Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya
makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat
bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan,
baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan.
Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh sebab itu,
kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat
membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Woha, 02 September 2022


Penyusun

RIHLA ARDIANI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENULISAN


Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak ia lahir
yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapapun. Hak-hak ini berisi
tentang kesamaan atau keselarasan tanpa membeda-bedakan suku, golongan, keturunanan,
jabatan dan lain sebagainya antara setiap manusia yang hakikatnya adalah sama-sama
makhluk ciptaan Tuhan.
Jika kita melihat perkembangan HAM di Negara ini ternyata masih banyak pelanggaran
HAM yang sering kita temui. Mulai dari pelanggaran kecil yang berkaitan dengan norma
hingga pelanggaran HAM besar yang bersifat kriminal dan menyangkut soal keselamatan
jiwa. Untuk menyelesaikan masalah ini perlu adanya keseriusan dari pemerintah menangani
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dan menghukum individu atau oknum terbukti
melakukan pelanggaran HAM. Selain itu masyarakat juga perlu mengerti tentang HAM dan
turut menegakkan HAM mulai dari lingkungan sosial tempat mereka tinggal hingga nantinya
akan terbetuk penegakan HAM tingkat nasional.
Adapun contoh dari pelanggaran HAM di Indonesia adalah kasus Munir. Kasus Munir
menjelaskan bahwa Hak warga Negara untuk memperoleh kebenaran belum dipenuhi oleh
pemerintah. Oleh karena itu, penulis mengambil judul “Pelanggaran HAM Pembunuhan
Massal 1965”

B. TUJUAN PENULISAN
1. Menjelaskan tentang pembantaian masal pada tahun 1965
2. Menjelaskan upaya penyelesaian peristiwa tahun 1965
BAB II
PEMBAHASAN

A. PEMBANTAIAN DI INDONESIA 1965–1966 

adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang


dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30
September di Indonesia. Diperkirakan semakin dari setengah juta orang dibantai dan
semakin dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut. Pembersihan ini
merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru: Partai Komunis
Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden Soekarno,
dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto.

Kudeta yang gagal menimbulkan kebencian terhadap komunis karena kesalahan


dituduhkan kepada PKI. Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik, sosial, dan
militer, dan PKI dijelaskan sebagai partai terlarang. Pembantaian dimulai pada
Oktober 1965 dan memuncak selama sisa tahun sebelum yang belakang sekalinya
mereda pada awal tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu kota Jakarta, yang
belakang menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuan vigilante (orang
yang menegakkan hukum dengan metodenya sendiri) dan tentara tingkatan darat
menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun
pembantaian terjadi di semua Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di basis-
basis PKI di Jawa Tengah, Timur, Bali, dan Sumatera Utara.

Usaha Soekarno yang mau menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme


melewati Nasakom telah bubar. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif
dilenyapkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis; dan militer berada pada
perlintasan menuju kekuasaan. Pada Maret 1967, Soekarno dicopot dari kekuasaannya
oleh Parlemen Sementara, dan Soeharto menjadi Presiden Sementara. Pada Maret
1968 Soeharto secara resmi terpilih menjadi presiden.

Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan
hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun masyarakat
internasional. Penjelasan memuaskan bagi kekejamannya telah menarik perhatian para
pandai dari berbagai prespektif ideologis. Probabilitas keadaan pergolakan serupa
dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat
terhadap sistem politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari
masa kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini
digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar ketiga di


dunia. Kadernya berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan
sebanyak dua juta orang. Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh.
Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi "Nasakom"
selang militer, kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan
kemilitanan PKI, serta dukungan Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan
kekhawatiran pada kelompok Muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti
perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1960-an. Upaya PKI bagi
mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan mengancam jabatan
sosial para kyai.

Pada sore tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal dibunuh oleh
kelompok yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September. Maka pemimpin-
pemimpin utama militer Indonesia tewas atau lenyap, sehingga Soeharto mengambil
alih kekuasaan tingkatan bersenjata. Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan
mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal. Tingkatan bersenjata menuduh PKI
sebagai dalang peristiwa tersebut. Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang
tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan
pembersihan di semua negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang
Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah
PKI. Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh. Maka ketegangan dan
kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun meledak.

Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut


letaknya. Majelis Permusyawaratan Rakyat dan kabinet dibersihkan dari pendukung-
pendukung Soekarno. Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa
dihukum mati. Petinggi tingkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di
Jakarta. Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar. Kelompok pemuda anti-
komunis dibuat, contohnya Kesatuan Tingkah laku yang dibuat Mahasiswa Indonesia
(KAMI), Kesatuan Tingkah laku yang dibuat Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan
Tingkah laku yang dibuat Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Tingkah
laku yang dibuat Sarjana Indonesia (KASI). Di Jakarta dan Jawa Barat, semakin dari
10.000 aktivis dan petinggi PKI ditangkap, salah satunya Pramoedya Ananta Toer.

Pembantaian

Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke


Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di
sebagian daerah di pulau-pulau lainnya, terutama Sumatra. Pembantaian terburuk
meletus di Jawa Tengah dan Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di
Sumatra utara dan Bali. Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi
PKI, Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada
22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera setelahnya.

Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh tingkatan darat, sehingga banyak


masyarakat Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian ini. Peran tingkatan darat
dalam peristiwa ini tidak pernah dijelaskan secara jelas. Di beberapa tempat, tingkatan
bersenjata melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal. Di tempat lain,
para vigilante mendahului tingkatan bersenjata, meskipun pada umumnya
pembantaian tidak berjalan sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan.

Di beberapa tempat, milisi tahu tempat bermukimnya komunis dan simpatisannya,


sementara di tempat lain tentara menanti daftar tokoh komunis dari kepala
desa. Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka gampang ditemukan dalam
masyarakat.[  Kedutaan Akbar Amerika Serikat di Jakarta menyediakan daftar 5.000
orang yang diduga komunis kepada tingkatan bersenjata Indonesia.

Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi


sebagian akbar sama sekali tidak mampu melawan. Tidak semua korban merupakan
anggota PKI. Seringkali cap "PKI" dimainkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional
Indonesia (PNI) yang beraliran kiri. Dalam kasus-kasus lainnya, para korban
merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis.

Masyarakat keturunan Tionghoa juga ikut menjadi korban. Beberapa dari mereka
dibunuh, dan harta benda mereka dijarah. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas
bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 masyarakat
keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan sampai ribuan di selang mereka
tewas dibantai.

Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan


memakai pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, sampai pejabat-
pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah.
Di wilayah seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-
orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu
jenazah korban dibuang ke sungai. Pembantaian ini mengosongkan beberapa bidang
desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke tingkatan bersenjata. [27]

Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil
sedang berjalan sampai tahun 1969.[16][28][29] Masyarakat Solo menyatakan bahwa
meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai
beresnya pembantaian.

Ketika dua pria sedang menanti kematiannya, seroang tentara di belakangan mereka
menusukkan bayonetnya ke mayat-mayat di bawah kakinya.

Jawa
Di Jawa, banyak pembunuhan dimainkan oleh simpatisan arus. Militer
mendorong para santri Jawa bagi mencari anggota PKI di selang orang-
orang abangan Jawa. Pembunuhan bertambah luas sampai pada orang-orang yang
bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya, banyak orang yang dianggap "PNI kiri"
dibunuh. Yang lainnya hanya dituduh atau merupakan korban fitnah dengan sedikit
atau tanpa motif politik. Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah
pasukan komando keyakinannya ke Jawa tengah, daerah yang mempunyai banyak
orang komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tidak jelas diperintahkan
berkunjung dari sana. Pembantaian terhadap orang komunis belakang dimainkan oleh
para pemuda, dengan dipandu oleh tingkatan bersenjata, memburu orang-orang
komunis.

Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 selang partai Muslim Nahdlatul
Ulama (NU) dan PKI berubah menjadi pembantaian pada hari pertama kedua
Oktober. Kelompok Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965
bahwa pembasmian "Gestapu/PKI" merupakan sebuah Perang Suci. Pandangan
tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatra. Bagi
banyak pemuda, membunuh orang komunis merupakan sebuah tugas keagamaan. Di
tempat-tempat keadaan pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelompok-
kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis
supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan.
Mereka kebanyakan mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948. Para
pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari
bagi ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap.

Bagi sebagian akbar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966,
namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian berjalan sampai
bertahun-tahun. Di Blitar, mempunyai tingkah laku yang dibuat gerilya yang
dimainkan oleh anggota-anggota PKI yang selamat. Tingkah laku yang dibuat tersebut
berhasil dibasmi pada 1967 dan 1968. Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok
komunis yang bercampur mistisisme tradisional, bersama para pengikutnya
mendirikan pasukan. Dia dan kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah
perang perlawanan menghadapi tingkatan bersenjata Indonesia.

Bali

Penangkapan salah seorang simpatisan PKI.


Melihat dalam cermin dari melebarnya perbedaan sosial di semua Indonesia pada
1950-an dan awal 1960-an, di pulau Bali meletus konflik selang para
pendukung sistem kasta tradisional Bali melawan orang-orang yang menolak nilai-
nilai tradisional itu. Letak pemerintahan, uang dan keuntungan bidang usaha beralih
pada orang-orang komunis pada tahun-tahun yang belakang sekali masa kepresidenan
Soekarno. Sengketa atas tanah dan hak-hak penyewa berujung pada pengambilan
lahan dan pembantaian, ketika PKI menyebarluaskan "aksi unilateral". Setelah
Soeharto berkuasa di Jawa, gubernur-gubernur pilihan Soekarno dicopot dari letaknya.
Orang-orang komunis belakang dituduh atas penghancuran budaya, agama, serta
karakter pulau Bali. Rakyat Bali, seperti halnya rakyat Jawa, didorong bagi
menghancurkan PKI.

Sebagai satu-satunya pulau yang didominasi Hindu di Indonesia, Bali tidak


mempunyai daya Islam yang terlibat di Jawa, dan tuan tanah PNI menghasut
pembasmian anggota PKI. Pendeta tinggi Hindu memainkan ritual persembahan bagi
menenangkan para roh yang marah kesudahan suatu peristiwa pelanggaran yang
kelewatan dan gangguan sosial. Pemimpin Hindu Bali, Ida Bagus Oka, memberitahu
umat Hindu: "Tidak mempunyai keraguan [bahwa] musuh revolusi kita juga
merupakan musuh terkejam dari agama, dan harus dibasmi dan dihancurkan sampai
akar-akarnya.

Seperti halnya sebagian Jawa Timur, Bali mengalami keadaan hampir terjadi perang
saudara ketika orang-orang komunis bersama-sama menjadi satu kelompokan
kembali. Keseimbangan kekuasaan beralih pada orang-orang Anti-komunis pada
Desember 1965, ketika Tingkatan Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit
Brawijaya tiba di Bali setelah memainkan pembantaian di Jawa. Komandan militer
Jawa mengizinkan skuat Bali bagi membantai sampai dibubarkan. Berkebalikan
dengan Jawa Tengah tempat tingkatan bersenjata mendorong orang-orang bagi
membantai "Gestapu", di Bali, kehendak bagi membantai justru sangat akbar dan
spontan setelah memperoleh persediaan logistik, sampai-sampai militer harus ikut
campur bagi mencegah anarki. Serangkaian pembantaian yang mirip dengan peristiwa
di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh para pemuda PNI berkaus hitam.
Selama beberapa bulan, skuat maut milisi menyusuri desa-desa dan menangkap orang-
orang yang diduga PKI. Selang Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000
orang Bali dibantai, sekitar 5 persen dari populasi pulau Bali masa itu, dan banyakan
dari daerah manapun di Indonesia.[38][39][40][41]

Sumatra

Sikap yang dibuat PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan
bidang usaha asing di perkebunan-perkebunan di Sumatra memicu tingkah laku yang
dibuat balasan yang cepat terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000
orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di semua Sumatra.  Pemberontakan
kedaerahan pada yang belakang sekali 1950-an semakin memperumit peristiwa di
Sumatra karena banyak mantan pemberontak yang dipaksa bagi berafiliasi dengan
organisasi-organisasi komunis bagi membuktikan kesetiaan mereka kepada Republik
Indonesia. Bubarnya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh
banyakan masyarakat Sumatra dipandang sebagai "pendudukan suku
Jawa". Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu nampaknya adalah imigrasi
suku Jawa.

Banyak korban

Meskipun garis akbar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui
mengenai pembantaiannya dan banyak pasti korban meninggal hampir tidak mungkin
diketahui. Hanya mempunyai sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada
masa itu. Tingkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi,
sementara rezim yang memainkan pembantaian berkuasa sampai tiga
dasawarsa. Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah
"Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober
1966.[  Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit
penyelidikan internasional yang dimainkan, karena berisiko memperkusut prarasa
Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama".

Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan
lebih kurang serius mengenai banyak korban. Sebelum pembantaian beres, tingkatan
bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal sedangkan menurut orang-
orang komunis yang trauma, lebih kurang awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di
belakang hari, tingkatan bersenjata memperkirakan banyak yang dibantai dapat
mencapai sekitar 1 juta orang.  Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan banyak
korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan lebih kurang
mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang. Sebagian akbar sejarawan sepakat bahwa
setidaknya setengah juta orang dibantai, banyakan dari peristiwa manapun dalam
sejarah Indonesia. Sebuah komando keamanan tingkatan bersenjata memperkirakan
selang 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.[

Para korban dibunuh dengan metode ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh
tingkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dimainkan dengan metode
"tatap muka", tidak seperti babak pembantaian massal oleh Khmer Merah
di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.

Penahanan
Para anggota Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) dilindungi oleh para tentara dalam
perjalanan mereka dengan truk bak buka ke penjara pada tanggal 30 Oktober 1965.

Penangkapan dan penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah


pembantaian.Pada 1977, laporan Amnesty International menyatakan "sekitar satu juta"
kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.  Selang 1981 dan
1990, pemerintah Indonesia memperkirakan selang 1.6 sampai 1.8 juta mantan
tahanan mempunyai di masyarakat.[  Mempunyai probabilitas bahwa pada
pertengahan tahun 1970-an, 100.000 sedang ditahan tanpa keadaan babak
peradilan. Diperkirakan sebanyak 1.5 juta orang ditahan pada satu waktu atau
lainnya. Orang-orang PKI yang tidak dibantai atau ditahan berupaya bersembunyi
sedangkan yang lainnya mencoba menyembunyikan masa lalu mereka. Mereka yang
ditahan termasuk pula politisi, artis dan penulis misalnya Pramoedya Ananta Toer ,
serta petani dan tentara. Banyak yang tidak mampu bertahan pada periode pertama
masa penahanan dan yang belakang sekalinya meninggal kesudahan suatu peristiwa
kekurangan gizi dan penganiayaan. Ketika orang-orang mulai mengungkapkan nama-
nama orang komunis bawah tanah, kadang kala di bawah siksaan, banyak orang yang
ditahan semakin meninggi pada 1966–68. Mereka yang dimerdekakan seringkali
sedang harus menjalani tahanan rumah dan secara rutin mesti melapor ke militer.
Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai pemerintah, termasuk juga anak-anak
mereka.

B. UPAYA PENYELESAIAN

Sikap yang dibuat Soekarno yang mau menyeimbangkan nasionalisme, agama,


dan komunisme melewati Nasakom telah bubar. Pilar pendukung utamanya, PKI,
telah secara efektif dibasmi oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis; dan militer
berada pada perlintasan menuju kekuasaan. Banyak Muslim yang tidak lagi
memercayai Soekarno, dan pada awal 1966, Soeharto secara buka mulai menentang
Soekarno, sebuah sikap yang dibuat yang sebelumnya berupaya dihindari oleh para
pemimpin militer. Soekarno berupaya bagi berpegang kepada kekuasaan dan
mengurangi pengaruh baru dari tingkatan bersenjata, namun dia tidak dapat membikin
dirinya menyalahkan PKI atas usaha kudeta sesuai permintaan Soeharto. Pada 1
Februari 1966, Soekarno menaikkan pangkat Soeharto menjadi Letnan Jenderal. [
Dekrit Supersemar pada 11 Maret 1966 mengalihkan sebagian akbar kekuasaan
Soekarno atas parlemen dan tingkatan bersenjata kepada Soeharto, memungkinkan
Soeharto bagi memainkan apa saja bagi memulihkan ketertiban. Pada 12 Maret 1967
Soekarno dicopot dari sisa-sisa kekuasaannya oleh Parlemen sementara, dan Soeharto
menjabat sebagai Presiden Sementara.  Pada 21 Maret 1968, Majelis
Permusyawaratan Rakyat secara resmi memilih Soeharto sebagai presiden.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Peristiwa G 30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan yang
dilakukan PKI, yang bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di Indonesia.
Pemberontakan ini menimbulkan banyak korban, dan banyak korban berasal dari para
Jendral Angkatan Darat Indonesia. Gerakan PKI ini menjadi isu politik untuk menolak
laporan pertanggung jawaban Presiden Soekarno kepada MPRS. Dengan ditolaknya
laporan Presiden Soekarno ini, maka Indonesia kembali ke pemerintahan yang berasaskan
kepada Pancasila dan UUD 1945.
Peristiwa G30S/PKI 1965 yang terjadi di Indonesia telah memberi dampak negatif
dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia yaitu Dampak politik dan
Dampak Ekonomi. Setelah Supersemar diumumkan, perjalanan politik di Indonesia
mengalami masa transisi. Kepemimpinan Soekarno kehilangan supremasinya. MPRS
kemudian meminta Presiden Soekarno untuk mempertanggungjawabkan hasil
pemerintahannya, terutama berkaitan dengan G30S/PKI. Dalam Sidang Umum MPRS
tahun 1966, Presiden Soekarno memberikan pertanggung jawaban pemerintahannya,
khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa G30S/PKI.

B. Saran
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bangsa yang melupakan sejarah, akan
dengan mudah tercerabut dari akar sejarah itu sendiri, dan menjadi bangsa antah berantah.

Anda mungkin juga menyukai