Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN

HUKUM NASIONAL

Oleh : Wita Setyaningrum, SH., LL.M.


1. HI-HN merupakan satu sistem atau
bukan?
2. Mana yang harus diutamakan atau
diprioritaskan
3. Bagaimana berlakunya dengan HI ke
dalam HN?
 Memandang bahwa hukum nasional dan hukum
internasional hanyalah merupakan hukum utama bagi
hukum nasional.
 Pada intinya aliran ini menganggap bahwa hukum
internasional lebih utama/unggul dari hukum nasional,
contohnya dengan munculnya rezim HAM internasional
yang membuat hukum nasional harus tunduk atau tidak
boleh menghindar dari kewajiban-kewajiban HAM
internasional.
 Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain Hans Kelsen dan Sir
Hersch Lauterpacht.
 Memandang bahwa hukum internasional memiliki status
lebih rendah dibanding hukum nasional.
 Hukum internasional dan hukum nasional sama sekali
berbeda dan berdiri sendiri satu dengan lainnya.
 Keberlakuan hukum internasional murni kewenangan
dari penguasa domestik (menekankan unsur
persetujuan negara). Oleh karena itu, hukum nasional
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding hukum
internasional.
 Pendapat ini dinyatakan oleh Triepel dan Strupp.
 Memandang apabila hukum internasional dan hukum
nasional memiliki lapangan berbeda dan memiliki
keutamaan di lapangannya masing-masing.
 Hukum internasional dengan hukum nasional tidak
bisa dikatakan terdapat masalah pengutamaan, tidak
ada yang lebih rendah atau yang lebih tinggi.
 Sebenarnya teori ini adalah modifikasi dari teori
dualisme, pengusungnya adalah Ian Brownlie, Sir
Gerald Fitzmaurice, dan Rousseau.
 Monisme - HI dan HN merupakan dua
aspek dari satu sistem hukum yang
mengatur kehidupan. HI/HN sama-sama
mengikat individu.
 HI = mengikat secara kolektif. HN =
mengikat secara individual.
 Dualisme – HI dan HN adalah dua sistem
atau perangkat hukum yang terpisah satu
dengan yang lainnya (berbeda).
 Sumber hukum keduanya. HI bersumber pada kehendak
bersama negara. HN bersumberkan pada kehendak negara
itu sendiri.
 Subyek hukum keduanya. Subyek HI hanyalah negara, dan
subyek HN adalah individu.
# Menurut Anzilotti perbedaan antara HI dan HN terletak
pada prinsip dasar yang melandasi hukum tersebut. HI
dilandasi oleh pacta sun servanda. Sedangkan HN dilandasi
oleh adagium bahwa per-Uuan negara harus ditaati.
 Perbedaan tersebut hanya pada proses penetapan
hukum. Tidak menyangkut substansinya (hak dan
kewajiban) dan tujuan hukum = ketertiban dan keadilan.
 Pada kenyataannya subyek HI tidak hanya negara
semata-mata.
 Konsekuensi yang timbul atas teori dualisme.
 Tidak ada tempat bagi persoalan hierarki antara HI dan
HN
 Tidak mungkin ada pertentangan antara HI dan HN yang
mungkin hanya penunjukan (renvoi).
 Berlakunya HI ke dalam HN memerlukan transformasi.
 Menurut Hans Kelsen, penganut aliran Monisme :
menggunakan teori hierarchis untuk menentukan mana
yang harus diutamakan antara HI dan HN. Berlakunya
kaidah hukum ditentukan oleh kaidah hukum yang lain,
yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
(fundamental). Kaidah fundamental akan menjadi
sumber dari segala sumber hukum. Kaidah fundamental
itu mungkin ada pada HI mungkin ada pada HN.
 Bila Primat ada pada HN artinya HI merupakan
kelanjutan dari HN. HI merupakan HN untuk urusan Luar
Negeri.
 Bila Primat ada pada HI artinya HN bersumber pada HI.
HN mengikat karena ada pendelegasian wewenang HI.
 Terlalu filosofis atau teoritis
 Timbul kesulitan bila postulat jatuh pada HN
 Akan terjadi anarki hukum
 Bila HN berubah maka HI juga berubah
 HI mengikat negara baru tanpa persetujuan
 Sehingga, HI harus diutamakan, namun hanya
pada prinsip-prinsionya saja.
 Dualisme = tidak ada persoalan hierarchie.
Tidak ada pertentangan, tetapi yang ada
Renvoi.
 Bahwa dimuka pengadilan internasional negara dapat
bersandarkan pada HN dalam mempertahankan
klaimnya dalam melawan negara lain yang
bersandarkan pada HI sepanjang HN tersebut sesuai
dengan HI. Namun, apabila HN tersebut tidak sesuai
dengan HI, maka tidak dapat digunakan sebagai
sarana melawan negara lain yang bersandarkan HI.
 Dalam hal kaidah HN tersebut tidak dapat digunakan
sebagai sarana untuk ‘melawan’, maka tidak berarti
HN tersebut tidak sah berlakunya di wilayah negara
tersebut.
 Indonesia adakan nasionalisasi perusahaan tembakau
Belanda di Indonesia.
 Kaidah HI menyatakan, Nasionalisasi harus diikuti dengan
pembayaran ganti rugi dengan prinsip “promtp (segera),
effective (tepat) dan adequate (memadai).
 Berdasarkan PP 9-1959 : ganti rugi dibayarkan Indonesia
dengan menyisihkan dalam jumlah tertentu dari hasil
penjualan perkebunan dan pabrik tembakau. Jumlahnya,
disesuaikan dengan kemampuan dari negara yang baru
merdeka.
 Putusan PN Bremen = tindakan nasionalisasi adalah sah,
ganti rugi dilaksanakan dengan hukum negara.
1. Teori Transformasi
Menurut kaum positivist, bahwa berlakunya
kaidah-kaidah HI ke dalam HN harus
ditransformasikan melalui “specific adoption”
(inkorporasi). Transformasi merupakan syarat
substansi bagi berlakunya HI ke dalam HN
sebab antara HI dan HN adalah dua hukum
yang berbeda dan terpisah.
 Menurut teori ini, terdapat pendelegasian kepada setiap
konstitusi negara oleh kaidah-kaidah hukum internasional,
yaitu hak untuk menentukan kapan treaty berlaku dan
bagaimana cara memasukkannya ke dalam HN.
 Adopsi bukan merupakan transformasi HI menjadi HN,
namun merupakan kelanjutan proses pembentukan hukum
pada saat pembuatan perjanjian internasional (treaty)
sampai menjadi HN sehinggga tidak ada transformasi atau
penciptaan hukum baru. Yang ada perpanjangan
pembentukan hukum.
1. Kebiasaan Internasional
 Inggris : - kaidah hukum kebiasaan dianggap merupakan
bagian dari hukum nasional, dan akan diberlakukan
demikian oleh pengadilan inggris (teory blackstone atau
teori inkorporasi).
 Teori inkorporasi membentuk dua asas di pengadilan :
 asas konstruksi : perUUan harus ditafsirkan demikian
 Asas pembuktian : adanya HI kebiasaan tidak perlu
dibuktikan.
 AS : - sama dengan praktek di Inggris, ada asas
konstruksi dan pembuktian
> Inggris = berlakunya PI > AS : - berdasarkan
ditentukan oleh konstitusi AS, PI merupakan
hubungan antar “the supreme law of the
parlemen dan eksekutif. land”
Ratifikasi atas PI  Pengadilan mengadakan
merupakan hak pembedaan atas treaty
proregatif mahkota menjadi :
dengan berpedoman : *  Self executing treaty, yaitu
mahkota punya hak treaty yang untuk
untuk merubah UU tanpa berlakunya tidak
persetujuan parlemen memerlukan pengundangan
bila ada PI yang berlaku tingkat nasional, langsung
di wilayah Inggris. menjadi bagian HN.
 Non-self executing treaty,
 Persetujuan parlemen, yaitu yang untuk berlakunya
bila berpengaruh hak memerlukan pengundangan
warga negara, tingkat nasional. Pengadilan
pembebanan keuangan, tidak akan terikat pada PI
perubahan UU, tersebut sebelum PI
penambahan kekuasaan diundangkan.
mahkota.
 Surat Presiden No. 2826 Th. 1960, membedakan
antara trety dengan agreement.
 Trety : bentuk ratifikasinya harus dengan
persetujuan DPR (berbentuk UU), karena
menyangkut soal-soal politik/pengaruhi haluan
politik RI, keuangan menurut UUD harus diatur
dengan UU.
 Agreement : bentuk ratifikasinya tanpa
persetujuan DPR (berbentuk Keppres).

Anda mungkin juga menyukai