Anda di halaman 1dari 3

Nama: Risma Yulita Sundawa NIM: 1111097000001

Membangkitkan Kembali Sains Islam


Sains berusaha memahami fenomena-fenomena yang terjadi di alam sesuai dengan realitasnya. Sementara agama menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan spiritualitas, keyakinan, dan kepercayaan terhadap Tuhan. Dewasa ini, telah tercipta stigma bahwa sains dan agama adalah dua hal yang berbeda dan sulit untuk terintegrasi. Keduanya berdiri sendiri-sendiri tanpa saling terikat. Munculnya stigma ini lantaran sains saat ini telah didoktrin dan didominasi oleh pemikiran sains modern barat yang telah bergerak menuju deisme, yakni kepercayaan bahwa Tuhan memulai alam semesta, tetapi kemudian membiarkannya berjalan sendiri. Saintis muslim idealnya tidak terpengaruh dengan doktrin dan dominasi tersebut karena Islam merupakan agama yang sangat empatik terhadap sains. Begitu banyak ayat Al Quran dan hadist Nabi Muhammad SAW yang menekankan betapa pentingnya sains bahkan dalam Al Quran terdapat lebih dari 750 ayat tentang semesta. Bagi saintis muslim, integrasi antara sains dan islam merupakan sebuah keniscayaan karena sains adalah ilmu pengetahuan yang disandarkan pada alam. Sementara Islam disandarkan pada Al Quran. Alam dan Al Quran keduanya merupakan ayat-ayat Allah SWT, sehingga tidak mungkin bertentangan. Sains Islam bertujuan mengetahui realitas yang terjadi di alam sebagaimana yang diberikan Allah SWT, juga bertujuan memperlihatkan kesatuan hukum alam, dan hubungan seluruh bagian sebagai refleksi dari kekuasaan Ilahi. Pada abad pertengahan, saintis-saintis muslim begitu aktif memberikan sumbangsihnya sehingga sains Islam berkembang begitu pesat. Bahkan para saintis barat banyak yang terinspirasi oleh karya-karya saintis muslim abad pertengahan, salah satunya adalah Copernicus mengemukakan teori heliosentris karena terinspirasi oleh Ibnu Syathir, juga kitab karangan Ibnu Sina yang digunakan sebagai dasar kedokteran di barat selama kurang lebih 800 tahun, dan masih banyak lagi. Permasalahannya adalah sains saat ini tidak lagi berdasar pada sains Islam namun berkiblat pada sains modern barat yang telah lama berhenti memandang alam sebagai ayat-ayat Tuhan. Sehingga

untuk membangkitkan kembali sains Islam bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan kesungguhan dari para saintis muslim saat ini untuk dapat kembali mengintegrasikan sains dan Islam. Integrasi sains dan Islam menjadi begitu penting karena Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, baik itu sains ataupun ilmu-ilmu agama. Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda,Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China!. Menuntut ilmu apa yang dimaksudkan Rasulullah pada saat itu? Apakah menuntut ilmu keislaman? Tentu saja pada saat itu Islam justru belum masuk ke negeri China. Dengan demikian secara tidak langsung Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan kita untuk menuntut ilmu sains dengan bermodalkan Iman dan Islam yang telah dimiliki. Berbagai upaya integrasi sains dan Islam sebenarnya telah dilakukan. Dapat kita lihat, khususnya di Indonesia, perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan salah satu upaya integrasi sains dan Islam. Sebelumnya IAIN hanya mengkaji ilmu-ilmu yang berkenaan dengan agama Islam namun seiring perubahannya menjadi UIN, sains pun turut dikaji dalam institusi ini. Lalu, berhasilkah upaya integrasi ini? Apa perbedaan saintis UIN dengan saintis non UIN? Hal inilah yang harus kita perhatikan lebih lanjut. Sejauh ini kurikulum pembelajaran sains di UIN masih tidak jauh berbeda dengan kurikulum pembelajaran sains di institusi non UIN. Memang benar, terdapat tambahan muatan keislaman dalam pembelajaran sains di UIN namun hal itu sering kali masih belum terintegrasi secara utuh. Mata kuliah sains dan mata kuliah keislaman tak jarang masih berdiri sendirisendiri tanpa ada kaitannya secara langsung. Pada akhirnya saintis muslim dari UIN memahami suatu fenomena sains tak ubahnya seperti saintis modern barat, hanya saja dengan tambahan pengetahuan keislaman. Seorang saintis muslim setidaknya harus mampu menguasai dasar-dasar sains dan kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dimaksudkan agar seorang saintis muslim mampu menganalisa suatu fenomena alam dengan disandarkan kepada Al Quran dan kitab-kitab karangan para saintis muslim terdahulu. Demikian pula dalam pembelajaran sains di UIN selayaknya tidak hanya mengacu kepada referensi yang umum digunakan tetapi juga mengacu kepada Al Quran dan kitab-kitab karangan saintis muslim

terdahulu. Sebagai salah satu contoh dalam pembelajaran Fisika bidang optic misalnya, mungkin dapat diterapkan bagi saintis UIN selain menguasai prinsip optic yang dikemukakan oleh Newton dan Huygens, mereka juga diwajibkan menguasai prinsip optic yang terdapat dalam kitab karangan Ibnu Al Haytm yang justru merupakan dasar bagi Newton dalam merumuskan prinsip-prinsipnya. Dengan demikian nampaklah perbedaan para saintis UIN dengan saintis non UIN. Para saintis UIN dapat memahami filosofi para saintis muslim terdahulu dan memiliki pola pikir sains Islam. Hal ini tentunya bukanlah hal yang mudah namun juga bukan hal yang mustahil. Integrasi utuh antara sains dan Islam dapat terwujud asalkan perintah menuntut ilmu yang ada dalam Islam benar-benar dilakukan dengan penuh kesungguhan. Layaknya kesungguhan para saintis muslim abad pertengahan, diantara mereka ada yang berguru hingga ke 3000 orang, ada pula yang menulis hingga 40 halaman per hari, dan sebagainya. Kesungguhan itulah yang harus kita lakukan untuk membangkitkan kembali sains Islam. Dalam Islam, menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang islam laki-laki dan perempuan, dari buaian hingga liang lahat maka sesungguhnya tidak ada istilah berhenti dari menuntut ilmu. Menuntut ilmu itu hukumnya seperti sholat fardu, yang selama ruh dan jasad ini masih menyatu maka kewajiban itu harus kita laksanakan. Sayangnya, sangat sedikit orang-orang yang menghayati perintah menuntut ilmu sebagaimana menghayati perintah-perintah agama Islam yang lain. Ini juga merupakan salah satu factor penghambat integrasi antara sains dan Islam. Padahal menuntut ilmu sama halnya dengan sholat fardhu, sama-sama diwajibkan. Sebagian besar diantara kita mungkin akan merasa sangat berdosa ketika kita meninggalkan sholat. Lalu, sudahkah kita merasa berdosa ketika kita meninggalkan kewajiban menuntut ilmu?

Anda mungkin juga menyukai