Anda di halaman 1dari 12

BENTUK KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT BATAK

TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DI KAWASAN


DANAU TOBA

LAPORAN

OLEH
Nama: Verawaty Sinaga
NIM: 2002356

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2021
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang yang kaya akan suku bangsa dan budaya. BPS
(2010), mencatat terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia, atau
tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa. Masing masing suku memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda. Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari manusia karena kebudayaan
merupakan hasil karya manusia itu sendiri yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bentuk-
bentuk kebudayaan yakni, bahasa, organisasi kemasyarakatan, pengetahuan, sistem religi,
kesenian, teknologi dan peralatan, serta mata pencaharian hidup. (Koentjaraningrat dalam
Erman Syarif, 2017). Salah satu bentuk kebudayaan masyarakat Indonesia adalah Kearifan
Lokal. Secara etimologi, kearifan local (local wisdom) terdiri dari dua kata, kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Local berarti regional/wilayah sedangkan kearifan berarti
kebijakan. Sebutan lain untuk kearifan lokal diantaranya adalah kebijakan setempat (local
wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) dan kecerdasan setempat (local genious).

Menurut UU No. 32 Tahun 2009, Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku
di dalam tata kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sekaligus mengelola
lingkungan hidup secara lestari. Kearifan lokal merupakan nilai-nilai kehidupan yang tercipta
dari kebudayaan masyarakat local yang terbentuk dari hasil interaksi masyarakat dengan
lingkungan. Dalam masyarakat, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam cerita rakyat,
nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam
perilaku sehari-hari.

Secara tidak langsung Kearifan local telah memberikan kontribusi besar terhadap
pelestarian lingkungan. Perilaku/sikap masyarakat terhadap lingkungan terbentuk dari nilai-
nilai leluhur masyarakat adat yang kemudian menjadi pedoman dalam upaya menjaga dan
mengelola lingkungan. Setiap wilayah memiliki system nilai yang dijadikan sebagai pedoman
dalam melestarikan kehidupan dimana manuia berada, nilai-nilai luhur yang tumbuh
dimasyarakat telah menempatkan lingkungan sebagai bagian dari kehidupan dimana manusia
berada.

Dalam perkembangannya, terjadi perubahan kondisi masyarakat, meningkatnya


jumlah penduduk, dan teknologi yang digunakan telah mempengaruhi tingkah laku
masyarakat terhadap lingkungan. Meningkatnya populasi mempengaruhi peningkatan
kebutuhan akan lahan sebagai tempat tinggal maupun sebagai lahan produksi. Seperti halnya
pendapat dari Bahar (2017) mengungkapkan bahwa manusia sebagai anggota masyarakat
senantiasa mengalami perubahan dengan mengembangkan pola-pola perilaku sebagai suatu
cermin dari kemajuan peradaban masyarakat tersebut. Pada laporan ini akan dikaji bagaimana
kontribusi salah satu kebudayaan yaitu kearifan local terhadap perlindungan kualitas
lingkungan hidup di Kawasan Danau Toba.

Danau Toba dengan Pulau Samosir, memiliki karakteristik yang khas dilihat dari segi
ekosistem lingkungannya. Misalnya dari segi geografis, iklim (klimatologi), geologi, maupun
dari segi kultural masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Toba. Pada aspek hidrologis,
Danau Toba merupakan sebuah kawasan Daerah Tangkapan Air yang sangat vital bagi
kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Metode
Laporan ini akan membahas mengenai perlindungan kualitas lingkungan hidup
berbasis kearifan local. Metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan
mengumpulkan beberapa artikel, ataupun jurnal tentang peran karifan local terhadap
pelestarian lingkungan hidup di sekitar Danau Toba.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. BENTUK-BENTUK KEARIFAN LOKAL KAWASAN DANAU TOBA


1. Kearifan Tradisional Masyarakat Harian dalam Menjaga Hutan (R. Hamdani
Harahap, 2020)
Salah satu bentuk kearifan local yang terdapat disekitaran Danau Toba adalah
menjaga hutan. Menurut kearifan masyarakat Desa Harian, hutan dikuasai oleh mahluk gaib.
Oleh sebab itu sebelum pohon yang diinginkan ditebang di hutan ada beberapa hal yang
dilakukan yaitu berkomunikasi dengan roh (Huhuasi). Lalu mereka menancapkan kampak
(tekke) ke kulit pohon sebagai pertanda mereka telah memilih pohon tersebut. Bila keesokan
harinya kampak (tekke) masih ada di pohon tersebut maka mereka boleh menebang pohon
tersebut. Selanjutnya kayu yang sudah ditebang disambut di desa dan dililitkan kain (ulos)
dan tikar. Tujuan kegiatan ini agar kayu tersebut tidak mencelakakan penggunanya. Etika
menebang dijaga dengan ketat. Para pekerja diawasi pengetua desa. Pekerja harus
memperhatikan arah mana pohon roboh. Tujuannya untuk meminimalkan pohon kecil
menjadi korban dan mengurangi resiko pohon yang ditebang tidak patah.

Bagi masyarakat Harian hutan memegang berperan penting dalam menjaga ekositem
Danau Toba. Hutan berfungsi dalam siklus hidrologi danau. Oleh karena itu masyarakat perlu
menjaga kelestarian lingkungan Danau Toba dengan tidak menebang pohon dengan
sembarangan. Beberapa daerah lain seperti Masyarakat Adat Karampuang Kabupaten Sinjai
Sulawesi Selatan (Erman Syarif, 2017), juga memiliki kearifan local yang hampir sama yaitu
Masyarakat adat Karampuang mempercayai bahwa setiap sudut di dalam lingkungan tersebut
ada penunggunya, oleh karena itu perlu dijaga kelestariannya. Masyarakat adat Karampuang
masih sangat terikat dan patuh terhadap aturan aturan adatnya, yang penuh dengan
kepercayaan, pengetahuan dan pandangan kosmologi, berkaitan dengan pengelolaan dan
pemeliharaan lingkungan.

2. Dilarang Buang Sampah Di Danau Toba

Ketika bepergian dengan menggunakan kapal, masyarakat dilarang untuk


mngucapkan kata kata kasar atau kotor dan dilarang membuang sampah ke air danau toba.
Jika hal itu terjadi, maka akan terjadi kecelakaan seperti ombak di danau menjadi ganas dan
akan menenggelamkan kapal dan bisa menimbulkan korban jiwa serta pertanian akan gagal
panen (tanaman diserang hama). Bentuk kearifan lokal ini masih terus dipertahankan oleh
masyarakat karena kekhawatiran akan terjadinya kecelakaan saat bepergian menggunakan
kapal. Danau toba merupakan salah satu aset bangsa dan telah menjadi salah satu destinasi
wisata yang sering dikunjungi wisatawan local ataupun manca negara, jadi sangatlah baik
jika masyarakat terus mempertahankan kearifan local ini untuk menjaga kelestarian Danau
Toba. Namun, hal ini hanya berlaku pada saat sedang di dalam kapal saja. Masyarakat yang
tinggal di sekitar pinggiran Danau Toba masih sering membuang sampah di Danau Toba, hal
ini tentu sangat disayangkan karena belum ada sanksi ataupun pengawasan dari pemerintah
daerah setempat dalam upaya membersihkan dan menjaga kualitas air Danau Toba.

3. Ritual Hahomion Horja Bius (R. Hamdani Harahap, 2020)


Ritual Hahomion atau upacara yang dilakukan untuk memberikan sesajen kepada roh
nenek moyang terdahulu. Roh nenek moyang yang berada di danau merupakan kakek
(oppung) penjaga danau. Alam dipercaya selain dihuni oleh manusia, hewan dan tumbuhan
juga tempat bersemayamnya mahluk supranatural. Mahluk tersebut mendatangkan kebaikan
dan keburukan kepada manusia. Atas kesadaran itulah, manusia membuat upacara memohon
keselamatan, menghormati maupun ucapan terima kasih kepada mahluk supranatural yang
disebut “Penunggu Danau”. Upacara hahomion horja bius ini dilakukan saat agama leluhur
yang disebut Parmalim masih dianut masyarakat Batak di sekitar Danau Toba.
Sejak masuknya agama Kristen Protestan, tradisi yang berkembang luas dalam
kepercayaan Parmalim ini mulai ditinggalkan. Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar
roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap memantau kehidupan warga dan memohon kepada
Tuhan (Mulajadi Na Bolon) agar senantiasa memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan
ketentraman hidup warga Kalaupun ritual ini dilakukan adalah dalam rangka atraksi wisata.
Mereka percaya dengan memberikan sesajen kepada oppung (kakek) penjaga danau, maka
oppung tersebut akan memberikan keberkahan. Oleh karena itu, masyarakat selalu berusaha
menjaga kebersihan danau toba karena takut akan penunggu danau tersebut (oppung).

4. Jumat Bersih (Gotong Royong) di Kecamatan Harian


Gotong royong merupakan salah satu bentuk kearifan local yang ada sampai sekarang.
Gotong royong merupakan bekerja sama untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dengan
bergotong royong pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan hasilnya juga maksimal.
Gotong royong juga dapat membangun solidaritas masyarakat semakin kuat. Gotong royong
dilakukan setiap hari jumat pagi di desa masing-masing mulai pukul 08.00 sampai dengan
12.00. Kegiatan ini dilakukan oleh pemerintah setempat bersama-sama dengan masyarakat.
Adapaun kegiatan yang dilakukan adalah menyapu jalan, membabat rumput, membersihkan
selokan dan membersihkan danau toba.

5. Bentuk local wisdom (kearifan lokal) pada masyarakat Silahisabungan dalam


melestarikan kawasan Danau Toba (R. Hamdani Harahap, 2020).
Silalahisabungan merupakan salah satu marga batak toba dan juga merupakan salah
satu daerah kecamatan yang terdapat di Kawasan Danau Toba. Di daerah Silalahisabungan
ini terdapat suatu tempat yang sakral yaitu nauli basa, batu partonunan (liang namora) dan
Tao Silalahi yang merupakan seluruh area Danau Toba yang terdapat di wilayah
Silahisabungan. Danau ini dipercaya dikuasai oleh Namboru Deang Namora. Batu
Parnamoraon atau Siliang Namora adalah tempat Namboru Deang Namora tinggal semasa
sisa hidupnya. Kisahnya di tempat itulah namboru menenun. Tempat ini disakralkan, yaitu
tidak boleh meludah ataupun membuang kotoran. Tao Silalahi adalah wilayah danau yang
dianggap suci sehingga dilarang meludah, buang kotoran, memakai perhiasan, berkata kotor
di pinggiran danau, berbuat asusila serta kalau mau mandi harus minta ijin dulu sama nenek
(oppung) penjaga danau, tidak boleh mandi di atas jam 6 sore, tidak boleh membawa dan
makan daging babi atau anjing di pinggiran Danau Toba, tidak boleh mandi telanjang di
danau, dan dilarang tertawa-tawa sampai terbahak-bahak, serta bagi kaum perempuan jika
ada yang berambut panjang tidak boleh digerai tetapi harus diikat.
Bentuk kearifan lokal di atas sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Keraf (2002) dan
Gobyah (2009) dalam Ramdani Harahap (2020) yaitu merupakan bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas dan juga merupakan kebenaran yang telah mentradisi
atau ajeg dalam suatu daerah. Oleh sebab itu maka kearifan lokal dapat diartikan sebagai nilai yang
dianggap baik dan benar yang berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat
yang bersangkutan sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Seiring dengan perkembangannya, peneliti mendapatkan informasi bahwa kearifan lokal yang
ada di Kecamatan Silahisabungan ada yang sudah tidak dilakasanakan, namun ada juga yang
masih tetap dilaksanakan, dan ada yang diusulkan untuk dilakukan revitalisasi.
Adapun alasan penduduk tetap mempertahankan kearifan lokal adalah karena mereka
masih percaya dan terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, penjaga danau
Namboru Deang Namora yang tetap masih dipercayai karena masih ada kejadian beberapa
hari yang lalu perempuan dari Sidikalang tenggelam di Danau Toba karena melanggar
pantangan yaitu memakai perhiasan dan tertawa berlebihan.

6. Dilarang menebang pohon disekitar Air Terjun Efrata


Air terjun efrata merupakan salah satu destinasi wisata yang sering dikunjungi oleh
wisatawan lokal maupun manca negara. Konon katanya pohon pohon yang terdapat disekitar
air terjun ini tidak boleh ditebang karena terdapat penunggu di daerah sekitar air terjun
tersebut, hal itu menyebabkan masyarakat tidak berani untuk menebang pohon-pohon yang
berada disekitar air terjun. Bentuk kearifan lokal ini memberikan pengaruh positif bagi
lingkungan sekitar air terjun. Pada umumnya pengembangan aspek pariwisata akan
mempengaruhi kondisi lingkungan, pengembangan pariwisata yang tidak memperhatikan
aspek lingkungan hidup dapat berdampak negatif pada perkembangan pariwisata itu sendiri
pada masa yang akan datang. Hal mendasar yang mesti diubah adalah cara pandang terhadap
keberadaan alam/ lingkungan Danau Toba. Apabila lingkungan Danau Toba hanya dilihat
demi kepentingan manusia dan melihat alam sebagai sebuah obyek, maka cara pandang
tersebut harus diubah.

B. PERAN KEARIFAN LOKAL DALAM MENJAGA KUALITAS


LINGKUNGAN HIDUP DI KAWASAN DANAU TOBA
Kearifan lokal terbukti memberikan pengaruh positif bagi lingkungan. Lingkungan
dapat tetap terjaga kelestariannya dikarenakan masyarakat masih menghargai nilai-nilai
leluhur yang sudah ada mulai dahulu hingga sekarang. Pertambahan penduduk sangat
berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, masyarakat akan membuka lahan untuk
dijadikan tempat tinggal ataupun dijadikan sebagai lahan produksi. Sejauh ini, untuk wilayah
Danau Toba masih terdapat beberapa wilayah ataupun kecamatan yang masih
mempertahankan kearifan lokal yang ada dalam masyarakat karena bentuk kearifan lokal
tersebut masih terbukti keberadaannya.
Seperti hasil penelitian dari Risa Handayani Tarigan (2017), Hasil penelitian
menunjukan bahwa sejauh ini kearifan lokal yang dimiliki masyarakat telah mengurangi
dampak kerusakan hutan dan pengelolaan kawasan danau, meskipun kerusakan hutan masih
tetap terjadi sepanjang tahun. Dalam penelitian ini juga diketahui bentuk-bentuk kearifan
lokal yang dapat mendukung pengelolaan hutan. Kepercayaan dan/atau pantangan yang ada
berupa pelaksanaan upacara adat seperti upacara adat manulangi, mambosuri boru,
manghoaran, maharjabuan, hamatean. Etika dan aturan masih memiliki kepercayaan local
dalam menebang pohon bahwa adanya Homang dan Sigulambak yang masih dipercaya
sejenis arwah/ hantu yang bertempat tinggal di setiap pohon di hutan, kegiatan berburu hewan
liar. Teknik dan teknologi yang digunakan tidak memakai bahan peledak, tidak menebang
pohon dengan parang/kapak secara sembarangan dan menutup keramba jaring apung di tepi
Danau Toba. Praktek dan tradisi untuk mempertahankan kawasan dengan tidak membuang
limbah padat maupun cair di danau, melakukan penanaman kembali terhadap penebangan
atas perintah Dinas Kehutanan setempat, masih mempercayai tradisi lokal dalam pengelolaan
lingkungan, pemanfaatan sumberdaya secukupnya.
Beberapa daerah yang memiliki kearifan lokal yang hampir sama, seperti suku Baduy
Dalam (Maridi, 2015). Masyarakat Baduy memiliki kepercayaan bahwa mereka adalah
orang pertama yang diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi.
Segala tingkah laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut yang telah
ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhuh. Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk
melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun
temurun. Beberapa pikukuh yang harus ditaati oleh masyarakat Baduy atau masyarakat luar
yang berkunjung ke Baduy antara lain: (1) dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot)
untuk menebang pohon, membuka ladang, atau mengambil hasil hutan lainnya; (2) dilarang
menebang sembarang jenis tanaman, misalnya buah buahan, dan jenis jenis tertentu; (3)
dilarang menggunakan teknologi kimia seperti pupuk dan pestisida untuk meracuni ikan;
serta (4) berladang harus sesuai dengan ketentuan adat.
Banyak bentuk-bentuk kearifan lokal yang sampai saat ini masih dipatuhi oleh
masyarakat, karna masyarakat lebih takut pada hal-hal yang berbau holistic daripada logika
kenyataan. Namun, kearifan lokal ini juga memiliki tantangan sendiri akan eksistensinya di
tengah-tengah masyarakat dikarenakan kemajuan teknologi serta masuknya agama mulai
mengikis hal-hal yang dianggap meniadakan Tuhan.

C. KEARIFAN LOKAL DAN KONSERVASI KAWASAN EKOSISTEM DANAU


TOBA
Saat ini DTA Danau Toba telah mengalami kerusakan lingkungan yang cukup besar,
hal ini ditandai dengan terjadinya longsor, menurunnya produktivitas lahan, kerusakan
ekosistem, terjadinya kekeringan dan kebakaran hutan di kawasan DTA Danau Toba.
Berdasarkan masalah diatas maka diperlukan upaya rehabilitasi lahan kawasan Danau Toba
guna meminimalisir luasan lahan kritis dan mengembalikan produktivitas lahan pertanian
masyarakat. Pemerintah perlu mengeluarkan strategi maupun kebijakan yang integratif
dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam mengatasi permasalahan ini. Untuk
mengatasi hal tersebut Pemkab Samosir mencanangkan strategi pembangunan wilayah secara
kolaboratif dengan menggabungkan pendekatan budaya dan konservasi lingkungan hidup.
Pada acara adat Mangase Taon atau pesta mengawali tahun baru dalam kalender Batak Toba
yang diadakan di Batu Hobon. Batu Hobon terletak di lingkar Pusuk Buhit. Di Batu Hobon
inilah konon orang Batak pertama kali menginjakkan kaki ke bumi. Raja Bius
(gabungan/konfederasi antarkampung) dari 12 kecamatan yang ada di Samosir. Raja Bius
adalah sosok pemimpin yang mengatur penggunaan tanah (golat) dalam satu bius. Dia juga
menjadi protokol dalam sebuah upacara adat. Melalui upacara ini pemerintah daerah
sekaligus melakukan acara pencanangan strategi pembangunan wilayah secara kolaboratif,
menggabungkan pendekatan budaya dan konservasi lingkungan hidup. Batu Hobon dipilih
karena kesakralan dan nilainya dalam budaya Batak. Komitmen atau janji yang terucap di
Batu Hobon, apalagi disertai ritual Mangalahat Horbo Bius atau memberi persembahan
kerbau untuk Mulajadi Nabolon (Sang Kuasa), harus ditepati.
Bentuk nyata strategi kolaboratif pengelolaan lingkungan di Samosir adalah upaya
merevitalisasi budaya Batak dan kearifan lokal. Diperlukan revitalisasi nilai-nilai kearifan
lokal kedalam setiap pembentukan aturan yang terkait dengan keberadaan kawasan Danau
Toba baik dalam bentuk undang undang maupun peraturan daerah. Hal tersebut bertujuan
agar masyarakat hukum adat batak yang secara langsung berhadapan dengan keadaan Danau
Toba dapat tersadarkan dan secara sukarela ikut serta terus mempertahankan lingkungan
Danau Toba.
D. Kearifan lokal dan masuknya Agama
Eksistensi kearifan lokal semakin lama semakin terkikis, salah satu penyebabnya
adalah masuknya Agama yang menggantikan kepercayaan terhadap roh nenek moyang
dengan kepercayaan terhadap Tuhan. Sebelum Agama Kristen ada, masyarakat pada
umumnya melakukan penyembahan pada benda-benda yang diakui memiliki roh dan
merupakan wujud dari Debata jadi Nabolon, benda-benda tersebut dapat berupa pohon besar,
batu besar, atau tempat tempat keramat lainnya. Masuknya agama Kristen ke tanah batak
memberikan pemahaman baru bagi masyarakat akan keberadaan roh nenek moyang, sehingga
masyarakat mulai menebang ataupun membuka lahan tanpa memiliki rasa takut akan
keberadaan roh-roh nenek moyang. Dalam hal ini, keberadaan agama juga seharusnya dapat
menjadi pedoman baru masyarakat dalam mengelola lingkungan. Ketika manusia diberikan
kuasa untuk mengelola bumi dan seluruh isinya hal itu juga berarti manusia diberikan
tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan alam.
KESIMPULAN
1. Secara etimologi, kearifan local (local wisdom) terdiri dari dua kata, kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Local berarti regional/wilayah sedangkan kearifan berarti
kebijakan. Sebutan lain untuk kearifan lokal diantaranya adalah kebijakan setempat
(local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) dan kecerdasan setempat
(local genious). Beberapa bentuk kearifan lokal yang terdapat di Kawasan Danau
Toba adalah sebagai berikut:
 Kearifan Tradisional Masyarakat Harian dalam Menjaga Hutan,
Menurut kearifan masyarakat Desa Harian, hutan dikuasai oleh mahluk
gaib. Oleh sebab itu sebelum pohon yang diinginkan ditebang di hutan
ada beberapa hal yang dilakukan yaitu berkomunikasi dengan roh
(Huhuasi).
 Dilarang Buang Sampah Di Danau Toba, ketika bepergian dengan
menggunakan kapal, masyarakat dilarang untuk mengucapkan kata
kata kasar atau kotor dan dilarang membuang sampah ke air danau
toba. Jika hal itu terjadi, maka akan terjadi kecelakaan seperti ombak
di danau menjadi ganas dan akan menenggelamkan kapal.
 Ritual Hahomion Horja Bius, Mereka percaya dengan memberikan
sesajen kepada oppung (kakek) penjaga danau, maka oppung tersebut
akan memberikan keberkahan. Oleh karena itu, masyarakat selalu
berusaha menjaga kebersihan danau toba karena takut akan penunggu
danau tersebut (oppung).

 Jumat Bersih (Gotong Royong) di Kecamatan Harian, Kegiatan ini


dilakukan oleh pemerintah setempat bersama-sama dengan
masyarakat. Adapaun kegiatan yang dilakukan adalah menyapu jalan,
membabat rumput, membersihkan selokan dan membersihkan danau
toba.
 Bentuk local wisdom (kearifan lokal) pada masyarakat Silahisabungan
dalam melestarikan kawasan Danau Toba, Tao Silalahi adalah wilayah
danau yang dianggap suci sehingga dilarang meludah, buang kotoran,
memakai perhiasan, berkata kotor di pinggiran danau, berbuat asusila
serta kalau mau mandi harus minta ijin dulu sama nenek (oppung)
penjaga danau, tidak boleh mandi di atas jam 6 sore, tidak boleh
membawa dan makan daging babi atau anjing di pinggiran Danau
Toba, tidak boleh mandi telanjang di danau, dan dilarang tertawa-tawa
sampai terbahak-bahak, serta bagi kaum perempuan jika ada yang
berambut panjang tidak boleh digerai tetapi harus diikat.
 Dilarang menebang pohon disekitar Air Terjun Efrata , Air terjun
efrata merupakan salah satu destinasi wisata yang sering dikunjungi
oleh wisatawan lokal maupun manca negara. Konon katanya pohon
pohon yang terdapat disekitar air terjun ini tidak boleh ditebang karena
terdapat penunggu di daerah sekitar air terjun tersebut.

2. Kearifan lokal terbukti memberikan pengaruh positif bagi lingkungan. Lingkungan


dapat tetap terjaga kelestariannya dikarenakan masyarakat masih menghargai nilai-
nilai leluhur yang sudah ada mulai dahulu hingga sekarang.

3. Bentuk nyata strategi kolaboratif pengelolaan lingkungan di Samosir adalah upaya


merevitalisasi budaya Batak dan kearifan lokal. Diperlukan revitalisasi nilai-nilai
kearifan lokal kedalam setiap pembentukan aturan yang terkait dengan keberadaan
kawasan Danau Toba baik dalam bentuk undang undang maupun peraturan daerah.
Hal tersebut bertujuan agar masyarakat hukum adat batak yang secara langsung
berhadapan dengan keadaan Danau Toba dapat tersadarkan dan secara sukarela ikut
serta terus mempertahankan lingkungan Danau Toba.
4. Kearifan lokal dan masuknya Agama, keberadaan agama juga seharusnya dapat
menjadi pedoman baru masyarakat dalam mengelola lingkungan. Ketika manusia
diberikan kuasa untuk mengelola bumi dan seluruh isinya hal itu juga berarti manusia
diberikan tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan alam.
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, R. H. ( 2020). Kearifan Tradisional Batak Toba Dalam Memelihara . SENASPA), 1


- 18.
Jundiani. (2018). Local Wisdom in the Environmental Protection and. IOP Conference
Series: Earth and Environmental Science, 175.
Maridi. ( 2015). Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal dalam Sistem Konservasi Tanah
dan Air. Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya, 20-39.
Njatrijani, R. ( 2018). Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Kota Semarang. Gema
Keadilan, Volume 5, Edisi 1.
Syarif, E. (2017). Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Kearifan Lokal. Jurnal
Sainsmat, 49-55 .
Tarigan, R. H. (2017). BENTUK KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM
MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN EKOSISTEM HUTAN KAWASAN DANAU
TOBA. Medan: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Anda mungkin juga menyukai