Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya hayati, termasuk
hutan yang merupakan gudang bagi keanekaragaman hayati. Fungsi hutan sebagai
penyangga daerah aliran sungai, habitat dan ekosistem bagi makhluk hidup tak
dapat disangkal, juga manfaat ekonomi sertasebagai pengontrol iklim. Sayangnya,
maraknya deforestasi yang sebagian besar karena penebangan dan konversi lahan
menyebabkan area hutan semakin berkurang, sehingga terjadi penurunan berbagai
fungsi hutan. Diperkirakan pada tahun 2000-2012, Indonesia telah kehilangan
sekitar 15,8 juta hektarhutan yang banyak terjadi di Sumatra dan
Kalimantan.Berbagai upaya penanaman kembali telah dilakukan untuk
menanggulangi dampak akibat kerusakan hutan, diantaranya dengan program
reforestasi untuk mempercepat proses suksesi untuk mempercepat pemulihan
hutan.
Di Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi (TBMK) yang saat ini dikelola
oleh BKSDA bekerja sama dengan Kelompok Pecinta Alam, Wanadri,
dilakukanprogram reforestasi dengan nama Program Adopsi Pohon, sering juga
disebut Program Wali Pohon. Program ini membuka peluang bagi masyarakat
untuk berperan aktif sebagai orang tua asuh bagi pohon yang ditanamnya
dikawasan konservasi. Kewajiban utama para orang tua asuh adalah memberikan
bekal kepada pohon asuhnya senilai Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) untuk
setiap batang pohon yang di adopsi. Pengelola akan memelihara pohon tersebut
selama tiga tahun dan apabila ada pohon yang mati dalam masa pemeliharaan itu,
maka pengelola wajib menggantinya dengan tanaman lain, yang disebut dengan
istilah penyulaman.
Taman Buru Masigit Kareumbi terbatas pada rekreasi dan olahraga buru,
sedangkan kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi dengan luasan yang cukup
luas memiliki potensi yang lebih dari sekedar Taman Buru karena kawasan ini
memiliki potensi flora dan fauna dengan lanskap yang khas. Potensi sumberdaya
alam dengan segala keunikan, keanekaragaman, kespesifikasikan, dan kekhasan
serta tipe-tipe ekosistem tersebut merupakan asset yang perlu dikelola sehingga
dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pembangan
ekowisata didalam kawasan konservasi sangat memungkinkan dapat
meningkatkan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat yaitu berupa
pendapatan langsung dari karcis masuk, memberikan lapangan kerja tambahan
dalam bentuk souvenir, penjualan makanan atau menjadi pemandu wisata
(Lavieren, 1983).
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah:
1. Mengetahui dan mempelajari komponen-komponen abiotik yang terdapat
di Taman Buru Masigit Kareumbi
2. Mengetahui dan mempelajari keanekaragaman jenis tumbuhan yang
terdapat di Taman Buru Masigit Kareumbi
3. Mengetahui keanekaragaman jenis satwa yang terdapat di Taman Buru
Masigit Kareumbi
4. Mengetahui teknik pembuatan herbarium dengan memanfaatkan potensi
keanekaragaman jenis tumbuhan di Taman Buru Masigit Kareumbi

1.3 Manfaat
Manfaat dalam pelaksanaan kegiatan PKKE tersebut adalah sebagi berikut:
1. Menjadi bahan informasi bagi pihak pengelola TBMK dalam pengelolaan
kawasan konservasi dan ekowisata.
2. Memberikan informasi kepada pengunjung yang ingin melakukan aktivitas
ekowisata di kawasan TBMK
3. Mengetahui komponen ekosistem dan keberadaan jenis satwa yang
ditemukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kawasan Konservasi


Menurut Taufik (2005) mendefinisikan kawasan konservasi sebagai areal
daratan dan laut yang khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pengawetan
keanekaragaman hayati, bentang alam serta budaya yang melekat padanya yang
dikelola berdasarkan hokum dan mekanisme lain. Kawasan konservasi merupakan
suatu kawasan yang dikelola dan dilindungi dalam rangka pelestarian sumberdaya
alam dan lingkungan. Penetapan status sebuah kawasan menjadi kawasan
konservasi ternyata tidak dengan otomatis berarti habitat dan keanekaragaman
yang berada di kawasan tersebut terlindungi dengan baik. Kawasan-kawasan
konservasi di seluruh Indonesia mempunyai masalah konservasi yang mengancam
kelestariannya. Salah satu ancaman terhadap kawasan konservasi berasal dari
kegiatan masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup seperti bahan
makanan, pakaian dan bahan bangunan yang diambil dari dalam kawasan. Selain
itu sebagian masyarakat juga melakukan aktifitas perladangan berpindah, kegiatan
pariwisata dan bahkan bermukim di kawasan konservasisehingga menyebabkan
tekanan terhadap kawasan tersebut.
Secara harfiah konservasi merupakan pelestarian atau perlindungan,
sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bahwa konservasi sumber daya
alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Istilah hutan konservasi merujuk pada kawasan hutan yang diproteksi
atau yang dilindungi, perlindungan itu sendiri dimaksudkan untuk melestarikan
hutan dan kehidupan di dalamnya agar dapat menjalankan fungsi secara
maksimal.

2.2 Taman Buru


Taman buru adalah kawasan hutan konservasi yang bisa dimanfaatkan untuk
mengakomodir wisata berburu. Keberadaan taman buru bertujuan untuk
mewadahi hobi berburu yang telah ada sejak dahulu kala, selian itu juga bisa
digunakan untuk mengendalikan populasi satwa tertentu. Kegiatan perburuan di
taman buru diatur secara ketat, terkait dengan hal-hal waktu atau musim
berburu, jenis binatang yang boleh diburu, dan senjata yang boleh dipakai.
Pengertian taman buru dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan adalah Kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
Taman buru termasuk dalam kawasan hutan konservasi, yaitu kawasan hutan yang
berfungsi untuk mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Segala pemanfaatan dan aktivitas yang dilakukan di dalamnya
harus mengikuti ketentuan konservasi. Taman buru dikategorikan ke dalam hutan
konservasi. Selain taman buru, hutan konservasi mencakup juga kawasan suaka
alam (cagar alam, suaka margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (taman
nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam).

2.3 Ekosistem dan Ekosistem Hutan


Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimana pun mereka berada tidak
akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung
kepada organisme lain dan semua komponen lingkungan yang dapat dipandang
sebagai sumber daya alam untuk keperluan pangan, papan atau tempat berlindung,
sandang, serta kegunaan lain sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Dengan
demikian, antar organisme yang satu dengan yang lainnya, serta dengan semua
komponen lingkungannya itu mempunyai hubungan timbal balik secara langsung
maupun tidak langsung (Indriyanto, 2006).
Hubungan antara organisme yang satu dengan organisme yang lainnya dan
semua komponen lingkungannya sangat kompleks dan bersifat timbal balik.
Hubungan yang demikian itu alamiah, artinya hubungan yang terjadi otomatis
pada sistem alam atau ekologi dikenal dengan ekosistem (Resosoedarmo, dkk.,
1986). Komponen ekosistem yang lengkap harus mencakup produsen, konsumen,
pengurai, dan komponen abiotik.
2.4 Hutan
Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Menurut Undang –
undang tersebut, Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumberdaya alam, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat di pisahkan.
Pengertian hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh
pepohonan dan tumbuhan lainnya.Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan
dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang
menempati daerah yang cukup luas. Hutan adalah suatu areal yang luas dikuasai
oleh pohon, tetapi hutan bukan hanya sekedar pohon. Termasuk didalamnya
tumbuhan yang kecil seperti lumut.semak belukar dan bunga – bunga hutan. Di
dalam hutan juga terdapat beranekaragam burung ,serangga dan berbagai jenis
binatang yang menjadikan hutan sebagai habitatnya.
Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-
tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat
penting bagi kehidupan dibumi ini. Hutan juga merupakan suatu asosiasi dari
tumbuh-tumbuhan yang sebagian besar terdiri atas pohon-pohon atau vegetasi
berkayu yang menempati areal luas. Hutan juga sebagai suatu masyarakat
tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon da mempunyai keadaan
lingkungan berbeda dengan keadaan di luar hutan. Di dalam hutan juga akan
terjadi persaingan antar anggota-anggota yang hidup saling berdekatan, misalnya
persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari, ataupun tempat
tumbuh. Persaingan tidak hanya terjadi pada tumbuhan saja, tetapi juga pada
binatang (Arief, 2001).

2.5 Analisis Vegetasi


Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau
komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-
tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan
penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis,
diameter, dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun
komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi
kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.
Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan
dominasi setiap jenis (Marsono 1977).
Analisis vegetasi berfungsi untuk mengetahui struktur vegetasi dan
komposisi jenis tumbuhan. Menurut Fachrul (2007), analisis vegetasi dapat juga
digunakan untuk mengetahui pengaruh dampak lingkungan merupakan suatu cara
pendekatakan yang khas, karena pengamatan terhadap berbagai aspek vegetasi
yang dilakukan harus secara mendetail dan terdiri atas vegetasi yang belum
terganggu (alamiah). Aspek-aspek vegetasi yang perlu diketahui antara lain:
a. Ada atau tidaknya jenis tumbuhan tertentu,
b. Luas basal area,
c. Luas daerah penutup (cover),
d. Frekuensi,
e. Kerapatan,
f. Dominansi,
g. Nilai penting.
Analisis vegetasi yang dilakukan pada area luas tertentu umumnya
berbentuk segi empat, bujur sangkar, lingkaran serta titik-titik. Untuk tingkat
semai serta tumbuhan bawah yang rapat digunakan petak contoh titik atau bentuk
kuadrat untuk tumbuhan yang tidak rapat.

2.6 Herbarium
Herbarium mempunyai dua pengertian, pertama diartikan sebagai tempat
penyimpanan spesimen tumbuhan, baik yang kering maupun basah. Selain tempat
penyimpanan juga digunakan untuk studi mengenai tumbuhan terutama untuk
tatanama dan klasifikasi. Herbarium sangat erat kaitannya dengan kebun botani,
institusi riset, ataupun pendidikan (Vogel, 1987). Menurut Index Herbariorum,
edisi 8 tahun 1990 tercatat sekitar 272.800.926 spesimen telah tersimpan di 2639
herbarium yang tersebar di 147 negara. Pengertian kedua dari herbarium adalah
spesimen (koleksi tumbuhan), baik koleksi basah maupun kering. Spesimen
kering pada umumnya telah dipres dan dikeringkan, serta ditempelkan pada kertas
(kertas mounting), diberi label berisi keterangan yang penting dan sulit dikenali
secara langsung dari specimen kering tersebut, diawetkan serta disimpan dengan
baik ditempat penyimpanan yang telah disediakan. Spesimen basah yaitu koleksi
yang diawetkan dengan menggunakan larutan tertentu, seperti FAA atau alcohol.

BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum lapang Pengelolaan kawasan konservasi dan ekowisata
dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 13-14 Oktober 2018 yang
berlokasi di Taman Buru Masigit Kareumbi .
3.2 Alat dan Bahan
3.3 Cara Kerja
BAB IV
KONDISI UMUM

4.1 Sejarah Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi


Masigit diambil dari Pasir Masigit yang terletak di sebelah timur kawasan.
Sedangkan Kareumbi berasal dari gunung Kareumbi di sebelah barat kawasan.
Kareumbi juga nampaknya diambil dari nama sebuah pohon, yaitu pohon
Kareumbi (Homalanthus populneus) yang semestinya dahulu banyak terdapat di
gunung tersebut. Karena termasuk kawasan konservasi, kawasan ini menjadi
tanggung jawab Departemen Kehutanan cq. Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam cq. Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam
(BBKSDA) Jawa Barat. TB. Gunung Masigit Kareumbi saat ini berada di bawah
koordinasi Bidang Wilayah II dan Seksi Konservasi Wilayah III BBKSDA Jabar.
Gambar 1. Milestone Pengelolaan Kawasan

Periode 1921 – 1927


Berdasarkan Gouvernment Besluit No. 69 tanggal 26 Agustus 1921 dan
Gouvernment Besluit No. 27 tanggal 27 Agustus 1927, komplek hutan Gunung
Masigit Kareumbi ditetapkan sebagai kawasan Hutan (1).
Periode 1950an
Kawasan hutan Gunung Masigit Kareumbi dikelola oleh Dinas Kehutanan
Propinsi Jawa Barat. Dan selama dalam pengelolaan ini telah dilakukan kegiatan
reboisasi antara tahun 1953 – 1976 dengan jenis tanaman pinus, rasamala, dan
puspa seluas 4809,98 Ha (1).
Periode 1966
Pada sekitar tahun 1966, Pangdam Siliwangi, Bpk. Ibrahim Adjie
memprakarsai pengembangan usaha di kawasan ini. Beliau membangun rumah di
salah satu pintu masuk kawasan, yang selanjutnya disebut blok KW. Karena
kesukaan terhadap olahraga berburu, beliau juga mengembangkan dan
mengintroduksi berbagai jenis rusa, diantaranya Rusa Sambar (Cervus unicolor),
Rusa Timor (Cervus timorensis), dan Rusa Tutul (Axis axis) (2). Usaha ini
dilakukan bersama-sama dengan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat dengan
seksi PPA Jawa Barat II dan Pemda Kabupaten bandung dengan tujuan
memanfaatkan sumberdaya satwa liar yang dibina secara baik, sekaligus
mengelola secara efisien. Jumlah rusa yang di introduksi sebanyak 25 ekor pada
lahan berpagar seluas ±4 ha. Setahun kemudian pagar tersebut dibuka dan rusa
dilepaskan ke dalam hutan (1).
Periode 1970 – 1988
Melalui SK. Menteri Pertanian No 297/Kpts/Um/5/1976 tanggal 15 Mei 1976
kawasan ini ditetapkan sebagai Hutan Wisata dengan fungsi Taman Buru.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 1978 tentang berdirinya
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, ditetapkan bahwa wilayah kerja Perum
Perhutani III meliputi bekas wilayah Dinas Kehutanan Jawa Barat, diantaranya
kawasan TB. Masigit Kareumbi. Kemudian pada tahun 1980 dilakukan penataan
batas luar oleh Direktorat Jenderal INTAG Departemen Kehutanan. Peta lampiran
batas luar ini disahkan oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 2 Februari 1982.
Pada periode ini dibuatlah Rencana Pengelolaan (Management Plan) Hutan
Wisata Buru Gunung Masigit-Kareumbi Tahun 1979 – 1984 oleh Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Dalam rencana pengelolaan
tersebut, dilakukan pembagian zonasi ke dalam 4 zona, yaitu:
1. Zona Semi Perlindungan (Wilderness Zone) seluas ± 7.800,7 ha.
2. Zona Rekreasi (Intensive Use Zone) seluas ± 520 ha.
3. Zona Perlindungan (Sanctuary Zone) seluas ± 4.100 ha.
4. Zona Penyangga (Buffer Zone) meliputi areal berjarak ± 500 m dari batas
kawasan ke arah luar
Periode 1988 – 1998
Kemudian pada tahun 1990 dilakukan program Perencanaan Tapak (Site
Plan) oleh Fakultas Kehutanan IPB kerja sama dengan BKSDA III. Dalam
dokumen tersebut pembagian kewilayahan kawasan dilakukan sebagai berikut:
1. Zona pengelolaan di Blok KW, Ciceuri, Cipancar dan Cibugel,
Cikudalabuh
2. Zona pengembangbiakan satwa buru di blok KW dan Cibugel
3. Zona buru yang merupakan sebagian besar kawasan
4. Zona non-buru di Blok Cipancar dan Ciceuri
5. Zona penyangga diluar kawasan
Kemudian pada tahun 1992 dilakukan kembali program pembuatan rencana
pengelolaan (management plan) dari Direktorat Jenderal PHPA yang disusun oleh
PT. Aristan Ekawasta. Dalam konsep tersebut, kawasan dibagi dalam:
1. Zona pengelolaan intensif
2. Zona penangkaran
3. Zona peliaran dan perlindungan satwa buru
4. Zona padang buru di
5. Zona wisata alam lainnya, dan
6. Zona desa binaan/ daerah penyangga
Sehingga pada tahun 1990 – 1993 ini dapat disebutkan bahwa TB. Masigit
Kareumbi dijadikan proyek percontohan oleh BKSDA III dengan sumber dana
mencapai Rp. 520 juta. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk
pembangunan sarana dan prasarana (1). Dalam Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 104/Kpts/II/1993 tanggal 20 Februari 1993, maka hak
pengusahaan TB. Gunung Masigit Kareumbi diserahkan kembali kepada Perum
Perhutani (1). Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
141/Kpts/II/1998 tanggal 25 Februari 1998, Pengusahan Taman Buru Gunung
Masigit Kareumbi oleh Perum Perhutani kembali dicabut (1).

Periode 1998
Muncul surat dari Menteri Kehutanan No. 235/Menhut/-II/1998, tanggal 25
Februari 1998 yang menyetujui bahwa Hak pengusahaan Taman Buru Gunung
Masigit Kareumbi diserahkan kepada PT. Prima Multijasa Sarana (PMS) yang
berada di blok pemanfaatan dan blok buru seluas 7.560,72 ha. Sedangkan sisanya
seluas 4809,98 ha yang didalamnya terdapat tegakan pinus, hak pengusahaannya
diserahkan kepada Perum Perhutani. Hak pengusahaan tersebut mencakup ijin
untuk memanfaatkan dan menyadap getah. Dalam perjalanannya kawasan ini
kemudian ditetapkan melalui SK. Menhut No. 298/Kpts-II/98 tanggal 27 Pebruari
1998 dan nama resminya adalah Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi. Surat
Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan No. 733/II/Kum/1998 Tanggal 16
April 1998, tentang Ijin Prinsip Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi
dinyatakan bahwa ijin Pengusahaan Perburuan bertanggung jawab atas kelestarian
fungsi kawasan. Selain itu, kepada Perum Perhutani diberi kesempatan untuk
menyadap getah pinus dan tidak untuk memanfaatkan kayu. Berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 923/Kpts-II/1999 Tanggal 14
Oktober 1999, diberikan ijin Pengusahaan Taman Buru kepada PT. PMS pada
blok pemanfaatan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi. Namun dalam
perjalanannya, pihak pengelola ini terkait kasus penebangan hasil hutan terutama
kayu yang menyeret banyak pihak kepada hukum, terutama pihak pengelola
sendiri sampai akhirnya kawasan ini diambil lagi pengelolaannya oleh BKSDA.
Periode 2008 s/d Sekarang
Sampai tahun 2008, kawasan ini terutama area “KW” berada dalam kondisi
terbengkalai. Infrastruktur dan bangunan yang dibangun oleh pengelola
sebelumnya termasuk oleh pemrintah dan berbagai program yang telah
diluncurkan lambat laun rusak. Sebagian besar konstruksi bangunan dan
infrastruktur, termasuk bangunan rumah pak Ibrahim Adjie dicuri orang.
Bangunan Pusat Informasi Taman Buru milik BKSDA juga tak luput dari
perusakan dan sudah tidak dapat digunakan kembali. Wisma Pemburu, kompleks
taman safari mini, kolam renang, rumah sakit hewan bahkan mesjid juga tidak
luput dari kerusakan. Selain itu, perambahan kawasan untuk pertanian dan
pengambilan kayu untuk keperluan bahan bangunan serta kayu bakar juga marak.
Demikian juga perburuan liar yang menyebabkan satwa terutama rusa tak
berbekas. Pada sekitar tahun 2006, sesepuh Wanadri yang sering melakukan
perjalanan ke kawasan ini, Remi Tjahari (W-090-LANG) melihat potensi
kawasan yang sangat besar. Namun di balik potensi kawasan sebagai daerah
konservasi dan sangat layak dikembangkan untuk wisata dan pendidikan alam
terbuka juga terdapat potensi kerusakan lingkungan bila tidak dikelola dengan
baik. Akhirnya pada tahun 2007, Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki
Gunung Wanadri menyampaikan minat untuk melakukan pengelolaan kawasan
pada pihak Kementrian Kehutanan dan BBKSDA. Setelah menempuh berbagai
kewajiban diantaranya pembuatan Rencana Jangka Pendek dan Menengah, pada
bulan April tahun 2008, BBKSDA mengeluarkan surat keputusan No: 750/
BBKSDA JABAR. 1/ 2008 yang kemudian direvisi oleh SK No. 1111/BBKSDA
JABAR.1/2009 yang pada intinya menyatakan bahwa BBKSDA setuju untuk
melakukan kerjasama kemitraan Optimalisasi Pengelolaan Kawasan dengan
Wanadri dan mekanisme kerjasamanya ditelurkan kedalam dokumen tersebut
dengan diketahui oleh Departemen Kehutanan.
Selanjutnya, pihak Dewan Pengurus Wanadri menunjuk Koperasi Wanadri
melalui surat No: 02/ SPK/ DP/ XX/ W/ IV/ 2008 untuk membentuk sebuah
badan otonom yang dapat melakukan fungsi-fungsi pengelolaan di TBMK.
Maka pada akhir 2008 dibentuklah tim yang disebut Tim Manajemen Pengelola
Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi.

4.2 Letak, Luas, dan Pembagian Blok


Kawasan hutan Gunung Masigit Kareumbi ditetapkan sebagai Taman Buru
berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 298/Kpts-II/1998 tanggal 27
Februari 1998 dengan luas 12.420,70 Ha.
Gambar 2. Peta Letak Taman Buru Masigit Kareumbi

Secara Administrasi Pemerintahan kawasan ini sebagian besar termasuk ke


dalam wilayah Kabupaten Sumedang dan sisanya masuk wilayah Kabupaten
Garut dan Bandung. Secara geografis kawasan TB. Gunung Masigit-Kareumbi
terletak antara 6° 51′ 31” - 7° 00′ 12” LS dan 107° 50′ 30″ - 108° 1′ 30” BT. Data
dasar Kawasan yang didapat dari BBKSDA Jabar adalah sebagai berikut:
a. Panjang Batas (1980): 128,46 KM
b. Orientasi Batas (1997): Pal batas seluruh 2201 buah (1117 baik, 802 rusak, 282
hilang
c. Penataan Batas Blok: Blok Pemanfaatan (7667,99 Ha), Blok Penyangga
(4753,51 Ha)

4.3 Kondisi Abiotik


Menurut administrasi pemerintahan terbagi dalam dua wilayah yaitu bagian
utara termasuk Desa Cisampih, Kecamatan Cadasngampar dan bagian selatan
termasuk Desa Sukamanah Kecamatan Wado, Kabupaten Sumedang. Topografi
kawasan bervariasi dari bergelombang sedang, berbukit, sampai bergunung-
gunung pada ketinggian tempat antara 454 - 742 mdpl. Topografi kawasan
umumnya berbukit dan bergunung dengan puncak tertinggi adalah Gunung
Karenceng ± 1.736 mdpl, sudut kemiringan bervariasi dari 20% - 30%. Menurut
Schmidt dan Ferguson, kawasan ini termasuk kedalam tipe iklim C dengan curah
hujan rata-rata 2.439 mm/thn di Cadasngampar dan 3.175 mm di Wado. kawasan
ini termasuk tipe iklim C dengan curah hujan rata-rata per tahun 1900 mm,
kelembaban udara berkisar antara 60 – 90 % dan temperatur rata-rata 23 º C.

4.4 Kondisi Biotik


Taman Buru Masigit Kareumbi di dominasi oleh jenis Pasang (Quercus sp.),
Saninten (Castanea argentea), Puspa (Schima walichii), Rasamala (Altingia
excelsea). Sedangkan tumbuhan bawahnya terdiri dari tepus (Zingiberaceae),
Congok (Palmae), Cangkuang (Pandanaceae) dan lain-lain. Dari jenis liana dan
epiphyt yang terdapat di kawasan ini adalah Seuseureuhan (Piper aduncum),
Angbulu (Cironmera anbalqualis), Anggrek Merpati (Phalaenopsis sp), Anggrek
Bulan (Phalaenopsis amabilis), Kadaka (Drynaria sp), dan lain-lain. Hutan
tanaman ± 40 % didomonir oleh jenis pinus (Pinus merkusii), Bambu (Bambusa
sp), dan Kuren (Acasia decurens).
Jenis-jenis fauna yang ada di kawasan TB G. Masigit Kareumbi antara lain:
Babi hutan (Sus vitatus), Rusa Tutul (Axis axis), Kijang (Muntiacus muntjak),
Anjing hutan (Cuon javanica), Macan tutul (Panthera pardus), Kucing hutan
(Felis bengalensis), Ayam hutan (Gallus sp), Kukang (Nycticebus coucang),
Bultok (Megalaema zeylanica), Kera (Macaca fascicularis), Lutung
(Tracypithecus auratus) dan Burung Walik (Chalcophals indica).

4.5 Aksesibilitas
Ada beberapa pintu masuk ke kawasan TBMK.
1. KW: Bandung – Rancaekek – Bypass Cicalengka – Sindangwangi –
Tanjungwangi, jarak ± 43 Km.
2. Cipancar: Bandung – Sumedang – Cipancar jarak ± 47 Km, ke lokasi ± 1,5 Km
3. Cibugel: Bandung – Limbangan – Cibugel jarak ± 68 Km, Cibugel- lokasi ±3
Km
Pintu masuk selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Pintu Masuk Blok KW. (Cigoler) Ditempuh dengan route jalan Bandung
– Cicalengka – Sindangwangi – Tanjungwangi – Blok KW. Jarak kota
Bandung – Cicalengka ± 30 Km, menggunakan jalan raya propinsi atau
dengan kereta api. Dari Cicalengka menuju Sindangwangi (± 13 Km)
dengan jalan beraspal hotmix dalam kondisi baik (2009), dari
Sindangwangi melintasi Kp. Leuwiliang menuju pintu masuk Blok KW
(±2 Km) berupa jalan aspal kelas III dengan kondisi agak jelek dan
sempit. Dari pintu masuk menuju blok KW ±1 km jalan berbatu
makadam dengan kondisi agak jelek. Lokasi KW dapat dilalui dicapai
oleh kendaraan roda empat, truk tentara dan bis mini (30 seat).
STATUS: AKTIF
2. Pintu masuk CIbugel / Cikudalabuh, dapat ditempuh melalui route
Bandung – Balubur Limbangan – Cibugel (±68 Km), atau melalui route
Bandung – Sumedang – Darmaraja – Cibugel (±72 Km), jalan beraspal
dengan kondisi baik. Dari Cibugel menuju lokasi Cikudalabuh (±3 Km)
jalan berbatu dengan kondisi agak jelek.
STATUS: TIDAK AKTIF
3. Pintu Masuk Ciceuri, ditempuh melalui route Bandung – Tanjungsari –
Haurgombong – Ciceuri (±28 Km), sebagian kondisi jalan dari
Haurgombong menuju lokasi Blok Ciceuri (±3 Km) berbatu dengan
kondisi baik.
STATUS: TIDAK AKTIF
4. Pintu Masuk Cipancar, ditempuh melalui route Bandung – Sumedang
menuju CIpancar (±47 Km) dengan jalan beraspal kondisi baik,
selanjutnya dari Cipancar ke lokasi (± 1,5 Km) dengan kondisi jalan agak
jelek.
STATUS: TIDAK AKTIF
Pintu masuk utama menuju lokasi yang sudah dikelola oleh Manajemen
adalah yang melalui Cicalengka. Lokasi pintunya disebut “KW” yang merupakan
singkatan dari “Kawasan Wisata“. Pintu ini terletak di kampung Leuwiliang,
Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. KW dapat
dicapai lebih kurang 14km dari kota Cicalengka, atau sekitar 90 menit berkendara
dari Bandung. Jarak dari pintu tol. Jarak dari Tol Pasteur sampai KW adalah 62
kilometer.

Gambar 3. Peta Arah ke Kawasan Wisata TBMK

4.6 Visi Misi


BAB V
HASIL DATA

1. Data Pengamatan Burung dan Mamalia

Thally Sheet Pengambilan Data Burung

Titik :1

Waktu : Pukul 07.00

No Nama Jenis Ʃ Jenis Aktivitas Nilai Estetika


Vegetasi Satwa
1 Kacamata 1 - Terbang Berukuran agak kecil,
Biasa berwarna kuning
kehijauan bagian perut
berwarna putih, sayap dan
ekor hitam.dibagian mata
tedapat lingkaran
berwarna putih
menyerupai kacamata.
.
2 Layang- 1 - Terbang Berukuran kecil , bagian
layang perut berwarna lebih
terang. Tubuh bagian atas
berwarna hitam, sayap
agak lebar dan disertai
dengan paruh berwarna
hitam.

3 Srigunting 1 Puspa Bertengger di Berukuran sedang,semua


hitam pohon bagian tubuh berwarna
hitam, bagian disekitar
mata berwarna lebih
gelap, mata juga berwarna
hitam, ketika bertengger
ekor seperti bentuk ekor
ikan.
.
Thally Sheet Pengambilan Data Burung

Titik :2

Waktu : Pukul 07.00

No Nama Jenis Ʃ Jenis Aktivitas Nilai Estetika


Vegetasi Satwa
1 Pranjak 1 - Terbang Berukuran agak kecil,
Jawa kepala berwarna jingga
kecoklatan, kaki berwarna
oranye, bagian perut
berwarna putih, sayap
berwarna coklat.

2 Kacamata 2 Puspa Bertengger di Berukuran kecil (11 cm),


Gunung pohon berperut putih atau kelabu.
Tubuh bagian atas hijau-
zaitun, perut
keputihputihan,sisi tubuh
kecoklatan.
3 Jingjing 1 Puspa Bertengger di Berukuran kecil (14 cm),
Batu pohon memiliki paruh runcing
berwarna hitam,bagian
leher dan badan berwarna
putih, sayap berwarna
hitam serta kepala juga
memiliki warna hitam.

Thally Sheet Pengambilan Data Burung

Titik :3

Waktu : Pukul 07.00

No Nama Jenis Ʃ Jenis Aktivitas Nilai Estetika


Vegetasi Satwa
1 Kacamata 2 Puspa Bertengger di Berukuran kecil (11 cm),
Gunung pohon berperut putih atau
kelabu. Tubuh bagian atas
hijau-zaitun, perut
keputihputihan,
sisi tubuh kecoklatan.
Tiga ras berbeda-beda
dalam ciri-cirinya, tetapi
semua dapat dibedakan
dengan
burung kacamata lain oleh
tidak adanya warna
kuning pada perut dan iris
yang putih khas.
Iris putih, paruh atas
hitam, paruh bawah lebih
pucat, kaki hitam.
3 Layang- 1 - Terbang Berukuran kecil , bagian
layang perut berwarna lebih
terang. Tubuh bagian atas
berwarna hitam, sayap
agak lebar dan disertai
dengan paruh berwarna
hitam.

Thally Sheet Pengambilan Data Burung

Titik :4

Waktu : Pukul 07.00

No Nama Jenis Ʃ Jenis Aktivitas Nilai Estetika


Vegetasi Satwa
1 Kepudang 1 Puspa Sedang Berukuran agak kecil (20
Sungu Kecil makan cm), berwarna gelap,
menyerupai bentet. Jantan
memiliki tubuh abu-abu
gelap,
bagian bawah lebih pucat,
sayap dan ekor hitam,
kepala kehitaman. Betina
berwarna lebih pucat
daripada jantan,
dengan garis-garis pucat
pada bagian bawah.
2 Kacamata 2 Puspa Bertengger di Berukuran kecil (11 cm),
Gunung pohon berperut putih atau
kelabu. Tubuh bagian atas
hijau-zaitun, perut
keputihputihan,
sisi tubuh kecoklatan.
Tiga ras berbeda-beda
dalam ciri-cirinya, tetapi
semua dapat dibedakan
dengan
burung kacamata lain oleh
tidak adanya warna
kuning pada perut dan iris
yang putih khas.
Iris putih, paruh atas
hitam, paruh bawah lebih
pucat, kaki hitam.
3 Cipoh Kacat 1 Puspa Bertengger di Berukuran kecil (14 cm),
pohon berwarna hijau dan
kuning dengan dua garis
putih mencolok pada
sayap.
Tubuh bagian atas hijau
zaitun, sayap kehitaman,
tetapi sisi bulu putih,
lingkar mata kuning.
Tubuh bagian bawah
kuning. Ras-ras pada
masing-masing pulau
bervariasi warna hijaunya.
Perbedaannya dengan
Cipoh jantung yaitu
kekang dan dada
berwarna kuning.
Iris putih keabuan, paruh
hitam kebiruan, kaki
hitam kebiruan.

Thally Sheet Pengambilan Data Mamalia

Ulangan Nama Lokasi Waktu Aktivitas Satwa Jumlah


1 Tupai Titik 1 07.15 Mencari Makan 1
1 Tupai Titik 2 07.10 Mencari Makan 1

2. Data Abiotik

No Data Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rerata


1 Lebar Sungai (meter) 5.0 4.8 4.7 4.83
2 Lebar Badan 5.19 5.14 5.21 5.18
Sungai (meter)
3 Kedalaman (meter)
D1 2 2.5 2 2.16
D2 7 7.5 7 7.16
D3 4 3 3.5 3.5
Rerata 4.27
4 Kecerahan
Titik D1 35.12% 40.98% 35.12% 37.07%
Titik D2 117.09% 105.38% 117.09% 113.19%
Titik D3 70.26% 58.55% 52.69% 60.5%
Rerata 70.25%
5 Kecepatan arus
(m/s)
Seksi 1 1’33’’ 33’’ 34’’ 53’’
Seksi 2 8’’ 7’’ 6’’ 7’’
Seksi 3 25’’ 10’’ 11’’ 15’’
Seksi 4 15’’ 20’’ 20’’ 18’’
6 20° 20° 20° 20°
Suhu Air (°C)
7 pH Air 18 18 18 18
8 Suhu Udara (°C) 27° 27° 27° 27°
9 Termometer bola 19° 19° 19° 19°
basah (°C)
10 Kelembaban Udara 80% 80% 80% 80%

𝐷1+𝐷2+𝐷3
D= 3

2.16+7.16+3.5
= 3

= 4.27

Titik D1 Titik D2 Titik D3


𝐿1+𝐿2 7+3 4+2
C1 = 𝑥100% C1 = 8.54 𝑥100% C1 8.54 𝑥100%
2𝐷

2+1
= 8.54 𝑥100% = 117.09% = 70.26%

= 35.12%
2.5+1 6+3 3+2
C2= 𝑥100% C2 = 8.54 𝑥100% C2 8.54 𝑥100%
8.54

= 40.98% = 105.38% = 58.55%


2+1 7+3 3.5+1
C3 = 8.54 𝑥100% C3 = 8.54 𝑥100% C3= 8.54 𝑥100%

= 35.12% = 117.09% = 52.69%


3. Data Serangga

No. Nama Indonesia Nama Latin Jumlah


1. Ngengat Daphnis Sp 1
2. Nyamuk Cullex 1

BAB VI
PEMBAHASAN

BAB VII
PENUTUP
7.1 Penutup
7.2 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Dephitbun RI Jakarta. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang-


Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara
Lavieren VLP. 1983. Planning & Management of Parks & Reserves. Schol of
Environmental Conservation Management, Edwar Elgar Publishing Ltd.
Uk. 522 hlm.
Marsono, DJ. 1977. Diskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi Tropika. Yayasan
Pembina Fakultas Kahutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Taufik H. 2005. Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung
Ciremai; Suatu Rancangan Model, Pustaka LATIN. Bogor. Indonesia.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
Vogel, E.F. De. 1987. Manual of Herbarium Taxonomy. Theory and Practice.
Unesco. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai