Anda di halaman 1dari 8

Laporan Observasi Hukum Adat di Kampung Bugis, Karanghantu, Serang

Pada hari jum’at 18 Maret 2016 kami kelompok 10 yang beranggotakan 4 orang yakni
Ade Prasettia Kusuma, Prastiyo Umardani, Tati Rohmayati, dan Ulfiah. Kami tertarik untuk
mengungkap hukum adat bugis ini apakah masih dijaga oleh keturunan orang bugis yang
menetap di Banten. Ternyata yang masih dipegang oleh orang bugis di sini hanya adat
perkawinan. Dalam adat perkawinan tersebut, mempelai wanita menetapkan mahar atau
sejumlah uang yang harus dipenuhi oleh mempelai pria. Apabila mempelai pria tidak dapat
menyanggupi sejumlah mahar tersebut maka pernikahanpun gagal dilaksanakan. Mengapa
demikian? Karena dalam adat bugis mahar tersebut menandakan penebusan atau pembelian
bagi mempelai wanita. Dahulu, ada hukum yang melarang masyarakat bugis untuk menikah
selain dengan masyarakat bugis pula. Namun, seiring dengan waktu hukum itu hilang karena
keadaan dan situasi yang tidak mendukung untuk tetap mempertahankan hukum tersebut.
Kampung bugis ini terdiri dari 1 rw yaitu rw 06 dan berisi rt yang terdiri dari 300 kepala
keluarga. Luas wilayah kampung bugis ini sekitar 5 hektar yang dahulunya hutan dan tanah
masyarakat banten yang dibeli oleh orang-orang bugis untuk berdomisili di banten. Letak dari
kampung bugis ini berada di sekitar pesisir laut banten.

Sejarah suku bugis menetap di desa karanghantu serang. Pada tahun 1960
sampai 1995 suku bugis yang aslinya berasal dari Sulawesi merantau ke Banten, ada 6 orang
yang pertamakali datang dan tinggal di desa keroya. Keenam orang bugis ini juga mengalami
perang terhadap orang asli banten. Tepatnya di jematan lama ke enam orang bugis ini
dikepung, dan sampai akhirnya pada tahun 1986 orang suku bugis dan orang banten resmi
berdamai. Mata pencaharian orang bugis yang berada dibanten ini mayoritas nelayan.
Pembagian hasil melaut dilakukan dengan membagi keuntungan bersih 50% untuk pemilik
kapal dan 50% untuk ABK.

Hukum adat di masyarakat bugis di kampung bugis tepatnya dikaraghantu ini mulai
memudar, oleh karena itu kami meneliti dengan melakukan pendekatan antropologi hukum
adat guna mengetahui bagaimana adat bugis ini ada, bagaimana proses berlangsungnya,
bagaimana perkembangannya sampai bagaimana hukum adat bugis ini hilang.

Seperti pepatah tua yang mengatakan “Dimana bumi dipijak, disitulah langit
dijunjung”. Dimana tanah dan daerah yang kita pijak maka hukum dan peraturan atau adat
istiadatnya dijunjung dan dihormati
Cari apa itu mapaci? Filosofinya? Manfaatnya? Tujuannya? Bagaimana tata caranya?
Wajib atau apabila tidak melaksanakan ada hukumanya?

Cari sejarah suku bugis yang ada di banten tepatnya diserang. Alasan mengapa
mereka merantau sejauh itu? Adakah tujuan khususnya? Kenapa memilih banten dan
menetap di Banten? Mengenai agama yang dibawa, daerah tempat tinggal, terjadi perang
dengan masyarakat asli banten?

Bagaimana kebiasaan suku bugis ketika berlayar? Pembagian hasil melaut? Adakah
prosesi khusus sebelum dan sesudah berlayar?

Cari mengenai antropologi hukum adat dan menyambungkan dan meneliti lebih
dalam hubungan mengenai masyarakat bugis ini?

Pengaruh masyarakat banten terhadap kebudayaan yang dibawa suku bugis ke


banten?

Akulturasi atau asimilasi hukum yang terdapat pada masyarakat bugis dan masyarakat
asli banten.

Bandingkan pula dengan hukum adat yang sangat dipegang suku bugis di Makassar,
Sulawesi.

Pengertian hukum adat menurut beberapa ahli

a.       Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum
adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan
timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak
lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat). Abdulrahman , SH
menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa
yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini.

Di masa lalu, orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut ulung. Malah, ada sebuah
ungkapan yang mungkin terasa hiperbola; Di mana ada dermaga, di situ pasti ada orang
Bugis-Makassar. Keberadaan orang Bugis-Makassar yang ada di mana-mana menandakan
mereka dapat diterima dengan baik oleh bangsa mana pun. Demikian dikemukakan Sosiolog
yang juga Ketua Program Studi Pendidikan IPS Program Pascasarjana UNM, Dr Andi
Agustang, menanggapi film dokumenter berjudul Diaspora Bugis-Makassar dan Kebangkitan
Nasional yang diputar di Ruang Rapat Pimpinan PT Media Fajar, Lt IV gedung Graha Pena
Makassar, Rabu 27 Mei. Menurut Agustang, dalam bersosialisasi dengan masyarakat di
daerah asing, orang Bugis-Makassar paling tidak mengandalkan tiga hal, yakni tutur kata,
keberanian dan pernikahan. Falsafah itu dikenal dengan tiga ujung, yakni ujung lidah (tutur
kata), ujung (maaf) kemaluan atau pernikahan, serta ujung badik yang menegaskan
keberanian orang Bugis Makassar, ungkap Agustang. Tiga hal inilah yang digunakan orang
Bugis-Makassar untuk

Salah satu tokoh lainnya yang juga meninggalkan Makassar kala itu adalah Karaeng
Bonto Marannu. Berbeda dengan kerabatnya (Karaeng Galesong) yang dalam catatan sejarah
tidak jelas disebutkan akan menuju daerah mana di Pulau Jawa, Karaeng Bonto Marannu
menetapkan tujuan pelayarannya menuju ke Banten. Keberangkatan Karaeng Bonto Marannu
ke Banten diduga adalah usaha untuk melanjutkan perlawanan terhadap Belanda. Ia ingin
turut bergabung dalam peperangan Banten melawan Belanda (Pen). Kesultanan Banten
merupakan kerajaan besar pada yang masa itu. Posisinya sangat dekat dengan pusat
pemerintahan Kompeni di Batavia (Jakarta). Oleh Belanda, Banten dianggap sebagai tetangga
yang berpotensi mengancam keamana dan stabilitas Kompeni di Nusantara. Maka Banten
menjadi target yang harus dihancurkan juga, serupa dengan Kerajaan Gowa yang dikuasai
Kompeni sebelumnya. Karaeng Bonto Marannu tiba di Banten pada tanggal 19 Agustus 1671
dengan 800 orang prajurit yang menumpang tiga perahu dan satu kapal Jung besar. 

Hubungan antara kerajaan Gowa-Tallo dan kesultanan Banten telah terjalin lama dan
kuat, terutama karena peranan Syekh Yusuf. Seorang Muballig asal Gowa yang sempat
menetap dan berdakwah di Banten sebelum melanjutkan perjalanannya ke Makkah untuk
menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agamanya. Awalnya, Kompeni gusar dengan
keberadaan orang-orang Makassar di Banten dan terus mengawasi serta mempersiapkan
serangan terhadap Kesulatanan Banten dibawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Namun disaat bersamaan Kompeni juga menerima kabar jika Karaeng Galesong terus
membuat kekacauan di Bima. Tak ayal perhatian Kompeni beralih pada ulah Karaeng
Galesong dan menunda untuk menyerang Banten. Penundaan ini membuat gusar orang-orang
Makassar di Banten yang sudah “gila” perang melawan Kompeni. Merasa jenuh menunggu
perang yang tak kunjung datang, akhirnya Karaeng Bonto Marannu meninggalkan Banten
menuju ke arah timur pesisir utara pulau Jawa. 

Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teks–teks sejarah seperti karya
sastra La Galigo dan Lontara‘ diceritakan baik awal mula peradaban orang–orang Bugis,
masa kerajaan–kerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga
bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu
dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis yang tentunya
sarat nilai-nilai positif. Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi
baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade‘ (adat) dan
budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh
dan ditegakkan dalam nilai–nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugis–
Makassar, siri‘ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun
yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri‘.

Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat
mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap tercemar atau
dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja,
termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri‘ dalam kehidupan mereka.(Hamid
Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).

Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari


mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‘
(permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua
yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab
pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta
menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang
termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh
masyarakat Bugis.

Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga


jika dilihat secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan
prinsip dan nilai–nilai ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan
kehidupannya, serta sifat pang‘ade‘reng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.

Dalam pandangan adat, Annyala (kebersalahan dalam perkawinan) dapat dibedakan atas
tiga macam, yaitu : Silariang, Nilariang, dan Erangkale. Karena namanya saja “Annyala”,
maka ketiganya tentu saja tidak ada bagusnya, kesemuanya mempermalukan diri dan
keluarga, ketiganya membawa dampak rasa malu serta konsekuensi taruhan harga diri (siri’).
Tindakan Annyala ini sebenarnya dapat diakhiri dengan proses berbaikan, namanya
“Abbajik” atau “Appala Bajik” (makassar : meminta kebaikan, memohon maaf), namun
dalam konteks kekinian, bagaimana sebenarnya kita melihatnya mengingat sudah sedemikian
bebasnya proses pergaulan dan komunikasi serta telah ditinggalkannya adat, bukan saja oleh
anak tapi juga oleh orang-orang tua kita, meski masih banyak sekali yang memegang teguh
prinsip - prinsip adat. Annyala, dalam bentuk apapun, seringkali disertai pengejaran dan
harus berakhir dengan pembunuhan, sebagai upaya menegakkan siri’ (malu dan harga diri)
dari keluarga tunipakasiri’.

        Silariang (Sama - sama Lari)

Yang dimaksud dengan Silariang ialah dua orang yang saling mencintai, sama - sama lari
dari keluarganya. Pada masyarakat Bugis Makassar, kawin lari (silariang) merupakan hal
yang tidak direstui bahkan menjadi aib dalam masyarakat. Terjadinya kawin lari biasanya
dikarenakan uang belanja perkawinan (mas kawin / sunrang) yang ditentukan oleh pihak
keluarga si gadis terlampau tinggi, bisa juga terjadi karena keluarga si gadis tidak menyetujui
pihak keluarga laki - laki, baik calon menantunya maupun calon besannya., misalnya karena
perbedaan status sosial. Terkait dengan uang naik (doe’ nipanaik) atau uang belanja (doe’
balanja) dalam perkawinan yang tinggi, biasanya memang keluarga si gadis dalam
masyarakat bugis makassar menempuh jalan demikian untuk menolak pinangan secara halus

         Nilariang (Dibawa Lari)

Nilariang adalah proses Annyala dimana si gadis dilarikan oleh si pemuda atau oleh si
pemuda dan keluarganya. Karena namanya Nilariang, maka faktanya dilapangan bisa
beragam. Bisa saja perbuatan si pemuda melarikan anak gadisnya orang tanpa sepengetahuan
orang tuanya, karena bisa juga terjadi orang tua dan keluarga si pemuda tidak merestui
tindakan anaknya melarikan anak gadis orang. Bisa juga terjadi, keluarga si pemuda memberi
restu dengan sebab yang beragam, misalnya ingin membuat malu keluarga si gadis dan lain
sebagainya.

         Erangkale (Melarikan Diri)

Proses Annyala ini umumnya dimaknai sebagai tindakan si gadis lari dari keluarganya tanpa
sepengetahuan orang tua, keluarga dan kerabatnya untuk menemui si pemuda, dan
selanjutnya kawin di suatu tempat yang tidak diketahui oleh kedua keluarga, kecuali oleh
mereka berdua. Tapi, penulis memaknainya juga sebagai proses janjian (assijanji). Faktanya
di lapangan bisa kedua - duanya sama - sama lari dari keluarganya secara sendiri - sendiri,
dan untuk selanjutnya bertemu di suatu tempat yang telah mereka sepakati berdua.

Proses Abbajik (Berbaikan)

Apabila terjadi perkawinan lari (Silariang, Nilariang, Erangkale), maka oleh pihak
keluarga si gadis akan melakukan pengejaran, biasa disebut tu-masiri’, dan kalau mereka
berhasil menemukan kedua pelarian itu, maka kemungkinan laki-laki (tu-mannyala) itu akan
dibunuh. Tindakan membunuh tu-mannyala ini disebut appaenteng siri’ atau menegakkan
harga diri dan kehormatan keluarga.
Karena perbuatan tu-mannyala (makassar : orang yang bersalah) biasanya jika diketahui
dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat, terutama dari keluarga sigadis. Sebab tu-
mannyala harus dibunuh kecuali bila tu-mannyala tadi telah berada dalam rumah atau
pekarangan anggota dewan hadat / pemuka masyarakat atau setidak-tidaknya telah sempat
melemparkan penutup kepalanya (songkok atau destar) ke dalam pekarangan rumah anggota
hadat tersebut yang berarti ia sudah berada dalam perlindungan, maka tak dapat diganggu
lagi. Begitu juga kalau ia sedang bekerja di kebun, di ladang atau di sawahnya. Bila tu-
mannyala tadi telah berada di rumah satu pemuka masyarakat (dalam hal ini imam atau
kadhi) maka menjadi kewajiban baginya untuk segera menikahkan tu-mannyala.

Langkah pertama, orang tua sigadis (tu-masirik) dihubungi dan dimintai persetujuannya
agar anaknya dapat dinikahkan. Biasanya orang tua tak dapat memberi jawaban apalagi
bertindak sebagai wali, karena merasa hubungannya dengan anaknya mimateami (telah
dianggap mati). Sebab itu, tak ada jalan lain bagi imam atau kadhi kecuali menikahkan tu-
mannyala dengan ia sendiri bertindak sebagai wali hakim. Setelah itu, baru dipikirkan yang
harus dilakukan tu-mannyala agar diterima kembali sebagai keluarga yang sah dalam
pandangan adat. Hubungan antara tu-masiri’ dengan tu-annyala sebagai tu-appakasirik akan
diterima selama tu-mannyala belum abbajik (damai). Bila tu-mannyala mampu dan
berkesempatan appakabajik (berdamai) ia lalu minta bantuan kepada penghulu adat/pemuka
masyarakat tempatnya meminta perlindungan dahulu. Lalu diutuslah seseorang untuk
menyampaikan maksud appala bajik (meminta damai) kepada keluarga tu-masirik atau
kepada penghulu kampung tempat keluarga tu-masirik yang selanjutnya menghubungi
keluarga tu-masirik agar berkenan menerima kembali tumate tallasa’na (orang mati yang
masih hidup).

Keluarga tu-masirik lalu menyampaikan kepada sanak keluarganya tentang maksud


kedatangan tu-mannyala appala bajik. Bila seluruh keluarga berkenan menerima kembali tu-
mannyala tersebut, maka disampaikanlah kepada yang mengurus selanjutnya pada pihak tu-
mannyala. Kemudian si tu-mannyala dengan keluarganya mengadakan persiapan yang
diperlukan dalam upacara appala bajik tersebut. Keluarga tu-mannyala menyediakan
sunrang (mahar) sesuai aturan sunrang dalam perkawinan adat, selain menyediakan pula
pappasala (denda karena berbuat salah). Pappasala dengan sunrang dimasukkan dalam
‘kampu’ disertai ‘leko’ sikampu’ (sirih pinang dalam kampu). Keluarga tu-mannyala juga
yang wajib menyiapkan dalam pertemuan itu antara lain hidangan adat.

Pada waktu yang telah ditentukan, tu-mannyala (orang yang telah berbuat salah/aib)
datang dengan keluarga yang mengiringinya ke rumah salah seorang tu-masirik (orang yang
menderita malu atau yang dipermalukan). Sementara itu keluarga tu-masirik telah pula hadir.
Dengan upacara penyerahan kampu dari pihak to-mannyala/tu-mappakasirik yang diterima
oleh tu-masirik maka berakhirlah dendam dan ketegangan selama ini. Tu-mannyala tadi
meminta maaf kepada keluarga tu-masirik yang hadir dan pada saat itu dirinya resmi diterima
sebagai keluarga yang sah menurut adat.
5.      Analisis Perkawinan Sumbang

Dalam tatanam masyarakat bugis makassar sistem tata aturan perkawinan di jelakan sebagi
berikut :

1. Assialang maola Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak
ayah maupun ibu.

2. assialanna memang ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak
ayah maupun ibu.

3. ripaddeppe’ abelae ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak
ayah maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga

Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara’):


1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah

2. perkawinan antara saudara sekandung

3. perkawinan antara menantu dan mertua

4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan

5. perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu

Terkait dengan perkawian sumabang atau salimara saya belum bisa menganalisis berhubung
saya belum pernah mendapatkan kasus seperti ini dan literatunya pun say belum dapatkan ,
yang pernah saya ketahui perkawin ini sangat di haramkan dan dilarang pada masyarakat
tanah bugis pada umumnya apalagi pada saat masuknya islam dan telah menjadi unsur
pangadereng dalam  masyarakat bugis pada umunya. Yang pernah saya dengar jika orang
melakukan salah satu kesaalahan di atsa maka pihak keluarkga dan ketuia adat menghukum
sipelaku dengan cara :

a.       Di bunuh

b.      Di usir

c.       Diputuskan tali silaturahim

d.      Akan di sumpahi mendapat sial seumur hidup

e.       Di anggap sudah tidak ada  dan tidak pernah ada dalm suatu lingkungan masyarakat

Anda mungkin juga menyukai