Anda di halaman 1dari 18

Critical JurnalRiview (CJR)

Ekologi Hewan
Prodi Pendidikan Biologi

DISUSUN OLEH

Nama : Nur Putri Aliyah


Kelas : Pendidikan Biologi D 2017
NIM : 4171141032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha kuasa, atas kasih dan karunia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas Crtitical Journal Review dengan judul: jurnal I “Studi
Awal Populasi dan Distribusi Macaca fascicularis Raffles di Cagar Alam Ulolanang”
Jurnal II “Perilaku Reptilia Ketika Gerhana Matahari Parsial di PASTY Yogyakarta dan
Jurnal III “Asosiasi Dan Relung Mikrohabitat Gastropoda Pada Ekosistem Mangrove Di
Pulau Sibu Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara”.
Crtitical Journal Review ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Hewan .
Penghargaan dan terimakasih yang setulus-tulusnya, penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Hasruddin, M.Pd selaku Ketua Jurusan Biologi Universitas Negeri
Medan
2. Bapak Wasis Wuyung Wisnu Brata, M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Biologi Universitas Negeri Medan
3. Ibu Dra. Martina Asiati Napitupulu, M.sc selaku Dosen mata kuliah Ekologi
Hewan dan kedua orangtua yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk
konsisten menyelesaikan tugas kuliah
4. Seluruh teman-teman Kelas Pendidikan Biologi D 2017
Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Karena itu, penulis memohon saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaannya dan semoga bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 03 Oktober 2019

Penulis
BAB I. PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya Critical Journal Review (CJR)


Critical Journal Review (CJR) sangat penting buat kalangan pendidikan terutama buat
mahasiswa maupun mahasiswi karena dengan mengkritik suatu jurnal maka
mahasiswa/i ataupun si pengkritik dapat membandingkan dua jurnal dengan tema yang
sama, dapat melihat mana jurnal yang perlu diperbaiki dan mana jurnal yang sudah
baik untuk digunakan berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis
jurnal tersebut, setelah dapat mengkritik jurnal maka diharapkan mahasiswa/i dapat
membuat suatu jurnal karena sudah mengetahui bagaimana kriteria jurnal yang baik
dan benar untuk digunakan dan sudah mengerti bagaimana cara menulis atau langkah-
langkah apa saja yang diperlukan dalam penulisan jurnal tersebut.
B. Tujuan Penulisan Critical Journal Review (CJR)
Critical journal Review ini dibuat bertujuan untuk belajar melalui pemenuhan tugas
mata kuliah Mikrobiologi sehingga dapat menambah pengetahuan untuk melihat atau
membandingkan dua atau beberapa jurnal yang baik dan yang benar. Setelah dapat
membandingkan maka akan dapat membuat suatu jurnal karena sudah dapat
membandingkan mana jurnal yang sudah baik dan mana jurnal yang masih perlu
diperbaiki dan juga karena sudah mengerti langkah-langkah dari pembuatan suatu
jurnal.
C. Manfaat Critical Journal Review (CJR)
Manfaat penulisan Critical Journal Review ( CJR), yaitu :
1. Dapat membandingkan dua atau lebih jurnal yang direview.
2. Dapat meningkatkan analisis kita terhadap suatu jurnal.
3. Dapat mengetahui teknik-teknik penulisan CJR yang benar.
4. Dapat menulis bagaimana jurnal yang baik dan benar.
5. Dapat menambah pengetahuan kita tentang isi-isi dari jurnal-jurnal penelitian.
D. Identitas Journal yang direview
1. Jurnal I
1. Judul Artikel : Studi Awal Populasi dan Distribusi Macaca
fascicularis Raffles di Cagar Alam Ulolanang
2. Nama Journal : Unnes Journal of Life Science
3. e-ISSN : ISSN 2252-6277
4. Pengarang artikel : Khasan Fakhri
5. Vol/ Ha l : Vol 1 Nomor (2)
6. Alamat Situs : www.googlecendekia.com
2. Jurnal II
1. Judul Artikel : Perilaku Reptilia Ketika Gerhana Matahari Parsial
di PASTY Yogyakarta
2. Nama Journal : Biotropic
3. e-ISSN : ISSN 2580-5029

4. Pengarang artikel : Henro Kusumo EP Moro

5. Vol/ Hal : 1. (2): 37– 40

6 Alamat Situs : www.googlecendekia.com

3. Jurnal II
1. Judul Artikel : Asosiasi Dan Relung Mikrohabitat Gastropoda
Pada Ekosistem Mangrove Di Pulau Sibu
Kecamatan Obat Utara Kota Tidore Kepulauan
Provinsi Maluku Utara
2. Nama Journal : Jurnal Enggano
3. e-ISSN : E-ISSN: 2527-5186. P-ISSN:2615-5958

4. Pengarang artikel : Salim Abubakar

5. Vol/ Hal : Vol. 3, No. 1

6. Alamat Situs : www.googlecendekia.com


BAB II. RINGKASAN ARTIKEL

A. Jurnal I
a. Pendahuluan
Cagar Alam (CA) Ulolanang Kecubung adalah salah satu cagar alam
yang ada di Jawa Tengah. Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 cagar
alam merupakan kawasan suaka alam yang mempunyai kekhasan tumbuhan,
satwa, dan ekosistem karena kondisi alamnya, atau ekosistem tertentu yang
perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. CA
Ulolanang Kecubung terletak di Desa Gondang Kecamatan Subah Kabupaten
Batang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dalam Surat
Keputusan No. SK 106 / Menhut-II / 2004 tanggal 14 April 2004 dengan
luas 69,70 Ha (BKSDA 2009). Ciri khas CA Ulolanang Kecubung adalah
keseimbangan ekosistem masih terjaga dan terdapat tumbuhan khas yakni
pelalar (Dipterocarpus gracilis) yang hanya ada di CA Ulolanang Kecubung,
selain itu terdapat berbagai fauna salah satunya monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis Raffles, 1821). Monyet ekor panjang Di CA Ulolanang Kecubung
sering kali dijumpai mencuri dan merusak tanaman di ladang sekitar CA
Ulolanang Kecubung sehingga warga sering berjaga di ladang sepanjang hari.
Selain itu adar yang menangkapnya untuk di pelihara di rumah atau dijumpai
juga monyet ekor panjang yang ditembak. Menurut Kemp & Burnet (2003)
keberadaan monyet ekor panjang dianggap hama karena mereka sering
mengganggu ladang penduduk.

Ukuran kelompok monyet ekor panjang sekitar 10-20 ekor di habitat


alaminya (Soehartono & Mardiastuti 2003). Menurut Fadilah (2003) ukuran
kelompok monyet ekor panjang bervariasi menurut kondisi habitatnya, di
hutan primer yang tidak mendapat pengaruh tangan manusia ±10 ekor, di
hutan mangrove ±15 ekor dan di daerah terganggu seperti hutan wisata dapat
mencapai ukuran kelompok lebih dari 40 ekor karena jumlah ketersediaan
makanan yang melimpah. Kegiatan monitoring populasi monyet ekor panjang
diperlukan untuk menjaga kelestarian agar diketahui keadaan populasinya
(jumlah, persebaran dan parameter populasi lainya) di CA Ulolanang
Kecubung. Menurut Primack et al (1998) monitoring merupakan bagian
penting dalam pelestarian atau pengembangan terpadu, terutama perlindungan
keanekaragaman hayati berjangka panjang. Tanpa upaya monitoring tersebut
sulit untuk membedakan fluktuasi tahunan yang normal dengan pola jangka
panjang. Penelitian ini merupakan langkah awal upaya monitoring monyet
ekor panjang di CA Ulolanang Kecubung yang nantinya dapat dijadikan
pembanding pada penelitian selanjutnya.
b. Metode Penelitian
Metode yang digunakan yaitu metode garis transek. Garis transek
merupakan suatu petak. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini
diantaranya adalah peta, kompas bidik, meteran gulung, binocular, hand
counter, thermometer, hygrometer, tally Sheet. Pengamatan dilakukan dengan
menyusuri transek mulai dari jam 08.30 sampai 14.00 setiap dua hari sekali
selama kurang lebih dua minggu. Data yang dikumpulkan dari pengamatan
meliputi data primer yaitu jumlah individu, posisi, jarak, kelas umur, aktivitas
saat penjumpaan, dan jenis kelamin. Serta data sekunder meliputi jenis vegetasi,
suhu dan kelembaban udara.
Analisis data penentuan populasi menggunakan perhitungan menurut
Fadillah (2003), dan Penentuan tipe distribusi dilakukan dengan
membandingkan nilai varian dengan rata-rata populasi. Hasil perhitungan
kemudian dikaitkan dengan data sekunder dan dibahas secara deskriptif
berdasarkan studi pustaka.
c. Hasil Pembahasan
Populasi monyet ekor panjang berdasarkan hasil pengamatan dengan
metode transek diperoleh jumlah monyet ekor panjang di CA Ulolanang
Kecubung 33 ekor dengan kerapatan populasi rendah yaitu 0,47 ekor/ha (0
sampai 1 ekor/ha). Nilai perbandingan jantan dan betina (seks rasio) adalah 1:2
terdiri dari 4 jantan dan 8 betina. Distribusi kelas umur monyet ekor panjang di
CA Ulolanang Kecubung didominasi kelompok usia muda yaitu 58 ekor
(77%), sedangkan kelompok usia tua ada 12 ekor (16%), dan dan kelompok
usia bayi 5 ekor (7%).
Jumlah individu monyet ekor panjang di CA Pananjung Pangandaran dan di
Taman Wisata Alam Kaliurang berturut-turut adalah 158 ekor dan 141 ekor
(Djuwantoko et al. 2008, Widiastuti et al. 2010). Jika dibandingkan
dengan dua tempat tersebut jumlah populasi monyet ekor panjang di
CA Ulolanang Kecubung lebih sedikit yaitu 33 ekor. Monyet ekor panjang
hidup mengelompok terdiri dari banyak jantan dan banyak betina (multi-male
multi-female) dengan sistem perkawinan tidak pilih-pilih. Jantan biasanya
kawin dengan lebih dari satu betina dan sebaliknya (Karimullah 2011).
Data distribusi kelas umur menunjukkan bahwa jumlah individu fase
reproduktif (dewasa 12 ekor) lebih sedikit dibanding individu fase
prereproduktif (muda dan bayi total 63 ekor) sehingga individu yang dapat
melakukan reproduksi hanya sedikit. Pada saat pengamatan monyet ekor
panjang di CA Ulolanang Kecubung diduga telah selesai bereproduksi karena
selama pengamatan dijumpai anakan yang masih kecil. Monyet ekor panjang
betina dominan mengalami kematangan seksual ketika berumur 4 tahun,
dan mulai bereproduksi sebelum usia 5,5 tahun sedangkan yang bukan dominan
akan bereproduksi setelah berumur 5,5 tahun. Monyet ekor panjang jantan
mengalami kematangan seksual pada umur 7 tahun (Lang 2006).
Kelimpahan jumlah makanan sangat berpengaruh terhadap tingkat
kesuksesan proses reproduksi monyet ekor panjang. Ketika jumlah makanan
melimpah maka kelahiran terjadi lebih cepat dan lebih sering (Lang
2006). Apabila jumlah pakan melimpah maka jumlah asupan gizi yang masuk
lebih banyak sehingga kondisi kesehatannya lebih baik, siklus estrus berjalan
lancar, laju kelahiran berjalan lancar sehingga menghasilkan anakan yang sehat.
Biasanya primata mempunyai prilaku\ makan yang bcrdasarkan hirarki.
lndividu yang paling berpengaruh (dominan) makan lebih dahulu, kcmudian
yang lain mengikuti sesuai dengan hirarkinya (Iskandar & Santosa 1992). Jenis
pakan monyet ekor panjang adalah 70,01% buah-buahan, dan untuk jenis
pakan yang lainnya 6,06% (Romauli 1993, diacu dalam Santosa 1996).
Vegetasi yang tumbuh di CA Ulolanang Kecubung kebanyakan adalah
tanaman penghasil kayu seperti jati (Tectona grandis), pelalar ( Dipterocarpus
gracillis ), pasang (Quercus sundaica), bendo (Swetenia mahagoni), dan mahoni
(Swetenia mahagoni), selain itu terdapat pula rotan, aren, dan bambu. Jenis
vegetasi yang berpotensi sebagai pakan monyet ekor panjang antara lain
pelalar, pasang, bendo, mahoni, dan bambu.
Monyet ekor panjang dalam berkomunikasi memiliki berbagai jenis suara
panggilan yang digunakan untuk berbagai situasi yang berbeda. Ada dua
jenis suara panggilan yakni panggilan kasar (harsh call) dan panggilan
bersih/halus (clear call), contoh harsh call yaitu kra call, dinamakan kra call
sesuai dengan bunyi panggilannya. Panggilan ini dilakukan oleh semua jenis
umur monyet ekor panjang baik tua maupun muda, jantan atau betina dan
bertujuan untuk memberi tanda/alarm jika ada predator yang datang atau jika
mereka merasa terancam. Clear call biasanya digunakan untuk interaksi
dalam kelompok dan untuk menghindari serangan antar individual dan
biasanya dilakukan ketika terjadi interaksi antara betina bukan dominan dengan
betina dominan maupun bayi dengan induknya (Lang 2006).
B. Jurnal II
a. Pendahuluan
Gerhana Matahari merupakan peristiwa unik yang tidak selalu terjadi
setiap tahun.Pada 9 Maret 2016 pukul 07.25 di Yogyakarta terjadi gerhana
matahari parsial (81,46%) (Anonim, 2015). Organisme baik itu manusia,
tumbuhan, dan satwa memiliki respon perilaku berbeda terhadap peristiwa
langka tersebut. Beberapa laporan tentang perilaku satwa lainnya dilaporkan
pada lebah (Roonwal, 1957), ikan (Jennings et al., 1998), hewan ternak seperti
kuda, ayam, dan anjing (Bozic,2003), zooplankton (Gerasopoulos et
al.,2008), dan burung (Kumar, 2014).
Pola tingkah laku reptilia merupakan perilaku yang terorganisir dengan
fungsi tertentu karena reptilia termasuk kelompok hewan poikiloterm. Perilaku
adaptasi reptilia untuk menghangatkan diri, dilakukan dengan berjemur
langsung di bawah sinar matahari. Untuk mendinginkan diri mereka
memanfaatkan kegiatan seperti pindah kedaerah yang teduh (Bridges, 2001).
Perilaku seekor satwa (reptilia) dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
dari dalam (hormon dan sistem saraf) dan faktor dari luar (cahaya, suhu dan
kelembaban). Tingkah laku bersifat bawaan (genetis) dapat berubah oleh
lingkungan dan proses belajar satwa (Hafez, 1968). Penelitian ini bertujuan
mengamati dan membandingkan perilaku reptilia ketika gerhana matahari
sebagian aktivitas menurut Sudjana (1992), hasilnya disajikan dengan
ethogram (Ploger & Yasukawa, 2003).
b. Metode
Perilaku satwa khususnya reptilia diamati di PASTY (Pasar Satwa Dan
Tanaman Hias Yogyakarta) yang memiliki dome besar berisi tiga jenis reptilia,
yakni Kura-kura Brazilia (Trachemys scriptaelegans), Biawak (Varanus
salvatore) dan Ular (Phyton morulus) (Anonim, 2011). Pengamatan dilakukan
pada tanggal 8 - 10 Maret 2016 pukul 06.20 - 08.20 WIB. Metode
pengambilan data dilakukan dengan focal animal sampling (pengamatan
perilaku yang sebagai obyek pengamatan dan menggunakan teknik pencatatan
perilaku satwa tersebut pada interval waktu tertentu) (Ploger & Yasukawa,
2003). Rekapitulasi data dan analisis data setiap aktivitas menurut Sudjana
(1992), hasilnya disajikan dengan ethogram (Ploger & Yasukawa, 2003).
c. Hasil dan Pembahasan
Ketiga reptilia memiliki ciri khas masing-masing, seperti : biawak dan
ular cenderung berdiam di tanah, sedangkan kura-kura berkubang di air.
Biawak memiliki pergerakan kaki dan pindah tempat, dibandingkan ular karena
tidak memiliki kaki, maupun kura-kura karena cenderung memilih berkubang.
Perilaku grooming ditunjukkan biawak dan kura- kura, namun perbedaanya
perilaku kura-kura dibandingkan dengan perilaku biawak adalah perilaku kura-
kura dalam bentuk kelompok dengan mendorong dan saling bersentuhan antara
sesamanya. Kura-kura juga menunjukkan perilaku digesti ketika berkubang.
Berdasarkan terlihat adanya perilaku menonjol pada masing-masing
jenis. Ketika gerhana (9 Maret 2016) kura-kura muncul perilaku grooming
(kontak dengan sesama), ular sama sekali tidak pindah tempat, sedangkan
biawak tidak menunjukkan perubahan perilaku yang menonjol. Perilaku yang
dapat dibandingkan dari ketiga jenis adalah : diam, pindah tempat, dan
pergerakan kepala. Sekali lagi kura-kura memiliki perilaku paling berbeda
diantara ketiganya karena habitatnya cenderung di air dan berkubang (Bridges,
2001). Perilaku lain yang menarik dibandingkan antara biawak dan kura- kura,
yakni berkubang dan grooming. Biawak cenderung berkubang ketika gerhana
matahari sedangkan kura-kura justru mengurangi aktivitas berkubangnya.
Biawak memulai grooming setelah hari gerhana, sedangkan kura-kura
menunjukkan aktivitas tersebut ketika gerhana terjadi.
C. Jurnal III
a. Pendahuluan
Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat
dan laut. Tumbuhan ini mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang
surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan,
subsstrat dan morfologi pantainya (Idris, 2004). Ekosistem hutan mangrove
dengan sifatnya yang khas dan kompleks merupakan habitat bagi berbagai
jenis hewan dari yang paling sederhana tingkatnya (Protozoa) sampai ke
yang paling tinggi (Vertebrata). Sebagai daerah peralihan antara laut dan
darat, ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam.
Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya perubahan beberapa faktor
lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas. Karena hanya jenis-jenis
fauna yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-
faktor fisik itu dapat bertahan dan berkembang di hutan mangrove.Di
dalam hutan mangrove, dikenal ada dua kelompok hewan yang dominan baik
dalam keanekaragaman jenisnya maupun jumlah individunya, yaitu moluska
dan krustasea (Saru,2013).
Komunitas fauna hutan mangrove terdiri dari percampuran antara dua
kelompok yaitu kelompok fauna daratan/teresterial dan kelompok fauna
perairan/akuatik (Bengen, 2003). Kelompok hewan laut yang dominan dalam
hutan mangrove adalah moluska, beberapa jenis ikan yang khas dan
kepiting. Moluska diwakili oleh sejumlah siput, suatu kelompok yang
umumnya hidup pada akar dan batang pohon bakau (Littorinidae) dan lainnya
pada lumpur di dasar akar mencakup sejumlah pemakan detritus (Ellobiidae
dan Potamididae). Kelompok kedua dari moluska termasuk bivalva, yang
dominan dari bivalva adalah tiram. Mereka melekat pada akar-akar bakau
(Nybakken, 1988). Relung ekologi merupakan posisi tertentu suatu spesies
dalam suatu komunitas dan habitat yang ditempatinya sebagai hasil
adaptasi struktural yang dicapainya lewat penyesuaian fisiologid dan pola
tingkah lau khusus dalam memanfaatkan secara baik potensinya. Jadi relung
ekologis adalah suatu kombinasi tertentu dari fator fisik (mikrohabitat) dan
hubungan biotik (peranan) yang dibutuhkan oleh suatu spesies untuk
aktifitas kehidupannya dan kelangsungan eksistensinya dalam suatu komunitas
(Kendeight, 1980 dalam Rondo, 2001).
b. Materi dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada ekosistem hutan mangrove di Pulau
Sibu Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan. Waktu pelaksanaan
penelitian selama 5 bulan yaitu Juli-Nopember 2017.
Metode Pengambilan Data Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan pada saat air surut dengan
menggunakan metode Line transect kuadran, yang dibagi dalam tiga zona
intertidal yaitu zona intertidal bagian depan (ZIBD), zona intertidal bagian
tengah (ZIBT) dan zona intertidal bagian belakang (ZIBB).
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian diawali dengan menarik lintasan berdasarkan zonasi
yaitu zona intertidal bagian depan (ZIBD), zona intertidal bagian tengah
(ZIBT) dan zona intertidal bagian belakang (ZIBB). Pada setiap titik penarikan
contoh itu dipasang tali secara horizontal yaitu sejajar dengan garis pantai.
Kemudian pada setiap titik penarikan contoh, lima kuadrat yang berukuran
5m x 5m diletakkan secara horizontal, dengan jarak antara kuadrat 20
meter.
Pengambilan sampel gastropoda dilakukan pada substrat, akar, batang,
ranting dan daun mangrove atau dibatasi pada ketinggian 0-2,5 meter, dengan
memperhatikan mikrohabitat dari masing-masing jenis gastropoda yang
ditemukan. Gastropoda yang dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam
kantong plastik/wadah yang sudah diberi label, dan diawetkan dengan larutan
formalin 10% atau alkohon 70%, selanjutnya di bawah ke Laboratorium
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan untuk diidentifikasi, dihitung jumlah
individu setiap spesies gastropoda.
Teknik Analisa Data
Untuk mengukur struktur komunitas gastropoda, digunakan analisis:
Asosiasi antar spesies gastropoda (Rondo, 2015)
Tahapan analisis uji statistik dan kecenderungan asosiasi dua spesies yaitu:
1. Penyusunan pasangan spesies dengan bantuan tabel kontingensi 2x2
2. Menyusun hipotesis
H0 = Kedua spesies tidak berasosiasi
H1 = Kedua spesies saling berasosiasi
3. Analisis statistik :

2 N (ad bc) 2

hit.
(a b)(c d )(a c)(b d )

Dengan derajat bebas (r -1) (c – 1) atau (baris – 1) (kolom – 1) = (2-1) (2-


1) = 1 dan tingkat kepercayaan 5%.

4. Penentuan tipe asosiasi dengan menggunakan koefisien asosiasi (V)


menurut Krebs (1972) dalam Rondo (2004) yaitu :

(ad bc)
V

(a b)(c d)(a c)(b d )

Jika V bernilai positif, maka kedua spesies berasosiasi positif

Jika V bernilai negative, maka kedua spesies berasosiasi negatif.

B = Lebar relung

Pj = Proporsi suatu organisme pada mikrohabitat tipe-i

S = Jumlah tipe microhabitat

c. HASIL DAN PEMBAHASAN


Komposisi Jenis Mangrove
Berdasarkan hasil identifikasi jenis mangrove di lokasi penelitian,
diperoleh 4 famili dengan 7 jenis mangrove. Famili Rhizophoraceae
memiliki jenis lebih banyak yaitu 4 jenis (Rhizophora apiculata,
Rhizophora stylosa, Ceriops tagal, Bruguiera gymnorrhiza) sedangkan famili
Sonneratiaceae, Meliaceae dan Myrsinaceae masing-masing hanya memiliki 1
jenis. eluang ditemukannya jenis dari famili ini tiap lebih banyak, disamping
itu kondisi substrat di lokasi penelitian sangat mendukung pertumbuhan dari
famili ini
Komposisi dan Distribusi Gastropoda Pada Berbagai Zonasi
Mangrove
Zona Intertidal Bagian Depan (ZIBD)
Komposisi jenis gastropoda yang diperoleh pada zona intertidal bagian
depan terdiri dari 9 famili, 9 genus dan 15 spesies. Famili yang memliki
spesies terbanyak yaitu family Turbo sebanyak 3 spesies (Turbo
agryrostoma, Turbo chrysostomus, Turbo brenues). Selanjutnya diikuti oleh
famili Nerita dengan 2 spesies (Nerita costata, Nerita planospira), family
Littorinidae sebanyak 2 spesies (Littorina scabra, Littorina undulata).
Sedangkan famili yang memiliki jumlah spesies sedikit dengan jumlah
spesies 1, yaitu masing-masing terdapat pada familiStrombidae
(Strombus luhuanus) dan Potamididae (Cerithidea cingulata). Komposisi
jenis gastropoda yang diperoleh pada zona intertidal bagian tengah terdiri
dari 3 famili, 5 genus dan 6 spesies (Tabel 4). Famili Potamididae memiliki
jumlah spesies terbanyak yaitu sebanyak 4 spesies (Telescopium telescopium,
Terebralia sulcata, T. palustris, Cerithidea cingulata), sedangkan famili yang
memiliki jumlah spesies sedikit masing- masing dengan jumlah spesies 1,
yaitu Neritidae (Nerita undata) dan Littorinidae (Littorina scabra).
Lebar Relung Mikrohabitat Gastropoda Hutan Mangrove
Hasil penelitian gastropoda yang menghuni hutan mangrove ditemukan pada
7 (tujuh) tipe mikrohabitat yaitu pasir, lumpur, pasir berlumpur, lumpur,
lumpur berpasir, akar, batang dan daun. Jenis gastropoda yang mempunyai
relung habitat terlebar adalah Terebralia sulcata dengan nilai 0,689,
diikuti oleh Littorina sabra, Terebralia palustris, Littorina undulata,
Strombus luhuanus, Telescopium telescopium, Nerita costata, Turbo brenues,
Cerithiidea cingulata, Turbo agryrostomus dan Nerita planospira. Sedangkan
jenis gastropoda yang memiliki relung habitat tersempit adalah Turbo
chrysostomus dengan nilai 0,225. Analisis kesaling-lingkupan gastropoda
pada hutan mangrove di Pulau Sibu (Tabel 7), terlihat bahwa kesaling-
lingkupan relung atau tumpah tindih relung mikrohabitat yang cukup besar
dilakukan oleh Terebralia sulcata terhadap Terebralia palustris sebesar
0,167, Littorina scabra terhadap Nerita costata (0,156), Littorina scabra
terhadap Turbo breneus. Nilai tumpah tindih relung mikrohabitat yang
diperoleh umumnya rendah atau sama dengan nilai yang diperoleh 0,000. Ini
terjadi pada jenis Littorina undulata terhadap Strombus luhunus dam
Telescopium telescopium, Turbo agryrostoma terhadap Strombus luhuanus
dan Telescopium telescopium. Turbo chrysostomus terhadap Strombus
luhuanus dan Telescopium telescopium, Turbo breneus terhadap
Strombus luhuanus dan Telescopium telescopium, Nerita costata terhadap
Strombus luhuanus dan Telescopium telescopium, Nerita planospira terhadap
Strombus luhuanus dan Telescopium telescopium, Strombus luhuanus
terhadap Cerithiidea cingulata serta Cerithiidea cingulate terhadap
Telescopium telescopium. Lebar relung merupakan luas volume atau volume
relung. Hal ini tergantung pada jumlah dimensi lingkungan. Jenis yang
mempunyai relung yang lebar menandakan kemampuannya mengeksploitasi
sumberdaya yang tersedia (makanan, habitat, waktu dan lain-lain)
BAB III. KEUNGGULAN dan KELEMAHAN PENELITIAN

A. KEUNGGULAN
a. Kegayutan antar elemen
Memiliki gambar dan grafik serta tabel penelitian serta penjelasan dari tabel tentang
jurnal I “Studi Awal Populasi dan Distribusi Macaca fascicularis Raffles di Cagar
Alam Ulolanang” Jurnal II “Perilaku Reptilia Ketika Gerhana Matahari Parsial di
PASTY Yogyakarta dan Jurnal III “Asosiasi Dan Relung Mikrohabitat Gastropoda
Pada Ekosistem Mangrove Di Pulau Sibu Kecamatan Oba Utara Kota Tidore
Kepulauan Provinsi Maluku Utara”.
b. Originalitas temuan
Temuan-temuan dalam penelitian ini memang dapat kita lihat dari mana kita dapatkan
sumbernya di mana sumber ataupun otak pemikirnyalah kita dapat melihat keaslian
penelitian seperti halnya saya mencari jurnal ini melalui berberapa sumber seperti
internet serta daftar pustaka. Temuan-temuan dalam penelitian cukup original dan
sederhana karena berbentuk sistematis terhadap teori sehingga pembaca mengerti
terhadap jurnal tersebut kemudia bukti untuk memuktahirkan hasil temuan materi
c. Kemutakhiran masalah
Hal kemutakhiran masalah-masalah yang ada dalam jurnal tersebut menjelaskan di
mana sangat membangun untuk peningkatan yang positif dalam meneliti dan dari
beberapa penjelasan permasalahan yang menganalisis : jurnal I “Studi Awal Populasi
dan Distribusi Macaca fascicularis Raffles di Cagar Alam Ulolanang” Jurnal II
“Perilaku Reptilia Ketika Gerhana Matahari Parsial di PASTY Yogyakarta dan
Jurnal III “Asosiasi Dan Relung Mikrohabitat Gastropoda Pada Ekosistem
Mangrove Di Pulau Sibu Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan Provinsi
Maluku Utara”.
d. Kohesi dan koherensi isi penelitian
kalimat yang digunakan adalah baku dan mudah dipahami sehingga pembaca mudah
memahami dalam jurnal tersebut. Memiliki teori perkembangn anak yang sistematis
dan memiliki keterkaitan secara padu dan utuh.
B. KELEMAHAN
a. Kegayutan antar elemen
hanya sedikit kelemahan pada isi jurnal tersebut karena isi jurnal tersebut merupakan
penelitian yang dilakukan oleh sekelompok orang serta memiliki tabel-tabel dan
penejelesan yang berkaitan dan padu.
b. Originalitas temuan
Pada kelemahan di bagian Originalitas temuan tidak ada karena jurnal ini bersifat
Internasional dan memiliki website serta ISSN.
c. Kemuktahiran Masalah
Dalam kemukhtahiran masalah pada jurnal adalah hanya mencondong ke konsep teori
dan penemuan-penemuan. Tidak ada menjelaskan contoh permasalahan yang
sekarang ini
d. Kohesi dan Koherensi isi Penelitian
Dari jurnal tersebut memiliki gagasan yang mengacu pada penelitian saja konsep-
konsep
BAB V. PENUTUP
A. SIMPULAN
Jurnal I : Populasi monyet ekor panjang Di CA Ulolanang Kecubung cukup
rendah yaitu 33 ekor dengan kisaran populasi 30 – 36 ekor dan kerapatan populasi
0,47 ekor/ha (0-1 ekor/ha). Rendahnya jumlah monyet ekor panjang dipengaruhi
oleh distribusi kelas umur yang didominasi kelas umur prereproduktif, seks
rasio yang seimbang dan sumber makanan. Distribusi monyet ekor panjang di
CA Ulolanang Kecubung secara mengelompok di sekitar pal 31 dan 51.
Jurnal II : Perbedaan perilaku reptilia ketika gerhana matahari sebagian
ditentukan oleh jenisnya dan faktor lain yang berbeda-beda. Ular
cenderung memiliki pergerakan yang terbatas, sedangkan biawak dan kura-
kura diam sejenak.
Jurnal III : Komposisi jenis jenis gastropoda di Pulau Donrotu sebanyak 12 jenis
yaitu Littrorina scabra, Littorina undulata, Turbo agryrostoma, Turbo
chrysostoma, Turbo breneus, Nerita costata, Nerita planospira, Strombus
luhuanus,, Cerithiidea cingulata, Telescopium telescopium, Telebralia sulcata
dan Terebralia palustris.Pasangan jenis gastropda yang diperoleh memiliki tipe
asosiasi positif sebanyak 14 pasangan, asosiasi negatif sebanyak 11 pasangan
dan tidak ada asosiasi sebanyak 42 pasangan. Jenis gastropoda yang mempunyai
relung habitat terlebar adalah Terebralia sulcata dan tersempit adalah Turbo
chrysostomus.
DAFTAR PUSTAKA

Fakhri, Khasan.2012. Studi Awal Populasi dan Distribusi Macaca fascicularis Raffles di
Cagar Alam Ulolanang. Unnes Journal of Life Science , vol 1 (2): 1-5

Moro, Henro Kusumo EP. 2017. Perilaku Reptilia Ketika Gerhana Matahari Parsial di
PASTY Yogyakarta, jurnal biotropic, vol 1 (2): 37-40

Abubakar, Salim. 2018. Asosiasi Dan Relung Mikrohabitat Gastropoda Pada Ekosistem
Mangrove Di Pulau Sibu Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku
Utara. jurnal enggano, vol 3 (1): 22-38

Anda mungkin juga menyukai