Majelis hakim menuturkan, terdakwa Robert Simanjuntak terbukti secara sah melanggar Pasal
351 ayat 1 KUHP tentang Tindakan Penganiayaan yang dilakukan terhadap Didik Herwanto, saat
melakukan liputan pesawat tempur Sky Hawk milik TNI AU yang jatuh beberapa waktu lalu.
"Menyatakan terdakwa Letkol Robert Simanjuntak terbukti secara sah melakukan tindak pidana
penganiayaan dan menjatuhkan hukuman selama tiga bulan dikurangi dengan masa kurungan
sementara," ujar hakim ketua Kolonel CHK DR Djodi Suranto SH MH di Unit Pelayanan Teknis
Oditorium Militer 1-03 Pekanbaru, pada Selasa, 17 September 2013.
Usai mendengar putusan, terdakwa Robert Simanjuntak menyatakan pikir-pikir terhadap putusan
tersebut. Robert Simanjuntak menyatakan siap menjalani keputusan itu. Menurut dia, sejak kasus
itu bergulir, dia merasa sudah menerima sanksi sosial yang cukup berat bagi dia dan keluarganya.
Sebelumnya, Robert sudah menjalani sanksi masa kurungan sementara selama 20 hari dan nonjob
selama 6 bulan. "Dengan adanya keputusan ini saya lega, saya siap untuk menjalaninya," ujar
Robert kepada wartawan.
Putusan terhadap Letkol Robert Simanjuntak tidak menyertakan Undang-Undang Pers Nomor 40
Tahun 1999. Menurut Oditur Militer Rizaldi, undang-undang pers tidak digunakan karena
sebelumnya terdakwa tidak mengetahui bahwa Didik Herwanto adalah wartawan.
Kasus penganiayaan ini terjadi saat jatuhnya pesawat tempur Sky Hawk milik TNI AU Roesmin
Nurjadin di Jalan Amal Bakti, Kelurahan Pandau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten
Kampar, Riau, pada 16 Oktober 2012 lalu. Fotografer harian Riau Pos, Didik Herwanto, yang
meliput insiden itu mendapat penganiayaan dari Letkol Robert Simanjuntak serta kameranya
sempat dirampas.
Sumber : (http://nasional.tempo.co/read/news/2013/09/17/063514071/tentara-pemukul-wartawan-divonis-3-
bulan-penjara)
Majelis hakim yang dipimpin Letkol ChK Djoko Sasmito dalam sidang hari Kamis, 5 September
di Pengadilan Militer II-11Yogyakarta meyakini bahwa para terdakwa telah melakukan
pembunuhan berencana.
Dalam pembacaan keputusan hakim setebal 449 halaman, Hakim Djoko Sasmito memaparkan
fakta bahwa para pelaku berembug, membawa senjata, melakukan perjalanan dari hutan Gunung
Lawu, mencari korban di berbagai tempat di Yogyakarta, dan kemudian melakukan penyerangan
ke LP Sleman dengan pembagian tugas bagi para pelaku yang seluruhnya berjumlah 12 orang.
“Menyatakan para terdakwa tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah
melakukan tindak pidana, kesatu secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana dan
kedua, militer yang dengan sengaja tidak mentaati perintah dinas, yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih secara bersama-sama. Sebagaimana diatur dan diancam dalam pasar 340 KUHP junto
pasal 55 ayat 1 KUHP dan pasal 103 ayat 1 junto ayat 3 KUHP M,” kata Djoko Sasmito.
Sejumlah anggota berbagai ormas berdemo menuntut anggota Kopassus dibebaskan dalam sidang
di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta (VOA/Nurhadi)
Sementara itu, seusai persidangan, Ketua Tim Penasihat Hukum anggota Kopassus, Kolonel
Rochmad mengatakan, unsur pembunuhan berencana tidak dapat dibuktikan.
“Sesuai dengan apa yang sudah kita sampaikan dalam materi pembelaan, bahwa unsur
perencanaan tidak ada sama sekali," kata Kolonel Rochmad.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Menejer Nasution kepada VOA memberikan
apresiasi terhadap keputusan hakim. Menurutnya, majelis hakim sudah bertindak independen.
Namun, lanjut Menejer, jika unsur pembunuhan berencana terpenuhi semestinya hukumannya
lebih tinggi dari vonis 11, 8 dan 6 tahun tersebut.
“Hanya memang, kalau misalnya kita melihat di pasal 340 KUHP, kalau pembunuhan berencana
itu kan mestinya hukumannya itu kan pidana mati, atau seumur hidup atau 20 tahun, kan? Kalau
misalnya unsur pembunuhan berencana terpenuhi. Nah, catatan awal kita memang ini tidak
matching antara hakim berhasil membuktikan bahwa ini pembunuhan berencana tetapi kemudian
divonis (dengan hukuman) yang tidak matching dengan pasal 340 itu,” jelas Menejer Nasution.
Seperti diberitakan 12 anggota Kopassus Kandang Menjangan Kartasura telah menyerang dan
membunuh empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Sleman, pada 23 Maret 2013 lalu.
Keempat tahanan itu adalah Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, Adrianus Candra Galaga,
Yohanes Juan Mambait, dan Gameliel Yermiayanto Rohi Riwu. Keempatnya ditahan karena
membunuh anggota Kopassus, Sertu Heru Santoso, di sebuah cafe di Yogyakarta beberapa hari
sebelumnya.
Seusai mendengar keputusan majelis hakim, tiga anggota Kopassus beserta tim penasehat hukum
langsung menyatakan banding. Saat keluar meninggalkan gedung pengadilan, para terdakwa ini
dielu-elukan sekitar 500 massa anggota berbagai organisasi kemasyarakatan. Serda Ucok Tigor
Simbolon bahkan sempat menyampaikan orasi pendek di depan massa yang mendukungnya.
Sumber : (http://www.voaindonesia.com/content/pengadilan-militer-vonis-3-anggota-kopassus-terkait-kasus-lp-
sleman/1743742.html)
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang mengabulkan gugatan izin lingkungan untuk
pembangunan pabrik semen dan penambangan PT Indocement, di wilayah Pati Selatan.
Dalam sidang putusan yang berjalan lebih dari tujuh jam, majelis hakim PTUN Semarang yang
diketuai oleh Adi Budi Sulistyo memerintahkan pembatalan Surat Keputusan Bupati Pati Nomor
660.1/4767 tentang izin lingkungan pembangunan pabrik semen dan penambangan.
Dalam putusannya majelis hakim berpendapat, penerbitan izin lingkungan tersebut telah
bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati serta azas umum
penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
“Ini menjadi pertimbangan majelis hakim untuk mengabulkan permohonan penggugat,” kata
hakim ketua Adi Budi Sulistyo, Selasa (17/11) petang.
Ia juga menyampaikan sejumlah pertimbangan putusan majelis hakim. Antara lain penyusunan
dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai syarat penerbitan izin
lingkungan juga tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat, dalam hal ini warga di sekitar
lokasi pabrik dan penambangan.
“Majelis hakim juga menolak eksepsi yang disampaikan tergugat, dalam hal ini Bupati Pati serta
PT Sahabat Mulia Sakti (SMS) selaku anak perusahaan PT Indocement,” lanjutnya.
Kuasa hukum PT SMS Florianus Sangsun menyampaikan akan mengajukan banding atas putusan
majelis hakim PTUN Semarang dalam perkara ini. Ia menilai hakim tidak cermat dalam memutus
perkara gugatan warga Pati terkait izin lingkungan pembangunan pabrik semen ini.
“Adanya data 67 persen warga yang menolak pembangunan pabrik semen yang dijadikan dasar
penggugat diperoleh dari survei yang tidak mewakili warga di empat desa, yang berada di sekitar
lokasi pembangunan dan penambangan,” katanya.
Sumber : (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/11/17/nxym1y346-kasus-semen-pati-ptun-
semarang-kabulkan-gugatan-warga-kendeng)
KASUS Di PENGADILAN AGAMA
1. Pengadilan Tinggi Agama
Seperti ditayangan Liputan 6 Pagi SCTV, Jumat (13/3/2015), keputusan Pengadilan Tinggi
Agama tertangal 5 Maret tersebut menjadikan EN tidak bisa melakukan sidang di pengadilan.
Bahkan, dia dinon-jobkan menyusul adanya laporan korban terkait peristiwa memalukan dan
mencoreng citra pengadilan agama itu.
Menurut Kepala Humas Pengadilan Tinggi Agama Jambi Husnul Arifin, keputusan ini diambil
setelah pihaknya mengkaji laporan dugaan perbuatan asusila yang dinilainya sebagai perbuatan
melanggar etika dan norma sebagai hakim agama.
"Sudan non-palu itu, namanya pak kalau sudah tidak bisa sidang. Dia kan hakim tingkat pertama.
Dia (EN) mestinya sidang di sana, kalau di sini dia nggak bisa sidang. Di sini kan hakim tinggi,"
kata Husnul Arifin.
Sementara korban asusila berinisial NA, hingga kini masih trauma dan shokk akibat aksi bejat
EN. Kendati NA sudah bekerja kembali di Pengadilan Agama Kualatungkal tersebut.
Kasus asusila yang melibatkan kepala pengadilan agama ini terkuak melalui pemberitaan media
setempat. Warga pun dihebohkan dengan kasus tersebut, sebab pelakunya merupakan oknum
ketua hakim agama setempat. (Mar/Rmn)
Sumber : (http://news.liputan6.com/read/2190210/berbuat-asusila-ketua-pengadilan-agama-dinonaktifkan)
hokum indonesia
Berdasarkan hasil diskusi yang telah kami lakukan, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan hukum di Indonesia masih dikatakan tidak adil yaitu:
1. Adanya transaksi dalam penegakkan hukum di Indonesia.
2. Moral penegak hukum yang jelek.
3. Adanya intervensi dari penguasa/petinggi.
4.Rakyat Indonesia yang masih kurang sadar akan hukum padahal mereka sudah
mengetahui hukum di Indonesia.
5. Ketimpangan pasal yang satu dengan yang lain.