Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keanekaragaman

hayati serta endemisme (keunikan) yang sangat tinggi sehingga dimasukkan

dalam salah satu negara megabiodiversity. Menurut World Conservation

Monitoring Commitee (1994), kekayaan alam Indonesia berupa keanekaragaman

hayati tersebut mencakup 27.500 jenis tumbuhan berbunga (10 % dari seluruh

jenis tumbuhan di dunia), 515 jenis mamalia (12% jenis mamalia di dunia), 1.539

jenis burung (17% dari seluruh jenis burung di dunia), dan 781 jenis reptilia dan

amphibia (16% dari seluruh reptilia dan amphibia di dunia).

Predikat sebagai negara mega-biodiversity, baik dari segi

keanekaragaman genetik, jenis, maupun ekosistemnya memang cukup

membanggakan, di samping menuntut adanya tanggung jawab yang sangat besar

untuk dapat mempertahankan keseimbangan antara kelestarian fungsi (ekologis)

dan kelestarian manfaat (ekonomis) keanekaragaman hayati.

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tipe hutan

yang beragam. Ada 13 tipe hutan yang masing-masing dibentuk oleh

karakteristik yang khas. Sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan

konservasi kaya dengan keanekaragaman hayati, ekosistem alam, dan nilai

budaya, menyediakan potensi yang sangat tinggi bagi pengembangan ke depan.

Jika ditinjau dari berbagai aspek, kawasan konservasi memilki sifat dan

1
karakteristik yang berbeda dengan kawasan lainnya. Sifat dan karakteristik

kawasan konservasi di suatu tempat dapat pula berbeda dengan kawasan

konservasi di tempat yang lain, akibat perbedaan ekosistemnya.

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dimaksud dengan cagar alam adalah

kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan

tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi

dan perkembangannya berlangsung secara alami.

Kawasan Cagar Alam Lifamatola merupakan salah satu cagar alam yang

memiliki hutan tropis dengan beberapa ekosistem didalamnya. Diantaranya hutan

mangrove, hutan pantai, dan hutan tropis dataran rendah. Keanekaraman flora

dan fauna yang terdapat didalamnya merupakan sumber plasma nutfah yang

sangat penting peranannya bagi pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan,

disamping manfaat lain sebagai perlindungan tata air, pemanfaatan jasa

lingkungan serta pariwisata yang dapat menunjang kesejahteraan masyarakat.

Pulau Lifamatola ditetapkan sebagai kawasan konservasi cagar alam

berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 285/Kpts-II/1995 dengan luas

kawasan 1.690 hektar. Ditetapkan sebagai cagar alam karena keadaan alamnya

memiliki kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya, Cagar Alam Lifamatola

merupakan salah satu habitat dari satwa endemik kawasan Wallacea, antara lain :

Kakatua Alba (Cacatua alba ), Nuri raja (Alisterus amboinensis ), Kasturi ( Eos

squamata ), Serindit (Loriculus amabilis ), Betet sula ( Prioniturus platurus ),

2
Perkicit sula (Trichoglossus Flavoviridis ), disamping satwa-satwa endemik

pulau lainnya.

Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi merupakan suatu koleksi yang

unik dan mempunyai potensi genetik yang besar pula. Namun hutan yang

merupakan sumberdaya alam ini telah mengalami banyak perubahan dan sangat

rentan terhadap kerusakan. Tekanan ekonomi masyarakat telah mendorong

eksploitasi hutan secara terus menerus. Sebagai salah satu pendapatan

masyarakat, hutan telah dieksploitasi secara besar-besaran untuk diambil

kayunya. Eksploitasi ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan dengan sangat

cepat. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya konversi lahan hutan secara

besar-besaran untuk lahan pemukiman, pertanian, perkebunan,dan peternakan

serta kebakaran hutan bisa saja terjadi di sepanjang tahun.

Dampak ke depan dari eksploitasi adalah merubah struktur hutan

sehingga banjir terjadi pada musim penghujan dan kekeringan pada musim

kemarau sehingga fungsi hutan sebagai pengatur tata air telah terganggu dan

telah mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada di

dalamnya. Untuk mencegah hal tersebut maka diperlukan suatu rencana

pengelolaan kawasan dengan tetap mengacu kepada hutan sebagai satu ekosistem

yang utuh dan masyarakat sekitar kawasan. Hutan sebagai ekosistem harus dapat

dipertahankan kualitas dan kuantitasnya dengan cara pendekatan konservasi

dalam pemanfaatan ekosistem hutan. Pemanfaatan ekosistem hutan akan tetap

dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fungsinya.

3
Minimnya data potensi yang ada menyebabkan kurangnya pengetahuan

terhadap kawasan Cagar Alam Lifamatola sehingga untuk menyusun suatu

rencana pengelolaan tidaklah mungkin. Untuk itu berdasarkan SK penunjukan

kawasan BKSDA Maluku berkewajiban melakukan kegiatan pengumpulan data

serta informasi yang ada di dalam kawasan. Untuk itu guna mengetahui berbagai

potensi flora dan fauna dan potensi – potensi lain yang ada pada Cagar Alam

Lifamatola maka perlu dilakukan kegiatan Inventarisasi dan Identifikasi potensi

kawasan yang nantinya dapat menyediakan data terbaru tentang potensi kawasan

konservasi Cagar Alam Lifamatola guna pengelolaan dan pengembangan

kawasan kedepan.

B. Tujuan

Kegiatan Inventarisasi dan Identifikasi Potensi Kawasan Cagar Alam

Lifamatola bertujuan untuk :

1. Mengetahui potensi sumberdaya alam baik flora, fauna, maupun potensi –

potensi lain yang ada di Cagar Alam Lifamatola.

2. Mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar

kawasan Cagar Alam Lifamatola.

4
C. Sasaran

Sasaran yang ingin dicapai pada pelaksanaan kegiatan Inventarisasi dan

Identifikasi potensi kawasan Cagar Alam Lifamatola adalah :

 Tersedianya data potensi sumberdaya alam baik flora, fauna, maupun potensi

lain yang ada pada kawasan Cagar Alam Lifamatola.

D. Dasar Hukum

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya

2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan

dan Satwa.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan

Tumbuhan dan Satwa.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan.

6. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 67/Menhut-II/2006 Tentang

Kriteria dan Standarisasi Inventarisasi Hutan.

7. Surat Perintah Tugas (SPT) Kepala Balai KSDA Maluku Nomor : PT. 18 /

IV-K.30/Peg/2009.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hutan

Pengertian hutan menurut Permenhut No. 67 tahun 2006 adalah suatu

kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati

yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan menurut definisi lain,

hutan adalah kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan

menutup areal yang cukup luas sehingga dapat membentuk iklim mikro dan

kondisi ekologis yang khas serta berbeda dengan areal luarnya (Anonimous

1997). Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan

hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan

dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan.

Dalam suatu ekosistem hutan terdapat suatu hubungan timbal balik

antara komponen-komponen didalamnya, dimana dalam ekosistem yang utuh

sudah terbentuk suatu kesetimbangan antara komponen. Terganggunya satu

komponen akan menyebabkan komponen lain dalam hutan terpengaruh

sehingga ekosistem akan bergerak mencari kesetimbangan yang baru, sebagai

contoh adalah pembukaan hutan yang tidak terkontrol akan menyebabkan

berkurangnya populasi suatu satwa sebagai akibat kurangnya tempat tinggal

sampai terbentuknya kesetimbangan baru.

6
B. Struktur dan Komposisi Vegetasi

Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) membagi struktur vegetasi

menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur

biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik, struktur tegakan. Menurut

Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu:

1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan

diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan,

semai dan herba penyusun vegetasi.

2. Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak

dari suatu individu terhadap individu lain.

3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.

Hutan hujan tropika terkenal karena pelapisannya, ini berarti bahwa

populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur

secara kontinyu. Tampaknya pelapisan vertikal komunitas hutan itu mempunyai

sebaran populasi hewan yang hidup dalam hutan itu. Sering terdapat suatu atau

beberapa populasi yang dalam kehidupan dan pencarian makanannya

(Whitmore,1975).

Selanjutnya Kershaw (1973) menyatakan, stratifikasi hutan hujan

tropika dapat dibedakan menjadi 5 lapisan, yaitu : Lapisan A (lapisan

pohonpohon yang tertinggi atau emergent), lapisan B dan C (lapisan pohon-

pohon yang berada dibawahnya atau yang berukuran sedang), lapisan D

(lapisan semak dan belukar) dan lapisan E (merupakan lantai hutan). Struktur

7
suatu masyarakat tumbuhan pada hutan hujan tropika basah dapat dilihat dari

gambaran umum stratifikasi pohon-pohon perdu dan herba tanah.

Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekwensi,

kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis jenis

lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa,persentase

penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan

(Soerianegara dan Indrawan,1988).

Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu

luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Frekwensi suatu jenis tumbuhan

adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah

petak contoh yang dibuat. Biasanya frekwensi dinyatakan dalam besaran

persentase. Basal area merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah

yang dikuasai oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal areal diduga dengan

mengukur diameter batang (Kusuma, 1997).

Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka

daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah.

Keanekaragaman jenis terdiri dari 2 komponen; Jumlah jenis dalam komunitas

yang sering disebut kekayaan jenis dan kesamaan jenis. Kesamaan

menunjukkan bagaimana kelimpahan species itu (yaitu jumlah individu,

biomass, penutup tanah, dan sebagainya) tersebar antara banyak species itu

(Ludwiq and Reynolds, 1988).

8
C. Analisis Vegetasi

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari

beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme

kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama

individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya

sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis

(Marsono, 1977).

Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat

mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda

dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor lingkungannya.

Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis, selalu berkembang

sesuai dengan keadaan habitatnya.

Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau

komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh

tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan

penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis,

diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun

komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi

kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.

9
D. Inventarisasi Potensi Kawasan

Inventarisasi adalah salah satu kegiatan pencatatan dalam rangka

mengumpulkan data atau informasi suatu hal secara lengkap untuk digunakan

sebagai acuan dalam kegiatan selanjutnya. Metode inventarisasi tergantung dari

sifat penelitian, lokasi, bentuk data, ketersediaan dana dan juga tenaga kerja.

Ketepatan pemilihan metode inventarisasi akan menentukan kualitas data yang

didapatkan meskipun dalam penentuan intensitas sampling juga ikut

mempengaruhi.

Potensi kawasan adalah kemampuan atau sumberdaya yang dimiliki

oleh suatu kawasan yang dapat dikembangkan atau dimanfaatkan lebih baik

lagi. Potensi merupakan sumberdaya yang belum diketahui sehingga tujuan dari

inventarisasi kawasan tidak lain adalah mengetahui sumberdaya kawasan untuk

digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan kawasan selanjutnya.

Pelaksanaan inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan cara survey

melalui penginderaan jauh dan survey terestris. Survey penginderaan jauh

dilakukan melalui kegiatan dan analisis data citra satelit dan no satelit disertai

dengan pengecekan lapangan. Cara terestris dilakukan dengan dilakukan

melalui pengumpulan data langsung di lapangan. Dalam pelaksanaan kegiatan

eksplorasi, survey, inventarisasi, dan monitoring evaluasi / penilaian tersebut

ada beberapa kaitan aspek kepentingan yang dapat diidentifikasi untuk

membantu pengembangan pengelolaan kawasan konservasi, antara lain

berhubungan dengan :

10
- Aspek potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem

- Aspek sosial ekonomi dan kondisi masyarakat sekitar, dan

- Aspek pengaruh kondisi lokal, regional dan global terhadap kawasan

konservasi

Hasil kegiatan inventarisasi potensi kawasan konservasi selanjutnya

dihimpun untuk bahan penyusunan inventarisasi sumber daya alam hayati dan

ekosistem pada tingkat unit pengelolaan, tingkat pemerintahan, tingkat daerah

aliran sungai, tingkat bio-regional, dan tingkat nasional. Hasil inventarisasi

potensi kawasan konservasi antara lain dipergunakan pula sebagai dasar dalam

penyusunan rencana pengelolaan, kegiatan pengukuhan kawasan, kegiatan

penataan zonasi/blok kawasan, penyusunan neraca sumber daya alam hayati

dan ekosistem, dan input data untuk sistem informasi konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya.

11
BAB III

METODOLOGI

A. Lokasi

Pelaksanaan kegiatan Inventarisasi dan Identifikasi Potensi kawasan

Cagar Alam Lifamatola dilaksanakan di Pulau Lifamatola, yang termasuk

dalam wilayah Kecamatan Waisaki, Kabupaten Kepulauan Sula, Propinsi

Maluku Utara.

B. Waktu Pelaksanaan

Kegiatan Inventarisasi dan Identifikasi Potensi Kawasan Cagar Alam

Lifamatola dilaksanakan sesuai dengan Surat Perintah Tugas (SPT) Kepala

Balai KSDA Maluku, Nomor : PT.18/IV-K.30/Peg/2009 terhitung mulai tanggal

14 sampai dengan 28 Maret 2009 selama 15 hari.

C. Alat dan Bahan

Alat yang dipergunakan dalam kegiatan ini adalah :

1. Kompas

2. Kamera Digital

3. Meter Rol/Tali Ukur

4. Parang

5. Teropong

6. Kusioner

12
7. ATK

8. Komputer

9. Global Positioning Sistem (GPS)

10. Tenda dan perlengkapan lapangan lainnya

Bahan yang dipergunakan dalam kegiatan ini adalah

1. Peta

2. Blanko isian (tally sheet)

3. Buku referensi

4. Buku Panduan lapangan pengamatan burung

5. Bahan makanan selama di lapangan, dll

D. Prosedur Pengumpulan Data

1. Data Potensi Vegetasi

Pengumpulan data potensi vegetasi pada Cagar alam Lifamatola

dilakukan dengan membuat jalur pengamatan dan petak ukur pengamatan di

lapangan. Penempatan jalur berdasarkan metode ”Stratified Purpose Random

Sampling” karena Cagar alam Lifamatola memiliki karakteristik vegetasi hutan

pantai sampai hutan dataran rendah. Jalur pengamatan dibuat dengan lebar jalur

20 m dengan kriteria pengamatan vegetasi di lapangan adalah sebagai berikut :

a) Tingkat Pohon (diameter di atas 20 cm), ukuran petak ukur

pengamatan 20 m x 20 m.

b) Tingkat Tiang (diameter 10 cm s/d 20 cm), ukuran petak ukur

pengamatan 10 m x 10 m.

13
c) Tingkat Sapihan (diameter < 10 cm dan tinggi > 1,5 cm), ukuran

petak ukur pengamatan 5 m x 5 m.

d) Tingkat Semai (tinggi < 1,5 cm), ukuran petak ukur pengamatan 2

m x 2 m.

Metode jalur dipakai pada inventarisasi identifikasi potensi Cagar Alam

Lifamatola untuk mengetahui komposisi jenis dan volume kayu dari tegakan.

Lebar jalur dipakai 20 m , panjang 0,5 km dengan jarak antar PU 100 m dan

jarak antar jalur 300 m. Intensitas sampling yang digunakan adalah sebesar 0,1%.

Dasar dari pemilihan IS adalah faktor tenaga kerja dan waktu pelaksanaan yang

terbatas. Jarak antar jalur yang satu dengan yang lain selalu di ambil sama

sedangkan besar kecil jarak tersebut tergantung pada intensitas sampling yang

dikehendaki. Makin besar intensitas sampling akan semakin kecil jarak antar

jalur tesebut begitu sebaliknya. Besarnya intensitas sampling tergantung pada

keadaan populasi dan kecermatan sampling yang diinginkan. Petak ukur yang

dibuat untuk menghitung kerapatan, frekwensi dan dominansi vegetasi adalah

sebagai berikut:

Keterangan :

T : Trees/ Pohon

P : Poles/ Tiang

Sp : Sapling/ Sapihan

Sd : Seedling/ Semai

14
Data vegetasi yang diperoleh digunakan untuk mencari INP yang

selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif. Untuk mencari INP , digunakan

rumus – rumus sebagai berikut :

 Kerapatan ( K ) = Jumlah individu suatu jenis


. -----------------------------------
Luas petak contoh

Kerapatan relatif ( KR ) = Kerapatan suatu jenis


----------------------------- x 100 %
Kerapatan seluruh jenis

 Frekuensi ( F ) = Jumlah petak ditemukan suatu jenis


---------------------------------------------
Jumlah seluruh petak

Frekuensi relatif ( FR ) = Frekuensi suatu jenis


--------------------------- x 100 %
Frekuensi seluruh jenis

 Dominansi ( D ) = Jumlah luas bidang dasar suatu jenis


---------------------------------------------
Luas petak contoh

Dominansi relatif ( DR ) = Dominansi suatu jenis


------------------------------ x 100 %
Dominansi seluruh jenis

 Untuk mencari INP vegetasi tingkat pohon dan tiang dilakukan

dengan penjumlahan dari nilai KR + FR + DR

15
 Untuk mencari INP vegetasi tingkat sapihan dan semai dilakukan

dengan penjumlahan dari nilai KR + FR

Nilai penting merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi

relatif dan dominansi relatif, yang berkisar antara 0 dan 300 (Mueller-Dombois

dan Ellenberg, 1974).

Untuk tingkat pertumbuhan sapihan dan semai merupakan penjumlahan

Kerapatan relatif dan Frekwensi relatif, sehingga maksimum nilai penting adalah

200.

Perhitungan Volume pohon dan Luas bidang dasar menggunakan rumus :

V = ¼ π D².T.f LBD = ¼ π D²

Dimana :

V : Volume pohon (m³)

LBD : Luas Bidang Dasar (cm²)

D : Diameter pohon (cm)

T : Tinggi bebas cabang (m)

F : Angka bentuk (0,7)

π : 3,14

2. Data Potensi Satwa Liar

Data potensi satwa liar yang dikumpulkan meliputi mamalia,

aves/burung, reptile dan amfibi. Untuk pengumpulan data satwa liar pada

kegiatan Inventarisasi dan identifikasi potensi di Cagar Alam Lifamatola

16
dilakukan dengan cara pengamatan cepat (Rapid Assesment). Pengamatan tidak

harus dilakukan pada suatu jalur khusus atau lokasi khusus. Pengamatan

dilakukan langsung dilapangan terhadap jejak kaki, kotoran (faces), bekas

renggutan pada tanaman, bulu atau bagian tubuh lain yang ditinggallkan,

kicauan/suara, dan bekas sarang. Petunjuk lain juga digunakan seperti panduan

pengenalan jenis, habitat, waktu aktif satwa dan bentuk morfologis. Pengamatan

satwa liar dilakukan setiap saat selama dalam kegiatan baik pada saat survey,

diluar waktu pengamatan, ataupun waktu-waktu lain. Metode ini dapat

digunakan untuk mengetahui jenis-jenis satwa liar yang berada di lokasi

pengamatan tetapi tidak dapat digunakan untuk menghitung pendugaan populasi.

Untuk memperoleh data tambahan tentang keberadaan satwa liar di

dalam kawasan juga dilakukan dengan mencari informasi dari masyarakat sekitar

yang pernah melihat keberadaan satwa di dalam kawasan. Keterangan dari

masyarakat tersebut selanjutnya diverifikasi atau ditinjau ulang untuk menjamin

kebenaran informasi. Selain itu perlu juga diketahui kapan terakhir kali

responden melihat satwa tersebut.

3. Data Potensi Lain

Pengumpulan data potensi lain yang ada pada Cagar Alam Lifamatola,

seperti potensi bentang lahan, estetika kawasan, fenomena alam, atraksi satwa

liar tertentu, potensi budaya / adat masyarakat lokal yang terdapat atau berdiam

disekitar kawasan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara / kusioner

langsung dengan responden / responden kunci.

17
4. Analisis Data Potensi Kawasan

Data yang telah diperoleh di lapangan selanjutnya dianalisis dengan

menggunakan analisis deskriptif untuk klasifikasi vegetasi yang ada pada Cagar

Alam Lifamatola sedangkan data mengenai perjumpaan potensi satwa liar

dianalisis berdasarkan jenis individu satwa liar yang ditemukan langsung

dilapangan dengan menggunakan metode petak contoh pengamatan (sample).

Selanjutnya data tersebut dipadukan dengan informasi tentang keadaan

sosial ekonomi masyarak didalam dan di sekitar kawasan Cagar Alam Lifamatola

guna mengetahui sejauh mana tingkat ketergantungan dan akses masyarakat

terhadap keberadaan kawasan sehingga dapat diketahui penyebab dan besarnya

tingkat kerusakan yang terjadi di kawasan Cagar Alam Lifamatola. analisa data

ini juga bertujuan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalah-

permasalahan yang terjadi di CA Lifamatola.

18
BAB 1V

DISKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Kegiatan inventarisasi ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Pulau

Lifamatola yang berada di Wilayah Kecamatan Waisaki, Kabupaten Kepulauan

Sula, Propinsi Maluku Utara. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.

285/Kpts-II/1995 kawasan ini memiliki luas 1690 ha.

Pulau Lifamatola secara geografis terletak di posisi 126 ’21” BT sampai

126’27” BT dan 1’48” LS sampai 1’48” LS 1’55” LS . Dengan sebelah Utara dan

Timur berbatasan dengan laut Maluku sebelah Barat dengan selat Lifamatola

serta sebelah Selatan dengan laut Seram.

A. Kondisi geografis

Pulau Lifamatola memiliki keadaan topografi landai hingga terjal,

topografi terjal sangat mendominasi dengan tingkat kelerengan lebih dari 30%

khususnya di bagian barat Pulau Lifamatola. Topografi landai banyak dijumpai

di bagian timur pulau sehingga banyak dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa

oleh penduduk setempat.

Kawasan Cagar Alam Lifamatola berada di dalam Pulau Lifamatola

dengan kelerengan landai hingga terjal. Kelerengan landai hanya dapat

ditemukan di bagian timur dan sedikit di bagian selatan kawasan. Kondisi serta

jenis hutan yang dapat ditemui disana adalah hutan pantai dan hutan hujan

19
dataran rendah dengan ketinggian maksimum 200 mdpl dengan jenis vegerasi

heterogen.

Iklim kawasan terpengaruh laut secara langsung sehingga sangat

tergantung dengan musim angin laut yang ada. Bulan basah lebih banyak

daripada bulan kering dengan pembatasan musim yang tidak begitu jelas.

Menurut USDA jenis tanah yang ada disana dapat dikategorikan jenis

Entisol muda karena merupakan hasil bentukan dari batuan induk berupa

karang yang belum berkembang. Jenis tanah Entisol merupakan jenis tanah tipis

dan sukar menyimpan air sehingga air hujan yang turun akan langsung terlindi

ke lapisan bawahnya, akibatnya sumber air sulit ditemukan di kawasan ini

B. Sosial ekonomi penduduk

Penduduk yang berdomisili di Pulau Lifamatola hampir semuanya

adalah suku Buton yang berkumpul dalam satu desa bernama Desa Waisum.

Desa Waisum dihuni oleh 105 kepala keluarga (KK) dengan keseluruhan

jumlah penduduk sebanyak 452 jiwa. Sebagian besar penduduk desa memiliki

mata pencaharian sebagai nelayan dan berkebun sebagai sampingan.

Desa Waisum merupakan desa yang berbatasan langsung dengan

kawasan Cagar Alam Lifamatola sehingga kemungkinan timbulnya tekanan

terhadap kawasan sangat besar. Banyaknya kebun yang berdekatan dengan

kawasan dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap kelestarian kawasan.

Oleh karena itu di dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan sebaiknya

20
melibatkan juga penduduk Desa Waisum agar tekanan penduduk desa terhadap

kawasan dapat dikendalikan.

C. Peta C.A. Lifamatola

21
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kronologis Perjalanan

Kegiatan Invenatisasi kawasan Cagar Alam Lifamatola dilaksanakan

pada tanggal 14 Maret 2009 sampai dengan 28 Maret 2009 selama 15 hari. Tim

berangkat dari Ambon menuju kota Sanana menggunakan pesawat udara. Alat

transportasi inilah yang dapat diandalkan untuk menuju kawasan karena jadwal

kapal seringkali tidak dapat diprediksi. Setelah mengurus segala keperluan di

Kota Sanana, pada hari yang sama tim dengan menggunakan long boat

langsung menuju Pulau Lifamatola. Waktu tempuh dari Kota Sanana menuju

Pulau Lifamatola adalah selama 3 jam perjalanan laut dengan kecepatan

sedang.

Lokasi tujuan pertama tim adalah Desa Waisum, satu-satunya desa di

Pulau Lifamatola, untuk melakukan koordinasi dengan pihak pemerintah desa

dan menggali informasi awal tentang kondisi alam di Pulau Lifamatola. Setelah

memperoleh informasi yang cukup, selanjutnya tim menuju kawasan Cagar

Alam dan segera membuat camp yang akan digunakan sebagai basis

pengamatan dan inventarisasi kawasan. Karena hari sudah mulai gelap,

kegiatan pengambilan data rencananya baru akan dilakukan hari berikutnya.

Selanjutnya tim memulai pengambilan data dari satu titik ke titik yang

lain. Pengambilan data vegetasi dilakukan saat siang hari, sedangkan pagi dan

sore hari difokuskan untuk mengambil data potensi satwa karena pada waktu-

22
waktu inilah biasanya banyak satwa terutama burung memulai aktivitasnya.

Perpindahan camp dan titik pengamatan selain dilakukan melewati jalur darat

juga dilakukan melewati jalur laut menggunakan long boat sewaan mengingat

kondisi medan yang cukup berat apabila ditempuh melewati jalur darat

semuanya.

B. Pengambilan data lapangan

Pengambilan sampel vegetasi dilakukan dengan membuat petak ukur

20 meter x 20 meter pada jalur sepanjang 500 meter. Jarak antar petak ukur

adalah 100 meter sehingga dalam satu jalur terdapat 5 petak ukur dengan jarak

antar jalur 300 meter. Dengan intensitas sampling sebesar 0,1% dan luas

kawasan 1690 ha maka akan diambil sampel sebanyak 43 petak ukur 20 meter

x 20 meter. Sehingga untuk pengamatan di kawasan Cagar Alam Lifamatola

akan dibuat 9 jalur pengamatan yang tersebar merata.

Kondisi medan di Pulau Lifamatola dengan tebing-tebing batuan karang

yang curam mengakibatkan akses masuk kawasan di beberapa tempat tidak

mudah. Kondisi ini diperparah dengan kondisi ombak yang sangat besar di

bagian utara pulau sehingga ada beberapa tempat yang tidak terwakilkan

sepenuhnya dalam pengambilan sampling vegetasinya khususnya pada bagian

utara kawasan karena alasan keselamatan. Untuk mengurangi eror yang terjadi

maka jenis vegetasi bagian utara diasumsikan sama dengan jenis vegetasi

bagian selatan karena bagian selatan memiliki topografi dan ketinggian yang

kurang lebih sama dengan bagian utara.

23
Untuk mencari indek nilai penting atau INP tumbuhan maka dalam tiap

petak ukur yang dibuat akan dicari nilai tinggi dan diameter pada tiap jenisnya,

hal ini dilakukan pada tingkat pohon, tiang, sapihan, dan semai. INP tumbuhan

merupakan penjumlahan dari nilai kerapatan, kehadiran serta dominasi

sehingga apabila nilai pentingnya besar maka dapat dinyatakan bahwa jenis

tersebut merupakan jenis yang sering ditemui dalam kawasan tersebut. Jenis

vegetasi yang memiliki nilai relatif INP besar akan menjadi jenis yang paling

berpengaruh dalam kawasan tersebut. Dalam pembuatan rencana pengelolaan

kawasan yang berdasarkan analisis vegetasi maka jenis utama yang ada selalu

menjadi prioritas pengelolaan.

Dalam suatu hutan alam yang masih utuh selalu terdiri dari beberapa

tingkatan yaitu mulai dari paling atas disebut pohon kemudian tiang, sapihan

dan yang terakhir adalah semai. Penghitungan nilai INP dilakukan pada tiap

tingkatan yang ada. Untuk penghitungan nilai INP tingkat pohon digunakan tiga

parameter yaitu kerapatan relatif, frekwensi relatif dan dominasi relatif. Tabel

nilai INP tingkat pohon pada kawasan C.A. Lifamatola dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 1: INP Tingkat Pohon

No Jenis Vegetasi Kerapatan Frekwensi Dominasi INP % INP


Relatif Relatif Relatif
1 Aha (Gonystylus macrophilus) 0.002 0.005 0.005 0.012 0.41
2 Albasia (Albizia sp.) 0.032 0.023 0.014 0.069 2.30
3 Bajo 0.002 0.005 0.001 0.008 0.25
4 Bakau tongkat 0.020 0.014 0.008 0.041 1.36
5 Bakau (Rhizophora sp.) 0.042 0.032 0.047 0.121 4.03
6 Bakau gunung (Bruguiera sp.) 0.002 0.005 0.004 0.011 0.36

24
7 Bela Hitam (Diospyros pilosanthera) 0.025 0.059 0.024 0.107 3.58
8 Beringin (Ficus sp.) 0.067 0.072 0.093 0.232 7.75
9 Besi (Intsia bijuga) 0.072 0.068 0.184 0.323 10.78
10 Bintangur (Calophyllum soulattri) 0.027 0.014 0.043 0.084 2.79
11 Boha (Anisoptera sp.) 0.002 0.005 0.007 0.014 0.48
12 Durian hutan (Durio sp.) 0.002 0.005 0.038 0.045 1.51
13 Gufasa Hutan/Dena (Vitex cofasus) 0.045 0.027 0.037 0.109 3.62
14 Hitam (Diospyros sp.) 0.002 0.005 0.002 0.009 0.29
15 Hanua Marbau /Lapi (Planchonella firma) 0.020 0.018 0.006 0.044 1.45
16 Iha/ Dadap (Eritryna sp.) 0.007 0.014 0.012 0.033 1.10
17 Jambu karang/Hutan (Eugenia sp.) 0.037 0.014 0.025 0.075 2.51
18 Kabebembe/Kambing 0.052 0.032 0.032 0.116 3.86
19 Kamina-mina 0.010 0.014 0.003 0.027 0.89
20 Kandoa 0.002 0.005 0.002 0.009 0.29
21 Kira2 0.007 0.014 0.004 0.025 0.83
22 Kanaba 0.007 0.009 0.004 0.021 0.69
23 Kenanga (Cananga odorata) 0.015 0.023 0.011 0.048 1.61
24 Kangkurisa 0.010 0.009 0.004 0.023 0.76
25 Kau kui (Fragraea elliptica) 0.002 0.005 0.001 0.008 0.26
26 Kawoi 0.005 0.005 0.002 0.011 0.38
27 Kelapa (Cocos nucifera) 0.007 0.005 0.004 0.016 0.53
28 Keben (Baringtonia asiatica) 0.002 0.005 0.004 0.011 0.36
29 Ketapang (Termunalia cattapa) 0.032 0.059 0.028 0.119 3.96
30 Kobaihi 0.002 0.005 0.001 0.008 0.26
31 Kolot kambing 0.017 0.018 0.015 0.051 1.68
32 Kulit bawang 0.017 0.014 0.012 0.043 1.43
33 Lagi 0.005 0.009 0.002 0.016 0.54
34 Langsa Hutan 0.010 0.014 0.007 0.030 1.00
35 Lambayo 0.002 0.005 0.002 0.009 0.31
36 Lapi 0.002 0.005 0.001 0.008 0.27
37 Tembelekan (Lantana camara) 0.002 0.005 0.001 0.008 0.26
38 Lemon Hutan 0.015 0.023 0.005 0.042 1.40
39 Manggarap (Myristica globosa) 0.007 0.014 0.003 0.024 0.78
40 Mangga hutan (Mangifera sp.) 0.012 0.014 0.005 0.031 1.03
41 Manggis Hutan (Garcinia sp.) 0.002 0.005 0.001 0.008 0.27
42 Maniaga 0.010 0.014 0.007 0.030 1.01
43 Manga2 0.012 0.005 0.008 0.025 0.82
44 Matoa (Pometia pinnata) 0.057 0.032 0.080 0.168 5.60
45 Meranti merah (Shorea leprosula) 0.035 0.050 0.043 0.127 4.23
46 Meranti putih (Shorea selanica) 0.042 0.027 0.047 0.116 3.88
47 Nisa 0.037 0.018 0.033 0.088 2.92

25
48 Nar 0.005 0.005 0.003 0.012 0.41
49 Nyato (Burckella sp.) 0.022 0.032 0.025 0.079 2.63
50 Pandan daun kecil (Pandanus sp.) 0.005 0.005 0.001 0.011 0.36
51 Pandan daun besar (Pandanus sp.) 0.002 0.005 0.001 0.008 0.25
52 Pandan Duri (Pandanus sp.) 0.005 0.009 0.001 0.015 0.51
53 Pat bes (Casearia grewiaefolia) 0.025 0.023 0.011 0.058 1.94
54 Patah Sembilan 0.005 0.005 0.001 0.011 0.36
55 Pepaya (Polyscias nodosa) 0.007 0.009 0.002 0.018 0.61
56 Pulai (Alstonia scholaris) 0.037 0.032 0.022 0.090 3.01
57 Rupi pantai 0.010 0.014 0.003 0.027 0.89
58 Samar (Alangium javanicum) 0.005 0.009 0.003 0.017 0.56
59 Tomi2 Hutan 0.012 0.014 0.003 0.029 0.97
60 Tongkat Langit (Ailanthus integrifolia) 0.005 0.009 0.002 0.016 0.52
61 Waru (Hibiscus tiliaceus) 0.002 0.005 0.001 0.008 0.28

Dari perhitungan nilai INP yang ada diperoleh untuk tingkat pohon jenis kayu

Besi mendominasi kawasan dengan nilai INP 0.32 atau sebesar 10.78%, disusul

jenis Beringin dengan INP 0.23 atau sebesar 7.75% , Matoa dengan INP 0.168

atau sebesar 5.6%, Meranti merah dengan INP 0.127 atau sebesar 4.23% dan

Bakau dengan INP 0.121 atau sebesar 4.03%.

Dari hasil analisis nilai INP yang telah dilakukan dapat terlihat bahwa

untuk tingkat pohon nilai penting jenis kayu Besi lebih besar dari jenis Beringin

namun jika dilihat dari nilai frekwensi relatifnya beringin lebih besar ini artinya

jenis beringin lebih banyak ditemukan dalam petak ukur yang dibuat. Jika

terjadi penebangan terhadap jenis kayu besi maka kayu beringin akan

mendominasi kawasan karena nilai frekwensi diketemukan kayu beringin lebih

besar dari kayu besi. Nilai kerapatan menunjukkan jumlah jenis vegetasi dalam

satu lokasi petak ukur, semakin besar nilai maka semakin banyak jenis tersebut.

Nilai frekwensi menunjukkan banyaknya diketemukannya suatu jenis di dalam

26
petak ukur yang dibuat artinya jenis dengan nilai frekwensi besar memiliki

kecocokan tempat tumbuh yang lebih baik.

Untuk tingkat tiang penghitungan nilai INP masih menggunakan tiga

parameter yaitu kerapatan relatif, frekwensi relatif dan dominasi relatif. Untuk

hasil penghitungan dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini:

Tabel 2 : INP Tingkat Tiang

No Jenis Vegetasi Kerapatan Frekwensi Dominasi INP Prosenta


Relatif Relatif Relatif
se INP
1 Akasia (Acacia sp.) 0.008 0.014 0.006 0.027 0.91
2 0.021 0.011 0.043 1.45
3 Albasia (Albizia sp.) 0.012 0.007 0.003 0.014 0.46
4 Alpukat Hutan 0.004 0.014 0.027 0.065 2.17
5 Bakau (Rhizophora sp.) 0.024 0.007 0.004 0.015 0.49
6 Bakau gunung (Bruguiera sp) 0.004 0.062 0.105 0.247 8.22
7 Bela Hitam (Diospyros pilosanthera) 0.080 0.034 0.027 0.093 3.10
8 Beringin (Ficus sp.) 0.032 0.021 0.024 0.068 2.27
9 Besi (Intsia bijuga) 0.024 0.007 0.002 0.013 0.44
10 Bintangur (Calophyllum soulattri) 0.004 0.007 0.003 0.014 0.46
11 Pakis haji (Cycas rumpii) 0.004 0.034 0.024 0.082 2.73
12 Gufasa Hutan/Dena (Vitex cofassus) 0.024 0.007 0.005 0.016 0.54
13 Hitam (Dyospiros celebica) 0.004 0.021 0.014 0.046 1.54
14 Hanua Marbau /Lapi (Intsia sp.) 0.012 0.055 0.039 0.134 4.47
15 Jambu karang/Hutan (Eugenia sp.) 0.040 0.027 0.030 0.094 3.12
16 Kabebembe/Kambing 0.036 0.027 0.018 0.066 2.19
17 Kamina-mina 0.020 0.007 0.004 0.015 0.49
18 Kandoa 0.004 0.007 0.003 0.014 0.46
19 Kira2 0.004 0.014 0.018 0.048 1.60
20 Kanaba 0.016 0.027 0.022 0.073 2.44
21 Kau kui (Fragraea elliptica) 0.024 0.014 0.012 0.034 1.12
22 Kawoi 0.008 0.014 0.016 0.041 1.38
23 Keben (Baringtonia asiatica) 0.012 0.089 0.087 0.264 8.79
24 Kobaihi 0.088 0.014 0.006 0.027 0.91
25 Kolot kambing 0.008 0.007 0.004 0.015 0.49
26 Kulit bawang 0.004 0.027 0.009 0.053 1.76
27 Langsa Hutan 0.016 0.034 0.049 0.148 4.92
28 Lemon Hutan 0.064 0.027 0.032 0.091 3.03

27
29 Manggarap (Myristica globosa) 0.032 0.007 0.005 0.016 0.54
30 Mangga hutan (Mangifera sp.) 0.004 0.014 0.012 0.034 1.12
31 Manggis Hutan (Garcinia sp.) 0.008 0.007 0.005 0.016 0.53
32 Maniaga 0.004 0.021 0.013 0.045 1.51
33 Mengkudu 0.012 0.014 0.007 0.029 0.97
34 Meranti merah (Shorea leprosula) 0.008 0.007 0.003 0.014 0.46
35 Nisa 0.004 0.007 0.003 0.014 0.46
36 Nar 0.004 0.014 0.020 0.046 1.53
37 Nong/Api 0.012 0.021 0.032 0.072 2.41
38 Nyato (Burckella sp.) 0.020 0.007 0.004 0.015 0.50
39 Pala Hutan (Myristica sp.) 0.004 0.007 0.004 0.014 0.48
40 Pecah2 0.004 0.007 0.014 0.041 1.37
41 Pandan daun kecil (Pandanus sp.) 0.020 0.007 0.025 0.064 2.12
42 Pandan daun besar (Pandanus sp.) 0.032 0.021 0.034 0.094 3.14
43 Pandan Duri (Pandanus sp.) 0.040 0.034 0.036 0.106 3.52
44 Pat bes (Casearia grewiaefolia) 0.036 0.007 0.003 0.014 0.46
45 Paritigi 0.004 0.007 0.007 0.022 0.72
46 Patah Sembilan 0.008 0.014 0.014 0.048 1.59
47 Pepaya (Polyscias nodosa) 0.020 0.007 0.006 0.017 0.56
48 Pulai (Alstonia scholaris) 0.004 0.055 0.043 0.137 4.58
49 Rupi pantai 0.040 0.007 0.006 0.021 0.70
50 Srikaya 0.008 0.021 0.059 0.140 4.66
51 Tomi2 Hutan 0.060 0.007 0.003 0.014 0.46
52 Tongkat Langit (Ailanthus integrifolia) 0.004 0.021 0.018 0.055 1.83
53 Ul 0.016 0.007 0.004 0.014 0.48
54 Ulat 0.004 0.014 0.010 0.032 1.05
Waru (Hibiscus tiliaceus) 0.008

Dari perhitungan nilai INP yang ada diperoleh untuk tingkat tiang jenis

kayu Kobaihi mendominasi kawasan dengan nilai INP 0.264 atau sebesar 8.79

%, disusul jenis Bela Hitam dengan INP 0.247 atau sebesar 8.22 % , Lemon

Hutan dengan INP 0.148 atau sebesar 4.9 %, Tomi hutan dengan INP 0.14 atau

sebesar 4.66 % dan Rupi pantai dengan INP 0.137 atau sebesar 4.58%.

28
Nilai INP untuk tingkat tiang didominasi oleh jenis Kobaihi dan Bela

hitam, sedang untuk tingkat sapihan didominasi oleh Pandan duri dan Kobaihi.

Untuk tingkat semai didominasi oleh Bintangur dan Kamina-mina. Dari hasil

penghitungan nilai INP untuk setiap tingkat vegetasi dapat dilihat hubungan

antara nilai INP tingkat pohon, tiang, sapihan serta semai. Untuk tingkat

pohon didominasi oleh jenis kayu besi akan tetapi pada tingkat tiang kayu besi

memiliki INP rendah atau bahkan kecil begitu juga pada tingkat sepihan dan

semai ini artinya kayu besi memiliki kerentanan yang besar untuk mencapai

starata pohon. Kayu besi memerlukan kondisi yang sesuai untuk dapat

mencapai tingkat pohon dan akhirnya mendominasi kawasan, gangguan atau

kerusakan baik yang disebabkan alam maupun manusia seminimal mungkin

harus dikurangi. Akan tetapi untuk lebih jelasnya lagi perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut lagi.

Dalam penghitungan tingkat sapihan parameter dominasi relatif sudah

tidak digunakan lagi sehingga pada penghitungan INP tingkat sapihan hanya

menggunakan dua parameter saja yaitu Kerapatan relatif dan Frekwensi relatif.

Untuk hasil penghitungan INP dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3 : INP Tingkat sapihan

No Jenis Vegetasi Kerapatan Frekwensi INP Prosenta


Relatif Relatif
se INP
1 Albasia (Albizia sp) 0.02 0.054 0.074 3.70
2 Bakau (Rhizophora sp.) 0.01 0.027 0.037 1.85
3 Bakau gunung (Bruguiera sp.) 0.01 0.027 0.037 1.85
4 Bela Hitam (Diospyros pilosanthera) 0.02 0.054 0.074 3.70
5 Beringin (Ficus sp.) 0.04 0.054 0.094 4.70
6 Bintangur (Calophyllum soulattri) 0.07 0.027 0.097 4.85

29
7 Gufasa Hutan/Dena (Vitex cofasus) 0.02 0.054 0.074 3.70
8 Hanua Marbau /Lapi (Intsia sp.) 0.01 0.027 0.037 1.85
9 Jambu karang/Hutan (Eugenia sp.) 0.04 0.054 0.094 4.70
10 Kamina-mina 0.02 0.027 0.047 2.35
11 Kanaba 0.05 0.054 0.104 5.20
12 Kangkurisa 0.01 0.027 0.037 1.85
13 Keben (Baringtonia asiatica) 0.01 0.027 0.037 1.85
14 Kobaihi 0.14 0.081 0.221 11.05
15 Lemon Hutan 0.04 0.054 0.094 4.70
16 Manggarap (Myristica globosa) 0.05 0.027 0.077 3.85
17 Mangga hutan (Mangifera sp.) 0.14 0.054 0.194 9.70
18 Pakis Haji (Cycas rumpii) 0.01 0.027 0.037 1.85
19 Pandan daun kecil (Pandanus sp.) 0.01 0.027 0.037 1.85
20 Pandan daun besar (Pandanus sp.) 0.01 0.027 0.037 1.85
21 Pandan Duri (Pandanus sp.) 0.21 0.054 0.264 13.20
22 Pat bes (Casearia grewiaefolia) 0.02 0.027 0.047 2.35
23 Samama (Anthocephalus macrophylus) 0.01 0.027 0.037 1.85
24 Tagalolo 0.01 0.027 0.037 1.85
25 Tali 0.01 0.027 0.037 1.85
26 Ulat 0.01 0.027 0.037 1.85

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui beberapa jenis vegetasi

tingkat sapihan yang mendominasi kawasan Cagar Alam Lifamatola yaitu

tertinggi pada jenis pandan duri dengan nilai INP 0.26 atau sebesar 13.2%, jenis

Kobaihi dengan nilai INP 0.22 atau sebesar 11.05%, jenis mangga hutan dengan

INP 0.194 atau sebesar 9.7 %, jenis Kanaba dengan nilai INP 0.104 atau

sebesar 5.2 % dan Bintangur dengan nilai INP 0.097 atau sebesar 4.85 %.

Untuk tingkat vegetasi semai penghitungan nilai INP sama dengan

penghitungan tingkat sapihan. Parameter yang digunakan adalah Kerapatan

relatif dan Frekwensi relatif. Hasil yang dipeoleh dapat dilihat pada tabel 4

dibawah ini.

30
Tabel 4 : INP Tingkat Semai

No Jenis Vegetasi Kerapatan Frekwensi INP Prosent


Relatif Relatif
ase INP
1 Anonim 0.041 0.02 0.061 3.04
2 Albasia (Albizia sp.) 0.020 0.02 0.040 2.02
3 Beringin (Ficus sp.) 0.041 0.04 0.081 4.04
4 Besi (Intsia bijuga) 0.048 0.04 0.088 4.38
5 Bintangur (Calophyllum soulattri) 0.116 0.14 0.256 12.79
6 Pakis haji (Cycas rumpii) 0.007 0.02 0.027 1.34
7 Gufasa Hutan/Dena (Vitex covasus) 0.020 0.06 0.080 4.02
8 Jambu karang/Hutan (Eugenia sp.) 0.088 0.10 0.188 9.42
9 Kamina-mina 0.163 0.04 0.203 10.16
10 Kanaba 0.088 0.02 0.109 5.42
11 Kau kui (Fragraea elliptica) 0.020 0.04 0.060 3.02
12 Keben (Baringtonia asiatica) 0.007 0.02 0.027 1.34
13 Ketapang (Terminalia cattapa) 0.014 0.02 0.034 1.68
14 Kobaihi 0.027 0.06 0.087 4.36
15 Tembelekan (Lantana camara) 0.007 0.02 0.027 1.34
16 Lemon Hutan 0.034 0.06 0.094 4.70
17 Manggarap (Myristica globosa) 0.020 0.04 0.060 3.02
18 Mangga hutan (Mangifera sp.) 0.068 0.04 0.108 5.40
19 Mengkudu 0.007 0.02 0.027 1.34
20 Pandan daun kecil (Pandanus sp.) 0.014 0.02 0.034 1.68
21 Pandan daun besar (Pandanus sp.) 0.054 0.02 0.074 3.72
22 Pandan Duri (Pandanus sp.) 0.041 0.04 0.081 4.04
23 Rupi pantai 0.014 0.04 0.054 2.68
24 Tali 0.007 0.02 0.027 1.34
25 Ul 0.034 0.04 0.074 3.70

Untuk tingklat semai dominasi tertinggi oleh Bintangur dengan nilai

INP 0.256 atau sebesar 12.79 %, Kamina-mina dengan INP 0.203 atau sebesar

10.16 %, Jambu hutan dengan INP 0.188 atau sebesar 9.42 %, Kanaba dengan

31
nilai INP 0.109 atau sebesar 5.42 %, dan Mangga hutan dengan nilai INP 0.108

atau sebesar 5.4%.

Potensi Satwa

Kegiatan inventarisasi potensi kawasan CA Lifamatola dilaksanakan

selain untuk mengetahui jenis-jenis vegetasi juga untuk mengetahui kondisi

serta potensi satwaliar (wildlife) yang ada. Untuk survey potensi satwa

dilakukan dengan metode pengamatan langsung di lapangan dengan mencatat

perjumpaan, jejak, kotoran, suara, dan tanda lain yang ditinggalkan satwa.

Pengumpulan data tentang satwa yang ada juga dilakukan dengan cara mencari

informasi kepada masyarakat yang pernah menjumpai satwa tertentu di dalam

kawasan.

Dari hasil inventarisasi satwa yang dilakukan didapatkan beberapa jenis

satwa yang berada di dalam kawasan. Jenis burung / aves antara lain : Kakatua

Putih (Cacatua alba), Kasturi ( Eos squamata ), Nuri Raja Ambon (Alisterus

amboinensis), Betet Sula ( Prioniturus platurus ), Serindit (Loriculus amabilis),

Perkicit Sula (Trichoglossus Flavoviridis ), Elang laut (Haliastur indus), Trinil

Pantai (Actitis hipoleucos), Maleo/gosong sula (Megapodius bernsteinii), Dara

laut (Sterna hirundo), Pekaka (Halcyon spp.), Walet (Collocalia infuscata), dan

lain-lain. Untuk jenis mamalia antara lain : Babi hutan (Sus scrofa), Babi rusa

(Babirousa babirousa), Rusa (Cervus sp), Kus-kus (Palanger orientalis),

Kancil, Tikus Hutan, dan lain-lain. Untuk jenis reptilia antara lain: Ular Phyton

(Phyton molurus), Ular cobra (Naja sputatrix), Biawak (Varanus salvator), Soa-

soa (Hydrosaurus sp.), Kadal Bunglon, Kadal Tokek (Gecko sp.),Penyu

32
(Eretmocelys imbricata) dan lain-lain. Selain itu, di kawasan cagar alam ini

juga dapat ditemukan jenis kepiting raksasa yaitu Kepiting Kenari (Birgus

latro).

Dari sekian jenis satwa yang ada di dalam kawasan, ular phyton

(Phyton molurus) adalah jenis satwa yang menyimpan cerita yang paling

menarik sekaligus mengerikan. Menurut informasi masyarakat, ada beberapa

kejadian yang menceritakan ular ini memangsa hewan peliharaan dan juga

manusia. Terakhir kali kejadian adalah sekitar pertengahan tahun 2008. Waktu

itu ada seorang penduduk yang masuk hutan sendirian bermaksud menebang

kayu. Namun dalam perjalanan orang ini menghilang tanpa jejak. Setelah dicari

ternyata ditemukan ular phyton besar yang sudah tidak bisa berjalan karena

kekenyangan dan diperkirakan telah memangsa orang tadi. Akhirya ular

tersebut ditangkap dan dibelah perutnya dan ternyata benar didalamnya terdapat

orang yang dicari dalam keadaan meninggal. Selain kejadian tersebut,

setidaknya sudah ada tiga kejadian selama ini yang mengakibatkan hilangnya

penduduk desa di dalam kawasan dan diperkirakan disebabkan oleh hal yang

sama. Selain manusia, banyak anjing peliharaan yang digunakan untuk berburu

tidak kembali ke pemiliknya dan diperkirakan juga sudah dimangsa ular ini.

Cagar Alam Lifamatola berada pada pulau Lifamatola yang merupakan

pulau karang sehingga secara keseluruhan kondisi bentang alam yang terlihat

merupakan kawasan dengan dominasi kelerengan yang terjal, banyak dijumpai

dinding tebing yang kemiringannya mencapai 90 derajat. Solum tanah

umumnya tipis dengan curah hujan yang relatif tinggi sehingga pada tempat

33
tempat tertentu dapat dijumpai adanya bekas erosi tanah. Hujan yang turun

sebagian besar menjadi aliran permukaan dan hanya sedikit yang terinfiltrasi

kedalam tanah. Hal ini dapat terlihat dengan adanya beberapa kolam air hujan

yang terbentuk di tengah-tengah kawasan hutan dan tidak diketemukannya

sumber air tanah.

Akses Penduduk ke Kawasan

Dari segi akses manusia terhadap kawasan, Cagar Alam Lifamatola

berbatasan langsung dengan beberapa kebun penduduk. Penduduk Desa

Waisum sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Meskipun

demikian, sebagai usaha sampingan, penduduk membuka lahan perkebunan

yang lokasinya dari waktu ke waktu bertambah dan cenderung semakin

mendekati kawasan Cagar Alam. Bahkan sudah ada kebun yang lokasinya

berada di dalam kawasan.

Penduduk Desa Waisum menanam tanaman perkebunan seperti kelapa,

pepaya, pisang, ketela, talas, gembili, nanas, lemon, dan jenis jenis lain sebagi

bahan makanan. Hasil kebun ini mereka nikmati sendiri untuk mencukupi

kebutuhan sehari-hari. Apabila ada hasil panen berlebih, mereka membawanya

untuk dijual di kota Sanana. Selain berkebun, ternak kambing dan ayam juga

dimiliki oleh beberapa warga Desa Waisum.

Pendidikan penduduk Desa Waisum rata-rata adalah sampai SMP.

Untuk melanjutkan SMP atau SMA, mereka harus ke luar Pulau Lifamatola dan

melanjutkan pendidikan di Ibu Kota Kecamatan atau Ibu Kota Kabupaten di

34
Sanana. Di Desa Waisum sendiri saat ini baru ada satu bangunan SD dengan

dua tenaga guru dan tiga tenaga tata usaha. Saat ini pemuda Desa Waisum

sudah ada yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi sebanyak enam

orang. Tiga orang menempuh pendidikan S1 dan tiga orang D3.

Tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan yang masih rendah

merupakan salah satu hambatan dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Penduduk yang masih dipusingkan dengan urusan perut tidak akan berfikir

tentang apa itu koservasi. Mereka hanya akan berfikir bagaimana caranya untuk

memenuhi kebutuhan pangan yang menjadi kebutuhan pokok mereka. Maka

dari itu, diperlukan upaya penyadaran masyarakat tentang arti pentingnya

konservasi dan kelestarian alam dengan membantu meningkatkan taraf hidup

masyarakat dan peningkatan pendidikan. Dengan cara ini diharapkan

masyarakat akan tahu arti penting konservasi bagi kesejahteraan manusia.

Salah satu konsep dalam perencanaan kawasan konservasi yang

berkelanjutan adalah dengan selalu memperhatikan setiap komponen yang

terlibat didalamnya. Sesuai dengan filosofi cagar alam yang berarti kata cagar

merupakan sesuatu benda atau barang yang dijadikan jaminan hutang. Cagar

alam berarti alam yang kita jadikan jaminan hutang, kita berhutang kepada anak

cucu kita alam yang masih lestari dan masih asli agar tetap dapat dinikmati

dikemudian hari. Cagar alam merupakan kawasan konservasi yang harus kita

jaga kelestarian dan keaslian bentuknya serta dalam pengelolaannya seminimal

mungkin menghindari campur tangan dari manusia. Dengan melihat komponen-

35
komponen yang ada dalam kawasan maka akan lebih mudah dalam pengelolaan

kawasan yang berkelanjutan dan lestari.

Komponen biotik selalu tergantung dengan komponen fisik serta

komponen manusia yang ada di sekitarnya. Begitu juga sebaliknya biotik juga

akan mempengaruhi manusia serta komponen fisik yang ada, setiap perubahan

dari satu komponen akan menyebabkan perubahan komponen lainnya yang

pada akhirnya akan menciptakan suatu kondisi keseimbangan kawasan yang

baru. Tujuan dari perencanaan adalah untuk mengarahkan agar perubahan dapat

seminimal mungkin dan keseimbangan baru yang terbentuk tidak merugikan

kawasan cagar alam sebagai kawasan konservasi.Dengan adanya perencanaan

kawasan yang baik maka akan terbentuk suatu daya dukung kawasan yang baik

pula. Daya dukung kawasan memiliki arti kemampuan kawasan untuk pulih

dari gangguan luar, suatu kawasan dengan daya dukung baik akan lebih tahan

dari gangguan luar.

Untuk penyusunan rencana pengelolaan kawasan ditekankan pada

pemantapan daya dukung kawasan dengan menganalisis segala potensi dan

gangguan yang terdapat dalam kawasan. Potensi atau sumber daya yang ada

dan mempengaruhi dalam kawasan khususnya Cagar Alam Lifamatola dapat

dibedakan menjadi dua macam yaitu sumber daya alam baik biotik maupun

abiotik dan sumber daya manusia. Sumber daya alam yang ada merupakan

potensi langsung yang terdapat di dalam kawasan cagar alam sedangkan

manusia adalah komponen yang diharapkan dapat mendukung dalam

pengelolaan kawasan.

36
Sumber daya biotik yang perlu diperhatikan dalam kawasan ini adalah

vegetasi dan fauna. Beberapa jenis vegetasi yang ada merupakan jenis-jenis

kayu produksi yang memiliki nilai jual yang tinggi di pasaran nasional semisal

kayu besi, meranti, matoa, pulai,kayu hitam dan kayu-kayu lokal lainnya.

Selain jenis kayu dalam kawasan juga terdapat potensi lainnya semisal jenis

jenis tanaman obat yang belum banyak diketahui masyarakat.Untuk jenis fauna

yang ada dalam kawasan juga merupakan satwa yang eksotik semisal jenis jenis

burung paruh bengkok , babirusa maleo, kepiting kenari mupun penyu.

Ancaman yang paling sering ditemui adalah adanya perambahan kawasan untuk

memanfaatkan jenis kayu tertentu maupun pembukaan untuk perkebunan baru.

Kurangnya tenaga pengamanan hutan serta letak kawasan yang jauh dari pusat

pemerintahan menyebabkan sangat mudahnya terjadi ilegal loging.

Cagar ALam Lifamatola memiliki jumlah jenis dari tingkat pohon

sampai semai sebanyak 80 jenis. Keanekaragaman jenis yang ada di kawasan

ini merupakan sumber daya biotik yang sangat tinggi dan merupakan salah satu

sumber bank genetik yang sangat potensial dikembangkan. Keanekaragaman

jenis yang tinggi selain menguntungkan juga berarti memerlukan suatu usaha

keras dalam pengelolaannya, kawasan dengan keanekaragaman jenis tinggi

memiliki kerentanan terhadap kepunahan jenis yang lebih besar daripada

tempat dengan keanekaragaman jenis rendah. Keanekaragaman jenis besar

dalam satu kawasan akan berbanding terbalik dengan jumlah populasi jenis

yang ada, hal ini desebabkan karena hubungan dengan daya dukung kawasan

37
yang ada. Dengan jumlah populasi kecil perubahan kecil terhadap daya dukung

kawasan akan dapat mengakibatkan kepunahan jenis.

Secara geografis pulau Lifamatola terletak diantara Laut Maluku dan

Laut Seram dan 126’21” BT sampai 126’27” BT dan 1’48” LS sampai 1’48” LS

1’55” LS. Pulau Lifamatola merupakan pulau karang dan merupakan hasil dari

proses pengangkatan daratan dari jalur pegunungan sirkum Pasifik yang

bergerak dari utara kepulauan Mindanao Filipina menuju ke pulau Sulawesi dan

terakhir menuju pulau ambon dan kepulauan sekitarnya, karena merupakan

pulau karang maka kondisi topografi kawasan didominasi oleh tebing serta

bukit bukit karang yang terjal. Proses suksesi yang telah berlangsung bertahun

tahun telah menyebabkan terbentuknya hutan alam yang memiliki heterogenitas

tinggi. Batuan induk yang terdapat di pulau Lifamatola termasuk batuan kapur

dengan waktu proses pelapukan lama sehingga solum tanah yang ada termasuk

kategori tipis, hanya beberapa tempat saja dengan ketebalan solum dalam dan

umumnya berada pada daerah lembah atau cekungan. Hal ini dapat terjadi

karena adanya proses erosi yang disusul dengan sedimentasi dari kawasan

atasnya. Laju erosi yang terjadi dapat dihambat dengan adanya tajuk yang rapat

dan penutupan lantai hutan yang tebal. Gangguan yang terjadi di bagian atas

kawasan semisal penebangan akan dapat menaikan laju aliran permukaan dan

akibatnya laju erosi akan semakin cepat.

Untuk jenis batuan kapur laju erosi akan meningkat berbanding lurus

dengan laju pengurangan penutupan tajuk sampai pada satu titik tertentu laju

erosi akan mengecil karena sifat porositas dari batuan kapur. Untuk

38
menaggulangi dan mengatasi terjadinya erosi maka diperlukan suatu

pengawasan khususnya agar tidak terjadi penebangan liar dan pengurangan

penutupan. Pengwasan serta patroli yang rutin diperlukan dalam satu periode

tertentu agar keamanan kawasan lebih dapat lebih terjaga.

Kehilangan dan pengurangan penutupan tajuk maupun permukaan akan

menurunkan daya dukung terhadap kawasan karena menurunnya kualitas

tempat tumbuh yang akibatnya akan mematikan jenis-jenis vegetasi tertentu

yang rentan terhadap perubahan tempat tumbuh. Sebagai contoh jenis bakau

tertentu yang dapat tumbuh baik jika memiliki perairan dengan pH tertentu

akan tetapi dengan peningkatan sedimentasi dari batuan kapur akan

menurunkan kadar pH dan mematikan bakau tersebut sehingga dalam kawasan

cagar alam akan kehilangan genetik bakau tersebut. Jika tidak ada

penanggulangan akan terjadi degradasi genetik yang merugikan kawasan dan

juga fungsi cagar alam sebagai bank genetik akan hilang.

Dalam suatu perencanaan faktor manusia atau masyarakat adalah faktor

penentu keberhasilan dan kesuksesan suatu rencana pengelolaan, sehingga

dalam penyusunan rencana pengelolaan harus selalu teliti dan cermat. Cagar

alam Lifamatola berbatasan langsung dengan perkebunan penduduk desa

Waisum. Desa Waisum merupakan satu-satunya desa yang berada di pulau

Lifamatola dengan jumlah penduduk 452 jiwa dan sebagian besar memiliki

profesi sebagai nelayan. Pembukaan kebun yang dilakukan oleh penduduk desa

merupakan solusi atas pemenuhan kebutuhan hidup dari penduduk desa.

39
Dalam ekologi pangan pemenuhan kebutuhan hidup yang paling dasar

dilakukan melalui perburuan dan pengumpulan sumber makanan. Kegiatan

perburuan dan pengumpulan makanan sudah dilakukan sejak jaman manusia

purba, namun demikian kegiatan tersebut masih juga dilakukan oleh bangsa

yang modern. Bangsa Jepang sampai saat ini masih melakukan perburuan ikan

paus untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Begitu juga dengan negara

kita masih banyak penduduk yang menggantungkan menjadi nelayan dan pada

daerah tertentu sagu yang digunakan sebagai makanan pokok masih didapatkan

dengan mengumpulkan dari alam. Ternak dan kebun merupakan perluasan dari

konsep perburuan dan pengumpulan. Manusia memiliki keterbatasan sedangkan

jumlah manusia semakin meningkat, oleh karena itu sejak jaman dahulu telah

mulai dikembangkan suatu sistem peternakan dan perkebunan. Jenis jenis

hewan tertentu yang dirasa memiliki nilai pemenuhan kebutuhan yang tinggi

mulai dipelihara dan diperlakukan dengan baik dengan harapan dapat

menghasilkan daging atau susu lebih baik. Perkebunan mulai dilakukan setelah

manusia merasa sumber makanan nabati telah menipis dan harus mencari lebih

jauh lagi ke dalam hutan untuk mendapatkan sumber makanan baru, oleh

karena itu mereka mulai mencoba mengumpulkan jenis-jenis tanaman untuk

ditanaman di lahan yang dekat dengan mereka.

Desa Waisum merupakan desa pantai dengan mata pencaharian utama

sebagai nelayan. Pertambahan penduduk yang semakin tinggi menyebabkan

timbulnya persaingan dalam mendapatkan makanan. Dengan semakin

terbatasnya area mencari ikan sebagian penduduk desa mulai melakukan

40
perambahan hutan untuk membuka perkebunan. Kekurangan sumber makanan

menyebabkan terjadinya tekanan terhadap kawasan Cagar alam semakin besar

dan hal ini diperparah dengan rendahnya tingkat pengetahuan dari penduduk.

Hal ini dimanfaatkan oleh beberapa investor dari luar untuk membuka usaha

pembuatan kapal dengan tenaga kerja penduduk dan bahan baku kayu yang

tentu saja berasal dari kawasan konservasi. Sebenarnya kesalahan bukan

sepenuhnya oleh investor tetapi sudah menjadi kesalahan umum karena

timbulnya salah mensikapi. Kebutuhan akan kayu memang tidak dapat

dihapuskan akan tetapi sampai saat ini telah terjadi salah sikap, kebutuhan kayu

disikapi dengan membuka hutan seharusnya disikapi dengan mencari barang

substutusi kayu semisal fiber glas.

Untuk mengurangi tekanan terhadap kawasan cagar alam diperlukan

kerjasama yang erat antara intansi yang telah ada . BKSDA Maluku sebagai

instansi yang diberi mandat dalam pengelolaan kawasan memerlukan dukungan

dari pemerintah daerah dan juga kerjasama dengan masyarakat sekitar

kawasan. Pembentukan serta perbaikan kelembagaan yang ada pada tingkat

masyarakat sangat diperlukan dalam rangka membangun kerangka pikir yang

sama dalam pengelolaan kawasan. Dengan terbentuknya suatu kelembagaan

yang baik di tingkat desa diharapkan akan terbentuk suatu jalinan kerjasama

yang baik dengan pemerintah dan pada akhirnya dalam setiap progam atau

kegiatan akan dapat berjalan baik dan lancar.

Selain dengan pembentukan kelembagaan tingkat desa untuk

mengurangi tekanan penduduk dapat juga dibuat suatu sistem zonasi penyangga

41
di sekitar kawasan konservasi. Sistem zonasi adalah suatu jawaban terhadap

peningkatan tekanan penduduk terhadap kawasan konservasi yang sudah tidak

dapat ditanggulangi lagi. Taman Nasional adalah salah satu contoh pengelolaan

kawasan konservasi dengan menggunakan sistem zonasi.

Untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari penduduk desa Waisum

saat ini telah mulai beralih dari perikanan menjadi perkebunan. Perambahan

serta perubahan fungsi dari hutan menjadi perkebunan dari tahun ke tahun

semakin meningkat. Saat ini perkebunan penduduk telah mencapai batas dari

kawasan cagar alam. Rehabilitasi lahan serta pengembalian fungsi kawasan

sudah tidak mungkin dilakukan lagi sehingga harus segera dibuat suatu zona

penyangga di sekeliling kawasan cagar alam. Zona penyangga adalah suatu

sistem penyangga kehidupan baik untuk kawasan konservasi maupun

masyarakat sekitar kawasan. Untuk membuat suatu zona penyangga diperlukan

penetapan wilayah penyangga, pembinaan terhadap mayarakat tentang wilayah

penyangga dan penetapan cara pemanfaatan zona penyangga. Konsekwensi

yang harus diterima dari kawasan cagar alam adalah pengurangan luasan.

42
MATRIK RENCANA PENGELOLAAN 5 TAHUN

No Komponen Tahun
1 2 3 4 5
1. Biotik Flora Inventarisasi potensi Penyusunan data base Memperketat Memperketat Pengawasan kawasan

flora dalam kawasan jenis jenis flora beserta pengawasan kawasan pengawasan kawasan dengan mengedepankan

karakteristik habitatnya khususnya terhadap khususnya terhadap peran serta masyarakat

secara menyeluruh kegiatan kegiatan

pemanfaatan flora pemanfaatan flora

tanpa izin tanpa izin


Fauna Inventarisasi potensi Penyusunan data base Memperketat Memperketat Pengawasan kawasan

fauna dalam kawasan jenis jenis fauna beserta pengawasan kawasan pengawasan kawasan dengan mengedepankan

karakteristik habitatnya khususnya terhadap khususnya terhadap peran serta masyarakat

secara menyeluruh kegiatan kegiatan

pemanfaatan fauna pemanfaatan fauna

tanpa izin tanpa izin


2. Abiotik Lahan Inventarisasi sumber Menyusun dan Menyusun dan Menentapkan Pengawasan terhadap

daya lahan serta memantapkan tata batas menata batas kawasan atau zona kawasan cagar alam

potensi kerusakan kawasan perkebunan yang penyangga disekitar serta kawasan

yang terjadi berada di sekitar kawasan dengan penyangga disekitarnya

kawasan konservasi tetap berpegang asas

pemanfaatan terbatas
3. Sosial Masyarakat Invenatrisasi potensi Membangun dan Meningkatkan Meningkatkan Pembinaan masyarakat

masyarakat sekitar memantapkan sistem kesadaran serta peran ketrampilan di kawasan penyangga

43
kawasan kelembagaan yang serta masyarakat masyarakat dengan secara

kokok dan kuat dalam dalam kegiatan tujuan untuk berkesinambungan

masyarakat sekitar pengawasan kawasan mengurangi tekanan

kawasan konservasi kawasan konservasi

44
Rencana pengelolaan yang dibuat dalam matrik pengelolaan

merupakan garis besar untuk digunakan sebagai acuan pengelolaan kawasan per

tahun. Penjabaran dari kerangka awal masih diperlukan untuk mensukseskan

rencana pengelolaan yang telah disusun. Dengan tetap memperhatikan dan

melibatkan dari masyarakat sekitar kawasan diharapkan dapat timbul suatu

kesadaran untuk secara bersama sama mengelola dan menjaga kelestarian

kawasan Cagar Alam Lifamatola baik supaya tetap dapat lestari sampai

generasi berikutnya.

45
BAB IV

KESIMPULAN

1. Kawasan Cagar Alam Lifamatola memiliki 80 jenis flora dan beberapa jenis

satwa dengan dominasi flora tingkat pohon adalah kayu Besi dengan nilai INP

0.32 atau sebesar 10.78%, tingkat tiang jenis kayu Kobaihi dengan nilai INP

0.264 atau sebesar 8.79 %, tingkat sapihan jenis pandan duri dengan nilai INP

0.26 atau sebesar 13.2%, dan tingkat semai jenis Bintangur dengan nilai INP

0.256 atau sebesar 12.79 selain itu kawasan cagar alam didominasi oleh

perbukitan dan tebing karang dengan kelerengan lebih besar dari 30%.

2. Jenis fauna yang terdapat di kawasan Cagar Alam Lifamatola sangat beragam

dan memiliki kekhasan fauna di daerah wallacea. Satwa liar tersebut adalah

satwa dari kelas mamalia, aves, reptilia, dan juga satwa liar lainnya.

3. Desa Waisum adalah satu-satunya desa yang berada disekitar kawasan cagar

alam dengan jumlah penduduk 452 jiwa dan tingkat perekonomian relatif

rendah dengan mata pencaharian penduduknya mayoritas sebagai nelayan.

4. Konsep pengelolaannya kawasan yang dilakukan adalah untuk menjaga

kelestarian daya dukung kawasan sebagai faktor penyokong kawasan dengan

tetap memperhatikan masyarakat dalam pengambilan keputusan pengelolaan.

46
DOKUMENTASI

Gambar 1 : Topografi CA Lifamatola yang terjal Gambar 2 : Tutupan vegetasi CA Lifamatola

Gambar 3 : Tim sedang bekerja mengambil data Gambar 6 : Lahan bekas erosi permukaan

47
Gambar 7 : Ekosistem bakau dalam kawasan Gambar 8 : Ekosistem bakau dalam kawasan

48
Gambar 9, 10, 11 : Pengukuran potensi flora kawasan

49
Gambar 12 : Bekas sarang burung Maleo Gambar 13 : Bekas kubangan Babi hutan

Gambar 14 : Ketam kenari/Ketam kelapa Gambar 15: Ketam kenari/Ketam kelapa

50
Gambar 16: Telur penyu Gambar 17: Telur penyu

51
Gambar 18: Nelayan Desa Waisum Gambar 19: Pengumpul ikan di Desa Waisum

Gambar 20: Batas CA. Lifamatola Gambar 21: Batas CA. Lifamatola

52
Gambar 21: Persiapan meninggalkan lokasi Gambar 22: Sunset di Lifamatola

53

Anda mungkin juga menyukai