Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL

DENGAN HUKUM NASIONAL


Muhammad Nur, S.H., M.H.
HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN
HUKUM NASIONAL (Ada 3 persoalan)

1. HI-HN merupakan satu sistem atau bukan?


2. Mana yang harus diutamakan atau
diprioritaskan?
3. Bagaimana berlakunya HI ke dalam HN?
1. Teori Monisme
◦ Memandang bahwa hukum nasional dan hukum internasional
hanyalah merupakan hukum utama bagi hukum nasional.
◦ Pada intinya aliran ini menganggap bahwa hukum internasional
lebih utama/unggul dari hukum nasional, contohnya dengan
munculnya rezim HAM internasional yang membuat hukum
nasional harus tunduk atau tidak boleh menghindar dari
kewajiban-kewajiban HAM internasional.
◦ Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain Hans Kelsen dan Sir Hersch
Lauterpacht.
2. Teori Dualisme
◦ Memandang bahwa hukum internasional memiliki status
lebih rendah dibanding hukum nasional.
◦ Hukum internasional dan hukum nasional sama sekali
berbeda dan berdiri sendiri satu dengan lainnya.
◦ Keberlakuan hukum internasional murni kewenangan
dari penguasa domestik (menekankan unsur persetujuan
negara). Oleh karena itu, hukum nasional memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dibanding hukum
internasional.
◦ Pendapat ini dinyatakan oleh Triepel dan Strupp.
3. Teori Koordinasi
◦Memandang apabila hukum internasional dan hukum
nasional memiliki lapangan berbeda dan memiliki
keutamaan di lapangannya masing-masing.
◦Hukum internasional dengan hukum nasional tidak
bisa dikatakan terdapat masalah pengutamaan, tidak
ada yang lebih rendah atau yang lebih tinggi.
◦Sebenarnya teori ini adalah modifikasi dari teori
dualisme, pengusungnya adalah Ian Brownlie, Sir
Gerald Fitzmaurice, dan Rousseau.
Apakah antara HI dan HN merupakan satu
system?
◦Monisme - HI dan HN merupakan dua aspek dari
satu sistem hukum yang mengatur kehidupan.
HI/HN sama-sama mengikat individu.
◦HI = mengikat secara kolektif. HN = mengikat
secara individual.
◦Dualisme – HI dan HN adalah dua sistem atau
perangkat hukum yang terpisah satu dengan
yang lainnya (berbeda).
Menurut Triepel Perbedaan
antara HI dan HN ada pada :
◦ Sumber hukum keduanya. HI bersumber pada kehendak
bersama negara. HN bersumberkan pada kehendak
negara itu sendiri.
◦ Subyek hukum keduanya. Subyek HI adalah negara,
sedangkan subyek HN adalah individu/badan hukum.
# Menurut Anzilotti perbedaan antara HI dan HN terletak
pada prinsip dasar yang melandasi hukum tersebut. HI
dilandasi oleh pacta sun servanda. Sedangkan HN dilandasi
oleh adagium bahwa per-UUan negara harus ditaati.
Kritik Terhadap Kedua Pendapat Tersebut:
◦ Perbedaan tersebut hanya pada proses penetapan hukum.
Tidak menyangkut substansinya (hak dan kewajiban) dan
tujuan hukum = ketertiban dan keadilan.
◦ Pada kenyataannya subyek HI tidak hanya negara semata-
mata.
◦ Konsekuensi yang timbul atas teori dualisme.
◦ Tidak ada tempat bagi persoalan hierarki antara HI dan HN
◦ Tidak mungkin ada pertentangan antara HI dan HN yang
mungkin hanya penunjukan (renvoi).
◦ Berlakunya HI ke dalam HN memerlukan transformasi.
Masalah Primacy (Pengutamaan)
◦ Menurut Hans Kelsen, penganut aliran Monisme :
menggunakan teori hierarchis untuk menentukan mana
yang harus diutamakan antara HI dan HN. Berlakunya
kaidah hukum ditentukan oleh kaidah hukum yang lain,
yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
(fundamental). Kaidah fundamental akan menjadi
sumber dari segala sumber hukum. Kaidah fundamental
itu mungkin ada pada HI mungkin ada pada HN.
◦ Bila Primat ada pada HN artinya HI merupakan kelanjutan
dari HN. HI merupakan HN untuk urusan Luar Negeri.
◦ Bila Primat ada pada HI artinya HN bersumber pada HI.
HN mengikat karena ada pendelegasian wewenang HI.
Kritik Starke
◦ Terlalu filosofis atau teoritis
◦Timbul kesulitan bila postulat jatuh pada HN
◦Akan terjadi anarki hukum
◦Bila HN berubah maka HI juga berubah
◦HI mengikat negara baru tanpa persetujuan
◦Sehingga, HI harus diutamakan, namun hanya
pada prinsip-prinsipnya saja.
◦Dualisme = tidak ada persoalan hierarchie. Tidak
ada pertentangan, tetapi yang ada Renvoi.
Konsep Opposibility (perlawanan)
◦ Bahwa dimuka pengadilan internasional negara dapat
bersandarkan pada HN dalam mempertahankan
klaimnya dalam melawan negara lain yang
bersandarkan pada HI sepanjang HN tersebut sesuai
dengan HI. Namun, apabila HN tersebut tidak sesuai
dengan HI, maka tidak dapat digunakan sebagai
sarana melawan negara lain yang bersandarkan HI.
◦ Dalam hal kaidah HN tersebut tidak dapat digunakan
sebagai sarana untuk ‘melawan’, maka tidak berarti
HN tersebut tidak sah berlakunya di wilayah negara
tersebut.
Contoh perkara Tembakau Bremen :
◦ Indonesia adakan nasionalisasi perusahaan tembakau
Belanda di Indonesia.
◦ Kaidah HI menyatakan, Nasionalisasi harus diikuti dengan
pembayaran ganti rugi dengan prinsip “promtp (segera),
effective (tepat) dan adequate (memadai).
◦ Berdasarkan PP 9-1959 : ganti rugi dibayarkan Indonesia
dengan menyisihkan dalam jumlah tertentu dari hasil
penjualan perkebunan dan pabrik tembakau. Jumlahnya,
disesuaikan dengan kemampuan dari negara yang baru
merdeka.
◦ Putusan PN Bremen = tindakan nasionalisasi adalah sah, ganti
rugi dilaksanakan dengan hukum negara.
Persoalan berlakunya HI ke dalam HN
1. Teori Transformasi
Menurut kaum positivist, bahwa berlakunya
kaidah-kaidah HI ke dalam HN harus
ditransformasikan melalui “specific
adoption” (inkorporasi). Transformasi
merupakan syarat substansi bagi berlakunya
HI ke dalam HN sebab antara HI dan HN
adalah dua hukum yang berbeda dan
terpisah.
2. Teori delegasi
◦ Menurut teori ini, terdapat pendelegasian kepada setiap
konstitusi negara oleh kaidah-kaidah hukum internasional,
yaitu hak untuk menentukan kapan treaty berlaku dan
bagaimana cara memasukkannya ke dalam HN.
◦ Adopsi bukan merupakan transformasi HI menjadi HN,
namun merupakan kelanjutan proses pembentukan hukum
pada saat pembuatan perjanjian internasional (treaty)
sampai menjadi HN sehinggga tidak ada transformasi atau
penciptaan hukum baru. Yang ada perpanjangan
pembentukan hukum.
Praktek Negara-negara
1.Kebiasaan Internasional
◦ Inggris : - kaidah hukum kebiasaan dianggap merupakan
bagian dari hukum nasional, dan akan diberlakukan
demikian oleh pengadilan inggris (teory blackstone atau
teori inkorporasi).
◦ Teori inkorporasi membentuk dua asas di pengadilan :
◦ asas konstruksi : perUUan harus ditafsirkan demikian
◦ Asas pembuktian : adanya HI kebiasaan tidak perlu
dibuktikan.
◦ AS : - sama dengan praktek di Inggris, ada asas konstruksi
dan pembuktian
Perjanjian Internasional
> Inggris = berlakunya PI > AS : - berdasarkan konstitusi AS, PI
ditentukan oleh hubungan merupakan “the supreme law of the
antar parlemen dan eksekutif. land”
Ratifikasi atas PI merupakan hak ◦ Pengadilan mengadakan
proregatif mahkota dengan pembedaan atas treaty menjadi :
berpedoman : * mahkota ◦ Self executing treaty, yaitu treaty
punya hak untuk merubah UU yang untuk berlakunya tidak
tanpa persetujuan parlemen memerlukan pengundangan tingkat
bila ada PI yang berlaku di nasional, langsung menjadi bagian
wilayah Inggris. HN.
◦ Non-self executing treaty, yaitu yang
◦ Persetujuan parlemen, bila untuk berlakunya memerlukan
berpengaruh hak warga pengundangan tingkat nasional.
negara, pembebanan Pengadilan tidak akan terikat pada
keuangan, perubahan UU, PI tersebut sebelum PI diundangkan.
penambahan kekuasaan
mahkota.
Indonesia
◦Surat Presiden No. 2826 Th. 1960, membedakan
antara trety dengan agreement.
◦Trety : bentuk ratifikasinya harus dengan
persetujuan DPR (berbentuk UU), karena
menyangkut soal-soal politik/pengaruhi haluan
politik RI, keuangan menurut UUD harus diatur
dengan UU.
◦Agreement : bentuk ratifikasinya tanpa
persetujuan DPR (berbentuk Keppres).

Anda mungkin juga menyukai