Anda di halaman 1dari 4

BANGSA Indonesia memilih sistem politik demokrasi berdasarkan ketentuan

Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, yang menetapkan Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD.
Kedaulatan rakyat berdasarkan UUD 1945 dibangun berdasarkan kesetaraan
antarwarga negara dalam hukum dan pemerintahan [Pasal 27 Ayat (1)] .
Sementara untuk penyelenggaraan negara, UUD 1945 mengadopsi demokrasi
perwakilan. Prinsip seperti inilah yang jadi alasan mengapa kesetaraan rakyat
dalam pemungutan dan penghitungan suara dan dalam alokasi kursi DPR dan
DPRD dan pembentukan daerah pemilihan menjadi kriteria pertama pemilu
yang adil dan berintegritas.

Indikator kesetaraan warga


Sekurang-kurangnya terdapat lima indikator kesetaraan warga negara ini.
Pertama, daftar pemilih tetap (DPT) mencapai derajat tinggi dalam tiga hal:
(a) cakupan, yaitu jumlah warga negara berhak memilih yang telah terdaftar
dalam DPT; (b) kemutakhiran, yaitu jumlah warga negara yang pada hari
pemungutan suara berhak memilih telah terdaftar dalam DPT, dan jumlah
warga negara yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemilih telah
dikeluarkan dari DPT pada hari pemungutan suara; dan (c) akurasi, yaitu
jumlah warga yang tidak berhak memilih sudah dikeluarkan dari DPT, dan
jumlah pemilih yang nama dan identitasnya telah ditulis sesuai dengan
seharusnya.
Kedua, setiap suara pemilih yang dikategorikan sah diperhitungkan dalam
pembagian kursi kepada partai serta calon (every vote counts) dan nilai suara
tersebut diperlakukan setara.
Ketiga, alokasi kursi DPR kepada provinsi dan DPRD kabupaten/kota atau
kecamatan dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk
sehingga jumlah penduduk untuk setiap daerah pemilihan (dapil) sama. Karena
jumlah penduduk untuk setiap dapil tak mungkin sama, maka perbedaan
dimungkinkan sepanjang dalam kisaran tertentu. Dengan demikian, prinsip satu
orang satu suara dan bernilai setara akan dapat dijamin.
Keempat, dapil anggota DPR dan DPRD yang dibentuk berdasarkan jumlah
penduduk dan/atau wilayah administrasi tak hanya merupakan suatu kesatuan
wilayah, tetapi juga kesatuan komunikasi sehingga memungkinkan penduduk
berinteraksi secara luas. Dapil merupakan tempat peserta pemilu bersaing
mendapatkan suara pemilih dan juga konstituen yang akan diwakili oleh wakil
rakyat. Karena itu, interaksi antarwarga dalam suatu dapil memungkinkan
mereka yang diwakili memengaruhi pihak yang mewakili.
Kelima, pembentukan dapil dilakukan sejumlah orang independen tapi
kompeten, sedangkan pembentukan dapil dilaksanakan dengan konsultasi
publik secara luas dan transparan dengan berbagai unsur masyarakat. Karena
konstituensi sangat penting dalam demokrasi perwakilan, maka partisipasi
konstituen dalam pembentukan konstituensi menjadi mutlak.
Kuantitas dan kualitas DPT untuk Pemilu Anggota DPR dan DPRD 2014 dapat
disimpulkan sebagai sangat tinggi karena mencapai sekitar 95 persen.
Mengingat umur memilih di Indonesia sangat rendah (telah berumur 17 tahun
atau lebih, atau sudah atau pernah menikah) dan umur penduduk relatif muda,
maka jumlah warga yang berhak memilih diperkirakan mencapai 75 persen
dari jumlah penduduk. Pada 9 April 2014 jumlah penduduk Indonesia
diperkirakan menjadi 251 juta sehingga jumlah pemilih diperkirakan 188 juta.
Berdasarkan data KPU, jumlah pemilih yang telah terdaftar dalam DPT Pemilu
2014 sekitar 186 juta untuk pemilih domestik dan hampir 2 juta untuk pemilih
luar negeri. Derajat cakupan DPT Pemilu 2014 sudah mencapai 97 persen (jauh
lebih tinggi daripada Pemilu 2009) karena semua hambatan struktural untuk
pendaftaran pemilih sudah tak ada lagi dalam UU Pemilu. Singkat kata,
persyaratan untuk dapat didaftar sebagai pemilih tak lagi didominasi oleh
persyaratan administrasi penduduk (KTP), tetapi juga menggunakan
persyaratan daftar pemilih (warga negara yang telah berhak memilih).
Derajat kemutakhiran juga cukup tinggi, tetapi setidak-tidaknya terdapat dua
potensi ketidakmutakhiran DPT. Pertama, jumlah anggota TNI dan anggota
Polri yang pensiun sebelum 9 April 2014 dan jumlah pemilih terdaftar yang
kemudian jadi anggota TNI atau Polri sebelum 9 April 2014. Tampaknya KPU
tak memiliki informasi mengenai hal ini. Kedua, jumlah pemilih terdaftar yang
meninggal dunia sebelum 9 April 2014. Karena sistem informasi administrasi
kependudukan dan catatan sipil belum mampu mendeteksi data seperti ini,
KPU juga tak punya infor- masi tentang pemilih yang meninggal.
Akurasi DPT Pemilu 2014 juga mencapai derajat yang tinggi karena sistem
informasi daftar pemilih Pemilu 2014 sangat transparan sehingga mudah
diketahui publik. Apabila pemilih, partai politik, media massa, dan pemantau
melaporkan data tidak akurat secara spesifik, KPU dengan segera dapat
mengoreksi DPT tersebut.

Akan tetapi, potensi data tidak akurat ini tampak pada pemilih yang secara
sengaja tidak diberi KTP oleh pemerintah daerah, seperti pemilih yang
bertempat tinggal di kawasan yang dilarang pemda (bantaran kali) atau pemilih
yang tinggal di suatu kawasan yang dimiliki pihak lain (berdomisili di suatu
lahan secara tidak sah). Dari tiga indikator DPT tersebut, derajat cakupan
mencapai tingkat tertinggi, sedangkan derajat akurasi mencapai tingkat
terendah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kuantitas dan kualitas DPT
Pemilu 2014 jauh lebih tinggi daripada Pemilu 2009.
Kesetaraan keterwakilan
Karena alokasi kursi DPR kepada setiap provinsi untuk Pemilu 2009 dan
Pemilu 2014 sama, maka yang perlu dipertanya-
kan adalah apakah kesetaraan perwakilan sudah terjamin dalam Pemilu 2009
dan 2014. Pemilu anggota DPR dalam sejarah Indonesia mulai dari DPR hasil
Pemilu 1955, pemilu selama Orde Baru, sampai hasil Pemilu 1999 dan Pemilu
2004 memang tidak pernah melaksanakan prinsip kesetaraan perwakilan.
Sebab, belum ditemukan solusi atas kesenjangan jumlah penduduk yang
sebagian besar tinggal di Pulau Jawa dengan luas wilayah yang sebagian besar
terletak di luar Jawa.
Akan tetapi, ketidaksetaraan perwakilan yang terjadi pada DPR 2009-2014 dan
DPR 2014-2019 merupakan yang paling parah. Sebab, baik provinsi yang
terwakili secara berlebihan karena jumlah penduduk untuk satu kursi sangat
rendah maupun provinsi yang terwakili secara lebih rendah karena jumlah
penduduk untuk satu kursi sangat besar terletak di luar Pulau Jawa. Berikut
buktinya.

Berdasarkan Sensus Penduduk 2010 dan alokasi kursi DPR untuk Pemilu 2009
dan 2014, maka orang Indonesia yang tinggal di Papua Barat, Papua, Kalsel,
Sulsel, Aceh, Gorontalo, Maluku Utara, dan Sumbar (harga satu kursi berkisar
253.000 penduduk di Papua Barat sampai dengan 342.000 penduduk di
Sumbar) lebih tinggi kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan daripada
warga negara Indonesia yang tinggal di Kepulauan Riau, Riau, Sultra, Kaltim,
Sulteng, NTB, Kalbar, Sumsel, Sumut, Bali, Bengkulu, Lampung, Babel, dan
Jambi (harga satu kursi berkisar 400.000 penduduk di Bangka Belitung sampai
dengan 560.000 penduduk di Kepulauan Riau). Harga satu kursi di lima
provinsi lain di luar Pulau Jawa berkisar 354.000 penduduk sampai dengan
383.000 penduduk. Harga satu kursi di Pulau Jawa berkisar 420.000 penduduk
(Jawa Tengah) sampai dengan 476.000 penduduk (Jawa Barat).
Dua unsur dalam sistem pemilu anggota DPR yang menyebabkan tidak setiap
suara pemilih yang dikategorikan sebagai sah tidak diperhitungkan setara
dengan suara pemilih lainnya. Pertama, ambang batas memasuki DPR sebesar
2,5 persen suara dari hasil pemilu DPR pada Pemilu 2009 dan 3,5 persen suara
dari hasil pemilu DPR pada Pemilu 2014 menyebabkan suara pemilih yang
diberikan kepada partai yang tak mencapai ambang batas tak akan
diperhitungkan dalam pembagian kursi. Pada Pemilu 2009, jumlah suara yang
tak diperhitungkan ini mencapai 19 juta dari 29 partai. Kedua, suara pemilih
yang diberikan kepada partai peserta pemilu dinilai lebih rendah daripada suara
yang diberikan kepada calon. Suara yang diberikan kepada calon tak saja
menentukan perolehan kursi partai, tetapi juga ikut menentukan calon terpilih,
sedangkan suara yang diberikan kepada partai hanya menentukan perolehan
kursi partai.

Proses pembentukan dapil


Pembentukan dapil anggota DPR untuk Pemilu 2009 dan 2014 juga
mengandung cacat karena setidak-tidaknya tiga dari 77 dapil tidak merupakan
suatu kesatuan wilayah dan komunikasi. Ketiga dapil itu adalah Dapil III Jabar,
Dapil II Kalsel, dan Dapil I Lampung. Dapil III Jawa Barat, yang terdiri atas
Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor, tidak merupakan kesatuan wilayah dan
komunikasi karena di antara Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur terdapat
Kabupaten Bogor yang merupakan dapil tersendiri. Dari segi wilayah dan
komunikasi, warga Kota Bogor lebih berinteraksi dengan warga Kabupaten
Bogor daripada Kabupaten Cianjur. Karena itu, Kabupaten Bogor lebih tepat
digabung dengan sebagian Kabupaten Bogor menjadi satu dapil, dan sebagian
Kabupaten Bogor digabung dengan Kota Depok menjadi dapil lain.
Dapil II Kalimantan Selatan yang terdiri atas tiga kabupaten dan dua kota
(Kota Banjarmasin dan Kota Banjar Baru) tidak merupakan suatu kesatuan
wilayah dan komunikasi. Sebab, Kabupaten Banjar yang terletak di antara
kedua kota tersebut (daerah induk kedua kota tersebut) tidak bergabung ke
dalam Dapil II, tetapi ditempatkan pada Dapil I. Dari segi kesatuan wilayah
dan komunikasi yang memungkinkan berinteraksi secara luas antarwarga,
Kabupaten Banjar lebih tepat digabungkan dengan Kota Banjarmasin dan Kota
Banjar Baru (dan kabupaten lain) menjadi suatu dapil.
Kota Metro yang dikelilingi oleh Kabupaten Lampung Timur dan Lampung
Tengah (yang bersama enam kabupaten lain tergabung dalam Dapil II) justru
ditempatkan pada Dapil I. Sudut Kota Metro memang bersentuhan dengan
sudut Kabupaten Lampung Selatan. Akan tetapi, dari segi wilayah dan
komunikasi, warga Kota Metro lebih berinteraksi dengan warga Kabupaten
Lampung Timur dan Kabupaten Lampung Tengah.
Alokasi kursi dan pembentukan dapil oleh DPR lebih mementingkan
kepentingan partai politik di DPR daripada kepentingan penduduk yang
menjadi konstituen. Selain itu, pembentukan konstituensi cenderung bersifat
tertutup di antara sembilan wakil fraksi dan seorang wakil pemerintah tanpa
konsultasi publik di berbagai daerah.

Anda mungkin juga menyukai