Anda di halaman 1dari 39

Voluntarisme

Hidup berdampingan dan terpisah.

Obyektivis
Dua bagian dari satu perangkat hukum.

Pertanyaan yang timbul


Hukum Internasional Hukum Nasional

Masing-Masing berdiri sendiri


SISTEM HUKUM

Pertanyaan yang timbul


Kedudukan

Hukum

Internasional
Hukum Nasional

Terkait dengan pengutamaan HI dan HN

Pertanyaan yang timbul


Hukum Hukum Internasional Internasional

Berkembang

Menjelma

Hukum
Nasional

Pertanyaan yang timbul


Hukum Hukum Internasional Internasional
Proses yang terjadi/cara

Hukum Hukum
Nasional Nasional

Pertanyaan yang timbul


Hukum Internasional Hukum Nasional

Pandangan Teori/Aliran Praktek Negara-Negara

Teori/Aliran
Ada 2 teori/aliran yang dikenal mengenai hubungan hukum internasional dan hukum nasional, yaitu:
Monisme Dualisme

Satu kesatuan hukum; Tokoh Hans Kelsen & Georges Scelle, HI=HN; Meskipun HI=HN namun mengenai masalah pengutamaannya, ada 2 Golongan, yaitu Golongan HI diatas HN dan HN diatas HI.

HI diatas HN
Alasannya HI merupakan sumber dari HN, sehingga HN tunduk pada HI. Kelompok ini menekankan terciptanya nilai-nilai universal kemanusiaan sebagai landasan utama dalam norma-norma hukum internasional. Tercipta ketertiban dan keamanan masyarakat internasional.

HN diatas HI
Golongan ini berdasar pada sejarah perkembangan ilmu hukum. HN usianya lebih tua dari HI. Suatu negara dengan Hukum Nasionalnya tidak mudah untuk mengesampingkan Hukum Nasionalnya untuk mentaati Hukum Internasional. HI bersumber pada HN, dan HI merupakan kelanjutan dari HN.

Tokoh: Triepel dan Anzilotti; Bidang hukum yang berbeda dan berdiri satu sama lainnya (terpisah); Menurut aliran ini perbedaan tersebut terdapat pada:
1. Perbedaan Sumber Hukum 2. Perbedaan Mengenai Subjek 3. Perbedaan Mengenai Kekuatan Hukum (Vertikal-Horizontal)

Pandangan Dualisme ini dibantah oleh golongan Monisme, dengan alasan bahwa:
a. Walaupun kedua sistem hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, namun subyek hukumnya adalah sama, yaitu pada akhirnya subyek hukum internasional adalah individu-individu dalam suatu negara. b. Sama-sama mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kedua teori atau aliran ini sebenarnya hanyalah merupakan teori yang untuk kurun waktu sekarang ini sudah tidak lagi memiliki nilai terapan. Sebab kedua teori/aliran ini menampakkan sika a priori yang jika dihubungkan keadaan yang nyata sekarang ini ternyata teori/aliran tersebut sudah jauh ketinggalan.

Teori-teori ini muncul sebagai reaksi atas kekurangan dan kelemahan kedua teori diatas. Teori-teori ini bertitik tolak pada asumsi bahwa:
1. Hukum internasional dan Hukum nasional tidak perlu dipertentangkan satu dengan yang lainnya; 2. Tidak perlu ditempatkan pada kedudukan hirarki; 3. Tidak perlu dipisahkan secara tegas satu dengan yang lainnya.

Teori-teori tersebut, antara lain:


a. Teori Transformasi; b. Teori Delegasi, dan c. Teori Harmonisasi.

Teori Transformasi
Menurut teori ini, peraturanperaturan hukum internasional untuk dapat berlaku dan dihormati sebagai norma hukum nasional harus melalui proses transformasi atau alih bentuk, baik secara formal maupun substansial.

Teori Delegasi/Inkorporasi
Menurut teori ini, implementasi dari hukum internasional diserahkan kepada negaranegara atau hukum nasionalnya itu masing-masing. Tidak perlu dialih bentuk, melainkan langsung diterima.

Teori Harmonisasi
Menurut teori ini, Hukum Internasional dan Hukum Nasional harus diartikan sedemikian rupa bahwa antara keduanya itu terdapat keharmonisan.

Dalam PRAKTEK NEGARANEGARA, contoh: INGGRIS Inggris menganggap hukum kebiasaan internasional sebagai bagian dari hukum nasionalnnya; Namun tidak berarti bahwa Inggris menerima demikian saja Hukum Kebiasaan Internasional tersebut.

Kemudian dipertanyakan, apa syarat yang harus dipenuhi agar hukum kebiasaan internasional menjadi bagian dari hukum nasionalnya? Di Inggris jika hukum kebiasaan internasional tersebut bertentangan dengan undangundang di Inggris, baik yang sudah ada maupun yang baru ada, maka Inggris akan menolak hukum kebiasaan internasional tersebut.

Mengenai Perjanjian Internasional, Inggris dalam prakteknya membedakan dua golongan supaya menjadi bagian dari hukum nasionalnya, yaitu:
1. Perjanjian Internasional yang membutuhkan persetujuan Parlemen; 2. Perjanjian Internasional yang tidak memerlukan persetujuan parlemen.

AMERIKA SERIKAT Di Amerika Serikat, mengenai hukum kebiasaan internasional menyerupai praktek di Inggris karena Sistem Hukum Anglo-Saxon yang dianut AS berasal dari Sistem Hukum Inggris. Sedangkan mengenai Perjanjian Internasional, AS membedakan 2 golongan, yaitu:
a. Perjanjian yang tidak berlaku dengan sendirinya (non-self executing treaty); b. Perjanjian yang berlaku dengan sendirinya (self-executing treaty).

JERMAN Dalam konstitusinya (The Federal Republic of Germany) dalam Pasal 25-nya menyatakan bahwa aturan umum dalam hukum internasional (general rule of international law) merupakan bagian integral dari hukum federal. Oleh karena itu bersifat supreme dan dapat menciptakan secara langsung hak-hak dan kewajiban bagi para warganya.

INDONESIA Hukum Kebiasaan Internasional Indonesia untuk beberapa hal menerima hukum kebiasaan internasional sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Misal dalam Hukum kebiasaan dilaut (hak lintas damai), Perlakuan terhadap orang asing sesuai dengan standar minimum menurut HI. Namun, pernah terjadi bahwa Indonesia bertindak sebaliknya yaitu mengesampingkan Hukum Kebiasaan Internasional dan mengutamakan hukum atau undang-undang nasionalnya.

Kasus nasionalisasi perusahaanperusahaan asing milik Belanda yang beropersi di Indonesia dengan dikelurakannya Undang-Undang No. 86 tahun 1957. Yang mana UU tersebut mengesampingkan hukum kebiasaan internasional yang berlaku untuk kasus tersebut, yaitu masalah ganti rugi. Menurut HKI, ganti rugi harus prompt, effective and adequate . Indonesia tidak menganut prinsip itu, namun memperkenalkan prinsip baru, yaitu pembayaran ganti rugi harus disesuaikan dengan kemampuan negara yang menasionalisasi.

Perjanjian Internasional Dasar hukum Pasal 11 UUD NRI 1945, yang menyatakan:
1. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; 2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkai dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPRl; 3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur oleh Undang-Undang.

Dasar Hukum Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang menyatakan Perjanjian Internasional adalah Setiap Perjanjian dibidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional.

Contoh HI memberi kontribusi pada HN Indonesia, yaitu: Civil Liability Convention (1969), Hukum ini diterima oleh Indonesia dalam Keputusan Presiden No. 18 tahun 1978, yang hasilnya langsung mengikat rakyat (sebagai subyek HN).

Contoh lain, Liability Convention (1972), yang mana dalam konvensi tersebut diatur bendabenda angkasa yang diatur di bumi, oleh Indonesia dipakai dalam Hukum Nasionalnya yaitu dengan adanya Keputusan Presiden No. 20 tahun 1996.

Melalui cara bagaimana kaidah hukum nasional suatu negara dapat berkembang menjadi hukum internasional? Ketiga cara tersebut adalah:
1. Melalui hukum kebiasaan internasional; 2. Melalui yurisprudensi; 3. Melalui perjanjian dan konvensi internasional.

Hubungan saling membutuhkan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Beberapa peranan dan fungsi HI dalam menunjang penerapan HN:


1. Hukum Internasional berfungsi menjembatani penerapan hukum nasional negara-negara; 2. Hukum Internasional dibutuhkan oleh hukum nasional supaya para subyek hukum nasional dari dua negara atau lebih dapat mengadakan hubungan hukum (perdata) internasional.

3. Hukum Internasional dibutuhkan oleh hukum nasional sebab dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengharmonisasikan hukum nasional negara-negara mengenai suatu masalah tertentu. 4. Hukum Internasional dibutuhkan oleh hukum nasional, sebab hukum internasional dapat menjadi masukan bagi hukum nasional berkenaan dengan suatu masalah yang pengaturannya terlebih dahulu muncul di dalam hukum (konvensi) internasional.

Justiciability
Keadaan dimana suatu masalah dapat dipermasalahkan oleh suatu badan peradilan. Suatu masalah dapat dikatakan dapat diadili bilamana masalah tersebut dapat dijadikan objek bagi analisis hukum dan adjudikasi.

Act of State
Alasan yang dapat dijadikan dasar penolakan atas penanganan suatu perkara dengan mendasarkan bahwa perbuatan tersebut disandarkan pada kedaulatan negara. Terkait dengan kekebalan yang dimiliki oleh suatu negara sebagai konsekuensi kedaulatan.

Konsep Opposability
Dalam Pasal 27 KW 1969 dinyatakan sebuah negara peserta tidak boleh menggunakan ketentuan yang terdapat dalam hukum internalnya sebagai justifikasi atas kegagalannya untuk menunaikan kewajiban internasionalnya

Anda mungkin juga menyukai