Dikualifikasikannya Vatikan sebagai salah satu subjek hukum internasional
tidak bisa lepas dari sejarah yang melatarbelakanginya. Sejarah mengisahkan pada pertengahan abad di zaman Romawi, terdapat perbedaan serta pemisahan kekuasaan dalam suatu negara antara kerajaan (kekaisaran) yang dipimpin oleh seorang kaisar/raja dengan kehidupan Gereja yang dipimpin oleh seorang Kepala Gereja yang disebut Paus. Hingga pada tahun 1870, Tahta Suci berhasil dianeksasi oleh Italia sehingga membuat keduanya terus mengalami konflik berkepanjangan. Konflik panjang tersebut akhirnya berakhir dengan dibuatnya Lateran Treaty (Perjanjian Lateran) yang ditandatangani pada tanggal 11 Februari tahun 1929 antara Wakil Perdana Menteri Vatikan yaitu Kardinal Pietro Gaspari dan Perdana Menteri Kerajaan Italia yaitu Benito Mussolini. Perjanjian Lateran pada umumnya memuat mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma untuk pendirian Tahta Suci dan sekaligus sebagai bentuk pengakuan atas berdirinya Takhta Suci. Sampai saat ini, Takhta Suci hanya memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam bidang keagamaan dan kerohanian saja. Sementara itu, urusan lainnya seperti sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya telah diserahkan ke pemerintahan Italia. Selanjutnya, Takhta Suci pada dasarnya tidak dapat dikategorikan sebagai suatu negara sebagaimana yang dimaksud dengan ketentuan Konvensi Montevideo tahun 1933 yang di dalamnya memuat unsur konstitutif negara sebagai subjek hukum internasional. Hal ini dikarenakan meskipun kerap disebut "Vatikan", Takhta Suci tidaklah sama dengan Negara Kota Vatikan. Apabila dilihat melalui sejarah, Negara Kota Vatikan baru berdiri sejak tahun 1929. Sedangkan, Takhta Suci sudah ada sejak masa-masa permulaan Agama Kristen. Meskipun tidak dapat dikategorikan sebagai suatu negara, Takhta Suci pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama dengan negara negara lainnya sebagai subjek hukum internasional. Hal ini dikarenakan Takhta Suci telah diakui baik itu dalam hal praktis kenegaraan maupun dalam tulisan para sarjana hukum modern sebagai subjek hukum publik internasional dengan hak dan kewajiban yang analog dengan negara berdaulat. Kepemilikannya akan personalitas hukum penuh dalam hukum internasional juga dapat dibuktikan oleh fakta bahwa Takhta Suci telah menjalin serta memelihara hubungan diplomatik dengan 178 negara. Selain itu, Takhta Suci juga ikut berperan aktif sebagai negara anggota dalam berbagai macam organisasi internasional antar pemerintah. Takhta Suci Vatikan juga dapat melakukan hubungan diplomatik secara langsung dengan negara lain. Misalnya saja mengenai pembukaan kantor perwakilan diplomatik di berbagai negara. Dalam hal ini, Takhta Suci juga memiliki perwakilan diplomatik yang telah tersebar di berbagai negara yang telah menjalin hubungan baik. Dalam hal ini tentu saja kedudukan wakil diplomat diplomat tersebut sejajar dengan wakil diplomat yang berasal dari negara negara lain. Selain itu, perlu diketahui bahwasanya secara resmi para duta besar bukanlah ditunjuk bagi Negara Kota Vatikan, melainkan bagi "Takhta Suci". Ditambah lagi wakil-wakil kepausan untuk negara-negara dan organisasi-organisasi internasional disambut sebagai perwakilan dari Takhta Suci, bukan sebagai perwakilan dari Negara Kota Vatikan. Pemeliharaan hubungan baik dengan Takhta Suci Vatikan pada dasarnya tidak lepas dari bentuk penghormatan dan penghargaan negara-negara terhadap paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci Vatikan dan umat Katolik sedunia. Hal inilah yang kemudian membuat banyak negara telah membuka hubungan diplomatik dengan Takhta Suci. Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa negara yang menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan juga sebaliknya, Takhta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara.