Anda di halaman 1dari 51

I.

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Wilayah Nusa Tenggara Barat secara ekologis mempunyai nilai karakteristik yang khas
karena merupakan lintasan garis Wallacea sebagai peralihan ekologis antara benua Asia
dan Australia. Secara spesifik di Pulau Lombok ditemukan adanya kera hitam/lutung
(Presbithys cristata) yang tidak ditemukan di Pulau Bali dan Pulau Sumbawa, jenis
tanaman Kelicung (Dyosphyros malabarica), Rajumas (Duabanga moluccana) yang
merupakan tanaman khas Nusa Tenggara Barat, dan Gaharu ( Gyrinops verstegii) yang
merupakan tanaman penghasil gubal gaharu dengan aroma yang khas dan jenis
tanaman yang berbeda dengan daerah lain, ekosistem Taman Nasional Gunung Rinjani
yang mempunyai kaldera akibat letusan gunung Rinjani beberapa puluh tahun lalu
sehingga membentuk danau Segara Anak, yang secara ekosistem bisa menjadi warisan
dunia (world heritage), Gunung Tambora dengan kaldera akibat letusan dua abad silam
yang menarik secara geologis, danau Rawa Taliwang sebagai tempat persinggahan
burung bangau yang migrasi dari daratan Australia ke daratan China, dan lain-lain. Hal
ini menunjukan bahwa wilayah Nusa Tenggara Barat mempunyai keanekaragaman hayati
pada tingkat jenis serta pada tingkat ekosistem yang berbeda dengan daerah lain serta
melekat pada suatu wilayah sehingga menjadi identitas suatu kawasan.
Penyebaran jenis-jenis hewan ataupun tumbuhan yang bervariasi seringkali terikat dalam
hubungan dengan ekosistem setempat, karena adanya kesesuaian jenis dengan habitat
tempat tumbuhnya atau tempat berkembangnya suatu jenis. Perubahan kondisi
ekosistem akan memberi pengaruh nyata pada perubahan variasi jenis, sehingga jenis-
jenis yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan habitat akan mengalami
kepunahan karena migrasi atau mengalami kematian. Perubahan habitat, seringkali
disebabkan oleh campur tangan manusia dalam bentuk aktivitas yang bersifat merusak
atau menyebabkan ketidakseimbangan secara ekologis. Pemanfaatan yang kurang
seimbang dengan kemampuan dalam memperbaiki diri atau dengan kata lain
pemanfaatan yang tidak mempertimbangkan azas kelestarian akan berdampak pada
penurunan volume suatu jenis atau bahkan menimbulkan dominasi jenis lainnya.
Dominasi suatu jenis pada suatu kawasan akan cenderung mendesak jenis lain untuk
keluar dari suatu kawasan sehingga jenis satwa yang tertekan akan migrasi keluar dan
membentuk koloni baru pada kawasan lain, sedangkan pada jenis flora yang tertekan
dan tidak mampu beradaptasi dengan habitat baru akan mengalami kepunahan. Oleh
karena itu, campur tangan manusia perlu dibatasi dan dikendalikan agar perubahan
ekosistem juga dapat dikendalikan pada tingkat yang minimal dan ekosistem tetap
terjaga keaslian dan keutuhannya. Hal ini berarti peran masyarakat sangat penting dalam
mempengaruhi perubahan ekosistem, yang berarti juga akan mempengaruhi kondisi
jenis flora dan fauna. Kesadaran masyarakat terhadap konservasi keanekaragaman

Konsep MKKHD 1
hayati akan memberi dampak yang positif bagi kelestarian sumber daya alam pada suatu
kawasan karena ekosistem kawasan akan terjaga keutuhan dan keasliannya.
Peran serta masyarakat dalam menjaga dan melestarikan ekosistem kawasan hutan akan
sangat penting karena perubahan kondisi ekosistem kawasan, umumnya terjadi sebagai
akibat aktivitas manusia yang cenderung berlebihan. Aktivitas manusia yang berlebihan
akan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem, seperti terganggunya rantai
makanan, kelimpahan suatu jenis atau pengurangan suatu jenis, hilangnya jenis-jenis
khas (endemik), dan lain-lain, yang pada akhirnya akan menurunkan nilai ekosistem.
Memperhatikan kondisi sumber daya alam Provinsi Nusa Tenggara Barat yang
mempunyai keanekaragaman hayati cukup tinggi namun mempunyai potensi tekanan
yang tinggi pula karena aktivitas manusia, maka pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Barat telah menetapkan salah satu Indikator Kinerja Utama (IKU) berupa pembentukan
Model Konservasi Keanekaragaman Hayati Daerah (MKKHD). Penetapan beberapa
kawasan yang dipandang mempunyai potensi ekologis telah dilakukan melalui penetapan
sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dengan pertimbangan lingkungan dalam
dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Nusa Tenggara Barat melalui
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010. Terdapat 4 KSP
yang telah ditetapkan dengan pertimbangan lingkungan yaitu (1) Selalu Legini, (2)
Tambora, (3) Parado dan (4) Sangeang, sementara itu dalam dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2009-2013 Provinsi Nusa
Tenggara Barat, telah ditetapkan Indikator Kinerja Utama (IKU) berupa Model Konservasi
Keanekaragaman Hayati Daerah (MKKHD) sebanyak 3 unit.
Untuk mengimplentasikan kebijakan MKKHD sebagaimana tercantum dalam RTRWP
(2009-2029) dan RPJMD (2009-2013), maka perlu ditindaklanjuti dengan penetapan
MKKHD melalui kesepakatan masyarakat sekitar hutan, Bupati dan Gubernur Nusa
Tenggara Barat. Sebelum kesepakatan tersebut dibuat maka diperlukan kajian yang
mendalam, dalam berbagai aspek, sebagai landasan bagi operasionalisasi MKKHD melalui
proses sosialisasi, identifikasi potensi, penjajagan kebutuhan masyarakat, perencanaan
kawasan serta pembentukan kelembagaan masyarakat sekitar hutan. Proses kajian
MKKHD tersebut, dilakukan melalui pertemuan-pertemuan yang melibatkan berbagai
pihak terkait terutama masyarakat sekitar hutan.
2. Maksud dan tujuan
Maksud dan tujuan penyusunan MKKHD adalah :
a. Melaksanakan kajian arahan pembentukan MKKHD sebagaimana dimaksud dalam
dokumen perencanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Barat (2009-2013),
b. Melaksanakan identifikasi potensi, penjajagan kebutuhan, merancang kegiatan yang
berkaitan dengan konservasi, membentuk kelembagaan masyarakat yang sesuai
bagi pengelolaan MKKHD, penguatan kelembagaan masyarakat sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,

Konsep MKKHD 2
c. Menjalin hubungan yang kuat (simbiose mutualisme) dalam konteks konservasi
antara masyarakat dengan kawasan hutan, meliputi aktivitas masyarakat yang
sesuai dengan kondisi kawasan hutan.
3. Sasaran
a. Sasaran lokasi
Sasaran lokasi kegiatan sebagaimana tercantum dalam RPJMD dan RTRWP, meliputi
(a) Selalu Legini/Tatar Sepang, (b) Tambora, dan (c) Parado. Lokasi Sangeang yang
terletak pada pulau Sangeang, relatif tidak mengalami tekanan manusia karena tidak
terdapat penduduk, sehingga belum mendapat prioritas kajian.
b. Sasaran kegiatan
Terbentuknya MKKHD 3 lokasi yang mengarah pada pengelolaan kawasan hutan
bersama masyarakat, dengan mempertimbangkan aspek konservasi (pengawetan,
perlindungan dan pemanfaatan). Sasaran akhir kegiatan adalah penetapan MKKHD
melalui kesepakatan kelompok masyarakat, Bupati dan Gubernur NTB yang
mencakup kewilayahan dan pengelolaan MKKHD.
4. Ruang lingkup
a. Identifikasi potensi dan kebutuhan masyarakat (need assessment),
b. Membangun persepsi masyarakat terhadap kawasan hutan,
c. Merancang kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta
hubungannya dengan konservasi sumber daya hutan,
d. Merancang kelembagaan masyarakat dalam bentuk forum konservasi kawasan
hutan
e. Penguatan kelembagaan masyarakat yang mengarah pada konservasi
keanekaragaman hayati daerah.
5. Manfaat
a. Bagi Pemerintah
a) Merupakan dokumen yang dapat dijadikan acuan dalam implementasi kegiatan
di wilayah provinsi NTB,
b) Sebagai acuan bagi kegiatan melalui penganggaran yang berasal dari APBN dan
PNBP.
b. Bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten
a) Merupakan dokumen yang dapat dijadikan acuan dalam menyusun rencana
pembangunan daerah,
b) Sebagai acuan dalam penganggaran kegiatan yang dialokasikan dalam APBD.
c. Bagi Masyarakat
a) Meningkatkan pemahaman dalam konservasi kawasan hutan,
b) Sebagai landasan bagi pelaksanaan kegiatan yang berorientasi pada upaya
konservasi kawasan hutan.

Konsep MKKHD 3
II. LANDASAN

1. Landasan Hukum
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya, mengamanatkan pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya.
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses
ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan dengan
menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli, melalui (1)
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan
suaka alam, (2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka
alam dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan dan satwa
tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya, (3) Pengawetan jenis tumbuhan
dan satwa di luar kawasan suaka alam dilakukan dengan menjaga dan
mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya
kepunahan. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dilakukan melalui kegiatan a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian
alam; b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemanfaatan kondisi
lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian
fungsi kawasan. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan
memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa liar. Hal ini menunjukan bahwa pemanfaatan dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek kelestarian kawasan dan kelestarian jenis atau dengan
kata lain mempertimbangkan kondisi ekosistem wilayah serta mempertahankan
keutuhan dan keaslian kawasan.
b. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan perubahannya
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004,
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberi amanat :
pemanfaatan hutan, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya (pasal 23). Hal ini memberi makna bahwa pemanfaatan hutan harus
memperhitungkan aspek kelestarian dari sisi usaha dan dari sisi sumber daya alam.

Konsep MKKHD 4
Pemanfaatan yang hanya mementingkan keuntungan ekonomi jangka pendek akan
cenderung merusak sumber daya hutan karena eksploitasi yang berlebihan dan tidak
memperhitungkan keperluan jangka panjang. Kelestarian usaha harus dilakukan
dengan mempertimbangkan keberlangsungan usaha kehutanan dalam jangka
panjang dengan memperhitungkan kapasitas produksi yang sesuai dengan
kemampuan sumber daya alam. Kelestarian sumber daya alam sebagai azas utama
dalam pemanfaatan hutan, dimaknai sebagai aspek pembatas karena pemanfaatan
harus dilakukan sesuai dengan kemampuan pertambahan sumber daya alam atau
riap (pertambahan volume tegakan/satuan luas/satuan waktu).
c. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota, menunjukan bahwa pengelolaan hutan produksi dan hutan
lindung merupakan urusan pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan pada hutan produksi merupakan
kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam hubungannya pemberian izin usaha
pemanfaatan hutan dan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan
Negara pada wilayah kerja Perum Perhutani. Demikian juga dengan pemberian izin
usaha pemanfaatan hutan dan jasa lingkungan skala Kabupaten/Kota kecuali pada
kawasan hutan Negara pada wilayah kerja Perum Perhutani.
Pemanfaatan kawasan hutan pada hutan lindung, dijelaskan bahwa pemberian
perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu
yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan
pemanfaatan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara
pada wilayah kerja Perum Perhutani dan pemberian perizinan pemanfaatan kawasan
hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk
ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala
kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja perum
Perhutani.
Berdasarkan kedua pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa pemanfaatan
kawasan hutan produksi dan hutan lindung, dapat diberikan oleh pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, terutama
menyangkut pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu
yang tidak dilindungi, serta pemanfaatan jasa lingkungan. Pemanfaatan hutan yang
berkonservasi berarti melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan yang
mempertimbangkan aspek perlindungan dan aspek pengawetan ekosistem hutan
sebagai satu kesatuan.

Konsep MKKHD 5
d. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, dan perubahanya terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2008, menegaskan tujuan pemanfaatan hutan adalah untuk
memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi
kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan dapat dilakukan melalui kegiatan :
a. pemanfaatan kawasan;
b. pemanfaatan jasa lingkungan;
c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan
d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Pemanfaatan hutan dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan hutan.
Pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yaitu kawasan :
a. hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan
zona inti dalam taman nasional;
b. hutan lindung; dan
c. hutan produksi.
Dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan, wajib disertai dengan izin
pemanfaatan hutan yang meliputi :
a. IUPK (izin usaha pemanfaatan kawasan);
b. IUPJL (Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan);
c. IUPHHK (Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu);
d. IUPHHBK (Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu);
e. IPHHK (izin pemungutan hasil hutan kayu); dan
f. IPHHBK (izin pemungutan hasil hutan bukan kayu).
Pemanfaatan hutan pada hutan lindung dapat dilakukan melalui kegiatan:
a. pemanfaatan kawasan;
b. pemanfaatan jasa lingkungan; atau
c. pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Dalam blok perlindungan pada hutan lindung, dilarang melakukan kegiatan
pemanfaatan hutan. Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat dilakukan,
antara lain, melalui kegiatan usaha :
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. penangkaran satwa liar;
f. rehabilitasi satwa; atau
g. budidaya hijauan makanan ternak.

Konsep MKKHD 6
Kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dilakukan dengan
ketentuan :
a. tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya;
b. pengolahan tanah terbatas;
c. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
d. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau
e. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dilakukan, antara lain, melalui
kegiatan usaha :
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung, dilakukan dengan
ketentuan tidak:
a. mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya;
b. mengubah bentang alam; dan
c. merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan.
Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan
pemanfaatan air pada hutan lindung, harus membayar kompensasi kepada
Pemerintah. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung antara lain
berupa :
a. rotan;
b. madu;
c. getah;
d. buah;
e. jamur; atau
f. sarang burung walet.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung dilakukan dengan
ketentuan:
a. hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami;
b. tidak merusak lingkungan; dan
c. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh
masyarakat di sekitar hutan. Pada hutan lindung, dilarang;
a. memungut hasil hutan bukan kayu yang banyaknya melebihi kemampuan
produktifitas lestarinya;
b. memungut beberapa jenis hasil hutan yang dilindungi oleh undang-undang.

Konsep MKKHD 7
Dalam satu izin pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat meliputi beberapa
izin kegiatan usaha budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur dan lebah.
Pemberi izin, dilarang mengeluarkan lagi izin pada areal pemanfaatan kawasan atau
jasa lingkungan pada hutan lindung yang telah mendapatkan izin pemanfaatan
hutan, kecuali izin untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) dapat
dikeluarkan dengan komoditas yang berbeda.
Pada hutan produksi, pemanfaatan hutan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
untuk mengelola hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya. Pemanfaatan
hutan pada hutan produksi dilakukan, antara lain, melalui kegiatan :
a. usaha pemanfaatan kawasan;
b. usaha pemanfaatan jasa lingkungan;
c. usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam;
d. usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman;
e. usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam;
f. usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman;
g. pemungutan hasil hutan kayu dalam hutan alam;
h. pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam;
i. pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman.
Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dilakukan, antara lain, melalui kegiatan
usaha :
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. penangkaran satwa; dan
f. budidaya sarang burung walet.
Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi tidak bersifat limitatitf dan dapat
diberikan dalam bentuk usaha lain, dengan ketentuan :
a. luas areal pengolahan dibatasi;
b. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
c. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan
d. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dilakukan, antara lain, melalui
kegiatan :
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; dan
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.

Konsep MKKHD 8
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi tidak bersifat limitative dan dapat
diberikan dalam bentuk usaha lain, dengan ketentuan :
a. tidak mengubah bentang alam;
b. tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan; dan/atau
c. tidak mengurangi fungsi utamanya.
Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan
pemanfaatan air pada hutan produksi, harus membayar kompensasi kepada
Pemerintah.
Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat
dilakukan pada :
a. HTI;
b. HTR; atau
c. HTHR.
Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman
dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik
sumberdaya hutan dan lingkungannya. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI
dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada
HTI, dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif. Tanaman yang dihasilkan
dari IUPHHK pada HTI merupakan aset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan
agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku. Pemerintah, sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, dapat membentuk lembaga keuangan untuk
mendukung pembangunan HTI. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu
pada HTI dalam hutan tanaman dapat berupa :
a. tanaman sejenis; dan
b. tanaman berbagai jenis.
Menteri, dalam hutan tanaman pada hutan produksi, mengalokasikan dan
menetapkan areal tertentu untuk membangun HTR, berdasarkan usulan KPH atau
pejabat yang ditunjuk. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada
HTR dalam hutan tanaman dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur,
sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya.
Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman meliputi kegiatan
penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan
pemasaran. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman
dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif. Tanaman yang dihasilkan dari
IUPHHK pada HTR merupakan asset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan
agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku. Pemerintah, sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, membentuk lembaga keuangan untuk mendukung
pembangunan HTR.

Konsep MKKHD 9
Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan
tanaman sebagaimana dimaksud dalam dapat berupa :
a. tanaman sejenis; dan
b. tanaman berbagai jenis.
Untuk melindungi hak-hak HTR dalam hutan tanaman, Menteri menetapkan harga
dasar penjualan kayu pada HTR.
Pada hutan produksi, berdasarkan rencana pengelolaan KPH, usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu pada HTHR dalam hutan tanaman dilakukan melalui penjualan
tegakan. Kegiatan penjualan tegakan, meliputi kegiatan pemanenan, pengamanan,
dan pemasaran. Penjualan tegakan dilakukan dalam satu kesatuan luas petak yang
diusulkan oleh kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. Dalam kawasan
hutan pada HTHR yang telah dilakukan penjualan tegakan, Menteri atau pejabat
yang ditunjuk dapat memberikan IUPHHK pada HTI atau IUPHHK pada HTR kepada
perorangan, koperasi, BUMN, atau BUMS. Kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu pada HTI atau HTR oleh perorangan, koperasi, BUMN, atau BUMS dilakukan
sesuai dengan kegiatan. BUMN, BUMS, BUMD, Koperasi atau perorangan sebagai
pemegang izin harus membayar harga tegakan yang dipungut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagi koperasi yang anggotanya memiliki
investasi saat rehabilitasi, harga tegakan yang dipungut, harus dibayar oleh masing-
masing anggota sesuai dengan besar investasinya setelah dilakukan pembagian laba
usaha secara proporsional dengan Pemerintah, pemerintah provinsi, atau
pemerintah kabupaten/kota. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam
pada hutan produksi, antara lain berupa pemanfaatan :
a. rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan,
pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
b. getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan
pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi,
antara lain berupa pemanfaatan :
a. rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil;
b. getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan tanaman dapat pula dilakukan
terhadap hutan tanaman hasil kegiatan rehabilitasi.
Pemungutan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan
untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas umum kelompok masyarakat
setempat, dengan ketentuan paling banyak 50 (lima puluh) meter kubik dan tidak
untuk diperdagangkan. Pemungutan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan
produksi diberikan untuk memenuhi kebutuhan individu, dengan ketentuan paling

Konsep MKKHD 10
banyak 20 (dua puluh) meter kubik untuk setiap kepala keluarga dan tidak untuk
diperdagangkan.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi
diberikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan dapat
diperdagangkan. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam pada hutan
produksi dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji, daun,
gaharu, kulit kayu, tanaman obat, dan umbi-umbian, dengan ketentuan paling
banyak 20 (dua puluh) ton untuk setiap kepala keluarga. Pemungutan hasil hutan
bukan kayu dalam hutan alam dilakukan terhadap tumbuhan liar dan/atau satwa liar
harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi
diberikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan dapat
diperdagangkan. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman dapat
pula dilakukan terhadap hutan tanaman hasil rehabilitasi. Pemungutan hasil hutan
bukan kayu dalam hutan tanaman dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah,
buah atau biji, daun, gaharu, kulit kayu, tanaman obat, dan umbi-umbian, dengan
ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) ton untuk setiap kepala keluarga.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman yang berupa tumbuhan
liar dan satwa liar diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan pada hutan produksi, wajib disertai
dengan izin pemanfaatan. Pemberi izin, dilarang mengeluarkan izin :
a. dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan
untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan.
b. dalam areal hutan yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hutan.
Pemberi izin, dapat mengeluarkan IPHHBK dalam areal hutan yang telah dibebani
izin usaha pemanfaatan hutan dengan komoditas yang berbeda. IUPHHK dapat
dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik
sumber daya hutan dan lingkungannya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Nomor 3 Tahun 2008,
dapat dijelaskan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh status
fungsi kawasan hutan kecuali pada zona rimba cagar alam dan zona inti Taman
Nasional. Pemanfaatan hutan dilakukan terhadap kawasan, jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu
dan hasil hutan bukan kayu. Pada hutan lindung tidak diperkenankan pemanfaatan
hasil hutan kayu dan bukan kayu serta tidak mengubah bentang alam, tidak
merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan; dan/atau tidak mengurangi fungsi
utamanya.

Konsep MKKHD 11
PEMANFAATAN HUTAN

a. IUPK;
a. pemanfaatan kawasan; b. IUPJL;
b. pemanfaatan jasa lingkungan; c. IUPHHK;
c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan
d. IUPHHBK;
Hutan bukan kayu; dan
d. pemungutan hasil hutan kayu dan e. IPHHK; dan
Produksi
bukan kayu. f. IPHHBK.

a.budidaya tanaman obat;


b.budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
a. pemanfaatan kawasan; d. budidaya lebah;
Hutan b. pemanfaatan jasa lingkungan; atau
Hutan e. penangkaran satwa; dan
Lindung c. pemungutan hasil hutan bukan kayu. f. budidaya sarang burung walet.

a. rotan; a. pemanfaatan jasa aliran air;


b. madu; b. pemanfaatan air;
c. getah; c. wisata alam;
d. buah; d. perlindungan keanekaragaman
Hutan Konservasi e. jamur; atau hayati;
kecuali pada cagar f. sarang burung walet. e. penyelamatan dan
alam, zona rimba, dan perlindungan lingkungan; dan
f. penyerapan dan/atau
zona inti dalam taman penyimpanan karbon.
nasional

e. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
tahun 2009-2013
Amanat RPJMD Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2009-2013 antara lain
menetapkan Indikator Kinerja Utama (IKU) berupa pembentukan Model Konservasi
Keanekaragaman Hayati Daerah (MKKHD) sebanyak 3 unit. Keanekaragaman hayati
Daerah didefinisikan sebagai variasi atau perbedaan bentuk makhluk hidup, yang
menempati suatu kawasan tertentu, yang mempunyai karakteristik (kekhasan) dan
berbeda dengan daerah lain (ditempati jenis-jenis endemik). Hal ini berarti
penetapan kawasan MKKHD harus mempunyai keunikan tersendiri serta akan
dikelola dalam bentuk model konservasi atau dengan mempertimbangkan aspek
lingkungan yang seimbang dengan pemanfaatan ekonomi. MKKHD merupakan
kawasan ekosistem dengan karakteristik khas, yang perlu dilakukan pengawetan
karena menyangkut perwakilan tipe ekosistem setempat, dilakukan perlindungan
dengan menekan gangguan yang mungkin terjadi serta rehabilitasi dan restorasi
kawasan, serta mengembangkan pemanfaatan yang mempertimbangkan kelestarian
jangka panjang.
Berdasarkan IKU sebagaimana dalam RPJMD, maka dijabarkan dalam Rencana
Strategis Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mengarahkan 3 (tiga)
capaian MKKHD. Sasaran lokasi MKKHD yang dituju meliputi (1) lokasi Lemor
(kelompok hutan Petandaan) untuk mendukung pembangunan Kebun Raya, (2)

Konsep MKKHD 12
lokasi Gunung Sasak untuk mendukung konservasi tanah dan air serta pemanfaatan
kawasan yang dilakukan kelompok masyarakat sekitar hutan dengan
mempertimbangkan aspek perlindungan hutan, (3) lokasi Tatar Sepang untuk
mengembangkan konservasi kawasan yang dilakukan masyarakat melalui
pemanfaatan jasa lingkungan dan perlindungan kawasan hutan, (4) lokasi Tambora
untuk mengembangkan konservasi kawasan bersama kelompok masyakat melalui
pengembangan ekonomi pada daerah penyangga sekitar hutan, dan (5) lokasi
Parado untuk menguatkan pengelolaan hutan oleh kelompok masyarakat. Meskipun
dalam dokumen RPJMD mempunyai sasaran 3 unit MKKHD, namun diupayakan
dibentuk 5 unit MKKHD sesuai dengan kebutuhan daerah.
f. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2009-2029.
Amanat Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2009-2029 antara lain menetapkan 16
Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dengan pertimbangan ekonomi, sosial budaya dan
pertimbangan lingkungan. Terdapat 4 KSP yang ditetapkan dengan pertimbangan
lingkungan yaitu : (1) Selalu Legini, (2) Tambora, (3) Parado, dan (4) Sangeang.
Disamping itu, telah ditetapkan 2 kawasan MKKHD dalam kontek pengelolaan hutan
yaitu kawasan hutan lindung Lemor yang dikelola menjadi kawasan hutan dengan
tujuan khusus (KHDTK) guna mendukung pembangunan Kebun Raya “Soenda Ketjil”
serta pengelolaan hutan lindung pada Gunung Sasak, mengingat pada kawasan ini
mempunyai sejarah sebagai tempat berlangsungnya Pekan Penghijauan Nasional.
g. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007
Peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur pemberian akses pengelolaan hutan
kepada masyarakat pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi, dalam bentuk
Hutan Kemasyarakatan (HKm) diatur dalam peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan beserta perubahannya. Proses
pemberian izin HKm dilakukan melalui permohonan masyarakat berserta persyaratan
yang diverifikasi oleh Kepala Desa, untuk diajukan kepada Bupati/Walikota.
Berdasarkan permohonan tersebut, Bupati/Walikota menurunkan Tim Verifikasi
untuk melakukan checking lapangan. Berdasarkan hasil verifikasi Bupati/Walikota,
selanjutnya diajukan kepada Menteri Kehutanan untuk mendapat penetapan areal
kerja HKm. Permohonan Bupati/Walikota tersebut, selanjutnya diverifikasi oleh Tim
Kementerian Kehutanan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai areal kerja HKm
melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
Berdasarkan penetapan areal kerja HKm oleh Menteri Kehutanan, maka
Bupati/Walikota dapat menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan HKm dengan jangka
waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang. Untuk mengendalikan pemanfaatan hutan
tersebut maka diperlukan perencanaan. Oleh karena itu, pemegang izin HKm
diwajibkan menyusun Rencana Umum dan Rencana Operasional.

Konsep MKKHD 13
h. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.22/Menhut-II/2012
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.22/Menhut-II/2012 tentang pedoman
kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam pada hutan lindung,
antara lain memberi amanat kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk memberi
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam pada hutan lindung, yang
terdiri dari izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam-penyedia jasa
wisata alam (IUPJLWA-PJWA) dan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata
alam-penyedia sarana wisata alam (IUPJLWA-PSWA). IUPJLWA-PJWA untuk
perorangan diberikan untuk jangka waktu 2 tahun, sedangkan badan usaha atau
koperasi diberikan untuk jangka waktu 5 tahun. IUPJLWA-PSWA diberikan untuk
jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun dan
dapat diperpanjang kembali.
Usaha penyediaan jasa wisata alam meliputi (a) jasa informasi pariwisata, (b) jasa
pramuwisata, (c) jasa transportasi, (d) jasa perjalanan wisata, (e) jasa cinderamata,
dan/atau (f) jasa makanan dan minuman. Usaha penyediaan sarana wisata alam
meliputi (a) wisata tirta, (b) akomodasi, (c) transportasi, dan/atau (d) wisata
petualangan.
2. Landasan Teori
Keanekaragaman hayati merupakan variasi atau perbedaan bentuk-bentuk makhluk
hidup, meliputi perbedaan pada tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, materi genetik
yang di kandungnya, serta bentuk-bentuk ekosistem tempat hidup suatu makhluk hidup
(http://www.pintugerbang.net/id/mod/book/view.php?id=55&chapterid=11). Sesuai
dengan variasi perbedaan bentuk makhluk hidup, maka keanekaragaman hayati terbagi
dalam 3 (tiga) tingkatan yaitu :
a. Keanekaragaman Hayati Tingkat Gen
Semua makhluk hidup dalam satu spesies/jenis memiliki perangkat dasar
penyusun gen yang sama. Gen merupakan bagian kromosom yang
mengendalikan ciri atau sifat suatu organisme yang bersifat diturunkan dari
induk/orang tua kepada keturunannya. Gen pada setiap individu, walaupun
perangkat dasar penyusunnya sama, tetapi susunannya berbeda-beda
bergantung pada masing-masing induknya. Susunan perangkat gen inilah yang
menentukan ciri atau sifat suatu individu dalam satu spesies.
Penyebab terjadinya keanekaragaman gen antara lain perkawinan antara dua
individu makhluk hidup sejenis. Keturunan dari hasil perkawinan memiliki
susunan perangkat gen yang berasal dari kedua induk/orang tuanya. Kombinasi
susunan perangkat gen dari dua induk tersebut akan menyebabkan
keanekaragaman individu dalam satu spesies berupa varietas-varietas (varitas)
yyang terjadi secara alami atau secara buatan.
Keanekaragaman yang terjadi secara alami adalah akibat adaptasi atau

Konsep MKKHD 14
penyesuaian diri setiap individu dengan lingkungan, seperti pada rambutan.
Faktor lingkungan juga turut mempengaruhi sifat yang tampak (fenotip) suatu
individu di samping ditentukan oleh faktor genetiknya (genotip). Sedangkan
keanekaragaman buatan dapat terjadi antara lain melalui perkawinan silang
(hibridisasi), seperti pada berbagai jenis mangga.

Perkawinan/
Persilangan

Induk Jantan Induk Betina

Faktor lingkungan
Variasi genetik dari (eksternal)
induk

Fenotip (sifat yang tampak


pada suatu jenis yg bervariasi)

b. Keanekaragaman Hayati Tingkat Jenis


Disebabkan adanya variasi jenis makhluk hidup (hewan dan tumbuhan) dengan ciri
yang berbeda-beda, meliputi bentuk, ukuran, warna, dan lain-lain. Banyaknya variasi
jenis hewan dan tumbuhan seringkali disebabkan oleh adanya kesesuaian habitat
terutama dalam kaitan dengan rantai makanan. Perubahan kondisi habitat
menyebabkan perlunya penyesuaian suatu jenis dengan habitat yang baru. Jika
penyesuaian tersebut gagal dilakukan, maka beberapa jenis akan mengalami
kepunahan atau perpindahan jika terjadi pada hewan. Migrasi suatu jenis fauna atau
kepunahan flora akan menyebabkan kelimpahan jenis lain (flora atau fauna)
sehingga memungkinkan munculnya dominasi jenis yang baru. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan ekosistem pada suatu kawasan. Terganggunya habitat suatu
kawasan akibat berbagai aktivitas manusia seperti di Sumatera, menyebabkan
terjadinya migrasi satwa harimau, gajah, dan lain-lain untuk mencari habitat baru
yang lebih sesuai.
Dalam konteks rantai makanan, semakin sedikit jumlah makanan yang tersedia
suatu jenis akan berdampak menurunnya jenis yang tersedia dalam suatu kawasan.
Sebagai contoh nyata adalah menurunnya ketersediaan rumput-rumputan pada
suatu kawasan yang bermanfaat bagi makanan jenis satwa Sapi, Rusa, dll, akan
menyebabkan satwa tersebut bermigrasi untuk mencari habitat baru yang
mempunyai ketersediaan rumput atau akan mengalami kepunahan.

Konsep MKKHD 15
Jenis A Jenis C
HABITAT/
RANTAI EKOSISTEM
EKOSISTEM
MKKHD MAKANAN SEIMBANG
Jenis B Jenis dll

KESEIMBANGAN
BARU

KEPUNAHAN
SUATU JENIS
EKOSISTEM
PERUBAHAN TIDAK
GANGGUAN SEIMBANG
HABITAT/
KELIMPAHAN
EKOSISTEM
SUATU JENIS

c. Keanekaragaman Hayati Tingkat Ekosistem.


Di lingkungan manapun di muka bumi ini, ditemukan makhluk hidup lain sesuai
dengan ekosistem dan habitat tempat berkembangnya makhluk hidup. Semua
makhluk hidup berinteraksi atau berhubungan erat dengan lingkungan tempat
hidupnya. Lingkungan hidup meliputi komponen biotik dan komponen abiotik.
Komponen biotik meliputi berbagai jenis makhluk hidup mulai yang bersel satu
(uni seluler) sampai makhluk hidup bersel banyak (multi seluler) yang dapat
dilihat langsung oleh kita. Komponen abiotik meliputi iklim, cahaya, batuan, air,
tanah, dan kelembaban. Ini semua disebut faktor fisik. Selain faktor fisik, ada
faktor kimia, seperti salinitas (kadar garam), tingkat keasaman, dan kandungan
mineral. Baik komponen biotik maupun komponen abiotik sangat beragam atau
bervariasi. Oleh karena itu, ekosistem yang merupakan interaksi antara
komponen biotik dengan komponen abiotik pun bervariasi pula. Di dalam
ekosistem, seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalamnya selalu melakukan
hubungan timbal balik, baik antar makhluk hidup maupun makhluk hidup dengan
lingkungannya atau komponen abiotiknya. Hubungan timbal balik ini
menimbulkan keserasian hidup di dalam suatu ekosistem. Perbedaan letak
geografis antara lain merupakan faktor yang menimbulkan berbagai bentuk
ekosistem.
Perbedaan letak geografis menyebabkan perbedaan iklim. Perbedaan iklim
menyebabkan terjadinya perbedaan temperatur, curah hujan, intensitas cahaya
matahari, dan lamanya penyinaran. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap
jenis-jenis flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) yang menempati suatu daerah.
Di daerah dingin terdapat bioma Tundra, di tempat ini tidak ada pohon, yang
tumbuh hanya jenis lumut. Hewan yang dapat hidup, antara lain rusa kutub dan

Konsep MKKHD 16
beruang kutub. Di daerah beriklim sedang terdapat bioma Taiga, jenis tumbuhan
yang paling sesuai untuk daerah ini adalah tumbuhan conifer (daun jarum), dan
fauna/hewannya antara lain anjing hutan, dan rusa kutub. Pada iklim tropis
terdapat hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis memiliki flora (tumbuhan) dan
fauna (hewan) yang sangat kaya dan beraneka ragam. Keanekaragaman jenis-
jenis flora dan fauna yang menempati suatu daerah akan membentuk ekosistem
yang berbeda, maka terbentuklah keanekaragaman tingkat ekosistem.
Totalitas variasi gen, jenis dan ekosistem menunjukkan terdapat berbagai variasi
bentuk, penampakan, frekuensi, ukuran dan sifat lainnya pada tingkat yang
berbeda-beda merupakan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati
berkembang dari keanekaragaman tingkat gen, keanekaragaman tingkat jenis
dan keanekaragaman tingkat ekosistem. Keanekaragaman hayati perlu
dilestarikan karena didalamnya terdapat sejumlah spesies asli sebagai bahan
mentah perakitan varietas-varietas unggul. Kelestarian keanekaragaman hayati
pada suatu ekosistem akan terganggu bila ada komponen-komponennya yang
mengalami gangguan.
Gangguan-gangguan terhadap komponen-komponen ekosistem tersebut dapat
menimbulkan perubahan pada tatanan ekosistemnya. Besar atau kecilnya
gangguan terhadap ekosistem dapat merubah wujud ekosistem secara perlahan-
lahan atau secara cepat pula. Gangguan ekosistem antara lain penebangan
pohon di hutan-hutan secara liar dan perburuan hewan secara liar yang dapat
mengganggu keseimbangan ekosistem. Gangguan tersebut secara perlahan-
lahan dapat merubah ekosistem sekaligus mempengaruhi keanekaragaman
tingkat ekosistem. Bencana tanah longsor, bencana tsunami atau letusan
gunung berapi, bahkan dapat memusnahkan ekosistem.
Variasi perbedaaan jenis yang disebabkan oleh perbedaan geografis antara lain
ditunjukan oleh hasil orientasi oleh Wallacea yang melintasi selat Lombok dan selat
Sulawesi. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam bentuk garis ekologis yang
disebut garis Wallacea. Garis ini berada antara Selat Lombok ke arah Utara masuk
Selat Karimata dan berbelok ke arah Timur di sebelah Utara Kepulauan Maluku.
Garis ini membedakan antara pengaruh sebaran fauna pada benua Asia dan
Australia. Pada pulau Lombok sebagai sub region Wallacea ditemukan jenis lutung
atau kera hitam (Presbithys cristatha) yang tidak ditemukan pada pulau Sumbawa.
Penyebaran jenis lutung sebagai satwa asli dipengaruhi fauna Asia, namun jenis
kanguru yang berada di Papua dipengaruhi fauna Australia.
Garis Wallacea menunjukan adanya sebaran geografis flora dan fauna yang khas
sebagai akibat proses geologis beberapa juta tahun lalu (zaman es) dimana daratan
Asia masih menyatu dengan beberapa daerah Indonesia bagian Barat dan daratan
Australia yang menyatu dengan Indonesia bagian Timur. Pulau Sulawesi sebagai sub
region Wallacea mempunyai jenis khas yang disebut dengan Anoa, dan tidak
ditemukan pada daerah lain

Konsep MKKHD 17
NTB

III. METODOLOGI

Konsep MKKHD 18
1. Pemilihan Lokasi
Pemilihan lokasi MKKHD didasarkan pada beberapa kriteria dan indikator yang sesuai
dengan tujuan pembentukan MKKHD, yaitu :
a. Mempunyai karakteristik ekologis yang khas Nusa Tenggara Barat yang diindikasikan
oleh adanya flora, fauna dan ekosistem yang khas;
b. Memungkinkan diakses masyarakat dalam kegiatan konservasi yang diindikasikan
oleh status kawasan, memungkinkan dimanfaatkan serta merupakan kewenangan
pemerintah daerah Provinsi atau pemerintah daerah Kabupaten/Kota;
c. Peran masyarakat sangat kuat, yang diindikasikan oleh adanya aktivitas dan
hubungan yang saling menguntungkan antara masyarakat dengan sumber daya
alam atau kawasan dalam bentuk lingkungan, sosial, dan ekonomi;
d. Mempunyai prospektus menjadi kawasan yang berkembang dalam aspek
lingkungan, sosial atau ekonomi yang diindikasikan oleh adanya dokumen
perencanaan kawasan;
e. Mempunyai keterkaitan dengan pengembangan kawasan lainnya, yang diindikasikan
oleh struktur wilayah dan linkage dalam aktivitas.
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengembangkan beberapa metode sesuai dengan
jenis data yang diperlukan, yaitu :
a. Orientasi kawasan
a) Perpetaan, dilakukan melalui teknik overlay beberapa peta yang diperlukan
dengan menggunakan Peta Dasar Tematik Kehutanan (PDTK), peta Topografi,
peta Penutupan Vegetasi, peta RTRWP, dll untuk memperoleh alokasi ruang
rencana MKKHD yang telah terdeliniasi. Kajian perpetaan akan memperoleh
kondisi awal yang menggambarkan potensi fisik berdasarkan analisis vegetasi.
b) Orientasi lapangan, dilakukan melalui survai tak berstruktur untuk memverifikasi
kondisi kawasan yang digambarkan dalam kajian perpetaan, sehingga diperoleh
gambaran kondisi yang faktual dan aktual.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap responden terpilih yang mengetahui kesejarahan
kawasan melalui wawancara mendalam (indepht interview) sehingga diketahui alur
sejarah kawasan serta perubahannya. Wawancara dilakukan dengan menggunakan
panduan kuisener yang telah disiapkan, guna menggalang tujuan pengumpulan data
secara lengkap. Hasil wawancara akan berupa data kualitatif yang menggambarkan
potensi fisik kawasan, potensi sosial dan ekonomi, serta permasalahan yang
dihadapi bersama sebagai entitas.
c. FGD
Focus group discussion dilakukan terhadap kelompok masyarakat sebanyak 30 orang
yang merupakan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat guna melengkapi
data yang diperoleh dari hasil wawancara. FGD terutama difokuskan pada potensi

Konsep MKKHD 19
yang tersedia, membangun visi masyarakat, rancangan kegiatan serta pembentukan
kelembagaan masyarakat.
3. Analisis Data
a. Analisis wilayah kawasan sesuai dengan kriteria
Analisis kawasan dilakukan dengan menggunakan cross check atas kawasan yang
dirancang menjadi MKKHD sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam
pemilihan lokasi. Screening atas kawasan MKKHD tersebut diperlukan untuk
mengetahui kesesuaian lokasi dengan tujuan pembentukan MKKHD, meliputi status
kawasan, potensi yang tersedia, kemungkinan pengembangan, akses masyarakat
serta kewenangan dalam pengelolaan.
Analisis wilayah juga dilakukan secara spasial untuk mengetahui hubungan ekologis,
sosial dan ekonomi antar wilayah ( upland dan lowland, hulu dan hilir, upstream dan
downstream, produsen dan konsumen), dan kemungkinan terjadinya hubungan
casualitas antar wilayah.
b. Analisis sosial untuk mengetahui persepsi
Berdasarkan hasil wawancara dan FGD, dilakukan analisis bersama dengan
menggunakan simulasi 4 kuadran guna membangun visi dan analisis pohon masalah
dan pohon harapan untuk mengetahui sumber masalah yang sebenarnya serta
rencana dalam mengatasi masalah. Dalam membangun visi bersama akan
diidentifikasi beberapa kejadian yang mengancam entitas serta menganalisis
penyebab dengan mengelompokkan beberapa penyebab yang sama. Penyebab dari
kejadian tersebut dianalisis melalui pohon masalah untuk mengetahui penyebab
yang sebenarnya serta menganalisis dengan pohon harapan.
4. Bahan dan alat
a. Peta-peta yang diperlukan dalam orientasi perpetaan, meliputi PDTK skala 1 :
500.000, peta Topografi (peta Joint Operation Geographic) skala 1 : 500.000, peta
Penutupan Vegetasi, peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Nusa
Tenggara Barat, dll.
b. Kertas plano, sebagai media untuk menulis pendapat dan data sosial,
c. Snow card, berupa kartu kecil sebagai media penyampaian pendapat anggota
masyarakat untuk ditempelkan;
d. Snow ball, sebagai pembulatan atas pendapat masyarakat yang sudah dikelompokan
dalam media,
e. Alat tulis, spidol, pulpen, dan lain-lain,
f. Kuisener, sebagai alat pemandu dalam wawancara dengan masyarakat serta
panduan dalam FGD.

ORIENTASI PERPETAAN ORIENTASI LAPANGAN

KONDISI FAKTUAL DAN AKTUAL


Konsep MKKHD 20
OVERLAY PETA-PETA

PETA-PETA WAWANCARA DAN FGD


1. KAWASAN HUTAN
2. TOPOGRAFI
3. RTRWP ANALISIS WILAYAH DAN SOSEK
4. PENUTUPAN VEGETASI

LOKASI MKKHD DAN DELINIASI


ANALISIS WILAYAH ANALISIS SOSEK
BATAS

 ANALISIS POTENSI WILAYAH  IDENTIFIKASI POTENSI


 HUBUNGAN KETERKAITAN  MEMBANGUN VISI
ANTAR WILAYAH  IDENTIFIKASI MASALAH
 STATUS KAWASAN  ANALISIS POHON MASALAH
 KEMUNGKINAN AKSES  ANALISIS POHON HARAPAN
MASYARAKAT  MERANCANG PROGRAM/
 ANALISIS KEWENANGAN KEGIATAN

KESEPAKATAN MASYARAKAT, MKKHD


BUPATI DAN SK GUBERNUR NTB
1. KAWASAN MKKHD
2. PENGELOLAAN MKKHD
3. KEGIATAN KONSERVASI

IV. HASIL DAN ANALISIS

1. Pemilihan Lokasi MKKHD

Konsep MKKHD 21
Berdasarkan kriteria penetapan MKKHD dilakukan analisis wilayah dengan menggunakan
data dan peta yang tersedia sebagai pendukung. Terdapat 6 lokasi yang menjadi lokasi
yang dianalisis sesuai dengan ketersediaan dokumen yaitu : Gunung Sasak, Lemor,
Tatar Sepang, Tambora, Parado dan Sangeang. Analisis pemilihan lokasi dapat diperiksa
pada tabel……

Tabel ….. Analisis Pemilihan Lokasi MKKHD

No Lokasi G. Sasak Lemor Tatar Tambora Parado Sangeang


Sepang
Kriteria
1. Flora, fauna Eks PPN Vegetasi Vegetasi Vegetasi Vegetasi Savana
dan (jenis Sono) Hutan lebat Hutan lebat jenis hutan (Rumput)
ekosistem vegetasi (banyak (Klicung, Rajumas Kemiri
rawang jenis) Ipil/Merbau,
Sentul,
Rimas)
2. Status dan HL, akses HL HP dan HL, HP, HL HP dan HL HK
akses HKm (KHDTK) akses HKm, dan HK
Wisata Alam
3. Aktivitas Pengelolaan Pengelolaan Perlindungan Pelestarian Pengelolaan -
HKm Kebun Raya Hutan Hutan HHBK
4. Dokumen Usulan HKm Usulan RTRWP NTB RTRWP RTRWP RTRWP
perencanaan Kebun Raya NTB NTB NTB
5. Lingkage Hulu-hilir Wisata Wisata alam Wisata Hulu-hilir -
alam dan hulu hilir alam dan usaha
masyarakat
KESIMPULAN Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi Tidak
Memenuhi
Sumber : Hasil identifikasi bersama masyarakat (2012)

Berdasarkan hasil analisis sebagaimana dalam tabel …, diketahui bahwa terdapat 1


(satu) lokasi yang tidak sesuai untuk dijadikan MKKHD yaitu lokasi Pulau Sangeang
karena aktivitas yang tidak memungkinkan untuk dikelola mengingat status kawasan
sebagai hutan konservasi (cagar alam), jauh dari akses masyarakat, serta tidak ada
keterkaitan antarwilayah dan antarsektor.
2. Identifikasi Potensi
a. Potensi Fisik
Secara fisik ekologis, MKKHD mempunyai karakteristik yang khas dengan keunikan
flora, fauna dan ekosistem kawasan yang berbeda dengan potensi wilayah lainnya.
Keterkaitan flora, fauna dan suatu kawasan akan membentuk ekosistem yang
mempunyai keunikan dan hubungan yang spesifik antara flora dan fauna dengan
kawasan. Keterkaitan antara flora dan fauna dengan kawasan dapat diukur dengan
hubungan casualitas (sebab akibat) dalam dinamika pertumbuhan, dinamika tegakan
dan indeks nilai penting suatu jenis. Secara umum hubungan casualitas akan
dilakukan dengan menggunakan keterkaitan hubungan silvikultur suatu jenis
meliputi kondisi fisik kawasan dan jenis-jenis flora dan fauna yang tersedia di
lapangan. Keunikan kawasan seringkali ditandai oleh gejala alam yang ada di

Konsep MKKHD 22
kawasan meliputi potensi dan obyek daya tarik wisata sebagai proses geologis,
proses hidrologis dan proses klimatologis. Hasil identifikasi kondisi fisik kawasan
MKKHD yang dilakukan bersama masyarakat, menunjukan adanya potensi fisik yang
cukup untuk dapat dilakukan pengelolaan hutan bersama masyarakat.
Tabel ….. Potensi fisik kawasan MKKHD
No Lokasi Potensi Rekomendasi
1. Gunung Sasak Topografi : fisiografi bukit Memungkinkan untuk dikelola
Tanah : sedikit berbatu dan subur, sebagai kawasan HKm karena
Hidrologi : aliran air sungai, debit air sedang, statusnya sebagai hutan
mengalir sepanjang tahun. lindung dan potensi HHBK
Iklim : terdapat pergeseran musim hujan, curah
hujan tinggi
Vegetasi : hutan rawang, jenis Sono, sebagai lokasi
Puncak Pekan Penghijauan
Fauna : aves, melata
ODTW : panorama alam
Ekonomi : Pengembangan jenis Kemiri, dan
komoditas HHBK lain

2. Lemor Topografi : fisiografi datar Pengelolaan kawasan hutan


Tanah : sangat subur, untuk tujuan koleksi tanaman
Hidrologi : aliran air sungai dan kolam model kebun raya yang
Iklim : terdapat pergeseran musim hujan, curah menempatkan kawasan hutan
hujan tinggi lindung Lemor sebagai
Vegetasi : hutan lebat, berbagai jenis kawasan hutan dengan
Fauna : aves, serangga, lutung dan melata tujuan khusus (KHDTK).
ODTW : vegetasi hutan
Ekonomi : vegetasi sebagai icon wisata alam
3. Tatar Sepang Topografi : fisiografi bukit dan bergunung Pengelolaan ODTW air terjun
Tanah : subur, dan pengelolaan lahan kering
Hidrologi : aliran air sungai dan air terjun sekitar hutan untuk
Iklim : terdapat pergeseran musim hujan, curah pengembangan kawasan
hujan tinggi pertanian dengan jenis
Vegetasi : hutan lebat, klicung, merbau, rimas komoditas bawang merah,
Fauna : aves, rusa, melata, kera abu-abu jagung dan tanaman
ODTW : air terjun pertanian lainnya.
Ekonomi : Pertanian Lahan Kering
4. Tambora Topografi : fisiografi bukit dan bergunung Pengelolaan kaldera gunung
Tanah : berbatu dan subur, Tambora akibat letusan 2
Hidrologi : aliran air sungai Hoddo, air terjun abad lalu, pengelolaan
Iklim : terdapat pergeseran musim hujan, curah potensi ekonomi dalam
hujan tinggi bentuk komoditas setempat
Vegetasi : hutan rawang, jenis Rajumas (madu, kopi, mete)
Fauna : aves, rusa
ODTW : Kaldera Tambora
Ekonomi : Pertanian Lahan Kering
5. Parado Topografi : fisiografi bukit Pengelolaan hutan berbasis
Tanah : sedikit berbatu dan subur, HHBK dengan jenis Kemiri
Hidrologi : aliran air sungai, debit sedang, mengalir dan jenis tanaman bawah
sepanjang tahun tegakan
Iklim : terdapat pergeseran musim hujan, curah
hujan tinggi
Vegetasi : hutan rawang, jenis Kemiri
Fauna : aves
ODTW : vegetasi Kemiri
Ekonomi : Pertanian Lahan Kering
Sumber : Hasil identifikasi bersama masyarakat (2012)

b. Potensi Sosial

Konsep MKKHD 23
Kondisi sosial masyarakat sekitar hutan, pada umumnya masih cukup rendah yang
ditandai oleh tingkat pendidikan formal, pemahaman atas pengelolaan hutan,
kemampuan dalam pengelolaan hutan, dan lain-lain. Secara langsung potensi sosial
yang rendah akan berpengaruh pada kondisi sumber daya hutan yang ada di
sekitarnya. Kemampuan pengelolaan hutan yang rendah akan cenderung
menurunkan kondisi sumber daya hutan karena pemanfaatan yang tidak dilandasi
pengetahuan yang cukup.
Tabel ….. Potensi sosial kawasan MKKHD

No Lokasi Potensi Rekomendasi


1. Gunung Sasak  Pendidikan : rendah (tingkat SD)  Fasilitasi perizinan HKm
 Pemahaman : tidak tahu permohonan izin HKm dengan penekanan HHBK
 Kemampua : tinggi karena sebagian besar  Pembentukan Forum
n merupakan petani Konservasi.
pengelolaan
hutan : Kelompok Tani Hutan (Wana Sasak
 Kelompok Lestari)
Masyarakat
2. Lemor  Pendidikan : rendah (tingkat SD) Perlu peningkatkan peran
 Pemahaman : paham mengenai Kebun Raya masyarakat dalam
 Kemampua : tidak terlibat secara langsung pengelolaan Kebun Raya
n serta pengembangan usaha
pengelolaan masyarakat sekitar hutan
hutan
 Kelompok : dikelola pemerintah (Kebun Raya)
Masyarakat
3. Tatar Sepang  Pendidikan : rendah (tingkat SD)  Perlu pelatihan kelompok
 Pemahaman : tidak paham pengelolaan wisata alam masyarakat dalam
dan pengelolaan lahan kering pengelolaan wisata alam
 Kemampua : rendah, karena sebagian besar dan pengelolaan lahan
n merupakan petani dan peternak yang kering dengan fokus pada
pengelolaan tidak terkait dengan wisata alam pengembangan komoditas
hutan : Kelompok Masyarakat desa Emang bawang merah.
 Kelompok Lestari dan desa Tolonang  Pembentukan Forum
Masyarakat Konservasi.
4. Tambora  Pendidikan : rendah (tingkat SD)  Perlu penguatan
 Pemahaman : sedang, karena sudah dilakukan kelembagaan Forum
penguatan kelembagaan Forum Tambora dalam bentuk
Tambora Diklat
: sedang, karena sebagian besar terlibat  Pengembangan wisata
 Kemampua aktif dalam pengelolaan kawasan alam dengan kaldera
n Tambora sebagai icon
pengelolaan : Kelompok Masyarakat desa sekitar
hutan Gunung Tambora
 Kelompok
Masyarakat
5. Parado  Pendidikan : rendah (tingkat SD)  Perlu fasilitasi izin HKm
 Pemahaman : tidak paham perizinan pengelolaan dan pengelolaan hasil
hutan Kemiri hutan bukan kayu
 Kemampua : sedang, karena sebagian besar  Pembentukan Forum
n pengelolaan hutan Kemiri sudah Konservasi
pengelolaan berlangsung
hutan : Kelompok Masyarakat desa Parado
 Kelompok Nae, Parado Rato, Lere, Parado Wane
Masyarakat
Sumber : Hasil identifikasi bersama masyarakat (2012)

Konsep MKKHD 24
c. Potensi Ekonomi
Kondisi fisik dan sosial masyarakat, seringkali dapat dikembangkan sebagai kekuatan
dalam bentuk potensi ekonomi yang akan mengembangkan suatu wilayah. Karakter
wilayah yang berbeda serta kondisi sosial masyarakat yang berbeda akan cenderung
menghasilkan kondisi perekonomian yang berbeda pula. Kondisi fisik suatu kawasan
sering menjadi identitas bagi suatu wilayah, yang jika dikelola dengan kondisi sosial
yang nyata akan menghasilkan produk-produk unggul.
Tabel ….. Potensi ekonomi kawasan MKKHD
No Lokasi Potensi Rekomendasi
1. Gunung Sasak Pertanian : Pengembangan Lahan Kering Pengelolaan HKm oleh
meliputi jenis Kemiri dan tanaman masyarakat dan mengolah
bawah tegakan hasil tanaman bawah
:- tegakan menjadi bahan
Pariwisata
: pengolahan hasil hutan bukan kayu makanan jadi yang siap
Industri
meliputi tanaman bawah tegakan, dikonsumsi
dengan mengembangkan industri
kecil dan rumah tangga
2. Lemor Pertanian :- Pengembangan usaha
Pariwisata : Pengembangan kebun raya sebagai ekonomi masyarakat
ODTW untuk wisata alam sekitar KHDTK Lemor
Industri : pengembangan sarana pendukung
wisata alam

3. Tatar Sepang Pertanian : Pengembangan Pertanian Lahan Mengalirkan air yang


Kering dengan memanfaatkan air berasal dari kawasan
dalam kawasan hutan hutan ke desa persiapan
: Pengembangan ODTW sebagai Tolanang Baru serta
Pariwisata
bagian tujuan wisata mengembangkan wisata
: pengelolaan wisata alam secara alam dengan icon air
Industri utuh dalam paket wisata terjun di desa Emang
Lestari
4. Tambora Pertanian : Pengembangan hasil hutan bukan Pengembangan HHBK
kayu dan pariwisata alam untuk jenis kopi, mete,
Pariwisata : Pengembangan ODTW sebagai jarak kepyar, kemiri serta
bagian tujuan wisata pariwisata alam dengan
: pengelolaan wisata alam secara kaldera sebagai icon
Industri
utuh dalam paket wisata wisata alam

5. Parado Pertanian : Pengembangan HHBK Pengelolaan kemiri dan


Pariwisata :- tanaman bawah tegakan
Industri :- melalui pengelolaan HKm

Sumber : Hasil identifikasi bersama masyarakat (2012)

3. Membangun Visi
Untuk meningkatkan pemahaman posisi dan kondisi masyarakat dan kondisi sumber
daya hutan, serta guna memberi arah dalam pengelolaan hutan dalam bentuk MKKHD,
diperlukan visi bersama yang mengarah pada upaya konservasi secara utuh yaitu (1)
melakukan pengawetan kawasan, (2) melakukan perlindungan kawasan hutan, serta (3)

Konsep MKKHD 25
mengupayakan pemanfaatan hutan secara ekonomi. Upaya konservasi tersebut,
dilaksanakan dalam satu kesatuan kegiatan guna mencapai visi bersama.
a. Analisis Kuadran
Analisis kuadran dilakukan dengan melakukan simulasi kondisi pada empat kuadran
dengan konsentrasi pada kondisi hutan dan kesejahteraan masyarakat. Hasil
simulasi tersebut akan menggambarkan kondisi yang hendak dicapai sebagai visi
bersama serta kondisi aktuaL yang dirasakan masyarakat sekarang.

HUTAN LESTARI

PENEBANGAN LIAR VISI BERSAMA YG DITUJU

1. HUTAN LESTARI, MASYARAKAT MISKIN 2. HUTAN LESTARI, MASYARAKAT SEJAHTERA

MASYARAKAT MISKIN MASYARAKAT SEJAHTERA

4. HUTAN RUSAK, MASYARAKAT MISKIN 3. HUTAN RUSAK, MASYARAKAT SEJAHTERA

PERAMBAHAN HUTAN REHABILITASI KONVENSIONAL

HUTAN RUSAK

Berdasarkan hasil simulasi kondisi dengan menggunakan 4 kuadran diperoleh


kesepakatan nyata yang berasal dari penggalian kondisi bersama masyarakat yaitu
Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera sebagai visi bersama yang hendak dituju
sebagai cita-cita. Pada beberapa lokasi menunjukan kondisi yang dirasakan
masyarakat saat ini, yang selanjutnya akan diarahkan menuju visi bersama.
Pencapaian visi bersama diwujudkan dalam bentuk pengelolaan hutan lestari yaitu
pengelolaan hutan yang seimbang antara manfaat dan kelestarian sumber daya
hutan, yang dilakukan melalui pengelolaan Model Konservasi Keanekaragaman
Hayati Daerah (MKKHD). Pencapaian kondisi MKKHD tersebut dilakukan dengan
berbagai macam aktivitas pengelolaan yang sesuai dengan kondisi masyarakat
setempat serta kondisi sumber daya hutan.
Pada lokasi Tatar Sepang, yang mewakili kuadran 1, meskipun masyarakat miskin
dan hutan lestari, belum ditemukan adanya aktivitas penebangan liar. Kondisi hutan
tetap terjaga keberadaan dan potensinya, namun terdapat harapan masyarakat

Konsep MKKHD 26
untuk memanfaatkan potensinya dalam pengelolaan wisata alam dan sumber air
untuk mendukung usahatani yang dilakukan masyarakat.

No Kuadran Kondisi Aktivitas Lokasi


1. 1 Hutan Lestari, Penebangan liar (illegal  Tatar Sepang (tidak
Masyarakat Miskin logging), karena potensi terjadi penebangan
sumber daya hutan yang liar)
tinggi sementara  Parado
masyarakat memerlukan
sumber pendapatan yang
nyata guna memenuhi
kebutuhan hidupnya.
2. 2 Hutan Lestari, Hutan terjaga keaslian Tidak ada dan ditetapkan
Masyarakat dan keutuhannya, karena sebagai visi bersama
Sejahtera masyarakat menerima
manfaat yang
mendukung
kesejahteraannya.
Kondisi ini merupakan
visi yang hendak dituju
melalui pengelolaan
hutan lestari dalam
bentuk Model Konservasi
Keanekaragaman Hayati
Daerah (MKKHD)
3. 3 Hutan Rusak, Kerusakan yang timbul Tidak ada
Masyarakat seringkali disebabkan
Sejahtera oleh aktivitas masyarakat
dalam pengelolaan hutan
antara lain illegal logging
untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi.
Pada kondisi seperti ini,
diperlukan rehabilitasi
secara konvensional
dengan penanaman serta
peningkatan pemahaman
masyarakat.
4. 4 Hutan Rusak Pada kondisi hutan rusak  Lokasi Tambora
Masyarakat Miskin dan masyarakat miskin,  Gunung Sasak
sering terjadi kegiatan
perladangan liar atau
perambahan hutan
karena untuk melakukan
penebangan liar sudah
tidak mungkin karena
sumber daya hutan
sudah tidak tersedia.

Konsep MKKHD 27
b. Identifikasi Masalah
Beberapa permasalahan yang ditemukan di lapangan, menunjukan bahwa
masyarakat dihadapkan situasi yang diluar kemampuan dirinya. Pada semua lokasi
menyatakan bahwa kemiskinan merupakan pokok masalah yang sulit diatasi serta
memberi dampak yang luas bagi persoalan lain. Kemiskinan sebagai persoalan yang
merupakan lingkaran setan (veceous circle) yang sulit diatasi jika tidak dipotong dari
luar dalam bentuk intervensi. Terdapat 5 masalah yang berasal dari kondisi situasi
wilayah serta ketidakmampuan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam
yang tersedia di sekitarnya.
1) Kemiskinan
Pada semua lokasi menunjukan adanya persoalan kemiskinan yang luas, karena
akses terhadap sumber daya alam yang rendah terutama menyangkut sumber
daya hutan. Ketidakmampuan masyarakat dalam meningkatkan akses
pengelolaan sumber daya hutan terutama dipicu oleh pengetahuan yang
terbatas, pendidikan dan lain-lain.
2) Kerusakan hutan
Masyarakat sekitar hutan pada umumnya bekerja pada sektor pertanian dalam
arti luas dengan menggunakan pola ekstensif. Hal ini berarti untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat memerlukan lahan yang lebih luas guna mendukung
usaha taninya. Hal ini memicu terjadinya perambahan hutan serta mengkonversi
menjadi lahan pertanian. Kebutuhan hasil hutan kayu yang masih tinggi serta
kelangkaan hasil hutan kayu, telah memicu praktek-praktek penebangan liar.
Supply yang terbatas dan masih mengandalkan kayu masuk, sementara
kebutuhan hasil hutan kayu yang semakin tinggi untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan, serta kemiskinan penduduk yang luas; merupakan pemicu
terjadinya illegal logging.
3) Kekeringan
Kekeringan yang terjadi pada saat musim kemarau, cenderung makin ekstrim
karena sumber daya air yang makin terbatas dan cathment area yang makin
sempit. Daerah tangkapan air yang mengalami perubahan menjadi daerah
budidaya atau adanya penebangan pohon, mengurangi kemampuan dalam
menahan penyerapan air dan laju air larian ( run off) bahkan cenderung rawan
terhadap kebakaran hutan.
4) Banjir dan longsor
Tidak semua lokasi mengalami kejadian bencana banjir dan longsor karena
kondisi sumber daya hutan yang berbeda. Lokasi Tambora pernah terjadi
bencana banjir dan longsor sekitar tahun 2008, dengan menghanyutkan material

Konsep MKKHD 28
berupa batang kayu dan pohon-pohon, yang mengancam kehidupan masyarakat
pada bagian bawah (hilir).
5) Gagal panen
Gagal panen terjadi di lokasi Tambora dan Sepang sebagai akumulasi dar
keadaan kekeringan atau banjir yang melanda. Hal ini dimaknai masyarakat
sebagai perubahan global yang belum dimitigasi, khususnya dalam bentuk
adaptasi oleh masyarakat.
No Masalah Penyebab Uraian
1. Kemiskinan Kemampuan yang terbatas Masyarakat sekitar hutan
Miskin akses sumber daya cenderung miskin akses karena
keterbatasan fasilitas pendidikan,
kesehatan, keuangan, dll, sehingga
kemampuan masyarakat menjadi
terbatas. Teknologi yang
digunakan dalam pengelolaan
sumber daya alam juga masih
rendah sehingga belum mampu
menjadi input dalam pengelolaan.
2. Kerusakan Hutan Illegal logging Kerusakan hutan merupakan
Perambahan hutan dampak nyata dari kemiskinan
yang terjadi. Akibat kemiskinan
masyarakat, maka dengan
keterpaksaan memanfaatkan
sumber daya hutan sebagai
sumber pendapatan masyarakat.
3. Kekeringan Debit air turun Kekeringan diindikasikan debit air
Sumber air makin terbatas yang semakin turun dan sumber
air yang makin terbatas. Hal ini
dimungkinkan sebagai akibat
kerusakan hutan yang berfungsi
sebagai cathment area.
4. Banjir dan longsor Hujan yang tinggi Banjir dan longsor terjadi sebagai
Kondisi sumber daya hutan akibat hujan yang tinggi hingga
menurun melebihi kemampuan dalam
penyerapan air hujan atau karena
kemampuan cathment area yang
makin menurun sehingga terjadi
banjir dan longsor yang membawa
material yang berasal dari daerah
hulu.
5. Gagal Panen Pergeseran musim Efek climate change antara lain
Cuaca yang ekstrim berupa pergeseran musim, baik
musim penghujan maupun musim
kemarau yang sudah tidak sesuai
dengan jatuhnya musim seperti
biasanya. Musim hujan biasanya
jatuh pada bulan November-
Februari dan kemarau pada bulan
sisanya. Akhir-akhir ini telah

Konsep MKKHD 29
bergeser yang cukup nyata
sehingga tidak mampu diantisipasi
dan banyak mengalami gagal
panen.
4. Analisis Kebutuhan
a. Analisis Pohon Masalah
Berdasarkan kajian bersama terdapat 2 masalah yang sangat dirasakan dalam
kehidupan masyarakat yaitu masalah kemiskinan dan kerusakan hutan sebagaimana
dalam simulasi 4 kuadran. Kedua masalah tersebut sangat berkaitan dan memberi
pengaruh yang nyata pada keduanya. Untuk itu, analisis pohon masalah difokuskan
pada permasalahan kerusakan hutan karena diyakini akan mampu menyelesaikan
juga masalah kemiskinan.

ANALISIS POHON MASALAH


TAMBORA DAN GUNUNG SASAK KERUSAKAN HUTAN

ILLEGAL PERAMBAHAN KEBAKARAN


LOGGING HUTAN HUTAN

Pengangguran Keserakahan Kecemburuan Kemiskinan Lahan Lapangan Pembukaan Kelalaian Iseng


sempit kerja lahan
terbatas

Berdasarkan hasil analisis pohon masalah terhadap kerusakan hutan, ditemukan 3


penyebab kerusakan hutan yaitu (1) illegal logging, (2) perambahan hutan, dan (3)
kebakaran hutan. Dari ketiga penyebab tersebut, ditemukan perambahan hutan
sebagai penyebab yang paling kuat dan memberi pengaruh besar terhadap
kerusakan hutan. Analisis lebih lanjut menunjukan bahwa perambahan hutan lebih
banyak disebabkan oleh kemiskinan, kepemilikan lahan usaha yang sempit, dan
lapangan kerja yang terbatas. Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa luas
kepemilikan lahan usaha yang sempit, merupakan penyebab utama yang akan
mempengaruhi peraambahan hutan. Disamping itu terbatasnya lapangan kerja yang
tersedia, turut mempengaruhi berlangsungnya perambahan hutan. Munculnya
kepemilikan lahan usaha yang sempit dan terbatasnya lapangan kerja sebagai
penyebab yang sangat mempengaruhi aktivitas perambahan hutan disebabkan oleh
kondisi masyarakat sekitar hutan yaitu :
a) Sebagian besar masyarakat sekitar hutan merupakan petani yang memerlukan
lahan, sedangkan usaha tani yang dilakukan bersifat ekstensif. Pola pertanian
ekstensif membawa implikasi pendapatan yang diterima berbanding lurus
dengan luas lahan yang dikelola. Semakin luas lahan yang dikelola, maka
pendapatan yang diterima akan semakin tinggi. Fakta tersebut menyebabkan
masyarakat terdorong untuk melakukan perambahan hutan dengan

Konsep MKKHD 30
mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian, baik dilakukan secara legal melalui
kegiatan Hkm, maupun secara illegal melalui kegiatan perambahan hutan.
b) Beban tanggungan keluarga yang semakin tinggi, akibat kenaikan beberapa
bahan barang dan jasa serta jumlah anggota keluarga, sementara harga dan
produksi hasil pertanian yang relatif tetap. Besarnya beban tanggungan keluarga
yang makin tinggi mengharuskan perlunya peningkatan pendapatan keluarga.
Untuk meningkatkan pendapatan maka diperlukan perluasan lahan pertanian,
dengan cara perambahan hutan.
c) Ketidakmampuan masyarakat dalam akses modal dan teknologi, sebagai input
produksi usaha tani. Akses permodalan yang terbatas seperti perbankan,
pegadaian, koperasi dan lain-lain, menyebabkan masyarakat petani hanya
mengandalkan luas lahan usaha tani sebagai upaya peningkatan pendapatan.
Inovasi teknologi yang terbatas menyebabkan tidak ada peningkatan economics
scale dan hanya mengandalkan pola pengelolaan lahan usaha tani secara
tradisional.
d) Ketrampilan masyarakat yang terbatas, merupakan pembatas utama dalam
pengembangan lapangan usaha. Hal ini menyebabkan masyarakat hanya
terkonsentrasi pada usaha pertanian yang memerlukan lahan. Untuk itu,
perambahan hutan menjadi pilihan dalam memperoleh lahan usaha tani
masyarakat.
ANALISIS POHON MASALAH
TATAR SEPANG DAN
KEMISKINAN
PARADO

LUAS LAHAN LAPANGAN KERJA PRODUKSI


SEMPIT TERBATAS RENDAH

WARISAN BANYAK DIBATASI PENGELOLAAN LAHAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI MODAL KETRAMPILAN


KELUARGA ANGGOTA LAHAN TIDAK SEMPIT TERBATAS TERBATAS TERBATAS TERBATAS
KELUARGA HUTAN OPTOMAL

Berdasarkan analisis pohon masalah pada lokasi Tatar Sepang yang mengangkat
masalah kemiskinan sebagai pokok persoalan utama, diketahui bahwa pengelolaan
sumber daya alam yang kurang optimal merupakan persoalan utama dan memberi
pengaruh yang dominan terhadap kemiskinan. Pengelolaan sumber daya alam yang
kurang optimal, menyebabkan tidak adanya lapangan kerja baru yang kreatif dapat
dikelola masyarakat sehingga masyarakat hanya bertumpu pada sektor pertanian
dengan lahan yang terbatas. Lapangan kerja yang terbatas tersebut, menyebabkan
kemiskinan, pengangguran dan usaha tani yang bersifat subsisten dengan
pendapatan rendah. Hasil identifikasi potensi sumber daya alam menunjukan bahwa
pada lokasi Tatar Sepang ditemukan beberapa potensi yang dapat dikelola sebagai

Konsep MKKHD 31
sumber daya ekonomi, yaitu Air Terjun dan sumber air bagi irigasi pertanian pada
desa persiapan Sampar Goal (desa Tolonang III).
b. Analisis Pohon Harapan
Berdasarkan hasil analisis pohon masalah pada lokasi Tambora, ditemukan masalah
pokok yang menjadi sumber kerusakan hutan yaitu luas kepemilikan lahan yang
sempit dan lapangan usaha yang terbatas. Usaha tani masyarakat yang bersifat
tradisional menyebabkan lahan usaha tani merupakan faktor produksi yang utama,
untuk memperoleh pendapatan. Masyarakat sekitar hutan, pada umumnya
merupakan masyarakat petani yang miskin akses, sehingga mempunyai banyak
keterbatasan. Ketrampilan yang terbatas dan hanya terfokus pada sektor pertanian,
menyebabkan masyarakat tidak mampu membuka lapangan kerja dan lapangan
usaha. Analisis pohon harapan yang difokuskan pada luas kepemilikan lahan yang
sempit, sebagai persoalan yang paling berpengaruh secara dominan sebagai
penyebab kerusakan hutan.
Jika terdapat perluasan lahan pertanian maka terjadi peningkatan pendapatan
masyarakat dan akan menurunkan perambahan hutan. Karena perambahan hutan
merupakan aktivitas yang paling berpengaruh terhadap kerusakan hutan, maka
menurunnya perambahan hutan akan memberi pengaruh pada kondisi sumber daya
hutan secara nyata.

HUTAN LESTARI SEBAGAI TUJUAN PENGELOLAAN HUTAN


YAITU HUTAN LESTARI MASYARAKAT
SEJAHTERA (AZAS MANFAAT DAN LESTARI)

HUTAN TERJAGA, TIDAK PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN MELALUI


ADA PERAMBAHAN HUTAN PENGELOLAAN AGROFORESTRY
PEMANFAATAN HHBK DAN EKOSISTEM TAMBORA

LAHAN PERTANIAN LUAS  MELIBATKAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN


 MENGAKOMODIR KEBUTUHAN MASYARAKAT TERUTAMA
PETANI
 MENINGKATKAN PENDAPATAN
 MENGATASI PENGANGGURAN
ANALISIS POHON HARAPAN  MENGATASI KECEMBURUAN SOSIAL
TAMBORA DAN GUNUNG SASAK

Perluasan lahan pertanian yang memanfaatkan kawasan hutan dengan melibatkan


masyarakat dalam pengelolaan hutan serta mengakomodir kebutuhan masyarakat,

Konsep MKKHD 32
akan meningkatkan pendapatan, mengatasi pengangguran dan mengatasi
kecemburuan sosial. Pengelolaan hutan yang melibatkan dan mengakomodir
kebutuhan masyarakat dapat dilakukan melalui pemberian akses pengelolaan hutan
terutama untuk memanfaatkan jasa lingkungan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.22/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Kegiatan Usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Lindung dan Nomor
P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Pengelolaan hutan yang
berlangsung sesuai dengan peraturan perundangan akan memenuhi syarat
pengelolaan hutan lestari yang berazaskan manfaat dan lestari sehingga akan
tercapai kondisi hutan lestari dan masyarakat sejahtera.

MASYARAKAT SEJAHTERA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT


SEKITAR HUTAN SECARA BERKELANJUTAN

 PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN BERUPA WISATA ALAM


DAN WISATA DESA DENGAN AIR TERJUN SEBAGAI ICON
LAPANGAN KERJA LUAS  PEMANFAATAN SUMBER AIR UNTUK MENDUKUNG USAHA
TANI MASYARAKAT
 PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN UNTUK
PENGEMBANGAAN HHBK KOMODITAS KEMIRI

PENGELOLAAN HUTAN  PENGELOLAAN AIR TERJUN SEBAGAI POTENSI WISATA


ALAM
OPTIMAL
 PEMANFAATAN POTENSI SUMBER AIR UNTUK
MENDUKUNG USAHA TANI MASYARAKAT
 PEMBENTUKAN KELOMPOK KONSERVASI HUTAN
ANALISIS POHON HARAPAN  PENGELOLAAN HUTAN DENGAN KOMODITAS UNGGUAN
TATAR SEPANG DAN PARADO LOKAL (KEMIRI, KOPI, MADU, METE, JARAK KEPYAR)

c. Pilihan Program
Beberapa pilihan program yang sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat
adalah :
a) Tambora
 Pengembangan hutan keluarga sebagai salah satu sumber kehidupan yang
mendukung kebutuhan keluarga dan berfungsi sebagai lumbung hidup
 Pemanfaatan ekosistem Gunung Tambora dengan kaldera sebagai icon wisata
alam secara utuh menyangkut seluruh potensi yang tersedia (vegetasi,
kaldera, air terjun, fauna khas, dll)
 Pengembangan HHBK yang berada dalam kawasan hutan dan luar kawasan
hutan meliputi komoditas unggulan lokal (kopi, madu, mete dan jarak kepyar)

Konsep MKKHD 33
b) Tatar Sepang
 Pengembangan wisata alam dan wisata desa dengan daya tarik utama air
terjun dua tingkat yang terletak pada desa Emang Lestari
 Pemanfaatan sumber air untuk irigasi pertanian pada desa persiapan Sampar
Goal (Tolonang Baru)
c) Parado
 Pengembangan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (kemiri) serta
pengembangan tanaman bawah tegakan
 Pengembangan wisata alam berupa vegetasi hutan dataran tinggi Toffo
Rompu
d) Gunung Sasak
 Pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan budidaya HHBK serta rehabilitasi
hutan dalam rangka pelestarian air
 Pemanfaatan HHBK (kemiri) dan pemanfaatan tanaman bawah tegakan
5. Merancang Kegiatan
a. Penetapan Tujuan
a) Tambora, meningkatkan manfaat ekonomi hasil hutan bukan kayu dan jasa
lingkungan melalui pengembangan wisata alam,
b) Tatar Sepang, meningkatkan ekonomi masyarakat melalui pengembangan wisata
desa dan wisata alam serta meningkatkan produksi pertanian melalui irigasi yang
bersumber air pada daerah hulu,
c) Parado, meningkatan pendapatan masyarakat melalui produksi kemiri dan
tanaman bawah tegakan secara berkelanjutan
d) Gunung Sasak, meningkatkan pendapatan masyarakat dan konservasi air melalui
pengembangan hutan kemasyarakatan (HKm) dengan komoditas kemiri dan
tanaman bawah tegakan
b. Penetapan Langkah-langkah
a) Tambora
Untuk pengembangan jasa lingkungan melalui kegiatan wisata alam dengan icon
kaldera, maka ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :
 Menyepakati kawasan dan arah pengelolaan MKKHD yang berorientasi pada
pengelolaan jasa lingkungan (wisata alam)
 Menyusun piagam MKKHD Gunung Tambora yang mengatur prinsip-prinsip
pengelolaan MKKHD Gunung Tambora
 Menguatkan piagam MKKHD Gunung Tambora sebagai pegangan
pengelolaan ekosistem Gunung Tambora secara utuh
 Identifikasi potensi wisata alam detail sebagai obyek daya tarik wisata

Konsep MKKHD 34
 Menyusun analisis potensi wisata alam untuk dimasukan dalam web atau
worldpress
 Pelatihan pemandu wisata
 Pelatihan pengelolaan wisata alam
Untuk pengembangan hasil hutan bukan kayu dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut :
 Kerjasama dengan berbagai pihak untuk pengembangan jenis komoditas
HHBK dan tanaman bawah tegakan
 Pelatihan pengelolaan dan pengolahan HHBK
 Pelatihan pengembangan konservasi tanah, air, konservasi jenis dan
konservasi kawasan
 Pelatihan pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif
 Pelatihan pembuatan persemaian
 Pengembangan jaringan pasar melalui internet (web).
b) Tatar Sepang
Pengembangan jasa lingkungan yang direncanakan melalui pengembangan
wisata alam, dilakukan dengan langkah-langkah :
 Menyepakati kawasan dan arah pengelolaan MKKHD Tatar Sepang yang
berorientasi pada pengelolaan jasa lingkungan (wisata alam)
 Menyusun piagam MKKHD Tatar Sepang yang mengatur prinsip-prinsip
pengelolaan MKKHD Tatar Sepang
 Menguatkan piagam MKKHD Tatar Sepang sebagai pegangan pengelolaan
ekosistem Tatar Sepang secara utuh
 Identifikasi potensi wisata alam dan potensi desa Emang Lestari secara detail
sebagai obyek daya tarik wisata
 Menyusun analisis potensi wisata alam untuk dimasukan dalam web atau
worldpress
 Pelatihan pemandu wisata
 Pelatihan pengelolaan wisata alam
Pengembangan produksi hasil-hasil pertanian dilakukan melalui irigasi yang
memanfaatkan sumber air dalam kawasan hutan, dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
 Menyepakati kawasan dan arah pengelolaan MKKHD Tatar Sepang yang
berorientasi pada pengelolaan usaha tani
 Menyusun piagam MKKHD Tatar Sepang yang mengatur prinsip-prinsip
pengelolaan MKKHD Tatar Sepang
 Menguatkan piagam MKKHD Tatar Sepang sebagai pegangan pengelolaan
ekosistem Tatar Sepang secara utuh

Konsep MKKHD 35
 Identifikasi potensi sumber daya air yang berada dalam kawasan hutan untuk
mendukung usaha tani masyarakat Sampar Goal (Tolonang Baru)
 Menyusun analisis potensi usaha tani masyarakat serta kebutuhan air bagi
irigasi dengan membangun perpipaan
 Pelatihan pengelolaan lahan usaha tani secara produktif dan berkelanjutan
 Pelatihan pengolahan pasca panen
c) Parado
Untuk pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK) melalui pengelolaan dan
pengolahan HHBK, dilakukan melalui langkah-langkah :
 Menyepakati kawasan dan arah pengelolaan MKKHD Parado yang
berorientasi pada pengelolaan HHBK dan tanaman bawah tegakan,
 Mereview dan menyusun piagam MKKHD Parado yang mengatur prinsip-
prinsip pengelolaan MKKHD Parado
 Menguatkan piagam MKKHD Parado sebagai pegangan pengelolaan
ekosistem Parado secara utuh
 Identifikasi potensi HHBK dan kesesuaian pengembangan tanaman bawah
tegakan
 Menyusun analisis potensi HHBK dan tanaman bawah untuk dimasukan
dalam web atau worldpress
 Pelatihan pengelolaan HHBK dan tanaman bawah tegakan
 Pelatihan pengolahan HHBK dan tanaman bawah tegakan
d) Gunung Sasak
Untuk pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK) pada Gunung Sasak
dilakukan melalui pengelolaan dan pengolahan HHBK, dengan langkah-langkah :
 Menyepakati kawasan dan arah pengelolaan MKKHD Gunung Sasak yang
berorientasi pada pengelolaan HHBK dan tanaman bawah tegakan,
 Menyusun piagam MKKHD Gunung Sasak yang mengatur prinsip-prinsip
pengelolaan MKKHD Gunung Sasak
 Menguatkan piagam MKKHD Gunung Sasak sebagai pegangan pengelolaan
ekosistem Gunung Sasak secara utuh
 Identifikasi potensi HHBK dan kesesuaian pengembangan tanaman bawah
tegakan
 Menyusun analisis potensi HHBK dan tanaman bawah untuk dimasukan
dalam web atau worldpress
 Pelatihan pengelolaan HHBK dan tanaman bawah tegakan
 Pelatihan pengolahan HHBK dan tanaman bawah tegakan
6. Analisis Peran
a. Identifikasi stakeholder
Beberapa stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan MKKHD yang teridentifikasi
bersama masyarakat menunjukan bahwa pengelolaan MKKHD harus dilakukan

Konsep MKKHD 36
bersama dan terpadu dengan berbagi peran sesuai dengan kewenangan masing-
masing. Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan MKKHD secara faktual masih
sedikit, meskipun diperlukan peran yang besar. Hal ini menunjukan bahwa
kepedulian stakeholder dalam pengelolaan MKKHD masih sangat sedikit. Penyebab
utama minimnya keterlibatan pengelolaan MKKHD adalah belum adanya konsep
yang mendalam dan dapat dijadikan acuan bersama.
Stakeholder yang teridentifikasi antara lain :
a) Dinas yang menangani urusan kehutanan pada pemerintah Kabupaten Dompu,
Bima, Sumbawa, Sumbawa Barat dan Lombok Barat, selaku Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang diserahi tugas dan wewenang pengurusan kehutanan
pada kawasan hutan dengan fungsi sebagai hutan lindung dan hutan produksi
pada wilayah kabupaten.
b) Dinas yang menangani urusan pariwisata pada pemerintah Kabupaten Dompu,
Bima, Sumbawa, Sumbawa Barat dan Lombok Barat, selaku Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang diserahi tugas dan wewenang pengurusan pariwisata
pada wilayah kabupaten.
c) Dinas yang menangani urusan pertanian pada pemerintah Kabupaten Dompu,
Bima, Sumbawa, Sumbawa Barat dan Lombok Barat, selaku Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang diserahi tugas dan wewenang pengurusan pertanian
pada wilayah kabupaten.
d) Dinas yang menangani urusan perkebunan pada pemerintah Kabupaten Dompu,
Bima, Sumbawa, Sumbawa Barat dan Lombok Barat, selaku Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang diserahi tugas dan wewenang pengurusan perkebunan
pada wilayah kabupaten.
e) Dinas yang menangani urusan pekerjaan umum pada pemerintah Kabupaten
Dompu, Bima, Sumbawa, Sumbawa Barat dan Lombok Barat, selaku Satuan
Kerja Perangkat Daerah yang diserahi tugas dan wewenang pengurusan
pekerjaan umum pada wilayah kabupaten.
f) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Dodokan Moyosari, selaku
wakil pemerintah pusat Kementerian Kehutanan yang menangani urusan
perencanaan, pembinaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pada wilayah DAS.
g) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Barat, selaku wakil
pemerintah pusat Kementerian Kehutanan yang menangani urusan konservasi
jenis dan konservasi kawasan hutan khususnya dalam hutan konservasi dan
hutan lindung.
h) Dinas Kehutanan Provinsi, selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diserahi
tugas dan wewenang pengurusan kehutanan pada kawasan hutan dengan fungsi
sebagai hutan lindung dan hutan produksi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
i) Dinas Pariwisata Provinsi, selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diserahi
tugas dan wewenang pengurusan pariwisata pada wilayah lintas kabupaten/kota.

Konsep MKKHD 37
j) Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi, selaku Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang diserahi tugas dan wewenang pengurusan Tanaman
Pangan dan Hortikultura pada wilayah lintas kabupaten/Kota.
k) Dinas Perkebunan Provinsi, selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diserahi
tugas dan wewenang pengurusan perkebunan pada wilayah lintas
kabupaten/kota.
l) Dinas Pekerjaan Umum Provinsi, selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
diserahi tugas dan wewenang pengurusan pekerjaan umum pada wilayah lintas
kabupaten/kota.
m) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
n) Lembaga Desa,
o) Swasta,
p) Kelompok Masyarakat, dll.
b. Diagram Venn
Analisis diagram Venn menunjukan peran dan seberapa dekat suatu lembaga
terhadap pengelolaan MKKHD. Untuk menunjukan peran lembaga digambarkan
dengan besaran lingkaran. Semakin besar lingkaran tersebut, maka semakin
berperan penting suatu lembaga dalam pengelolaan MKKHD. Kedekatan suatu
lembaga terhadap MKKHD, menunjukan bahwa suatu lembaga memberikan arti
dalam pengelolaan MKKHD yang ditunjukan oleh intensitas kehadiran, frekuensi
kehadiran serta keberadaan suatu lembaga pada MKKHD.
a) Tambora

MKKHD
TAMBORA

b) Tatar Sepang

Konsep MKKHD 38
c) Parado

d) Gunung Sasak

c. Berbagi Peran
Pengelolaan MKKHD perlu dilaksanakan secara sinergis dengan melibatkan para
pihak terkait sesuai dengan tugas dan wewenang yang diembannya. Sinergitas
pengelolaan MKKHD dapat dilakukan dengan bekerjasama melalui pembagian peran

Konsep MKKHD 39
yang sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga, sehingga dapat mencapai tujuan
bersama yaitu pengelolaan hutan yang lestari serta mencapai kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan. Peran para pihak diikat dalam tujuan bersama sehingga
diperlukan pegangan dan acuan dalam pengelolaan yaitu Rencana Pengelolaan
MKKHD.
a) Dinas yang menangani urusan Kehutanan pada pemerintah Kabupaten, berperan
dalam fasilitasi perizinan pengelolaan HHBK dan wisata alam serta melakukan
pembinaan masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan MKKHD. Hal ini sesuai
dengan tugas dan fungsinya serta peraturan perundangan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.37/Menhut-II/2007 dan Nomor P.22/Menhut-II/2012 yang
mengamanatkan Dinas Kehutanan Kabupaten untuk memfasilitasi perizinan HKm
dan perizinan pengelolaan jasa lingkungan pada kawasan hutan lindung dan
hutan produksi.
b) Dinas Pariwisata Kabupaten, berperan dalam melaksanakan pembinaan,
monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan usaha-usaha kepariwisataan
termasuk usaha wisata alam yang dilakukan dalam MKKHD. Hal ini sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang membagi urusan
pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
c) Dinas yang menangani urusan pertanian tanaman pangan dan hortikultura pada
pemerintah Kabupaten, berperan dalam pembinaan, monitoring dan evaluasi
kegiatan pertanian yang dilaksanakan masyarakat maupun pengusaha swasta
dalam kaitannya dengan MKKHD. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 yang membagi urusan pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
d) Dinas yang menangani urusan perkebunan pada pemerintah Kabupaten
berperan dalam pembinaan, monitoring dan evaluasi kegiatan perkebunan yang
dilaksanakan masyarakat maupun pengusaha swasta dalam kaitannya dengan
MKKHD. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang
membagi urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota.
e) Dinas yang menangani urusan pekerjaan umum pada pemerintah Kabupaten
berperan dalam menyediakan sarana dan prasarana wilayah, melaksanakan
pembinaan, monitoring dan evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana yang
tersedia. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
yang membagi urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota.
f) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Dodokan Moyosari, berperan
dalam memberikan fasilitasi perizinan pengelolaan HHBK dalam MKKHD. Hal ini
sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 yang

Konsep MKKHD 40
memberi amanat kepada BP DAS untuk melakukan fasilitasi perizinan,
pembinaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan HHBK.
g) Balai Konservasi sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Barat, berperan
dalam pembinaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan wisata alam pada
MKKHD. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 dan
Peraturan menteri Kehutanan Nomor P.22/Menhut-II/2012.
h) Dinas Kehutanan Provinsi, berperan dalam fasilitasi perizinan pengelolaan HHBK
dan wisata alam pada wilayah lintas Kabupaten/Kota serta melakukan
pembinaan masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan MKKHD. Hal ini sesuai
dengan tugas dan fungsinya serta peraturan perundangan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.37/Menhut-II/2007 dan Nomor P.22/Menhut-II/2012 yang
mengamanatkan Dinas Kehutanan Kabupaten untuk memfasilitasi perizinan HKm
dan perizinan pengelolaan jasa lingkungan pada kawasan hutan lindung dan
hutan produksi.
i) Dinas Pariwisata Provinsi, berperan dalam fasilitasi pengelolaan wisata alam pada
wilayah lintas Kabupaten/Kota serta melakukan pembinaan masyarakat dalam
melaksanakan pengelolaan MKKHD. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsinya
serta peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007.
j) Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi, berperan dalam
fasilitasi pengelolaan pertanian tanaman pangan dan hortikultura pada wilayah
lintas Kabupaten/Kota serta melakukan pembinaan masyarakat dalam
melaksanakan pengelolaan MKKHD. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsinya
serta peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007.
k) Dinas Perkebunan Provinsi, berperan dalam fasilitasi pengelolaan perkebunan
pada wilayah lintas Kabupaten/Kota serta melakukan pembinaan masyarakat
dalam melaksanakan pengelolaan MKKHD. Hal ini sesuai dengan tugas dan
fungsinya serta peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.
l) Dinas Pekerjaan Umum Provinsi, berperan dalam penyediaan sarana dan
prasarana wilayah pada wilayah lintas Kabupaten/Kota serta melakukan
pembinaan masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan MKKHD. Hal ini sesuai
dengan tugas dan fungsinya serta peraturan perundangan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.
m) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), berperan dalam kegiatan pendampingan
masyarakat serta membantu fasilitasi perizinan pengelolaan HHBK dalam bentuk
HKm serta pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan HHBK. Hal ini sesuai
dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 dan Nomor
P.22/Menhut-II/2012.

Konsep MKKHD 41
n) Lembaga Desa, berperan dalam pendampingan dan menggerakan masyarakat
desa dalam pengelolaan MKKHD secara utuh, serta memfasilitasi para pihak
terkait dengan mengembangkan kerjasama, integrasi dan sinkronisasi program
dan kegiatan. Hal ini sesuai dengan tugas dan wewenang sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007.
o) Swasta, berperan dalam kerjasama yang saling menguntungkan dengan
masyarakat dalam pengelolaan MKKHD menyangkut peningkatan produksi,
budidaya, pemasaran, dan lain-lain, serta melakukan pembinaan masyarakat
secara aktif. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan manfaat ekonomi MKKHD
secara berkelanjutan.
p) Kelompok Masyarakat, berperan dalam melaksanakan pengelolaan MKKHD
secara intensif dibawah pembinaan berbagai pihak terkait dengan
mengembangkan aspek konservasi sebagai kesatuan meliputi pengawetan,
perlindungan dan pemanfaatan.

Konsep MKKHD 42
V. RENCANA, PROGRAM DAN KEGIATAN

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 2 (dua) pokok persoalan yang
mendasar, yaitu : (1) kerusakan hutan dan (2) kemiskinan. Sesuai dengan hasil analisis
pohon masalah dan pohon harapan, kerusakan hutan yang terjadi pada MKKHD Gunung
Tambora dan Gunung Sasak diatasi dengan perluasan lahan pertanian dan optimalisasi
pengelolaan hutan, sedangkan kemiskinan pada MKKHD Tatar Sepang dan Parado diatasi
dengan pengelolaan hutan yang optimal.
1. MKKHD Tambora
Perluasan lahan pertanian dalam arti luas dilakukan melalui pengembangan HHBK
dengan jenis komoditas Mete, Madu, Kopi dan Jarak Kepyar; dan pengembangan wisata
alam dengan kaldera Tambora sebagai icon wisata alam yang utama. Untuk mencapai
kondisi pengelolaan tersebut, maka diperlukan penyusunan rencana, program dan
kegiatan yang sesuai menyangkut prakondisi dan pelaksanaan program dan kegiatan.
a. Prakondisi MKKHD
a) Pemantapan MKKHD, dimaksudkan untuk menguatkan persiapan pengelolaan
MKKHD Gunung Tambora yang meliputi wilayah pengelolaan dan pelaksana
pengelola MKKHD. Kegiatan yang direncanakan dalam pemantapan MKKHD
meliputi :
 Penyiapan kesepakatan pengelolaan MKKHD yang menyangkut rencana
wilayah kerja dan pengelola MKKHD,
 Pertemuan antara masyarakat sekitar Tambora dengan pemerintah
Kabupaten Dompu dan Bima untuk menyepakati piagam MKKHD Tambora,
 Penyiapan Surat Keputusan/Peraturan Gubernur yang didasarkan pada hasil
kesepakatan bersama (piagam MKKHD Tambora),
b) Penyiapan kelembagaan masyarakat sekitar hutan, dimaksudkan untuk
mempersiapkan kelembagaan masyarakat dalam mengelola MKKHD meliputi
pelatihan, penyuluhan, sosialisasi dan lain-lain.
 Pelatihan pengelolaan sumber daya hutan dalam rangka MKKHD
 Pelatihan pengelolaan HHBK dan wisata alam
 Pelatihan pengolahan HHBK
 Pelatihan pembuatan persemaian

Konsep MKKHD 43
 Penyuluhan batas kawasan hutan
 Sosialisasi MKKHD Gunung Tambora
 Penguatan kelembagaan masyarakat pengelola MKKHD
c) Fasilitasi perizinan pengelolaan MKKHD, dimaksudkan untuk melegalisasi
pengelolaan MKKHD yang dilakukan masyarakat sesuai dengan prosedur dalam
peraturan perundangan.
 Pendampingan masyarakat dalam persiapan permohonan izin pengelolaan
HHBK dan usaha wisata alam
 Pendampingan pengajuan permohonan izin kepada Bupati atau Gubernur
 Monitoring proses perizinan
 Sosialisasi perizinan
 Penyiapan kerjasama pengelolaan MKKHD
b. Pengelolaan MKKHD
a) Pemantapan kawasan MKKHD, dimaksudkan untuk memperjelas status dan
fungsi kawasan hutan serta mempertegas batas kawasan hutan guna
meningkatkan pemahaman dan pengakuan kawasan hutan.
 Rekonstruksi batas kawasan hutan sesuai dengan hasil tata batas
 Sosialisasi batas kawasan hutan,
 Penyusunan rencana pengelolaan MKKHD dan pemetaan blok/zonasi serta
alokasi ruang bagi pengembangan wisata alam dan HHBK,
 Penataan kawasan MKKHD,
b) Pengelolaan wisata alam, dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi hutan secara
ekonomi dengan memanfaatkan jasa lingkungan berupa panorama dan potensi
alam secara lestari tanpa mengganggu keberadaan dan kondisinya.
 Identifikasi potensi obyek daya tarik wisata (ODTW),
 Penyusunan jalur tracking dan penjelajahan hutan
 Pemasangan rambu-rambu penunjuk jalan dan papan larangan
 Penyusunan leaflet potensi ODTW dan cara pencapaian MKKHD Tambora,
 Membangun web atau worldpress dalam kaitan dengan wisata alam MKKHD
Tambora
 Penyediaan paket wisata alam Tambora (pemandu, porter, konsumsi,
akomodasi, dll)
c) Pengelolaan HHBK, dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi hutan secara
ekonomi dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, berupa buah, bunga,
daun, dan lain-lain, tanpa mengganggu fungsi pokok sebagai pengatur tata air.
 Penyiapan persyaratan untuk perizinan pengelolaan HHBK,
 Fasilitasi perizinan pengelolaan HHBK,
 Fasilitasi perencanaan pengelolaan kawasan dalam pengembangan HHBK,
 Pengembangan budidaya HHBK,
 Pengolahan HHBK,
 Pemasaran HHBK

Konsep MKKHD 44
d) Pengelolaan tanaman bawah tegakan, dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi
kawasan hutan melalui budidaya tanaman bawah tegakan berupa empon-empon
(jahe, kunyit, temu lawak, dll) serta tanaman umbi-umbian (ganyong, talas, iles-
iles, dll) guna mendukung ketersediaan pangan non beras dan obat-obatan.
 Pengembangan budidaya tanaman bawah tegakan,
 Pengolahan tanaman bawah tegakan,
 Pemasaran tanaman bawah tegakan
2. MKKHD Tatar Sepang
Pengembangan MKKHD Tatar Sepang diarahkan pada pengelolaan potensi ekosistem
dan potensi desa sebagai obyek daya tarik wisata dengan icon utama air terjun serta
pemanfaatan sumber air guna mendukung kegiatan pertanian dalam bentuk irigasi.
Untuk mencapai kondisi tersebut, maka diperlukan perencanaan yang tepat dan mantap
dengan mempertimbangkan potensi yang tersedia, pemanfaatan dan peruntukan sesuai
dengan azas kelestarian serta tingkat kemanfaatan bagi masyarakat.
a. Prakondisi MKKHD
a) Identifikasi obyek daya tarik wisata pada wilayah MKKHD Tatar Sepang, untuk
meningkatkan variasi obyek wisata serta kemungkinan menjadi pengembangan
paket wisata pada desa Emang Lestari serta identifikasi potensi sumber daya air
dalam mendukung irigasi pertanian desa persiapan Sampar Goal (Tolonang Baru)
 Identifikasi potensi obyek daya tarik wisata (ODTW),
 Penyusunan leaflet potensi ODTW dan cara pencapaian MKKHD Tatar
Sepang,
 Membangun web atau worldpress dalam kaitan dengan wisata alam dan
wisata desa pada MKKHD Tatar Sepang
 Identifikasi dan survai potensi sumber daya air guna mendukung irigasi
pertanian,
 Identifikasi sumber dana dalam pengembangan potensi sumber daya air
 Penyusunan proposal pengembangan pemanfaatan sumber daya air
b) Penyiapan seluruh potensi sebagai obyek wisata alam dan potensi desa, untuk
mendorong kenyamanan dan keselamatan dalam aktivitas wisata, yang akan
berdampak pada meningkatnya lamanya waktu tinggal dan belanja wisatawan.
 Penataan kawasan obyek daya tarik wisata
 Penataan jalan menuju obyek daya tarik wisata
 Sosialisasi rencana pengembangan wisata desa dan wisata alam
 Kampanye keterkaitan pengembangan wisata dengan aktivitas ekonomi
masyarakat sekitar hutan
 Alokasi ruang bagi pengembangan ekonomi masyarakat sekitar hutan.
 Penentuan jalur irigasi dari sumber air menuju lokasi pertanian
 Pemetaan wilayah sumber daya air dan jalur irigasi
b. Pengelolaan MKKHD

Konsep MKKHD 45
a) Penyiapan pengelolaan MKKHD dalam bentuk penyiapan kawasan, penyiapan
sarana prasarana dan sumber daya manusia pengelola MKKHD
 Penegasan status dan fungsi kawasan hutan
 Penyusunan jalur tracking menuju air terjun dan penjelajahan hutan
 Pemasangan rambu-rambu penunjuk jalan dan papan larangan
 Penataan desa Emang Lestari menuju obyek daya tarik wisata
 Penyediaan paket wisata alam Tatar Sepang (pemandu, porter, konsumsi,
akomodasi, dll)
 Mobilisasi sumber daya manusia pengembangan irigasi
 Mobilisasi bahan dan alat untuk irigasi
b) Pelaksanaan pengelolaan MKKHD Tatar Sepang
 Rekonstruksi batas kawasan hutan
 Pembuatan jalur tracking menuju air terjun dan penjelajahan hutan
 Pemasangan rambu-rambu penunjuk jalan dan papan larangan
 Pelaksanaan penataan desa Emang Lestari menuju obyek daya tarik wisata
 Pembuatan kerjasama masyarakat dengan pihak terkait dalam pembuatan
irigasi dan perpipaan
 Pembangunan irigasi dan pemasangan perpipaan dari sumber air menuju
permukiman penduduk Sampar Goal dan lahan usaha masyarakat
 Pengelolaan lahan usaha tani
3. MKKHD Parado
Perluasan lahan pertanian dalam arti luas dilakukan melalui pengembangan HHBK
dengan jenis komoditas kemiri dan tanaman bawah tegakan. Untuk mencapai kondisi
pengelolaan tersebut, maka diperlukan penyusunan rencana, program dan kegiatan
yang sesuai menyangkut prakondisi dan pelaksanaan program dan kegiatan.
a. Prakondisi MKKHD
a) Pemantapan MKKHD, dimaksudkan untuk menguatkan persiapan pengelolaan
MKKHD Parado yang meliputi wilayah pengelolaan dan pelaksana pengelola
MKKHD. Kegiatan yang direncanakan dalam pemantapan MKKHD meliputi :
 Penyiapan kesepakatan pengelolaan MKKHD yang menyangkut rencana
wilayah kerja dan pengelola MKKHD,
 Pertemuan antara masyarakat sekitar Parado dengan pemerintah Kabupaten
Dompu dan Bima untuk menyepakati piagam MKKHD Parado,
 Penyiapan Surat Keputusan/Peraturan Gubernur yang didasarkan pada hasil
kesepakatan bersama (piagam MKKHD Parado),
b) Penyiapan kelembagaan masyarakat sekitar hutan, dimaksudkan untuk
mempersiapkan kelembagaan masyarakat dalam mengelola MKKHD meliputi
pelatihan, penyuluhan, sosialisasi dan lain-lain.
 Pelatihan pengelolaan sumber daya hutan dalam rangka MKKHD
 Pelatihan pengelolaan dan pengolahan HHBK
 Pelatihan pembuatan persemaian

Konsep MKKHD 46
 Penyuluhan batas kawasan hutan
 Sosialisasi MKKHD Gunung Parado
 Penguatan kelembagaan masyarakat pengelola MKKHD
c) Fasilitasi perizinan pengelolaan MKKHD, dimaksudkan untuk melegalisasi
pengelolaan MKKHD yang dilakukan masyarakat sesuai dengan prosedur dalam
peraturan perundangan.
 Pendampingan masyarakat dalam persiapan permohonan izin pengelolaan
HHBK
 Pendampingan pengajuan permohonan izin kepada Bupati atau Gubernur
 Monitoring proses perizinan
 Sosialisasi perizinan
 Penyiapan kerjasama pengelolaan MKKHD
b. Pengelolaan MKKHD
a) Pemantapan kawasan MKKHD, dimaksudkan untuk memperjelas status dan
fungsi kawasan hutan serta mempertegas batas kawasan hutan guna
meningkatkan pemahaman dan pengakuan kawasan hutan.
 Rekonstruksi batas kawasan hutan sesuai dengan hasil tata batas
 Sosialisasi batas kawasan hutan,
 Penyusunan rencana pengelolaan MKKHD dan pemetaan blok/zonasi serta
alokasi ruang bagi pengembangan HHBK,
 Penataan kawasan MKKHD,
b) Pengelolaan HHBK, dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi hutan secara
ekonomi dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, berupa buah, bunga,
daun, dan lain-lain, tanpa mengganggu fungsi pokok sebagai pengatur tata air.
 Penyiapan persyaratan untuk perizinan pengelolaan HHBK,
 Fasilitasi perizinan pengelolaan HHBK,
 Fasilitasi perencanaan pengelolaan kawasan dalam pengembangan HHBK,
 Pengembangan budidaya HHBK,
 Pengolahan HHBK,
 Pemasaran HHBK
e) Pengelolaan tanaman bawah tegakan, dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi
kawasan hutan melalui budidaya tanaman bawah tegakan berupa empon-empon
(jahe, kunyit, temu lawak, dll) serta tanaman umbi-umbian (ganyong, talas, iles-
iles, dll) guna mendukung ketersediaan pangan non beras dan obat-obatan.
 Pengembangan budidaya tanaman bawah tegakan,
 Pengolahan tanaman bawah tegakan,
 Pemasaran tanaman bawah tegakan
4. MKKHD Gunung Sasak
Perluasan lahan pertanian dalam arti luas dilakukan melalui pengembangan HHBK
dengan jenis komoditas kemiri, nangka, dan tanaman bawah tegakan. Untuk mencapai

Konsep MKKHD 47
kondisi pengelolaan tersebut, maka diperlukan penyusunan rencana, program dan
kegiatan yang sesuai menyangkut prakondisi dan pelaksanaan program dan kegiatan.
a. Prakondisi MKKHD
a) Pemantapan MKKHD, dimaksudkan untuk menguatkan persiapan pengelolaan
MKKHD Gunung Sasak yang meliputi wilayah pengelolaan dan pelaksana
pengelola MKKHD. Kegiatan yang direncanakan dalam pemantapan MKKHD
meliputi :
 Penyiapan kesepakatan pengelolaan MKKHD yang menyangkut rencana
wilayah kerja dan pengelola MKKHD,
 Pertemuan antara masyarakat sekitar Gunung Sasak dengan pemerintah
Kabupaten Lombok Barat untuk menyepakati piagam MKKHD Gunung Sasak,
 Penyiapan Surat Keputusan/Peraturan Gubernur yang didasarkan pada hasil
kesepakatan bersama (piagam MKKHD Gunung Sasak),
b) Penyiapan kelembagaan masyarakat sekitar hutan, dimaksudkan untuk
mempersiapkan kelembagaan masyarakat dalam mengelola MKKHD meliputi
pelatihan, penyuluhan, sosialisasi dan lain-lain.
 Pelatihan pengelolaan sumber daya hutan dalam rangka MKKHD
 Pelatihan pengelolaan dan pengolahan HHBK
 Pelatihan pembuatan persemaian
 Penyuluhan batas kawasan hutan
 Sosialisasi MKKHD Gunung Parado
 Penguatan kelembagaan masyarakat pengelola MKKHD
c) Fasilitasi perizinan pengelolaan MKKHD, dimaksudkan untuk melegalisasi
pengelolaan MKKHD yang dilakukan masyarakat sesuai dengan prosedur dalam
peraturan perundangan.
 Pendampingan masyarakat dalam persiapan permohonan izin pengelolaan
HHBK
 Pendampingan pengajuan permohonan izin kepada Bupati Lombok Barat
 Monitoring proses perizinan
 Sosialisasi perizinan
 Penyiapan kerjasama pengelolaan MKKHD
b. Pengelolaan MKKHD
a) Pemantapan kawasan MKKHD, dimaksudkan untuk memperjelas status dan
fungsi kawasan hutan serta mempertegas batas kawasan hutan guna
meningkatkan pemahaman dan pengakuan kawasan hutan.
 Rekonstruksi batas kawasan hutan sesuai dengan hasil tata batas
 Sosialisasi batas kawasan hutan,
 Penyusunan rencana pengelolaan MKKHD dan pemetaan blok/zonasi serta
alokasi ruang bagi pengembangan HHBK,
 Penataan kawasan MKKHD,

Konsep MKKHD 48
b) Pengelolaan HHBK, dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi hutan secara
ekonomi dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, berupa buah, bunga,
daun, dan lain-lain, tanpa mengganggu fungsi pokok sebagai pengatur tata air.
 Penyiapan persyaratan untuk perizinan pengelolaan HHBK,
 Fasilitasi perizinan pengelolaan HHBK,
 Fasilitasi perencanaan pengelolaan kawasan dalam pengembangan HHBK,
 Pengembangan budidaya HHBK,
 Pengolahan HHBK,
 Pemasaran HHBK
c) Pengelolaan tanaman bawah tegakan, dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi
kawasan hutan melalui budidaya tanaman bawah tegakan berupa empon-empon
(jahe, kunyit, temu lawak, dll) serta tanaman umbi-umbian (ganyong, talas, iles-
iles, dll) guna mendukung ketersediaan pangan non beras dan obat-obatan.
 Pengembangan budidaya tanaman bawah tegakan,
 Pengolahan tanaman bawah tegakan,
 Pemasaran tanaman bawah tegakan

Konsep MKKHD 49
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
a. Terdapat 4 unit MKKHD yang dipandang layak sesuai dengan kriteria dan indikator
yang telah ditetapkan, dengan nilai-nilai khas NTB yang unik yaitu flora, fauna dan
ekosistem kawasan, yaitu Tambora, Tatar Sepang, Parado dan Gunung Sasak.
b. Penetapan MKKHD oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat, didasarkan pada hasil
penjajagan dan kesepakatan masyarakat dengan Bupati yang menentukan lokasi
MKKHD serta arah pengelolaan MKKHD.
c. Berdasarkan penetapan Gubernur Nusa Tenggara Barat, maka dapat dilakukan
penyusunan Rencana Pengelolaan MKKHD dengan mengkonvergensi kegiatan
kehutanan sehingga terdapat keterpaduan.
d. Pengelolaan MKKHD dapat diselenggarakan melalui penyiapan kelola kawasan,
penyiapan kelola kelembagaan dan penyiapan kelola usaha
e. Pengelolaan MKKHD diselenggaran sesuai dengan potensi meliputi pengembangan
HHBK dan wisata alam pada MKKHD Tambora, pengembangan wisata alam dan
wisata desa serta pemanfaatan air pada MKKHD Tatar Sepang, pengembangan
HHBK dan tanaman bawah tegakan pada MKKHD Parado, dan pengembangan HHBK
dan tanaman bawah tegakan pada MKKHD Gunung Sasak.
2. Saran
a. Diperlukan tindakan lanjutan dengan pertemuan pada tingkat Kabupaten guna
membangun kesepakatan antara masyarakat dan Bupati setempat yang mengarah
pada rencana pengelolaan hutan serta rambu-rambu pengelolaan MKKHD yang
disepakati sesuai dengan peraturan perundangan,
b. Sosialisasi hasil kesepakatan dan penetapan MKKHD yang melibatkan masyarakat
dan jajaran pemerintah Kabupaten dan Provinsi untuk membangun kepedulian dan
komitmen bersama dalam pengelolaan MKKHD
c. Fasilitasi perizinan dan bantuan pengelolaan guna meningkatkan legalitas dan
mengarahkan pengelolaan MKKHD yang sesuai dengan tujuan pengelolaan MKKHD.

Konsep MKKHD 50
d. Pembinaan pengelolaan MKKHD dengan melakukan pelatihan dan pendampingan
sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian dan pemanfaatan hutan.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Konsep MKKHD 51

Anda mungkin juga menyukai