Anda di halaman 1dari 12

KULIAH IV

Pancasila Sebagai Filsafat, Falsafah, dan Ideologi Bangsa

Pengantar
Pancasila merupakan filsafat, falsafah, dan ideologi bangsa Indonesia. Dalam bab ini kita ingin
mencermati makna, kedudukan, dan peran Pancasila sebagai filsafat, falsafah, dan ideologi bangsa
Indonesia. Tak bisa diragukan lagi, koteks historis kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sudah menunjukkan secara jelas bahwa bahwa Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945
Aliena ke-4 dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan dasar falsafah dan ideologi negara
Indonesia. Tetapi bagaimana memahami makna dan kedudukan Pancasila sebagai falsafah, ideologi,
bahkan juga filsafat negara? Marilah memulai pembahasan bab ini dengan dengan pemahaman yang
tepat tentang makna istilah-istilah tersebut.

Yang dimaksud dengan Pancasila sebagai sebuah filsafat negara adalah bahwa Pancasila mengandung
sebuah kerangka berpikir argumentatif; sebuah “Sikap Hidup” ; bahkan sebuah kebijaksanaan dan
“Kearifan yang Mendalam”.

Kerangka berpikir, sikap hidup, dan keutamaan hidup tersebut bukan sekedar sebuah kesadaran historis
dan kultural melainkan sebuah energi yang menggerakkan dinamika kehidupan bangsa; dahulu, kini, dan
di masa datang; dalam bentuk sebuah falsafah dan ideologi bangsa Indonesia. Itulah sebabnya, mengapa
kedudukan Pancasila sebagai filsafat, falsafah, dan ideologi bangsa Indonesia dibahas bersamaan.

1. Filsafat, Pancasila sebagai Filsafat, dan Filsafat Pancasila


Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yakni philein, yang
artinya mencintai (philos berarti pencita), dan sophos (sophia) yang artinya hikmah atau kebijaksanaan.
Maka secara harafiah, filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan.

Tetapi makna konotatif istilah filsafat menunjuk pada beberapa pengertian..

Pertama, filsafat sebagai proses dan hasil permenungan yang mendalam. Meminjam istilah Plato,
berfilsafat itu tak lain dari ‘memandang ke idea-idea’. Atau dalam bahasa Aristoteles, ‘menyelidiki
sebab-sebab terdalam dari realitas’.

Kedua, filsafat diartikan sebagai kritik. Salah satu keutamaan penting filsafat adalah mengajukan
pertanyaan: mengapa? Keheranan merupakan awal mula berfilsafat karena keheranan merupakan dasar
untuk bertanya. Filsafat merupakan tempat dimana semua jawaban dapat dipertanyakan! Sejarah
filsafat meperlihatkan bagaimana para filsuf menjawab beragam pertanyaan dengan keberagaman
jawaban yang tetap terbuka untuk dipertanyakan.

Ketiga, sebagai sebuah disiplin, filsafat adalah ilmu yang berusaha menyelidiki segala sesuatu secara
metodis, sistematis, koheren, rasional, dan radikal untuk mencapai kebenaran. Bagi Aristoteles, filsafat
adalah ilmu yang mencari prinsip-prinsip dasar atau sebab-sebab terdalam dari realitas. Definisi ini

1
didasarkan pada usaha para filsuf yunani kuno untuk mencari ‘arkhe’ (dasar) dari segala sesuatu yang
ada. Ada yang mengatakan bahwa prinsip atau dasar itu ada pada: air, api, tanah, udara, tetap, berubah
(Parmenides), angka (Pyhagoras), dan sebagainya.

Secara umum filsafat juga dipahami sebagai ilmu yang menyellidiki segala sesuatu (objek material) dari
sudut pandang yang paling dalam (objek formal). Penyelidikan tersebut menghasilkan berbagai bidang
filsafat seperti: filsafat pengetahuan (epistemologi, logika,), filsafat tentang segala sesuatu yang
ada/ontology (metafisika, antropologi filsafati, teologi filsafati, kosmologi), dan filsafat tentang
tindakan/aksiologi (etika dan estetika).

Berdasarakan uraian di atas, filsafat dapat dilihat sebagai proses dan sebagai hasil (pengetahuan,
pemahaan). Sebagai proses, filsafat diartikan sebagai kegiatan berpikir, mempertanyakan, mengajukan
kemungkinan jawaban, mendiskusikan. Sementara sebagai pengetahuan, filsafat berurusan dengan ide,
teori, pengetahuan, atau gagasan-gagasan dari para filsuf sejak era Yunani kuno sama era pasca modern
sekarang ini.

Perlu diingat bahwa sarana utama yang digunakan oleh filsafat adalah akal budi. Karena itu segala hal
dikaji menurut daya akal budi. Dengan kata lain, dengan rasio, filsafat berusaha membongkar dan
mengkaji pandangan- pandangan atau asumsi-asumsi yang mendasari realitas2. Upaya filosofis untuk
mencari kebenaran sebagai sesuatu yang men- dasar dalam kehidupan bersama, dapat dipahami
sebagai upaya ilmiah. Upaya tersebut menempatkan filsafat sebagai ilmu. Filsafat sebagai ilmu harus
memenuhi syarat-syarat seperti objektif, kritis, metodis, sistemtis, dan koheren. Kelima unsur tersebut
menjadi indikator kajian filosofis sebuah kajian ilmiah. Sifat ilmiah tidak serta merta membuat filsafat
menjadi khas dan terbedakan dari ilmu-ilmu lain terutama ilmu pengetahuan empiris.

Kekhasan filsafat sebagai ilmu yang membedakannya dari ilmu lain justru terletak dalam dimensi
kedalamannya sebagaimana disinyalir oleh Bung Karno dan Driyarkara. Filsafat berupaya mencari
“Struktur fundamental”, “susunan mendasar”. Pengetahuan filosofis membantu kita untuk memahami
substansi dari realitas yang dikaji secara ilmiah. Substansi, sebagaimana dipahami Descates, merupakan
“sesuatu yang berada semikian rupa sehingga menyebabkan yang lain berada di atasnya”. Posisi seperti
itu dapat dipahami sebagai alas (substratum), dasar, hakekat dari realitas.

Setelah memahami pengertian filsafat, pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah Pancasila
merupakan sebuah Filsafat? Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI
menyatakan bahwa negara Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, harus memiliki dasar fisafati
atau philosofische grondslag (dalam bahasa belanda). Bagi Bung Karno, philosofische grondslag itulah
fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di
atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Maka secara eksplisit Proklamator
NKRI tersebut menyebut Pancasila sebagai dasar negara tersebut dengan sebutan Filsafat. Dalam koteks
ini, kata filsafat dimaknai sebagai: sesuatu yang mendasar, mendalam, fondamen; sebuah hasrat,
kesadaran, dan perspektif yang mendalam. Bahkan, bagi Soekarno, Pancasila menjadi prinsip dasar
dalam pengembangan ilmu dan acuan dalam bertindak. Dalam acara promosi Doktor Honoris Causa
kepada Soekarno, 19 Desember 1951, terungkap pandangan sebagai berikut:

“Selain dari pada yang dikemukanan, Senat Universitas Negeri Gadjah Mada mempertimbangkan
bahwa Pancasila, ciptaan Paduka Yang Mulia, merupakan juga pegangan dan pedoman dalam usaha
ilmu pengetahuan, yang telah mulai juga dipikirkan tentang arti dan nilainya dipandang dari sudut ilmu

2
pengetahuan...diambil sebagai asas dan pendirian hidup yang memungkinkan dan menguatkan
penentuan sikap dalam penyelidikan dan pendapat dalam ilmu pengetahuan (penyelidik, ahli ilmu
pengetahuan) dan juga menjadi objek ilmu pengetahuan (hal yang diselidiki)”.

Pemahaman Bung Karno tentang Pancasila sebagai filsafat dipertegas oleh Driyarkara. Dengan
berfilsafat, demikan Driyarkara, orang berhasrat memandang realitas sedalam-dalamnya. Berfilsafat
sejatinya tidak mengutamakan atau sekedar membatasi diri pada apa yang praktis atau apa yang sedang
dilakukan. Sebaliknya, berfilsafat tidak lain dari upaya “mengutamakan pandangan”; mengarah diri pada
kebenaran1.

Berdasarkan pemahaman diatas, jelas bahwa Pancasila merupakan sebuah filsafat dalam pengertian
bahwa Pancasila merupakan sebuah pemikiran, sikap, watak, jiwa, hasrat, dan kesadaran untuk
menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai sebuah kebajikan, keutamaan, dan prinsip hidup bernegara.
Nilai-nilai tersebut merupakan untaian kebenaran yang hakiki dan mendalam. Pancasila merupakan
sebuah proses dan hasil permenungan yang mendalam serta kesadaran historis yang kuat terhadap
kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Maka Pancasila bukan saja memiliki kebenaran-kebenaran yang
mendasar dalam kelima sila Pancasila melainkan sebuah sikap, kebenaran, dan keutamaan hidup yang
mendasar dan mendalam.

Tetapi harus diingat bahwa mengatakan ‘Pancasila sebagai sebuah filsafat” berbeda maknanya dengan
mengatakan “Filsafat Pancasila”. Istilah “Filsafat Pancasila” menunjuk pada pengertian bahwa Pancasila
dipahami secara kritis dari perspektif filsafat. Di sini filsafat tidak sekedar diphami sebagai sebuah
‘permenungan mendalam’ terhadap nilai, sikap, watak, jiwa, dan sejarah bangsa Indonesia yang
mengkristal di dalam Pancasila melainkan suatu ‘penyelidikan kritis, rasional, argumentatif, dan radikal’
terhadap nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pada titik ini, filsafat Pancasila, sesuai dengan hakikat filsafat itu
sendiri, merupakan sesuatu yang ‘belum selesai’ untuk diapresiasi, diselidiki dan dimaknai secara terus-
menerus.

Anehnya, sejumlah literatur mencoba memahami Pancasila dari sudut pandang epistemologi, dari sudut
pandang metafisika, dari sudut pandang estetika, etika, atau bahkan kosmologi. Yang dihasilkan
bukanlah sebuah uraian mendalam terhadap Pancasila menurut perspektif bidang-bidang filsafat di
tersebut melainkan sekedar membahas konsep-konsep dasar bidang-bidang filsafat di atas sebagai
materi dalam kuliah Pancasila. Itu yang dikira sebagai Filsafat Pancasila atau Pancasila sebagai suatu
system filsafat. Sebagai ilmu filsafat memiliki metode dan cara kerjanya sendiri. Jika tetap ingin
meneropong Pancasila dari sudut pandang filsafati, maka yang dapat dihasilkan adalah sebuah filsafat
tentang Pancasila. Yang dimaksud dengan filsafat Pancasila adalah sebuah refleksi kritis, rasional,
argumentatif, dan radikal tentang nilai-nilai Pancasila, tentang makna sila-sila Pancasila, tentang hakikat
dan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara, tentang Pancasila sebagai way of life bangsa.
Penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran, keutamaan-
keutamaan, dan nilai-nilai mendasar yang terkandung di dalam Pancasila. Hasil penyelidikan filsafati
tentang Pancasila, meskipun selalu terbuka untuk diuji terus-menerus, dapat mengkonstruksikan
Pancasila sebagai sebuah ‘sistem filsafat’.

3
2. Karakter Filsafat dalam Pancasila (Pancasila sebagai Kebijaksanaan
Hidup)
Sebagaimana sudah dijelaskan dalam butir sebelumnya, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philos
(kata kerja philein) dan sophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan’. Para filsuf adalah orang yang
mempraktikan filsafat sebagai kebijaksanaan hidup. Kebijaksanaan yang dimaksud bukan sekedar
kebijaksanaan epistemis (kebenaran pengetahuan) melainkan juga keutamaan moral (kebaikan etis).
Para filsuf tidak hanya berbicara tentang kebenaran, alam, struktur realitas, dan spekulasi metafisik
melainkan juga tentang ‘hidup yang bermakna’, tentang keutamaan moral; tentang hasrat dan energi
hidup; tentang rasa keindahan; dan tentang eksistensi dan kebajikan hidup manusia.

Menjadi ‘orang yang bijaksana’ tidak harus menjadi seorang filsuf. Tetapi oarang yang bijaksana mesti
menghidupi kehidupannya secara sadar dan mendalam. Ingat semboyan Socrates? “Hidup yang tidak
pernah dikaji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi”. Orang yang bijaksana mampu ‘memandang
kepada kebenaran’, merawat jiwa, berpegang pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral. Orang yang
menjadikan hidup sebagai proyek memanusiakan diri, sesama, dan masyarakat.

Bung Karno menyatakan bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup (Weltanschaung). Hidup yang
Pancasilais adalah hidup yang menjadikan Pancasila sebagai patokan moral dalam kehidupan berbangsa
dan benegara. Hidup dengan “pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya
untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.” Itulah yang disebutnya
Philosophice gronslach, fondamen, filsafat.3 (Bdk. G. Moedjanto, (1988), Pancasila, Buku Panduan
Mahasiswa, Jakarta: Gramedia, hlm. 76 )

Hidup yang bijaksana bagi manusia Indonesia tidak lain dari hidup dengan mengikuti nilai-nilai dasar
dalam Pancasila. Bahkan nilai-nilai tersebut, bukan sekedar sesuatu yang khas Indonesia melainkan
berakar pada kemanusiaan universal. Maka tidak belebihan untuk mengatakan bahwa Pancasila
merupakan filsafat kehidupan manusia sebagai warga bangsa dan negara Indonesia.

Sebagai filsafat kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila nilai-nilai Pancasila pipahami sebagai
satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Dimulai dari sila pertama yang meletakan dasar negara dan
bangsa Indonesia pada keyakinan terhadap ketuhanan yang maha esa sampai dengan keadilan sebagai
cita-cita muliah kehidupan bersama dalam negara. Dengan sila pertama, bangsa dan negara kesatuan
Republik Indonesia tidak hanya menyadari bahwa kemerdekaan dan pembentukan NKRI merupakan
‘berkat Allah yang Maha Kuasa’ melainkan bahwa cita-cita tersebut merupakan impian manusiawi dan
didukung oleh persatuan dan kerja sama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat
Indonesia.

Berdasarkan sila-sila Pancasila, titik tolak dan tujuan akhir kemerdekaan dan negara Republik Indonesia
adalah mengakkan harkat dan martabat manusia itu sendiri sebagai makhluk religius (sila 1),
bermartabat (sila 2), kultural (sila 3), sosial (sila 4), dan sejahtera (sila 5). Driyarkara, misalnya
mengatakan bahwa Pancasila memperoleh dasarnya pada eksistensi manusia sebagai manusia, lepas
dari keadaan dan peran tertentu yang bersifat fungsional. Pancasila merupakan filsafat tentang kodrat
manusia. Pancasila menegaskan hal-hal asasi tentang manusia yang bersifat universal.4 (4 Ibid, hlm. 77-
78). Bahkan dalam pandangan Driyarkara, Pancasila dapat dipahami sebagai dalil-dalil filsafat5. (5 Bdk.
Driyarkara, op.cit., hlm. 54-55).

4
Menurut Driyarkara, Pancasila berkaitan dengan lima dalil filsafat.Kelima dalil tersebut dijelaskan
demikian. Dalil pertama berkaitan dengan dasar semua eksistensi yakni kasih. Kasih merupakan sumber
dari segala sumber eksistensi. Eksistensi manusia adalah keber-ada-an. Keber-ada- an itu menjahit “aku-
engkau” menjadi satu. Peng-“aku”-an eksistensi manusia, selalu memuat sesuatu yang bernama
“engkau”. Keber-ada-an bersama antara “aku” dan “engkau” mempunyai prinsip fundamental yakni
cinta kasih. Cinta kasih adalah dasar keberadaan antara sang aku dan sang kau. Cintakasih
memungkinkan hidup bersama menjadi sebuah persaudaraan. Peancasila dalam keseluruhan sifatnya
dipersatukan oleh cinta kasih sebagai dwi-sila dan ekap-sila. Cinta kasih dalam pandangan dwi-sila
berarti cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama. Cinta kasih sebagai eka-sila berarti cinta kasih kepada
Tuhan. Cinta kasih dalam kaitan dengan sesama manusia pada umumnya disebut perikemanusiaan. Dalil
pertama dijabarkan lebih lanjut dalam dalil kedua.

Dalil kedua berkaitan dengan keadilan sosial. Perikemanusiaan yang dirumuskan sebagai dalil pertama,
harus dipraktikan dalam kebersamaan. Dalam kebersamaan tersebut, diciptakan, dimiliki dan digunakan
barang- barang yang berguna sebagai syarat sekaligus perlengkapan hidup. Penjelamaan
perikemanusiaan dalam kebersamaan dengan sesama itulah yang disebut keadilan sosial.

Dalil ketiga berkaitan dengan demokrasi. Manusia hidup bersama orang lain dalam masyarakat. Hidup
bermasyarakat berarti mengadakan kesatuan-karya yang hanya bisa terjadi kalau setiap orang saling
menghargai dan menghormati sesama sebagai pribadi. Setiap orang pantas dihormati karena memiliki
hak yang sama.

Dalil keempat merupakan penjabaran perikemanusiaan dalam aspek kebangsaan. Perikemanusiaan


harus dilakukan dalam hubungan dengan kesatuan manusia sebagai makluk sosio-historis. Kesatuan
manusia dalam penghayatan sejarah hidupnya turut membentuk manusia sebagai pribadi yang konkret
dengan segenap jiwa dan raganya. Kesatuan yang besar dalam “ada-bersama-yang-lain” dalam
konteks keturunan, kebudayaan, peradaban yang terpatri dalam sejarah hidup manusia itulah yang
disebut kebangsaan.

Dalil kelima merupakan dasar perikemanusiaan. Cinta kasih terhadap manusia sebagai sesama ciptaan
bisa terwujud karena cinta kasih dari dan kepada Sang Pencipta. Sang Pencipta merupakan “Ada- yang-
mutlak”. Dia adalah dasar dari segala “ada-bersama-yang-lain”- nya. Dialah Sang Maha Ada. Sang
Maha Ada itu bukan sesuatu tetapi Seseorang. Dia adalah Pribadi yang Maha Sempurna. Orang
beragama menamakannya Tuhan Yang Mahaesa. Oleh karena itu, manusia bukanlah sumber bagi dirinya
sendiri. Keber-ada-an manusia sebagai ada-bersama dalam cinta kasih, sesungguhnya buah dari cinta
kasih dari dan kepada Sang Maha Cinta Kasih.

3. Pancasila sebagai Falsafah dan Ideologi Negara


Falsafah yang merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab. Istilah ini memiliki pengertian yang sama
dengan filsafat. Singkatnya, falsafah adalah filsafat (Encyclopedia.com). Tetapi dalam pemakaian sehari-
hari, istilah falsafah menunjuk pada prinsip-prinsip dasar atau nilai-nilai dasar yang berfungsi sebagai
pedoman atau patokan tertinggi dalam kehidupan individu dan dalam penyelenggaraan negara. Dengan
pemahaman seperti ini, falsafah dalam praktik merupakan sebuah ideologi negara. Karena falsafah atau
ideologi negara sejatinya merujuk pada prinsip-prinsip, nilai-nilai dasar, atau cita-cita bersama (idea)
yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bangsa dan negara.

5
Istilah ideologi berasal dari kata Yunani eidos yang berarti inti, hakikat; dan logos yang berarti ilmu.
Dengan demikian secara etimologis, ideologi berarti ilmu tentang hal-hal yang pokok, tentang inti,
tentang hal-hal yang mendasar atau hakiki. Ideologi merupakan ilmu atau pengetahuan tentang
landasan, ide, gagasan, atau pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi juga dapat
dirumuskan sebagai ‘ajaran, doktrin, teori yang diyakini kebenarannya yang disusun secara sistematis
dan diberi petunjuk pelaksanaan dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam
masyarakat, bangsa, dan Negara (BP-7 Pusat). Dengan rumusan yang hampir mirip. Maswadi Rauf,
merumuskan ideologi sebagai rangkaian (kumpulan) nilai yang disepakati bersama untuk menjadi
landasan atau pedoman dalam mencapai tujuan atau kesejahteraan bersama.

Maka Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara menunjuk pada kelima nilai dasar yang terkandung
dalam Pancasila dan norma-norma dasar untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam praktik
penyelenggaraan negara. Kelima nilai yang merupakan patokan utama dalam penyelenggaraan negara
tersebut adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.

Kedudukan nilai dan norma Pancasila terdiri dari tiga bidang:

1. Nilai dasar. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan nilai-nilai moral yang
mendasar dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia. Nilai dasar ini tidak bisa
berubah-ubah karena merupakan wujud dari konsensus dan permenungan mendalam para the founding
fathers. Kelima sila Pancasila yang terkandung dalam alinea ke-4 UUD 1945 termasuk nilai dasar.

2. Nilai instrumental: Nilai instrumental merupakan nilai-nilai yang mendukung nilai dasar dalam
Pancasila. Berbeda dengan nilai dasar, nilai instrumental dapat berubah mengikuti perkembangan dan
tuntutan zaman. Nilai instrumental bukan sekedar merealisasikan nilai dasar melainkan juga
mengkontekstualisasikan nilai dasar dalam praktik kehidupan sehari-hari. , Termasuk dalam nilai
instrumental adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Preside, dan sebagainya.

3. Nilai praksis. Nilai praksis merupakan nilai-nilai yang dipraktikan dalam proses penyelenggaraan
Negara. Semangat untuk menjunjung tinggi hak asasi, harkat, dan martabat setiap warga negara;
bertindak adil; menghindari KKN; menolong sesama warga negara yang menderita; menghormati
perbedaan keyakinan dan cara beribadat umat masing-masing agama, dan sebagainya merupakan
bagian dari nilai praktik. Nilai praksis adalah value in action.

Sebagai falsafah dan ideologi negara, Pancasila memberikan prinsip, pedoman, patokan, ketentuan, atau
norma-norma dalam bertindak. Ajaran, keyakinan, atau prinsip-prinsip dasar berupa nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya tersebut perlu diikuti dan jauh dari sikap “mempertanyakan keabsahan” nilai-
nilai tersebut, apalagi mengkritisinya secara rasional, sistematis, dan radikal. Sikap seperti ini yang
membedakan falsafah dan ideologi dari filsafat sebagai ilmu kritis.

Kedudukan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Dan
sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa meskipun sering muncul berbagai gerakan untuk mengganti
Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, Pancasila tetap kokoh dan tegak berdiri sebagai falsafah
dan ideologi negara. Pemberontakan-pemberontakan DII, permesta, G.30 S PKI, atau ide tentang ‘negara
kilafah’ yang akhir-akhir ini mengemuka dapat dianggap sebagai upaya sistematis untuk merongrong
Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara. Tetapi semua upaya itu tidak berhasil mengganti ideologi
Pancasila dengan ideologi lain di luar Pancasila.

6
Mempertahankan dan melaksanakan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara tidak mesti
menjiplak cara Orde Baru. Dengan tekad untuk mengembalikan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi
negara serta semangat untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, Orde Baru mulai
mengindoktrinasi Pancasila dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Memperkenalkan dan
mempertahankan Pancasila secara indoktrinatif sangat boleh jadi bertentangan dengan semangat
Pancasila itu sendiri.

Sebagai ideologi negara, Pancasila bukan sekedar memberikan pemikiran sistematis, koheren, dan
rasional tentang dasar eksistensi, patokan, dan ketentuan tentang prilaku yang disyaratkan dan cita-cita
yang ingin dicapai dalam kehidupan bersama dan dalam pengelolaan negara. Keutuhan antara gagasan
atau ide tentang tujuan atau cita-cita kehidupan bersama berserta cara mewujudkannya dalam seluruh
aspek kehidupan bangsa dan negara secara sistematis itulah yang disebut dengan ideologi.

Ideologi sebagai pemikiran yang sistematis, koheren, dan rasional tentang patokan prilaku dan cita-cita
bersama tersebut mesyaratakan kepatuhan terhadap ideologi tersebut. Semua ideologi menginginkan
ketaatan para warga negara terhadap ideologi tersebut. Begitu juga halnya dengan Pancasila. Sebagai
ideologi Pancasila pun mensyaratkan ketaatan terhadapnya. Merangkul sebuah ideologi berarti
meyakini apa saja yang termuat di dalamnya serta kesediaan untuk melaksanakannya6. (6 Bdk. Franz
Magnis Suseno, (1988), Etika Politik: Prinsi-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia,
hlm. 50-51).

Ideologi dapat bersifat tertutup maupun terbuka. Ketertutupan sebuah ideologi tampak pada
pemutlakan gagasan dan interpretasi tentang tujuan kehidupan bersama dalam negara; menunjukkan
cara bagaimana warga negara harus hidup dan bertindak. Oleh karena itu ideologi tertutup bersifat
totaliter. Dalam sistem ideologi yang tertutup, kekuasaan secara eksklusif dimonopoli oleh elite yang
mengklaim sebagai pengemban murni ideologi. Di luar lingkaran elitis tersebut, tidak ada peluang untuk
memberi tafsiran apalagi menuntut hak-hak mendasar dalam kehidupan bernegara.

Sebaliknya, ciri khas “ideologi terbuka” nampak dalam pengakuan akan adanya keberagaman gagasan,
interpretasi, dan cara untuk mewujudkan tujuan bersama. Ideologi terbuka mensyaratkan loyalitas dan
spirit untuk memaknai secara kontekstual tujuan, cita-cita, dan cara untuk mewujudkannya berdasarkan
tantangan zaman dan situasi aktual yang ada. Mereka yang mendukung sebuah ideologi yang terbuka,
selalu ingin secara kreatif dan inovatif menggali makna, spirit, dan nilai-nilai dasar untuk menyikapi
situasi konkret yang ada. Nilai-nilai dan cara untuk mewujudkannya bukan dianggap sebagai sesuatu
yang dipaksakan dari luar, melainkan menggali spirit, nilai, dan kearifan budaya bangsa untuk terus
memaknainya secara baru berdasarkan tuntutan zaman. Tetapi semangat untuk selalu memaknai secara
baru peran ideologi dalam tuntuan zaman tersebut tidak untuk kepentingan kelompok melainkan
kepentingan bersama seluruh masyarakat yang merupakan pendukung ideologi tersebut. Karena dasar
sebuah ideologi bukanlah keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan konsensus masyarakat.
Begitu juga halnya dengan ideologi Pancasila. Pancasila merupakan sebuah ideologi terbuka. Sebagai
ideologi terbuka, Pancasila bukan saja merupakan hasil konsensus para the founding fathers sebagai
wakil seluruh masyarakat Indonesia dalam sidang BPUPKI melainkan juga terbuka untuk dimaknai dan
diaplikasikan secara baru dan kontektual dalam kehidupan bersama.

Sebuah ideologi terbuka tidak hanya dapat dibenarkan tetapi juga dibutuhkan. Ciri khas formal ideologi
terbuka adalah bahwa isinya tidak langsung operasional. Oleh karena itu setiiap generasi harus

7
menggalinya kembali secara terus menerus agar sesuai dengan konteks hidup dan cara yang sesuai
dengan tuntutan zaman maupun situasi dan kondisi lingkungan7. (7 Ibid, hlm. 366-373).

Salah satu momen historis sekaligus peristiwa akademis terkait pengakuan Pancasila sebagai ideologi
terungkap dalam Sidang Senat Universitas Gajah Mada dalam rangka penganugerahan gelar Doktor
Honoris Causa kepada Soekarno, 19 Desember 1951. Dalam orasinya Prof Notonegoro, sebagai wakil
Senat Universitas Gajah Mada menyatakan sebagai berikut:

“Begitulah asas-asas dari pada Pancasila meresap dan hidup terpelihara dalam hati sanubari bangsa
Indonesia sebagai pembangun hidup yang telah lama berada. Pancasila adalah pensifatan dan bentuk
baru yang sesuai dengan keadaan dari pada ideologi bangsa Indonesia.”

Mengingat indikator ideologi terbuka dan tertutup di atas, maka dapat dikatakan bahwa Pancasila
merupakan ideologi terbuka. Bung Karno sendiri mengakui bahwa dia hanya menemukan dan
merumuskan Pancasila dan bukanlah pencipta. Pengakuan tersebut sekaligus memperlihatkan
kedudukan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia dan bukan
hanya milik elite bangsa semata. Status kepemilikan ideologi terbuka tersebut diterima sebagai
konsensus bersama.

Dalam konsensus tersebut ideologi Pancasila diterima sebagai dasar bersama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, karena secara faktual sudah hidup dalam budaya suku-suku bangsa
Indonesia. Wujud perumusan yang tidak operasional juga menjadi argumentasi yang mendukung sifat
keterbukaan.

Sebagai sebuah ideologi terbuka, lima nilai dasar yang ada di dalam Pancasila tersebut merupakan nilai-
nilai yang bersifat universal dan terbuka bagi semua suku dan bahkan lintas bangsa. Karena secara
intrinsik kelima nilai tersebut menyatu dalam kodrat manusia. Pancasila bukan saja merupakan
kristalisasi dari nilai-nilai yang sudah mengakar kuat dalam tradisi dan kebudayaan banga Indonesia
melainkan juga merupakam titik temu dan perjumpaan antar manusia dari berbagai suku dan bangsa.

Sifat keterbukaan Ideologi Pancasila dapat tetap terjaga, hanya jika Pancasila sebagai ideologi negara
terus menerus dirawat dengan tiga dimensi berikut. Ketiga dimensi tersebut adalah realitas, idealitas
dan fleksibilitas. Dimensi pertama adalah realitas. Dimensi realitas menjamin bahwa nilai-nilai Ideologi
Pancasila secara nyata hidup dan bersumber dari budaya bangsa. Pancasila merupakan jiwa,
kepribadian, dan semangat dasar bangsa Indonesia yang hidup dalam pandangan moral, adat istiadat
dan sistem nilai bangsa Indonesia. Soekarno sendiri mengakui bahwa dia bukanlah pencipta Pancasila
melainkan hanya merumuskan kembali nilai-nilai yang de-facto sudah ada dalam penghayatan hidup
bangsa Indonesia.

8
Dimensi kedua adalah idealitas. Sebuah ideologi merumuskan dan memelihara cita-cita dan tujuan
bersama yang mau dicapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila menunjukkan cita-cita,
tujuan, dan pandangan hidup bangsa. Ia juga terus memandu dan memberikan orientasi dalam
perjalanan hidup berbangsa dan bernegara. Dalam posisi seperti itu Pancasila sekaligus menjadi
pengarah dan pengontrol atas pencapaian yang telah diwujudkan.

Dimensi ketiga adalah fleksibilitas. Sebuah ideologi yang terbuka mesti ‘up to date’, kontekstual, dan
relevan tidak hanya pada masa lampau melainkan juga menjadi sumber inspirasi, pemaknaan, dan
pengarah kehidupan bangsa dan negara yang sedang berlangsung dan di masa datang. Sebagai ideologi,
Pancasila mampu ‘menyesuaikan’ diri dengan tuntutan zaman. Ia memiliki daya lentur untuk tetap
bertahan dari segala tantangan zaman sekaligus responsif dan antisipatif terhadap situasi yang ada.
Sifatnya yang tidak operasional membuatnya tidak terjebak dalam situasi statis dan terikat pada ruang-
waktu serta kepentingan tertentu.

Jelas bahwa sebagai ideologi, apalagi ideologi terbuka, Pancasila memiliki ketiga dimensi tersebut yakni
dimensi idealitas, realitas, dan fleksibilitas. Pancasila mampu merumuskan, mempertahankan, dan
memelihara cita-cita dan tujuan kehidupan bersama dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
Pancasila digali dari nilai-nilai yang sudah dipraktikan dan mengakar kuat dalam tradisi dan budaya
masyarakat Indonesia; serta Pancasila mampu menyesuaikan diri dengan tantangan-tantangan baru
dalam situasi kini dan di masa depan.

4. Susunan Hirarkis dan Piramidal Sila-Sila Pancasila


Pancasila terdiri dari lima (5) sila, yakni: 1. Ketuhanan yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan
beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan; dan 5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima sila ini,
menurut Notonagoro, merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila Pancasila tersebut dapat
dipahami dalam struktur yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal.

Susunan hirarkis mengandung pengertian bahwa sila-sila Pancasila memiliki tingkatan berjenjang, yaitu
sila yang ada di atas menjadi landasan bagi sila yang ada di bawahnya. Sila pertama melandasi sila
kedua, sila kedua melandasi sila ketiga, sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi
sila kelima. Istilah piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hirarkis sila-sila Pancasila
menurut urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas). Dengan demikian,
diperoleh pengertian bahwa menurut urut-urutannya, setiap sila merupakan pengkhususan dari sila-sila
yang ada sebelumnya.

Dalam susunan hirarkis dan piramidal, sila Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis bagi kemanusiaan,
persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang
berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Bahwa Tuhan berada dari dirinya sendiri. Dia adalah causa prima,
penyebab pertama yang tidak disebabkan oleh sebab-sebab lain. Tetapi segala sesuatu yang ada,
termasuk manusia, ada karena diciptakan Tuhan. Kehidupan bersama manusia memungkinkan lahirnya
negara. Negara adalah lembaga kemanusiaan yang mengikat dan mempersatukan manusia dari berbagai
ragam suku, keyakinan, dan budaya (rakyat) untuk mewujudkan tujuan bersama yakni keadilan sosial.

9
Dengan demikian, kesatuan utuh kelima sila Pancasila tampak saling mengisi, menjiwai dan dijiwai oleh
sila-sila lain. Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil
dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;

Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil
dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;

Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

5. Beberapa Catatan Penutup


a. Sebagaimana sudah disinggung di depan Pancasila bagi bangsa Indonesia bukan sekedar sebuah
ideologi, melainkan sebuah filsafat. Pancasila lahir dari permenungan mendalam terhadap nilai-nilai
yang sudah ada dalam diri pribadi, komunitas, dan masyarakat Indonesia. Jadi, nilai-nilai yang ada pada
Pancasila tidak didatangkan dari luar melainkan dirumuskan dari pengalaman hidup keseharian bangsa
Indonesia. Sila-sila Pancasila itu merupakan filsafat tentang kehidupan dan cita-cita luhur bangsa
Indonesia yang mengungkapkan relasi manusia dengan sang Pencipta, dengan sesama manusia, dan
juga dengan alam semesta. Itulah sebabnya mengapa Driyarkara, misalnya menegaskan bahwa
Pancasila memperoleh dasarnya pada eksistensi manusia sebagai manusia. Pancasila merupakan filsafat
tentang kodrat manusia sebagai makhluk religius, pribadi, dan sosial. Karena Pancasila menegaskan nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai satu kesatuan. Pancasila
pun menegaskan hal-hal asasi tentang manusia yang bersifat universal8. (8 Bdk. G. Moedjanto, op.cit.,
hlm. 76.)

b. Sebagai suatu sistem filsafat, masing-masing sila saling terkait sebagai suatu kesatuan yang
menyeluruh. Artinya, sila yang satu tidak bisa dilepaskan dari sila yang lain. Karena itu nilai-nilai
Pancasila memiliki urutan yang hierarkis dan piramidal seperti dijelaskan di atas. Bersifat hierarkis
karena sila-silanya menggambarkan urutan-urutan baik dalam urutan luas maupun urutan sifat isinya.
Pancasila menunjukkan suatu rangkaian dan merupakan pengkhususan dari sila-sila di mukanya. Tetapi
urutan demikian tidak terpisah-pisah, melainkan saling mengikat. Ikatan ini menempatkan sila-sila
Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh. Dikatakan berbentuk piramidal, karena sila-sila Pancasila
mempunyai tingkatan seperti piramida. Di satu pihak, sila pertama merupakan basis bagi empat sila
lainnya. Di pihak lain, sila pertama dijabarkan dalam sila-sila berikutnya. Dengan demikian, ketuhanan

10
yang dihayati dalam praksis hidup berbangsa dan bernegara adalah ketuhanan yang menjadi sumber
martabat dalam kodrat manusia; ketuhanan yang dihayati dalam persatuan bangsa; ketuhanan yang
yang menjamin kedaulatan rakyat dalam setiap proses musyawarah dan menjamin perwakilan yang
aspiratif; ketuhanan yang mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rangkaian ini
menunjukkan bahwa sila-sila Pancasila senantiasa saling terkait satu dengan yang lainnya. Dalam catatan
Notonegoro, hakikat kelima sila Pancasila secara ontologis mengungkapkan lima dasar kehidupan
bangsa Indonesia yakni Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil. 9 (Bdk. Notonagoro, dalam Kaelan,
op.cit., hlm. 59).

c. Sebagai ideologi dan pedoman bagi kehidupan bangsa yang dinamis, Pancasila harus terus dikaji
secara sistematis dan objektif sehingga selalu relevan dan tidak terkesan indoktrinatif dan totaliter.
Setiap usaha untuk memperbincangkan, menginterpretasikan, dan mengaktualisasi Pacasila sebagai
sebuah ideologi yang terbuka tetap diperlukan guna memaknainya secara baru dan kontekstual.
‘Keterbukaan Pancasila untuk selalu mengikuti perkembangan zaman’ seharusnya tidak memandulkan
Pancasila sebagai sesuatu yang sudah jadi sehingga tidak perlu dimaknai kembali. Pemaknaan diperlukan
agar Pancasila semakin up-to-date, semakin relevan dengan konteks kekinian. ‘Pemberhalaan’,
sakralisasi, dan mitologisasi Pancasila baik dalam tataran teoretis-akademik maupun dalam praktik
kehidupan sehari-hari seperti yang terjadi pada era Orde Baru hanya akan mengasingkan Pancasila dari
kehidupan real masyarakat Indonesia. Revitalisasi Pancasila menuntut agar Pancasila di-desakraliasi dan
di-demitologisasi untuk membangun nalar kritis: mencermati kesenjangan antara jiwa Pancasila dan
pengamalan Pacasila. Dalam konteks sosial politik sekarang ini, terutama berhadapan dengan
munculnya ideologi-ideologi sektarian berbasis daerah, kelompok, bahkan juga agama, Pancasila harus
terus diwacanakan kembali. Mewacanakan kembali Pancasila tidak harus berarti membangkitkan
kembali trauma kolektif masa Orde Baru. Justru penyelewengan masa lalu harus dinilai secara kritis.
Tetapi perlu diingat bahwa revitalisasi nilai-nilai Pancasila hanya akan berhasil apabila, penyelenggara
dan petinggi negara mampu mengemban amanat rakyat yakni mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh lapisan masyarakat; tidak menempatkan Pancasila sebagai komoditas politik untuk
meraup dukungan rakyat; serta kontrol kritis terhadap pengamalan jiwa Pancasila dibangun melalui
keterbukaan dan transparansi guna mewujudkan tujuan tegara.

d. Berhadapan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk dan heterogen dari berbagai suku,
agama, keyakinan, ras, budaya, kelompok, daerah, dan tradisi, Pancasila sudah sepantasnya menjadi
ideologi pemersatu bangsa dan bukan menjadi ideologi reproduksi kekuasaan, penindasan, atau alat
untuk memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu.

e. Salah satu pertanyaan pokok yang patut diajukan di akhir bab ini adalah apakah ideologi Pancasila
masih relevan dan diperlukan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia di tengah globalisasi yang semakin
menghapus batas-batas ideologi? Daniel Bell pada awal tahun 1970-an telah berbicara tentang ‘the end
of ideology’. Francis Fukuyama pada pertengahan tahun 1980-an berbicara tentang ‘the end of history’
karena menguatnya hegemoni ideologi karena ambruknya totalitarianisme, komunisme, dan sosialisme.
Masih adakah tempat bagi ideologi nasional semacam Pancasila? Harus dicatat bahwa Globalisasi dapat
membangkrutkan ideologi lokal-nasional. Tetapi globalisasi pun memberi angin segar bagi bangkitnya
ideologi nasionalis, tak terkecuali Pancasila. Justru di tengah globalisasi ideologi etno-nasionalisme yang
lahir dari nilai-nilai luhur bangsa sendiri semakin relevan dan penting agar kita tidak kehilangan arah,
pegangan, dan patokan dalam kehidupan bersama. Kita juga terhindar dari penjajahan ideologis.

11
***

---------------------------------------------------

Pertanyaan Penuntun

1. Apa pandangan Soekarno tentang Pancasila sebagai Filsafat Negara?


2. Bagaimana pendapat Driyarkara tentang Lima Dalil Filsafat dalam Pancasila?
3. Apa makna filsafat sebagai sebuah ilmu?
4. Mengapa Pancasila disebutkan sebagai filsafat? Jelaskanlah.
5. Apa makna Pancasila sebagai Ideologi Negara?
6. Sebutkan tiga karakter ideologi!
7. Mengapa lima nilai dalam Pancasila bersifat hierarkis dan piramidal? Jelaskan.

12

Anda mungkin juga menyukai