Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Hukum Kewarganegaraan

a. Hukum Kewarganegaraan pada Masa antara 1850-1892.


Pengatuan masalah kependudukan maupun kewarganegaraan di Indonesia melalui sejarah yang
panjang sejak masa penjajahan Belanda hingga kemerdekaan. Pada masa penjajahan Belanda di
Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda kurang berminat untuk melakukan pengaturan masalah
kewarganegaran, melainkan lebih tertarik dengan masalah kependudukan, sehingga hampir tidak
dapat diketemukan peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan, kecuali di Negara
Belanda. Pada masa VOC yang didirikan pada Tahun 1602 dan merupakan perkumpulan dari
perusahaan dagang Belanda yang berlayar di Hindia Timur, VOC tidak mengenal prinsip
kewarganegaraan sewaktu memegang kekuasaan di Indonesia. Penggolongan penduduk dilakukan
berdasarkan kriteria keagamaan atau kadang-kadang berdasarkan ciri-ciri lahiriah semata-mata. Pada
waktu itu di kenal perbedaan antara compagniesdie naren, urije luiden, dan slaven, atau antara
chirstenen dan onchirstenen, dan sebagainya. Akan tetapi pada prinsipnya mereka tunduk pada hukum
Belanda.

Masalah kewarganegaraan di Belanda baru muncul pertama kali sekitar Tahun 1814/1815,
Berdasarkan Grondwet tahun 1838 dengan disusunnya Nederlandsch Burgerlijke Wetboek (NBW).
Menurut Pasal 5 NBW ditentukan bahwa semua orang yang bertempat tinggal di Negeri Belanda dan
koloninya berstatus sebagai Nederlander (warga negara Belanda). Namun demikian status ini hanya
bersifat perdata, tidak membawa hak dan kewajiban publik sebagaimana status warga negara
umumnya. Kemudian, baru pada tanggal 28 Juli 1850 diundangkan suatu wet yang mengatur tentang
Staatsrechtellijke Nederlanderschap (Stb. 1850 – 44) sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 Grondwet
1848. Pasal 1 Wet 1850 menentukan bahwa “Warga Negara Belanda adalah mereka yang dilahirkan
oleh orang tua yang bertempat tinggal di Belanda”. Dengan demikian, maka timbul dualisme
pengertian tentang warga negara Belanda, yakni pengertian yang bersifat perdata yang diatur dalam
NBW, dan pengertian yang bersifat publik diatur dalam Wet 1850. Sementara itu di Hindia Belanda
pada Tahun 1847 pengaturan masalah kependudukann berdasarkan pada Pasal 4 Algemene
Bapalingen van Wetgeving (AB), yang berlaku mulai tanggal 30 April 1847. Penduduk Hindia
Belanda menurut peraturan ini, terdiri atas :

1. Nederlander yang bertempat tinggal di Hindia Belanda;


2. Orang-orang pribumi di Hindia Belanda; dan
3. Semua orang tidak terkecuali bangsa manapun, yang dengan izin Pemerintah Hindia Belanda
bertempat tinggal di Hindia Belanda.

Pasal 5 AB menentukan bahwa mereka yang bukan penduduk adalah “orang asing”. Dengan
demikian, maka yang menjadi dasar urusan hak dan kewajiban di sini adalah status kependudukan,
artinya meskipun bukan orang Hindia Belanda tetapi apabila memenuhi ketentuan Pasal 4 AB,
seseorang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang Hindia Belanda. Selanjutnya Pasal
6 – 10 AB menentukan bahwa penduduk Hindia Belanda digolongkan ke dalam 2 (dua) kelompok,
yaitu Golongan Eropa dan Golongan Pribumi. Di sini kriteria agama digunakan untuk menentukan
status kependudukan, yakni orang yang beragama Kristen dipersamakan dengan golongan Eropa,
sedangkan yang bukan beragama Kristen dipersamakan dengan pribumi. Selanjutnya pada tahun
1854, masalah kependudukan diatur dalam Pasal 106 dan 23

109 Regerings Reglement (RR), yang merupakan konstitusi Hindia Belanda. Penggolongan penduduk
menurut RR sama dengan ketentuan dalam AB, hanya sejak tanggal 1 Januari 1920 berdasarkan
Stb.1907-205, istilah “yang dipersamakan” tidak lagi digunakan, dan kriteria agama bukan lagi
merupakan ukuran satu-satunya. Pasal 106 menentukan bahwa “Penduduk Hindia Belanda, kecuali
pribumi adalah mereka yang tinggal di Hindia Belanda dengan seizin pemerintah Hindia Belanda”.

Pada 1 Januari 1925 RR diganti dengan Indische Staatsregeling (IS), akan tetapi materi muatannya
persis sama dengan RR. Dalam Pasal 160 ayat (2) IS menentukan bahwa penduduk Hindia Belanda
adalah mereka yang dengan sah bertempat tinggal tetap di sana. Sedangkan Pasal 163 IS
menggolongkan penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan yaitu: golongan Eropa, Pribumi,
dan golongan Timur Asing.

b. Hukum Kewarganegaraan pada Masa 1892 - Kemerdekaan.


Pada tanggal 12 Desember 1892 diundangkan suatu UU yang dikenal sebagai Wet op het
Nederlanderscap en het Rijksingezetenenschap ( Wet 1892) di Belanda. Melalui ketentuan
penutupnya wet ini mencabut Pasal 5 - 12 NBW dan Wet 28 Juli 1850. Dengan demikian dualisme
ketentuan tentang kewarganegaraan di Negara Belanda diakhiri. Wet 1892 ini pada prinsipnya
menganut asas ius sanguinis, tanpa meninggalkan sama sekali asas ius soli, dimana asas ius soli
dipakai sebagai perkecualian guna menghindari terjadinya apatride.Dalam hal perkawinan Wet 1892
ini menganut asas kesatuan hukum, artinya bahwa wanita asing yang menikah dengan pria Belanda
dengan sendirinya akan menjadi warga negara Belanda (Pasal 5). Bahkan, setelah putusnya
perkawinan, perempuan itu tetap berkewarganegaraan Belanda. Kewarganegaraan Belanda tersebut
dapat dilepaskan setelah satu tahun perkawinan tersebut putus. Selanjutnya pada tanggal 10 Februari
1910 diundangkan Wet op het Nederladsch Onderdaanschap van Niet Nederlanders (Stb. Tahun 1910
No. 296), atau yang terkenal dengan sebutan Wet 1910. Dalam Wet ini ditentukan bahwa yang
menjadi kaulanegara Belanda adalah ;

a. Mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orang tua yang bertempat tinggal di Hindia Belanda, atau
dari seorang ibu yang bertempat tinggal di Hindia Belanda apabila ayahnya tidak diketahui; b. Mereka
yang lahir di Hindia Belanda dari orang tua yang tidak diketahui; c. Istri atau janda dari mereka yang
termasuk kategori a dan b di atas, yang tidak kawin kembali; d. Anak dari mereka yang termasuk
kategori a, yang lahir di luar Hindia Belanda, selama belum berusia 18 tahun atau belum kawin; e.
Anak dari orang tua yang berstatus kaulanegara Belanda menurut wet ini, yang lahir di luar Hindia
Belanda, bila mereka telah berusia 18 tahun atau telah kawin, bertempat tinggal di wilayah Kerajaan
Belanda (Negeri Belanda, Hindia Belanda, Suriname, Curasao) dengan istri dan anaknya yang belum
berusia 18 tahun, jika juga bertempat tinggal di wilayah Kerajaan Belanda; dan f. Mereka yang
bertempat tinggal di Hindia Belanda setelah kehilangan kekaulanegaraan Belandanya karena tidak
menggunakan hak oisinya sewaktu tinggal di luar negeri. Dengan berlakunya wet tersebut, maka lahir
istilah Nederlandsch Onderdaandschap (Kekaulanegaraan Belanda), istilah yuridis dalam hukum
ketatanegaraan Hindia Belanda. Istilah ini menunjukkan hubungan hukum antara penduduk Hindia
Belanda, sebagai wilayah jajahan Belanda, dengan Kerajaan Belanda.

c. Hukum Kewarganegaraan pada Masa Kemerdekaan.


Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, masalah kewarganegaraan diatur dalam
Pasal 26 UUD 1945 (UUD 1945 yang belum diubah) yang menentukan:

1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara. 2. Syarat-syarat yang mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dengan undang- undang. Sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 26 UUD
1945 tersebut maka dikeluarkanlah UU No. 3 Tahun 1946. UU No. 3 Tahun 1946 mengatur tentang
Kewarganegaraan dan Kependudukan Republik Indonesia. Dalam kaitan ini, Gow Giok Siong
(1958;15) seperti dikutip oleh Harsono12 dan Kurniatmanto Sutoprawiro13

menyatakan bahwa UU No. 3 Tahun 1946 mengutamakan menggunakan asas ius soli dan ini juga
memakai Asas Ius Sanguinis Dari segi perkawinan, berdasarkan Pasal 2 UU No.3 Tahun 1946
ditentukan bahwa, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suaminya. Demikian pula anak
yang belum dewasa mengikuti status keraganegaraan bapaknya (Pasal 3). Jadi dari ketentuan tersebut
jelas bahwa asas yang dipakai untuk menentukan status kewarganegaraan dari segi perkawinan adalah
Asas Mengikuti atau Asas Kesatuan Hukum, dimana perempuan yang melangsungkan perkawinan
campuran secara otomatis akan mengikuti status kewarganegaran dari suaminya. UU No. 3 Tahun
1946 mengalami perubahan beberapa kali yakni dengan UU No.6 Tahun 1947, UU No.8 Tahun 1947
dan UU No.11 Tahun 1948 . Perubahan dengan kedua undang-undang yang terakhir ini dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada mereka yang ingin menggunakan hak repudiasinya sampai
Tanggal 10 April 1948, dan selanjutnya diperpanjang lagi sampai dengan tanggal 17 Agustus 1948
oleh UU No.11 Tahun 1948. Selanjutnya dengan digantinya UUD 1945, karena perubahan
ketatanegaraan di Indonesia maka, sejak tanggal 27 Desember 1949 berlaku KRIS. Dalam Pasal 194
KRIS ditentukan bahwa sambil menunggu pengaturan kewarganegaraan dengan undang-undang yang
termaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut, maka yang sudah warga negara RIS, ialah mereka yang
mempunyai kewarganegaraan itu menurut persetujuan yang mengenai penentuan kewarganegaraan
yang dilampirkan pada Piagam Pemulihan Kedaulatan. bahwa untuk menentukan status
kewarganegaraan Indonesia dipakai Asas Ius Soli. Isi PPPWN adalah sebagian dari hasil Konfrensi
Meja Bundar, dimana ada tiga hal penting dalam persetujuan tersebut yaitu14

1. Orang Belanda yang tetap memegang teguh kewarganegaraan Belanda. Tetapi terhadap turunannya
yang lahir atau bertempat tinggal di Indonesia sekurang-kurangnya enam bulan sebelum tanggal 27
Desember 1949, dalam waktu dua tahun setelah penyerahan kedaulatan dapat menyatakan memilih
kewarganegaraan Indonesia. Di sini keturunan Belanda itu diberi kesempatan untuk memilih
kewarganegaraan Indonesia, dan ini dinamakan hak opsi (hak untuk memilih kewarganegaraan). Dan
pemilihan kewarganegaraan di sini disebut tindakan aktif, sebagai lawan dari tindakan pasif dalam
hak repudiasi. (Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Sastra Hudaya,
Jakarta, 1983., hlm. 299. )

2. Orang-orang yang tergolong sebagai kawulanegara Belanda dari golongan Indonesia asli, yang
berada di Indonesia memperoleh kewarganegaraan Indonesia, kecuali mereka yang bertempat tinggal
di Suriname atau Antilen Belanda dan dilahirkan di wilayah Kerajaan Belanda, yang kemudian juga
dapat memilih kewarganegaraan Indonesia. 3. Orang-orang yang menurut sistim hukum Hindia
Belanda dulu termasuk golongan Timur Asing – Kawulanegara Belanda keturunan asing – yang
bukan berstatus orang Belanda, yaitu dikenal dengan golongan Arab dan Cina, maka terhadap mereka
terdapat dua kemungkinan yaitu jika bertempat tinggal di Belanda, mereka tetap berkewarganegaraan
Belanda. Mereka yang dinyatakan sebagai warga negara Indonesia, dapat menyatakan penolakannya
dalam waktu dua tahun. KRIS tidak berlaku lama karena sejak Tahun 1950 diganti dengan UUDS
Tahun 1950. Pasal 5 KRIS beralih menjadi Pasal 5 UUDS 1950. Sedangkan Pasal 194 KRIS menjadi
Pasal 144 UUDS 1950, yang menentukan bahwa sambil menunggu undang-undang yang mengatur
kewarganegaraan Indonesia, yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah ;

a. Mereka yang memiliki kewarganegaraan Indonesia berdasarkan PPPWN; dan b. Mereka yang
kebangsaannya tidak ditetapkan oleh PPPWN, yang pada tanggal 27 Desember 1949 sudah menjadi
WNI menurut peraturan perundang-undangan RI yang berlaku pada waktu tersebut. Berdasarkan
UUDS Tahun 1950 dikeluarkanlah UU No. 62 Tahun 1958 tentang “Kewarganegaraan Republik
Indonesia” dan merupakan undang-undang yang dibentuk atas dasar Pasal 5 ayat (1) UUDS 1950,
yang diundangkan pada tanggal 1 Agustus1958 (Lembaran Negara 1958-113). Undang-undang ini
merupakan hukum positif Indonesia yang mengatur tentang masalah kewarganegaraan, yang masih
berlaku pada masa berlakunya UUD 1945 periode kedua berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945. Sebagai peraturan pelaksana UU tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP ) No.67 tahun 1958
tentang Pelaksanaan UU No.62 Tahun 1958.Asas Yang dipakai dalam UU ini adalah dari segi
kelahiran asas ius sanguinis dan asas ius soli sebagai perkecualian.Dari segi perkawinan memakai
asas persamaan derajat terlihat dari pasal 7 dan 8 disamping kesatuan hukum dalam pasal 5, 9 dan 10.
Implementasi UU No.62 tahun 1958 mengandung beberapa permasalahan yang tidak sesuai dengan
permasalahan riil yang terjadi dalam masyarakat, dan juga beberapa substansi hukumnya masih
mengandung aspek diskriminasi warga negara baik terhadap etnis, gender, anak, penyandang cacat
serta diskriminasi lainnya

ini jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM yang diatur dalam konvensi Internasional maupun
dalam peraturan perundang-undangan nasional. Karena itulah pada Tahun 2006 tanggal 1 Agustus
2006 disahkan UU baru yakni UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
dan diundangkan pada Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 63.

7. Penutup Paparan materi perkuliahan di atas pokok-pokoknya akan dikemukakan kembali dalam
rangkuman untuk memudahkan mahasiswa memahami materi secara komprehensip. Kemudian untuk
mengetahui capaian pembelajaran, maka akan diberikan latihan yang harus dikerjakan oleh
mahasiswa. Rangkuman. Pada perkuliahan pertama ditunjukkan adanya istilah rakyat, bangsa,
penduduk, dan warga Negara yang dapat menimbulkan kesalah-pahaman sebab pengertiannya hampir
sama dan sering digunakan silih berganti antara satu istilah dengan istilah yang lain, terutama istilah
bangsa, penduduk dan warga Negara. Berkaitan dengan itu, relevansi kapasitas seseorang entah
sebagai penduduk atau sebagai warga Negara berimplikasi dengan perbuatan hokum yang dilakukan.
Selain itu, terdapat pula istilah stelsel (sistem) aktif, stelsel pasif, hak opsi dan hak repudiasi yang
saling terkait satu dengan yang lain. Hak opsi dan hak repudiasi kedua-duanya merupakan hak untuk
memilih kewarganegaraan, namun berbeda karakternya yakni hak opsi bersifat aktif sedangkan hak
repudiasi bersifat pasif. Hukum Kewarganegaraan dipahami tidak hanya ansih untuk menujukkan
adanya seperangkat aturan yang berkaitan dengan berbagai aspek hubungan warga Negara dengan
Negara, dan ruanglingkup bidang kajiannya. Namun menilik dari pengertian kewarganegaraan maka,
Hukum Kewarganegaraan juga menunjukkan tempatnya dalam sistematika hukum – kewarganegaraan
formal, substansinya dalam kaitannya dengan bidang-bidang hukum lainnya – kewarganegaraan
materiil, dan relevansi ada atau tidaknya bukti-bukti tertulis (surat) untuk menunjukkan
kewarganegaraan seseorang – kewarganegaraan yuridis dan sosilogis). Asas-asas kewarganegaraan
merupakan materi yang patut mendapatkan apresiasi lebih utama karena merupakan hardcore dari
Hukum Kewarganegaraan. Asas kewarganegaraan digunakan sebagai dasar untuk menentukan
kewarganegaraan seseorang, entah dari segi kelahiran atau dari segi perkawinan

sehingga selalu menjadi materi muatan peraturan kewarganegaraan. Dalam sejarah Hukum
Kewarganegaraan di Indonesia, asas ius soli dan asas ius sanguinis keduanya dianut secara simultan
sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 1946 hingga UU No. 12 tahun 2006 dengan pengutamaan pada
salah satunya. Berbeda halnya dengan asas kesatuan hukum atau kesatuan kewarganegaraan dan asas
persamaan derajat, yang selalu dipilih pengaturannya di dalam UU, sesuai dengan perkembangan
system politik dan HAM.
Latihan. Diskusikan dalam kelompok dan buatlah jawaban atas pertanyaan di bawah ini:

1. Berdasarkan pada pengertian tentang warga negara dan penduduk yang dikemukakan oleh beberapa
sarjana, jelaskan perbedaan antara mereka yang disebut sebagai warga negara dan penduduk. 2.
Jelaskan perbedaan konsekwensi hukum status seorang warga negara dan orang asing dalam
kaitannya dengan negara. 3. Apakah asas Kesatuan Hukum itu melanggar HAM. 4. Apakah sebabnya
Bipatride ataupun Multipatride akan membawa ketidak pastian hukum ?. 5. Berikan contoh kasus
kapan seseorang itu dikatakan mempunyai kewarganegaraan rangkap (Bipatride) dan tanpa
kewarganegaraan (Apatride). 6. Berikan contoh bipatride yang disebabkan oleh persamaan peraturan
kewarganegaraan berbagai negara.

Bahan Pustaka

1. BP. Paulus; 1983, Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945 Khususnya Peranakan Tionghoa,
Pradnya Paramita, Jakarta.

2. Djohan Tunggal, Arief, 1998, Peraturan perundang-undangan Kewarganegaraan republik Indonesia


Tahun 1950 - 1986, Harvarindo, Jakarta.

3. Frans H. Winarta, 2007, Jalan Panjang Menjadi WNI, Cetakan 1, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

4. Harsono; 1992, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, Liberty,


Jogyakarta.

5. Indonesia, 2005, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat
Jenderal MPR RI, Jakarta.

29

6. _______, Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No. 12, LN. Tahun
2006 No. 63, TLN. No. 4634.

7. Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Cetakan Pertama, Fokusmedia,


Bandung.

8. Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

9. _______, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Popular
Kelompok Gramedia, Jakarta.

10. Kurniatmanto S; 1994, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia,Gramedia,


Jakarta.

11. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sastra Hudaya,
Jakarta.

12. Kusnardi dan Bintan R Saragih, 1994, Ilmu Negara, Media Gaya Pratama, Jakarta.

13. Saleh Wiramihardja, Perspektif Sejarah Hukum Kewarganegaraan Indonesia Perbandingan


dengan Hukum Kewarganegaraan di Beberapa Negara, Cetakan pertama, Direktorat Jenderal Imigrai
Departemen Hukum dan HAM Kerjasama dengan Forum Kajian Tematik Keimigrasian (FKTK),
Jakarta, 2008.

14. Suantra dan Nurmawati, Buku Ajar: Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan, Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006.

15. Sudargo Gautama; 1975, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung.

16. Sudargo Gautama, 1973, Tafsiran Undang-undang Kewarganegaraan RI, Alumni,Bandung.

17. Usep Ranawidjaya; 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia,
Jakarta.

18. http://lisasuroso.wordpress.com/2007/09/12/benang-kusut-masalah- kewarganegaraan/. 5 Oktober


2008.

RINGKASAN MATERI

1. Pendahuluan Pertemuan ketiga adalah kegiatan tutorial kedua. Kegiatan tutorial ini merupakan
pendalaman atas materi sejarah Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan di Indonesia yang
divisualisasi dengan masalah kewarganegaraan yang dialami oleh seseorang dalam masa dengan
topik “Benang Kusut Masalah Kewarganegaraan”. Mahasiswa mendiskusikan dalam kelompok
permasalahan kewarganegaraan dan kependudukan yang terdapat di dalam wacana tersebut. Setelah
selesai tutorial ini, diharapkan mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
menjelaskan sejarah Hukum Kewarganegaraan berkaitan dengan permasalahan status
kewarganegaraan dan kependudukan yang dialami oleh Liong Solan.

2. Tugas: Problem Task

BENANG KUSUT MASALAH KEWARGANEGARAAN 12 September, 2007 by lisa suroso

Apa yang membuat masalah kewarganegaraan penduduk keturunan asing di Indonesia demikian
rumit?

LIONG Solan duduk terpekur. Di hadapan wanita 58 tahun itu terserak fotokopi Kartu Keluarga (KK)
dan KTP WNI. “Ini sudah ditarik,” tuturnya. “Katanya tidak sah.” Raut kebingungan tersirat jelas di
wajahnya. Sebagai ibu rumah tangga tanpa mengecap bangku sekolah, Solan tak paham tentang
kewarganegaraan, undang-undang, dan serangkaian peraturan yang menyertainya. Ia hanya tahu
bahwa ia lahir dan menetap di Indonesia. Ia bingung mengapa sulit dan mahal mengurus dokumen
sebagai WNI. Siang itu, di rumah berlantai tanah berukuran 3×5 meter di bilangan Jakarta Pusat,
Solan mengisahkan keresahannya. Terlahir di Jakarta dari ayah seorang warga negara Tiongkok dan
ibu “Cina Benteng”, seumur hidup Solan tak pernah punya KTP WNI. Sebuah fotokopi Kartu Tanda
Penduduk Pemda Khusus Ibukota Jakarta mencantumkan kewarganegaraannya sebagai “tanpa
kewarganegaraan”. Kartu yang habis masa berlakunya pada 1971 itu menjadi andalannya untuk
semua urusan administrasi. Akta lahir dan dokumen lain tidak ia miliki. Ketika ayahnya memutuskan
pulang ke Tiongkok sebagai dampak PP No.10/1959, seke- luarga berrencana dibawa serta. Ibunda
Solan, Gouw Em Nio, pun memilih kewarganegaraan Tiongkok. Apa daya, mereka tak kebagian
kapal. Itulah terakhir kalinya Solan melihat sang ayah yang kapalnya karam dalam pelayaran ke
Tiongkok. Kewarganegaraan Gouw Em Nio dan anak-anaknya pun terkatung-katung
karena tidak pernah lagi diurus. “Saya pernah coba ikut bikin SBKRI tahun 1980 dan 1996, tapi
gagal,” terangnya. “Nggak ada duit-nya.” Dalam kebingungannya, pada 2003 Solan mengadu ke
Komisi Ombudsman Nasional. Berbekal surat pengantar RT dan KK Kelurahan Mangga Dua Selatan
yang ia miliki setelah menikah dengan suami yang juga tanpa dokumen kewarganegaraan. Ia
mengeluhkan mengapa membuat KTP sulit dan harus membayar mahal. Selang sebulan, Komisi
Ombudsman menindaklanjuti dan menemukan fakta bahwa ia tak tercatat dalam master data
penduduk Kelurahan Mangga Dua Selatan. Singkat cerita, datanglah oknum pegawai kelurahan
menawarkan memproses KTP berikut KK dengan biaya satu juta rupiah. Solan menawar dua ratus
ribu rupiah, jumlah yang ia sanggupi. Setelah tawar-menawar alot, akhirnya disepakati harga empat
ratus ribu rupiah. Dalam keluguannya, Solan meminta kwitansi pembayaran yang tentu saja tidak
diberi. Setelah KTP dan KK-nya selesai pada Januari 2006, Solan mendengar Gubernur Sutiyoso
mengatakan bahwa biaya pembuatan KTP gratis. Maka Solan pun menulis surat kepada Sutiyoso,
menceritakan bagaimana proses pembuatan KTP dan KK-nya yang begitu mahal plus
mempermasalahkan mengapa ia tidak di- beri kwitansi. Kasus ini akhirnya menjadi masalah besar.
Gubernur Sutiyoso mengusut oknum pegawai kelurahan tersebut. Akhirnya oknum tersebut ditindak.
Uang empat ratus ribu milik Solan dikembalikan. KTP berikut KK Solan ditarik kare- na dianggap
tidak sah. Solan pun diminta menandatangani surat perjanjian bahwa ia takkan mempermasalahkan
kasus ini lagi. “Jadi sekarang saya harus bagaimana?” isaknya. “Mengapa tidak dikatakan saja dari
awal kalau saya tidak bisa mengurus KTP dan KK, beritahu saya bagaimana cara yang benar dong...”

Anda mungkin juga menyukai