Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya
makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat
bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan,
baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan.
Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh sebab itu,
kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat
membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.
RIHLA ARDIANI
BAB I
PENDAHULUAN
B. TUJUAN PENULISAN
1. Menjelaskan tentang pembantaian masal pada tahun 1965
2. Menjelaskan upaya penyelesaian peristiwa tahun 1965
BAB II
PEMBAHASAN
Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan
hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun masyarakat
internasional. Penjelasan memuaskan bagi kekejamannya telah menarik perhatian para
pandai dari berbagai prespektif ideologis. Probabilitas keadaan pergolakan serupa
dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat
terhadap sistem politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari
masa kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini
digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.
Pada sore tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal dibunuh oleh
kelompok yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September. Maka pemimpin-
pemimpin utama militer Indonesia tewas atau lenyap, sehingga Soeharto mengambil
alih kekuasaan tingkatan bersenjata. Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan
mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal. Tingkatan bersenjata menuduh PKI
sebagai dalang peristiwa tersebut. Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang
tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan
pembersihan di semua negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang
Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah
PKI. Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh. Maka ketegangan dan
kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun meledak.
Pembantaian
Masyarakat keturunan Tionghoa juga ikut menjadi korban. Beberapa dari mereka
dibunuh, dan harta benda mereka dijarah. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas
bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 masyarakat
keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan sampai ribuan di selang mereka
tewas dibantai.
Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil
sedang berjalan sampai tahun 1969.[16][28][29] Masyarakat Solo menyatakan bahwa
meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai
beresnya pembantaian.
Ketika dua pria sedang menanti kematiannya, seroang tentara di belakangan mereka
menusukkan bayonetnya ke mayat-mayat di bawah kakinya.
Jawa
Di Jawa, banyak pembunuhan dimainkan oleh simpatisan arus. Militer
mendorong para santri Jawa bagi mencari anggota PKI di selang orang-
orang abangan Jawa. Pembunuhan bertambah luas sampai pada orang-orang yang
bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya, banyak orang yang dianggap "PNI kiri"
dibunuh. Yang lainnya hanya dituduh atau merupakan korban fitnah dengan sedikit
atau tanpa motif politik. Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah
pasukan komando keyakinannya ke Jawa tengah, daerah yang mempunyai banyak
orang komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tidak jelas diperintahkan
berkunjung dari sana. Pembantaian terhadap orang komunis belakang dimainkan oleh
para pemuda, dengan dipandu oleh tingkatan bersenjata, memburu orang-orang
komunis.
Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 selang partai Muslim Nahdlatul
Ulama (NU) dan PKI berubah menjadi pembantaian pada hari pertama kedua
Oktober. Kelompok Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965
bahwa pembasmian "Gestapu/PKI" merupakan sebuah Perang Suci. Pandangan
tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatra. Bagi
banyak pemuda, membunuh orang komunis merupakan sebuah tugas keagamaan. Di
tempat-tempat keadaan pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelompok-
kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis
supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan.
Mereka kebanyakan mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948. Para
pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari
bagi ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap.
Bagi sebagian akbar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966,
namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian berjalan sampai
bertahun-tahun. Di Blitar, mempunyai tingkah laku yang dibuat gerilya yang
dimainkan oleh anggota-anggota PKI yang selamat. Tingkah laku yang dibuat tersebut
berhasil dibasmi pada 1967 dan 1968. Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok
komunis yang bercampur mistisisme tradisional, bersama para pengikutnya
mendirikan pasukan. Dia dan kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah
perang perlawanan menghadapi tingkatan bersenjata Indonesia.
Bali
Seperti halnya sebagian Jawa Timur, Bali mengalami keadaan hampir terjadi perang
saudara ketika orang-orang komunis bersama-sama menjadi satu kelompokan
kembali. Keseimbangan kekuasaan beralih pada orang-orang Anti-komunis pada
Desember 1965, ketika Tingkatan Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit
Brawijaya tiba di Bali setelah memainkan pembantaian di Jawa. Komandan militer
Jawa mengizinkan skuat Bali bagi membantai sampai dibubarkan. Berkebalikan
dengan Jawa Tengah tempat tingkatan bersenjata mendorong orang-orang bagi
membantai "Gestapu", di Bali, kehendak bagi membantai justru sangat akbar dan
spontan setelah memperoleh persediaan logistik, sampai-sampai militer harus ikut
campur bagi mencegah anarki. Serangkaian pembantaian yang mirip dengan peristiwa
di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh para pemuda PNI berkaus hitam.
Selama beberapa bulan, skuat maut milisi menyusuri desa-desa dan menangkap orang-
orang yang diduga PKI. Selang Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000
orang Bali dibantai, sekitar 5 persen dari populasi pulau Bali masa itu, dan banyakan
dari daerah manapun di Indonesia.[38][39][40][41]
Sumatra
Sikap yang dibuat PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan
bidang usaha asing di perkebunan-perkebunan di Sumatra memicu tingkah laku yang
dibuat balasan yang cepat terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000
orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di semua Sumatra. Pemberontakan
kedaerahan pada yang belakang sekali 1950-an semakin memperumit peristiwa di
Sumatra karena banyak mantan pemberontak yang dipaksa bagi berafiliasi dengan
organisasi-organisasi komunis bagi membuktikan kesetiaan mereka kepada Republik
Indonesia. Bubarnya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh
banyakan masyarakat Sumatra dipandang sebagai "pendudukan suku
Jawa". Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu nampaknya adalah imigrasi
suku Jawa.
Banyak korban
Meskipun garis akbar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui
mengenai pembantaiannya dan banyak pasti korban meninggal hampir tidak mungkin
diketahui. Hanya mempunyai sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada
masa itu. Tingkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi,
sementara rezim yang memainkan pembantaian berkuasa sampai tiga
dasawarsa. Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah
"Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober
1966.[ Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit
penyelidikan internasional yang dimainkan, karena berisiko memperkusut prarasa
Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama".
Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan
lebih kurang serius mengenai banyak korban. Sebelum pembantaian beres, tingkatan
bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal sedangkan menurut orang-
orang komunis yang trauma, lebih kurang awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di
belakang hari, tingkatan bersenjata memperkirakan banyak yang dibantai dapat
mencapai sekitar 1 juta orang. Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan banyak
korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan lebih kurang
mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang. Sebagian akbar sejarawan sepakat bahwa
setidaknya setengah juta orang dibantai, banyakan dari peristiwa manapun dalam
sejarah Indonesia. Sebuah komando keamanan tingkatan bersenjata memperkirakan
selang 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.[
Para korban dibunuh dengan metode ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh
tingkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dimainkan dengan metode
"tatap muka", tidak seperti babak pembantaian massal oleh Khmer Merah
di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.
Penahanan
Para anggota Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) dilindungi oleh para tentara dalam
perjalanan mereka dengan truk bak buka ke penjara pada tanggal 30 Oktober 1965.
B. UPAYA PENYELESAIAN
A. Kesimpulan
Peristiwa G 30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan yang
dilakukan PKI, yang bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di Indonesia.
Pemberontakan ini menimbulkan banyak korban, dan banyak korban berasal dari para
Jendral Angkatan Darat Indonesia. Gerakan PKI ini menjadi isu politik untuk menolak
laporan pertanggung jawaban Presiden Soekarno kepada MPRS. Dengan ditolaknya
laporan Presiden Soekarno ini, maka Indonesia kembali ke pemerintahan yang berasaskan
kepada Pancasila dan UUD 1945.
Peristiwa G30S/PKI 1965 yang terjadi di Indonesia telah memberi dampak negatif
dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia yaitu Dampak politik dan
Dampak Ekonomi. Setelah Supersemar diumumkan, perjalanan politik di Indonesia
mengalami masa transisi. Kepemimpinan Soekarno kehilangan supremasinya. MPRS
kemudian meminta Presiden Soekarno untuk mempertanggungjawabkan hasil
pemerintahannya, terutama berkaitan dengan G30S/PKI. Dalam Sidang Umum MPRS
tahun 1966, Presiden Soekarno memberikan pertanggung jawaban pemerintahannya,
khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa G30S/PKI.
B. Saran
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bangsa yang melupakan sejarah, akan
dengan mudah tercerabut dari akar sejarah itu sendiri, dan menjadi bangsa antah berantah.