Dosen Pembimbing:
Abd. Djalal M.Ag.
NIP : 197009202009011003
Disusun oleh :
Harun Rosyid (E71211032)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT
PROGRAM STUDY FILSAFAT AGAMA
2015
A. Pendahuluan
Selama ratusan tahun, Eropa berada dalam kegelapan (the dark of age).
Rasionalitas yang bersumber pada akal pikiran manusia, anugrah Tuhan yang maha
penting dan fenomenal, tunduk pada dogma agama (Kristen) yang menisbikan
keberadaannya. Dalam bidang kehidupan politik, narasi Injil (St. Paulus 3-14, Surat
kepada Orang Romawi):Semua kekuasaan berasal dari Tuhan dan teks-teks sejenis
didalam agama dan kepercayaan-kepercayaan lain ditafsirkan secara tekstual dan
dengan menutup rapat ruang bagi diskursus yang lebih menghargai akal pikiran.
Demikianlah kemudian, raja dianggap sebagai manusia pilihan Tuhan yang
memperoleh mandat-Nya untuk berkuasa secara absolut. Dan rakyat, tidak bisa lain
kecuali patuh tanpa pengecualian pada raja-raja despot dan tiranis. Tatanan kehidupan
politik dibangun dengan cara monarkis yang melahirkan kesewenangan dan
penindasan, serta sekali lagi, tidak memberi ruang sedikitpun bagi kebebasan
berekspresi umat manusia.
Memasuki abad 16 dan 17, tradisi dogmatik gereja yang bersitemali dengan
kejahatan feodalisme kaum bangsawan itu mulai digugat dan dipertanyakan
keabsahan moral-etiknya oleh rakyat. Eropa memasuki renaissance, abad pencerahan
(enlightenment). Grotius (1583-1645), Pufendorf (1632-1694), Thomas Hobbes
(1588-1679), dan John Locke (1632-1704) hadir diantara pemikir-pemikir besar
Eropa pada zamannya menyuarakan gugatan dan kegelisahan rakyat itu. Puncak
gugatan atas dogmatika dan feodalisme itu kemudian disuarakan oleh Jean-Jacques
Rousseau pada abad 17. Makalah ini merupakan ikhtiar sederhana untuk menelusuri
dan memahami pemikiran Rousseau, khususnya yang diuraikan sang maestro itu
dalam karya masterpiecenya, Du Contract Social yang sebagian besar naskahnya
ditulis dan diterbitkan tahun 1762 di Geneva Swiss. Uraian dalam paper ini akan
diawali dengan ikhtisar ringkas riwayat hidup Rousseau, karya-karyanya, profil
singkat buku, kemudian deskripsi pokok-pokok pikiran Rousseau didalam buku
tersebut, pengaruh pemikiran, dan sekaligus disertai beberapa catatan kritis (critical
review) terhadap bagian-bagian penting dari gagasan-gagasannya seputar kontrak
sosial, yang telah mengubah manusia dari keadaan alamiah (state of nature) yang nonsosial dan tanpa otoritas politis ke keadaan masyarakat yang sepenuhnya social
(societe civile).
Saat di Turin, Italia ia bertemu dengan pastur yang memberi pelajaran yang baik
terhadapnya sehingga ia memeluk agama Katholik. Tahun 1745 ia pergi ke Paris disana ia
terlibat percintaan dengan banyak wanita misalnya dengan Therese Levasseur anak dari
pemilik rumah penginapan dan warung. Dengan wanita tersebut ia mempunyai lima anak
diluar pernikahan, tetapi pada usia sekitar 50 tahun ia baru menikahinya 2. Kelima anaknya
tidak diurus dengan baik, ia menitipkannya pada sebuah yayasan yang menampung anak
buangan. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan tulisannya orang yang tidak dapat
memenuhi kewajiban sebagai sorang ayah jangan menjadi ayah. Dalam bukunya
Confensions ia membenarkan hal itu karena ia tidak mau anaknya terlantar, ia lebih suka
anaknya dibesarkan di panti asuhan agar menjadi buruh tani. Ia mengakui telah mengabaikan
kewajibannya sebagai seorang ayah tetapi hati seorang ayah tidak dapat berkata banyak bila
ia tidak pernah melihat anaknya 3.
Ag. Soejono.(1978). Aliran Baru Dalam Pendidikan. Bandung : CV. Ilmu Bandung,
hlm. 23
2
H. Hart, Michael.(2003). 100 Tokoh Yang Berpengaruh Dalam Sejarah. Jakarta :
Pustaka Jaya, hlm. 36
3
Van Der Weij, P.A.(1998). Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Jakarta : Gramedia,
hlm. 83
tajam
kemajuan
ilmu
pengetahuan
dan
kesenian
hanya
menghasilkan
Ibid, hlm. 83
Sutari Imam Barnadip.(1983). Sejarah Pendidikan. Yogyakarta : Andi Offset, hlm.
128
6
A.G. Soejono. Op. Cit, hlm. 24
5
7
8
sipil yang demikian hanya bisa ditemukan dalam apa yang ia sebut sebagai a positive
title17. Rousseau memandang manusia pra kontrak sosial (state of nature) adalah
manusia yang memiliki kebebasan, kesederajatan, akal budi, dan instink kepedulian
kepada sesamanya. Manusia di fase ini memelihara kehidupannya menurut
pertimbangan sendiri dengan apa yang diusahakannya dari alam. Disini, konsep
kepemilikan pribadi belum dikenal. Manusia justru saling peduli satu dengan lainnya.
Akal manusia kemudian terus berkembang. Tekhnologi dan alat produksi
diciptakan dan bersamaan dengan ini, keinginan manusia juga semakin bertambah.
Pelan-pelan manusia meninggalkan kondisi alamiahnya. Manusia mementingkan
kehidupannya sendiri. Konflik kemudian terjadi, karena manusia ingin memperoleh
dan memiliki sebanyak-banyaknya. Ketidaksamaan mulai muncul dalam fase ini.
tepatnya, ketidaksederajatan dalam kepemilikan hasrat. Disinilah manusia memasuki
state of war. Manusia saling menguasai satu dan yang lain. Saling menghakimi dan
menghukum. Orang kaya mulai merasakan kekhawatiran akan hartanya dari
kemungkinan orang miskin mengambilnya.
Yang menyebabkan manusia tidak sederajat adalah ketika ia hidup pada fase pasca
state of nature. Situasi dimana kepemilikan personal itu mulai dikenal yakni saat ada
alat-alat produksi yang berkapasitas lebih baik, kebutuhan penduduk bertambah jensi
maupun jumlahnya serta jumlah penduduk mulai bertambah banyak. Disinilah
manusia mulai kehilangan kebebasannya. Kontrak sosial merupakan konsensus agar
state of war itu tidak terus menerus berlangsung. State of war membuat yang miskin
selalu menjadi ancaman bagi yang kaya. Yang kuat memaksa yang lemah untuk bisa
menjadi bagian darinya. Dan begitu seterusnya. Jika ini tidak segera diatasi, maka
manusia akan musnah. Sehingga kontrak sosial yang kemudian membentuk
masyarakat, memiliki fungsi untuk menegakkan hak alamiah mereka sebagai
manusia, yaitu hak kebebasan dan kesederajatan. Jadi kontrak sosial Rousseau
merupakan kontrak yang dilakukan oleh masyarakat yang terdiri dari orang kaya dan
orang miskin.
F. Pengaruh Pemikiran J.J Rousseau
Tulisan-tulisan Rousseau dapat dikatakan sebagai faktor penting dalam
pertumbuhan
sosialisme,
romantisme,
totaliterisme,
anti-rasionalisme
juga
berpengaruh terhadap teori pendidikan modern. Ia juga sebagai penyumbang bagi ide17
Ibid., 12.
ide modern menuju demokrasi dan persamaan serta perintis kearah pecahnya Revolusi
Perancis., Jika semboyan revolusi menjadi liberte, egalite, fraternite (kebebasan,
persamaan, persaudaraan) dan jika kedaulatan rakyat sangat ditekankan maka akan
terasalah pengaruh dari Rousseau. Selain itu cita-citanya mepesona banyak orang
Kembali ke alam, hiduplah sederhana, bersungguh-sungguh dan menurut pada
alam18.
G. Catatan kecil untuk karya J.J Rousseau
Dari uraian esensi kontrak sosial diatas, ada sejumlah catatan berkenaan dengan
implikasi teoritik kemudian lahir sebagai sebuah keniscayaan dari pemikiran
Rousseau. Pertama, negara yang tidak lain merupakan penjelmaan kehendak umum
itu haruslah merupakan negara yang pemerintahannya (para magistrat dan priagung
dalam istilah khusus Rosseau) dibentuk bersama-sama oleh rakyat dan kemudian
hadir untuk mengurus kepentingan umum. Pemerintahan itu bukan bagian dari peserta
kontrak sosial, melainkan alat yang dibentuk untuk melayani kehendak rakyat
sekaligus melaksanakan kehendak umum. Itulah Republik (Res Publica = Urusan
Umum), satu-satunya bentuk negara yang kekuasaannya sah menurut Rousseau,
bukan hanya karena disepakati oleh rakyat atau karena disimpulkan oleh semua teori
lain yang sebelum kontrak sosial. Melainkan lebih mendasar lagi, karena
kekuasaannya bersumber dari rakyat. Republik dengan demikian merupakan
penjelmaan dari kedaulatan rakyat.Dan karena rakyat itu berdaulat, maka sekali lagi,
negara harus menjadi urusan seluruh rakyat seperti halnya dalam bentuk Republik di
Yunani Kuno dulu.
Kedua, bagi Rousseau kedaulatan rakyat itu melahirkan dua implikasi yang
ujungnya seperti saling menegasikan. Yakni : di satu sisi adalah penolakan terhadap
segala wewenang diatas rakyat yang bukan berasal dari rakyat, tapi di sisi lain adalah
tuntutan agar segala kekuasaan yang ada harus identik dengan kehendak rakyat.
Implikasi yang pertama tentu bukan persoalan, karena begitulah sejatinya dasar faham
republikan. Tetapi implikasi yang kedua menjadi persoalan, karena tesis bahwa
kekuasaan harus identik dengan kehendak rakyat berarti terjadi proses identifikasi
total antara kehendak rakyat dengan kehendak negara. Individu, bahkan rakyat secara
keseluruhan secara total masuk kedalam negara.
18
Pada titik ini Rousseau dengan sadar telah menganjurkan secara tegas
faham Totalitarisme negara sebagaimana diuraikannya pada Bab VI Pakta Sosial
(Buku Pertama), bahwa dalam pakta sosial warga negara melakukan alienasi total
kepada masyarakat; masing-masing mengalienasi diri tanpa syarat sehingga
kondisinya menjadi sama bagi semua. Karena kondisinya sama bagi semua, maka tak
seorangpun berkepentingan untuk membuatnya menyusahkan orang lain.
Menurut hemat penulis ini adalah paradoks tak terelakan dari buah konstruksi
pemikiran Rousseau. Di satu sisi ia menghadirkan bentuk Republik sebagai pilihan
yang paling sah dalam membangun sistem politik dan bernegara. Tetapi pada saat
yang sama, Republik yang sejatinya adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk
mengurus rakyat secara keseluruhan justru kemudian menjelma menjadi sebuah
kekuasaan yang totaliter. Di hadapan rezim totaliter, sebagaimana kemudian terbukti
dalam perjalanan peradaban politik umat manusia setelah Rousseau tiada, apapun
landasan filosofinya, rakyat praktis menjadi pihak yang tertindas dan diperlakukan
sewenang-wenang.
Ketiga, faham totalitarisme negara atau kedaulatan rakyat total ini membawa
konsekuensi pada struktur negara dalam pikiran Rousseau. Karena negara pada
hakekatnya adalah rakyat itu sendiri, dan bukan subyek lain yang berhadapan dengan
rakyat, maka menurut Rousseau gagasan melindungi rakyat dari negara menjadi tidak
masuk akal. Manusia tidak perlu dilindungi dari kemungkinan ancaman yang berasal
dari dirinya sendiri, negara itu.Oleh karena itu instrumen-instrumen kelembagaan
yang lazim terdapat di negara-negara demokrasi untuk melindungi keberadaan rakyat
menjadi tidak relevan dalam pikiran Rousseau.Dalam konteks ini Rousseau
menganggap sebuah Konstitusi sebagai hukum dasar yang berfungsi membatasi
kekuasaan sekaligus melindungi rakyat dari negara menjadi tidak diperlukan.
Yang dibutuhkan hanyalah undang-undang, yang tidak lain merupakan perwujudan
kehendak bersama dari kekuasaan Berdaulat (lembaga legislatif yang tidak lain
merupakan rakyat secara keseluruhan).
Dalam kenyataan praktis, bahkan negara yang secara formal mengklaim
sebagai negara demokrasi dan dibuktikan antara lain dengan kepemilikan sebuah
konstitusi pun masih banyak melakukan praktik-praktik kesewenangan terhadap
rakyatnya. Apalagi sebuah negara yang sejak awal dirancang sebagai negara totaliter,
lantas tanpa sebuah konstitusi negara pula, menurut hemat penulis, sukar bisa
dipercaya bahwa kekuasaan negara itu akan melahirkan kemaslahatan, keadilan dan
kesejahteraan bagi rakyatnya.
Keempat, berpijak pada konsepnya tentang kehendak umum (kehendak
bersama) tadi, Rousseau berpendapat bahwa kehendak umum itu harus dibuat oleh
kekuasaan yang berdaulat (lembaga legislatif) yang merupakan instrumen tertinggi
dalam negara karena ia adalah rakyat secara keseluruhan. Rousseau menolak adanya
lembaga perwakilan, karena menurutnya kekuasaan Berdaulat tidak dapat diwakilkan.
Di dalam Buku Kedua Bab Kedua, Rousseau menyatakan, Dengan alasan sama
yang menyebabkan kekuasaan Berdaulat tidak mungkin dialienasi, berlaku pula
alasan yang mengakibatkan kekuasan Berdaulat itu tidak terbagi.
Di sini tampak jelas, bahwa Rousseau menghendaki konsep Demokrasi
Langsung sebagaimana pernah dipraktikkan pada era Republik Romawi Kuno.
Gagasan ini terutama dimaksudkan untuk menghindari distorsi terhadap kehendak
umum rakyat yang berdaulat itu yang bisa dengan mudah muncul oleh sebab adanya
asosiasi-asosiasi politik yang lebih mengedepankan pendapat dan kehendaknya
pribadi. Pada paragraf terakhir dalam Buku Kedua Bab Ketiga, Rousseau
menulis :Jadi, untuk benar-benar memperoleh suatu kehendak umum, perlu
diusahakan agar dalam negara tidak ada pelbagai asosiasi, dan bahwa setiap warga
mengeluarkan pendapat sendiri, sesuai dengan hati nuraninya.
Soal gagasan demokrasi langsung ini, sisi yang paling mudah melihat
kelemahan konstruksi pemikiran Rousseau adalah menyangkut soal fakta sejarah,
bahwa saat ini besaran jumlah warga negara (negara yang paling kecil sekalipun
seperti Singapura) tumbuh cepat sedemikian rupa, sehingga mustahil gagasan ini
dapat dipraktikkan seperti pada era Republik Romawi kuno.Demokrasi langsung
dalam konstruksi negara Rousseau, dimana seluruh rakyat menjadi legislator yang
membahas dan merumuskan undang-undang secara bersama, mendiskusikan urusan
dan kepentingan umum bersama-sama adalah jauh dari realistis.