Anda di halaman 1dari 143

AGAMA DAN KEBUDAYAAN KAHARINGAN DI KALIMANTAN

MENURUT PARA PENULIS INDONESIA (1990-2013)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Mustika Diani Dewi

11140321000046

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2018 M
LEMBAR PERSETUJUAN

AGAMA DAN KEBUDAYAAN KAHARINGAN DI KALIMANTAN

MENURUT PARA PENULIS INDONESIA (1990-2013)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Mustika Diani Dewi


NIM: 11140321000046

Di Bawah Bimbingan:

Drs. Dadi Darmadi, MA


NIP:196907071995031001

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M

i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Skripsi ini berjudul AGAMA DAN KEBUDAYAAN

KAHARINGAN DI KALIMANTAN MENURUT PARA PENULIS

INDONESIA (1990-2013) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada Program Studi

Agama-agama.

Jakarta, 24 September 2018

Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Media Zainul Bahri, MA. Dra. Halimah SM, MA.


NIP. 19751019 200312 1 003 NIP. 19590413 199603 2 001

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. M Ikhsan Tanggok, M. Si Dr. M. Amin Nurdin, MA.


NIP. 19651129 199403 1 002 NIP. 19550303 198703 1 003

Pembimbing,

Drs. Dadi Darmadi, MA.

NIP. 19690707 199503 1 001

iii
ABSTRAK

Mustika Diani Dewi

Judul Skripsi: “Agama dan Kebudayaan Kaharingan di Kalimantan Menurut


Para Penulis Indonesia (1990-2013)”

Banyak para penulis Indonesia yang menghasilkan karya-karya berupa


buku, artikel dan jurnal yang membahas mengenai Kaharingan.Tidak hanya
mengenai agama, namun mengenai kebudayaan Kaharingan serta etnomatika di
dalam kebudayaan Kaharingan tersebut.Oleh karena itu dalam skripsi ini berusaha
merekonstruksi hasil karya-karya 8 penulis Indonesia mengenai suku bangsa
Dayak Kaharingan dalam kedua aspek, yakni aspek keagamaan Kaharingan dan
kebudayaan Kaharingan.

Melalui kajian kepustakaan (library research) skripsi ini


berkesimpulan bahwa 8 penulis ini memiliki perbedaan dan persamaan dalam
menafsirkan mengenai Kaharingan.Perbedaan pertama yakni, perbedaan susunan
masyarakat Dayak dan perbedaan kedua mengenai klasifikasi motif produk
kesenian masyarakat Dayak. Sementara persamaannya yakni Syamsir Salam dan
Marko Mahin setuju jika agama Kaharingan tidak termasuk dalam paham
keagamaan (animisme, dinamisme, poletiesme dan monoteisme) namun lebih
setuju disebut agama masa lampau atau agama lokal di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan


penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode
pendekatan histori dan hermeneutik. Pendekatan historis yang digunakan untuk
memaparkan sejarah agama Dayak Kaharingan, sementara pendekatan
hermeneutik digunakan untuk merekonstruksi hasil karya-karya para Penulis
Indonesia.

Kata kunci: Agama Kaharingan, Kebudayaan Kaharingan, dan Agama Lokal.

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT atas segala rahmat, taufiq dan hidayah-Nya begitupun hingga skripsi

ini dengan judul “Agama dan Kebudayaan Kaharingan di Kalimantan Menurut

Para Penulis Indonesia (1990-2013),” dapat terselesaikan. Shalawat serta salam

selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW semoga setiap dari kita kelak

mendapat syafaat darinya.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari sempurna ini tidak

akan dapat selesai tanpa adanya dukungan dari banyak pihak baik secara materil

maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak

terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,

terutama kepada yang terhormat.

1. Drs. Dadi Darmadi, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang memberikan

arahan, atas kesabaran dan ketelitian dalam membimbing Penulis. Beliau yang

telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan memberikan arahan,

motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku Ketua Jurusan Studi Agama-Agama

serta selaku Penasehat Akademik dan Dra. Halimah Mahmudy M.A, selaku

sekretaris Jurusan Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

3. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A atas

kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan pada Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat.

v
vi

4. Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Prof. Dr. Masri Mansoer,

M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, M.A, selaku Wadek I bidang Administrasi Fakultas

Ushuluddin. Dr. Bustamin, M.A, selaku Wadek II bidang Administrasi

Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku Wadek III bidang Kemahasiswaan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para Staff Akademik Fakultas

Ushuluddin khusus dengan bang Jamil yang membantu dalam informasi

tentang skripsi, para Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan para Staff

Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ayahanda Drs. Muslimin, Mommi Farlindiani S.Pd, Ibunda Suhrifa, Daddy

Pedro Da Silva tercinta dan adik-adik serta keluarga yang membuat saya

semangat dalam menjalankan skripsi.

8. Teman-teman terbaik yang selalu mensupport dan mendukung dari awal mula

perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi: M. Rian Sujud Taufik, Athoillah

Tantowi, dan M. Qoyyum.

9. Sahabat-sahabat sebagai salah satu sumber keceriaan terampuh bagi penulis:

Nur Shabrina, Windy Anisa Dhiya, Siti Meli Marliana, Elva Nuzuliah, Dede

Nur Afiyah dah Afida Maulia Sabarini.


viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH ...................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 9

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................ 10

1.4 Metodologi Penelitian ............................................................................ 11

1.5 Sumber Data ........................................................................................... 13

1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................. 16

BAB II ASAL-USUL SUKU BANGSA DAYAK ............................................. 18

2.1 Sejarah Suku Bangsa Dayak ................................................................... 18

2.2 Macam-macam Suku Bangsa Dayak ...................................................... 23

2.3 Upacara Adat dan Agama dalam Suku Bangsa Dayak .......................... 39

2.4 Kepercayaan Suku Bangsa Dayak .......................................................... 48

BAB III PEMIKIRAN PARA PENULIS INDONESIA MENGENAI

AGAMA DAN KEBUDAYAAN SUKU BANGSA DAYAK DI

KALIMANTAN .................................................................................................. 52

3.1 Karya Para Penulis Indoneisa Mengenai Kaharingan ............................ 52

3.2 Agama Kaharingan Menurut Para Penulis Indonesia ............................. 61

viii
ix

3.3 Kebudayaan Kaharingan Menurut Para Penulis Indonesia .................... 80

BAB IV PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PENDAPAT PARA PENULIS

INDONESIA MENGENAI KAHARINGAN ................................................. 100

4.1. Perbedaan Susunan Masyarakat Dayak Kaharingan ............................ 100

4.2 Klasifikasi Motif Produk Kesenian Masyarakat Dayak Kaharingan ... 107

4.3 Kaharingan Agama Masa Lampau ....................................................... 115

BAB V PENUTUP ............................................................................................. 118

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 118

5.2 Saran ..................................................................................................... 123

5.3 Kata Penutup ........................................................................................ 124

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 125

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia memiliki batas-batas georagrafis seperti yang

berlaku sekarang ini adalah suatu kawasan atau wilayah bekas jajahan Belanda

antara abad ke-17 hingga abad ke-20. Pada saat itu, Indonesia disebut Hindia

Belanda Timur. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad

Hatta mengproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Soekarno dan Hatta

dikenal dalam sejarah perjuangan bangsa sebagai proklamator kemerdekaan

negara Republik Indonesia.1

Dilihat dari perspektif sosial budaya, bangsa Indonesia merupakan

salah satu bangsa di dunia yang paling majemuk dipandang dari segi

banyaknya agama, kepercayaan, tradisi, kesenian, kultur dan etnis. Indonesia

memiliki lebih dari 300 kelompok etnis di Indonesia, masing-masing

mempunyai identitas budayanya sendiri-sendiri, lebih dari 250 jenis bahasa

daerah dipakai, dan hampir semua agama besar diwakili, selain agama asli

yang jumlahnya tidak sedikit.

Pluralitas masyarakat dan keberagaman budaya Indonesia

digambarkan oleh para pendiri Republik Indonesia ini pada tahun 1945

dengan mempergunakan motto ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai motto

nasional. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahasa Sansekerta yang berarti

”Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu.” Motto ini diambil dari gagasan brilian

1
Faisal Ismail, “Prolog,”dalam Kementrian Agama RI, Badan LITBANG dan Diklat, Ed.,
Ahmad Syafi’I Muhfid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012), h. xi.

1
2

pujangga Empu Tantular, seorang pemikir cemerlang pada zaman kejayaan

kerajaan Hindu Majapahit (1293-1478). Para penguasa kerajaan Majapahit,

yang muncul sebagai kerajaan Hindu terbesar sebelum kedatangan Islam di

Indonesia, menggunakan motto tersebut untuk memelihara komitmen kesatuan

seluruh rakyat dan menjaga integritas wilayah kerajaan. Tujuan penggunaan

kembali motto ini oleh para pendiri Republik ini sebagai motto nasional

adalah untuk mempertegas visi kebangsaan dan aspirasi sosial politik mereka

guna merekat, merawat, mempererat dan memperkuat persatuan nasional,

integritas wilayah dan stabilitas negara Indonesia yang kita kenal sebagai

NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). NKRI dipatok sebagai telah

final dan ditetapkan sebagai ‘harga mati.’ Konsesus nasional pun secara bulat

disepakati bahwa NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan kemajemukan merupakan

empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.

Realitas kemajemukan bangsa Indonesia tercermin secara nyata dari

banyaknya etnis seperti etnis Jawa, Sunda, Betawi, Madura, Batak, Bugis,

Banjar, Dayak, Buton, Bali, Sasak, Maluku, Minang, dll. yang semuanya

menurut penelitian antropolog Amerika Serikat Hildred Geertz sebagaimana

dikutip oleh Ismail di buku Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan

Agama Lokal di Indonesia (2012)yang di cetak oleh Badan LITBANG dan

Diklat Kementrian Agama RI berjumlah lebih dari 300 etnis. Masing-masing

etnis mempunyai bahasa daerah (Hildred Geertz dalam penelitiannya

memperkirakan lebih dari 250 bahasa lokal dipakai di Indonesia), adat istiadat,

tradisi, seni dan budaya sendiri dengan identitas khas yang berbeda satu sama

lain. Dari segi agama dan kepercayaan, bangsa Indonesia memperlihatkan juga
3

sosok kemajemukan yang sangat kaya dan variatif. Agama-agama besar

seperti Islam (dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia), Kristen (Katolik dan

Protestan), Hindu dan Budha sudah lama eksis di Tanah Air ini dan

mempunyai komunitas penganut masing-masing. Realitas historis sosiologis

ini menunjukkan secara nyata bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat

yang religius. Bahkan di Indonesia terdapat Kementerian Agama (Kemenag)

yang salah satu tugas pokoknya adalah menumbuh-kembangkan, membina

dan menjaga kerukunan antar umat beragama dan toleransi antar penganut

kepercayaan.2

Karena kepercayaan-kepercayaan lokal itu muncul dan berkembang di

lokalitas dengan latar belakang kehidupan, tradisi, adat istiadat dan kultur

yang berbeda-beda, maka dapat dipastikan bahwa masing-masing kepercayaan

lokal itu memperlihatkan ciri-ciri khas yang berlainan satu sama lain. Dengan

kata lain, suatu kepercayaan lokal yang terdapat di suatu daerah akan tidak

sama dengan kepercayaan lokal yang terdapat di daerah lain. Bisa saja

terdapat kemiripan sebagai ekspresi kerohanian dan wujud praktik

kepercayaan, tetapi setiap kepercayaan lokal akan menampakkan ciri khas dan

karakteristiknya tersendiri. Disebut kepercayaan lokal karena kepercayaan

tersebut hanya dipeluk oleh suku atau masyarakat setempat. Pada

kenyataannya, kepercayaan lokal itu tidak berkembang dan hanya dipeluk,

dianut dan dipraktikkan oleh suku yang mendiami daerah tertentu. Dapat

diduga bahwa kepercayaan-kepercayaan lokal ini sudah eksis sebelum agama

Hindu, Budha, Islam dan Kristen datang ke Nusantara. Kepercayaan-

2
Ismail, “Prolog,” h. xiii.
4

kepercayaan lokal ini tetap bertahan pada saat agama Hindu, Budha, Islam dan

Kristen datang ke Nusantara dan terus dianut secara turun temurun oleh suku-

suku di daerah-daerah di Indonesia sampai sekarang ini. Dengan demikian,

kepercayaan-kepercayaan lokal itu tidak mengalami kepunahan dan terus tetap

eksis sampai sekarang ini dalam kehidupan spiritual para penganutnya.

Beberapa Agama lokal di Indonesia yakni Agama Bali (biasa disebut

Hindu Bali atau Hindu Dharma), Aluk Tadolo (Toraja), Sunda wiwitan

(Banten), Kejawen (jawa Tengah dan Jawah Timur), Permalim (Sumatera

Utara), Tonas Waliaan (Minahasa, Sulawesi Utara), Tolottang (Sulawesi

Selatan), Wetu Telu (Lombok), Kaharingan (Kalimantan), Marapu (Sumba)

dan masih banyak lagi.3

Salah satu agama lokal terbesar di Indonesia adalah agama

Kaharingan. Kaharingan diciptakan pada tahun 1957 dari unsur-unsur

sejumlah kepercayaan dalam masyarakat Dayak. Suku Dayak Ngaju

merupakan suku asli paling besar di Propinsi Kalimantan Tengah yang

memeluk agama Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal

di kampung-kampung tepi sungai. Sejak tahun 1957, perkembangan agama

Hindu Kaharingan dipermainkan oleh kekuatan- kekuatan dari pihak politik

serta agama. Upacara paling menentukan dalam kehidupan penganut agama

Hindu Kaharingan adalah Tiwah, yaitu upacara kematian terakhir. Upacara ini

berlangsung paling sedikit tujuh hari dan paling lama tiga puluh tiga hari.

Tujuan upacara ini adalah pengangkatan arwah orang yang meninggal ke

surga agar dapat bersatu dengan nenek moyangnya serta sangiang, mahkluk

3
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara pada tanggal 25
Maret 2018, 01.51.
5

halus. Di sinilah letak pentingnya upacara rumit ini. Identitas Dayak

berhubungan erat baik dengan agama Hindu Kaharingan maupun dengan

gagasan kekeluargaan.4

Agama, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti ajaran,

sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada

Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan

manusia dengan manusia serta lingkungan.5 Di dalam Wikipedia juga

menjelaskan bahwa agama adalah sebuah koleksi terorganisasi dari

kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan

manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki

narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan asal-

usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan kosmos dan sifat manusia,

orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang

disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.6

Kebudayaan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti

hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan,

kesenian, dan adat istiadat.7 Senada dengan KBBI, kebudayaan dalam

Wikipedia menjelaskan bahwa budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa

Sanksekerta yaitu buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi

(budia atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan

4
Brooke Nolan, Dayak Kaharingan Belief System.(tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa
tahun), h. 1.
5
Diakses dari https://kbbi.web.id/budaya pada tanggal 27 September 2018 pukul 13.26
WIB.
6
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Agama pada tanggal 27 September 2018
pukul 11.50 WIB
7
Diakses dari https://kbbi.web.id/agamapada tanggal 27september2018 pukul 13.25
WIB.
6

akal manusia. Di Wikipedia juga menjelaskan bahwa dalam bahasa Inggris,

kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu

mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau

Bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam

bahasa Indonesia.8

Wacana.com menerbitkan informasi mengenai Kaharingan sebagai

agama dan kaharingan sebagai kepercayaan. Dalam wacana.co menjelaskan

bahwa sebagai agama, Kaharingan sudah ada beribu-ribu tahun di Kalimantan

bahkan sebelum datangnya agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.Sebagai

agama “peninggalan leluhur”, Kaharingan sangat erat kaitannya dengan

aktivitas keseharian masyarakat Dayak pada masa lalu, baik dalam upaya

merambah hutan, berladang, berburu, dan kehidupan sosial mereka lainnya.

Sementara sebagai kepercayaan, Kaharingan memuat aturan bagi kehidupan,

nilai dan isinya bukan sekedar kungkungan adat-istiadat yang dirahasiakan

sembari harus dilaksanakan, Kaharingan justru merupakan ajaran untuk

berprilaku yang harus disampaikan secara lisan dan dimengerti secara

menyeluruh.9

Oleh karena itu skripsi ini akan menganalisis hasil-hasil penelitian 8

orang Penulis Indonesia yang membahas mengenai agama dan budaya

Kaharingan, penulis itu diantaranya ialah:

Syamsir Salam, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salam

dalam bukunya yang berjudul Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku

Dayak di Kalimantan Tengah (2009), lebih menekankan kepada sejarah


8
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya 27 September 2018 pukul 11.35 WIB.
9
Diakses dari http://www.wacana.co/2014/02/kaharingan-agama-leluhur-suku-
dayak/pada tanggal 02Oktober 2018 pukul 11.31 WIB.
7

agama suku bangsa Dayak dan upacara-upacara agama Kaharingan ini.

Menurut Salam sistem sosial dan kerohanian suku Dayak yang mereka peroleh

dari nenek moyang secara langsung, yakni melalui cerita-cerita, legenda

ataupun mitos yang disampaikan secara langsung oleh orang tua-tua kepada

anak, dari anak ke anaknya lagi dan begitu seterusnya, sehingga tradisi-tradisi

suku bangsa Dayak tetap terjaga.10

Senada dengan Syamsir Salam, Harun Hadiwiyono di dalam bukunya

yang berjudul Religi Suku Murba di Indonesia (2003) lebih banyak membahas

mengenai keyakinan, mitos dan upacara-upacara keagamaan masyarakat suku

Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Menurut Hadiwiyono suku murba di

Kalimantan disebut sebagai suku Dayak. Walaupun sebenarnya ada perbedaan

yang banyak antara suku yang satu dengan suku lain, baik dibidang

kebudayaan maupun di bidang Bahasa.11

Marko Mahin adalah pendeta dan juga teolog Indonesia yang menulis

disertasi berjudul Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan

Tengah (2009). Marko membahas mengenai aspek keagaman Kaharingan

dimana ia menjelaskan dalam desirtasinya bahwa umat Kaharingan mampu

menggeser posisi Kaharingan dari ketertindasan absolut ke posisi relatif lebih

baik, karena umat Kaharingan melakukan proses mutasi kultural (self-

religionization).12

10
Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan
Tengah (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2009), h. 212.
11
Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), h.
56.
12
Marko Mahin, Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, (SKripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI, 2009), h. 343.
8

Penulis lain, Diana H. Sofyan dalam karyanya Agama dan

Pengobatan, Latar Belakang Religi dan Konsep Dasar Pengobatan Suku

Dayak Ngaju Kalimantan Tengah, Khususnya Kota Madya Palangkaraya

(1997) membahas mengenai model pengobatan Suku Dayak Ngaju di

Palangkaraya. Diana mengatakan bahwa pengobatan suku Dayak Ngaju

Kalimantan Tengah erat kaitannya dengan agama, karena beberapa unsur

agama seperti magi, ritual, pembacaan doa dan kepercayaan pada kosmologi

selalu ada dan terkait dalam setiap pengobatan.13

Edy Suprabowo melakukan penelitian mengenai praktik budaya dalam

kehamilan pada Suku Dayak Sanggau. Angka kematian ibu di Kalimantan

Barat adalah 442/100.000 kelahiran hidup berada di atas angka rata-rata dunia,

oleh karena itu Edy melakukan penelitian untuk mengidentifikasi dan

menganalisa praktek budaya masyarakat Suku Dayak Sanggau yang

berpengaruh terhadap kehamilan, kelahiran dan nifas. Penelitian ini di

rumuskan dengan judul Praktek Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan

Nifas pada Suku Dayak Sanggau, Tahun 2006 (2006).14

Penulis lain lagi, Fransisca Muti Setyowati meneliti Etnobotani

Masyarakat Dayak Ngaju di Timpah Kalimantan Tengah (2005). Dalam hasil

penelitian Setyowati disebutkan bahwa masyarakat Dayak Ngaju

memanfaatkan 107 lebih jenis tumbuhan yang dimanfaatkan baik sebagai

bahan pangan (56 jenis), obat-obatan (46 jenis), kosmetik (4 jenis), bahan

bangunan (9 jenis). Oleh karenanya masyarakat Ngaju masih terbilang sangat

13
Diana H. Sofyah, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep Dasar
Pengobatan Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya
Palangkaraya,(Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI Jakarta, 1997), h. 182.
14
Edy Suprabowo, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku
Dayak Sanggau,”Kesahatan Masyarakat Nasional, Vol 1, No. 3, Desember 2006, h. 112.
9

tergantung kepada tumbuh-tumbuhan sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya.15

Kelompok besar terakhir yakni mengenai aspek Etnomatika dalam

kebudayaan Kaharingan, yang membahas mengenai etnomatika dalam

kebudayaan Kaharingan ialah Edy Tandililing dengan penelitian berjudul

Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan

Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya untuk Meningkatkan

Kualitas Pembelajaran Matematika di Sekolah (2013) dan Agung Hartoyo

dengan penelitian berjudul Eksplorasi Etnomatika Pada Budaya Masyarakat

Dayak Perbatasan Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR (2012).

Penelitian keduanya bertujuan mengungkapkan etnomatika yang di praktekan

oleh masyarakat Dayak dalam menjalani kehidupan sehari-hari atau

melaksanakan berbagai upacara adat.

Dari para penulis di atas, yang telah mendiskripsikan agama

Kaharingan dan masyarakat suku Dayak di Kalimantan ternyata menggunakan

metode-metode yang berbeda. Penulis tertarik ingin meneliti hasil karya para

penulis di atas, yang penulis rumuskan menjadi judul “Agama Suku Bangsa

Dayak Menurut Para Penulis Indonesia (1990-2013)”.

1.2 Rumusan Masalah

Agar pembahasan dalam penulisan penelitian ini tidak melebar, maka

penulis membatasinya pada masalah-masalah berikut:

1. Bagaimana agama dan kebudayaan Kaharingan menurut para penulis

Indonesia?

15
Franisca Murti Setyowati dkk, Enbotani Masyarakat Dayak Ngaju di Daerah Timpah
Kalimantan Tengah,(tanpa tempat: Pusat Penelitian Biologi: LIPI, 2005), h. 504-507.
10

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang disampaikan di atas, maka tujuan

penulisan ini dimaksudkan untuk:

a. Mengetahui dan memahami agama dan budaya Kaharingan menururt

para penulis Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi tiga, yakni kegunaan teoritis,

praktis dan Akademis.

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

sumbangan data ilmiah dan mampu memperkaya khasanah keilmuan

dalam memahami hasil karya para penulis di Indonesia mengenai

agama dan kebudayaan Kaharingan di Kalimantan.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi para

mahasiswa/i khususnya jurusan Studi Agama-agama agar lebih

subjektif lagi dalam memahami setiap hasil karya orang lain, dan hasil

penelitian ini dapat menjadi rujukan para peneliti lain dengan tema

atau judul yang serupa.

c. Kegunaan Akademis

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi

persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan gelar Sarjana Agama


11

(S.Ag) jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.4 Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang mana menurut

Sayuthi Ali penelitian kualitatif ini merupakan sebuah penelitian yang

berusaha mengungkapkan keadaan yang bersifat alamiah secara holistik.

Penelitian kualitatif bukan hanya menggambaran variable-variabel tunggal

melainkan dapat mengungkapkan hubungan antara satu variable dengan

variable lain. Bahkan Moleong (1998) menegaskan bahwa penelitian

kualitatif dapat melihat hubungan sebab-akibat. Hanya saja yang menjadi

titik tekan ialah suatu keadaan secara alamiah (apa adanya).16

Penelitian kualitatif berakar pada latar belakang alamiah sebagai

keutuhan mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan

metode kualitatif, mengandalkan analisis secara induktif, mengarahkan

sasaran penelitian pada usaha menemukan teori dasar yang bersifat

deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil. Mengatasi studi

dengan fokus, memiliki seperangkat untuk memeriksa keabsahan data,

rancangan penelitian bersifat sementara dan hasil penelitian disepekati

oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek penelitian.17

Secara umum penelitian kualitatif sangat berkembang sejak tahun

1984, karena berbagai segi yang memang sulit dilaksanakan secara

16
Sayuthi Ali, Metode Penelitian Agama Pendekatan Teori & Praktik (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 58.
17
Lexy J Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdokarya,
1996), h. 27.
12

kuantitatif.18 oleh karena itu penulis menggunakan jenis penelitian

kualitatif pada penelitian ini karna sulit dilaksanakan jika menggunakan

penelitian kauntitatif.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan dua pendekatan

yaitu pendekatan historis dan pendekatan hermeneutik. Pendekatan historis

digunakan untuk menelusuri asal-usul serta pertumbuhan pemikiran-

pemikiran dan lembaga-lembaga keagamaan melalui periode

perkembangan sejarah tertentu, serta untuk memahami peranan kekuatan

yang diperlihatkan oleh agama dalam periode-periode tersebut.19

Pendekatan historis yang digunakan untuk menggambarkan sejarah agama

Kaharingan. Dengan mengetahui sejarah agama Kaharingan, dengan ini

penelitian ini dapat mendiskripsikan agama Kaharingan menurut para

penulis Indonesia serta beberapa perbedaan penafsiran oleh para penulis

Indonesia mengenai agama dan kebudayaan Kaharingan di Kalimantan.

Sementara hermeneutik berasal dari bahasa Yunani berarti

mengintrepretasikan, menjelaskan, atau menerjemahkan. Kata Yunani ini

berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani, yang

bertugas menyampaikan berita dari dewa kepada manusia. Dewa ini juga

dewa ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian.

Hermeneutik tidak hanya untuk menafsirkan Al-kitab saja tetapi dapat

juga digunakan untuk mencari arti sesungguhnya dari kesenian, sejarah,

18
Boy S. Sarbaguna, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif (Jakarta: UI Press, 2008), h.
1.
19
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengenalan Awal Metodelogi
Studi Agama-agama untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 39.
13

literatur, ilmu purbakala, penerjemah dan dapat juga digunakan dalam

kehidupan sehari-hari.20 Dengan pendekatan hermeneutik ini untuk

mendiskripsikan dan memahami hasil tulisan-tulisan para penulis

Indonesia mengenai agama dan kebudayaan Kaharingan di Kalimantan.

3. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Akademik dan

Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014/2015.

1.5 Sumber Data

Pengumpulan data (heuristik), yaitu kegiatan mencari dan

mengumpulkan data.21 Sumber Literature atau studi kepustakaan (Library

Research), yaitu suatu penelitian kualitatif yang objek kajiannya adalah

kepustakaan, ia memuat gagasan atau pikiran-pikiran yang didukung oleh data

kepustakaan di mana sumbernya dapat berupa jurnal penelitian, skripsi, tesis,

disertasi, laporan penelitian, buku teks, makalah, laporan seminar,

dokumentasi hasil diskusi ilmiah, dokumen resmi dari pemerintah dan

lembaga lainnya.22

Sumber data ini dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Sumber Primer

20
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Al-Kitab ( Malang:
Seminari Al-Kitab Asia Tenggara, 1993), h. 1.
21
Heru Sukardi K, Dasar-dasar Metodologi Sejarah (Surabaya, Proyek Peningkatan/
Pengembangan Perguruan Tinggi IKIP Surabaya, 1979), h. 5.
22
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D,
edisi IV (CET XIX, Bandung: Alfabeta, 2014), h. 3.
14

Sumber data primer adalah sumber data yang dapat memberikan data

penelitian secara langsung. Sumber data primer ini merupakan sumber

utama, berupa karya yang ditulis langsung oleh penganutnya sendiri

maupun yang ahli dalam bidangnya. Adapun sumber-sumber primer yang

digunakan penulis antara lain:

1) Syamsir Salam. Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di

Kalimantan Tengah. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif

Hidayatullah. 2009.

2) Diana H Sofyah. Agama & Pengobatan Latar Belakang Religi dan

Konsep Dasar Pengobatan Dayak Ngaju Kalteng Khususnya Kota

Madya Palangkaraya. Tesis Pasca Sarjana Studi Antropologi

Universitas Indonesia Jakarta. 1997.

3) Marko Mahin. Kaharingan: Dinamika Suku Dayak di Kalimantan

Tengah. Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Indonesia Jakarta. 2009.

4) Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba. Jakarta: Gunung Mulia. 2003.

5) Edy Suprabowo. “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan

Nifas pada Suku Dayak Sanggau, Tahun 2006.” Jurnal Kesehatan

Masyarakat Nasional. Vo.1. No. 3. Desember 2006.

6) Fransisca Murti Setyowati. dkk., Etnobotani Masyarakat Dayak Ngaju

di Daerah Timpah Kalimantan Tengah (Bidang Botani. Pusat

Penelitian Biologi-LIPI).
15

7) Anne Schiller. An “Old” Religion in “New Order” Indonesia: Notes on

Ethnicity and Religious Affiliation. “Sociology of Religion,” 57:04.

1996.

8) Brooke Nolan. Dayak Kaharingan Belief System (tanpa kota: tanpa

penerbit. tanpa tahun).

9) Para Peneliti Dayak, Ed., Masri Sareb Putra, Prosiding Kongres

International 1: Kebudayaan Dayak (Bengkayang: an1mage. 2017).

10) Edy Tandililing. Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah

dengan Pendekatan Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai

Upaya Meningkatkan KualitasPembelajaran Matematika di Sekolah.

(Yogayakarta: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan

Matematika FMIPA UNY. 19 November 2013).

11) Agung Hartoyo. “Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat

Dayak Perbatasan Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau

KALBAR.” Penelitian Pendidikan. Vol. 13. No. 1. April 2012.

2. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang materinya secara tidak langsung

berhubungan dengan masalah yang diungkapkan. Sumber data sekunder

ini digunakan sebagai pelengkap dari sumber data primer. 23 Adapun

sumber-sumber sekunder yang digunakan penulis antara lain:

1) Tim Penulis UIN Sunan Kalijaga dan AIFIS. “Agama dan Budaya

Lokal di Indonesia.” Jurnal Website: www.aiis-digilib.org. 2015.

23
Suharsini Ari Kunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h.117.
16

2) Galuh Subekti. Tradisi Keagamaan Masyarakat Etnis Banjar di

Tulungagung (Skripsi Fakultas Adab UIN Yogyakarta. 2009).

3) Kiki Muhammad Hakiki. “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus

Aliran Kebatinan).” Analisis. Vol 1. No. 1. Juni 2011.

4) Kementrian Agama RI. Dinamika Perkembangan sistem Kepercayaan

Lokal di Indonesia (Jakarta: Badan LITBANG dan Diklat Kementrian

Agama RI. 2012).

Cara pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan melalui:

1. Usaha yang bersifat kompilatif, yaitu mengumpulkan data secara

keseluruhan yang bersumber dari literature.

2. Usaha selektif komparatif, yaitu menyeleksi sumber yang

dikumpulkan, dipilih yang paling relevan dengan pokok pembahasan

dengan dibanding-bandingkan dengan data yang lain untuk mencapai

penyajian yang mengarah.

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam pembahasan, skripsi tersebut dibagi

menjadi beberapa bab dan sub bab, yaitu:

Bab pertama Pendahuluan. Bab ini membahas tentang alasan

pemilihan judul, dengan menunjukkan faktor yang mendorong pemilihan

judul skripsi. Kemudian diikuti dengan menuliskan rumusan masalah, tujuan

penelitian dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,

dan sistematika penulisan. Secara garis besar bagian ini bertujuan sebagai

landasan teoritis metodologis dalam penelitian.


17

Bab kedua Selayang pandang agama Kaharingan di Kalimantan. Bab

ini menyajikan tulisan tentang sejarah, macam-macam suku bangsa Dayak,

upacara-upacara adat serta kepercayaan agama Kaharingan di Kalimantan.

Bab ketiga Para Penulis Indonesia dengan isi karyanya. Bab ini

menyajikan 8 karya para penulis Indonesia, dan merekonstruksi karya-karya

tersebut ke dalam dua aspek, yakni aspek keagamaan dan aspek kebudayaan.

Bab keempat Perbedaan dan persamaan Penafsiran. Beberapa

Perbedaan dan persamaan penafsiran atau pendapat oleh para penulis

Indonesia mengenai Agama dan Kebudayaan Kaharingan di Kalimantan.

Bab kelima Kesimpulan, saran dan kata penutup. Yaitu memuat

kesimpulan yang mencakup semua isi skripsi, saran dan diakhiri dengan kata

penutup.
BAB II

ASAL-USUL SUKU BANGSA DAYAK

2.1 Sejarah Suku Bangsa Dayak

Suku Dayak (Dajak/Dyak) adalah nama yang diberikan oleh

penjajahan kepada penghuni pedalaman pulau Borneo yang mendiami pulau

kalimantan seperti Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sarawak dan Sabah,

serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan juga Kalimantan Utara.

Kalimantan memiliki 7 suku asli yakni Banjar, Tidung, Melayu, Dayak, Kutai,

Paser dan Berau, namun pada tahun 2010 menururt sensus Badan Pusat

Statistik Republik Indonesia, suku bangsa yang ada di Kalimantan hanya 3

yakni Banjar, Dayak dan suku bangsa asli Kalimantan lainnya (non Dayak dan

Non Banjar).24

Semua penduduk di pedalaman pulau Kalimantan disebut suku bangsa

“Dayak”. Mereka ini merupakan penduduk asli pulau Kalimantan, yang

tergolong dalam suku bangsa Melayu Tua (Proto Melayu). Istilah “Orang

Dayak” adalah nama yang diberikan oleh pengarang bangsa asing yang

menulis tentang suku bangsa yang mendiami pedalaman Kalimantan. Istilah

itu dahulu terutama dipergunakan sebagai kata ejekan/penghinaan terhadap

penduduk asli yang memang masih jauh ketinggalan, bila dibandingkan

dengan suku bangsa lainnya yang mendiami bagian pantai Kalimantan seperti

suku Banjar. Penduduk asli itu sendiri mulanya tidak mengenal nama “Dayak”

24
Diakses dari https://id.wikipdia.org/wiki/suku-Dayak pada tanggal 28 April pukul 23.44
WIB.

18
19

yang diberikan kepada mereka itu secara keseluruhan. Mereka menyebut suku

mereka menurut tempat atau daerah kediaman masin-masing, yang umumnya

menurut sungai yang mengalir di daerahnya.25

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan.

Pulau Kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur

wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya

Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan

Tengah ibu kotanya Palangka Raya, Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak,

dan Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung Selor.

Hamid mengutip dari buku J.U. Lontaan (1974) menjelaskan bahwa

suku Dayak, terbagi dalam 405 sub-sub suku. Etnis Dayak Kalimantan yang

menyebar di seluruh daerah pedalaman Kalimantan, mereka menyebut dirinya

dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai,

nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya

dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut

sumber yang lainnya yang dikutip Hamid bahwa mereka menyebut dirinya

dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar,

daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku

Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok

Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah

nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang kemudian dijadikan

nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari

Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk,

25
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Kalimantan Timur, (Jakarta: PN Balai Pustaka, tanpa tahun), h. 14-15.
20

Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju, Desa dan lainnya, yang memiliki latar

belakang sejarahnya sendiri-sendiri. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di

seluruh wilayah pedalaman Kalimantan baik yang hidup wilayah Indonesia

maupun yang domisili di Sabah Sarak Malaysia. Mereka hidup menyebar

menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir

pulau Kalimantan. Menurut sejarahnya, suku Dayak pernah membangun

sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut "Nansarunai Usak

Jawa", yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit,

yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut

mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah

pedalaman.26

Adat istiadat merupakan salah satu unsur yang sangat berperanan

dalam kehidupan suatu suku bangsa, demikian pula halnya dengan masyarakat

Dayak. Seperti diketahui masyarakat Dayak dari zaman dahulu hingga

sekarang sangat memegang teguh adat istiadat yang berlaku di masyarakatnya.

Adat istiadat itu sangat mereka hormati dan benar-benar dijunjung tinggi.

Seperti yang terdapat pada suku-suku bangsa lain di Indonesia. Suku

bangsa Dayak mempunyai banyak sekali tata aturan hidup yang harus di

patuhi, misalnya adat berpakaian, adat dalam melakukan suatu upacara baik

yang berkaitan dengan daur hidup maupun dengan peristiwa alam, adat

menerima tamu, dan lain-lain. Kecenderungan mereka untuk tetap

menghormati dan menjunjung tinggi adat istiadatnya itu didorong oleh

26
Hamid Darmadi, “Dayak dan Asal-usul Penyeberannya di Bumi Borneo (1),” Jurnal
Pendidikan Sosial, Vol 3, No. 2, Desember 2016, h. 323-333.
21

ketentuan akan hukum adat yang tetap diberlakukan bagi si pelanggar adat

sampai sekarang.

Hukum adat adalah cetusan jiwa dari suatu suku bangsa. Ia lahir

sebagai akibat pengaruh alam dan perkembangan sosial masyarakatnya.

Mengetahui hukum adat adalah salah satu langkah untuk menguasai jiwa

seseorang dalam masyarakat tertentu, sehingga hukum adat itu dapat dengan

jelas menggambarkan kemauan sekelompok manusia. Dengan memahami

hukum adat dan adat istiadat dalam suatu masyarakat berarti telah memiliki

alat untuk mengendalikan perasaan dan kemauannya. Semua itu dapat

disimpulkan bahwa hukum adat juga merupakan adat atau kebiasaan yang

mempunyai akibat hukum atau sanksi.

Hukum adat yang baik tertulis, maupun yang tidak tertulis sampai

sekarang tetap, hidup subur dan terpelihara oleh masyarakat Dayak pada

umumnya. Masyarakat yang melanggar adat atau norma yang berlaku akan

dikenakan sanksi adat (harus membayar adat). Besar kecilnya sanksi adat

ditentukan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini berlaku

bagi semua warga masyarakat yang melakukan pelanggaran tanpa kecuali baik

itu pemangku adat, masyarakat setempat, maupun masyarakat pendatang yang

tinggal di daerah tersebut.27

Sebagian besar suku Dayak yang memeluk agama Islam tidak lagi

mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tetapi menyebut dirinya sebagai orang

“Melayu” atau orang “Banjar”. Sedangkan orang Dayak yang tidak memeluk

agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan.

27
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebudayaan
Kalimantan, (Jakarta: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 19993), h. 34-35.
22

Di Kalimantan Selatan misalnya mereka, bermukim disekitar daerah Kayu

Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang

Balangan. Sebagain lagi terus masuk rimba. Orang Dayak yang memeluk

agama Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian

Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah

Lambung Mangkurat adalah seorang Dayak Maanyan atau Ot Danum.

(Sejarah Asal Usul Suku Dayak Kalimantan) namanya di abadikan sebagai

nama Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin.

Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati.

Tidak ada orang Dayak di pulau lain selain Kalimantan, dahulu mereka ini

mendiami pulau Kalimantan, baik di pantai-pantai maupun dibagian daratan

Akan tetapi ketika orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung

Melaka datang orang Dayak menyingkir lama kelamaan bertambah jauh ke

daerah pedalaman Kalimantan disatu sisi. Disisi lain masyarakat Dayak

memiliki tradisi berladang berpindah. Dari tahun ketahun mereka mencari

hutan yang dinilai subur untuk berladang dan bercocok tanam sebagai mata

pencaharian demikian seterusnya. Akhirnya tahun berganti tahun, puluhan

tahun, ratusan tahun dan bahkan puluh ribuan tahun akhirnya hampir seluruh

daerah pelosok pedalaman Kalimantan tidak ada yang lepas dari hunian orang

dayak. Masing-Masing orang Dayak menumbuh-kembangkan kebudayaan

tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan

oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-

kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian Sub etnis Dayak

satu dengan lainnya memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai
23

mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya.

Artinya, kemanapun mereka pergi mandau selalu dibawanya karena mandau

juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan) orang Dayak. Sebagai

catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan

dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian

adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat

keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari

proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam

tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-

20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang

digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian

digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang

mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau

tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu

sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata

untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.28

2.2 Macam-macam Suku Bangsa Dayak

Suku Dayak merupakan salah satu suku besar di Indonesia, suku ini

dikenal karena keramahan serta dedikasinya dalam melestarikan alam di pulau

Kalimantan. Pada awalnya kata Dayak yang memiliki arti orang-orang yang

berasal dari Hulu Sungai atau yang tinggal di bukit, hanya merupakan sebutan

kolektif dari orang Inggris dan Melayu bagi suku-suku asli yang mendiami

pulau Kalimantan (Borneo). Seiring berjalannya waktu istilah

28
Hamid, “Dayak dan Asal-usul Penebarannya di Bumi Borneo,” h. 325.
24

tersebut akhirnya dipakai sebagai identitas yang mempersatukan berbagai sub-

suku yang ada di sana.

Secara umum, suku Dayak dapat dikategorikan menjadi 7 rumpun

suku berdasarkan asal daerahnya. Dari ketujuh daerah tersebut, terdapat 405

sub-suku dengan bahasa yang berbeda satu sama lain. Selain bahasa yang

berbeda, dialek atau logat untuk satu bahasa yang sama juga bisa sangat

beragam jika berbeda kampung. Untuk itu disini akan membahas 7

rumpun suku Dayak yang ada di Kalimantan berdasakan kemiripan budaya

serta asal daerahnya.29

Suku Dayak hampir mendiami keseluruhan pulau Kalimantan, yaitu

lembah-lembah, pesisir, hulu-hulu sungai, perbukitan, hingga ke kota-kota

besar dan kecil. Pemukiman mereka jauh dari satu ke yang lain. Pemukiman

yang saling berjauhan ini dikarenakan kebiasaan berperang di kalangan

mereka sendiri, bahkan ada pula yang menganggap bahwa adanya kebiasaan

mengayau (memotong kepala) di kalangan suku Dayak tempo dulu sebagai

tanda kekuatan seseorang atau suatu kelompok, semakin banyak kepala yang

dikumpulkan maka makin kuatlah dia atau kelompoknya.

Karena kebiasaan berperang ataupun mengayau tersebut sebagian di

antara mereka memisahkan diri dan mencari tempat yang lebih aman seperti

pesisir, perbukitan dan lembah-lembah. Lokasi yang berbeda-beda ini seiring

berjalannya waktu berkembang sehingga menjadi pusat pemukiman dalam

bentuk kampung ataupun desa, telah membentuk komunitas sendiri-sendiri

atau telah berkembang menjadi suatu masyarakat yang berdiri sendiri dengan

29
Diakses dari https://www.hipwee.com/list/mengenal-7-rumpun-suku-dayak-di-pulau-
kalimantan/ pada tanggal 30 April 2018 pukul 22.29 WIB .
25

lingkungan budayanya sendiri pula. Dengan keadaan demikian maka tidak

dapat dihindarkan akan terjadi perbedaan-perbedaan antara satu pemukiman

dengan pemukiman yang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok

lainnya. Itulah yang menjadikan suku Dayak menjadi bermacam-macam dan

tersebar di berbagai lokasi pemukiman.30

Berikut macam-macam suku Dayak di Kalimantan :

1. Dayak Ngaju

Suku Dayak Ngaju (Biaju) adalah suku asli di Kalimatan Tengah.

Suku Ngaju secara administratif merupakan suku baru yang muncul dalam

sensus tahun 2000 dan merupakan 18,02% (400.000 jiwa) dari penduduk

Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Ngaju tergabung ke dalam suku

Dayak dalam sensus 1930. Ngaju berarti udik. Suku Ngaju kebanyakan

mendiami daerah aliran sungai Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhing,

Barito dan Katingan bahkan ada pula yang mendiami daerah Kalimantan

Selatan. Orang Dayak Ngaju yang kita kenal sekarang, dalam literatur-

literatur pada masa-masa awal disebut dengan Biaju. Terminologi Biaju

dipakai untuk menyebut nama sekelompok masyarakat, sungai, wilayah

dan pola hidup (Ras 1968: 336). Menurut Hikayat Banjar, Sungai

Kahayan dan Kapuas sekarang ini disebut dengan nama sungai Biaju yaitu

Batang Biaju Basar, dan Batang Biaju Kecil. Orang yang mendiaminya

disebut Orang Biaju Basar dan Orang Biaju Kacil. Sedangkan sungai

Murong (Kapuas-Murong) sekarang ini disebut dengan nama Batang Petak

30
Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h. 68.
26

(lihat Ras 1968: 314). Pulau Petak yang merupakan tempat tinggal orang

Ngaju disebut Biaju (Ras 1968: 408, 449).

Terminologi Biaju tidaklah berasal dari orang Dayak Ngaju tetapi

berasal dari bahasa orang Bakumpai yang secara ontologis merupakan

bentuk kolokial dari bi dan aju yang artinya ”dari hulu” atau ”dari udik”.

Karena itu, di wilayah aliran sungai Barito, dimana banyak orang

Bakumpai, orang Dayak Ngaju disebut dengan Biaju (lihat Schärer 1963:

1), yang artinya orang yang berdiam di dan dari bagian hulu sungai (Riwut

1958: 208). Di kemudian hari, istilah ini dipungut begitu saja oleh orang

Banjar untuk menyebut semua orang pedalaman hulu sungai yang tidak

beragama Islam. Istilah ini kemudian diperkenalkan kepada para pedagang

dari Cina, Inggris, Portugis yang berlabuh di pelabuhan Banjarmasin.

Karena itu dalam catatan pelayaran para pedagang Cina, Portugis dan

Inggris dapat ditemukan kata Biaju yang merujuk pada suku di pedalaman

yang bukan orang Banjar dan tidak beragama Islam (Groeneveldt 1880,

Beckman 1718).31

Ciri khas dari Dayak Ngaju adalah agama kaharingan yang masih

dianut oleh sebagian suku Ngaju, serta upacara Tiwah, atau upacara

mengantarkan roh leluhur. Untuk pakaian adat, Dayak Ngaju biasanya

menggunakan warna merah sebagai warna dominan, kain atau rompi dari

kulit kayu, serta menggunakan bulu burung enggang dan ruai sebagai

hiasan kepala.

31
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ngaju pada 02 Juni 2018 pukul
23.04 WITA.
27

Pada beberapa tarian adat, kaum wanita Ngaju biasanya juga

membawakan tarian dengan menggunakan mandau/parang (contoh : Tari

Hetawang Hakangkalu), hal ini berbeda dari wanita sub-suku Dayak

lainnya. Selain itu, alat musik tradisional Dayak Ngaju biasanya di

dominasi oleh Kecapi Karungut, Rebab, Gandang Tatau, Gong, dan suling.

Suku Dayak Ngaju terbagi dalam empat suku kecil dan keempat suku

itu terbagi lagi dalam 90 suku paling kecil (suku sedatuk) yaitu :

a. Dayak Ngaju, dengan 53 macam suku terkecil;

b. Dayak Ma’anyaan, terbagi dalam 8 suku-suku kecil;

c. Dayak Dusun, terbagi kepada 8 suku-suku kecil;

d. Dayak Tawangan, terbagi dalam 6 suku-suku kecil.32

2. Dayak Apu Kayan

Suku Kayan adalah suku Dayak dari rumpun Kenyah-Kayan-Bahau

atau Orang Ulu yang berasal dari Sarawak. Ketika memasuki Kalimantan

Utara suku Kayan pertama-tama menetap di daerah Apau Kayan di daerah

aliran sungai Kayan, karena alasan perang antar suku dan mencari daerah

yang lebih subur serta daerah asal (Apau Kayan) yang sangat tertinggal

dan terisolir, suku Kayan meninggalkan Apau Kayan yang telah mereka

tempati selama 300 tahun dan bermigrasi menuju daerah-daerah yang

lebih maju agar dapat lebih berkembang kehidupannya, yaitu sekarang

menetap di daerah aliran sungai Wahau (daerah Suku Wehea) di

Kabupaten Kutai Timur terutama di Desa Miau Baru sejak tahun 1969.

Diperkirakan pada zaman Kerajaan Kutai Martadipura (Kutai

32
Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak Kalimantan Tengah, h. 68.
28

Mulawarman), suku Kayan belum memasuki Kalimantan Timur.

Kemungkinan suku Kayan ini termasuk salah satu suku yang belakangan

memasuki pulau Kalimantan dari pulau Formosa (Taiwan). Suku Kayan

juga terdapat di Sungai Mendalam, Kalimantan Barat. Di Kalimantan

Barat, pada sekitar tahun 1863, suku Iban bermigrasi ke daerah hulu

sungai Saribas dan sungai Rejang, dan menyerang suku Kayan di daerah

hulu sungai-sungai dan terus maju ke utara dan ke timur. Perang dan

serangan pengayauan menyebabkan suku-suku lain terusir dari lahannya.

Suku Kayan merupakan 1,4% dari penduduk Kutai Barat (sebelum

pemekaran Mahakam Ulu).33 Populasi suku Apu Kayan diperkirakan lebih

dari 30.000 jiwa tersebar didi 2 negara, di Indonesia berada di Kalimantan

Timur dan Kalimantan Barat hingga ke Serawak Malaysia.34

Ciri khas dari Dayak Apo Kayan adalah telinga panjang, serta tato di

sekujur tubuh yang menandakan status sosial di masyarakat. Pakaian adat

Dayak Apo Kayan biasanya di dominasi oleh warna Hitam, Putih, dan

Kuning. Serta dapat ditemukan berbagai hiasan manik-manik dan hiasan

bulu enggang.

Alat musik yang paling terkenal dari rumput Dayak Apo Kayan adalah

Kecapi tradisional atau Sape' (Bahasa Kayan) atau Sampe' (Bahasa

Kenyah), kecapi ini berbeda dari karungut, berfungsi sebagai alat musik

melodis dan ukurannya lebih besar. Selain itu ada juga Gong,

Sluding/klentangan, Kadire/keledik (alat musik tiup), dan Antoneng.

33
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Kayan pada tanggal 02 Juni
2018 pukul 23.49 WITA.
34
Diakses dari http://asiantribal.blogspot.com/2013/03/asal-usul-suku-dayak-kayan.html
pukul 10.33 WIB pada tanggal 06 Agustus 2018.
29

Dayak Apau Kayan terbagi menjadi tiga suku kecil meliputi 60 suku-

suku kecil-kecil, masing-masing adalah:

a. Dayak Kenya, yang terbagi dalam kepada 24 suku kecil-kecil;

b. Dayak Kayan, terbagi kepada 10 suku-suku kecil;

c. Dayak Bahau, terbagi kepada 26 suku kecil-kecil.35

3. Dayak Iban (Dayak Laut)

Suku Dayak Iban, adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat

di Kalimantan Barat, Sarawak, Brunei dan Tawau Sabah. Mengikut

sejarah lisan, pembentukan dan perkembangan budaya sosial Dayak

Iban terjadi semasa di Tampun Juah, sebelum berpecah kepada beberapa

subsuku-subsuku yang ada sekarang. Selama masa kolonial Inggris dan

Belanda, kelompok Dayak Iban sebelumnya dikenal sebagai Dayak Laut

yang terbagi kepada 11 suku kecil-kecil.36

Saat ini suku Iban menetap di hutan terpencil dan juga sebagian tinggal

di wilayah sulit dijangkau di tepi sungai Kapuas yang berada di

Kalimantan Barat. Sungai-sungai-sungai yang menjadi tempat tinggal suku

Iban diantaranya Batang Lupar, Saribas, Krian, dan Rejang. Sebagaian

dari mereka pindah ke wilayah pantai atau mendekati perkotaan.

Populasi suku Iban diperkirakan sekitar 330 ribu di tahun 1971.

Ditahun 1947, jumlah mereka diperkirakan hampir lebih dari sepertiga dari

populasi total di Kalimantan bahkan di beberapa tempat mendominasi di

antara etnik grup. Pada dasarnya mereka adalah orang yang tinggal di

pedalaman, sedang perkotaan di dominasi oleh suku Melayu dan China. Di


35
Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak Kalimantan Tengah, h. 69.
36
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Iban pada 03 Juni 2018 pukul
00.02 WITA.
30

peta populasi orang Iban menunjukkan mereka mendiami di sungai-sungai

besar dengan konsentrasi terpadat di wilayah Rejang.37

Dayak iban memiliki ciri khas yaitu menjamu tamu dengan tuak (rice

wine) serta tato di sekujur tubuh.Tato ini melambangkan pengalaman

hidup seseorang, semakin banyak tato di tubuh berarti orang tersebut

sudah memiliki banyak pengalaman dan sudah berkelana diberbagai

tempat. Motif tato yang sering digunakan adalah motif bunga terong yang

berada di atas dada bagian kiri dan kanan.

Yang membedakan Dayak Iban dari sub-suku Dayak lain adalah

pakaian tradisional wanita Iban memiliki hiasan kepala dari logam, selain

itu Dayak Iban memiliki kain tenun dengan motif yang sangat khas,

ditambah dengan hiasan bulu burung enggang dan ruai di bagian kepala.

Untuk musik tradisional biasanya didominasi oleh Gendang, kollatung,

dan Gong.

4. Dayak Klemantan atau Dayak Darat

Dayak Klemantan atau disebut juga Dayak Darat mendiami daerah

barat pulau Kalimantan.Dayak Darat dikenal karena sifat yang ramah dan

mudah membaur dengan para pendatang. Rumput dayak ini tersebar di

hulu-hulu sungai yang ada di Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia.

Dayak Darat di Malaysia dikenal dengan nama orang Bidayuh. Sub-suku

dari Dayak Darat adalah Kanayatn, Bidayuh, Ketungau, dll.

Banyak dari masyarakat Dayak Darat yang bisa memahat. Di beberapa

tempat terdapat pahatan patung menyerupai manusia dikenal dengan nama

37
Andayu Intan Permatasari, Karangan Etnografi Kebudayaan Suku Iban di Kalimantan
Barat, (Tanpa Penerbit, Tanpa Tempat, Tanpa Tahun), h. 2-3.
31

Pantak yang merupakan warisan dari nenek moyang dari rumpun Dayak

Darat.

Pakaian tradisional Dayak Darat biasanya didominasi oleh warna

merah, kuning, hitam dan putih, dengan hiasan manik-manik. Selain itu

terdapat juga rompi dari kulit kayu yang diberi motif tertentu. Untuk

hiasan kepala, rumpun Dayak Darat biasanya menggunakan ikat kepala

berwarna merah dengan hiasan bulu burung ruai, enggang, atau daun

Rinyukang. Untuk alat musik tradisional biasanya didominasi oleh Suling,

Gong, Gendang, dan Kollatung.38

Dayak Klemantan atau Dayak Darat terbagi dalam dusa suku masing-

masing adalah:

a. Dayak Klemantan (Dayak Darat), terdiri dari 47 suku kecil-kecil;

b. Dyak Ketungan, terbagi kepada 40 suku-suku kecil.

5. Dayak Murut

Kaum Murut menetap di pedalaman dan kawasan tenggara Sabah serta

wilayah perbatasan antara Kalimantan dan Sarawak. Suku kaum Murut

adalah suku kaum ketiga terbesar di Sabah. Tempat tinggal mereka

termasuk Tenom, Kemabong, Pensiangan, Tawau (Merotai dan

Kalabakan), Tongod (Pinangah dan Inarad) dan Keningau. Dahulu mereka

tinggal di dalam rumah panjang dan hidup harmoni dalam keluarga besar.

Kebanyakan mereka adalah petani berpindah, pemburu dan penangkap

ikan sungai. Mereka juga mejalankan pemungutan hasil hutan (damar,

rotan dan madu lebah). Pada masa kini kaum murut sudah ada yang

38
Diakses dari https://www.hipwee.com/list/mengenal-7-rumpun-suku-dayak-di-pulau-
kalimantan/ pada 03 Juni 2018 pukul 00.14 WITA.
32

berkhidmat dalam sektor awam dalam bidang pendidikan, kesehatan dan

pertahanan.

Perkataan ‘Murut’ merujuk kepada kumpulan penduduk yang tinggal

di lereng bukit atau tanah tinggi di Pedalaman Sabah. Murut terdapat di

beberapa kawasan seperti Keningau, Tenom, Pensiangan, Sipitang,

Kalabakan, Beaufort dan Kinabatangan. Kaum Murut terbagi kepada

Murut Tahol atau Tagal, Tidung atau Tirong, Timugon, Sembakung,

Paluan, Bookan, Kalabakan, Murut Serundung, Murut Agabag atau

Ahavah, Tanggara atau Tanggala, Kolor atau Kolod atau Akolod, Murut

Nabai, Murut Gana atau Hana dan Murut Lundayeh atau Lun Bawang.

Dimana kaum Murut mewakili sebanyak 2,9% daripada penduduk di

Sabah yaitu lebih kurang 50,000 orang. Suku kaum Murut juga terdapat di

Brunei, Sarawak dan sempadan Kalimantan. Kaum Murut mempunyai

bahasa tersendiri yang berbeda dengan suku kaum Murut yang lain seperti

Lun Bawang atau Lun Dayeh. Ini disebabkan faktor geografi sebagai

penghalang dalam komunikasi bahasa mereka. Secara uniknya, kaum

Murut tinggal di rumah panjang yang berhampiran dengan kawasan sungai

atau membuat penempatan sepanjang sungai. Mereka tinggal di dalam

rumah panjang yang menempatkan 10 hingga 20 keluarga. Tetapi terdapat

juga kaum Murut yang tinggal dan membina penempatan secara individu

di sepanjang sungai. Suku kaum Murut pakar dalam membuat perahu dan

menurunkan kepakaran mereka kepada generasi seterusnya. Selain itu

kaum Murut pakar dalam berburu dan masih mengamalkan tradisi bertato
33

seperti kaum Iban di Sarawak tetapi tradisi ini semakin kurang di lakukan

oleh generasi muda suku kaum ini.

Populasi Dayak Murut Tahol masih berkembang dan bertahan hingga

saat ini. Salah satu pemukiman Dayak Murut adalah di Desa Tau Lumbis

Kecamatan Lumbis Ogong Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan

Utara. Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Tau Lumbis

untuk berkomunikasi adalah bahasa Dayak Murut Tahol. Bahasa tersebut

lebih sering digunakan daripada bahasa Indonesia karena mayoritas

masyarakat Desa Tau Lumbis adalah suku Dayak Murut Tahol. Bahasa

Indonesia hanya digunakan untuk berkomunikasi kepada suku lainnya,

seperti suku Jawa, suku Bugis, dan lain-lain.39

Kaum Murut juga menyambut perayaan seperti Hari Raya, Hari

Krismas, Tahun Baru, Majlis hari jadi, pengembumian dan Pesta

Kalimaran dan lain-lain. Pesta Kalimaran ialah pesta sama seperti kaum

kadazan-Dusun yang menyambut pesta Kaamatan. Ia di sambut selepas

mereka menuai padi. Kaum Murut masa kini, telah mengalami proses

kemodenan dan ramai yang berkerja sebagai kaki tangan kerajaan dan

bukan kerajaan. Mereka juga tinggal di bandar-bandar besar dan

mempunyai pekerjaan profesional. Namun demikian, Kaum Murut ini

masih lagi mengamalkan adat istiadat yang diamalkan oleh nenek moyang

39
Nopli Adranus, Mursalim, Syamsul Rijal, “Reduplikasi dalam Bahasa Dayak Murut
Tahol di Desa Tau Lubis Kecamatan Lumbis Ogong Kabupaten Nunukan”, Ilmu Budaya, Vol. 2, No.
1. Januari 2018, h. 36.
34

mereka sebagai adat turun temurun yang mempunyai nilai estetika tinggi

dalam kehidupan.40

Dayak Murut memiliki tarian yang terkenal yaitu tarian Mangunatip.

Perkataan Mangunatip diambil daripada perkataan "atip" yang bermaksud

menekan antara dua permukaan. Penari mangunatip memerlukan

kemahiran dan ketangkasan yang baik untuk menari melintasi buluh yang

dipukul serentak untuk menghasilkan bunyi dan irama tarian tersebut.

Pakaian tradisional Dayak Murut untuk pria secara umum terbuat dari

kulit kayu atau kain tenun, dengan ikat kepala serta hiasan bulu burung

ruai. Untuk wanita, baju tradisional biasanya di dominasi warna hitam

dengan hiasan motif berbagai warna. Untuk alat musik, biasanya

didominasi oleh Suling, Gong, Kollatung, dan Kadire/keledik (alat musik

tiup).

Dayak Murut terbagi pula kepada tiga suku yang meliputi 44 suku-

suku kecil, yakni:

a. Dayak Murut, meliputi 28 suku kecil-kecil;

b. Dayak Idaam (dusun), terbagi kepada 6 suku kecil-kecil;

c. Dayak Tidung, terbagi pula kepada 10 suku kecil-kecil.

6. Dayak Punan

Dayak Punan merupakan rumpun yang mendiami daerah Kalimantan

Timur, Kalimatan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan

Malaysia. Menurut cerita yang tersimpan pada cerita turun temurun,

leluhur suku Dayak Punan datang dari sebuah negeri yang bernama

40
Diakses dari https://ms.wikipedia.org/wiki/Murut pada tanggal 03 Juni 2018 pukul
00.41 WITA.
35

"Yunnan", sebuah daerah dari dataran tinggi di Cina bagian Selatan.

Mereka berasal dari suatu komunitas yang konon adalah keluarga salah

satu kerajaan Cina yang kalah berperang dan kemudian menghindar

bersama perahu-perahu, dalam perjalanan mereka terdampar di tanah

Pulau Kalimantan. Di tempat baru ini mereka merasa cocok dan aman, dan

mereka pun menetap hingga kini.

Suku Dayak Punan, lebih memilih hidup di hutan pedalaman, bahkan

di goa-goa, walaupun mereka sebenarnya bukanlah suku primitif tetapi

lebih memilih untuk hidup seperti cara hidup leluhur mereka. Mereka

selalu berpindah pindah dari satu tempat ke lain tempat dan terus

menghindar dari kelompok manusia lain, karena menurut mereka ini

adalah keinginan para leluhur, untuk menghindar dari orang-orang asing.

Apabila ada yang meninggal di antara mereka, setelah upacara

penguburan, biasanya mereka serentak akan pindah ke daerah lain. Mereka

percaya kalau roh dari orang yang meninggal akan gentayangan yang akan

membuat mereka tak merasa tenteram. Masyarakat Dayak Punan ini

disebut juga bangsa nomaden (pengembara) yang hidup dalam satu

kelompok tanpa berpisah-pisah.

Di hulu Barito terdapat 3 desa yang dianggap sebagai perkampungan

orang Dayak Punan, yaitu Tumbang Karamu, Tumbang Tunjang dan

Tumbang Topus. Penduduk ketiga desa ini mengaku sebagai keturunan

orang Punan, dan mereka menyebut diri mereka sebagai orang Dayak

Punan. Tetapi masyarakat yang berada di desa Tumbang Topus,

diperkirakan sudah tidak asli lagi sebagai orang Dayak Punan, karena telah
36

terjadi kawin-campur antara orang Dayak Punan dan orang Dayak Siang-

Murung, Dayak Bahau, Dayak Benuaq dan Dayak Ot Danum atau Dayak

Kahayan. Lagipula beberapa kesenian budaya serta ritual kematian yang

dilaksanakan oleh masyarakat Punan di desa Tumbang Topus ini, adalah

cenderung mengikuti tradisi budaya Dayak Ot Danum atau Dayak Siang

Murung.41 Populasinya paling banyak ditemukan di Kalimantan Timur

diperkirakan berjumlah 8.956 jiwa uku Punan yang tersebar pada 77 lokasi

pemukiman, dan terpecah lagi dalam sub-sub kecil yang terdiri dari:

a. Dayak Basap, terbagi kepada 20 suku;

b. Dayak Punan, terbagi pada 25 suku;

c. Dayak Ot, terbagi 5 suku;

d. Dayak Bukar, terbagi 3 suku.

Masyarakat Dayak Punan dikenal dari pola hidup yang nomaden atau

berpindah-pindah, hal ini berbeda dengan kebanyakan suku Dayak lain

yang memiliki rumah panjang sebagai tempat tinggal. Saat ini kebanyakan

dari sub-suku Dayak Punantelah menetap dan membuat komunitas di

suatu desa yang tersebar di berbagai daerah.

Pakaian tradisional Dayak Punan biasanya masih sangat sederhana,

beberapa dari Dayak Punan juga melakukan tradisi memanjangkan telinga.

Alat musik yang biasa dimainkan adalah Suling yang ditiup dengan

menggunakan hidung dan Sape' (Kecapi).42

41
Diakses dari http://protomalayans.blogspot.com/2012/07/suku-dayak-punan.html
pada tanggal 06 Agustus 2018 pukul 13.04 WIB.
42
Diakses dari
http://www.netralnews.com/news/rsn/read/101038/inilah.suku.dayak.punan..primitif.yang.t
pada 03 Juni 2018 pukul 00. 52 WITA.
37

7. Dayak Ot-Danum

Suku Dayak Ot-Donum atau Dayak Dohoi adalah suku asli

Kalimantan Tengah yang terdapat di hulu-hulu sungai sebelah utara

provinsi ini. Suku Dayak Ot Danum, hidup tersebar di pegunungan

Muller-Schwaner, sungai Mandai di Ulu Ai' dan di sepanjang aliran sungai

Miri, cabang sungai Kahayan di provinsi Kalimantan Tengah. Populasi

diperkirakan sebesar 78.800 orang pada tahun 2007.

Kata Ot berarti "orang" atau "hulu", sedangkan Danum berarti "air",

dan Ot Danum berarti "orang air" atau "orang yang hidup di hulu

sungai". Suku Dayak Ot Danum dekat dengan kehidupan alam dan sangat

menghormati tradisi leluhur untuk menjaga keseimbangan manusia dan

alam sekitarnya. Perawakan suku Dayak Ot Danum berkulit kuning

menunjukkan bahwa mereka adalah ras mongoloid. Suku Dayak Ot

Danum ini memiliki kerabat dekat di provinsi Kalimantan Barat yang

disebut suku Dayak Uud Danum. Secara fisik, karakter dan budaya bisa

dikatakan mirip, hanya saja dibedakan karena perbedaan letak geografis.

Suku Dayak Ot Danum ini dikelompokkan ke dalam rumpun Proto

Malayan cabang dari rumpun bangsa Austronesia.

Suku Dayak Ot Danum memiliki bahasa sendiri yang disebut sebagai

bahasa Ot Danum. Bahasa Ot Danum berkerabat dengan bahasa Dayak

Siang yang memiliki kesamaan sebesar 70%, dengan bahasa Dayak Kohin

memiliki kemiripan sebesar 65%, dengan bahasa Dayak Katingan

kemiripan sebesar 60%, sedangkan dengan bahasa Dayak Ngaju memiliki

kemiripan sebesar 50%. Masyarakat suku Dayak Ot Danum adalah


38

mayoritas beragama Kristen, sebagian tetap mempertahankan agama

Kaharingan dan sebagian kecil memeluk agama Islam.

Dalam legenda suku Dayak Ot Danum, nenek moyang mereka berasal

dari langit yang diturunkan ke dunia dengan wadah emas di 4 tempat,

salah satunya di puncak bukit Pamatuan, suatu dataran tinggi antara hulu

sungai Kahayan dan sungai Barito. Lambung adalah manusia nenek

moyang pertama yang diciptakan, dari si Lambung inilah semua

keturunannya menyebar di perhuluan sungai-sungai besar seperti sungai

Barito, sungai Kahayan, sungai Kapuas dan sungai Katingan yang disebut

suku Dayak Ot Danum.

Beberapa Ahli Sejarah memiliki versi yang berbeda mengenai asal

usul suku Dayak Ot Danum ini, ada yang mengatakan bahwa suku Dayak

Ot Danum ini berasal dari daratan mongolia, yang bermigrasi ke pulau

Borneo. Tetapi versi lain menyebutkan bahwa suku Dayak Ot Danum ini

berasal dari Formosa dan sudah sejak ada di pulau Kalimantan sejak 4000

tahun yang lalu, karena di Formosa Taiwan terdapat budaya yang mirip

dengan suku Dayak Ot Danum ini.

Dalam kesehariannya suku Dayak Ot Danum ini sebagian besar masih

dekat dengan kehidupan alam di hutan, dan melakukan perburuan binatang

liar, serta bertani berladang juga mereka lakukan dan memelihara ternak

seperti ayam dan babi. Kegiatan lain seperti ikut dalam penambangan

emas di sungai-sungai yang mengandung emas, sehingga banyak dari

mereka yang menjadi kaya di pedalaman dari hasil menambang emas.

Selain itu tidak sedikit yang telah bekerja di luar wilayah mereka, seperti
39

di Palangkaraya, Kuala Kapuas, Muara Teweh dan lain-lain sebagai

pekerja di sektor pemerintahan maupun di sektor swasta.43

Ciri khas dari Dayak Ot Danum adalah pada beberapa upacara penting,

seperti upacara kematian, Dayak Ot Danum menggunakan kerbau sebagai

binatang yang dikurbankan selain babi. Di dalam upacara tradisional

tersebut, para dukun biasanya menggunakan kalung dengan berbagai

ornamen kayu, manik, tulang, dsb.

Pakaian tradisional Dayak memiliki variasi warna beragam, termasuk

ikat kepala dan ada beberapa sub-suku Dayak Ot Danum yang juga

menggunakan daun kelapa sebagai hiasan. Alat musik tradisionalnya

adalah Gong, Gendang, dan Kollatung.

Dayak Ot-Donum meliputi 61 suku kecil-kecil. Sehingga acara

keseluruhan suku Dayak yang terdiri dari tujuh besar, terbagi lagi kepada

18 suku kecil dan 405 suku yang lebih kecil lagi. Khusus yang bertempat

tinggal di Kalimantan Tengah, terdiri dari 68 suku, diantaranya suku

Bakumpai, Baraki, Baradia, Ngaju, Kapuas, Kahayan, katian, Sampit,

Seruyan, Ma’nyan dan lain sebagainya.44

2.3 Upacara Adat dan Agama dalam Suku Bangsa Dayak

Upacara-upacara tradisional di Kalimantan merupakan suatu mata

rantai yang tak dapat dipisahkan dari Tattwa yang merupakan inti dari pada

ajaran agama Hindu Kaharingan (tradisi religi asli masyarakat Dayak) dengan

susila yang merupakan aturan-aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai

43
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ot_Danum pada 03 Juni 2018
pukul 00.59 WITA.
44
Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak Kalimantan
Tengah, h. 69.
40

tujuan. Unsur tattwa, etika dan upacara merupakan unsur universal ajaran

agama Hindu Kaharingan yang terkandung dalam setiap ritual yang dilakukan

oleh masyarakat Dayak, yang mana antara unsur yang satu dengan yang

lainnya harus saling dipahami dan ditaati secara terpadu dan simultan serta

tidak terpisahkan.45

Masyarakat Dayak Ngaju khususnya yang beragama Hindu

Kaharingan sangat kaya dengan upacara-upacara keagamaan antara lain

seperti selingkar hidup, upacara kelahiran, perkawinan hingga upacara tiwah

(kematian).

1. Tiwah (Upacara Kematian)

Tiwah adalah upacara pengangkatan tulang belulang yang sudah

meninggal dari tanah ke dalam sandung (tempat pemakaman tetap) lalu

dikuburkan kembali. Upacara Tiwah mempunyai makna mengantar arwah

nenek moyang ke surga. Bagi masyarakat Kalimantan, khususnya

masyarakat Dayak Tomun Lamandau yang masih menganut agama

Kaharingan (atau lebih dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan), sangat

memperhatikan prosesi penyelenggaraan upacara Tiwah, karena upacara

ini mempunyai makna yang sangat sakral dan penting. Masyarakat Dayak

Tomun Lamandau percaya apabila mereka belum meniwahkan

keluarganya, arwah akan tetap berada di bumi dan tidak bisa menuju ke

surga. Itu sebabnya bagi masyarakat Dayak, mengadakan upacara Tiwah

hukumnya wajib, terutama apabila almarhum masih menganut agama

Kaharingan. Bagi sanak keluarga yang masih hidup, penyelenggaraan


45
Diakses dari https://ekapalangka.wordpress.com/2011/05/26/upacara-perkawinan-
masyarakat-suku-dayak-ngaju-dalam-kajian-agama-dan-adat/ pada 11 Mei 2018 pukul 11.40
WITA.
41

upacara tiwah ini merupakan penghormatan terakhir bagi yang meninggal

dunia. Sebelum almarhum ditiwahkan, keluarga merasa masih berutang

dan memiliki beban moral kepada almarhum.46

2. Upacara Perkawinan

Dalam suku bangsa Dayak upacara perkawinan dianggap religius yang

berkaitan dengan memperoleh keturunan dan merupakan suatu

peningkatan nilai berdasarkan hukum agama yang sakral. Salah satu tujuan

perkawinan menurut adat suku bangsa Dayak adalah untuk menjaga nama

baik keluarga, terutama bagi suatu keluarga yang mempunyai anak gadis.

Pada keluarga dari kalangan rakyat yang biasa berlaku anggapan bahwa

anak perempuan yang telah berusia lebih dari 15 tahun dan belum menikah

seakan-akan membawa malu terhadap keluarganya.

Oleh sebab itu apabila suatu keluarga tersebut mempunyai anak gadis dan

ada orang yang meminang, meskipun pinangan ini merupakan pinangan

pertama bagi gadis itu, pinangan tersebut sering kali diterima olah orang

tuanya, walaupun gadis tersebut belum mencapai usia 18 tahun. Ada

kalanya anak perempuan yang berusia 9 tahun atau 10 tahun sudah bisa

dipinang, meskipun pernikahan akan ditunda sampai dia mencapai usia

yang dianggap sudah dapat melangsungkan pernikahan. Misalnya ketika

sudah menginajk 15 tahun.47

Syarat-syarat perkawinan bagi masyarakat suku Bangsa Dayak yakni: pria

dan wania yang telah dewasa (biasanya wanita berumur 15 atau 16 tahun)

46
Nina Putri Hayam Dey, Sri Suwartuningsih dan Daru Purnomo, “Aspek Budaya, Sosial
dan Ekonomi dari Tiwah (Upacara Masyarakat Dayak Tomun Lamandau), Jurnal Studi
Pembangunan Interdisiplin, Vol XXI no. 2, 2012, h. 175.
47
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Kalimantan Timur, h. 52.
42

dan dapat bertanggung jawab bila mereka telah melaksanakan perkawinan

menurut adat, Mereka tidak mempunyai hubungan kekerabatan atau

keluarga yang dekat, misalnya sepupu sekali sampai sepupu dua kali, tidak

mempunyai darah langsung misalnya antara paman dengan keponakan.

Disamping itu pihak keluarga pria harus menyerahkan tanda jujuran

(ikatan) sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku menurut

kedudukannya di dalam masyarakat seperti yang telah diuraikan pada

bentuk perkawinan. Dikehendaki pula bahwa pria telah mempunyai

pekerjaan atau mata pencaharian, tetapi terkadang terjadi bahwa pihak pria

masih ditanggung sepenuhnya oleh orang tuanya.48

Berikut tahap-tahap upacara perkawinan suku Dayak:

a. Hakumbang Auh (Uang Hantaran)

Dalam tahap ini ialah tahap awal dalam upacara perkawinan suku

Dayak, yakni seorang laki-laki menyampaikan niat ingin

mempersunting seorang gadis melalui perantara yang disebut Uluh

Helat atau Saruhan agar niatnya sampai kepada keluarga gadis yang

ingin dipesunting tersebut. Sebagai bukti kesungguhan dan niat baik,

dari pihak pria memberikan mangkok berisi beras dan telur ayam yang

dibungkus kain kuning dan sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang

lalu diberikan kepada Uluh Helat tersebut dan diberika kepada pihak

wanita.

Jika lamaran tersebut diterima maka si Uluh Helat menyampaikan

waktu dan tanggal upacara mamunggul dilaksanakan, sementara

48
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Kalimantan Timur, h. 109.
43

ditolak Uluh Helat tersebut membawa kembali mangkok berisi beras

dan ayam berikut uangnya.

b. Mamanggul

Tahap ini merupakan tahap lanjutan dari Hakumbang Auh yakni cara

meminta sigadis secara resmi setelah pihak pria mengetahui bahwa

keinginan hati mereka diterima oleh pihak wanita. Antara lain

membawa berupa sebuah Balanga (guci asli cina) atau sebuah gong.

Pada acara ini kedua pihak membicarakan waktu pelaksanaan

peminangan, yaitu Maja Misek. Dalam perkembangannya yang

berlaku sekarang, bukti Mamanggul tidak lagi berupa gong melainkan

berupa Duit Panggul. Pada kesempatan ini dibuat sebuah kesepakatan.

Kesepakatan ini dapat berupa lisan maupun tertulis yang dibuat dalam

bentuk sebuah surat perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak

keluarga si gadis kemudian menolak maka barang bukti mamanggul

tidak dikembalikan kepada pihak si pemuda.

Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama

dengan Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang

lazim sekarang ini cenderung mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja

Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih sering digunakan,

sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.

c. Maja Misek (peminangan)

Maja berarti bertemu, Misek berarti bertanya. Dalam upacara ini pihak

pria dan wanita menanyakan atau menyepakati menganai waktu dan

jadwal pelaksanaan pesta perkawinan, Jalan Hadat atau syarat-syarat


44

yang harus dipenuhi oleh pihak pria dalam pelaksanaan upacara

perkawinan tersebut sesuai dengan hukum adat dan tradisi, besarnya

Pelaku atau mas kawin, biaya pesta perkawinan dan pembagiannya,

serta sanksi atau denda jika terjadi pembatalan. Kesepakatan tersebut

ditulis dalam surat perjanjian Pisek.49

d. Mamanggar Janji

Mamanggar Janji berarti memastikan janji, yaitu kedua belah pihak

bertemu lagi secara khusus untuk memastikan kapan waktu

pelaksanaan perkawinan. Pada saat Maja Misek hanya memperkirakan

bulannya saja sementara di tahap ini menentukan tanggalnya serta dari

pihak pria membawa dan memberikan biaya perkawinan kepada pihak

wanita.

e. Pelaksanaan Perkawinan

Pelaksanan perkawinan yang dimaksud ialah upacara dari rumah

pengantin pria sampai dengan peresmian perkawinan. Pada tahap

pelaksanaan perkawinan berikut upacara yang dilaksanakan :

1) PengantenHaguet, pangantin pria berangkat menuju rumah

pengantin wanita dengan membawa rotan yang pada diujung rotan

dibentuk patung manusia, dan pada lehernya diikat seutas manik

bernama manas sembelum dengan tali tengang.

2) Penganten Mandai (pelaksanaan pernikahan), ketika pengantin

pria sampai dirumah pengantin wanita dan dilaksanakannya

membuka lawang sekepeng (pintu yang terbuat dari pelepah daun


49
Diakses dari https://ekapalangka.wordpress.com/2011/05/26/upacara-perkawinan-
masyarakat-suku-dayak-ngaju-dalam-kajian-agama-dan-adat/pukul pada tanggal 04 Juli 2018
pukul 16.00 WIB.
45

kelapa dan diberi benang-benang), mamapas (upacara pembersih

dengan doa-doa, agar tempat upacara pernikahan dan pengantinnya

terjauh dari marabahaya), menginjak telor, dan terakhir penganten

pria masuk ke rumah.

3) Haluang Hapelek, semacam dialog wakil dari pihak pria dan

wanita. Tujuan acara ini menagih jalan hadat (syarat-syarat) yang

harus diserahkan oleh pihak pria kepada pengantin wanita. Masing-

masing pihak membentuk kelompok tersendiri, sebagai utusan

yang bertindak sebagai Luang. Masing-masing pihak dapat

menunjuk 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang wakil sebagai utusan.

Luang atau utusan dari pihak penganten pria disebut dengan

Tukang Sambut, yaitu pihak yang menjawab sanggup tidaknya

memenuhi tuntutan pihak penganten wanita. Adapun luang dari

pihak wanita disebut Tukang Pelek, yaitu pihak yang mengajukan

tuntutan. Luang adalah orang yang pekerjaannya mondar-mandir

menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian pendapat.

4) Manyaki Penganten (penganten hasaki), yaitu mengoleskan darah

hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai, Adapun

istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles dengan

darah. Pada upacara ini kedua penganten duduk di atas gong

dengan memegang pohon sawang yang diikat Bersama dengan

dereh uwei (sepotong rotan) dan rabayang (tombak bersayap

seperti trisula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai

tanda mereka berdua bersaksi pada Ranyiang Hatalla Langit. Kaki


46

menginjak batu asah sebagai tanda bahwa mereka bersaksi kepada

penguasa alam yakni Jatha Balawang Bulau. Setelah itu manyaki

mamalas dilaksanakan yakni mengoleskan darah hewan korban,

minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tapung tawar. Beras

diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu

bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga dalam

menjalani kehidupan berumah tangga mereka senantiasa sehat,

selamat dan memperoleh rejeki.

Setelah menjalani upacara Hasaki atau Hapalas kedua mempelai

makan makanan yang disebut Pangian Putir Santang (7 gumpal

nasi), sebagai simbol penyatuan mereka bahwa sejak hari itu resmi

suami istri. Setelah acara ini selesai maka dilaksanakan penanaman

pohon sawang yang disebut sawang turus janji.50

3. Wadian atau Melabuh Balai

Wadian adalah upacara pengobatan pada suku Dayak Bawo, Dusun,

Manyaan, Lawangan, Benuaq, dan Bukit. Suku-suku serumpun ini hidup

bertetangga di sekitar wilayah yang berbatasan di Kalimantan Tengah,

Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Sedangkan pada suku Melayu

pedalaman seperti suku Melayu Petalangan atau suku Talak Mamak

disebut Belian. Wadian dilaksanakan selama kurang lebih satu minggu.

Dewasa ini selain untuk pengobatan upacara wadian juga dikembangkan

50
Diakses dari https://rid755.wordpress.com/2012/07/30/pelaksanaan-upacara-
perkawinan-agama-hindu-kaharingan/ pada tanggal 04 Juli 2018 pukul 16.04 WIB.
47

sedemikian rupa menjadi kesenian daerah yang dapat dinikmati sebagai

atraksi kesenian yang sangat menarik.51

4. Balampah

Belampah (bertapa) adalah upacara yang dilakukan oleh seseorang dalam

keheningan dan penuh konsentrasi. Upacara ini dilakukan agar dapat

bertemu dengan Dewa Sangiang, ataupun roh-roh nenek moyang untuk

memohon bantuan pemecahan masalah yang rumit. Selain itu juga

belampah dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada dewa atau roh-roh

nenek moyang karena merasa bersalah terhadap perbuatan buruknya yang

pernah dilakukan, sehingga butuh pendekatan diri dengan dewa atau roh-

roh nenek moyang tersebut.

Tempat yang biasanya dijadikan tempat bertapa yakni, kuburan-kuburan,

hutan-hutan angker, di atas pohon yang rimbun dan tempat-tempat lain

yang dianggap angker dan jarang ditempuh banyak orang. Berikut cara-

cara melakukan belampah:

a. Tidak boleh diketahui orang banyak bahwa akan bertapa, oleh karena

itu bertapa dilakukan secara diam-diam.

b. Membawa sesajen, seperti seekor ayam atau babi serta beberapa

makanan lainnya, yang akan dipersembahkan kepada para dewa,

ataupun roh-roh yang telah meninggal dunia.

c. Berangkat dari rumah haruslah malam hari.

Disaat melakukan belampah, sipetapa pasti mendapatkan cobaan seperti

digoda oleh binatang buas, binatang melata, ataupun oleh suara-suara yang

51
Diakses dari http://www.senibudayaku.com/2017/12/upacara-adat-kalimantan-
tengah.html?m=1# pada tanggal 13 Juli 2018 pukul 12.32 WIB.
48

tidak diketahui darimana asalnya. Disaat godaan itu tiba, maka setiap

petapa harus mengatasinya, misalnya mampu mengatasi rasa sakit, dapat

bertahan dari sengatan serangga, digigit ular dan lain sebagainya. Bila

seluruh godaan tersebut dapat teratasi dan permohonannya dikabulkan,

maka biasanya akan muncul seorang manusia yang berwajah seram, tinggi

besar dan rambut panjang terurai, menyampaikan pesan, nasehat ataupun

keterangan yang diperlukan, tapi terkadang hanya ada suara yang akan

menyampaikan nasehat atau pesan. Selain itu ada pula yang datang berupa

wujud nenek moyang mereka yang telah meninggal.52

2.4 Kepercayaan Suku Bangsa Dayak

Kepercayaan suku Dayak, sejak zaman dahulu telah memeluk agama

Kaharingan sebagai agama asli sebagian besar suku-suku dayak di

Kalimantan. Saat ini sebagian besar masyarakat suku Dayak tetap

mempertahankan agama Kaharingan, sedangkan sebagian lain telah memeluk

agama Kristen dan juga agama Islam. Tetapi walaupun sebagian dari suku

Dayak telah memeluk agama Kristen dan Islam, beberapa tradisi Kaharingan

masih mereka laksanakan, seperti upacara Tiwah yang terkenal di kalangan

masyarakat dayak di Kalimantan Tengah.53

Kaharingan mengajarkan kepada masyarakat penganutnya untuk

menghormati arwah nenek moyang. Mereka menganggap bahwa arwah nenek

moyang itu selalu memperhatikan serta melindungi anak cucunya yang masih

52
Salam, Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h.
187-189.
53
Fimier Liadi, “Penelusuran Sistem Kepercayaan Suku Dohoi (Anak Suku Ot Danum) di
Tumbang Samba Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah”, Palita: Journal of Social-Religion
Reserch, Vol. 2, No. 2, Oktober 2017, h. 135-136.
49

hidup di dunia. Selain itu mereka juga percaya bahwa hambaruan (jiwa) orang

yang mati itu meninggalkan tubuh kemudian menempati alam sekeliling

tempat tinggal manusia yang disebut liau.

Selain percaya kepada arwah nenek moyang, mereka percaya juga

bahwa setiap benda, baik benda hidup maupun benda mati mempunyai jiwa

atau roh. Jiwa atau roh benda-benda itu dalam kehidupan sehari-hari selalu

diperhatikan dan dihormati. Di samping itu, mereka juga percaya akan adanya

kekuatan gaib. Kekuatan-kekuatan gaib itu biasa terdapat pada segala macam

benda baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda mati

seperti batu-batu, kayu besar, dan guci. Demikian mereka percaya bahwa alam

sekitar hidupnya penuh dengan makhluk-makhluk halus dan roh-roh yang

menempati tiang rumah, batu-batu besar, pohon-pohon besar, hutan, air dan

semua benda yang ada disekeliling mereka.54

Suku bangsa Dayak mempercayai adanya alam makhluk-makhluk

halus, yang meliputi: Orang gaib tinggal di bumi lamah, berbentuk manusia

gaib, mati dan melahirkan, hidup bermasyarakat seperti manusia biasa, dari

lapisan raja-raja, bangsawan, kesatria, ulama, dukun dan sebagainya. Dalam

hal ini golongan raja-raja mitologis sampai dengan beberapa raja historis

dikategorikan dengan manusia alam gaib ini. Kepercayaan kepada para datu;

kepercayaan ini juga amat umum di daerah Kalimantan Selatan. Datu-datu ini

terkenal dalam cerita rakyat, berupa mitologi mengenai macam-macam aspek,

seperti datu Pujung, datu pegunungan bukit Meratus, datu Kertamina, datu

yang menguasai para buaya, datu Sapalla dan sebagainya.

54
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebudayaan
Kalimantan, h, 63.
50

Kepercayaan kepada kekuatan yang gaib adalah umum berlaku di

pedesaan dan kota. Kekuatan-kekuatan gaib ini bersifat magic memiliki

kekuatan-kekuatan positif atau negatif, dalam istilah daerah kekutan putih dan

kekuatan hitam. Dalam hal ini yang bersumber kebudayaan asli daerah yaitu

Kaharingan terdapat jenis-jenis kekuatan-kekuatan gaib yang digunakan untuk

membunuh, merusak hidup orang dan sebagainya. Seperti jenis-jenis parang

maya, jenis-jenis tundik, yang merupakan sistem untuk membunuh musuh dari

jarak jauh secara halus dengan kekuatan gaib.

Parang maya adalah jenis untuk membunuh musuh dari jarak jauh

dengan memiliki batas waktu seperti sakit-sakitan dan kemudian mati dan

langsung mati tanpa adanya sakit-sakitan atau batas waktu. Sementara tundik

digunakan untuk mencelakan orang atau musuh dengan kekuatan gaib dengan

cara menusuk patung orang yang ingin dibunuh dengan tombak. Bila tombak

yang dipergunakan untuk menombak tersebut berdarah, berarti orang yang

dimaksud telah mati.55

pandangan kosmologi masyarakat Dayak mengatakan bahwa alam

semesta ini terbagi menjadi dualitas sifatnya. Alam atau mereka sebut dikuasai

oleh Mahatala yang digambarkan sebagai burung enggang dan alam bawah

oleh Jata digambarkan sebagai naga. Alam atas bersifat jantan sedangkan

alam bawah bersifat betina.56

Mitologi penciptaan alam dunia dan manusia mengatakan bahwa

semua yang ada diciptakan Mahatala dan Jata Bersama-sama dan diatur

55
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Istiadat Daerah
Kalimantan Selatan, (Jakarta: PN Balai Pustaka, tanpa tahun), h. 120.123.
56
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Kalimantan
Selatan, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1978), h. 15.
51

Bersama-sama pula. Keduanya merupakan suatu kedwitunggalan. Ilah

Dwitunggal ini mencerminkan sifat alam serba dua dalam ketunggalan, seperti

baik-buruk, putih-hitam, terang-gelap, dan seterusnya, semua melukiskan sifat

etis-religius yang ambivalen. Ilah Dwitunggal ini dengan sifat serba dua tadi

memanifestasikan diri dalam sifat-sifatnya yang dilaksnakan oleh Ilah-ilah

pengantara. Yang kedua ini mewujudkan karakter etis-religius yang ambiven

dari Ilah Dwitunggal tadi.Dalam tiap upacara, baik peserta maupun pimpinan

upacara terlibat dalam pengelompokan ini. Balian pendeta wanita disebut

Naga yang berohkan garuda.

Dalam pemikiran religus sehari-hari Ilah Dwitunggal ini digambarkan

secara antropomorfis sekali, sebagai laki-laki dan wanita. Suku Bangsa Dayak

percaya banyak roh, ada roh yang baik dan ada roh yang jahat. Ada yang

dipandang sebagai pembantu alam atas, ada uang dipandang sebagai pembantu

alam bawah, roh-roh itu adalah:

a. Ilah Kilat atau Raja Pali bertindak dalam pelanggaran adat dan hukum

adat.

b. Raja Ontong, memberi rezeki, kekayaan dan kemakmuran.

c. Raja Sial, mendatangkan kecelakaan dengan memberikan kerugian,

kematian dan sebagainya.

d. Raja Hanteun, memberi segara kerusuhan, pengrusak, mengganggu

manusia dengan sihirnya.

e. Raja Peres, penyebar penyakit atau sumber penyakit.57

57
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Kalimantan
Selatan, h. 25.
BAB III

PEMIKIRAN PARA PENULIS INDONESIA MENGENAI AGAMA DAN

KEBUDAYAAN SUKU BANGSA DAYAK DI KALIMANTAN

3.1 Karya Para Penulis Indoneisa Mengenai Kaharingan

A. Syamsir Salam

Syamsir Salam, lahir di Sumatra Barat 20 Juli 1945 adalah ketua

Lembaga Penelitian sekaligus salah satu guru Besar Fakultas Dakwah dan

Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, Salam juga

pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah di IAIN Antasari

Palangkaraya Kalimantan Tengah. Salam menghabiskan Strata 1 (S1) di

UIN Jogja dengan jurusan Pengembangan Masyarakat, sementara Salam

memperoleh gelar Magister dan Doktornya di IPB dengan jurusan

Sosiologi Pedesaan.Tidak hanya mengenai Kaharingan Salam juga

menulis beberapa buku seperti: Menuju Islam Berkeadaban (2007);

Metodelogi Penelitian Sosial (2006); Sosiologi Pedesaan (2008) dan

masih banyak lagi.58

Salah satu karya Syamsir salam yang dirumuskan dengan judul Agama

Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah (2009)

adalah salah satu karya yang dibuat sebagai refrensi yang tepat untuk

skripsi saya. Syamsir Salam dalam karyanya mengambil dua pandangan

yang mendorong Salam untuk mempelajari masalah-masalah yang

58
Daftar Riwayat Hidup Syamsir Salam didapatkan dari TU Fakultas Dakwah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

52
53

berkaitan dengan agama, terutama mengenai Kaharingan dalam suku

Dayak di Kalimantan. Pertama, Fridolin Ukur yang mengatakan:

“barang siapa yang memahami agama-agama penduduk Indonesia serta

melihat proyeksinya dalam kehidupan sehari-hari, akan mengakui kebenaran

pendapat umum yang menyatakan masyarakat Indonesia adalah masyarakat

yang religius, sehingga segala adat dan tradisi, hukum dan moral, kehidupan

sosial, kekeluargaan dan ikatan kekerabatan, semuanya mempunyai

hubungan dengan dasar-dasar religius yang berkembang dalam masyarakat.

Itulah makanya agama merupakan kekuatan yang menentukan di dalam

keseluruhan tindakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Kedua, hasil penelitian proyek penelitian agama dan kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari Balitbang agama (1976-1977) yang

menyatakan bahwa penelitian di bidang agama di Indonesia oleh ahli-ahli

Indonesia masih dirasakan langka, hal ini mungkin disebabkan beberapa

faktor, yakni adanya rasa segan para peneliti agama terhadap masalah-

masalah agama.59

B. Harun Hadiwijono

Dr. Harun Hadiwijono adalah Guru Besar dan Rektor Sekolah Tinggi

Teologi “Duta Wacana” yang sekarang menjadi Fakultas Teologi

Universitas Kristen Duta Wacana di Yogyakarta. Beliau juga pernah

memperdalam pengetahuan di India. Karya-karya beliau yang diterbitkan

oleh BPK Mulia ialah: Kebatinan dan Injil, Teologi Reformatoris Abad

ke-20, Iman Kristen, Sari Filsafat India, Kebatinan Jawa dalam Abad ke-

59
Salam, Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h. 1.
54

19, dan juga buku yang akan saya bahas yakni Religi Suku Murba di

Indonesia (2003).

Dalam bukunya Harun membagi religi suku murba dalam 3 kelompok,

yakni: religi suku murba di Indonesia Timur (Flores, Sumba, kepulauan di

sebelah timur pulau Alor dan sebelah timur Laut Timor, dan Seram), religi

suku murba di Sulawesi (Toraja dan Minahasa), dan religi suku Murba di

Indonesia Barat (Kalimantan, Tapanuli, dan Nias).

Harun Hadiwijono menulis buku yang membahas mengenai religi suku

murba atau dalam ilmu pengetahuan disebut “religi bersahaja atau religi

primitif”. Disebut demikian karena ada prasangka bahwa suku-suku

bangsa yang masih bersahaja itu secara kebudayaan dan keagamaan

menunjukkan satu kesatuan. Di samping bentuk religi bermacam-macam

diperkirakan ada gagasan yang sama, sehingga religi yang banyak itu

disebut “religi bersahaja”. Namun, menurut Harun prasangka itu salah,

karena ada beberapa gagasan yang dapat disamakan tetapi umumnya para

ahli sudah mengakui bahwa sama sekali tidak ada kesatuan di antara

keyakinan-keyakinan suku bangsa yang bermacam-macam itu.

Selain itu ada juga yang beranggapan bahwa religi umat manusia

mengalami suatu evolosi atau perkembangan, yaitu bentuk terendah ke

bentuk tertinggi. Religi terendah itu ialah religi asal, yang disebut “religi

bersahaja atau religi primitif”. Sebutan ini digunakan untuk membedakan

antara religi yang masih di anut suku-suku bangsa yang bersahaja dan

religi yang dianut oleh bangsa-bangsa yang sudah modern. Keyakinan

seperti itu sudah ditinggalkan oleh para ahli, karena ternyata hingga saat
55

ini bangsa yang disebut modern itu masih ada keyakinan-keyakinan

bersahaja atau primitif. Seperti bangsa Barat masih memakai mascot

(semacam jimat) pada mobilnya, dalam bentuk boneka atau perwujudan

lainnya. Oleh karena itu Harun tidak menggunakan istilah “religi

bersahaja”, tetapi “religi suku murba” di dalam bukunya.60

C. Marko Mahin

Pdt. Dr. Marko Mahin, S. Th. MA. lahir di Sei Kayu, Kapuas 26 Maret

1969 adalah seorang pendeta juga antropolog Indonesia. Selain menulis

buku dan melakukan penelitian, beliau juga aktif sebagai staff pengajar di

STT GKE Banjarmasin. Marko menyelesaikan semua pendidikan dasar

hingga menengah atas di PalangkaRaya. Ia memperoleh gelar Doktor

bidang antropologi setelah berhasil mempertahankan disertasinya berjudul

"Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah" pada

sidang terbuka Senat Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia pada 29 Desember 2009. Sebelumnya ia

menyelesaikan pendidikan S2 Master of Arts (MA) di Fakultas Teologi,

Universitas Leiden-Belanda pada tahun 2003. Ia juga masih aktif dalam

Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) sejak tahun 2007. Selain

itu, ia juga menulis buku dan melakukan penelitian, salah satunya adalah

"Baseline Survey of Knowledge, Attitude and Perception of People Who

Live in Buffer Zone of National Park Sebangau in Central Kalimantan-

Indonesia."61

60
Harun, Suku Murba di Indonesia, h. 1-2.
61
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Marko_Mahin pada tanggal 26 Agustus 18
pukul 12.48 WIB.
56

Dalam disertasi Marko Mahin dengan judul Kaharingan: Dinamika

Agama Dayak di Kalimantan Tengah (2009) menggunakan wawancara

mendalam dan pengamatan terlibat. Sebelum itu untuk mendapat

gambaran yang luas maka ada 2 hal yang dipaparkan oleh Marko, yakni

pertama adalah masyarakat Dayak Ngaju yaitu orang-orang yang

menghidupi dan hidup dalam kaharingan. Kedua adalah ruang atau pentas

sosial dimana Kaharingan adalah proses kehidupan sosial, maka para aktor

atau agen yang menghidupinya adalah orang-orang Dayak Ngaju

Kaharingan dan pentas sosialnya adalah Kalimantan Tengah. Dengan

demikian dapat dijelaskan bahwa sebagai agen, penganut agama

Kaharingan adalah produk dari budaya dan sejarah.62

Namun banyak yang masih memberi label kepada para penganut

Kaharingan bahwa mereka tak beragama, dan kelak akan hilang atau sudah

tidak ada lagi para penganutnya. Tujuan Marko menulis disertasi ini

karena menurut Marko Kaharingan telah digambarkan sewenang-wenang,

bahkan hingga melabeli Kaharingan adalah agama para pengayau. Marko

meyakini pasti ada penjelasan ilmiah yang lebih manusiawi dan tidak

diskriminatif. Oleh karena itu untuk melakukan penelitian ini, Marko

membaur selama 1 tahun untuk mengkaji Kaharingan dan menulis

disertasinya.

D. Diana H. Sofyah

Salah satu karya Diana yang saya paparkan di sini ialah Tesisnya yang

berjudul Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep

62
Marko, Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, h. 341-342.
57

Dasar Pengobatan Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota

Madya Palangkaraya (1997).Dalam tesisnya, Diana menggunakan jenis

penelitian deskriptif dengan penekunan pada data-data kualitatif, dan

didukung data-data survei.Sementara teknik pengumpulan data yang

digunakan Diana ialah dengan melakukan observasi dan wawancara.

Lokasi yang dipilih Diana juga adalah Palangkaraya, karena di

Palangkaraya terdapat Sekolah Tinggi Agama Kaharingan serta majelis

Besar Kaharingan.63

E. Edy Suprabowo

Edy Suprabowo dalam karyanya yang berjudul Praktik Budaya dalam

Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak Sanggau (2006)

bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa praktek budaya

masyarakat Suku Dayak Sanggau yang berpengaruh terhadap kehamilan,

kelahiran, dan nifas. Menurut WHO, kematian ibu masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat utama di berbagai negara di dunia dengan angka

kematian rata-rata 400 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu

di Kalimantan Barat adalah 442 / 100. 000 kelahiran hidup berada di atas

angka rata-rata dunia tersebut.

Penelitian ini memakai metode penelitian kualitatif dan pengumpulan

data yang meliputi wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah

(DKT) dan observasi langsung. Dalam hasil karya Edy disebutkan ada

beberapa istilah-istilah lokal yang berhubungan dengan kehamilan,

persalinan dan nifas pada masyarakat Dayak Sanggau tersebut antara lain :

63
Diana, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep Dasar Pengobatan
Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya, h. 29.30.
58

Ngidam (Ngeraah), kaki bengkak (bosu,muntut), serotinus (kandung

babi), keguguran (mulus, kelabuh), presentasi bokong (lipat kajang),

presentasi kaki (turun tangga).64

F. Fransisca Murti Setyowati

Fransisca Murti Setyowati meneliti peran tumbuhan dalam menunjang

kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan khususnya Dayak Ngaju di

Kalimantan Tengah, metode yang di pakai oleh Fransisca yakni observasi

lapangan dan juga wawancara kepala desa dan beberapa tokoh. Di dalam

karya fransisca yang berjudul Enbotani Masyarakat Dayak Ngaju di

Daerah Timpah Kalimantan Tengah (2005).

Suku Dayak di Kalimantan Tengah, sangat bergantung pada sumber

daya alam di sekitarnya untuk makanan, obat-obatan, kosmetik, bahan

bangunan, dan penggunaan lainnya. Oleh karena itu Fransisca melakukan

penelitian keanekaragaman pemanfataan tumbuhan tersebut, untuk

mengetahui seberapa jauh peran tumbuhan dalam menunjang kehidupan

masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi lapangan

dilakukan di antara ngaju menggunakan pengamatan langsung dan

wawancara orang-orang kunci termasuk pemimpin masyarakat, tabib

tradisional dan keluarga lokal.65

64
Edy, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak
Sanggau,” h. 113.
65
Franiscadkk, Enbotani Masyarakat Dayak Ngaju di Daerah Timpah Kalimantan Tengah,
h. 502-503.
59

G. Edy Tandililing

Edy Tandililing memiliki karya yang berjudul Pengembangan

Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan Etnomatika

Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas

Pembelajaran Matematika di Sekolah (2013), dalam karya tersebut Edy

merumuskan beberapa pertanyaan yakni; Etnomatika apa saja yang

dipraktikan masyarakat suku Dayak Kanayt’n di Kalimantan Barat dan

bagaimana bentuk aktivitas yang bernuansa matematika dan bersifat

operasi hitungan yang dimiliki dan berkembang dalam masyarakat Dayak

Kanayat’n di Kalimantan Barat?

Target yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah pengembangan

etnomatika berbasis budaya lokal di Kalimantan Barat dalam upaya

pengembangan pembelajaran matematika di sekolah khususnya sekolah

dasar. Teknik pengumpulan data yang digunakan Edy yakni menggunakan

beberapa metode (multi methods), pengamatan, studi dokumenter, diskusi

kelompok terfokus, dan wawancara mendalam (indepth interview).

Sementara subyek penelitian yang digunakan Edy adalah siswa, pemuka

adat, guru dan tokoh masyarakat Dayak Kanayat’n yang mengenal benar

sastra lisan, artifak-artifak, perainan tradisional, dan praktik etnomatika

yang berlaku dalam masyarakat. Subyek penelitian sebanyak 18 orang

tokoh masyarakat dari empat kabupaten berbahasa Dayak Kanayatn’.66

66
Edy, Pengembangan Pembelajaran Metematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Matematika di Sekolah, h. 195.
60

H. Agung Hartoyo

Senada dengan karya Edy Tandililing, Agung Hartoyo juga menulis

jurnal mengenai etnomatika pada budaya masyarakat Dayak kabupaten

Sanggau Kalimantan Barat. Penelitian yang dilakukan oleh Agung

bertujuan untuk mengungkapkan etnomatika yang dipraktekan oleh

Masyarakat Dayak di perbatasan Indonesia-Malaysia wilayah Kalimantan

Barat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Penelitian ini menekankan

pada upaya mencari pemahaman aktivitas masyarakat dalam pengebangan

ide-ide matematika dari dunia real. Untuk mencapai maksud tersebut,

Agung memerlukan pendekatan interprevitisme dengan metode

interpretative understanding.

Dengan demikian, jenis penelitian yang sesuai dengan kondisi tersebut

adalah penelitian kualitatif. Pada studi eksplorasi ini diinventarisir konsep-

konsep matematika (etnomatika) yang terkandung dalam budaya

masyarakat atau digunakan dalam berbagai aktivitas kehidupan

masyarakat Dayak perbatasan Indonesia-Malaysia. Metode pengumpulan

dan analisis data yang digunakan Agung yakni: pengumpulan data, reduksi

data, display data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.67

67
Agung,“Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat Dayak Perbatasan Indonesia-
Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR, h. 16.
61

3.2 Agama Kaharingan Menurut Para Penulis Indonesia

Kaharingan adalah kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan,

ketika agama lain belum memasuki Kalimantan. Istilah Kaharingan artinya

tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan),

maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

(Ranyiang Hatalla Langit), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan

dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan.

Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun

1944, saat ini menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin.

Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan

agama Dayak. Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai

Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah

Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan

Doa), Tawur (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara

menabur beras), dan sebagainya.68

Dalam hal ini saya akan memaparkan pemikiran 8 penulis Indonesia

dalam aspek agama:

1. Syamsir Salam

Suku Dayak mendiami hampir seluruh pulau Kalimantan, dan mereka

mempunyai pandangan bahwa alam yang mereka diami mempunyai

kekuatan-kekuatan gaib atau roh-roh yang mempunyai kekuatan melebihi

dari mereka, sehingga mereka menganggap harus menjaga prilaku dan

mengambil hatinya agar terhindar dari segala marabahaya. Tidak hanya

68
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan pada tanggal 03 Oktober 2018
pukul 17.56 WIB.
62

alam, mereka juga yakin terhadap manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan,

dan benda-benda mati lainnya mempunyai kekuatan gaib atau kekuatan

sakti. Kekuatan tersebut dapat bertambah, berkurang dan berpindah-

pindah sehingga mereka percaya bahwa kekuatan tersebut diperlukan

untuk menambah kekuatan mereka sendiri dan mereka harus menghormati

benda-benda tersebut dan menggunakannya sebagai bagian dari kekuatan

mereka sendiri.

Sistem sosial dan kerohanian Kaharingan didapatkan dari nenek

moyang secara langsung, dan diceritakan kembali ke anak-anak dan cucu-

cucunya secara turun-temurun sehingga masih tetap terjaga, walaupun

masih ada perubahan, namun tidak dalam hal pokok-pokoknya yang masih

berkembang dan terjaga hingga saat ini.

Menurut Salam Kaharingan tidak dapat disebut sebagai salah satu

paham kegamaan dari dinamisme, animisme, politeismi ataupun

monoteismi, karena yang apa yang ada di dalam dinamisme, animisme,

politeisme dan monoteisme terdapat pula di dalam Kaharingan. Dengan

demikian Kaharingan memiliki semua paham-paham yang berkembang

dikalangan agama-agama masa kini. Jika dilihat dengan kacamata histori

suku Dayak, agama Kaharingan lebih cocok dikatakan agama masa

lampau, karena yang dikatakan Sarwoto Kertodiporo Kaharingan

merupakan sisa-sisa agama Hindu maupun agama Budha. Lebih jauh

ditegaskan bahwa Kaharingan, Hinduisme, serta Budhisme di Indonsia

semuanya memang agama masa lampau, namun Kaharinganlah yang

tertua. Oleh karena itu Kaharingan merupakan agama asli di bangsa


63

Indonesia, yang masih eksis hingga sekarang dan dianut oleh suku Dayak

Kalimantan umumnya dan Kalimantan Tengah khususnya.69

Senadanya dengan Marko, Marko juga pernah mengatakan:

“Kaharingan itu agama para leluhur Dayak. Saya terpanggil meneliti

sekaligus menyelami keluhurannya,”

Ujar Marko yang juga memperoleh Visiting Research Fellowship, Asia

Research Institute (ARI) of the National University of Singapore, pada

Mei-Juni 2008.70

Selain itu juga suku Dayak sangat menghormati arwah nenek moyang,

karena mereka menganggap arwah nenek moyang selalu menjaga dan

memperhatikan cucu-cucunya yang masih hidup. Karena itu mereka

melakukan upacara sebagai ungkapan rasa cinta dan hormat mereka

kepada arwah nenek moyang.71

2. Harun Hadwijono

Harun Hadiwijono, dalam karyanya yang berjudul Religi Suku Murba

di Indonesia (2003) menjelaskan bahwa Seluruh religi suku Dayak di

Kalimantan harus dilihat dari gagasannya tentang para dewa dan tentang

penciptaan. Di satu pihak, Mahatala yang menampakkan diri dengan

wujud burung enggang dan Jata yang menampakkan diri sebagai naga

digambarkan dua kekuatan yang saling bertentangan, namun di pihak lain

mengatakan bahwa pertentangan ini dihapuskan artinya Mahatala dan Jata

69
Salam, Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h.
211-212.
70
Diakseshttps://tokoh.id/biografi/5-wiki-tokoh/antropolog-penyelami-kaharingan/
pada tanggal 08/08/2018 pukul 20.30 WIB.
71
Salam, Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h.
213.
64

bersatu. Oleh karena itu motif religi suku Dayak di Kalimantan adalah

pengaruh timbal balik antara pertentangan antara Mahatala dan Jata dan

tidak adanya pertentangan antar kedua dewa tersebut yang menjadikan

kedua dewa tersebut bersatu. Kesatuan kedua dewa tersebut lahir bukan

karena dualitasnya, bukan juga karena sifatnya yang dwiganda itu hilang

karena bersatunya mereka, melainkan di dalam kesatuannya mereka tetap

dua, dan di dalam sifat dwigandanya mereka tetap satu. Dengan demikian,

religi suku Dayak ini tidak mengajarkan adanya dua asa yang secara

hakiki saling bertentangan, tanpa dapat dipersatukan. Pada dasarnya di sini

ada suatu proses yang dialektis. Antagonisme ada senantiasa ditiadakan

lagi dalam suatu penciptaan baru yang mewujudkan suatu kesatuan yang

baru.

Gejala demikian tampak sebagai benang emas pada seluruh upacara-

upacara religius, di dalam lambang-lambang dan simbol-simbol, juga di

dalam tata tertib sosial, bahkan di dalam hidup rumah tangga dan

ekonomi, di dalam kesenian dan pembagian kerja, serta di dalam adat

istiadat, terlebih-lebih di dalam pesta kematian.72

3. Marko Mahin

Dalam disertasi Marko Mahin menjelaskan juga bahwa pada masa lalu,

untuk mengadapi kekerasan simbolik dari struktur objektif, bagi

Kaharingan telah bersedia jawaban sederhana yaitu konversi eksternal atau

berpindah ke agama lain. Namun pada masa kini, Kaharingan lebih

memilih menjawab konversi internal. Hal itu menimbulkan konsekuensi-

72
Harun, Suku Murba di Indonesia, h. 70-71.
65

konsekuensi dan menuntut siasat dan strategi yang tepat. Perlawanan,

siasat dan strategi itu dapat disebut sebagai ”Politik Agama”.73

Keterlibatan umat Kaharingan dalam ruang publik merupakan indikasi

bahwa praktik-praktik sosial yang dilakukan telah berhasil menggeser

posisi Kaharingan dari ketertindasan absolut ke posisi lebih baik, juga

indikasi dari pemilikan modal yang besar. Karena itu mereka cukup berani

mengajukan peraturan-peraturan permainan baru misalnya dana APBN

untuk Kaharingan, posisi Dirjen di Departemen Agama, bahkan

Kaharingan menjadi agama yang otonom. Praktik-praktik sosial yang

dilakukan memungkinkan mereka memiliki modal simbolik semakin besar

sehingga mempunyai keberanian mendeskriditkan “lawannya” sebagai

pelanggar HAM.74

Seperti di Plangkaraya pimpinan tertinggi umat Kaharingan adalah

majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK). MBAHK mengurusi

umat Kaharingan di seluruh provinsi Kalimantan Tengah. MBAHK

membawahi Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan (MDAHK) yang

mengurusi umat Kaharingan di tingkat kabupaten. MDAHK membawahi

Majelis Resort Agama Hindu Kaharingan (MRAHK) yang mengurusi

umat di tingkat kecamatan, sedangkan MRAHK membawahi Majelis

Kelompok Agama Hindu Kaharingan (MKAHK) yang mengurusi umat

Kaharingan di tingkat desa atau kelurahan.

Sebuah organisasi, termasuk organisasi keagamaan tidak dapat

berjalan dengan baik apabila tidak didukung oleh adanya pendanaan yang

73
Marko, Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, h. 343.
74
Marko, Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, h. 344.
66

mencukupi. Dalam organisasi MDAHK Kabupaten Kotawaringin Timur,

pendanaan paling tidak berasal dari dua sumber yaitu dana dari umat dan

juga dari pemerintah daerah, dalam hal ini PEMDA Kabupaten

Kotawaringin Timur. Dana dari umat didapatkan dalam bentuk

persembahan uang yang ditaruh di bokor yang disebut dengan istilah Duit

Singah Hambaruan. Dikumpulkan sebelum sembahyang dimulai, namun

jumlahnya sangat kecil yaitu anatara 60 ribu hingga ratusan ribu rupiah.

Selain itu ada persembahan khusus yang diberikan oleh keluarga

Kaharingan langsung kepada pengurus MDAHK Kabupaten Kotawaringin

Timur.

Dana yang cukup besar didapatkan oleh pengurus MDAHK dari

pemerintah daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. Sebelum tahun 2000,

setiap tahun pengurus MDAHK mendapat dana Rp2.500.000,- (dua juta

lima ratus ribu rupiah), namun pada tahun 2004 mendapatkan bantuan

dana Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk bantuan pembangunan

Balai Basarah, yang diresmikan pada tahun 2004 dengan menelan dana

Rp186.000.000,- (seratus delapan puluh enam juta rupiah). Balai Basarah

merupakan salah satu bagian dari rencana pembangunan Kaharingan

Centre. Adapun Kaharingan Centre nantinya meliputi:

a) Tempat Ibadah/ Balai Basarah

b) Rumah Duka

c) Sekolah Menengah Kejuruan

d) Museum Budaya

e) Tempat Pertunjukan Seni


67

f) Panggung Tiwah Massal

g) Tempat pembudidayaan tanaman-tanaman yang berkaitan dengan

ritual keagamaan.75

Sekitar kawasan Adat Masyarakat terutama bagi Kaharingan yang

tersebar di seluruh Kabupaten atau Kota ialah termasuk Kawasan strategis

dari sudut kepentingan sosial budaya, hal ini di cantumkan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kalimantan

Tengah 2016-2021 dalam arah kebijakan pengembangan Kawasan

strategis yakni Penetapan kawasan strategis provinsi (KSP) meliputi

kawasan strategis dari sudut kepentingan yaitu: pertumbuhan ekonomi,

sosial budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi

serta fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.76

Dengan demikian menurut Marko kesimpulan telah terjadi pertubrukan

antara konsep kultural Negara telah menghancurkan konsep kultral

Kaharingan adalah kesimpulan yang salah. Kaharingan justru semakin

mengenal dirinya sendiri dan memaparkan dirinya dengan konsep kultur

Negara atau struktur-struktur objektif di sekitarnya. Mereka melakukan

praktik-praktik, proses reproduksi yakni mengolah struktur-struktur

objektif itu demi kepentingan mereka sendiri, secara positif yakni

memanipulasi atas struktur dilakukan demi eksistensi diri.77

75
Nasruddin, DKK., Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi, (Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kebudayaan, 2011), h. 117-118.
76
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, RJMD Provinsi Kalimantan Tengah
2016-2017, No. 1 2017.
77
Marko, Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, h. 342.
68

4. Diana H. Sofyah

Dalam hasil kesimpulan Tesis Diana tersebut mengatakan bahwa

sistem pengobatan tradisional suku Dayak Ngaju dapat diklasifikasikan

menjadi:

a) Sistem pengobatan tradisional yang masih asli, dimana landasan logik

dan landasan tekniknya benar-benar murni berdasarkan kepercayaan

lama, yaitu Kaharingan. Para pengobata merupakan orang-orang yang

menganut agama Kaharingan.

b) Sistem pengobatan tradisional yang dipengaruhi agama Islam,

landasan Teknik berdasarkan kepercayaan lama, demikian pula

perangkat-perangkat yang digunakan banyak dipengaruhi kepercayaan

lama. Sedangkan landasan logiknya dipengaruhi agama Islam,

terutama dalam melegatimasi pengobatan itu sendiri.

c) Sistem pengobatan tradisional yang benar-benar dipengaruhi oleh

agama Islam baik landasan teknik maupun landasan logiknya

menggunakan moment yang sakral menurut agama Islam serta

menggunakan doa.

d) Sistem pengobatan tradisional yang berdasarkan pengalaman dan hasil

yang dilihat selama berabad-abad, seperti penggunaan ramuan tumbuh-

tumbuhan tanpa menggunakan mantra-mantra apapun.78

Dalam praktik pengobatan terlihat adanya keterkaitan antara agama

Kaharingan dan agama Islam dengan konsep-konsep pengobatan, konsep-

konsep penyakit serta landasan logiknya. Percampuran kedua konsep

78
Diana, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep dasar Pengobatan
Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya, h. 179-180.
69

agama tersebut dalam pengobatan semakin terlihat nyata praktek

pengobatannya, terlihat jelas adanya unsur-unsur kedua agama tersebut

dalam setiap tindakan pengobatannya. Konsep-konsep pengobatan,

pandangan atas penyakit cara-cara pengobatan dan penentuan obat dan

cara pengobatan berlandaskan konsep-konsep kosmologi Kaharingan

sementara alat legitimasi menggunakan doa agama Islam.79

Sebenarnya hubungan masyarakat di sana dengan Islam relatif cukup

lama bahkan sebelum agama Islam didakwahkan dan kemudian diterima

sebagai agama oleh sebagian masyarakat. Hubungan ini terlihat dalam

budaya pinjaman yang ditemukan berasal dari tradisi penganut agama

Islam. Contoh mantra yang dapat membuktikan hal ini, ialah:

Mantra mata untuk penyakit mata“Bi ism Allah ya Rahman ya Rahim

Ambun ijau ambun kuning Ambun manikam raja manawar Aku nuruntan

tawaran saribu Anak ikan putih dari lautan Panas sajuk barat ringan

Tajam tumpul bisa tawar Sah tawar.”

Mantra Kempunan untuk sakit karena kekuatan gaib “Bi ism Allah ya

Rahman ya Rahim Pariu’ si parunggu Barisi’ ruman padi Turun dato’

petara guru Nawari’ kempunan ku tadi’ Jilat makatn.”

Kata-kata bi ism Allah al-Rahman al-Rahim atau kadang-kadang

diucap bi ism Allah ya Rahman ya Rahim yang terdapat dalam mantra-

mantra di atas dapat dipastikan berasal dari sistem kepercayaan Islam.

Mantra-mantra ini diperoleh dan diamalkan oleh mereka sejak sebelum

memeluk Islam. Inilah satu di antara sebab, Islam dapat diterima.

79
Diana, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep dasar Pengobatan
Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya, h. 183.
70

Kepercayaan terhadap kekuatan supranatural yang sudah tertanam secara

kuat mendapat tempat dalam ajaran Islam. Beberapa aspek kepercayaan itu

mirip dengan kepercayaan Islam seperti konsep tentang Tuhan yang

disebut Jubata. Bahkan, ada informan yang mengaku semakin yakin

dengan Islam ketika mengetahui bahwa sebagian atau keseluruhan bacaan

mantra-mantra yang diamalkannya berasal dari ajaran Islam. Keadaan ini

bisa dibandingkan peralihan agama seorang raja Patani, kawasan Thailand

Selatan, menjadi Islam setelah disembuhkan oleh seorang shaykh dari

Pasai. Setelah jumlah penduduk Muslim di daerah tersebut semakin

signifikan, praktik semacam ini tidak serta-merta hilang. Di Menggala,

daerah Lampung Utara, masyarakat masih menggunakan magi untuk

keperluan pengobatan. Magi tersebut merupakan gabungan antara

kepercayaan lokal dengan Islam. Pemanfaatan sumber-sumber lokal untuk

islamisasi dilakukan oleh elit lokal Islam dalam rangka penyebaran agama

ini yang disesuaikan dengan masyarakat desa yang sinkretik. Mulkhan

menyebut proses islamisasi yang demikian dengan “domestikasi” atau

penjinakan Islam.80

5. Edy Suprabowo

Dalam hasil penelitian Edy Suprabowo ini, Edy menjelaskan bahwa

masyarakat Dayak Sanggau mengetahui tanda-tanda kehamilan seperti

pembesaran perut, ngeraah atau ngidam, tidak datang bulan dan badan

lemas. Sementara tanda-tanda kehamilan yang diketahui yakni keluar

lendir darah atau biasa disebut calak, perut mulas, sakit pinggang, pecah

80
Hermansyah, “Islam dan Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Muslim Kanayatn
Dayak di Kalimantan Barat,” Islamica, Vol. 7, No. 2, Maret 2013, h. 349-350.
71

air ketuban atau piying nutup. Masyarakat Dayak Sanggau tidak mengenal

istilah nifas karena itu yang digunakan istilah masa setelah melahirkan.

Menurut masyarakat Dayak Sanggau lamanya masa nifas bervariasi, ada

yang menyatakan satu minggu, dua minggu dan satu bulan mereka tidak

tahu secara pasti berapa lamanya masa nifas.81

Dalam Kaharingan ada upacara selingkar hidup, selingkar hidup

manusia adalah sejak dari masa kehamilan, kelahiran, masa balig,

perkawinan, sampai dengan kematian. Masa-masa tersebut dianggap

masyarakat suku bangsa Dayak sebagai masa-masa kritis yang sering

mendapat gangguan dari makhluk-makhluk halus ataupun roh-roh jahat,

sehingga pada masa-masa perubahan seperti ini, mereka memerlukan

bantuan dari makhluk-makhluk halus atau roh-roh halus, serta campur

tangan orang lain melalui upacara inisiasi.

Ketika ibu hamil maka dilaksanakan upacara Nyaki Tihi. Istilah Nyaki

Tihi berasal dari dua kata yang secara substansi berbeda makna. "Nyaki"

dapat disamakan dengan "mamalas" yang secara literal berarti

"mengoleskan", sedangkan "Tihi" adalah "hamil" atau "mengandung". Jadi

jika dideskripsikan, Nyaki Tihi memiliki pengertian sebagai kegiatan atau

tindakan "memoles ibu hamil". Jadi Nyaki Tihi adalah memoleskan darah

kepada seorang wanita yang sedang mengandung atau hamil anak pertama

dalam masyarakat Dayak. Tujuan Nyaki Tihi ini karena keyakinan atau

kepercayaan terhadap perlindungan atau keselamatan ibu yang hamil,

sehingga upacara adat Nyaki Tihi merupakan semacam perlindungan

81
Edy, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak
Sanggau,” h. 114.
72

terhadap ibu yang mengandung bayi pertama (temei) ketika telah

menginjak usia kandungan 7 bulan. Uniknya, upacara itu hanya dilakukan

untuk kandungan bayi pertama. Terhadap kandungan bayi kedua dan

seterusnya tidak lagi.82

Pada saat persalinanya, biasanya dibantu oleh dukun bayi dan sebelum

melakukannya terlebih dahulu memohon izin kepada para roh dengan

membacakan mantra-mantra. Bila bayi telah lahir, maka ari-ari tersebut

dipotong lalu disimpan di dalam bakul yang beralaskan pelepah pinang

dan abu dapur. Bakul itu kemudian digantungkan diatas pohon buah-

buahan yang ada di sekitar rumah, atau dikubur di bawah tangga depan

pintu.

Pada saat pemotongan pusat bayi, dilangsungkan upacara yang disebut

nuhunan, upacara ini dimaksudkan agar bayi mendapat perlindungan dari

Ranyiang Hatalla Langit, serta roh-roh lainnya baik yang berada di alam

atas maupun alam bawah. Peralatan yang digunakan dalam upacara ini

ialah: satu batang sawang, yang dibungkus dengan tikar pandan dan diikat

dengan rotan, lalu sesajen berupa seekor ayam jago, lakar (wadah dari

rotan), kelambu, jala dan batu asah. Kemudian peralatan itu

dipersembahkan kepada Ranyiang Hatalla Langit, sebagai persembahan

dari keluarga atas keselamatan yang diberikan kepada bayi.83

Dengam dimikan, hasil penelitian Edy Suprabowo mengenai praktik

budaya dalam kehamilan, persalinan dan nifas terdapat aspek

82
Wilson, “Makna Upacara Nyaki Tihi Adat Dayak Ngaju di Desa Samba Danum Katingan,
Kalimantan Tengah”, Konstektualita, Vol. 26, No. 2, Desember 2009, h. 43-44.
83
Salam, Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h.
181.
73

keagamaannya, karena dalam kehamilan dan persalinan masyarakat Dayak

juga memiliki upacara keagamannya.

6. Fransisca Murti Setyowati

Telah saya paparkan sebelumnya bahwa tujuan Fransisca meneliti

enbotani masyarakat Ngaju adalah untuk mengetahui seberapa jauh peran

tumbuhan dalam menunjang kehidupan masyarakat Dayak Ngaju. Salah

satu hasil penelitian fransisca ialah pemanfaatan tumbuhan menjadi bahan

obat-obatan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak Ngaju masih

mempraktekan pengobatan secara tradisional. Dengan demikian hasil

penelitian fransisca dalam aspek keagaman ialah mengenai penggunaan

tumbuhan menjadi bahan obat-obatan. Sistem kepercayaanya didasarkan

kepada pemujaan kepada roh leluhur dan menganggap bahwa alam sekitar

mereka memiliki kekuatan melebihi mereka sehingga mereka harus

menjaga sikap agar alam tidak marah hingga memberikan kekacauan

terhadap hidup mereka.

mengenai kondisi sehat dan sakit (barigas dan haban), diyakini oleh

suku bangsa Dayak karena faktor-faktor alam, manusia dan roh-roh.

Sistem keyakinan terhadap sehat sakit (barigas haban) dalam tradisi suku

bangsa Dayak, tampak dalam sistem kosmologi suku bangsa Dayak yaitu

tentang harmonisasi manusia dan alam suku bangsa Dayak serta

pelestarian budaya. Kosmologi dalam suku bangsa Dayak dapat

digolongkan menjadi dua golongan yaitu kosmologi lisan dan tulisan.

Kosmologi lisan populer dalam masyarakat dengan sebutan tetek tatum

(cerita dari nenek moyang), lime sarahan dan telu kapataut belum.
74

Sedangkan kosmologi tulisan adalah dalam bentuk kitab Panaturan.84

Sikap masyarakat suku bangsa Dayak terhadap alam gaib dan upacara

religi dalam pelaksanaan pengobatan tradisional suku bangsa Dayak, hal

tersebut tampak pada kuatnya keyakinan suku bangsa Dayak dalam

melakukan perawatan penyakit melalui ritual pengobatan, magi dan laku

mistik suku bangsa Dayak.

Konsep pengobatan suku bangsa Dayak dalam kitab Panaturan termuat

dalam pasal 40 ayat 2 dan 19 sebagai berikut:

“Tinai eka ije inyuhu tuntang inampa awi Ranying Hatalla akan ewen ndue,

iete bagare: batang danum rasau kaput, puna batang danum tatau nyahukan,

tuntang aran ewen ndue into hete ije hatue bagare mangku amat sangen, ije

bawi bagare nyai jaya nyangiang, ewen ndue mijen huang ije parung hayak

mahaga garu bahari, santi mait, ulih mambelum tingang tapatusuk pimpinge

nampaharing haramaung nampalang bunu”.

Yang artinya : “Tempat yang diberikan bagi mereka berdua itu disebut

oleh Ranying Hatalla bernama batang danum rasau kaput, yaitu Batang

Danum Tatau Nyahukan dan nama bagi mereka berdua disebut dan

diberikan oleh Ranying Hatalla bernama Mangku Amat Sangen dan Nyai

Jaya Sangiang. Mereka berdua tinggal pada sebuah balai dan mereka

berdua mempunyai kesaktian yang bisa menghidupkan mayat.”

“Iyoh tingang esu rawei mangku amat sangen ewen ndue nyai jaya

nyangiang, kue tingang tatum tuh dia ulih mawi jalanan kanih kate mikeh dia

ulih ketun mahaga palin bambang penyang kue sintung ndue, basa amun

84
Kadek Sukiada, “Sistem Medis Tradisional Suku Dayak dalam Kepercayaan Hindu
Kaharingan di Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah”, DHARMASMRT, Vo. XIII, no. 26,
Oktober 2015, h. 54.
75

saluh sawak bambang penyang kue sintung ndue, pea ketun mite kue tingang

tatum tinai”.

Yang artinya: “Ya cucuku kata Mangku Amat Sangen dan Nyai Jaya

Sangiang, kami berdua kakek nenekmu, sudah tidak kuat lagi bepergian

jauh dan yang paling utama adalah karena banyak sekali pantangan

makanan yang tidak boleh kami berdua memakannya. Kalau pantangan

dilanggar, kami berdua tidak akan kalian lihat lagi.”85

Dengan demikian, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa pantangan

(pali) dalam melakukan pengobatan tradisional suku bangsa Dayak harus

di patuhi oleh pasien sakit untuk keberkhasiatkan pengobatan yang

dilakukan. Keyakinan terhadap pantangan dalam pengobatan tradisional

suku bangsa Dayak sangat menentukan keberhasilan pengobatan terhadap

segala macam jenis gangguan penyakit.

Dalam proses pengambilan bahan obat-obatan, orang Dayak percaya

bahwa segala yang ada di dunia ini ada rohnya. Kami percaya di air ada

rohnya, udara, api dan pada tumbuh-tumbuhan serta binatang ada rohnya.

Oleh karena itu, untuk mengambil bahan obat kita permisi dulu, dengan

menggunakan doa atau mantra, seperti :

”Nah tuh kayu kapanduan i kau akan tatamban, nah mudah-mudahan

anakku tuh ije buat paripit, dohop i kau mangat anakku tuh Salamat,

Panjang umur restu aku”

Yang artinya, “tumbuhan atau pohon ini, aku permisi mau mengambil

sebagian dari tubuhmu itu, aku pergunakan untuk bahan obat agar nanti

85
Kadek Sukiada, “Nikai Kebhinekaan Sistem Kosmologi Hindu Kaharingan dalam
Pengobatan Tradisional Suku Dayak”, Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017, h. 124.
76

anakku bisa disembuhkan, aku mohon kepadamu (mukzizat) agar anakku

selamat dan Panjang umurnya, itulah permohonanku”.86

7. Edy Tandililing

Etnomatika menurut Gardes sebagaimana dikutip Edy Tandililing

etnomatematika adalah matematika yang diterapkan oleh kelompok

budaya tertentu, kelompok buruh/petani, anak-anak dari masyarakat kelas

tertentu, kelas-kelas profesional, dan lain sebagainya. Dari definisi seperti

ini, maka etnomatika memiliki pengertian yang lebih luas dari hanya

sekedar etno (etnis) atau suku. Jika ditinjau dari sudut pandang riset maka

etnomatematika didefinisikan sebagai antropologi budaya (cultural

anropology of mathematics) dari matematika dan pendidikan matematika.

Sebagai contoh dalam penelitian ini, etnis suku Dayak Kanayat’n yang

mempunyai populasi terbesar diantara berbagai suku dayak di Kalimantan

Barat, budaya dan kehidupan dalam masyarakat banyak dijumpai yang erat

kaitannya dengan etnomatika. Matemaika sebagai ilmu dasar perlu

mengkaji dan menelaah dasar-dasar ilmu hitung atau komputasi yang

diterapkan dalam masyarakat untuk memperkaya pengembangan

matematika.87

Dalam hasil penelitin Edy mengatakan bahwa tradisi sastra lisan

Dayak Kanayat’n yang mengandung unsur-unsur matematika, kegiatan-

kegiatan tradisis sastra lisan tersebut antara lain : lalak, tanung, totongt,

mantik, bagago’, kobet, pelantar, bontong, nontong, pabayo, kalangkang,

86
Kadek Sukiada, “Sistem Medis Tradisional Suku Dayak dalam Kepercayaan Hindu
Kaharingan di Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah”, h. 60.
87
Edy, Pengembangan Pembelajaran Metematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Matematika di Sekolah, h. 193.
77

tumpang dan ikat kepala. Contoh : ikat kepala yang digunakan pada saat

pesta atau ritual selalu dipasangkan dengan bulu ruai yang diselipkan di

belakang atau samping kepala. Ikat kepala yang menggunakan 3 bulu

biasanya digunakan oleh laki-laki, 1 bulu ruai digunakan oleh wanita yang

dianggap mempunyai ilmu atau kesaktian, 7 bulu ruai digunakan oleh

seorang panglima atau pemimpin perang.

Contoh lainnya adanya etnomatika dalam tradisi lisan Dayak ialah,

hukuman mati seorang bengkakang (busung atau berdosa), hukumanan

adatnya sebanyak 3 tahil, 2 ekor babi, 24 pinggan, 2 ekor ayam.

Disamping itu tambahan hukuman adat lainnya yaitu: pertama, hukum

waris dua belah pihak sebanyak 4 siam, 4 ekor jalu dan 4 ekor ayam;

kedua, hukum Timanggong Siam Pahar atau pahar badangkop minimal 20

kg; ketiga, hukum pesirah Siam menyanyi yaitu jalu minimal 15 kg.88

Hasil penelitian Edy Tandililing mengenai pengembangan

pembelajaran matematika sekolah dengan pendekatan etnomatika salah

satunya ialah tradisi lisan Dayak Kanayat’n mengandung unsur-unsur

matematika, yang mana berarti ketika upacara keagamaan suku bangsa

Dayak adanya pengucapan, aturan-aturan yang harus dipenuhi serta

jumlah barang atau alat perlengkapan upacara, karena dalam berbagai

upacara adat suku bangsa Dayak Kanayat’n memiliki patokan dan jumlah

tertentu.

88
Edy, Pengembangan Pembelajaran Metematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Matematika di Sekolah, h. 196.
78

8. Agung Hartoyo

Menurut D’Ambrosio dalam Rachmawati, (2013:4), menyatakan

bahwa secara bahasa awalan “ethino” diartikan sebagai sesuatu yang

sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa,

jargon, kode perilaku, mitos dan simbol. Kata dasar “matIhema”

cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan

kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan,

dan pemodelan. Akhirnya “tIcs” berasal dari techne, dan bermakna sama

seperti teknik. Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai

“matematika yang dipraktekkan di antara kelompok budaya diidentifikasi

seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh, anak-anak dari

kelompok usia tertentu dan kelas profesional”. Istilah tersebut kemudian

disempurnakan menjadi “Saya telah menggunakan Etnomatematika

sebagai mode, gaya, dan teknik (tics) menjelaskan, memahami, dan

menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema) dalam sistem budaya

berbeda (ethnos).”89

Etnomamatika merupakan jembatan matematika dengan budaya,

etnomatika mengakui adanya cara-cara berbeda dalam melakukan

matematika dalam aktivitas masyarakat. Dengan menerapakan etnomatika

sebagai suatu pendekatan pembelajaran akan sangat memungkinkan suatu

materi yang pelajari terkait dengan budaya mereka sehingga pemahaman

suatu materi oleh siswa menjadi lebih mudah karena materi tersebut terkait

langsung dengan budaya meraka yang merupakan aktivitas mereka sehari-

89
Sri Rahmawati Fitriatien, Pembelajaran Brbasis Etnomatika, (Surabaya, PGRI Adi
Buana, Juni 2017), h. 5.
79

hari dalam bermasyarakat. Tentunya hal ini membantu guru sebagai

fasilitator dalam pembelajaran untuk dapat memfasilitasi siswa secara baik

dalam memahami suatu materi.90

Hasil penelitian agung hartoyo yang terdapat aspek keagamaannya

ialah “Menjelaskan”, “menjelaskan” merupakan salah satu akivitas yang

cukup sering dilakukan oleh masyarakat ketika menghadapi pertanyaan-

pertanyaan atau menyampaikan informasi dan pengetahuan kepada orang

lain. Dalam pandangan pendidikan matematika (NCTM, 1989) salah satu

kemampuan peserta didik yang ingin ditumbuh-kembangkan melalui

pembelajaran matematika adalah kemampuan dalam mengo-munikasikan

ide-ide yaitu kemampuan untuk memahami, mengevaluasi dan meng-

intrepretasi ide yang dimiliki serta menjelaskan kepada orang lain.

Aktivitas menjelaskan dalam masyarakat yang menerapkan matematika

informal itu ditemukan pada saat mereka berusaha untuk menyampaika

ide-ide yang ada pada dirinya kepada orang lain secara sistematis dan

mudah dipahami orang lain.91

Menjelaskan adalah salah satu hasil penelitian Agung mengenai

kegiatan Kaharingan dalam sehari-hari yang terdapat unsur etnomatika.

Senada dengan Edy Tandililing, “menjelaskan” juga dapat diartikan

sebagai tradisi sastra lisan, yang mana menurut Edy Tandililing

mengandung unsur-unsur matematika. Dengan demikian “menjelaskan”

adalah kegiatan masyarakat suku bangsa Dayak, seperti pengucapan-

90
Wahyu Fitroh dan Nurul Hikmawati, Prosding Seminar Matematika dan Pendidikan
Matematika, (Semarang, UMS, 2015), h. 336.
91
Agung Hartoyo,“Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat Dayak Perbatasan
Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR, h. 20.
80

pengucapan atau mantra-mantra yang di lisankan ketika melakukan setiap

upacara-upacara adat Kaharingan.

3.3 Kebudayaan Kaharingan Menurut Para Penulis Indonesia

Definisi kebudayaan menurut Ralph Linton sebagaimana di kutip oleh

Leonard Siregar, kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat

dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih

tinggi dan lebih diinginkan. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek

kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan

dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu

masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.92

Sementara definisi kebudayaan yang “klasik” dalam jurnal Bactiar

Alam yang ia kutip dari Taylor mengatakan bahwa, kebudayaan sebagai

“suatu kesatuan kompleks yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, hukum,

moralitas dan adat istiadat,” hingga pendekatan intreperatif yang Bactiar kutip

juga dari Clifford Geertz yang mencoba mempertajam pengertian kebudayaan

sebagai “pola-pola arti yang terwujud sebagai simbol-simbol yang diwariskan

secara historis, dengan bantuan manusia mengkomunikasikan, melestarikan

dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap hidup”.93

Dengan demikian, kebudayaan Kaharingan adalah tata cara hidup suku

bangsa Dayak dari satu kesatuan komplek seperti adat istiadat Kaharingan,

kepercayaan Kaharingan yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh

nenek moyang mereka yang hasil kegiatan tersebut di anggap tinggi dan yang

92
Leonard Siregar, “Antropologi dan Konsep Kebudayaan”, Antropologi Papua, Vol.1,
No.1, Agustus 2002, h. 5.
93
Bachtiar Alam,“Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan”,
Antropologi Indonesia 54, 1998, h. 2.
81

diinginkan. Berikut pemikiran para penulis Indonesia mengenai aspek

kebudayaan Kaharingan:

1. Syamsir Salam

Salam, dalam bukunya menjelaskan bahwa suku Dayak mempercayai

akan adanya kekuatan-kekuatan sakti dalam gejala-gejala dan peristiwa-

peristiwa luar biasa. Gejala-gejala dan peristiwa luar biasa itu dapat

berupa gejala-gejala alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh

manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda, dan suara yang luar

biasa. Sedangkan peristiwa yang luar biasa adalah peristiwa yang sangat

menyimpang dari kebiasaan hidup sehari-hari, yang sangat mengherankan,

tak masuk akal, sangat luar biasa, sehingga menimbulkan ketakutan, rasa

segan dan hormat.

Gejala alam yang dianggap mempunyai tenaga gaib salah satunya ialah

angin topan, yang seringkali menjadi penghalang para nelayan menangkap

ikan di sungai, serta merubuhkan rumah-rumah dan pohon-pohon besar

yang menimbulkan korban manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Sedangkan tokoh-tokoh manusia dianggap mempunyai kekuatan gaib,

bila dia dapat melakukan hal yang luar biasa, misalnya para balian yang

dapat menyembuhkan penyakit seseorang, atau bahkan dapat meminta

kembali sebagian roh yang telah diambil dari makhluk-makhluk jahat.

Selanjutnya ada orang kebal dari senjata-senjata tajam, orang yang

dapat mendatangkan ataupun mengusir hujan, tukang-tukang sihir yang

dapat membunuh atau mecelekakan orang lain dari jauh, baik dengan

menggunakan alat-alat tertentu ataupun hanya dengan mantra-mantra


82

belaka, semuanya dianggap mereka sebagai orang-orang yang mempunyai

tenaga gaib atau kekuatan sakti.

Para peramal, yang dapat meramalkan suatu kejadian masa datang,

dengan melihat jarang tangan, tanggal lahir ataupun tanda-tanda lainnya

dianggap pula sebagai orang yang mempunyai kekuatan gaib, meskipun

terkadang peramal itu tidak datang dari kalangan mereka sendiri.

Sementara benda-benda yang dianggap mempunyai mana (kekuatan sakti),

diantaranya guci, piring, mangkok, Mandau, batu-batuan dan lain

sebagainya.94

2. Harun Hadiwijono

Telah saya paparkan sebelumnya bahwa kebudayaan kaharingan

berarti berupa tata cara hidup suku bangsa Dayak seperti adat istiadat dan

kepercayaan suku bangsa Dayak, dan di buku Harun menjelaskan

beberapa kepercayaan suku bangsa Dayak Kaharingan yakni:

a) Kepercayaan terhadap Dewa

Harun menjelaskan di bukunya bahwa 2 tokoh dewa tertinggi ialah

Mahatala dan Jata, yang juga disebut Hatala atau Lahatala (sebutan

yang menunjukan pengaruh agama Islam) memiliki sebutan lain juga,

umpamanya Mohatara dan Bahatara Guru (sebutan yang

menunjukkan pengaruh agama Hindu). Nama aslinya adalah Tingang

(burung enggang). Sementara Jata (nama yang menunjukan pengaruh

agama Hindu) memiliki nama asli Tambon, dan sering juga disebut

94
Salam, Agama Kaharingan: Akar-akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, h.
121-122.
83

Bawin Jata Balawang Bulau, artinya wanita Jata berpintukan Permata

(vagina).

Cerita mengenai dua dewata ini saling bertentangan. Ada yang

mengatakan bahwa keduanya sudah ada sejak semula, tanpa ada yang

menjadikan, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa keduanya terjadi

karena sentuhan dua bukit. Mana yang benar sukar untuk ditentukan.95

b) Mite Penjadian

Di dalam mite penjadian dituturkan bahwa segala sesuatu terjadi dalam

bebera tahap:

Pertama, yaitu sebelum alam semesta dijadikan, yang ada semula

adalah dua bukit, yaitu bukit emas dan bukit permata tempat kediaman

dua dewa tertinggi. Tabrakan-tabrakan kedua bukit ini menghasilkan

alam, tabrakan pertama menyebabkan adanya awan, tabrakan kedua

menyebabkan adanya bentangan langit. Tabrakan ketiga menghasilkan

gunung-gunung dan batu karang, sedangkan tabrakan keempat

melahirkan bulan dan matahari. Tabrakan kelima menyebabkan adanya

burung-burung di langit dan ikan di laut. Tabrakan keenam melahirkan

binatang rawang riwo yang memiliki ludah emas, dan binatang didis

mahendra dengan mata batu permata. Akhirnya, tabrakan ketujuh

menghasilkan mahkota Mahatala yang terdiri dari emas dan dihias

dengan sebuah batu permata yang berdiri tegak. Inilah akhir dari tahap

pertama.

95
Harun, Religi Suku Murba di Indonesia, h. 57.
84

Tahap Kedua, tidak diceritakan dengan jelas namun dikatakan bahwa

akhir tahap kedua ini alam atas dan alam bawah sudah terjadi sebagai

suatu totalitas. Akan tetapi pada tahap ini manusia belum ada.

Tahap ketiga, Mahatala memanggil Jata untuk berunding di alam atas.

Dalam perundingan itu, Mahatala mengangkat mahkotanya ke atas.

Perbuatan ini menyebabkan tumbuhnya sebatang pohon-hidup yang

memiliki daun terbuat dari emas dan buah terbuat dari gading.

Cerita selanjutnya, ada dua ekor burung enggang (jantan dan betina)

yang hinggap di pohon itu. Kedua burung ini bertengkar sehingga

membuat pohon itu hancur. Dari bagian kayunya yang terpental oleh

patukan burung betina terjadilah perempuan, sedang yang laki-laki

tercipta karena lumut yang keluar dari burung betina ketika

tenggorokannya dipatuk oleh burung yang jantan. Perempuan dan laki-

laki inilah yang menjadi manusia pertama, dan mereka dikawinkan.

c) Kepercayaan Mengenai Alam Semesta (Kosmos)

Alam semesta terdiri dari tiga bagian, yaitu alam atas, alam tengah,

dan alam bawah.

Alam tengah, yaitu bumi tidak lain ruang hidup yang dikenal oleh suku

Ngaju, yang dipandang sebagai tanah suci. Tanah ini diterima dari

dewa mereka sebagai hadiah. Bumi dianggap terletak di Samudra

pertama, di antara alam atas dan alam bawah, di atas punggung Jata.

Selanjutnya bumi dibatasi oleh ekor naga yang ditegakkan di satu sisi

dan kepalanya di sisi lain.


85

d) Kepercayaan Mengenai Jiwa

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa suku bangsa Dayak mengenal

macam jiwa, hambaruan dan liau. Akan tetapi di balik kedua macam

jiwa ini terkandung dua macam konsepsi yang berbeda, yang tidak ada

hubungan antara satu dengan yang lain.

Hambaruan, adalah jiwa yang menggerakkan tubuh, baik tubuh

manusia maupun tubuh binatang. Liau baru tampil ke depan jika orang

sudah mati, dengan demikian liau berarti dari sang wafat sendiri, yakni

bentuk eksistensi manusia yang dimulai dengan kematiannya dan yang

sangat berbeda dengan bentuk eksistensinya yang semula.96

3. Marko Mahin

Sebelumnya telah saya paparkan hasil disertasi Marko dalam aspek

keagamaan, namun dalam aspek keagamaan tersebut terdapat juga aspek

kebudayaannya.Yakni strategi budaya Kaharingan, yang sekarang

Kaharingan dinyatakan Marko telah berhasil membawa kepada posisi yang

lebih baik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Marko, diketahui bahwa agar

dapat eksis sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama di panggung

kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah dan Indonesia, para aktivis

kaharingan dengan sadar melakukan praktik-praktik sosial kebudayaan

tertentu. Mereka menolak disebut “tanpa agama” atau “belum beragama”.

Bahkan mereka menolak disebut Aliran Kepercayaan. Mereka mengatakan

“kami bukan aliran kepercayaan, secara de facto kami adalah agama”.

96
Harun, Religi Suku Murba di Indonesia, h. 65-66.
86

Mereka dengan aktif membangun diri sebagai umat agama menurut

kreteria yang sangat khas Indonesia, yaitu melalui praktik-praktik:

a) Merumuskan bahwa agama Kaharingan adalah agama yang percaya

kepada Sang pencipta Ranying Hatalla yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

b) Menyusun Kitab Suci yang disebut dengan Panaturan dan buku-buku

keagamaan antara lain: Buku Ajar Agama Kaharingan yang berisi

kumpulan doa, pengakuan iman (credo) dan tata cara beribadah. Pada

tahun 1995 buku ini direvisi dengan judul baru Talatah Basarah. Buku

Tawur yang berisi petunjuk tata cara memohon pertolongan Tuhan

melalui upacara menabur beras. Buku kandayu yang berisi lagu-lagu

rohani Kaharingan, buku doa yang berisi formula-formula doa. Buku

pemberkatan perkawinan yang berisi tata cara melaksanakan ritual

perkawinan. Buku petunjuk mengubur yang berisi tata cara

melaksanakan ritual penguburan. Buku manyaki yang berisi formula-

formula doa dan tata cara melaksanakan ritual manyaki. Buku

penyumpahan/pengukuhan yang berisi tata cara dan formula-formula

doa yang harus diucapkan dalam acara pengambilan sumpah atau

pengukuhan jabatan.

c) Menyelenggarakan ibadah (upacara ritual keagamaan) mingguan

secara rutin yang disebut dengan Basarah yaitu setiap kamis atau

jumat malam.

d) Membangun rumah atau tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah

atau Balai Kaharingan.


87

e) Menyelenggarakan perayaan hari raya keagamaan tersendiri yaitu:

Hari Raya Maneneng Pekanan Batu (Hari Raya Mendiamkan Diri

Memberi Makan Batu) dirayakan satu kali setahun setelah panen

sekitar bulan Mei. Hari Raya Turunnya Ilmu Pengetahuan yang

dikenal dengan Bawi Ayah Muhun Bara Lewu Telu Akan Pantai

Danum Kalunen. Hari Raya Pekanan Sahur Lewu atau Hari Raya

Memberi Makan Roh Penjaga Kampung dilakukan satu kali setahun

sebagai ucapan syukur kepada Ranying Hatalla Langit, Jatha

Balawang Bulau atas perlindungan dan rahmat-Nya melalui Leluhur

Penjaga Kampung yang melindungi dan menjaga penduduk kampung.

f) Mendirikan lembaga atau organisasi keagamaan untuk melakukan

pembinaan kepada umat yang tersebar di desa-desa, kecamatan dan

kabupaten.

g) Mendidik guru agama dan mencetak buku pelajaran agama dari tingkat

SD hingga perguruan tinggi.

h) Mengadakan acara Festival Tandak yang serupa dengan Musabaqah

Tilawah Qur’an (MTQ) dan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesperawi).

i) Membangun kompleks perkuburan dan sandung.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penganut Kaharingan telah

melakukan politik kultural dan keagamaan ketika berhadapan dengan

struktur-struktur objektif yang ada di sekitar mereka. Mereka menjadi

individu-individu yang aktif, atau sebagai subjek yang menjalani proses

dialektika kehidupan yang terus menerus melakukan dialog dengan agen-

agen yang lain. Mereka melakukan strategi kebudayaan untuk melawan


88

budaya penyeragaman yaitu dengan melakukan reproduksi kebudayaan

dan melancarkan heterodoxa. Mereka menyusun siasat dan strategi,

mengorganisasikan dan menata diri sedemikian rupa, dengan tujuan agar

memiliki distingsi sosial yaitu kekuasaan untuk mengontrol persepsi,

pandangan, visi, juga cara pandang seseorang maupun kelompok sosial.97

4. Diana H. Sofyah

Tesis Diana dalam aspek keagamaan telah saya paparkan sebelumnya,

namun dalam aspek kebudayaan dari hasil penelitian Diana ialah sistem

pengobatan tradisional yang berdasarkan pengalaman dan hasil yang

dilihat selama berabad-abad,98 artinya sistem pengobatannya telah menjadi

budaya masyarakat Kaharingan yang telah diikuti atau dilakukan selama

berabad-abad.

Para pengobat dari bentuk kebudayaan asli seperti Balian,

Manyanggar, Manawur, dan Nyangiang adalah orang-orang yang

merupakan tokoh-tokoh agama Kaharingan dan karena tindakan-tindakan

pengobatan ini merupakan tindakan magi dan ritual yang mewujudkan

dalam tindakan pengorbanan memberikan persembahan sesajen serta

hewan korban, pembujukan, permohonan dan permintaan.

Kebudayaan Kaharingan juga terletak pada sistem pengobatan yang

berbeda. Jika pasien ternyata bukan pemeluk Kaharingan namun berlatar

97
Marko Mahin, “Multikulturalisme, Sebagai Resolusi Konflik dan Pembangunan
Harmoni: Studi Kasus Kaharingan di Kalimantan Tengah” diakses dari
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/02/17/multikulturalisme-sebagai-resolusi-konflik-
dan-pembangunan-harmoni-studi-kasus-kaharingan-di-kalimantan-tengah/ pada tanggal 07
oktober 2018 pukul 12.01 WIB.
98
Diana H. Sofyan, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep Dasar
Pengobatan Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya,
h. 180.
89

belakang asal adalah Kaharingan ( telah pindah agama) adanya keterkaitan

antara Kaharingan dengan Islam dengan konsep-konsep pengobatan,

konsep-konsep penyakit serta landasan logiknya. Percampuran kedua

konsep agama tersebut dalam pengobatan semakin terlihat nyata pada

praktek pengobatan dari pengobat yang belum lama meninggalkan agama

Kaharingan yaitu baru satu generasi, pasien yang mempunyai kakek dan

nenek merupakan penganut agama Islam.99

5. Edy Suprabowo

Masyarakat Dayak Sanggau memiliki kepercayaan selama

mengandung, proses persalinan hingga nifas. ketika sedang hamil ada

pantangan makanan yang tidak boleh dimakan seperti, daging binatang

yang hidup di lobang (trenggiling, daging ular dan daging labi-labi)

dengan alasan takut melahirkan akan susah keluar (persalinan macet).

Selain itu juga ada pantangan bagi suami maupun istri yang sedang hamil.

Perbuatan yang tidak boleh dilakukan istri salah satunya tidak boleh duduk

di tengah lawing atau pintu, duduk di tangga, menjahit bantal, merendam

pakaian, dan duduk di atas lesung. Sementara pantangan yang tidak boleh

dilakukan suami ialah memasang pukat (jaring untuk menangkap ikan),

memasang tajur (pancing), mengisis peluru, menambal perahu, menangkap

binatang hidup dalam lobang, membendung parit (anak sungai) dan sawah.

Alasan dilakukan pantangan tersebut agar ibu melahirkan dengan lancar.

Kepercayaan ketika persalinan tidak banyak seperti masa kehamilan,

anjuran yang diyakini yakni harus membuka tutup tempayan,

99
Diana, Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep Dasar Pengobatan
Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Khususnya Kota Madya Palangkaraya,h. 183.
90

mengosongkan peluru dalam senapan, membuka bendungan air sawah.

Tujuannya agar persalinan lancar. Sementara ketika nifas ada beberapa

pantangan makanan yang tidak boleh dimakan oleh ibu yang habis

melahirkan, yakni daging (3 bulan daging rusa, 1 bulan daging ayam dan

sapi, daging babi 8 bulan), telur (1 bulan), ikan, sayuran yang bersifat

dingin (1 bulan) seperti labu air, timun, perenggi (wuluh), dan sayuran

berbumbu (1 bulan). Anjuran yang dilakukan ibu setelah melahirkan yakni

duduk nyandar (kaki lurus bdan nyandar di dinding).100

Sementara menurut netralnews.com surat kabar online mengatakan ada

9 pantangan yang dilakukan ibu-ibu Dayak ketika hamil, yakni:

a) Pantang keluar senja hingga maghrib, karena pada saat itu dipercaya

ilmu jahat atau roh-roh jahat mencari mangsa dan target utamanya

adalah ibu-ibu hamil.

b) Pantang mengenakan bahan yang mengikat, dipercaya apabila calon

ayah atau ibu mengenakan bahan, seperti: kain, handuk atau tas yang

melilit leher, anak yang keluar nanti lehernya takan terlilit tali pusar.

c) Pantang menyebutkan usia kehamilan, calon ibu Dayak dilarang

menyebutkan usia kehamilan pada orang asing. Alasannya untuk

menghindari kelahiran yang dikunci (dibuat agar tidak kunjung

melahirkan), mungkin karena dendam masa lalu sehingga membuat

usia kehamilan tidak boleh diucapkan tanpa hati-hati.

d) Pantang membunuh hewan atau makhluk apapun, ditakutkan jika

melakukan membunuh makhluk apapun ini persalinan tidak lancar,

100
Edy, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak
Sanggau,” h. 116.
91

namun jika terpaksa maka harus mengucapkan “amit-amit” terlebih

dahulu dan mengatakan “ayo nak kita kerjakan ini”.

e) Pantang mengasah pisau tanpa air, Mengasah pisau tanpa air dianggap

akan berakibat manak teah ini adalah suatu kondisi dimana proses

kelahiran menjadi sulit karena teah atau kering. Tidak ada air ataupun

darah dan sangat menyakitkan.

f) Pantang menjelek-jelekan orang lain, Intinya orang tua atau ibu yang

sedang hamil, harus menjaga mulut untuk tidak berbicara yang jelek-

jelek. Karena, anak dalam kandungan memiliki hubungan yang benar-

benar tidak terpisahkan dengan ibunya. Sehingga, sikap kurang baik

dari sang ibu bisa diikuti atau ketularan ke anak.

g) Pantang mandi terlalu sore atau malam, pantangan ini ialah salah satu

mitos dalam Dayak dikarenakan dengan mandi terlalu sore atau malam

mengakibatkan air ketuban semakin banyak.

h) Pantang bermalas-malasan, Orang Dayak percaya bahwa keluarga

yang menanti kelahiran buah hati tidak boleh sering bermalas-malasan

dan hanya tidur-tiduran, karena berpengaruh pada janin. Selain

memperlambat proses kelahiran, kegiatan bermalas-malasan ini

dianggap kelak akan menghasilkan anak yang juga malas sehingga

untuk doa terbaik bagi calon buah hati, kita harus tetap bekerja seperti

biasanya namun tidak boleh diforsir terlalu berat, sewajarnya saja.101

101
Diakses dari http://www.netralnews.com/news/rsn/read/104265/inilah-9-hal-
pantangan-yang-dilakukan-ibu-ibu-dayak-saat-hamil pada tanggal 14 Agustus 2018 pukul 11.16
WIB.
92

Pada masa persalinan, banyak praktek budaya yang membahayakan

kehamilan, kesehatan ibu dan bayinya. Praktek budaya yang

membahayakan kehamilan adalah adanya anjuran selama hamil ibu harus

tetap beraktifitas rutin. Masyarakat Dayak Sanggau sebagian besar bekerja

sebagai petani dengan ibu rumah tangga melakukan pekerjaan tersebut

mendampingi suami. Ketika proses persalinan bidan kampung melakukan

dorongan (nyurung) pada perut ibu. Tindakan tersebut sangat berbahaya

karena dapat menyebabkan sobeknya rahim (rupture uteri). Tindakan

tersebut juga dilakukan tanpa mempertimbangkan kelengkapan

pembukaan kandungan.102

Dengan demikian, telah saya paparkan di atas bahwa hasil penelitian

Edy Suprabowo dalam aspek kebudayaan adanya kepercayaan pantangan-

pantangan untuk ibu hamil yang dimana kepercayaan tersebut merupakan

hasil dari budaya masyarakat suku Bangsa Dayak, begitu pula praktik

budaya persalinan yang membahayakan bagi ibu yang melahirkan adalah

salah satu aktivitas yang dilakukan masyarakat suku bangsa Dayak.

6. Fransisca Murti Setyowati

Di dalam karya fransisca yang berjudul Enbotani Masyarakat Dayak

Ngaju di Daerah Timpah Kalimantan Tengah (2005) menjelaskan bahwa

tumbuhan digunakan sebagai bahan obat-obatan, bahan pangan, tonik,

bahan kosmetik, bahan rempah dan juga bahan pewarna. Tercatat tidak

kurang dari 107 jenis tumbuhan terdiri dari 51 suku dan 86 marga yang

dimanfaatkan baik sebagai bahan pangan (56 jenis), obat-obatan (46 jenis),

102
Edy, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak
Sanggau,” h. 119.
93

kosmetik (4 jenis), bahan bangunan (9 jenis), pemanfaatan lain-lain (9

jenis), beberapa jenis di antaranya mempunyai fungsi ganda. Kehidupan

sehari-hari masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah masih

mempraktekan pengobatan secara tradisional walaupun sudah ada

pelayanan kesehatan berupa Puskesmas. Beberapa macam penyakit yang

disembuhkan dengan obat tradisional yakni demam, diare, malaria, obat

tetes mata, sakit urat, gatal-gatal, perawatan paska kelahiran dan lain-lain.

Bahan pangan yang digunakan tercatat tidak kurang dari 56 jenis

tumbuhan yang diambil di hutan oleh masyarakat Dayak Ngaju. Dari 56

jenis tumbuhan tersebut, yang dimanfaatkan buahnya ada 44 jenis. Suku

yang jenisnya terbanyak adalah Myrtaceae (7jenis), Moraceace (6jenis),

Sapindaceace (5 jenis), dan Clusuaceace ( 3 jenis).103

Hampir semua bagian organ tumbuhan dapat digunakan untuk

pengobatan, yaitu akar, batang, daun, kulit kayu, pucuk, rimpang, umbi,

bunga, buah, dan biji. Penggunaan tumbuhan obat dengan cara yang

sangat sederhana, pada umumnya organ tumbuhan direbus atau direndam

dalam air kemudian air rendaman diminum. Pengobatan penyakit luar

biasanya hanya dengan menghaluskan bagian tumbuhan obat dan

menempelkannya pada bagian tubuh yang sakit.104

Tumbuhan yang dimanfaatkan untuk memelihara kesehatannya

sebagai tonik tercatat 3 jenis tumbuhan, ada yang cara pengolahannya

dalam bentuk tunggal ataupun campuran. Campuran terdiri dari akar

103
Fransisca, Etnomatika Masyarakat Dayak Ngaju di Daerah Timpah Kalimantan
Tengah, h. 504-506.
104
Mahrus Aryadi, A. Fithria, Susilawati dan Fatria, ”Kearifan Lokal Masyarakat Dayak
Terhadap Tumbuhan Berkhasiat Obat di Lahan Agroforest Kabupaten Barito Utara,” Hutan Tropis,
Vo. 2, No. 3, November 2014, h. 237.
94

seluang belum dan akar tekerek, kedua jenis tersebut kemudian direbus

dan selanjutnya air rebusannya diminum, atau biasa juga yang berbentuk

tunggal yaitu dengan meminum rebusan dari kulit batang dan daun

bahantung. Selain tonik ada 4 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai

bahan kosmetik seperti bejakah kalanis, tayak dan kayu baluh. Di lokasi

penelitian ditemukan beberapa jenis tumbuhan yang digunakan sebagai

bahan rempah diantaranya gandis, sintok, dan kaja. Sementara jenis

tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna hanya ada 1 jenis

di lokasi penelitian yakni jenis ehang. Cara pengolahannya yakni kulit

kayunya ditumbuh ditambah dengan air sedikit, selanjutnya digunakan

untuk mengecat perahu.105

Dalam aspek kebudayaan ini, hasil penelitian fransisca memiliki

kesimpulan bahwa masyarakat Ngaju memiliki kebiasaan menggunakan

tumbuh-tumbuhan dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Seperti,

kebiasaan mengkonsumsi tonik dari bahan ramuan tumbuh-tumbuhan

berupa akar seluang, akar tekerek dengan cara direbus dan diminum air

rebusan tersebut, guna untuk memelihara kesehatan.

7. Edy Tandililing

Hasil-hasil penelitian Edy meliputi:

1. Aktivitas dalam kehidupan sehari-hari suku Dayak Kanayat’n yang

bersifat operasi hitung, kegiatan tersebut dikelompokkan dalam:

a) Membilang, membilang berkaitan dengan pertanyaan “berapa

banyak?”. Beberapa jenis alat yang sering digunakan oleh suku

105
Fransisca, Etnomatika Masyarakat Dayak Ngaju di Daerah Timpah Kalimantan
Tengah, h. 505-507.
95

Dayak Kanayat’n untuk membilang adalah jari tangan, tangan,

batu, tongkat, dan tali (rotan dan akar). Pada berbagai upacara adat

atau upacara ritual di masyarakat Dayak Kanayat’n ada ungkapan

kata-kata membilang. Ucapan kata-kata membilang diucapkan oleh

tua-tua adat dan temenggung. Ucapan tersebut tidak hanya sekedar

ucapan belaka, tetapi memiliki makna yang sangat mendalam dan

mengandung hal-hal yang ritual dan sakral karena menyangkut

seluruh aspek kehidupan manusia.

b) Mengukur, mengukur umumnya berkaitan dengan pertanyaan

“berapa (Panjang, lebar, tinggi, lama dan banyak)”. Pada

masyarakat Dayak Kanayat’n alat ukur digunakan sangat bervariasi

baik jenis maupun penggunaanya. Alat ukur yang sering digunakan

antara lain: untuk ukuran banyaknya menggunakan istilah: saikat

(satu ikat), salongkop (satu batang) dan salonggo (satu tumpukan

dari seikat).

c) Menentukan lokasi, dalam kebiasaan masyarakat Dayak Kanayat’n

banyak konsep geometri yang diawali dengan menentukan lokasi.

Penentuan lokasi digunakan untuk menggunakan rute perjalanan,

menentukan arah tujuan atau jalan pulang dengan tepat dan cepat

atau menghubungkan objek yang satu dengan objek yang lainnya.

d) Membuat rancang bangun, konsep matematika pada kegiatan

merancang bangun dapat dilihat pada perencanaannya. Pada

perencanaan membangun masyarakat Dayak Kanayat’n membuat

sketsa di atas tanah atau batu, kemudian mereka menghitung


96

berapa banyak bahan yang diperlukan , seperti berapa tiang, atap,

pintu, dinding dan sebagainya.

e) Permainan, ada beberapa jenis permainan yang biasa di mainkan

oleh masyarakat Dayak Kanayat’n yang di dalamnya mengandung

unsur-unsur matematika. Contohnya Tapakang, permainan ini

dilakukan pada saat ada pesta dan kadang dipertandingkan.

Bentuknya berupa persegi Panjang yang memuat 6 persegi panjang

kecil. Aturan permainan tiap pemain harus melewati masing-

masing kotak, akan tetapi dalam berpindah dari satu kotak ke kotak

lainnya dijaga oleh pihak lawan, apabila lawan yang sedang main

disentuh oleh kelompok yang sedang menjaga akan dianggap

kalah. Jumlah pemain setiap kesebelasan bisa 3, bisa 5 orang, dan

bisa 7 orang tiap kontingen atau kesebelasan dan semuanya laki-

laki.

Artifak-artifak seni budaya suku Dayak Kanayat’n. Ada dua bentuk

artifak seni budaya di masyarakat Dayak Kanayat’n, yaitu artafak seni

pahat dan artifak seni lukis. Artifak seni pahat sebagai bagian dari seni

budaya di masyarakat Dayak Kanayat’n antara lain: perisai, relief seperti

relief sepasang naga.

Artifak seni dan budaya masyarakat Dayak Kanayat’n antara lain,

motif pengantin, motif manusia jongkok, motif naga, motif bunga, dan

motif paduan naga dan bunga.

Potensi etnomatika yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran

matematika di Sekolah, Edy Tandililing menemukan beberapa potensi


97

etnomatika yang dapat dikembangkan, yakni kata-kata bilangan yang

digunakan dalam upacara adat, tingkatan adat, kebiasaan sehari-hari yang

digunakan dapat dinyatakan sebagai bilangan asli, genap, ganjil bahkan

membilang jumlah “bentuk bulan” merupakan konsep bilangan yang

didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan hidup masyarakat Dayak

Kanayat’n. Pengembangan dan bilangan asli, ganjil dan genap merupakan

algoritma alternatif. Kata-kata dalam mantra atau sastra lisan lainnya

dalam masarakat Dayak Kanayat’n banyak mengandung nilai matematika.

Contoh sebuah mantra: asa, dua, talu, ampat, lima, anam, tujuh, ian aku

nyaloatan sirih masak rokok bagolong sabatang.106

Dengan dimikian, apa yang telah saya paparkan di atas, hasil penelitian

Edy Tandililing mengenai pengembangan pembelajaran matematika

sekolah dengan pendekatan etnomatika termasuk dalam aspek kebudayaan

Kaharingan, karena kehidupan sehari-hari masyarakat suku bangsa Dayak

terdapat unsur etnomatika, seperti jenis-jenis permainan anak-anak dan

artifak-artifak seni budaya baik seni pahat maupun seni lukis masyarakat

suku bangsa Dayak mempunyai nilai etnomatika.

8. Agung Hartoyo

Seperti hasil penelitian Agung Hartoyo, aktivitas-aktivitas tersebut selalu

dapat ditemukan pada sejumlah kelompok budaya yakni: Membilang,

penentuan lokasi, mengukur, mendesain, bermain dan menjelaskan.

A. Membilang, salah satu aktivitas membilang dilakukan oleh penenun

yakni menghitung banyaknya bahan benang yang diperlukan untuk


106
Edy, Pengembangan Pembelajaran Metematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Matematika di Sekolah, h. 197-198.
98

membuat kain tenun, banyaknya bahan disesuaikan dengan banyak

kain dan ukuran kain yang ingin dihasilkan.

B. Mengukur, berikut beberapa jenis alat ukur dan satuan ukuran yang

digunakan oleh masyarakat perbatasan ini antara lain:

1) Lambar, alat ukur dengan menggunakan bilah bambu bahan

anyaman.

2) Tunjuk, alat ukur dengan menggunakan jari telunjuk.

3) Jengkal, alat ukur dengan menggunakan telapak tangan orang

dewasa.

4) Genggam, alat ukur yang menggunakan genggaman orang dewasa.

5) Kalik, alat ukur yang digunakan untuk menentukan besarnya

keliling suatu barang. Ukuran keliling tepi suatau ragak, takin,

ataupun Tanggui sebesar keliling kepala orang dewasa dikatakan

satu kalik.

6) Seta, alat ukur masyarakat dengan menggunakan anggota badan

orang dewasa.

C. Mendesain, kegiatan mendesain yang banyak dilakukan orang Dayak

adalah ketika membuat produk budaya seperti: membuat anyaman

tikar dengan menggunakan berbagai bahan baku, nyiru (tampah atau

nampah), menenun kain dan membuat perisai.

D. Penentuan lokasi, kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak banyak

ditemukan aktivitas mereka yang menyimpan konsep-konsep geometri

penentuan lokasi. Sejauh manapun memasuki wilayah asing atau

hutan, mereka selalu menemukan arah jalan pulang atau posisi awal.
99

Dalam hal ini, masyarakat telah menerapkan konsep navigasi yang

bermanfaat untuk menuntun mereka menemukan arah perjalanan yang

tepat. Masyarakat Dayak telah mengembangkan teknik pengkodean

atau pemberian simbol makna tertentu diberlakukan di lingkungan.

E. Ragam motif produk kerajinan Masyarakat Dayak, etnomatika yang

digunakan masyarakat Dayak, selain tersembunyi di dalam aktivitas

juga terdapat pada berbagai motif yang digunakan untuk memberi

pemanis pada produk-produk kerajinan anyaman. Salah satu produk

kerajinan masyarakat Dayak adalah anyaman dengan bahan baku dari

bambu. Dalam masyarakat Dayak terdapat 12 motif yang digunakan

dalam mempercantik produk berupa topi, tikar juah, jongkuak atau

bakul adalah : siluk langit, ati lang, sulau, siku remaung, berangan

lang, bunga tekembai, angkong, bulan, pangkak, tambat manuk, kiarak

nyulur, lekuk sawak.107

107
Agung,“Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat Dayak Perbatasan

Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR, h. 17-21.


BAB IV

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PENDAPAT PARA PENULIS

INDONESIA MENGENAI KAHARINGAN

4.1. Perbedaan Susunan Masyarakat Dayak Kaharingan

Dayak Kaharingan memandang diri mereka dilahirkan dari Mahatala

dan Jata serta hidup seutuhnya dari kedua tokoh dewa ini. Kedudukan suku

dipandang sama dengan kedudukan seluruh alam semerta, yang keberadaanya

juga disebabkan kedua dewa tersebut sebagai totalitas.

Oleh sebab itu Dayak Kaharingan memiliki susunan masyarakat,

Syamsir Salam dan Harun Hadiwijono pun menuliskan dan menjelaskan

susunan masyarakat Dayak Kaharingan tersebut, berikut susunan masyarakat

Dayak Kaharingan:

Syamsir Salam lebih menjelaskan susunan masyarakat Dayak menurut

Fridolin Ukur, yang membagi susunannya sebagai berikut:

a. Utus Gentong

b. Utus Rendah

c. Golongan Budak

d. Golongan Imam

e. Golongan Hanteun108

Sementara Harun Hadiwijono mengatakan bahwa susunan masyarakat

Dayak Kaharingan hanyalah kelas merdeka dan kelas budak. Di samping itu

masih ada dua golongan lain, yaitu golongan imam dan hanteun, namun

108
Salam, Agama Kaharingan:Akar-akar Budaya Suku Dayak Kaharingan di Kalimantan
Tengah, h. 71-73.

100
101

pengelompokan ini bukan berdasarkan keturunan, melainkan berdasarkan

fungsi mereka.

Awalnya hanya ada satu kelas masyarakat yaitu kelas merdeka. Kelas

orang budak ini mula-mula terdiri dari orang merdeka, tetapi karena keadaan

semakin berkembang, masyarakat sebagaian menjadi budak yang kemudian

diasingkan dari masyarakat. Mereka terdiri dari orang-orang yang tidak dapat

membayar hutang dan para tawanan yang kalah dalam perang, serta orang-

orang yang melanggar adat. Golongan pertama disebut jipen, yang dapat bebas

jika mereka membayar hutang mereka. Golongan kedua dan ketiga disebut

rewar, yang menjadi budak turun-temurun. Dalam pengertian religius, para

budak itu tidak memiliki hak hidup. Mereka diikut-sertakan dalam upacara-

upacara religius untuk membantu tuannya, baik di dunia maupun di akhirat.

Mereka berdiam diluar desa dan dikubur di luar desa yang suci.109

Kepustakaan yang merinci dan membahas tentang penggolongan atau

susunan masyarakat Dayak seperti yang di tulis oleh Syamsir Salam yang

merujuk pada Frodlin Ukur dalam bukunya yang berjudul Tanya Jawab Suku

Dayak (1971), meskipun dalam tulisannya mengupas tentang susunan

masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, tetapi pada umumnya

susunan masyarakat Dayak di Kalimantan itu tidak terlalu jauh berbeda satu

sama lainnya. Penggolongan atau susunan masyarakat Dayak yang berada di

Kalimantan pada umumnya sama, yang membedakannya hanyalah istilah atau

bahasa.

109
Harun, Suku Murba di Indonesia, h. 62-53.
102

Pada masa lalu menurut Riwut (1958); Ukur (1971); Lontaan (1975)

sebagaimana dikutip oleh Arkanudin, bahwa untuk menyatakan suatu

golongan, kelompok atau kelas di masyarakat Dayak digunakan istilah “utus,

jalahan, bumuh, babuhan dan ungkup”. Berdasarkan atas golongan tersebut,

dalam masyarakat Dayak pada umumnya terbagi atas dua golongan besar;

yaitu (1) golongan merdeka; dan (2) golongan budak.

A. Golongan Merdeka

Masyarakat golongan ini terbagi lagi dalam dua kelompok yaitu: (1)

Utus Gantong atau Utus Tatau; dan (2) Utus Randah atau Utus Pehe

Belum. Kelompok Utus Gantong atau Utus Tatau yaitu golongan

masyarakat yang termasuk kelas bangsawan tinggi, golongan manusia

kaya dan sempurna. Ukuran dominan untuk menentukan batasan kelas

atau golongan gantong ini pada masa lalu adalah dengan melihat jumlah

jipen atau rewar yang mereka miliki, semakin banyak kepala jipen atau

rewar maka semakin tinggi kedudukannya, karena biasanya jipen atau

rewar dapat bebas menyandang jipen dan rewar, bila ia dapat melunasi

seluruh hutangnya kepada tuannya ditambah denda yang di sepakati

sebelum jatuh tempo.

Golongan gantong atau utus tatau ini biasanya memiliki kekayaan,

kedudukan dan kehormatan, ukuran harta yang mereka miliki adalah

tempayan suci yang disebut haramaung dan belanga merupakan harta suci

berasal dari illahi turun dari langit ke tujuh yang di miliki nenek moyang

turun temurun, sejumlah bidang tanah beserta kebun di atasnya seperti

karet (Havea brasiliensis), rotan (Calamus caesius), buah-buahan, tanah


103

perwarisan di kampung, jumlah ternak kerbau, sapi, babi dan binatang

unggas lainnya.

Di lihat dari hubungan kekarabatan dan kekeluargaan golongan

gantong atau utus tatau memiliki keturunan yang kaya dan terhormat,

nama mereka di kenal oleh seluruh kampung atau desa di sepanjang aliran

sungai. Apabila pemangku adat atau ketua adat itu tidak berada di tempat,

maka tidak jarang golongan ini diminta pendapat dalam berbagai hal yang

terutama yang berkaitan dengan masalah pelaksanan hukum adat dan hal

lain yang dianggap penting seperti pesta atau acara kematian bila ada yang

meninggal dunia.

Kelas kedua dalam golongan merdeka adalah Utus Randah atau utus

pehe-belum, yaitu golongan masyarakat rendah atau miskin. Golongan

utus rendah ini, walaupun termasuk kelas merdeka, namun masih juga

dibedakan kedudukan sosial ekonominya yaitu mereka yang tidak

memiliki harta kekayaan, terutama harta pusaka suci yang menandai

hubungan langsung dengan keilahian tertinggi; walaupun mereka memiliki

beberapa benda suci, tetapi umumnya nilainya lebih rendah.Utus rendah

tersirat pengertian dan pemahaman religius bahwa mereka itu berasal dari

keilahian secara tidak langsung, hanya saja mereka hidup miskin dan

menderita karena keadaan. Penamaan pehe belum mengandung pengertian

nilai sosial, mereka tidak memiliki kekayaan seperti benda pusaka yang

suci dan memadai, harta yang mereka miliki umumnya nilainya lebih

rendah dari utus gantong dan lebih rendah dari kekayaan yang di miliki

kebanyakan masyarakat di kampung atau desa, mereka tidak memiliki


104

jipen atau rewar. Utus pehe belum ini masih dilibatkan dalam pengaturan

kehidupan masyarakat, perkara adat dan lain-lain tetapi dalam fungsi yang

relatif rendah dibandingkan dengan utus gantong.

B. Golongan Budak

Dalam masyarakat Dayak golongan budak ini dibedakan lagi dalam

dua kelas yaitu: (1) Jipen; dan (2) Rewar. Kedua kelas ini selalu dikaitkan

dengan kelas di atasnya, baik Jipen maupun Rewar bekerja pada majikan

atau tuannya. Jipen adalah budak yang di kuasai oleh majikan atau

tuannya karena si pemilik hutang tidak dapat melunasi utang sampai jatuh

tempo yang dijanjikan.

Timbulnya kelas Jipen ini disebabkan oleh faktor: (1) berasal dari

keturunan ibu yang memang sudah menjadi Jipen; (2) akibat hutang yang

tak terlunaskan setelah habis terjaminnya; (3) akibat terjadinya

pelanggaran adat, yang dikenakan denda dengan uang, tetapi tidak mampu

membayarnya; (4) akibat dari “persundalan” dengan para belian, yang

menghabiskan harta benda; (5) karena tidak mampu membayar bunga

hutang dari kapital yang dipinjam; dan (6) akibat kalah perang, sehingga

menjadi tawanan.

Selanjutnya menurut Lontaan (1975) yang dikutip oleh Arkanudin

juga, untuk mendapat kembali kemerdekaannya seorang budak harus

memenuhi tuntutan adat yang tersedia yang ditempuh bahwa: (1) harus

membayar habis seluruh hutangnya; (2) setiap habis panen berhak

menerima sepuluh persen dari seluruh panen pemiliknya, bagian ini dapat

dijual atau dipinjamkan dengan bunga, sehingga memungkinkan ia


105

mencicil atau mengangsur pembayaran hutangnya;(3) walaupun malam,

seluruhnya menjadi kepunyaan sendiri; pekerjaan yang dilakukan pada

waktu malam adalah haknya, seperti menganyam, mengukir dan

sebagainya adalah milik pribadinya yang dapat dijual; (4) apabila ada

pekerjaan dihutan, seperti mengambil rotan, maka dalam jumlah tertentu ia

berhak mendapat upah; dan (5) diperbolehkan memelihara binatang ternak

milik sendiri dengan tidak mengurangi pekerjaan untuk pemilik, yang

kemudian dapat dihargai dengan uang.

Namun dalam kenyataan seseorang yang telah menjadi Jipen adalah

sangat sulit untuk melepaskan diri dari kekuasaan majikannya, hal ini

adalah karena selain utangnya sejak dia berstatus Jipen dilipat gandakan

dalam besaran kelipatan tertentu yang jauh lebih besar dari bunganya juga

si Jipen itu oleh majikannya diberikan suatu minyak yang diminumkan

atau dicampur dengan makanan Jipen, dengan maksud agar si Jipen tidak

memiliki pikiran untuk melepaskan diri dari status Jipennya dan selalu

menurut perintah dan kehendak majikan tanpa pamrih.

Kelas kedua dalam golongan budak adalah Rewar yaitu golongan

budak yang turun-temurun menjadi kepunyaan dari si pemilik. Timbulnya

kelas Rewar ini, sebagai akibat adanya penghukuman terhadap

pelanggaran-pelanggaran adat yang berat dan juga utama sekali akibat

kalah perang. Rewar memiliki status yang paling rendah dibandingkan

Jipen, yang dalam pekerjaannya Rewar tidak saja sebagai pembantu,

pesuruh atau pelayan tetapi hidupnya hampir seperti binatang, hak-haknya

sebagai manusia hampir tidak diakui majikannya, konon katanya Rewar


106

ini sering disiksa, dicambuk dan bekerja tidak mengenal waktu. Rewar

hanya boleh makan dari sisa makan anggota keluarga majikannya. Rewar

tidak boleh duduk bersama majikannya, dan ketika berhadapan dengan

majikannya mereka harus menundukkan kepala dan tidak boleh melihat

wajah majikannya begitu juga kalau majikannya berjalan tidak boleh

melintas di depannya. Tempat tidur Rewar tidak di rumah majikannya,

tetapi di pondok kecil di belakang rumah majikan, yang berdekatan

dengan dapur dan kandang binatang kerbau, sapi atau babi.

Di samping kedua golongan tersebut (Merdeka dan Budak), dalam

masyarakat Dayak masih terdapat dua golongan masyarakat lagi yaitu:(1)

Balian (imam-imam); dan (2) Hantuen. Balian (imam-imam) adalah golongan

masyarakat yang memiliki keahlian dan kecakapan khusus, sedangkan

Hantuen adalah golongan masyarakat karena memiliki prilaku aneh atau

menyimpang seperti memiliki pekerjaan yang suka menyantet, meracuni serta

mencelakai orang melalui mantra-mantra.

Dengan perubahan dan perkembangan kepercayaan sesuai dengan

ajaran agama yang mereka anut, sistem pembagian masyarakat yang

didasarkan atas kelas-kelas sosial secara tradisional sebagaimana yang sudah

tidak menjadi acuan dalam kehidupan orang Dayak. Arkanudin menjelaskan

bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh Mudiyono (1995) terhadap

masyarakat Dayak Ribun di Kalimantan Barat, ditemukan bahwa

penggolongan masyarakat Dayak yang ada sekarang tidak di dasarkan dari

segi tinggi rendahnya keturunan, tetapi lebih cenderung mengacu kepada


107

jabatan fungsional seperti golongan adat, pemerintah formal, pegawai dan

golongan petani.110

4.2 Klasifikasi Motif Produk Kesenian Masyarakat Dayak Kaharingan

Pada masyarakat Dayak, salah satu yang berkembang pesat adalah

Seni Rupa atau seni lukis Dayak.Ini terlihat pada seni pahat dan patung yang

didominasi motif-motif hias setempat yang banyak mengambil ciri alam dan

roh dewa-dewa dan digunakan dalam upacara adat.

Salah satu bentuk identitas dari suku Dayak adalah ukirannya yang

khas dan unik. Bagi sebagian suku Dayak, patung dan beberapa benda seni

yang menjadi kekhasan suku memiliki pesan dan makna yang perlu diungkap.

Selain patung, ada juga karya budaya yang lainnya seperti anyaman dengan

berbagai bahan baku, dari bambu, rotan, keladi air, sampai enceng gondok,

yang memiliki pola-pola atau motif-motif unik pada produk-produknya. Pola

yang disenangi umumnya dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang

serta roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh,

dan sebagainya. Etnomatika yang digunakan masyarakat Dayak, selain

tersembunyi di dalam aktivitas juga terdapat pada berbagai motif yang

digunakan untuk memberi pemanis pada produk-produk kerajinan anyaman.

Salah satu produk kerajinan masyarakat Dayak adalah anyaman dengan bahan

baku dari bambu.

Edy Tandililing dan Agung Hartoyo menyebutkan macam-macam seni

motif kerajinan dalam produk yang dihasilkan oleh Dayak berbeda. Edy

110
Arkanudin, “ Sekilas Gambaran Suku Dayak” Diakses dari
http://arkandien.blogspot.com/2010/06/sekilas-gambaran-suku-dayak-olehprof.html pada
tanggal 06 Agustus2018 pukul 14.22 WIB.
108

mengatakan seni motif Dayak yakni: motif pengantin, motif naga, motif

manusia jongkok, motif bunga dan motif paduan naga dan bunga.111

Sementara Agung Hartoyo mengklasifikasikan seni motif Dayak yakni: motif

siluk langit, motif ati lang, motif sulau, motif bunga tekembai, motif angkong,

motif bulan dan motif pangkak.

Kesimpulan di atas mengatakan bahwa Edy tandililing dan Agung

Hartoyo memaparkan seni motif Kaharingan berbeda, namun perbedaan

tersebut dikarenakan lokasi penelitian berbeda. Agung Hartoyo melakukan

penelitian di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat yang mayoritas kerajinan

yang dihasilkan ialah kerajinan anyaman yang bahan bakunya dari bambu,

rotan, keladi air dan eceng gondok.Motif yang banyak degamaripun motif dari

bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta roh dari dewa-dewa.

Berikut motif seni yang dipaparkan Agung dalam karyanya, yakni:

1. Motif Siluk Langit, anyaman tikar yang berbentuk bidang segi delapan

beraturan. Rancangan motif ini diinspirasi dari pelamunan ketika menatap

langit yang begitu luas dan tinggi. Maknanya pembelajaran dari motif ini

mengingatkan kepada manusia agar tidak sombong atas kepandaian

maupun kekayaan yang dimiliki karena dia atas kehebatan manusia masih

ada langit yang kedudukan tetap lebih tinggi.

2. Motif Ati Lang, anyaman tikar berbentuk belah ketupat. Rancangan

pembentukan motif ini didatangkan dari keperkasaan burung Elang yang

mempunyai sifat tekun dalam mengintai mangsanya dari udara,

pengintaian tidak berhenti sehingga ia mendapat kesempatan untuk


111
Edy, Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
MAtematika di Sekolah, h. 198.
109

menyambar mangsanya. Motif ini memberi pelajaran agar tidak mudah

menyerah untuk menghadapi segaa kesulitan hidup dan tetap tegar.

3. Motif Sulau, anyaman tikar sebagai alas untuk menaruh perlengkapan

sesaji dan topi petani berbentuk lingkaran. Motif ini melambangkan

kehidupan orang-orang yang dianggap suci dan dihormati meskipun telah

meninggal tetap dikenang karena pengaruh hidupnya yang dirasakan

semua orang membawa perubahan kearah yang lebih baik. Makna Sulau

menunjukkan ketulusan dan kesucian atau keterbukaan dalam menerima

perbedaan yang ada, baik masalah sosial maupun keagamaan dan manusia

bertanggung jawab dalam penciptaan perdamaian di antara sesamanya.

4. Berangan Lang, motif yang terdapat pada anyaman topi, tikar saji, dan

juah atau bakul di rancang dalam bentuk layang-layang. Rancangan ini

diinspirasi dari buah Berangan Lang, meskipun buah ini berduri namun

tetap dibutuhkan. Karena untuk menikmati buah ini harus berhati-hati

maka motif ini mengajarkan kita untuk berusaha dalam keinginan

menggapai sesuatu.

5. Motif Bunga Tekembai, motif yang terdapat pada anyaman topi berbentuk

persegi. Bunga tumbuh mekar menandai akan dimulainya musim buah-

buahan, pertumbuhan bunga merupakan sesuatu yang menggembirakan

karena kehidupan masyarakat banyak bergantung kepada kemurahan alam.

Manusia diingatkan untuk saling berbagi, baik terhadap sesama maupun

sesama alam.

6. Motif Angkong, motif yang berbentuk segitiga yang terdapat pada

anyaman topi petani.motif ini dipercayai sebagai motif pertama yang harus
110

dilakukan bagi pemula dan jika dilewati akan jatuh sakit. Motif ini

mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dimulai dari awal dan dipelajari

secara bertahap sedikit demi sedikit.

7. Bulan, adalah motif segi delapan beraturan dan dianyam pada topi dan

tikar. Motif ini sebagai ungkapan masyarakat Dayak terhadap keindahan

dan kelembutan rembulan.

8. Motif Pangkak, dibuat dalam dimensi dua terdapat pada anyaman topi.

Seperti pangkak yang terus berputar selagi ia mampu berputar dapat

dijadikan pelajaran bagi setiap manusia untuk terus belajar hingga akhir

hayat.112

Edy Tandililing melakukan penelitian pada suku Dayak Kanayat’n

yang berlokasi pada 4 kabupaten yakni: Kabupaten Pontianak; Kabupaten

Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Bengkayang.113

Berbeda dengan Agung Hartoyo yang membahas motif kesenian untuk

anyaman, sementara Edy Tandililing mengklasifikasikan motif seni dari seni

pahat yang mengandung unsur-unsur geometri, yakni:

a. Motif Manusia Jongkok

Penggambaran sosok manusia sebagai seorang tokoh atau nenek

moyang dapat ditemukan pada artefak peninggalan prasejarah.

Penggambaran sosok manusia dilambangkan sebagai sosok nenek moyang

dan simbol kekuatan gaib penolak bala. Ornamen manusia

112
Agung, “Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat Dayak Perbatasan
Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR,” h. 21-22.
113
Edy, Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan
Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Matematika di Sekolah, h. 195.
111

mempresentasikan dan memiliki kemiripan dengan suatu objek. Sehingga

dapat digolongkan ke dalam ikon. Motif manusia ini sebagai pengingat

akan nenek moyang dan dianggap dapat menjaga mereka dari kemalangan

atau kejahatan orang lain. Masyarakat Dayak masih ada yang percaya

terhadap hal-hal gaib, sehingga pada lamin banyak terdapat patung

ataupun ukiran yang berbentuk manusia. Melalui pengertian ini,

keberadaan ornamen manusia ini dapat digolongkan ke dalam indeks.

Keberadaan ornamen manusia dalam masyarakat Dayak menjadi raja dan

simbol nenek moyang yang dapat melindungi dari roh jahat.Berkaitan

dengan pemujaan leluhur dan persembahan tradisi.114

b. Motif Naga

Motif naga dianggap motif utama pada masyarakat Dayak, dan

dianggap mewakili segala sesuatu yang datang dari langit; segala sesuatu

yang bersifat supranatural, termasuk kekuatan-kekuatan magis yang

berada di luar jangkauan pikiran manusia.

Motif naga dianggap motif utama pada masyarakat Dayak, dan

dianggap mewakili segala sesuatu yang datang dari langit; segala sesuatu

yang bersifat supranatural, termasuk kekuatan-kekuatan magis yang

berada di luar jangkauan pikiran manusia.115

Motif Naga atau binatang lainnya seperti Macan Kumbang, Ular,

Beruang, Burung Enggang yang merupakan hewan yang langka di

Kalimantan Timur dan memberikan makna penguasa bagi pemiliknya

114
Maria Sisilia Mayasari, Lintu Tulistyiantoro, M. Taufan Rifqi, “Kajian Simoatik Ornamen
Interior pada Lamin Dayak Kenyah (Studi Kasus Interior Lamin di Desa Budaya Pampang), Intra,
Vol. 2, No. 2, 2014, h. 291.
115
Marcellina Eka Pradita, “Tato Sebagai Sebuah Media KOmunikasi Non Verbal Suku
Dayak Bahau”, Ilmu Komunikasi, Vo. 1, No. 4, 2013, h. 12.
112

yang berukirkan hewan-hewan tersebut. Dan didalam bukunya Michael

Hopes yang telah dikutp Katarian menjelaskan bahwa setiap hewan yang

digunakan dalam setiap upacara adat memiliki legenda masing-masing

bagi masyarakat Dayak sehingga masyarakat Dayak harus mengikut

sertakan hewan-hewan tersebut dalam rangkaian upacara adat dalam

bentuk patung maupun hewan kurban.116

c. Motif Bunga

Motif Bunga atau akar-akaran yang biasa diukir tepat di bawah kaki

patung manusia memberikan makna bangsawan bagi pemilik ukiran

tersebut. Ukiran bunga atau akar-akaran yang melingkar tersebut adalah

lambang keturunan mantik yang sangat terlihat jika orang keturunan

bangsawan ukiran tidak terputus satu objek dengan yang lainnya, namun

jika terputus artinya bukan keturunan bangsawan. Sedangkan dari sumber

lainnya mengatakan bahwa ukiran anyaman melingkar ini hanya

merupakan lambang kebersamaan masyarakat Dayak. Terdapat dua makna

yang berbeda ini memberikan kesimpulan bahwa tidak semua masyarakat

Dayak paham dengan ukiran bunga atau akar-akaran yang melingkar

tersebut.117

d. Motif Bunga dan Naga

Motif perpaduan bunga dan naga ini biasanya ditemukan sebagai

ornamen-ornamen penghias tiang, dinding hingga puncak atap Lamin

kediaman bangsawan atau kepala adat. Ornamen pada puncak atap ada

116
Katarian Lidya Ega, “Pemaknaan Ukiran Blontakng Kaum Bangsawan Dalam Upacara
Adat Kwangke (Studi diskriptif), Ilmu Pemerintahan, Vol.3 No.1, 2015, h. 437.
117
Katarian Lidya Ega, “Pemaknaan Ukiran Blontakng Kaum Bangsawan Dalam Upacara
Adat Kwangke (Studi diskriptif), h. 438.
113

yang mencuat hingga 3 atau 4 meter. Dinding Lamin milik bangsawan

atau kepala adat terbuat dari papan, sedangkan Lamin milik masyarakat

biasa hanya terbuat dari kulit kayu.118

e. Motif Pengantin

Suku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai

ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara. Patung Ajimat ini

terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak

penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit. Ada juga patung

yang berfungsi sebagai kelengkapan upacara. Terdiri dari patung-patung

kecil yang biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas

tahun, kwangkai dan pesta adat lainnya. Namun pada motif pengantin

tidak ada makna dan histori khusus dari nenek moyang terhadap

masyarakat Dayak, namun karna banyaknya peminat terhadap hasil

kesenian masyarakat Dayak maka masyarakat Dayak Kanayatn

memproduksi kesenian tersebut dengan menciptakan motif pengantin.

Pahatan Suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik.

Umumnya polanya diambil dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan,

binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-

dewa. Patung Dayak terlihat lebih sederhana dibandingkan dengan patung

dari daerah lain di Indonesia, namun hal ini merupakan salah satu

keunikan yang menjadi ciri khas hasil kerajinan masyarakat Dayak.119

118
Diakses dari http://storystoryguee.blogspot.com/2011/11/lebih-mengenal-suku-
dayak.html?m=1 pada tanggal 25 Agustus 2018 pukul 21.59 WIB.
119
Diakses dari
https://www.google.com/amp/s/doyosukmo.wordpress.com/2011/01/21/seni-pahat-
patung/amp/?espv=1 pada tanggal 25 Agustus 18 pukul 22.18 WIB.
114

Seni Arsitektur Dayak terlihat menarik pada rumah tradisional suku

Dayak yang dikenal dengan sebutan Lamin. Bentuk rumah adat Lamin

dari tiap suku Dayak umumnya tidak jauh berbeda. Lamin biasanya

didirikan menghadap ke arah sungai. Dengan bentuk dasar bangunan

berupa empat persegi panjang. Panjang Lamin ada yang mencapai 200

meter dengan lebar antara 20 hingga 25 meter. Di halaman sekitar Lamin

terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang merupakan patung

persembahan nenek moyang (blang). Lamin berbentuk rumah panggung

(memiliki kolong) dengan menggunakan atap bentuk pelana. Tinggi

kolong ada yang mencapai empat meter. Untuk naik ke atas Lamin,

digunakan tangga yang terbuat dari batang pohon yang ditakik-takik

membentuk undakan dan tangga ini bisa dipindah-pindah atau dinaik-

turunkan. Semua ini adalah sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman

serangan musuh ataupun binatang buas. Pada awalnya, Lamin dihuni oleh

banyak keluarga yang mendiami bilik-bilik di dalam Lamin, namun

belakangan kebiasaan itu sudah semakin memudar. Bagian depan Lamin

merupakan sebuah serambi panjang yang berfungsi sebagai tempat

penyelenggaraan upacara perkawinan, melahirkan, kematian, pesta panen,

dan lain-lain. Di belakang serambi inilah terdapat deretan bilik-bilik besar.

Setiap kamar dihuni oleh lima kepala keluarga.120

120
Diakses dari
http://visitingkutaikartanegara.com/depan?module=daya_tarik&sub=seni_dan_budaya&halama
n=5 pada tanggal 12 Agustus2018 pukul 17.45 WIB.
115

4.3 Kaharingan Agama Masa Lampau

Agama masa lampau atau agama lokal ialah agama yang kuno atau

agama yang tertinggal dari segi kebudayaannya. Istilah lokal ini dicirikan pada

manusia atau sekelompok orang yang hidup pada waktu lampau. Meskipun

demikian, agama lokal tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang ada dan hidup

pada masa lampau, tetapi dapat saja terjadi pada seseorang pada masyarakat

modern sekarang.

Indikasi karakterisitik manusia lokal dapat dilihat dari prilaku,

pandangan, ataupun tradisi yang masih kuno misalnya, umumnya agama lokal

tidak bisa menciptakan tegnologi yang serba canggih. Selain itu, indikasi

tersebut banyak pula ditemui di kalangan masyarakat pedesaan, baik dari segi

Pendidikan maupun kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap

keramat.121

Agama lokal memang sangat menghormati dan mengagungkan suatu

benda. Pola pikir ini baru didobrak, ditentang, dan dianggap sesat setelah

datangnya agama Kristen, yang salah satu ajarannya untuk mengeksploitasi

alam, tidak lagi menghormati dan mengeramatkan alam.

Pada dasarnya, masyarakat agama lokal berpandangan bahwa dunia

dan alam sekitarnya bukanlah objek sebagai subjek. Hal ini berbeda dengan

masyarakat modern, yang memandang dirinya sebagai subjek, sedangkan alam

sebagai objek. Akibat dari tidak bisanya membedakan antara subjek dan

objek, yaitu antara manusia dan alam sekitarnya, akhirnya masyarakat agama

121
M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia Dari Masa Klasik Hingga
modern, (Yogyakarta: IRCISoD, 2015), h. 18.
116

lokal memandang sakral terhadap sesuatu yang dapat memberikan manfaat

dan kebaikan, atau yang bisa menimbulkan bencana.122

Untuk melacak sejarah dari peradaban itu sendiri, kita harus menengok

kembali pengetahuan paling awal kita tentang kehidupan manusia di muka

bumi, dan bertanya kembali apa saja yang di dapat ditemukan dalam hukum

adat, lembaga, seni dan pengetahuan suku atau agama lokal. Apa yang

dianggap benar oleh sebuah peradaban pastilah juga dianggap benar oleh

agamanya, karena agama merupakan salah satu dari elemen dasar pembentuk

peradaban.123

Telah saya paparkan sebelumnya, Salam mengatakan Kaharingan tidak

dapat dikategorikan sebagai salah satu paham keagaman seperti dinamisme,

animisme, politeismi ataupun monoteisme karena dari semua paham-paham

keagaman tersebut tercakup semua di dalam agama Kaharingan. Dalam hal ini

Syamsir Salam dan Marko Mahin sependapat bahwa Kaharingan tidak

termasuk salah satu paham keagaman diatas namun Kaharingan adalah agama

masa lampau atau agama lokal, dimana Kaharingan agama awal atau agama

tertua dari sebelum Hindu dan Budha masuk di Kalimantan.

Marko Mahin seorang pendeta (teolog) dan antropolog yang senada

dengan Salam mengatakan:

“Kaharingan itu agama para leluhur Dayak. Saya terpanggil meneliti

sekaligus menyelami keluhurannya,”

122
M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia Dari Masa Klasik Hingga
modern, h. 19-20.
123
Allan Menzies, Sejarah Agama-agama Studi Sejarah, Karakteristik dan Praktik Agama-
agama Besar di Dunia, (Yogyakarta: FORUM, 2014), 23-24.
117

Marko tidak setuju dengan anggapan banyak orang bahwa Kaharingan

bukanlah agama, melainkan hanya adat, kebudayaan, atau aliran kepercayaan

milik masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Anggapan seperti itu muncul

karena negara hanya mengakui enam agama resmi. Para penganut Kaharingan

sempat mendapat lebel sebagai orang yang tak beragama. Kaharingan dinilai

hanya agama orang pedalaman atau penghuni hutan tropis. Agama masa

lampau dan diramalkan bakal punah seperti kayu lapuk. Itu sebabnya beliau

terlibat langsung pada berbagai upacara yang digelar pengikut Kaharingan,

seperti upacara Tiwah (ritual kematian tahap akhir), dan upacara Basarah

(ibadah rutin Kaharingan setiap Kamis atau malam Jumat).

Kaharingan itu adalah agama yang dilahirkan masyarakat Dayak di

Kalimantan, bukan impor dari luar. Secara sosial dan historis, agama ini

berbeda dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Kaharingan awalnya tak bisa mengikuti ukuran beragama seperti keenam

agama itu, yang antara lain punya hari besar, rumah peribadatan, dan

organisasi keagamaan. Tak mengherankan jika ada yang meramalkan, agama

Dayak ini akan punah seperti kayu lapuk.Gagasan di atas menurut Marko

kontras dengan faktanya. Kaharingan mempunyai sistem adaptif yang baik

terhadap perubahan sosial dan modernisasi.124

124
Diakses dari https://tokoh.id/biografi/5-wiki-tokoh/antropolog-penyelami-
kaharingan/ pada tanggal 12 Agustus 2018 pukul 19.13 WIB.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Agama adalah suatu pedoman tata aturan hidup manusia yang erat

hubungannya dengan Tuhan, sementara budaya adalah hasil karya manusia

berupa tata cara hidup manusia seperti adat istiadat dan kepercayaan-

kepercayaan. Agama dan budaya saling mempengaruhi dalam

pembentukannya. Artinya agama dan budaya dapat mempengaruhi satu sama

lain. Namun perbedaan dari keduanya ialah, agama tata cara hidup manusia

yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa sementara budaya adalah tata cara

hidup manusia yang dibentuk oleh manusia itu sendiri.

Apakah Kaharingan agama atau budaya? Atau apakah Kaharingan tata

cara hidup yang terkait langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa atau tata cara

hidup yang berasal dari hasil karya atau akal manusia? Dalam skripsi ini telah

dijelaskan bahwa Kaharingan lebih pantas disebut agama, karena Kaharingan

memiliki syarat-syarat yang bisa disebut sebagai agama, yaitu: Kaharingan

percaya pada satu tuhan Ranying Hatalla, memiliki kitab suci Panaturan,

melakukan ibadah mingguan secara rutin, membangun tempat ibadah yakni

Balai Basarah, melaksanakan hari raya keagamaan dan juga mendirikan

lembaga atau organisasi keagamaan.

Berdasarkan hasil penelitian saya dari karya-karya para penulis

Indonesia mengenai Kaharingan dalam aspek keagamaan dan budaya secara

garis besar Kaharingan merupakan agama tradisional atau agama awal di

Kalimantan ketika agama lain belum memasuki Kalimantan yang hingga saat

118
119

ini masih eksis. Proses komunikasi budaya Dayak Kaharingan terbentuk dari

adat istiadat nenek moyang suku Dayak Kaharingan dan menganut nilai-nilai

keluluhuran yang di pimpin oleh balian atau dukun yang mana isi pesan nenek

moyang tersebut digunakan sebagai kerukunan bagi masyarakat Dayak.

Makna budaya bagi masyarakat Dayak ialah sebagai warisan nenek moyang

yang telah menjadi adat istiadat turun temurun.

Paham keagamaan seperti animisme, dinamisme, politeisme dan

monoteisme terdapat dalam Kaharingan, sehingga Kaharingan tidak dapat

disebut sebagai penganut salah satu paham keagamaan saja. Kaharingan

memiliki kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti pada gejala-gejala

dan peristiwa yang luar biasa. Kekuatan alam yang mampu melakukan sesuatu

yang luar biasa, seperti banjir dan angin topan.Kaharingan juga percaya ada

manusia yang memiliki kekuatan sakti yang bisa menyembuhkan orang sakit,

para peramal serta benda-benda mati seperti pohon, Mandau (senjata khas

Dayak), guci, piring, mangkok dan batu-batuan juga dipercaya memiliki

kekuatan sakti.

Tidak hanya percaya pada kekuatan-kekuatan sakti di sekitar namun

Kaharingan mempunyai dua dewa tertinggi yakni Mahatalla dan Jata,

dimana kekuatan keduanya saling bertentangan. Namun keduanya merupakan

satu kesatuan yang saling terkait.Seperti putih-hitam, baik-buruk, atas-bawah,

pagi-malam dan seterusnya. Sehingga masyarakat meyakini bahwa alam

tercipta atas keduanya yang saling terkait. Mite penjadian yang dipercayai

Kaharingan ialah penjadian alam karena pertubrukan-pertubrukkan dua bukit,

dua bukit itu ialah Mahatalla dan Jata.


120

Kaharingan sudah dianggap dapat merubah ketertindasan absolut ke

posisi yang lebih baik, artinya masyarakat suku bangsa Dayak Kaharingan

mampu melakukan politik kultural ketika berhadapan dengan struktur-struktur

objektif yang ada di sekitar mereka. Terbukti bahwa adanya dana APBN untuk

Kaharingan.

Selain itu pada proses pengobatan Kaharingan menggunakan sistem

pengobatan tradisional. Dalam praktik pengobatan adanya keterkaitan antara

Kaharingan dengan Islam, cara-cara pengobatan dan penentuan obat

berlandaskan konsep-konsep kosmologi Kaharingan sementara alat

legimitasinya menggunakan doa-doa Islam.Namun hal itu berlaku jika

pasiennya ternyata beragama non-Kaharingan tetapi berlatar belakang pernah

menganut Kaharingan, artinya berlaku pada pasien yang pindah agama dari

Kaharingan. Sementara cara-cara pengobatan serta mantra-mantra untuk

pasien yang memang penganut Kaharingan tetap menggunakan cara dan

mantra dari Kaharingan.

Tidak hanya sistem pengobatan suku bangsa Dayak, namun dalam

pengobatan Kaharingan yang menggunakan tanaman tradisional ada mantra-

mantranya.Mereka berkeyakinan bahwa segala di dunia ini mempunyai

roh.Oleh karena itu mereka mengambil tumbuh-tumbuhan sebagai obat

dengan mantra-mantra pula.Tumbuhan yang digunakan selain sebagai bahan

obat-obatan yakni sebagai bahan pangan, tonik, bahankosmetik, bahan rempah

dan juga bahan pewarna. Tercatattidak kurang dari 107 jenis tumbuhan terdiri

dari 51 suku dan86 marga yang dimanfaatkan baik sebagai bahan pangan

(56jenis), obat-obatan (46 jenis), kosmetik (4 jenis), bahanbangunan (9 jenis),


121

pemanfaatan lain-lain (9 jenis), beberapajenis di antaranya mempunyai fungsi

ganda.

Dayak Kaharingan masih memiliki banyak mitos yangdipercayai bagi

Ibu hamil.Seperti dilarang duduk ditengah pintu, tidakdiperbolehkan

mengkonsumsi daging binatang yang berasal dari lobang (ular,tringgiling dan

labi-labi), begitu juga seorang suami tidak diperbolehkanmembunuh binatang,

mengisi peluru dan masih banyak lagi. Praktek budayaKaharingan yang

membahayakan yakni menganjurkan ibu hamil agar tetapuntuk beraktifitas,

dan sebagian besar ibu-ibu Dayak menghabiskan waktudengan membantu

suaminya di ladang, dan itu pekerjaan yang sangat beratsehingga beresiko

lahir prematur pada trisemester keempat.

Dalam Kaharingan ada upacara selingkar hidup, yang mana upacara

keagamaan dari masa kehamilan, lahir hingga kematian manusia.Semua

upacara itu dipersembahkan untuk Sang Hyang Mahatalla dan Jatakarna telah

melindungi manusia dari ketika masih berbentuk janin di dalam perut hingga

kematian menjemput.Upacara-upacara tersebut memiliki persyaratan-

persyaratan masing-masing, dan di jelaskan oleh balian.

Dalam “menjelaskan” dan “tradisi lisan” adalah salah satu kegiatan

sehari-hari suku bangsa Dayak Kaharingan yang terdapat unsur

etnomatikanya.yang mana berarti ketika upacarakeagamaan suku bangsa

Dayak adanya pengucapan, aturan-aturanyang harus dipenuhi serta jumlah

barang atau alat perlengkapanupacara, karena dalam berbagai upacara adat

suku bangsa Dayakmemiliki patokan dan jumlah tertentu.


122

Etnomatika juga ditemukan dalam budaya Kaharingan, seperti jenis-

jenis permainan anak, kesenian yang dilakukan masyarakt suku bangsa Dayak

Kaharingan yakni seni lukis dan seni pahat. Masyarakat suku bangsa Dayak

juga menghasilkan kesenian berupa anyaman, dimana ketika proses

pembuatannya terdapat unsur etnomatikanya yakni ketika “mengukur” dan

“mambilang” bahan anyaman. Kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak

jugabanyakditemukan aktivitas mereka yang menyimpan konsep-konsep

geometripenentuan lokasi.

Diantara karya-karya 8 penulis itu terdapat beberapaperbedaan yang

signifikan mengenai agama Kaharingan menurut penulis Indonesia yakni:

a. Terdapat perbedaan susunan masyarakat Dayak Kaharingan, menurut

Syamsir Salam susunan masyarakat Dayak Kaharingan ialah, utus

gantong, utus rendah, golongan budak, golongan imam dan golongan

hantuen. Sementara menurut Harun Hadiwijono Dayak Kaharingan

memiliki dua kelas masyarakat yakni merdeka dan budak. Walaupun ada

lain seperti golongan imam dan hanteun, pengelompokan ini bukan

berdasarkan keturunan melainkan berdasarkan fungsi mereka.

b. Klasifikasi Motif Produk Kesenian Dayak Kaharingan. Terdapat

perbedaan hasil dari penelitian Edy Tandililing dan Agung Hartoyo.

Dalam hasil penelitian Edy Tandililing klasifikasi seni motif Dayak yang

ia paparkan yakni: motif pengantin, motif naga, motif manusia jongkok,

motif bunga dan motif paduan naga dan bunga. Sementara Agung Hartoyo

mengatakan seni motif Dayak yakni: motif siluk langit, motif ati lang,
123

motif sulau, motif bunga tekembai, motif angkong, motif bulan dan motif

pangkak.

Namun dalam analisis saya dan skripsi ini menunjukkan bahwa

perbedaan penafsiran atau pendapat dalam Agama Kaharingan dikarenakan

beberapa faktor yakni:

1. Kelompok atau lokasi penelitian yang dilakukan berbeda.

2. Kebudayaan setempat yang diteliti berbeda.

3. Bahasa yang digunakan dalam setiap lokasi penelitian berbeda.

4. Refrensi yang digunakan berbeda.

Tidak hanya perbedaan, dalam skripsi saya juga menjelaskan ada

persamaan pendapat antar sesama penulis, yakni Syamsir Salam dan Marko

Mahin. Mereka mengatakan Agama Kaharingan adalah agama terdahulu di

Kalimantan, dan tidak termasuk salah satu paham keagamaan (dinamisme,

animisme, politeisme, dan monoteisme), namun agama Kaharingan

mempunyai semua paham keagamaan tersebut di dalamnya.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan serta kesimpulan yang

telah saya paparkan, dari penelitian tersebut ada beberapa saran dari penulis

diantaranya:

a. Bagi penulis diharapkan memberikan arti dari bahasa-bahasa awam atau

bahasa tradisional yang jarang didengar orang-orang pada umumnya.

Karena masih banyak karya-karya penulis Indonesia yang menuliskan


124

kata-kata yang awam di dengar tanpa adanya penjelasan atau arti dari kata

tersebut.

b. Pembaca lebih objektif dan teliti lagi dalam membaca serta memahami isi

karya-karya para penulis khususnya para penulis Indonesia. Karena sering

kali pembaca salah memahami isi buku tersebut, terkadang harus berulang

kali membaca dan memahami isi karya-karya para penulis tersebut.

c. Untuk staf perpustakaan, baik perpustakaan umum ataupun perpustakaan

fakultas agar lebih memperhatikan kualitas dan pelayananya, serta lebih

menambah koleksi buku khususnya mengenai Kaharingan. Karena refrensi

yang disajikan oleh perpustakaan umum maupun perpustakaan fakultas

mengenai Kaharingan masih sedikit.

5.3 Kata Penutup

Demikian skripsi ini dibuat dengan sebaik-baiknya dan penulis juga

menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam skripsi ini,

oleh karenanya dibutuhkan saran serta kritik dari para pembaca agar penulis

dapat menjadi lebih baik lagi dalam menghasilkan karya tulis kedepannya.

Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk

menjadikan tambahan ilmu pengetahuan khususnya mengenai agama dan

budaya Kaharingan, dan juga turut membantu mempermudah para pembaca

yang mencari informasi mengenai agama dan kebudayaan Kaharingan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Sayuthi. Metode Penelitian Agama Pendekatan Teori & Praktik (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada. 2002).

Fitriatien,Sri Rahmawati.Pembelajaran Berbasis Etnomatika.(Surabaya.PGRI Adi

Buana.Juni 2017).

Ghazali, Adeng Muchtar. Ilmu Perbandingan Agama Pengenalan Awal

Metodelogi Studi Agama-agama untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung:

CV Pustaka Setia. 2000).

Hadiwijono, Harun. Religi Suku Murba di Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia.

2003).

Imran, M. Ali.Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia Dari Masa Klasik

Hingga modern.(Yogyakarta: IRCISoD. 2015).

Kementrian Agama RI, Badan LITBANG dan Diklat. Ed. Ahmad Syafi’I Muhfid.

Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia

(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2012).

Kunto, Suharsini Ari. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:

Rineka Cipta. 2002).

Menzies,Allan.Sejarah Agama-agama Studi Sejarah, Karakteristik dan Praktik

Agama-agama Besar di Dunia.(Yogyakarta: FORUM. 2014).

Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja

Rosdokarya. 1996).

125
126

Nasruddin, DKK.,Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi.(Jakarta: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. 2011).

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.RJMD Provinsi Kalimantan

Tengah 2016-2017.No. 1 2017.

Permatasari, Andayu Intan.Karangan Etnografi Kebudayaan Suku Iban di

Kalimantan Barat.(Tanpa Penerbit, Tanpa Tempat. Tanpa Tahun).

Salam, Syamsir. Agama Kaharingan Akar-akar Budaya Suku Dayak di

Kalimantan Tengah (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif

Hidayatullah. 2009).

Sarbaguna, Boy S. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif (Jakarta: UI Press.

2008).

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan

R&D, edisi IV (CET XIX, Bandung: Alfabeta. 2014).

Sukardi K, Heru. Dasar-dasar Metodologi Sejarah (Surabaya, Proyek

Peningkatan/ Pengembangan Perguruan Tinggi IKIP Surabaya. 1979).

Sutanto, Hasan. Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Al-Kitab ( Malang:

Seminari Al-Kitab Asia Tenggara. 1993).

Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Adat Istiadat Daerah

Kalimantan Selatan.(Jakarta: PN Balai Pustaka. tanpa tahun)

Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Adat dan Upacara

Perkawinan Daerah Kalimantan Timur.(Jakarta: PN Balai Pustaka.

tanpa tahun).
127

Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Sejarah Daerah

Kalimantan Selatan.(Jakarta: PN Balai Pustaka. 1978).

Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Sejarah Kebudayaan

Kalimantan.(Jakarta: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah

Nasional. 19993).

Skripsi, Disertasi dan Tesis

Mahin, Marko. Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah.

(Disertasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univertas Indonesia

2009).

Sofyah, Diana H. Agama dan Pengobatan Latar Belakang Religi dan Konsep

Dasar Pengobatan Dayak Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah

Khususnya Kota Madya Palangkaraya.(Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik UI Jakarta. 1997)

Jurnal

Adranus, Nopli. Mursalim. Syamsul Rijal. “Reduplikasi dalam Bahasa Dayak

Murut Tahol di Desa Tau Lubis Kecamatan Lumbis Ogong Kabupaten

Nunukan.” Ilmu Budaya. Vol. 2. No. 1. Januari 2018.

Aryadi,Mahrus. A. Fithria.Susilawati dan Fatria.”Kearifan Lokal Masyarakat

Dayak Terhadap Tumbuhan Berkhasiat Obat di Lahan Agroforest

Kabupaten Barito Utara.”Hutan Tropis.Vo. 2.No. 3. November 2014.

Darmadi, Hamid. “Dayak dan Asal-usul Penyeberannya di Bumi Borneo (1).”

Jurnal Pendidikan Sosial.Vol 3. No. 2. Desember 2016.


128

Dey,Nina Putri Hayam. Sri Suwartuningsih dan Daru Purnomo. “Aspek Budaya,

Sosial dan Ekonomi dari Tiwah” (Upacara Masyarakat Dayak Tomun

Lamandau).Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin.Vol XXI.No. 2.

2012. h. 175.

Ega,Katarian Lidya. “Pemaknaan Ukiran Blontakng Kaum Bangsawan Dalam

Upacara Adat Kwangke (Studi diskriptif).”Ilmu Pemerintahan.Vol.3

No.1. 2015.

Hartoyo, Agung. “Eksplorasi Etnomatika pada Budaya Masyarakat Dayak

Perbatasan Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau KALBAR.”

Penelitian Pendidikan. Vol. 13. No. 1. April 2012.

Hermansyah.“Islam dan Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Muslim

Kanayatn Dayak di Kalimantan Barat.”Islamica.Vol. 7.No. 2.Maret

2013.

Liadi,Fimier. “Penelusuran Sistem Kepercayaan Suku Dohoi (Anak Suku Ot

Danum) di Tumbang Samba Kabupaten Katingan Kalimantan

Tengah”.Palita: Journal of Social-Religion Reserch. Vol. 2.No.

2.Oktober 2017.

Mayasari,Maria Sisilia. Lintu Tulistyiantoro. M. Taufan Rifqi.“Kajian Simoatik

Ornamen Interior pada Lamin Dayak Kenyah (Studi Kasus Interior

Lamin di Desa Budaya Pampang).”Intra.Vol. 2.No. 2. 2014.

Nolan, Brooke. Dayak Kaharingan Belief System.(tanpa kota: tanpa penerbit.

tanpa tahun).

Pradita,Marcellina Eka. “Tato Sebagai Sebuah Media KOmunikasi Non Verbal

Suku Dayak Bahau.”.Ilmu Komunikasi.Vo. 1.No. 4. 2013.


129

Setyowati, Franisca Murti dkk, Enbotani Masyarakat Dayak Ngaju di Daerah

Timpah Kalimantan Tengah (J. Tek. Ling,Pusat Penelitian Biologi: LIPI.

2005).

Siregar, Leonard, “Antropologi dan Konsep Kebudayaan”.Antropologi

Papua.Vol.1. No.1.Agustus 2002.

Sukiada, Kadek.“Sistem Medis Tradisional Suku Dayak dalam Kepercayaan

Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan

Tengah”.DHARMASMRT.Vo. XIII.no. 26.Oktober 2015.

Suprabowo, Edy.“Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada

Suku Dayak Sanggau.”Kesahatan Masyarakat Nasional.Vol 1.No.

3.Desember 2006.

Wilson.“Makna Upacara Nyaki Tihi Adat Dayak Ngaju di Desa Samba Danum

Katingan, Kalimantan Tengah”.Konstektualita.Vol. 26.No. 2.Desember

2009.

Makalah Seminar

Fitroh, Wahyu dan Nurul Hikmawati.Prosding Seminar Matematika dan

Pendidikan Matematika.(Semarang: UMS. 2015).

Sukiada, Kadek.“Nikai Kebhinekaan Sistem Kosmologi Hindu Kaharingan dalam

Pengobatan Tradisional Suku Dayak”.Seminar Nasional Filsafat,17 Maret

2017.

Tandililing,Edy.Pengembangan Pembelajaran Metematika Sekolah dengan

Pendekatan Etnomatika Berbasis Budaya Lokal Sebagai Upaya Untuk


130

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika di

Sekolah.(Yogyakarta: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan

Matematika FMIPA UNY. 19 November 2013).

Sumber Internet

Mahin, Marko. “Multikulturalisme, Sebagai Resolusi Konflik dan Pembangunan

Harmoni: Studi Kasus Kaharingan di Kalimantan Tengah” diakses dari

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2015/02/17/multikulturalisme-

sebagai-resolusi-konflik-dan-pembangunan-harmoni-studi-kasus-

kaharingan-di-kalimantan-tengah/ pada tanggal 07 oktober 2018 pukul

12.01 WIB.

https://5-wiki-tokoh/antropolog-penyelami-kaharingan/ pada tanggal 08/08/2018

pukul 20.30 WIB.

Arkanudin.“ Sekilas Gambaran Suku Dayak”diakses dari

http://arkandien.blogspot.com/2010/06/sekilas-gambaran-suku-dayak-

olehprof.html pada tanggal 06 Agustus2018 pukul 14.22 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara pada tanggal 25 Maret 2018,

01.51.

https://kbbi.web.id/budaya pada tanggal 27 September 2018 pukul 13.26 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Agama pada tanggal 27 September 2018 pukul 11.50

WIB

https://kbbi.web.id/agama pada tanggal 27 September 2018 pukul 13.25 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya 27 September 2018 pukul 11.35 WIB.


131

http://www.wacana.co/2014/02/kaharingan-agama-leluhur-suku-dayak/pada

tanggal 02Oktober 2018 pukul 11.31 WIB.

https://id.wikipdia.org/wiki/suku-Dayak pada tanggal 28 April pukul 23.44 WIB.

https://www.hipwee.com/list/mengenal-7-rumpun-suku-dayak-di-pulau-

kalimantan/ pada tanggal 30 April 2018 pukul 22.29 WIB .

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ngaju pada 02 Juni 2018 pukul 23.04

WITA.

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Kayan pada tanggal 02 Juni 2018

pukul 23.49 WITA.

http://asiantribal.blogspot.com/2013/03/asal-usul-suku-dayak-kayan.html pukul

10.33 WIB pada tanggal 06 Agustus 2018. Diakses dari

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Iban pada 03 Juni 2018

pukul 00.02 WITA.

https://www.hipwee.com/list/mengenal-7-rumpun-suku-dayak-di-pulau-

kalimantan/ pada 03 Juni 2018 pukul 00.14 WITA.

https://ms.wikipedia.org/wiki/Murut pada tanggal 03 Juni 2018 pukul 00.41

WITA.

http://protomalayans.blogspot.com/2012/07/suku-dayak-punan.html pada tanggal

06 Agustus 2018 pukul 13.04 WIB.

http://www.netralnews.com/news/rsn/read/101038/inilah.suku.dayak.punan..primi

tif.yang.t pada 03 Juni 2018 pukul 00. 52 WITA.


132

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Ot_Danum pada 03 Juni 2018 pukul

00.59 WITA.

https://ekapalangka.wordpress.com/2011/05/26/upacara-perkawinan-masyarakat-

suku-dayak-ngaju-dalam-kajian-agama-dan-adat/ pada 11 Mei 2018

pukul 11.40 WITA.

https://ekapalangka.wordpress.com/2011/05/26/upacara-perkawinan-masyarakat-

suku-dayak-ngaju-dalam-kajian-agama-dan-adat/ pada tanggal 04 Juli

2018 pukul 16.00 WIB.

https://rid755.wordpress.com/2012/07/30/pelaksanaan-upacara-perkawinan-

agama-hindu-kaharingan/ pada tanggal 04 Juli 2018 pukul 16.04 WIB.

http://www.senibudayaku.com/2017/12/upacara-adat-kalimantan-

tengah.html?m=1# pada tanggal 13 Juli 2018 pukul 12.32 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Marko_Mahin pada tanggal 26 Agustus 18 pukul

12.48 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan pada tanggal 03 Oktober 2018 pukul

17.56 WIB.

https://tokoh.id/biografi/5-wiki-tokoh/antropolog-penyelami-kaharingan/ pada

tanggal 08/08/2018 pukul 20.30 WIB.

http://www.netralnews.com/news/rsn/read/104265/inilah-9-hal-pantangan-yang-

dilakukan-ibu-ibu-dayak-saat-hamil pada tanggal 14 Agustus 2018 pukul

11.16 WIB.
133

https://www.google.com/amp/s/doyosukmo.wordpress.com/2011/01/21/seni-

pahat-patung/amp/?espv=1 pada tanggal 25 Agustus 18 pukul 22.18

WIB.

http://visitingkutaikartanegara.com/depan?module=daya_tarik&sub=seni_dan_bu

daya&halaman=5 pada tanggal 12 Agustus2018 pukul 17.45 WIB.

https://tokoh.id/biografi/5-wiki-tokoh/antropolog-penyelami-kaharingan/ pada

tanggal 12 Agustus 2018 pukul 19.13 WIB

Biografi

Daftar Riwayat Hidup Syamsir Salam didapatkan dari TU Fakultas Dakwah UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai