan oleh mutasi gen. Karena jaringan itu sendiri abnormal secara
intrinsik, efek klinisnya menetap atau semakin buruk. Ini berbeda dengan ketiga
patogenesis terdahulu. Malformasi, deformasi, dan disrupsi menyebabkan efek
dalam kurun waktu yang jelas, meskipun kelainan yang ditimbulkannya mungkin
berlangsung lama, tetapi penyebabnya relatif berlangsung singkat. Displasia dapat
terus-menerus menimbulkan perubahan kelainan seumur hidup.
2.1.2 Kelainan Kongenital Sistem Saraf Pusat

Kelainan kongenital menggambarkan defek morfogonesis pada organ maupun


sistem organ pada kehidupan awal fetus. Istilah kelainan kongenital seharusnya
mengikat pada defek struktural saat bayi dilahirkan. Kelainan kongenital dapat
terjadi sejak awal pertumbuhan primordial (dipengaruhi oleh faktor-faktor
intrinsik) atau terjadi kemudian selama pertumbuhan (dipengaruhi oleh faktor-
faktor ekstrinsik) (Rodeck et al, 2001).
Kelainan kongenital sistem saraf pusat mencakup seluruh bentuk kelainan
struktural yang terjadi pada janin baik oleh faktor genetik maupun lingkungan,
yang terjadi pada suatu bagian pada otak dan/atau sumsum tulang belakang
Menurut European Registration of Congenital Anomalies (2010), kelainan
bawaan sistem saraf mayor didefinisikan sebagai berikut:

a. Neural Tube Defects (NTD)

Pada stadium dini pembentukan lempeng neural terbentuk celah neural yang
kemudian membentuk tuba neuralis. Tuba neuralis inilah yang kemudian
menjadi jaringan otak dan medula spinalis. Proses penutupan tuba neuralis ini
berlangsung selama minggu ketiga hingga keempat kehidupan embrio dan
biasanya sebelum wanita mengetahui kehamilannya (sadler, 2000). Proses
neuralisasi mulai pada garis tengah dorsal dan berlanjut ke arah sefal dan
kaudal. Penutupan yang paling akhir terjadi pada ujung posterior yaitu pada
hari ke-28 (Lorenzo et al, 1999). Tepi lateral pelat neural membentuk lipatan
neural yang bersatu kearah dorsal membentuk tuba neuralis

7
(Josefa et al,2000).

Klasifikasi Kelainan Kongenital Sistem Saraf Pusat :


NTD terjadi karena kesalahan induksi oleh korda spinalis yang terletak
dibawahnya atau karena pengaruh faktor-faktor lingkungan yang bersifat
teratogen bagi sel-sel neuroepitel. Hipertermia, asam valproat, dan
hipervitaminosis vitamin A juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
NTD. Sekitar 80% bayi yang lahir dengan bentuk defek ini masih dapat hidup
selama periode baru dilahirkan, tetapi mayoritas terbesar (85%) dari bayi-bayi
yang berhasil hidup akan memiliki kecacatan yang sedang atau berat seumur
hidup mereka (Wim, 1997).

Defek neural tube disini yang dimaksud adalah karena kegagalan


pembentukan mesoderm dan neurorectoderm. Defek embriologi primer pada
semua defek neural tube adalah kegagalan penutupan neural tube,
mempengaruhi neural dan struktur kutaneus ectodermal. Hal ini terjadi pada
hari ke 17 - 30 kehamilan. Selama kehamilan , otak, tulang belakang manusia
bermula dari sel yang datar, yang kemudian membentuk silinder yang disebut
neural tube. Jika bagian tersebut gagal menutup atau terdapat daerah yang
terbuka yang disebut cacat neural tube terbuka. Daerah yang terbuka itu
kemungkinan 80% terpapar atau 20% tertutup tulang atau kulit. 90% dari
kasus yang terjadi bukanlah faktor genetik / keturunan tetapi sebagian besar
terjadi dari kombinasi faktor lingkungan dan gen dari kedua orang tuanya
(Sadler,2000).

1) Anensefalus

Bayi yang lahir dengan anensefalus ditandai dengan tidak terbentuknya


kubah tengkorak, sehingga otak yang mengalami malformasi menjadi
terpapar. Kemudian, jaringan ini mengalami degenerasi dan meninggalkan
massa jaringan nekrotik. Namun batang otak pada bayi dengan anensefalus
tetap utuh. Keadaan ini terjadi akibat gagalnya penutupan bagian sefalik dari
tuba neuralis. Anensefalus merupakan cacat lethal yang menimbulkan
kematian janin di dalam rahim atau kematian segera sesudah bayi dilahirkan
(Sadler,2000).
Anencephaly adalah adanya kelainan kongenital sebagian besar otak,
tengkorak dan kulit kepala. Merupakan hasil dari proses neurulasi yang
gagal, yang didefinisikan sebagai proses pembentukan jaringan syaraf dari
ectoderm. Pada anencephaly kelainan yang terjadi pada neurulasi adalah pada
bagian kranial (Frosch et al, 2004). Karena itu, jaringan saraf terbuka dan
bagian otak tidak tertutupi dengan tengkorak. Pengembangan dari belahan
otak juga tidak terbentuk (Hussain, 2012).

Gambar 2. Telinga yang terlipat, mata


melotot dan lidah yang menjulur
keluar (Rashmi et al, 2011)

Bayi dengan anencephaly yang lahir dengan keadaan hidup akan segera
mati. Insiden anencephaly menunjukkan pola multifaktor gen, dengan
interaksi beberapa faktor genetik dan lingkungan. Gen yang spesifik
menyebabkan cacat pada tabung syaraf yang masih belum dapat di
identifikasi. Salah satunya seperti gen metilena tetrahydrofolate reduktase
yang telah menunjukkan adanya hubungan dengan munculnya Neural Tube
Defects (Kurtoglu et al, 2004).
Anencephaly dapat didiagnosis saat masa prenatal dengan tingkat
kepastian yang tinggi. Skrining awal untuk anencephaly dan Cacat tabung
saraf lain dapat dilakukan oleh pengujian dengan serum Alfa-fetoprotein pada
trimester kedua kehamilan dan ultrasonografi pada trimester ketiga kehamilan
(Kasai et al, 1982).
Dalam janin pria berumur 28 minggu, terlihat adanya cacat pada bagian
kranial. Janin menunjukkan tidak adanya sebagian besar kulit kepala dan
tengkorak, juga cacat yang memanjang ke vertebra serviks. Jaringan otak dan
sumsum tulang belakang di daerah serviks terkena bagian eksterior(Gambar
3) (Rashmi et al, 2011).

Gambar 3. Menunjukkan craniorachisis


dengan pemanjangan cacat ke daerah
serviks (Rashmi et al, 2011).
Craniorachischis diamati pada janin laki-laki berumur 29 minggu. Terdapat
sebuah cacat dalam pembentukan kulit kepala dan tengkorak yang memanjang
hingga toraks bagian bawah kolom vertebral (Gambar 4). Jaringan otak dan
sumsum tulang hanya ditutupi dengan jaringan membran. Leher pendek, hidung
adalah luas dan mata yang melotot (Gambar 5) (Rashmi et al, 2011).

Gambar 4. Menunjukkan Gambar 5. Menunjukkan


craniorachischisis dengan omphalocele (Rashmi et al,
pemanjangan pada daerah cacat 2011)
hingga daerah torak bagian
bawah (Rashmi et al, 2011)
2) Ensefalokel

Ensefalokel merupakan defek pada kranium yang biasanya terjadi pada


daerah oksipital. Pada daerah ini, meningen beserta bagian dari korteks serebri
atau batang otak atau serebelum menonjol keluar dan ditutupi oleh kulit.
Gejala dari ensefalokel, antara lain berupa kelumpuhan keempat anggota
gerak, gangguan perkembangan, gangguan penglihatan, keterbelakangan
mental dan pertumbuhan, ataksia serta kejang. Ensefalokel seringkali disertai
denga kelainan kraniofasial atau kelainan otak lainnya (Sadler,2000).
Ensefalokel merupakan malformasi kongenital yang ditunjukkan dengan
adanya protrusi dari meningens dan atau jaringan otak pada defek tulang
kepala. Ensefalokel merupakan salah satu dari kelainan defek tuba neural
selain anensefali dan spina bifida (Etster, 1989) . Bila yang menonjol adalah
meningens dan cairan likuor maka dinamakan meningokel, sedangkan bila
jaringan otak ikut keluar maka dinamakan sebagai ensefalomeningokel
(Pollock, 1986).
3) Meningokel

Meningokel adalah kelainan kongenital berupa penonjolan selaput otak


dan cairan otak lewat defek (lubang) pada tulang kepala. Bila sebagian
jaringan otak ikut menonjol, disebut meningoensefalokel atau ensefalokel
(Martinez et al, 1996). Kelainan ini merupakan bagian dari gangguan yang
dinamakan defek tabung saraf (neural tube defects, NTDs).
Secara embriologis ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan sebab
kegagalan penutupan tabung saraf. Yang banyak dianut para peneliti adalah
teori gangguan neurulasi, yaitu tetap bertahannya perlekatan antara ektoderm
neural (saraf) dengan ektoderm permukaan (epidermis) pada garis tengah
sewaktu proses organogenesis di awal kehamilan, sehingga terjadi hambatan
migrasi sel-sel mesoderm pembentuk tulang di tempat adesi dua lapisan
ektoderm itu. Keadaan ini menyebabkan di daerah itu tidak ada pembentukan
tulang sehingga timbul defek. Teori ini disebut teori non-separasi dari
Sternberg (Hoving, 1993).
4) Spina bifida

Pada spina bifida dijumpai kegagalan pada penutupan arkus vertebra dan
lamina posterior pada satu atau beberapa level. Adanya bagian yang terbuka
pada vertebra, yang mengelilingi dan melindungi korda spinalis, terjadi akibat
jaringan yang membentuk pipa neural tidak menutup atau tidak tertutup secara
sempurna (Jamous,2012). Tidak ada kelainan medulla spinalis maupun
meninges. Keadaan ini ditandai oleh tonjolan meningen saja (meningokel)
atau tonjolan meningen bersama jaringan saraf (myelomeningokel)
(Sadler,2000).
Meningokel terbentuk saat meninges berherniasi melalui defek pada
lengkung vertebra posterior. Sebagian besar meningokel tertutup dengan baik
dengan kulit dan tidak mengancam penderita. Myelomeningokel merupakan
bentuk disrafisme spinal terberat. 75% kasus myelomeningokel terjadi pada
daerah lumbosakral. Luas dan tingkat defisit neurologis tergantung pada lokasi
myelomeningokel (Sadler,2000).
Gejala spina bifida bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada
korda spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala
ringan atau tanpa gejala, sedangkan yang lain mengalami kelumpuhan pada
daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis (Wim,1997).

Kelainan-kelainan di atas biasanya timbul di daerah cervical dan atau lumbar


dan dapat menyebabkan gangguan neurologis pada ekstremitas bawah dan
gangguan kandung kemih. Defek neural tube ini dapat dideteksi melalui
pemeriksaan kadar alfa feto protein (AFP) pada sirkulasi fetus setelah
perkembangan empat minggu (Sadler,2000).
2.1.3 Kelainan yang Berasal Gangguan Gastrulasi

Kelainan yang terpenting pada kelainan yang berasal dari gangguan gastrulasi
adalah malformasi split cord.Malformasi ini diklasifikasikan menjadi
diastematomyelia yaitu malformasi pada medulla spinalis yang terpisah menjadi 2
dan dyplomyelia yang menggambarkan duplikasi komplit dari medulla spinalis
dimana setiap sisi memiliki 2 pasang ventral dan dorsal nerve roots. Malformasi
split cord ini seringkali didapatkan berhubungan dengan beberapa anomali
termasuk kombinasi spina bifida yaitu hemimyelomeningocele,
myelomeningocele, cervical myelomeningocele, neuroenteric cyst. Neuroenteric
cyst adalah suatu kelainan yang jarang, dimana kanalis neuroenteric tetap ada.
Kelainan ini biasanya terjadi dalam minggu ke-3 masa embryogenesis. Seringkali
ditemukan pada fossa posterior (Cerebellopontine angle, in anterior midline
sampai ke brainstem, cisterna magna), kelainan ini juga ditemukan pada
supratentorial lebih jarang lagi, dimana hanya ditemukan 15 kasus selama tahun
2004. Lokasi tersering dari neuroenteric cyst ini adalah upper thoracal dan lower
cervical (Sedighah et al, 2007).

Gambar. Hasil x-ray dari Malformasi


split cord (Prakash & Shashi, 2014)
Split Chord malformasi (SCM), juga disebut diastematomyelia, adalah
anomali tulang belakang yang langka dan merujuk kepada Divisi sagital dari
sumsum tulang ke dalam 2 hemicords simetris atau asimetris (Pang et al, 1992).
SCM adalah anomali di mana tali terbagi atas sebagian dari panjangnya untuk
membentuk neural tube ganda. diastematomyelia adalah pemisahan bawaan dari
setiap bagian dari sumsum tulang belakang. SCM tipe I berisi dua hemicords yang
masing-masing berbaring dalam kantung dural dan keduanya dipisahkan oleh garis
tengah manset dura yang mengelilingi tulang. SCM tipe II berisi dia hemicord
yang berbaring dalam satu kantung dural (Dias & Pang, 1995).
2.1.6 Kelainan Kongenital yang Lain

Selain klasifikasi kelainan kongenital di atas, ada beberapa kelainan


kongenital lainnya. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Labiopalatoskisis (Celah Bibir dan Langit-langit)

Labiopalatokisis adalah kelainanan kongenital pada bibir dan


langit-langit yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan yang
disebabkan oleh kegagalan atau penyatuan struktur fasial embrionik yang
tidak lengkap. Kelainan ini cenderung bersifat diturunkan (hereditary),
tetapi dapat terjadi akibat faktor non-genetik. Bibir sumbing merupakan
suatu gangguan pada pertumbuhan wajah sejak embrio umur minggu ke
kempat (Loho, 2013)

Gambar 5. Labiopalatoskisis (Loho, 2013)

2) Hidrosefalus

Menurut Apriyanto et al., (2013) kata hidrosefalus diambil dari


bahasa Yunani yaitu Hydro yang berarti air, dan cephalus yang berarti
epala. Secara umum hidrosefalus dapat didefinisikan sebagai suatu
gangguan pembentukan, aliran, maupun penyerapan dari cairan
serebrospinal pada susunan saraf pusat, kondisi ini juga dapat diartikan
sebagai gangguan hidrodinamik cairan serebrospinal. Hidrosefalus adalah
Gambar 6. Hidrosefalus
(Apriyanto et al., 2013)

kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan


serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intracranial yang
meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel dan dapat diakibatkan
oleh gangguan reabsorpsi LCS (hidrisefalus komunikans) atau diakibatkan
oleh obstruksi aliran LCS melalui ventrikel dan masuk ke dalam rongga
subaraknoid (hidrosefalus non komunikans). Hidrosefalus dapat timbul
sebagai hidrosefalus kongenital dapat terlihat sebagai pembesaran kepala
segera setelah bayi lahir, atau terlihat sebagai ukuran kepala normal tetapi
tumbuh cepat sekali pada ulan pertama setelah lahir.
3) Omfalokel

Omfalakel adalah kelainan yang berupa protusi isi rongga perut ke


luar dinding perut sekitar umbilicus, benjolan terbungkus dalam suatu
kantong. Omfalokel terjadi akibat hambatan kembalinya usus ke rongga
perut dari posisi ekstra-abdominal di daerah umbilicus yang terjadi dalam
minggu keenam sampai ke sepuluh kehidupan janin. Terkadang kelainan
ini bersamaan dengan terjadinya kelainan ongenital lain, misalnya sindrom
down. Pada omfalokel yang kecil, umumnya isi kantong terdiri atas usus
saja sedangkan pada yang besar dapat pula berisi hati atau limpa
(Darussalam dan Thaib, 2103).
Gambar 7. Omfalokel
(Darussalam dan Thaib, 2013)
4) Hernia Umbilikalis

Hernia umbilikalis berbeda dengan omfalokel, yaitu kulit dan jaringan


subkutis menutupi benjolan herniasi pada defek tersebut, pada otot rektus
abdominis ditemukan adanya celah. Hernia umbilikalis bukanlah kelainan
kongenital yang memerlukan tindakan dini, kecuali bila hiatus hernia
cukup lebar dan lebih dari 5 cm. Hernia umbilikalis yang kecil tidak
memerlukan penatalaksanaan khusus, umumnya akan menutuo sendiri
dalam beberapa bulan sampai 3 tahun (Faradilla dan Israr, 2009).

Gambar 8. Hernia Umbilikalis (Faradilla dan Israr, 2009)

2.2 Faktor-faktor penyebab kelainan perkembangan


2.2.1 Faktor lingkungan

Menurut Sadler (2000) agen-agen infektif yang dapat menyebabkan kelainan


perkembangan pada embrio adalah sebegai berikut.
1) Virus herpes

Biasanya infeksi dipindahkan menjelang saat kelahiran, dan kelainan-kelainan


adalah mikrosefali, mikroftalmus, dysplasia retina, pembengkakan hati dan limpa,
dan kebelakangan jiwa. Gejala penyakit ini baru berkembang pada minggu
pertama kehidupan. Ciri-ciri penyakit virus ini adalah reaksi-reaksi peradangan.
2) Varisela (cacar air)

Sekitar 20% kesempatan kelainan kongenital yang terjadi kalau ibu terinfeksi
varisela pada trimaster pertama kehamilan. Cacatnya antara lain hypoplasia
tungkai, keterbelakangan jiwa, dan atrofi otot.
3) HIV

Virus ini menyebabkan penyakit imunodefiensi akuista (AIDS) dan bisa


ditularkan kepada janin. Virus ini bukan merupakan teratogen besar, meskipun
telah dikaitkan dengan mikrosefali, keterbelakangan jiwa, dan wajah yang
abnormal.
4) Toksoplasmosis

Infeksi parasit protozoa Toxoplasma gondii pada ibu, yang didapatkan dari
daging yang kurang matang, binatang peliharaan (kucing), dan tanah yang
tercemar oleh tinja yang menimbulkan cacat kongenital. Anak yang terserang
dapat mengalami kalsifikasi otak, hidrosefalus, atau keterbelakangan jiwa.
Khorioretinitis, mikroftalmos dan cacat mata lainnya.
5) Radiasi

Efek radiasi dapat menimbulkan mikrosefali, cacat tengkorak, spina bifida,


kebutaan, celah palatum, dan cacat anggota badan lain (ex: karena pengobatan
wanita hamil dengan sinar x atau radium dosis tinggi). Sifat kelainannya
tergantung pada dosis radiasi dan tingkat perkembangan janin saat pemaparan
radiasi
6) Zat-zat kimia

Peranan penggunaan zatzat kima dan obat-obatan farmasi dalam


menimbulkan masalah kelainan ini sangat luas, relatif sedikit saja dari sekian
banyak obat-obatan yang digunakan selama kehamilan benar benar diketahui
bersifat teratogenik. Contoh yaitu tali talidomid, sejenis pil anti muntah dan obat
tidur, cacat yang ditimbulkan adalah tidak terbentuknya atau kelanan yang nyata
pada tulang panjang, atresia usus dan kelainan-kelainan jantung. obat lain yang
berbahaya adalah aminopterin merupakan suatu antagonis asam folat, cacat yang
ditimbulkan adalah anensefali, meningokel, hidrosefalus dan bibir sumbing. Dan
juga asam valproate menimbulkan cacat tuba neuralis dan jantung, cacat
kraniofasial, dan tungkai (sindrom trimetadion)

Gambar 9. A. Amelia unilateral, B. Meromalia. Tangan menempel dibatang tubuh melalui

Sumber: (Sadler, 2000)

sebuah tulang yang tidak beraturan. Kedua bayi ini dilahirkan oleh ibu yang minum
talidomide

Senyawa lain yang dapat merusak mudigah atau janin. Yang paling menonjol
adalah propiltiourasil dan kalium jodida (pembesaran kelenjar gondok) dan
keterbelakangan jiwa, streptomisin (tuli), sulfonamide (kernikterus), antidepresan
imipramine (cacat anggota badan), tetrasiklin (kelainan tulang dan gigi),
amfetamin (celah pada mulut dan kelainan jantung), dan kinin (tuli).
Beberapa Teratogen dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan :
1. Thalidomide
Substansi zat ini terdapat pada berbagai obat penenang. Toksisitas jenis zat
ini positif bagi embrio yang baru berkembang. Dosis teratogenik adalah 18 mg /
kg berat badan dan dalam pemakaian 3 hari berturut-turut. Masa paling kritis yang
terpengaruh adalah pada umur kehamilan 35 - 50 hari (35 - 50 hari setelah periode
menstruasi terakhir, atau pada saat usia embrio 21 - 36 hari).
Pengaruh : Anomali anggota-anggota badan (kaki dan tangan), kecacatan daun
telinga, kelainan jantung, kelainan sistem digesti dan sistem urogenitalia.
Pengaruh terhadap perkembangan mental tidak begitu nyata.
2. Berbagai hormon
Testosteron, pengaruhnya pada perkembangan embrio perempuan adalah
terjadinya female masculinization. Akibat seperti ini juga bisa terjadi dari
pemakaian Norethindrone. Stilbestrol dan Clomiphene, juga akan berakibat
sama bila pemakaian pada awal masa kehamilan. Pada pemakaian Prostaglandin
F-a pada dosis 25 mg/kg berat badan yang diberikan secara intra amniotic akan
mengakibatkan aborsi / keguguran.
3. Pemakaian Tolbutamide, 15 - 30 mg / kg berat badan pada hari ke 1 - 6 setelah
siklus menstruasi terakhir, akan mengakibatkan infertilitas atau tidak terjadinya
kehamilan. Sedangkan pemakaian pada hari ke 22 - 44 setelah siklus menstruasi
terakhir akan mengakibatkan keguguran embrio.
4. Pemakaian Acetyl salicylic acid (Asam asetil salisilat) pada awal kehamilan
juga akan menyebabkan terjadinya cacat kelahiran, berupa tidak sempurnanya
pembentukan rangka dan alat dalam.
5. Penggunaan Phenillalanine dan Cyclohexylamine, akan menyebabkan
kecacatan mental (retardasi mental) pada fetus yang dikandung ibu yang
bersangkutan.

Tabel 1. Teratogen yang berkaitan dengan Malformasi Manusia Sumber:


(Sadler,2000)

2.2.2 Faktor kromosom dan genetic

Menurut Hardisman (2014) kecacatan lahir akibat kelainan gen atau


kromosom dapat disebabkan oleh dua hal, pertama adanya bawaan sifat atau
kelainan dari salah satu atau kedua orang tua. Kedua adanya kelainan akibat
perubahan materi pembawa sifat (mutasi) yang tidak normal pada gen atau
kromosom saat setelah terjadinya konsepsi.
Kelainan akibat adanya mutasi abnormal adalah akibat terjadinya gangguan
informasi pada pembentukan protein pada pembelahan sel dalam pertumbuhan.
Gangguan tersrbut dapat berupa terhambatnya informasi genetic atau berlebihnya
informasi yang diberikan, sehingga menghasilkan sel dengan gen yang berbeda.
Pada sebagian besar proses mutasi menimbulkan gangguan atau kecacatan
individu yang akan dilahirkan. Mutasi dapat terjadi pada tingkat gen atau pun
pada kromosom (Hardisman, 2014).
Kelainan kromosom bisa merupakan kelainan jumlah atau kelainan susunan
dan merupakan penyebab penting malforasi kongenital dan abortus spontan
(Sadler, 2000). Beberapa contoh kelainan bawaan akibat adanya mutasi gen
adalah (1) kelainan yang bersifat autosom dominan missal Marfans sindrom dan
kelainan neurofibromatosis, (2) kelainan yang bersifat autosom resesif, missal
hemokromatosis, fibrosa sistika, dan sickle cell anemia, (3) kelainan yang terikat
kromosom X Duchennes muscular dystrophy, hemofili A dan B, dan buta warna
hijau (Hardisman, 2014).
Menurut Sadler (2000) beberapa contoh malformasi kongenital akibat kelainan
jumlah kromosom antara lain sebagai berikut.
1) Trisomi 21 (sindrom down)

Sindrom down biasanya disebabkan oleh adanya satu kopi ekstra kromosom
21 (trisomi 21). Secara klinis, ciri-ciri penderita sindrom down antara lain
keterbelakangan pertumbuhan , kelainan kraniofasial, termasuk mata miring
keatas , wajah mendatar, dan telinga kecil, cacat jantung dan hipotonia.

Gambar 10. A. B. dan C. Anak penderita sindrom down


Sumber: (Sadler, 2000)

2) Trisomi 18

Penderita susunan kromosom ini memperlihatkan ciri-ciri antara lain


keterbelakngan jiwa, cacat jantung kongenital, telinga yang letaknya rendah dan
fleksi jari-jari dan tangan. Selain itu, penderita seringkali memperlihatkan rahang
kecil (mikronagtia), anomaly ginjal, jari jari yang saling melekat dan malformasi
susunan rangka. Bayi ini umumnya meninggal pada usia 2 bulan.
Gambar 11. Anak penderita trisomi 18. Bagian kepala belakang menonjol, bibir sumbing,
mikronagtia, telinga letak rendah, dan satu atau beberapa jari dalam posisi fleksi.
Sumber: (Sadler, 2000)
3) Trisomi 13

Kelainan sindrom ini adalah keterbelakangan jiwa, cacat jantung kongenital,


tuli, bibir sumbing dan palatoskisis, dan cacat-cacat mata misalnya mikroftalmia,
anoftalmia, dan koloboma. Pada umumnya bayi-bayi ini meninggal menjelang
usia 3 bulan.

Gambar 12. A. Anak penderita trisomi 13-15. Bibir sumbing, celah langit-angit, dahi landau, dan
mikroftalmia. B. Seringkali sindrom ini disertai dengan polidaktili
Sumber: (Sadler, 2000)

4) Sindrom klinefelter

Gambaran klinis, yang hanya ditemukan pada pria dan biasanya diketahui saat
pubertas, adalah kemandulan, atrofi testis, hialinasi tubuli seminiferi, dan
kebanyakan mengalami ginekomastia. Penyebab paling sering adalah tidak
berpisahnya anggota pasangan homolog xx. Kadang-kadang penderita sindrom ini
mempunyai 48 kromosom, yakni 44 otosom dan 4 kromosom seks (XXXY)
5) Sindrom turner

Sindrom turner yang ditemukan pada wanita ditandai dengan tidak adanya
ovarium (disgenesis gonad) dan tubuh yang pendek. Kelainan lain yang sering
ditemukan adalah leher berselaput, limfedema anggota badan, cacat rangka, dan
dada lebar dengan puting susu lebar.

Gambar 13. Anak penderita sindrom Turner. Ciri-ciri utamanya adalah leher berselaput, tubuh
pendek, dada lebar, dan tidak terjadi maturasi seksual.
Sumber: (Sadler, 2000)

6) Sindrom tripel x

Penderita sindrom tripel x selalu infatil, dengan menstruasi yang sedikit sekali
dan sedikit keterbelakangan jiwa. Mempunyai dua badan kromatin seks didalam
selnya (Sadler, 2000)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa diambil dari makalah tentang kelainan


perkembangan embrio ini adalah sebagai berikut.

1. Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital diklasifikasikan


sebagai malformasi, deformasi, disrupsi dan displasia. Neural Tube
Defects (NTD) dapat dibagi menjadi Anensefalus, Ensefalokel,
Meningokel, Spina bifida. Selain itu juga terdapat kelainan yang berasal
dari gangguan gastrulasi, kelainan akibat gangguan neurulasi sekunder
dan kelainan yang berasal dari gangguan perkembangan Post Neurulasi.
Beberapa kelainan kongenital yang lain adalah Labiopalatoskisis,
hidrosefalus, omfalokel dan hernia umbilikalis.
2. Faktor penyebab kelainan perkembangan terbagi menjadi faktor
lingkungan, di antaranya disebabkan arena virus herpes, varisela, HIV,
Toksoplasmosis, Radiasi dan Zat kimia. Selain faktor lingkungan, juga
dipengaruhi oleh faktor kromosom dan genetic.

3.2 Saran

Mempelajari mengenai Kelainan Perkembangan Embrio seharusnya bisa


membuka wawasan kita terutama para akademisi untuk mengetahui dan
mempelajarinya, sehingga dapat menjadi bekal penelitian lebih lanjut khususnya
untuk menangani kelainan perkembangan embrio. Sebaiknya mahasiswa
khususnya mahasiswa biologi yang telah mengetahui beberapa faktor penyebab
kelainan embrio dapat berbagi mengenai penyebab atau faktor terjadinya kelainan
sehingga masyarakat umum dapat menghidari terjadinya kelainan pada embrio.
DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto, Agung, R.P. dan Sari, F. 2013. Hidrosefalus Pada Anak. JMJ, 1(1):61
67.

Deopujari Rashmi, Mangalgiri Ashutosh, Longia Asha Dixit , G.S. 2011. Neural
Tube Defect Spectrum - Study of Craniorachischisis. Peoples Journal of
Scientific Research. Vol. 4(1)

Dias MS. Pang D. 1995. Split Cord Malformations. Neurosurg Clin North Am
1995:6:339-358.

Effendi, S.H. 2014. Penanganan Bayi dengan Kelainan Kongenital dan Konseling
Genetik. Simposium Building Golden Generation Dies Natalis ke-57
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung, 20-21 September
2014.

Etster AD, Branch CL. Transalar Sphenoidal Encephaloceles: Clinical and


Radiologic Findings. Radiology 1989; 170:245-247
Faradilla, N. dan israr, Y.A. 2009. Hernia. Riau: Universitas Riau

Frosch MP, Anthony DC, Girolami UD. The central nervous system. In: Kumar V,
Abbas AK, Fausto N, editors. Robbins and Cotran, Pathological Basis of
Disease. 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Elsevier; 2004. p. 1353-4.

Hardisman.2014. Pengantar Kesehatan Reproduksi Seksual Dan Embriologi.


Yogyakarta: Gosyen Publishing

Hoving EW. Frontoethmoidal Encephalocele, a Study of Their Pathogenesis.


[Disertasi]. Groningen: Rijk Universiteit. 1993.
Hussain SS. Anencephaly. J Pharm Sci Res 2012;4:1755.

Kasai K, Nakayama S, Shik SS, Yoshida Y. Sex selection and recurrence of


anencephaly. Int J Biol Res Pregnancy 1982;3:21-4

Kurtoglu Z, Uluutku MH, Yeginoglu G, Aktekin M, Camdeviren H. Morphometric


evaluation of the cardiac ventricular capacity of anencephalic fetuses. Clin
Anat 2004;17:487-91.

Loho, J.N. 2013. Prevalensi Labioschisis di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou


Manado Periode Januari 2011 Oktober 2012. Jurnal e-Biomedik (eBM),
1(1):396-401.

Martinez-Lage JF, Poza M, Sola M, Soler CL, Montalvo CG, et al. The Child with
a Cephalocele: Etiology, Neuroimaging, and Outcome. Childs Nerv. Syst;
1996; 12: 540-550.

Pang D, Dias MS, Ahab-Barmada M. Split cord malformation. I. A unified theory


of embryogenesis for double spinal cord malformations. Neurosurgery
1992;31:45180
Pollock JA, Newton TH, Hoyt WF. Transsphenoidal and Transethmoidal
Encephaloceles. Radiology I 968; 90:442-453.

Anda mungkin juga menyukai