Anda di halaman 1dari 18

Teori Kedaulatan

Banyak orang menganggap kedulatan sebagi sifat ciri yang hakiki dari Negara.

Dalam pada itu, biasanya mereka mengadakan perbedaan antara kedaulatan Negara

(sebagai purusa hukum) dan kedaulatan pendukung kekuasaan Negara. Dari yang hal-

hal yang lalu jelaslah bahwa pembagian tersebut tak mempunyai dasar yang riil.

Sebagai sifat ciri-ciri pengertian kedaulatan kurang layak dipakai, karena pengertian ini

bersifat mudah berubah, tidak tentu. Arti pengertian kadaulatan berubah sepanjang

waktu. Pada waktu ini, pengertian itu sama sekali tidak tentu, karena kini banyak

perselisihan paham mengenai pengertian tersebut.1

Perkataan kedaulatan timbul di Prancis dalam abad menengah. Pada mulanya

tidak hanya raja yang bedaulat, melainkan juga “baroin” yang menjalankan kekuasaan

pemerintah dalam daerahnya sebagai “vazal” raja: Voirs est que la rois est sovrains par

desor taous. Jadi berdaulat atau souverein (dari kata superanus atau superior) adalah

pengertian yang komparatif. Kemudian waktu kekuasaan raja meningkat keatas

kekuasaan baron, maka arti kedaulatan berubah menjadi superlatief (supremus). Hanya

rajalah yang berdaulat pada waktu itu. Jean Bodin (1530-1569), ialah yang pertama-

tama memberi definisi yang tegas tentang pengertian kedaulatan yang baru itu, dan

mengangkat pengertian itu sebagi sifat ciri Negara. Dalam karangannya “six livres de la

république” (1576), Negara diuraikannya sebgai berikut: “la république est droit

government de plusieurs ménages et de ce qui leur est commun avec puissance

1
L.J. Van Apeldoorn, Pengertian Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 2009, hlm. 295
souveraine”. Dan kedaulatan menurut belaiau adalah “la puissance absolue et

perpétuelle d’une république”.2

Pengertian kedaulatan ini berabad-abad menguasai ilmu hukum Negara.

Daripadanya orang menarik kesimpulan, bahwa kedaulatan harus mempunyai tiga sifat:

tak dapat di[pecah-pecah, asli dan sempurna atau (tak terbatas).3

Kedaulatan tak dapat dipecah-peca karena dalam suatu Negara hanya terdapat

satu kekuasaan tertinggi. Kedaulatan harus asli karena kekuasaan yang tertinggi tak

dapat berasal dari kekuasaan yang lebih tinggi, yang dapat membatasi kekuasaan itu.4

Jean Bodin merupakan “bapak ajaran kedaulatan” atau “peletak dasar ajaran

kedaulatan”. Menurut Jean Bodin, kedaulatan adalah kekauasaan tertinggi terhadap para

warga negara dan rakyatnya, tanpa ada suatu pembatasan apapun dari undang-undang.

Kedaulatan juga merupakan kekasan tertinggi untuk menentukan hukum dalam negara.

Jean Bodin juga beranggapakan bahwa tidak ada kedaualatan yang bersifat mutlak,

yangada hanyalah kedaulatan terbatas baik diluar maupun didalam negaranya, tetapi

kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dari sebuah negara.5

Menurut Johannes Althusius, kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi untuk

menyelenggarakan segala sesauatu yang menuju kepada kepetingan jasmani dan rohani

dari anggota – anggota negara ( warga negara ), kekuasaan ini ada padda rakyat sebagai

kesatuan”.

2
L.J. Van Apeldoorn, Pengertian Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 2009, hlm. 295
3
L.J. Van Apeldoorn, Pengertian Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 2009, hlm. 296
4
L.J. Van Apeldoorn, Pengertian Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 2009, hlm. 296
5
Usep Ranawidjaja, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Ghalla Indonesia, 1983, hlm.182
Terdapat 5 bentuk teori kedaualatan berdasarkan siapa yang memiliki kekuasaan

tertinggi dalam negara :

a. Kedaulatan Tuhan

b. Kedaulatan Raja

c. Kedaulatan Negara

d. Kedaulatan Rakyat

e. Kedaulatan Hukum

Teori Kedaulatan Rakyat

Teori kedaulatan rakyat berpandangan bahwa rakyatlah menjadi raja sebagai

penentu kebijakan publik (public policy). Kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh sistem

demokrasi. Demokrasi sendiri berasal dari kata Demos = rakyat dan Cratein =

pemerintahan. John Lock sebagai pencetus kedaulatan rakyat sangat mengidam-

idamkan terwujudkan kedaulatan rakyat. Dia menggambarkan bahwa terbentuknya

sebuah Negara berdasarkan kontrak sosial yang terbagi atas dua bagian yaitu factum

unionis (perjanjian antar rakyat) dan factum subjectionis (perjanjian antara rakyat

dengan pemerintah). Hal inilah yang mendasari teori liberalism.

Konstitusi RI yaitu UUD 1945 telah menyebutkan dalam Pembukaan UUD

1945: “… susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat…”

selanjutnya pasal 1 ayat (2) berbunyi: “kedaualtan adalah ditangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” .


Pernyataan di atas dengan tegas Indonesia menganut kedaulatan rakyat. Salah

satu pelaksanaan dari kedaulatan rakyat adalah pemilihan umum yang dilaksanakan

setiap lima tahun sekali. Pemilu tahun 2004 terakhir kali merupakan pemilu yang baru

dilasanakan berbeda dari pemilu sebelumnya. Pemilu 2004 memberikan kebebasan

kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih salah satu pasangan calon presiden dan

wakil presiden. Kejadian ini merupakan kejadian yang belum pernah terjadi dalam

ketatanegaraan Republik Indonesia.

Kedaulatan Rakyat

Dalam isu kedaulatan rakyat, pemikir yang seringkali dirujuk adalah JJ

Rousseau. Dalam bukunya Contract ,Sodale (1763), Rousseau berpendapat bahwa

manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada dalam

keluguan. Sayangnya, keluguan ini hilang ketika membentuk masyarakat dengan

lembaga- lembaganya. Pada saat itu, manusia beralih menjadi harus taat pada peraturan

yang dibuat oleh penguasa yang mengisi kelembagaan dalam masyarakat. Peraturan itu

menjadi membatasi dan tidak bermoralitas asli karena dibuat oleh penguasa. Dengan

demikian, manusia menjadi tidak memiliki dirinya sendiri.

Bagaimana cara mengembalikan manusia kepada keluguan dengan moralitas

alamiah dan bermartabat? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja

dan kaum bangsawan yang mengatur masyarakat barus ditumbangkan dan kedaulatan

rakyat harus ditegakkan. Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat terhadap

rakyat hanyalah rakyat sendiri. Tak ada orang atau kelompok yang berhak untuk
meletakan hukumnya pada rakyat. Hukum hanya sah bila ditetapkan oleh kehendak

rakyat.

Faham kedaulatan rakyat adalah penolakan terhadap faham hak raja atau

golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada

golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat.

Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri.

Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah: yang manakah kehendak rakyat itu?

Bukankah rakyat adalah ratusan juta individu (di Indonesia) yang masing-masing punya

kemauan dan jarang sekali atau tak pernah mau bersatu? Rousseau menjawab

pertanyaan ini dengan teori Kehendak Umum. Menurut teori ini: sejauh kehendak

manusia diarahkan pada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka kehendak mereka

tidak bersatu atau bahkan berlawanan. Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum,

bersama sebagai satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu

kehendak umum.

Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itu lah yang menjadi dasar

konstruksi negara dari Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak

umum itu. Tidak ada perwakilan rakyat oleh karena kehendak rakyat tidak dapat

diwakili. Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui

perundangan yang diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar panitia yang diberi tugas

melaksanakan keputusan rakyat. Karena rakyat memerintah sendiri dan secara langsung,

maka tak perlu ada undang-undang dasar atau konstitusi. Apa yang dikehendaki rakyat

itu lah hukum.


Dengan demikian, negara menjadi republik, res publica, urusan umum.

Kehendak umum disaring dari pelbagai keinginan rakyat melalui pemungutan suara.

Keinginan yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak dianggap sebagai tidak

umum dan akihirnya harus disingkirkan. Kehendak yang bertahan sampai akhir proses

penyaringan, itulah kehendak umum.

Untuk memahami kehendak umum menurut Rossesau diperlukan virtue,

keutamaan. Orang harus dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan

kelompoknya di satu pihak dan kepentingan umum di lain pihak.

Jadi untuk berpolitik dan bernegara diperlukan kemurnian hati yang bebas dari segala

pamrih. Berpolitik menjadi masalah moralitas.

Dalam perkembangannya, teori kehendak umum yang digunakan untuk

menjelaskan kedaulatan rakyat memiliki dua kelemahan, sebagaimana disebutkan oleh

Franz Magnis Suseno (1992: 83-85): Pertama, tidak dikenalnya konsep perwakilan

rakyat yang nyata. Rousseau lebih menekankan pada kebebasan total rakyat dan

berasumsi bahwa kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Kedua, tidak adanya

pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan kekuasaan Negara.

Kedua kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme kehendak umum,

sebagaimana terjadi di Perancis, sekitar 200 tahun lampau. Pada saat itu, kehendak

bebas dan total rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter Louis XVI tetapi di lain sisi

melahirkan suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan ”kehendak murni”

rakyat. Totalitarisme itu, di bawah pimpinan Robbespierre, telah menghadirkan suatu

teror. Robbespierre mengidentifikasi kehendaknya dengan kehendak rakyat. Ketika itu,


kehendak yang tidak sama dengannya, secara sederhana dianggap sebagai kehendak di

luar “kehendak murni’ rakyat.

Teori Kedaulatan Negara

Teori kedaulatan negara merupakan salah satu teori kedaulatan yang menyatakan

bahwa kedaulatan itu ada pada negara. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala

sesuatu harus tunduk pada negara . Negara disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang

menciptakan peraturan–peraturan hukum, jadi adanya hukum itu akibat dari adanya

negara, dan tiada satu hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.

Penganut teori kedaulatan negara ini antara lain adalah Jean Bodin, dan Georg Jellinek.

Hakekatnya teori kedaulatan negara itu atau staat-souvereiniteit, hanya

menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi ada pada negara, tidak melihat kekuasaan

tersebut bersifat absolut, maupun bersifat terbatas, dan ini harus dibedakan dengan

pengertian ajaran staat-absolutisme. Karena dalam ajaran staat- souvereiniteit itu pada

prinsipnya hanya dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan

tertinggi ini mungkin bersifat absolut , tetapi mungkin juga bersifat terbatas . sedangkan

dalam ajaran staat-absolutisme dikatakan bahwa kekuasaan itu bersifat absolut , jadi

berarti tidak mungkin bersifat terbatas, dalam arti bahwa negara itu kekuasaanya

meliputi segala segi kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara

itu tidak lagi mempunyai kepribadian.

Teori kedaulatan negara ini juga dikemukakan oleh georg jellinek. Pada

pokoknya jellinek mengatakan bahwa hukum itu adalah merupakan penjelmaan dari
pada kehendak atau kemauan negara. Jadi juga negaralah yang menciptakan hukum,

maka negaralah dianggap sebagai satu – satunya sumber hukum, dan negaralah yang

memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Sehingga diluar negara tidak ada satu

organpun yang berwenang menetapkan hukum. Maka dalam hal ini lalu berarti bahwa

adat kebiasaan, yaitu hukum yang tidak tertulis maupun peraturan yang tidak

dikeluarkan negara atau dibuat oleh negara dianggap bukanlah sebuah hukum, yang

demikianlah pendapat yang dibenarkan oleh Jean Bodin , sedangkan menurut pendapat

Georg Jellinek adat kebiasaan dan hukum – hukum lainnya itu dapat menjadi hukum,

apabila hukum–hukum itu sudah ditetapkan oleh negara sebagai sebuah hokum. Negara

adalah satu-satunya sumber hukum. Oleh sebab itu kekuasaan tertinggi harus dimiliki

oleh negara.6

Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada

batas–batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur dalam

Hukum Internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kedaulatan

negara bersifat relative (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks hokum

Internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan menghormati

hokum Internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah negara lain.7

Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus

dari suatu negara. Tanpa adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang dinamakan

6
Abu Daud Busroh, Ilmu negara hal 71
7
Suryo sakti hadiwijoyo,perbatasan negara dalam dimensi Hukum Internasional. Hlm. 41.
negara8. Ia juga menyatakan bahwa kedaulatan tersebut mengandung satu – satunya

kekuasaan sebagai:

1) Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain;

2) Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat

membatasi

3) kekuasaannya;

4) Bersifat abadi atau immortal;

5) Tidak dapat dibagi – bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja;

6) Tidak dapat dapat dipindahtangankan atau diserahkan kepada pihak lain.9

Kedaulatan suatu negara dalam implementasinya dimanifestasikan menjadi 3

(tiga) aspek utama yaitu: Pertama, kedaulatan internal (kedalam). Kedaulatan secara

internal memiliki pengertian bahwa hal itu merupakan kewenangan tertinggi yang

dimiliki oleh sebuah negara di dalam wilayah kekuasaannya. Kedaulatan internal berarti

merupakan kekuasaan tertinggi suatu negara untuk mengatur masalah – masalah dalam

negerinya. Kedaulatan internal dari suatu Negara diwujudkan dalam otoritas negara

dalam menentukan bentuk negara, bentuk system pemerintahan yang dipilih oleh negara

tersebut, system politik, kebijakan – kebijakan dalam negeri, maupun hal–hal yang

berkaitan dengan pembentukan system hokum nasional, dimana dalam penentuan

kesemua hal tersebut tidak dapat dicampuri oleh negara lain.10

8
Fred isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta , bandung , 1996, hlm. 108.
9
Muchtar Affandi, ilmu – ilmu Negara , Alumni , Bandung, 1971, hlm. 160.
10
Nkambo Mugerwa, Subjects of International Law, Edited by max Sorensen, Mac Millan, New York,
1968. P.253.
Ke-dua, kedaulatan eksternal (ke luar). Pengertian kedaulatan secara eksternal

ialah kemampuan negara – negara dalam melakukan hubungan internasional. Sisi

eksternal dari kedaulatan negara dimanifestasikan dalam wujud kekuasaan dan

kemampuan suatu negara untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain dan menjalin

kerjasama atau hubungan internasional. Kemampuan dan kewenangan tersebut antara

lain berupa peran serta dalam perundingan, konfrensi internasional, penandatanganan

perjanjian internasional dalam berbagai bidang, terlibat dalam organisasi internasional,

dan lain sebagainya.

Ke-tiga, kedaulatan teritorial, pengertian dari kedaulatan teritorial ialah bahwa

kekuasaan penuh dan ekslusif yang dimiliki oleh negara atas individu – individu dan

benda–benda yang terdapat di wilayah tersebut.

Teori Kedaulatan Tuhan

Menurut sejarah, teori kedaulatan tuhan adalah teori kedaulatan paling tua

dibandingkan dengan teori kedaulatan lainnya. Dalam teori kedaulatan tuhan, tuhan lah

yang mempunyai kuasa terhadap segala alam dan manusia dimuka bumi. Paham

kedaulatan ini berkembang pada abad pertengahan, yakni antara abad V sampai abad

XV masehi.

Hal ini terjadi seiring perkembangan agama Kristen di Eropa. Yang awalnya

perkembangan agama Kristen di toleransi oleh kerajaan Romawi akhirnya diakui –

karena menjadi kelompok agama yang mempunyai pengaruh besar dalam negara -

menjadi agama resmi negara. Dari pengakuan ini masih menyisakan masalah yakni
masalah antara kelompok politik dan kelompok agama. Karena kelompok politik

mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap negara mencakup loyalitas terhadap dewa-

dewa negara, hal ini ditolak oleh kelompok agama karena bertentangan dengan doktrin

agama Kristen11. Kemudian pemuka agama Kristen melakukan pengorganisiran

terhadap penganutnya yang kemudian menjadi organisasi keagamaan, yakni gereja dan

di kepalai oleh Paus12.

Salah satu tokoh teori kedaulatan tuhan adalah St. Augustinus yang menyatakan

bahwa yang mewakili Tuhan di dunia dan juga dalam suatu negara adalah Paus. Antara

kekuasan raja dan Paus itu sama, maka ada pembagian wilayah kekuasaan. Dalam

pembagian ini raja berkuasa dalam wilayah kedunawian dan paus berkuasa dalam

wilayah keagaman.18 Dalam perkembangannya Marsillius menitik beratkan kekuasan

berada di tangan raja sebagai wakil Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau

memegang kedaulatan di bumi. Namun dalam karya Unam Sanctam, meyatakan bahwa:

“ …. Oleh karena itu, keduanya, kekuasaan spiritual dan kekuasaan dunia,

berada di tangan Gereja.... Karenanya satu pedang harus berada dibawah pedang lainnya

dan kekuasaan dunia tunduk pada kekuasaan spiritual… Oleh karenanya, jika kekuasaan

bumi menyimpang, ia harus dihakimi oleh kekuasaan spiritual.. Tetapi jika kekuasaan

tertinggiu menyeleweng, ia hanya bisa dihakimi oleh Tuhan, bukan oleh manusia.”13

Dari karya tersebut menurut beberapa komentator menjadi dasar bagi Paus untuk

11
Henry J Schmandt, Filsafat Politik; Kajian Historis hlm. 141-142.

12
Sochino, Ilmu Negara, hlm. 152
13
Dikutip dari Henry J Schmandt, Filsafat Politik; Kajian Historis hlm.177.
melakukan imperialisme kepada kerajaan-kerajaan yang tidak mau tunduk dibawah

kekuasaannya. Machiavelli mencatat banyak negara-negara yang takut untuk tidak

tunduk dibawah kekuasaan geraja (baca ; Paus) karena dua hal pertama karena negara-

negara dibawah kekuasaan Paus takut akan kebesaran Gereja, kedua tidak adanya

kardinal yang menyebabkan pertikaian diantara negara bawahan Paus.14

Jadi kedaulatan Tuhan adalah Prinsip dasar teori kedaulatan tuhan (god-

souvereniteit) adalah bahwa kekuasaan dlm negara berasal dari tuhan oleh karena itu

seorang penguasa negara menjalankan kekuasaan nya dalam negara nya sebagai wakil

tuhan saja bukan menjalankan kekuasaan sendiri atau kekuasaan milik negara.

Timbulnya ajaran kedaulatan tuhan ini di sebabkan oleh kepercayaan orang beragama

bahwa tuhan lah yg menjadi maha pencipta langit dan bumi dengan segenap isi nya,
15
sehingga tuhan lah yg mempunyai kekuasaan tertinggi di semesta ini. Pemikir yang

menganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Dan mereka

beranggapan bahwa bukan persoalan siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau

kedaualatan, karena mereka sepakat bahwa yang mempunyai kekauasaan tertinggi atau

kedaulatan adalah Tuhan.

Teori Kedaulatan Raja

Konsep Kedaulatan Raja sama tuanya dengan gagasan Kedaulatan Tuhan.

Bahkan sampai abad ke-6, semua negara yang tercatat dalam sejarah selalu dipimpin

14
Nicollo Machiavelli, Il Principe ; Sang Penguasa, terj.C. Woekirsari. Cet. VI
(Jakarta : Gramedia Pustaka, 2002) hlm. 48.

15
Muchtar Affandi, Op. Cit., hlm.215
oleh penguasa yang bersifat tuturn temurun, yang biasa disebut sebagai Raja atau

Ratu. Negara pertama yang tercatat melakukan suksesi kepemimpinan tidak melalui

hubungan darah hanya di zaman sepeninggal nabi Muhammad saw yang kemudian

digantikan oleh Khalifah Abubakar Shiddiq, dilanjutkan oleh Umar ibn Khattab,

Usman ibn ‘Affan, dan terakhir Ali ibn Abi Thalib sebelum akhirnya kembali lagi ke

sistem kerajaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara Madinah selam periode

keempat khalifah inilah yang disebut sebagai negara yang berbentuk republik yang

murni sebagaimana yang diidealkan oleh Plato di zamannya.16

Dalam konsep kedaulatan raja ini, Raja lah yang dipandang mempunyai

kekuasaan tertinggi atas apa saja. Karena besarnya kekuasaan para raja itu, berkembang

pula pengertian mengenai imperium yang dibedakan dari dominion. Seperti dikatakan

oleh Montesquieu, ‘imperium’ merupakan konsep ‘rule over individuals by the prince’,

sedangkan dominium atau ‘dominion’ merupakan ‘rule over things by the individuals’.

Namun, jika kedua pengertian itu berhimpun jadi satu, maka sang Raja sudah dipastikan

menjadi tiran yang tidak dapat dikendali oleh apapun dan siapapun. Tentu, di zaman

sekarang, pengertian yang demikian ekstrim sudah banyak ditinggalkan orang.

Meskipun demikian, negara-negara yang berbentuk kerajaan masih cukup banyak di

dunia sekarang ini. Akan tetapi, semua kerajaan-kerajaan yang masih ada itu, pada

umumnya, sudah mengalami perubahan mendasar dalam cara bekerjanya sehari-hari. Di

zaman sekarang, konsep kedaulatan rakyat tidak lagi dikaitkan dengan kedaulatan

Tuhan, melainkan diintegrasikan dengan konsep kedaulatan rakyat, sehingga negara-

16
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 87-88
negara kerajaan dewasa ini berhasil membedakan dan memisahkan antara fungsi kepala

negara dengan kepala pemerintahan. Karena itu, muncullah konsep monarki

konstitusional (constitutional monarchy) dalam praktik. Negaranya adalah kerajaan,

tetapi hukum tertinggi yang berlaku adalah konstitusi. Dengan demikian, dewasa ini,

tidak ada masalah dengan pengertian umum mengenai kerajaan yang menganut paham

kedaulatan raja, karena pada saat yang sama kerajaan-kerajaan itu dapat mengadopsi

gagasan- gasan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum sekaligus.17

Pada intinya dengan adanya paham kekuasaan Gereja terhadap kerajaan-

kerajaan di eropa mulai memudar. Raja sebagai penguasa dalam sistem negara monarki

mempunyai kekuasaan dominan terhadap elemen-elemen yang dalam negara. Karena

hal ini berasal dari asumsi rakyat menyerahkan kekuasan meraka kepada raja untu

mengatur kehidupan warga negara. Awalnya konsep ni dapat diterima oleh rakyat.

Namun, lama kelamaan kekasaan raja yang dominan membawa rakyat kearah yang

tidak memberikan ruang dan hak kebebasan dan kemerdekaan bagi rakyat. Dengan

kondisi yang merugikan rakyat kemudian kekuasaan raja yang dominan dibatasi.

Teori Kedaulatan Hukum

Teori Kedaulatan Hukum (rechtssouvereniteit) dipelopori oleh filsuf


berkebangsaan Belanda bernamaHugoKrabbe (1857-1936). Teori ini dijabarkan dalam
pelbagai karyanya, yaitu:

17
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 5-6
a. Die Lehre der Rechtssouvereinitet, Betrag zur Staatslehre (1906);
b. De moderne Staatsidee (1916; terjemahannya dalam bahasa Jerman dikeluarkan
tahun 1919 dan dalam bahasa Inggris tahun 1922);
c. Het Rechtsgezag (1917); d. De Innerlijke waardesder Wet (terjemahkan di Lei
den 1924).18

Teori Kedaulatan Menurut Krabbe pada hakekatnya adalah:

“Hukum itu sama sekali tidak tergantung dari kehendak manusia, bahkan hukum adalah
suatu hal yang terlepas dari keinginan manusia. Hukum terdapat dalam kesadaran
hukum tiap-tiap orang. Kesadaran hukum itu tidaklah dipaksakan dari luar, melainkan
dirasakan orang dalam dirinya sendiri. Kesadaran itu memaksa orang untuk
menyesuaikan segala tindakkannya dengan kesadaran hukum itu”.19

Sunarjati Hartono mengemukakan bahwa bagi Krabbe “hanyalah hukum yang


menjadi sumber dari pada kekuasaan negara itu”.20 Oleh karena itu, tugas negara adalah
untuk menjelmakan kesadaran hukum itu dalam bentuk ketentuan-ketentuan hukum
positif, yang nyata, berupa peraturan-peraturan hukum.

Teori Kedaulatan Hukum mendalilkan bahwa hukum lahir dari kesadaran


individu, sedangkan Teori Kedaulatan Negara mendalilkan negara lebih tinggi dari pada
hukum yang dapat pula diartikan bahwa negara tidak tunduk pada hukum karena hukum
merupakan perintah dari negara itu sendiri. Teori Kedaulatan Hukum memiliki
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri,baik raja, penguasa,
maupun rakyat bahkan negara itu sendiri tunduk pada hukum. Semua sikap, tingkah
laku, dan perbuatan harus menurut hukum”21
18
Muchtar Affandi, 1971, Himpunan Kuliah Ilmu Ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, h. 166-167

19
Muchtar Affandi, 1971, Himpunan Kuliah Ilmu Ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, h. 166-167
20
Sunarjati Hartono, 1969, Apakah The Rule Of Law itu?, Alumni, Bandung, h. 45

21
H. Salim, HS, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo Persada, Cetakan Kedua,
Jakarta, h. 135.
Krabbe mendalilkan bahwa hukum bukanlah ketentuan-ketentuan yang dibuat
penguasa. Penguasa hanya memberikan perumusan formil saja kepada hukum yang
telah ada pada kesadaran hukum orang, malahan sebaliknya kekuasaan penguasa pun
berasal dari hukum dan harus sesui dengan kesadaran hukum orang. Kelemahan dari
Teori Kedaulatan Hukum ini adalah bahwa anggapan tentang hukum, yaitu anggapan
tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil, tidaklah mutlak sama pada semua orang
sehingga hukum tidak sama dan secara mutlak pada setiap tempat dan setiap waktu, Hal
ini ditegaskan oleh Rodee, Anderson dan Christol dalam buku mereka “Introduction to
Political Science” yang dikutip oleh Muchtar Affandi mereka berkata. „A basic
difficulty is, that law means so many differen things to so many different persons at so
many different times and places”.22
Jellinek dengan teori Selbstbindung, yaitu suatu teori yang menyatakan bahwa
negara dengan sukarela mengikatkan diri atau mengharuskan dirinya tunduk kepada
hukum sebagai penjelmaan dari kehendak sendiri23. Teori Jellinek ini merupakan bentuk
kritik terhadap teori Krabbe, bahwa bukanlah negara yang memiliki kedaulatan
melainkan kesadaran hukum yang memiliki kedaulatan. Padangan ini kemudian
dibantah oleh Krabbe dengan mengatakan hukum yang berasal dari kesadaran hukum
individual memiliki cara berlaku dan kekuatannya mengikat negara, karena perasaan
kesusilaan, estetika, dan keagamaan.
Teori Krabbe dapat disanggah oleh Struycken, dalam bukunya “Recht en Gezag
Critiche Bescchauwing van Krabe‟s Moderne Staatsidee” 24. Struycken mengatakan
bahwa rasa hukum individu tidak dapat dijadikan sumber hukum karena ia selalu
berubah pada setiap waktu, pandangan Struycken sejalan dengan Rodee, Anderson dan
Christol sebagai telah disinggung di atas. Namun, A.M. Doner ikut memperkuat Teori
Krabbe, ia mengatakan tunduknya negara terhadap hukum sebagai “de doordringing van
de staat met het recht artinya hukum mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara.

22
Muchtar Affandi, 1971, Himpunan Kuliah Ilmu Ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, hlm. 167
23
Dossy Iskandar & Bernard L. Tanya, 2005, Ilmu Negara “Beberapa Isu Utama”, Srikandi, Surabaya,
hlm.127
24
Dossy Iskandar & Bernard L. Tanya, 2005, Ilmu Negara “Beberapa Isu Utama”, Srikandi, Surabaya,
hlm. 128
Selain itu, Peperzak25, menilai, sumber hukum berasal dari kesadaran hukum
masayarakat tidak lain sebagai kristalisasi moral sehingga setiap pihak secara moral
pula harus mentaati hukum “hance the feeling that there is amoral duty to obey the
law”…). Hal senada juga dikatakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa “tidak ada siapa
pun bahkan Walikota Mephis, Gubernur New York, Presiden, dan Mahkamah Agung itu
sendiri, yang benar-benar tertinggi secara mutlak adalah hukum.26
Benih Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe ini sesungguhnya sudah ditabur
oleh Aristoteles sejak zaman Yunani kuno. Aristoteles bahkan sampai pada suatu
kesimpulan, bahwa salah satu kriteria dari suatu negara yang baik adalah harus terlihat
secara formal dianutnya kedaulatan hukum oleh negara itu. Lebih jauh Aristoteles
mengatakan, tidaklah benar apa yang dikemukakan oleh Plato bahwa pemerintah yang
berdasarkan hukum dapat diganti dengan pemerintah oleh penguasa yang bijaksana,
sebab penguasa yang bagaimanapun bijaksananya tidak dapat menggantikan hukum
karena hukum mempunyai sifat yang terlepas dari perseorangan. Hukum adalah akal
yang tidak dapat dipengaruhi oleh keinginan, demikian pandangan Aristoteles untuk
menguatkan teorinya tentang negara hukum.
Inti teori kedaulatan hukum yang mengajarkan tunduknya negara kepada hukum,
membawa konsekuensi bahwa setiap kekuasaan yang ada dalam negara harus tunduk
tehadap hukum. jadi hukum merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara, oleh karena
itu berpegang pada inti teori kedaulatan hukum, maka kekuasaan kehakiman pun harus
tunduk pada hukum. konsekuensi semua kekuasaan yang berada di bawah tetanan
negara hukum juga harus tunduk pada hukum. pada awalnya pemikiran negara hukum
muncul sejak zaman Yunani kuno yang dikemukakan oleh Plato dengan konsepnya
bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan
hukum yang baik yang disebut dengan istilah Nomoi. Gagasan Plato tentang negara
hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya Aristoteles dengan karyanya

25
Dossy Iskandar & Bernard L. Tanya, 2005, Ilmu Negara “Beberapa Isu Utama”, Srikandi, Surabaya,
hlm. 128
26
Lawrence M. Friedman, 2001, Hukum Amerika Sebuah Pengantar “American Law An Introduction”
diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Tatanusa, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Jakarta, h. 17
Politica, menurut Aristoteles suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah
dengan konstitusi dan kedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintah yang
berkonstitusi, yaitu: Pertama, Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
Kedua, pemerintah dilaksanakan menurut hukum didasarkan pada ketentuan-ketentuan
umum; Ketiga, Pemerintah berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas
kehendak rakyat. Dalam kaitan dengan konstitusi Aristoteles mengatakan bahwa
konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan apa
yang dimaksud dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat selain
itu konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut
aturan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai