Anda di halaman 1dari 17

PENGATURAN TERKAIT KONSERVASI DAN PEMULIAAN

SUMBERDAYA ALAM HAYATI PROVINSI MALUKU DAN IMPLEMENTASINYA

Oleh Mukhtar Amin Akhmadi, S.H., M.Si


(Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Maluku)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (UU KSDAHE), Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Pelaksanaannya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda),
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan urusan pemerintahan
konkuren atau adanya pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, melibatkan multipihak
sehingga diperlukan kerjasama secara sinergis agar tujuannya dapat tercapai. Pada era
otonomi daerah saat ini, perbedaan persepsi tentang pelaksanaan KSDAHE yang dianggap
masih sentralistik terkadang menjadi sebuah konflik antara pemerintah pusat dan daerah
karena adanya perbedaan kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, demikian pula dengan masyarakat lokal yang secara turun temurun berada di
sekitar dan atau di dalam kawasan konservasi serta kebutuhannya masih tergantung pada
sumber daya alam hayati.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Maluku adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemerintah
Pusat yang ada di daerah, dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.8/Menlhk/Setjen/OTL.O/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis

1
Konservasi Sumber Daya Alam, masih belum optimal dalam implementasinya. Dewasa ini
pengelolaan kawasan konservasi menghadapi sejumlah permasalahan dan kendala dalam
baik yang bersifat eksternal seperti penebangan liar, perambahan, perburuan satwa liar,
luasnya kawasan yang harus dilindungi, pembangunan sektoral dan lain-lain, maupun yang
bersifat internal diantaranya lemahnya kapasitas pengelolaan seperti kurangnya data dan
informasi esensial yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan, lemahnya koordinasi
lintas sektoral dan lain-lain. Hal ini salah satu diantaranya karena masih terdapat
kelemahan peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan pelaksanaan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga diperlukan perbaikan untuk
penyempurnaannya, sehingga selaras dengan dinamika perkembangan zaman dan tidak
terjadi tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan nasional maupun daerah
yang terkait.

Maksud dan Tujuan

Materi paparan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang pengaturan dan
kebijakan terkait konservasi dan pemuliaan sumber daya alam hayati serta implementasinya
di Provinsi Maluku. Adapun tujuannya yaitu untuk memberikan pemahaman tentang
pengaturan konservasi dan pemuliaan sumber daya alam hayati agar dalam
implementasinya terlaksana secara optimal dan sinergis.

2
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare
(keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya
(keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh
Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan
tentang konsep konservasi.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Konservasi sumber daya alam
hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Bijaksana disini diartikan Pengelolaan
sumber daya alam hayati yang sesuai dengan peraturan, prosedural dan arif
(pemanfaatannya tidak berlebihan dan memperhatikan keseimbangan), agar awet, murni,
dan manfaat secara berkesinambungan.

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:

a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;

b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Balai KSDA Maluku sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Pusat di daerah dibidang
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, secara operasional dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya berlandaskan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention
On Biological Diversity (Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati).
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol on
Biosafety to The Convention on Biological Diversity.

3
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang
Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang
yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvesi Keanekaragaman Hayati.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Liar.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015, Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA)
dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan

Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan
non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk. Perlindungan sistem
penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut Pemerintah menetapkan:

a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah pelindungan sistem penyangga kehidupan.

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, merupakan urusan pemerintahan
konkuren atau pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota. Sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pelaksanaan urusan pemerintahan
konkuren di bidang kehutanan mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya maka pemerintah pusat bertugas untuk menyelenggarakan pengelolaan
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, konservasi tumbuhan dan satwa liar,

4
pemanfaatan secara lestari kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa liar.

Gambar 1. Pembagian Kawasan Konservasi Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah


dengan Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015, pengelolaan Kawasan Suaka Alam
(KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) bertujuan untuk mengawetkan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa dalam rangka mencegah kepunahan spesies, melindungi sistem
penyangga kehidupan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari. Upaya
untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi yang
meliputi perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan dan evaluasi sesuai dengan
peraturan, prosedural dan arif (pemanfaatannya tidak berlebihan dan memperhatikan
keseimbangan) agar awet, murni dan manfaat secara berkesinambungan.

Pemerintah Provinsi sebagaimana diatur dalam UU Pemda bertugas melaksanakan


perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman hutan raya (tahura) lintas
daerah kabupaten/kota, perlindungan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan
atau tidak termasuk dalam Appendix CITES, pengelolaan kawasan bernilai ekosistem penting
dan daerah penyangga KSA/KPA. Kemudian pemerintah kabupaten/kota melaksanakan
pengelolaan Tahura di kabupaten/kota. Hal ini terlihat berbeda, karena kewenangan
pelaksanaan KSDAHE yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi memiliki
porsi yang lebih besar bila dibandingkan dengan pemerintah kabupaten/kota. Ketentuan

5
dalam Pasal 34 UU KSDAHE menyatakan bahwa seluruh tingkatan pemerintah memiliki
kewenangan yang sama namun dengan porsi yang berbeda untuk mengelola,
memanfaatkan dan melestarikan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.
Kekurangan dalam UU KSDAHE tidak terdapat pasal yang mengatur bahwa pengelolaan,
pemanfaatan dan pelestarian taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya
lintas daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pengelolaan,
pemanfaatan dan pelestarian taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya di
kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal ini dimaksudkan agar
ketentuan dalam UU KSDAHE dimaksud selaras dengan ketentuan dalam UU Pemda,
sehingga melalui pengaturan kewajiban dan tanggungjawab masing-masing tingkat
pemerintahan akan dapat dipahami yang menjadi tugas dibidang pelestarian taman
nasional, taman wisata alam dan tahura.

Kepulauan Maluku sebagai salah satu kawasan di daerah timur Indonesia memiliki berbagai
macam tipe habitat, mulai dari perairan laut hingga ke pegunungan. Tipe habitat di
Kepulauan Maluku memiliki kekhasan dikarenakan kondisinya yang merupakan gugusan
kepulauan dan untuk melindungi keanekaragaman hayati yang berada dalam habitat-
habitat tersebut beberapa area telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi.
Jumlah kawasan konservasi yang dikelola Balai KSDA Maluku saat ini berjumlah 29 kawasan
dengan luas keseluruhan 310.306,48 ha. Kawasan-kawasan tersebut lokasinya tersebar di
wilayah Propinsi Maluku dan Maluku Utara pada pulau-pulau kecil maupun besar.
Keberadaan kawasan tersebut mutlak dipertahankan karena merupakan benteng terakhir
keterwakilan ekosistem bagi hutan yang merupakan habitat flora dan fauna serta plasma
nutfah yang berguna bagi sumber budidaya pada masa mendatang. Disamping manfaat lain
sebagai perlindungan tata air, pemanfaatan jasa lingkungan serta pariwisata yang dapat
menunjang upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pelaksanaan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam di wilayah
kerja Balai KSDA Maluku belumlah optimal dalam pelaksanaannya, implementasi penerapan
peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan pelaksanaannya ada beberapa
diantaranya yang dapat menjadi salah satu faktor timbulnya hambatan dan permasalahan
serta pemicu konflik kepentingan.

6
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya Nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan pada
tanggal 16 Juni 2013 tentang Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan 2
(dua) komunitas masyarakat adat (MHA Kenegerian Kuntu dan MHA Kasepuhan Cisitu),
telah membatalkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, sehingga yang dimaksud dengan hutan adat menurut Pasal 1 angka 6 UU
Kehutanan adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (MHA).
Disamping itu MK juga telah membatalkan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang tidak
dimaknai Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan
adat. Hal ini berarti berdasarkan Putusan MK tersebut, menetapkan bahwa hutan negara
tidak termasuk hutan adat. Oleh karena itu kawasan hutan adat yang terdapat di dalam
kawasan konservasi tidak termasuk dalam hutan negara, sehingga MHA memiliki hak untuk
memanfaatkan dan mengelola tanah adat meskipun termasuk dalam kawasan hutan
konservasi.

Kemudian sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 UU


KSDAH dan Ekosistemnya disebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan konservasi agar tetap dalam
keadaan asli. Implementasi diberlakukannya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang
menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi
Hutan Negara, maka ketentuan yang diamanatkan dalam Pasal 12 UU Nomor 5 Tahun 1990
tidak mungkin lagi dapat diimplementasikan karena bagian kawasan suaka alam yang
terdapat hutan adat tidak mungkin lagi tetap dalam keadaan asli. Berdasarkan Keputusan
MK tersebut, maka negara mengakui dan menghormati hutan adat sebagai hutan hak yang
dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Sebagai implementasi Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 maka Kementerian Lingkungan


Hidup dan Kehutanan (dulu Kementerian Kehutanan) telah mengeluarkan Surat Edaran dan
Peraturan Menteri. Surat Edaran Menteri Kehutanan menegaskan bahwa hutan adat harus
di tetapkan oleh menteri kehutanan, dengan syarat keberadaan masyarakat hukum adat
terlebih dahulu ditetapkan dengan Peraturan daerah. Penetapan masyarakat hukum adat
dilakukan oleh Tim sesuai dengan kriteria Pasal 67 UU Kehutanan. Surat Edaran ini di

7
pertegas lagi dengan dikeluarkannya Permenhut Nomor 62 tahun 2013 sebagai Perubahan
atas Permenhut Nomor 44 tahun 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.

Akibat dirasakan panjangnya proses legitimasi ini dan mengingat mahalnya biaya
pembuatan sebuah Peraturan Daerah, maka Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan
sebuah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman
perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat. Sistem pengakuan yang dibangun
sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik saat ini. Pengakuan dilandasi
tahapan verifikasi oleh tim yang terdiri dari unsur pemerintah terkait dan masyarakat
hukum adat, yang pengesahaannya bisa melalui Peraturan Daerah ataupun SK Kepala
daerah yang bersangkutan, dimana untuk proses pembiayaannya dapat dibebankan kepada
APBN dan APBD.

Mengacu hal tersebut di atas, Balai KSDA Maluku dalam implementasi pengelolaan kawasan
konservasi di Provinsi Maluku melaksanakan langkah kongkrit melalui kegiatan penguatan
kawasan dengan menyusun rencana pengelolaan dan penataan kawasan konservasi.
Misalnya dalam penataan kawasan konservasi melalui kegiatan penyusunan dokumen
penataan blok, membagi habis sebuah kawasan konservasi kedalam blok-blok pengelolaan
berdasarkan kriteria dan peruntukannya sebagaimana secara rinci diatur dalam Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.76/MenLHK-Setjen/2015. Pembagian
kawasan konservasi kedalam blok-blok pengelolaan selain untuk pencapaian tujuan
pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, juga untuk
memberikan ruang kepada masyarakat hukum adat dan atau stakeholder terkait lainnya
dalam pengelolaan kawasan konservasi secara kolaborasi dan sinergis.

Blok-blok pengelolaan kawasan konservasi itu sendiri antara lain dikelompokan menjadi
blok perlindungan/perlindungan bahari, blok pemanfaatan dan blok lainnya (blok
rehabilitasi; blok religi, budaya dan sejarah; blok khusus; blok tradisional). Diharapkan
masyarakat hukum adat, keberadaan dan haknya atas suatu areal kawasan konservasi tetap
diakui dengan adanya ruang dan akses yang diberikan dengan tidak menyalahi peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Sesuai dengan Arahan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem,
pengelolaan kawasan konservasi dilaksanakan dengan menerapkan 10 Cara Baru Kelola
Kawasan Konservasi, yaitu :
8
1. Masyarakat Sebagai Subyek
2. Penghormatan pada HAM
3. Kerjasama Lintas Eselon I
4. Kerjasama Lintas Kementerian
5. Penghormatan Nilai Budaya dan Adat
6. Kepemimpinan Multi Level
7. Pengambilan Keputusan Berbasis Sains
8. Pengelolaan Berbasis Resort
9. Penghargaan dan Pendampingan
10. Organisasi Pembelajar

Lebih lanjut Ir. Wiratno, M.Sc (Direktur Jenderal KSDAE) menyatakan, kesepuluh cara baru
kelola kawasan konservasi tersebut di atas menjadi tantangan untuk mewujudkannya.
Untuk dapat menerapkannya, diperlukan suatu spirit yang disebut sebagai ‘5K’, yaitu: (1)
Kepedulian, (2) Keberpihakan, (3) Kepeloporan, (4) Konsistensi, dan (5) Kepemimpinan.

Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Dan Satwa Beserta Ekosistemnya

Kepunahan merupakan proses alamiah, tetapi laju kepunahan yang mencapai 1.000-10.000
kali dari proses alaminya cukup mengkuatirkan. Kepunahan ini terjadi akibat degradasi
habitat, over exploitation, polusi, penyakit dan perubahan iklim. Ancaman kepunahan flora
dan fauna ini terutama disebabkan oleh tingginya laju pertumbuhan penduduk di Asia dan
Afrika termasuk Indonesia.

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk:

a. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan;

b. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;

c. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada;

agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan. Pengawetan


jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya:

a. penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;

b. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;

c. pemeliharaan dan pengembangbiakan.

9
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, secara spesifik mengatur kriteria
status perlindungan jenis tumbuhan dan satwa yang terdiri atas (i) populasi yang kecil, (ii)
penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, dan/atau (iii) daerah penyebaran yang
terbatas (endemik).

Adapun Jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi sebagaimana tertera pada lampiran
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/6/2018 tentang
Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindung (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 880) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018
tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 1228) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang
Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, terdapat 904 jenis tumbuhan satwa dilindungi,
dimana di wilayah kerja Balai KSDA Maluku jenis tumbuhan dan satwa dilindungi sebanyak
109 jenis burung/aves, 9 jenis mamalia, 10 jenis reptilia, 2 jenis bivalva dan 6 jenis
tumbuhan.

Penetapan tumbuhan dan satwa liar dilindungi, selain ditetapkan berdasarkan kriteria
sebagaimana diatur dalam PP Nomor 7 Tahun 1999, harus mendapatkan pertimbangan dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Otoritas Keilmuan (Scientific Authority),
penetapan tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tumbuhan dan satwa yang tidak
dilindungi dan sebaliknya (Pasal 1A ayat 1 Peraturan Menteri LHK Nomor
P.106/Menlhk/Setjen/KUM.1/12/2018) juga mempertimbangkan kondisi di masyarakat.

Dinamika perubahan status tumbuhan dan satwa liar dilindungi menjadi tidak dilindungi dan
atau sebaliknya juga terjadi untuk tumbuhan dan satwa liar di Kepulauan Maluku.
Kepulauan Maluku dikenal sebagai surga paruh bengkok, terdapat 32 jenis burung paruh
bengkok yang dapat dan atau hanya ditemukan di Provinsi Maluku, dimana 20 jenis
diantaranya telah ditetapkan menjadi satwa yang dilindungi. Sedangkan untuk jenis
tumbuhan yang sebelumnya dilindungi Undang-Undang yaitu Anggrek Larat (Dendrobium

10
phalaenopsis) dan Anggrek Bulan Ambon (Phalaenopsis amboinensis) telah diubah statusnya
menjadi tumbuhan tidak dilindungi Undang-Undang.

Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya

Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur di alam yang terdiri dari sumber daya alam
nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa), yang bersama dengan unsur-
unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistemnya. Dalam
melaksanakan konservasi tidak berarti hanya melakukan perlindungan dan pengawetan
saja, tetapi kita dapat memanfaatkan, namun secara lestari. Artinya, pemanfaatan dilakukan
sebaik-baiknya, secukupnya, sehingga tidak digunakan semaunya, karena sumber daya alam
tidak hanya untuk kepentingan generasi sekarang, tetapi generasi mendatangpun juga akan
memerlukan sumber daya alam.

Berdasarkan UU KSDAHE, Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:

a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;


b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Yang dimaksud dengan kondisi lingkungan adalah potensi kawasan berupa ekosistem,
keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa, dan peninggalan
budaya yang berada dalam kawasan tersebut. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan
pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Kawasan
pelestarian alam terdiri atas taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan


Alam dan Satwa Liar, pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan
memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa liar. Pemanfaatan lestari dapat diwujudkan dalam kegiatan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi
alam, penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas,
dan angin serta wisata alam, pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, pemanfaatan sumber
plasma nutfah untuk penunjang budidaya, pemanfaatan tradisional oleh masyarakat
setempat. Peran serta masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan

11
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui kegiatan yang berdaya
guna dan berhasil guna.

Dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan, Pemerintah Indonesia
telah turut meratifikasi CITES (Convention on International Trade in Endangered of Wild
Flora and Fauna) melalui Keputusan Presiden Nomor 43 tahun 1978. Namun demikian,
peraturan CITES belum dapat diimplementasikan secara optimal untuk mendukung
perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang berkesinambungan. Peraturan CITES mulai dari
keharusan memiliki peraturan di tingkat nasional, penentuan kuota, mekanisme kontrol
pengambilan tumbuhan dan satwa di alam hingga pengawasan lalu lintas perdagangannya
masih belum terlaksana dengan baik. Beberapa kendala dalam pelaksanaan CITES antara
lain pemahaman CITES masih kurang; data ilmiah kurang untuk mendukung kuota;
penegakan hukum belum optimal dan komitmen masih lemah.

Kepulauan Maluku merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki


keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, baik tingkat endemisme maupun jumlah
jenisnya. Namun dengan wilayah berbentuk kepulauan, menjadi daerah yang cukup rentan
dalam hal kepunahan jenis tumbuhan dan satwa. Balai KSDA Maluku dalam upaya menjaga
kesinambungan dan kelestarian sumber daya alam hayati di Kepulauan Maluku,
menetapkan sebuah role model “Penanganan Jaringan Peredaran Tumbuhan dan Satwa
Liar Illegal” sebagai upaya dalam perlindungan dan pelestarian tumbuhan dan satwa liar di
Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara.

Hasil pelaksanaan role model yaitu telah diselamatkan sebanyak 1.402 ekor satwa dari 80
kasus yang terdiri atas 39 kasus penangkapan langsung, 21 kasus temuan pengangkutan TSL
illegal dan 20 kali penyerahan dari masyarakat. Hal ini menunjukan tingginya tingkat
pelanggaran peredaran TSL illegal di wilayah kerja Balai KSDA Maluku. Beberapa kasus
diantaranya telah naik ke pengadilan dan mendapat putusan pidana penjara antara 4 bulan
sampai dengan 1 tahun serta pidana denda antara Rp. 5.000.000,- sampai dengan
50.000.000,-. Namun demikian, terdapat 1 (satu) kasus perdagangan satwa ilegal dengan
barang bukti berupa ofsetan 28 ekor burung Cenderawasih Kecil (Paradisaea minor) yang
penyidikannya dilakukan oleh Reskrimsus Polda Maluku mendapatkan putusan bebas dari
Hakim dengan pertimbangan bahwa satwa dilindungi Undang-Undang tersebut untuk
tujuan keperluan adat.

12
Sebagai pedoman dalam pelaksanaan peredaran TSL didasarkan pada Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Penangkapan/
Pengambilan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Di wilayah kerja Balai KSDA Maluku
pada saat ini terdapat 32 pengedar TSL dan 3 (tiga) ijin kegiatan penangkaran. Pemberian
ijin tangkap dan atau pengambilan TSL didasarkan atas kuota yang telah ditetapkan oleh
Direktur Jenderal KSDAE (sebagai Management Authority) atas rekomendasi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia sebagai Scientific Authority.

Dengan diterbitkannya Peraturan Bupati Maluku Tenggara Nomor 166 Tahun 2018 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat Hukum
Adat Tanebar Evav (Tanimbar Kei) Kecamatan Kei Kecil Barat Kabupaten Maluku Tenggara,
pada Pasal 7 terdapat jenis-jenis TSL dilindungi sesuai dengan PP Nomor 7/1999
sebagaimana lampirannya telah diubah dengan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 yang dapat dimanfaatkan dalam wilayah
adat oleh Tanebar Evav, yaitu jenis Kima, Dugong, Penyu (telur dan tukik), Parimantha,
Cetacean, Lumba-Lumba dan Hiu Paus. Peraturan Bupati tersebut perlu ditinjau kembali
karena dalam praktek pemanfaatannya sulit dikendalikan dan hal ini bertentangan dengan
UU KSDAHE. Pasal 21 ayat (2) huruf a, b, c, d dan e UU KSDAHE menyatakan larangan untuk
menangkap, memelihara maupun memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
hidup maupun larangan untuk menyimpan, memelihara dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan mati atau larangan untuk mengeluarkan satwa yang dilindungi ke
tempat lain, memperniagakan bagian tubuh satwa dan menyimpan serta memperniagakan
telur atau sarang satwa yang dilindungi.

Pada prinsipnya Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum


adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang sebagaimana rumusan Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua Undang-
Undang Dasar 1945. Namun perlu dilakukan musyawarah dan atau konsultasi publik
dengan pemangku kepentingan terkait agar tidak menimbulkan disharmoni dalam
implementasinya di tingkat tapak. Masyarakat Hukum Adat yang kaya dengan aturan dan
kearifan tradisional harus diajak bermusyawarah untuk mengkaji larangan-larangan yang

13
tidak boleh dilakukan oleh MHA, sehingga tumbuhan dan satwa tidak semakin berkurang
dan atau bahkan punah karena pemanfaatan dan pengelolaan wilayah adat.

Pemuliaan Sumber Daya Alam Hayati

Tingkatan Keanekaragaman hayati mulai dari genetik, spesies, dan ekosistem yang dimiliki
oleh Indonesia cukup tinggi. Potensi sumber daya genetik dapat ditemui dalam tumbuhan,
satwa, mikroba dan pengetahuan tradisional yang tersebar dalam kawasan konservasi dan
di luar kawasan konservasi. Pemanfaatan tiga potensi keanekaragaman hayati tersebut
harus memenuhi tiga pilar Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological
Diversity) yang dikuatkan dengan Protokol Nagoya. Ketiganya adalah konservasi
keanekaragaman hayati, pemanfaatkan komponen keanekaragaman hayati yang lestari
(berkelanjutan), pembagian keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber
daya genetik. Namun demikian, dalam UU KSDAHE pilar ketiga dari konvesi
keanekaragaman hayati belum tersirat padahal Pemerintah Indonesia telah mengesahkan
Protokol Nagoya sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013.

Saat ini potensi pencurian sumber daya genetik di Indonesia cukup rentan, dan disisi lain
Indonesia juga telah mengesahkan Protokol Cartagena, namun regulasi yang mengatur
tentang sumber daya genetik juga belum cukup memadai.

Tujuan dari Protokol Cartagena yaitu untuk memberikan konstribusi dalam menjamin
tingkat perlindungan yang memadai di bidang perpindahan, penanganan dan pemanfaatan
yang aman dari organisme hasil modifikasi genetik yang berasal dari bioteknologi modern
yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap konservasi dan pemanfaatan yang
berkelanjutan keanekaragaman hayati dengan mempertimbangkan resiko terhadap
kesehatan manusia dan secara khusus menitikberatkan pada perpindahan lintas batas.

Terkait dengan tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai Pasal 3
UU KSDAHE yaitu mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, maka masih diperlukan regulasi
untuk mengatur perpindahan dan penanganan serta pemanfaatan hasil modifikasi genetik
dari biotekologi modern. Hal ini seiring dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dapat dilihat dengan semakin banyaknya produk pertanian dan

14
peternakan hasil dari modifikasi genetik, sedangkan jaminan untuk perlindungan terhadap
perpindahan, penanganan dan pemanfaatan yang aman dari produk pertanian dan
peternakan tersebut bahkan yang memiliki potensi merugikan kesehatan manusia .

Tumbuhan alam dan satwa liar merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial
dalam upaya mendukung perkembangan rekayasa genetik untuk perkembangan
bioteknologi yang dapat menghasilkan produk-produk pertanian dan peternakan ungggulan.
Namun UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya yang mengatur secara umum tentang upaya mewujudkan kelestarian sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya belum memberi perhatian yang lebih terhadap
modifikasi genetik dari bioteknologi modern.

Pasal 5 UU KSDAHE tidak secara eksplisit menguraikan tentang ruang lingkup pengaturan
modifikasi genetik dari bioteknologi modern, karena hanya mencakup perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa liar beserta
ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Sedang pada Pasal 4 Protokol Cartagena telah diatur tentang modifikasi genetik yang aman
karena telah mencakup perpindahan lintas batas, persinggahan, penanganan dan
pemanfaatan semua organisme hasil modifikasi genetik yang dapat mengakibatkan kerugian
terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati dengan
mempertimbangkan resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.

Namun demikian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan


Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.2/MENLHK/Setjen/KUM.1/1/2018 tentang Akses
Pada Sumber Daya Genetik Spesies Liar dan Pembagian Keuntungan Atas Pemanfaatannya.
Ruang lingkup dari peraturan Menteri ini, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 3 yaitu :

a. Akses terhadap Sumber Daya Genetik dan atau Pengetahuan Tradisional Sumber Daya
Genetik Spesies Liar;
b. Pengalihan Materi;
c. Kelembagaan;
d. Pembinaan dan Pengawasan;
e. Sanksi.

15
Isu pembagian keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan SDG dengan
pendekatan dari unsur Hak Kekayaan Intelektual dapat dilakukan, karena SDG di Indonesia
tak bisa dilepaskan dengan hak kekayaan intelektual masyarakat yang memiliki
pengetahuan tradisional mengenai SDG. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.I/5/2017 tentang Pengakuan dan
Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup,
pada Pasal 2 ayat 2 menyatakan Pengaturan Kearifan Lokal bertujuan agar pengampu
Kearifan Lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan memperoleh pembagian
keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan Kearifan Lokal dalam relevansi
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

PENUTUP

Pelaksanaan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya didasarkan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Namun dengan dinamika perkembangan jaman, UU
KSDAHE perlu diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan terkait antara lain
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati
atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati. Demikian halnya dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang memberikan pengakuan dan
penghormatan hutan adat sebagai hutan hak yang dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh
masyarakat hukum adat, diperlukan adanya pengaturan tentang pelaksanaan hukum adat
terhadap pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam hayati.

DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 35/PUU-X/2012.
Dibacakan pada tanggal 13 Mei 2013.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Cartagena tentang


Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

16
Wiratno, 2018. Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi Indonesia : Membangun
Organisasi Pembelajaran. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai