Anda di halaman 1dari 36

BUKU AJAR

HUKUM INTERNASIONAL

OLEH

SUHARIWANTO, S.H.MHum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA

SEMESTER GENAP/ GASAL 2016/2017


HUKUM INTERNASIONAL

BAB I

PENGERTIAN , BATASAN DAN ISTILAH HUKUM INTERNASIONAL

1 . Pengertian dan batasan

Hukum Internasional yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah hukum internasional ( Publik ),
yang harus dibedakan dengan Hukum Internasional ( Privat ). Hukum Internasional ( Publik ) adalah
keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan –hubungan hukum atau
persoalan-persoalan hukum yang melintasi batas-batas negara yang bukan bersifat publik. Sedangkan
hukum internasional ( Privat ) adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-asas hukum yang
mengatur hubungan-hubungan hukum atau persoalan-persoalan hukum yang melintasi batas-batas
negara yang bersifat privat.

2. Istilah Hukum internasional

Ada berbagai macam penamaan selain hukum Internasional, yaitu : Hukum bangsa-bangsa, atau
hukum antar bangsa dan hukum antar negara. Istilah Hukum bangsa-bangsa diterjemahkan dari ( Law
of nation, droit de gens, Voelker recht ) yang berasal dari istilah hukum Romawi “ Ius Gentium “.

Istilah Ius Gentium, semula mengadung arti :

- Tidak hanya mengatur hubungan antar bangsa –bangsa, tetapi juga


- Mengatur hubungan antara orang romawi dengan orang bukan romawi dan
- Mengatur pula hubungan antar bukan orang romawi satu sama lain.

3. Bentuk Perwujudan hukum Internasional


a. hukum Internasional ( regional )
Dalam mempelajari hukum internasional, dalam wujud perkembangannya dapat dijumpai hukum
internasionl regional yang terbatas ruanglingkup berlakunya. Contoh : Hukum Internasional Amerika
Latin, ASEAN, NATO, LIGA ARAB, UNI EROPA dll.

b. Hukum internasional ( khusus ).


Hukum internasional ( khusus ), dapat dijumpai pada bentuk kompleks kaedah yang berlaku secara
khusus bagi negara-negara tertentu, seperti Konvensi Eropa mengenai Hak –hak Asasi Manusia yang
dituangkan dalam Konvensi Multilateral. Keberadaan kedua hukum tersebut secara yuridis diakui oleh
PBB. Dan pengakukan itu dapat dilihat dalam pasal 52 Piagam PBB yang menyatakan bahwa :
- 1. Tidak ada ketentuan dalam Piagam ini yang menghalang-halangi adanya pengaturan-
pengaturan ataupun badan-badan regional untuk menangani masalah-masalah yang
bertalian dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional yang harus
ditangani menurut cara sesuai bagi kawasan bersangkutan, asalkan pengaturan-pengaturan
dan badan-badan besera tindakan-tindakannya itu sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan-
tujuan PBB
- 2.Anggota –anggota PBB yang ikut serta dalam pengaturan-pengaturan semacamvitu
ataupun badan-badan yang dimaksudkan itu harus melakukan segala usaha untuk mencapai
penyelesaiaan secara damai atas pertikaian-pertikaian setempat melalui pengaturan-
pengaturan atau badan-badan regional itu, sebelum mengajukan kepada dewan Keamanan.
- 3. Dewan Keamanan akan memberikan dorongan untuk pengembangan penyelesaian secara
damai atas pertikaian setempat melalui pengaturan-pengaturan atau badan-badan regional
itu, baik atas usaha negara-negara yang bersangkutan maupun atas anjuran Dewan
keamanan.
- 4. Psal ini sekali-kali tidak mengurangi berlakunya pasal 34 dan pasal 35.

4. Hukum internasional dan Hukum Dunia


Kedua jenis hukum ini mempunyai cara pandang yang berbeda dalam melihat masyarakat
internasional/ masyarakat dunia sebagai landasan sosiologis badi keberadaan kedua jenis hukum
tersebut. Hukum internasional melihat tertib masyarakat internasional yang terdiri dari sejumlah
negara-negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak
dibawah kekuasaan yang lain. Sedang hukum Dunia ( world Law ) melihat tertib masyarakat dunia yang
terdiri dari sejumlah negara-negara dunia yang kedudukannya dibawah negara dunia ( world state ).
Munculnya idea untuk membentuk hukum dunia ( world Law ) disebabkan hukum internasional sebagai
sistem hukum tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, yaitu :
- Kelemahan pada substansi hukumnya ;
- Kelemahan pada struktur hukumnya ;
- Kelemahan pada kultur hukumnya .

BAB II

MASYARAKAT DAN HUKUM INTERNASIONAL


1. Adanya Masyarakat Internasional

Dalam hukum ada adagium yang mengatakan bahwa “ dimana ada masyarakat disitu ada hukum.
Adagium tersebut memang benar karena masyarakat merupakan landasan sosiologis bagi keberadaan
hukum, termasuk hukum internasional. Bierly berkata bahwa “ Law exist only insociety, and a society
cannot exist without asystem of law to regulate the relations of its members with one another
“.Adapun’ Wujud masyarakat internasional adalah :
- Negara - Negara
- Organisasi – organisasi Internasional
- Individu – individu.

Masyarakat internasional tersebut mengadakan hubungan satu dengan lainya untuk mencapai tujuan
yang dikehendaki bersama. Hubungan kerjasama itu dapat dijalankan disebabkan adanya asas hukum
yang bersamaan yang menjadi unsur masyarakat internasional.

2. Kedaulatan Negara : hakikat dan fungsinya dalam Masyarakat internasional .

Pengertian Kedaulatan dalam Hukum internasional mengadung dua pembatasan, yaitu :


a. kekuasaan itu terbatas pada wilayah yurisdiknya ;
b. Kekuasaan negara itu berakhir dimana kekuasaan negara itu mulai .

3. Masyarakat internasional dalam Peralihan .

Masyarakat internasional sebagai landasan sosiologis bagi keberadaan hukum internasional tidak
bersifat statis, melainkan bersifat dinamis. Dinamika perkembangan masyarakat tersebut disebabkan
beberapa factor, yaitu :
a. Adanya perubahan peta Bumi Politk.
Perubahan Peta Bumi politik ini sudah dimulai pada awal abad XX, setelah Perang Dunia II selesai.
Perubahannya adalah “ Dari satu masyarakat internasional yang terbagi dalam beberapa negara besar
yang masing-masing mempunyai daerah jajahan dan lingkungan pengaruhnya, menjadi satu masyarakat
bangsa-bangsa yang terdiri dari banyak sekali negara yang merdeka “.

b. Adanya kemajuan Teknologi .


Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, berdampak bagi perkembangan masyarakat dan hukum
internasional, yaitu :
- Konsep Hukum laut, dari UNCLOS 1958 menjadi UNCLOS 1982
- Konsep Hukum Udara yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944
- Konsep Hukum angkasa yang diatur dalam space Treaty 1967 .

c. Adanya Perubahan Struktur Organisasi Internasional.


Disamping negara, diakui juga organisasi internasional dan individu sebagai subyek hukum
internasional sehingga dinamika masyarakat dan hukum internasional juga menjadi berkembang .

BAB III
SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL

Ada dua pendekatan untuk memahami sejarah perkembangan hukum internasional, yaitu pandangan
yang luas dan pandangan yang sempit . apabila sejarah hukum internasional ini dipandang secara luas,
maka dapat dikatakan bahwa hukum internasional, termasuk didalamnya adalah pengertian hukum
bangsa-bangsa. Dengan demikian keberadaan hukum internasional ini sudah cukup tua usianya.
Sedangkan bila difahami secara sempit yakni hukum yang terutama mengatur hubungan antar negara-
negara , maka hukum intenasional baru berusia beberapa ratus tahun dengan berpangkal tolak dari
Perjanjian Perdamaian Wesphalia.
Untuk dapat memahami secara komprehensif sejarah hukum internasional, cara pendekatan yang luas
harus dipakai sebagai pisau analisa yang harus dimulai dari :

a. Zaman yunani Kuno


Pada zaman ini telah menerapkan beberapa ketentuan yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal
sebagai ketentuan hukum internasional modern, yaitu :
- Sebelum perang harus ada pernyataan perang ;
- Pasukan Perang yang gugur harus dikebumikan secara layak ;
- Utusan negara tidak dapat diganggu gugat ;
- Para Pengusi harus dilindungi .

b. Zaman romawi

Pada zaman ini hukum internasional tidak dapat berkembang dengan baik, hal ini disebabkan

beberapa hal, yaitu :

- Masyarakat dunia dianngap sebagai satu Imperium, yaitu : imperium Roma ;


- Masyarakat merupakan satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar.

Walaupun pada Zaman romawi hukum internasional tidak dapat berkembang, namun pada Zaman
Romawi ini, memberikan sumbangan pemikiran bagi hukum internasional yaitu mengenai konsep
hukum tentang : pacta sunt servanda, Bona fides, occupation dan servitut .

c. Abad pertengahan ( Abad XV – XVI )

Terjadi perubahan penting, yaitu :

- Timbulnya beberapa negara modern, missal : Di Italia telah banyak Negara-negara kecil yang
merdeka dan menerapkan hukum Kebiasaan dalam hubungan Deplomatik ;
- Munculny pendapat ahli hukum internasional tentang : Evolusi masyarakat yang merdeka dan
berdaulat untuk membentuk doktrin Hukum Internasional dengan berpangkal tolak pada azas-
azas hukum Romawi .

Grotius ( Hugo de Groot ) Tahun 1583 – 1645

Dalam bukunya yang berjudul “ De Jure Belli Ac Pacis “ membahas tentang :


- Kebiasaan-kebiasaan yang ada diikuti oleh negara-negara pada zamannya ;
- Membuat doktrin hukum kodrat, disamping kebiasaan dan traktat sebagai sumber Hukum
Internasional

Doktrin Grotius yang bersumber pada hukum kodrat yang telah disekularisir itu secara impilsit

dipandang sebagai hukum Internasional modern, sebab doktrin itu menyangkut hal-hal sebagai

berikut :

- Seluruh hubungan internasional tunduk pada aturan-aturan hukum ;


- Pengakuan adanya hak-Hak azasi manusia ;
- Doktrin netralitas terbatas ;
- Idea perdamaian .

d. Perdamaian Wesphalia

Perdamaian wesphalia dianggap sebagai titik puncak kelahiran masyarakat dan hukum internasional

modern, yang prosesnya telah dimulai pada zaman Romawi dan abad Pertengahan yaitu dengan

adanya gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan manusia. Tujuan Perjanjian Perdamian

wesphlia adalah untuk mengakhiri perang selama 30 tahun di Eropa. Hasil dari perjanjian itu adalah :

1. Meneguhkan Perubahan Peta Bumi Politik yang telah terjadi karena perang di eropa ;

2. Mengakhiri untuk selama-lamanya usaha kaisar Romawi untuk menegakkan kembali Imperium

Romawi Suci ;

3. hubungan antar negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan

Atas kepentingan nasional negara masing-masing ;

4. Diakuinya kemerdekaan negara Nederland, swiss dan negara-negara kecil di Jerman .

Adapun ciri-ciri masyarakat internasional berdasarkan perjanjian Perdamaian Wesphalia adalah

sebagai berikut :

1. Negara merupakan satuan-satuan territorial yang berdaulat ;

2. Hubungan antar negara didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat ;

3. Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan diatas mereka ;

4. Hubungan antar negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper pengertian

Lembaga hukum perdata hukum Romawi ;


5. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar

negara tetapi menekankan peranan yang dimainkan negara dalam kepatuhan pada Hukum

internasional ;

6. Tidak adanya Mahkamah internasional dan Kekuatan polisi international untuk memaksakan

dipatuhinya Hukum internasional ;

7. Perang dianggap sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa guna mencapai tujuan

nasional ( Perang yang Benar ).

BAB IV

HAKIKAT DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM INTERNASIONAL

Keberadaan hukum internasional sejak pada zaman Yunani kuno sampai dengan Perjanjian Perdamaian
Wesphalia bahkan hingga saat ini tetap eksis. Eksistensi hukum internasional tersebut secara teoritis
terdapat berbagaimacam pandangan, yaitu :

a. Teori Hukum Alam/ Natural Law .

Menurut teori ini hakikat dasar kekuatan mengikat hukum internasional, disebabkan : hukum
internasional itu tidak lain merupakan bagian dari hukum alam yang diterapkan pada kehidupan
masyarakat internasional. Teori ini dalam mula perkembangannya sangat terkait dengan pengaruh
keagamaan, namun dalam perkembangan selanjutnya oleh Grotius disekularisasikan sebagai hukum
yang ideal yang didasarkan pada hakikat manusia sebagai mahkluk berakal .

b. Teori Kehendak Negara .

Menurut teori ini, kekuatan mengikat hukum internasional disebabkan oleh negara itu sendiri yang
berkehendak mengikatkan diri pada hukum internasional. Pada dasarnya negaralah sebagai sumber
segala hukum, dan hukum internasional itu mengikat karena negara itu atas kehendaknya sendiri mau
tunduk pada hukum internasional.

c. Teori Kehendak Bersama dari Negara-negara .

Menurut teori ini kekuatan mengikat hukum internasional bukan kehendak negara secara sendiri-
sendiri, melainkan secara bersama-sama, dengan cara melepaskan kehendak individu negara dan
mendasarkannya pada kemauan bersama . Tripel berusaha membuktikan bahwa kekuatan mengikat
hukum internasional bukan kehendak negara secara individu, melainkan secara bersama-sama yang
lebih tinggi daripada kehendak individu .

d. Teori Kedaulatan Hukum.


Menurut teori ini, kekuatan mengikat hukum international bukan karena kehendak negara secara
individu maupun bersama-sama, melainkan karena adanya norma hukumlah yang merupakan dasar
kekuatan mengikat hukum internasional. Teori kedaulatan hukum ini, dipelopori oleh madzab Wiena
yang mengatakan bahwa “ Kekuatan mengikat kaedah hukum internasional itu didasarkan pada suatu
kaedah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi lagi sampai pada
kaedah hukum dimana terdapat kaedah dasar ( Groundnorm ), contoh : Kaedah tentang “ Pacta Sunt
servanda “- Teori Tangga / Stufen Teory dari Hans Kelsen .

BAB V

HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DENGAN HUKUM NASIONAL

Persoalan tempat kedudukan hukum internsional dalam kerangka hukum secara keseluruhan dapat dikaji
baik secara teoritis/ doktrin ilmu hukum maupun secara praktis menurut hukum positif . Dari sisi teori
ada dua, yaitu : Teori dualisme dan Teori monism. Dan dari sisi praktis : praktik menuruh hukum
positif beberapa negara, misal : Inggris , Amerika dan Indonesia.

a. Teori Dualisme

Menurut teori ini, kekuatan mengikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara. Atas
dasar itu berarti antara hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang
terpisah satu sama lain. Adapun alasan-alasan yang diajukan oleh Teori dualisme ini adalah sebagai
berikut :

- Sumbernya berlainan : Hukum internasional bersumber dari kehendak bersama dari masyarakat
negara-negara sedang Hukum Nasional bersumber dari kehendak negara .
- Berbeda Subyek hukum : Hukum Internasional subyeknya negara, sedangkan Hukum nasional
subyeknya adalah individu, baik privat maupun publik .
- Strukturnya tidak sama : hukum Internasioal memiliki struktur yang kurang sempurna,
sedangkan pada hukum nasional sempurna .

Akibat yang ditimbulkan dari pandangan dualisme ini adalah sebagai berikut :

- Kaedah-kaedah dari hukum internasional tidak bersumber pada hukum nasional atau sebaliknya
- Tidak mungkin ada pertentangan karena keduanya terpisah ;
- Kemungkinan bisa terjadi penunjukan ( renvoi ) .

Kelemahan Teori dualisme dapat dijumpai dari alasan-alasan yang dikemukakan diatas, yaitu :

- Tentang perbedaan sumber ;


- Tentang Perbedaan subyek ;
- Tentang perbedaan Struktur .

b. Teori Monisme

Menurut teori ini, Hukum internasional dan Hukum nasional dipandang dua bagian hukum dari satu
kesatuan yang lebih besar yaitu : Hukum yang mengatur kehidupan manusia. Bertolak dari pandangan
tersebut berarti daya ikat hukum internasional adalah tidak tergantung dari kehendak negara melainkan
disebabkan hukum internasional itu merupakan sebagai bagian dari hukum yang mengatur kehidupan
manusia ( natural law ).

Akibat dari pandangan tersebut, antara hukum internasional dan hukum nasional mempunyai hubungan
satu dengan yang lainnya. Dalam hubungan tersebut dapat terjadi dua kemungkinan, yaitu :

1. Monisme dengan Primat hukum nasional

Menurut pandangan ini, Hukum internasional itu tidak lain merupakan kelanjutan dari hukum
nasional atau hukum nasional untuk urusan luar negeri. Pandangan Monisme ini menganggap bahwa “
Hukum internasional bersumber pada hukum nasional.Dan alasan utamanya adalah :

- Tidak ada satu organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara
didunia ;
- Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang
negara untuk mengadakan perjanjian internasional .

Teori ini memiliki kelemahan yaitu :

- Teori ini memandang bahwa hukum internasional dianggap sebagai hukum yang tertulis yang
bersumber pada perjanjian internasional ;
- Teori ini menyangkal keberadaan hukum internasional .

2. Monisme dengan Primat hukum internasional .

Menurut teori ini, Hukum nasional bersumber pada hukum internasional dan hukum nasional tunduk
pada hukum internasional serta Kekuatan mengikat hukum nasional berdasarkan pendelegasian
wewenang dari hukum internasional.

Pandangan Monisme dengan primat hukum internasional ini menimbulkan konsekuensi yaitu :

- Hukum internasional itu ada terlebih dahulu jika dibandingkan hakum nasional ;
- Kekuatan mengikat hukum nasional diperoleh dari hukum internasional.

Kelemahan dari teori ini dapat dilihat sebagai berikut :

- Pernyataan hukum internasional itu ada terlebih dahulu daripada hukum nasional jelas
bertentangan dengan kenyataan sejarah ;
- Pernyataan kekuatan mengikat hukum nasional diperoleh dari hukum internasional juga tidak
benar sebab kekuatan mengikat hukum nasional diperoleh dari wewenang hukum nasional,
termasuk dalam mengadakan perjanjian internasional .
C . Primat hukum internasional menurut praktik internasional .

Praktik hukum internasional cukup dapat membuktikan bahwa primat hukum internasional itu telah
dapat diwujudkan secara wajar oleh masyarakat internasional dewasa ini. Berikut ini adalah bukti pratik
internasional yang menempatkan primat hukum internasional, yaitu :

- Negara negara sangat menghormati batas-batas wilayah negara-negara lain;


- Ketaan suatu negara pada konvensi/perjanjian internasional ;
- Ketaan negara pada perjanjian hubungan deplomatik ;
- Ketaan negara untuk melindungi warga negara asing dan harta miliknya

d. Praktik Menurut Hukum Positif Negara-negara .

1. Negara Inggris

Menganut ajaran bahwa “ International law is the law of the land “ Hukum Internasional adalah
hukum negara.Ajaran ini disebut sebagai Doktrin inkorporasi . Doktrin ini memandang bahwa hukum
internasional itu adalah sebagai bagian dari hukum Inggris,i berkembang dan dikukuhkan selama abad
XVIII dan XIX dalam beberapa keputusan pengadilan. Namun dalam perkembangannya doktrin ini tidak
diterapkan secara mutlak. Untuk menilai doktrin dalam hukum positif yang berlaku di Inggris juga
dibedakan antara :

- Hukum Kebiasaan Internasional dengan


- Perjanjian Internasional.

* Bagi hukum kebiasaan internasional doktrin inkorporasi berlaku dua perkecualian, yaitu :

1. Hukum Kebiasaan internasional tidak bertentangan dengan undang-undang baik yang terdahulu

maupun yang diundangkan kemudian ;

2. Berlaku asas Preseden bagi suatu hukum kebiasaan internasional yang telah diputuskan oleh

Mahkamah Tertinggi, yang harus diikuti oleh pengadilan yang lebih rendah .

Doktrin Inkorporasi ini, sangat kuat di terapkan di Inggris hal ini dapat dilihat ada dua dalil yang dipegang
teguh oleh Pengadilan di Inggris yaitu :

- Dalil Kontruksi hukum ( Rule of Construction ) yang mengatakan Undang-Undang yang dibuat
oleh parlemen harus ditafsirkan tidak melanggar hukum internasional ;
- Dalil tentang pembuktian ( Rule of evidence ) yang mengatakan Pada hukum internasional
tidak memerlukan saksi ahli di Pengadilan Inggris untuk membuktikannya.

* Bagi Perjanjian Internasional doktrin inkorporasi berlaku sebagai berikut :


a. Memerlukan persetujuan parlemen adalah dalam hal :

- Yang memerlukan diadakannya perubahan dalam perundang-undangan nasional ;

- Yang mengakibatkan perubahan dalam status atau garis batas wilayah negara ;

- yang mempengaruhi hak sipil kaula negara Inggris atau Raja/Ratu inggris ;

- Menambah beban keuangan negara .

b. Tidak Memerlukan Persetujuan parlemen.

- Perjanjian Pemerintah ( administrative atau executive agreement ) yang tidak mempunyai akibat

untuk merubah undang undang setelah ditandatangi pemerintah langsung berlaku.

2. Negara Amerika Serikat

Amerika serikat juga menerapkan doktrin Inkorporasi yaitu menganggap hukum internasional sebagai
bagian dari hukum nasional Amerika serikat .

*Bagi Hukum kebiasaan Internasional

Undang Undang yang dibuat dengan persetujuan Congress dianggap tidak bertentangan hukum
internasional dan karenanya diusahakan undang undang yang dibuat tidak bertentangan dengan hukum
internasional. Tetapi jika undang undang tersebut secara terang-terangan bertentangan dengan hukum
kebiasaan internasional ( yang lama ), maka undang undang lah yang harus dimenangkan.

*Bagi Hukum perjanjian Internasional

Di Amerika serikat, dibuat berdasarkan keputusan Pengadilan di Amerika serikat antara “ self

executing “ dan “ non self executing treaties. Apabila suatu perjanjian internasional tidak
bertentangan dengan konstitusi dan termasuk kualifikasi perjanjian “ self Executing “ maka perjanjian
tersebut dianggap menjadi bagian dari hukum nasional tidak memerlukan pengundangan melalui
perundangan nasional. Dan bagi Perjanjian “ Non Self executing “ diperlukan pengundangan melalui
perundangan nasional terlebih dahulu. Begitu Pula dengan Executive agreements juga langsung berlaku
tanpa melalui persetujuan Congress .

3. Republik Federal Jerman .

Menurut Ketentuan pasal 25 Undang Undang Dasar ( Grund Gesetz ) bahwa ketentuan-ketentuan
hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional Jerman. Ketentuan Hukum internasional
tersebu lebih tinggi kedudukannya dari Undang –undang ( nasional ) dan langsung mengakibatkan hak
dan kewajiban bagi penduduk wilayah Federal Jerman .
4. Negara Perancis .

Berdasarkan ketentuan pasal 55 Undang Undang Dasar tahun 1958 dinyatakan bahwa traktat atau
Perjanjian internasional lainnya yang telah disahkan atau diterima menurut undang undang mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari undang undang nasional mulai sejak berlakunya perjanjian tersebut
dengan ketentuan bahwa pihak peserta lain juga melakukannya.

5. Negara Indonesia

Undang Undang dasar 1945, memang tidak mengatur tentang doktrin Inkorporasi. Oleh sebab itu
dalam melihat sikap Indonesia, harus dilihat Praktik yang dilakukan oleh negara kita. Bahwa Praktik kita
lebih condong pada sistem negara-negara kontinental Eropa yaitu : Indonesia terikat dalam kewajiban
melaksanakan dan mentaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu
mengadakan lagi perudang-undangan pelaksanaan. ( implementing Legislation ). Tetapi dalam beberapa
hal Pengundangan dalam undang undang nasional adalah mutlak diperlukan yakni : bila hal tersebut
menyangkut hak warga negara sebagai perorangan ( Moektar Koesoemaatmadja ).

BAB VI

SUMBER - SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

1. Arti Sumber Hukum

Kata sumber hukum dapat dipahami dalam berbagai macam arti, yaitu :

- Dalam arti materiil, mempersoalkan dasar kekuatan mengikat hukum !


- Dalam arti formal, mempertanyakan, dimanakah dapat ditemukan ketentuan hukum yang dapat
diterapkan ! dan
- Kekuatan atau faktor apakah yang membantu dalam pembentukan hukum ( politik, ekonomi,
sosial, budaya ) yang mempunyai kekuatan mengikat !

2. Sumber Hukum dalam arti formal

Sumber hukum dalam arti formal ini dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 38 ayat ( 1 ) statuta
mahkamah Internasional yaitu :

- Perjanjian Internasinal ;
- Kebiasaan internasional ;
- Prinsip Prinsip Umum Hukum yang diakui oleh Bangsa bangsa yang beradab ;
- Putusan – Putusan Mahkamah Internasional dan Pendapat para ahli hukum internasional .

BAB VII

SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL

1. N e g a r a
Menurut Konvensi Montevideo 1933, negara sebagai subyek hukum internasional harus memiliki 4
syarat :

- Penduduk yang tetap ;


- Wilayah tertentu
- Pemerintahan yang berdaulat
- Kemampuan mengadakan kerjasama dengan negara lain .

2. Organisai – Organisasi Internasional

Organiasi Internasional atau Organisasi antar pemerintah merupakan subyek hukum internasional
setelah negara. Perserikatan bangsa-Bangsa ( PBB ) adalah organisasi internasional induk. Ada beberapa
factor yang menyebabkan adanya pekembangan organisasi internasional tersebut, yaitu :

- Meningkatnya kesadaran para pemimpin negara untuk menjalin kerjasama guna menciptakan
perdamaian dan keamanan internasional melalui pembentukan organisasi internasional ;
- Adanya kemajuan sistem komunikasi dan transportasi sehingga mendorong pertumbuhan
organisasi internasional untuk mengintensifkan kerjasama diberbagai macam bidang ;
- Penyelesaian masalah –masalah humaniter juga menjadi pendorong bagi pembentukan
organisasi internasional guna menyelesaikan masalah humaniter .

3. Organisasi – Organsasi Non Pemerintah / NGO

Organisasi – Organisasi Non Pemerintah / Non Governmental Organizations ( NGO ) suatu lembaga
yang didirikan atau diprakarsai swasta . ruang lingkup kegiatan NGO ini meliputi :

- Bidang Humaniter seperti : ICRC , Amnenty International atau dewan dewan gereja ;
- Bidang Politik seperti : Federasi sosialis, Komunis, Libaral ;
- Bidang Ilmu Pengetahuan seperti : Institute of International Law association ;
- Bidang Ekonomi dan sosial seperti : Federasi Buruh dan asosiasi Profesioanal ;
- Bidang Olah raga seperti : Komite Olimpiade Internasional ;
- Bidang Ekologi seperti : Greenpeace .

Dalam kegiatannya NGO ini mendapatkan status resmi parsial dengan memperoleh status konsultatif
pada badan tertentu seperti : dewan sosial Ekonomi, ILO, UNESCO PBB ( pasal 71 Piagam ) PBB. NGO
lebih banyak berperan sebagai kekuatan Transnasional atau international pressure group dan bukan
merupakan subyek hukum internasional seperti : Negara. NGO ini pada umumnya mempunyai kantor
pusat dan mengadakan kegiatan di Amerika serikat dan Eropa , masih sedikit di negara berkembang.
Sehingga tidak diragukan bahwa NGO ini yang secra yuridis berbentuk himpunan tunduk pada hukum
nasional dan tidak secara langsung diatur hukum internasional.Namunsebagai actor penting dalam
dalam masyarakat internasional, NGO juga berperan dalam membantu perkembangan hukum
internasional.

4. Perusahaan – Perusahaan Multinasional / MNCs


Dewasa ini, masyarakat internasional memberi perhatian khusus pada peranan Perusahaan-
perusahaan multinasional atau Multinational Cooperations ( MNCs )yang memiliki kantor pusat di suatu
negara dan melakukan kegiatan dibanyak negara. MNCs memang bukan merupakan Legal International
Person, karena merupakan perusahaan swasta dan merupakan kesatuan non pemerintah, namun dalam
hal-hal tertentu perusahaan tersebut dapat membuat persetujuan dengan pemerintah suatu negara
dengan memperlakukan prinsip-prinsip hukum internasional atau prinsip prinsip umum hukum untuk
transaksi mereka dan bukan diatur oleh hukum nasional suatu negara. Hal semacam ini sering disebut “
internationalized contracts.

MNCs mempunyai kedudukan penting bukan hanya karena besarnya, melainkan keberadaannya
diseluruh dunia yang dapat mempengaruhi ekonomi, sosial dan politik secara global. Behubung dengan
hal tersebut telah disiapkan draft code of conduct for Transnational Corporation yang sekarang masih
dalam pembahasan oleh PBB. Ketentuan – ketentuan yang dibuat tersebut untuk ditaati oleh MNCs.

5. Individu – Individu

Pengakuan individu sebagai subyek hukum internasional telah menyebabkan terjadinya perdebatan
diktrinal yang cukup tajam. Prof. Georges Scelle mengatakan bahwa “ masyarakat internasional pada
akhirnya adalah masyarakat individu yang diatur secara langsung oleh hukum internasional”. Pendapat
tersebut idak sama dengan anggapan bahwa :” individu tidak mempunyai tempat dalam orde yuridik
internasional “. Untuk mengetahui pendapat mana yang benar tidaklah mudah karena hukum
internasional tidak memiliki kejelasan tentang hal tersebut.

Tidak dapat disangkal bahwa individu –individu mempunyai kepentingan –kepentingan terhadap
sejumlah ketentuan hukum internasional baik dalam bentuk manfaat maupun kewajiban yang harus
ditaati. Tetapi itu tidak dapat berakibat secara langsung bahwa individu merupakan subyek hukum
internasional, karena pada umumnya negara bertindak sebagai jembatan antara individu dengan
hukum internasional. Namun dalam perkembangan selanjutnya individu diakui sebagai subyek hukum
internasional walaupun terbatas setelah berakhirnya perang duniaI dan mengalami perkembangan pada
sesudah Perang Dunia II. Dalam kerangka konstruksi regional. Konvensi Eropa mengenai Hak-Hak asasi
Manusia tahun 1959, Perjanjian Roma tahun 1957 dan pada tingkat Universal dengan diterimanya “ The
international Convenant on Civil and Political Rights ( ICPR ) dan The International Covenant on
Economic and Social and cultural Rights ( ICSECR ). Pada tahun 1966. Berarti telah meningkatkan
individu bukan hanya sebagai obyek tetapi sebagai subyek hukum internasional.

BAB VIII

PENGAKUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Lahirnya Suatu Negara


Sebagaimana diketahui bahwa negara sebagai subyek hukum internasional menurut Konvensi
Montevideo 1933 harus memenuhi 4 kualifikasi / syarat. Adapun syarat yang keempat adalah “
Kemampuan mengadakan kerjasama dengan negara lain “. Berkaitan dengan negara sebagai subyek
hukum internasional tersebut timbul pertanyaan : Apakah lahirnya suatu negara itu merupakan peristiwa
hukum atau peristiwa ekstra yuridis ?.

Berkaitan dengan pertanyaan ini ada 2 pendapat, yaitu :

Opini pertama mengatakan “ lahirnya negara merupakan suatu peristiwa fakta yang samasekali lepas
dari ketentuan ketentuan hukum internasional “. Lahirnya negara bisa karena factor politik, historis,
sosiologis atau meta yuridis . ( Jellinek, Cavaglieri dan Strupp ).

Opini Kedua mengatakan “ lahirnya negara adalah suatu proses hukum yang diatur oleh ketentuan-
ketentuan hukum internasional. ( Kelsen dan Verdross ).

1. Teori Konstitutif .

Dimata hukum internasional, pengakuan terhadap lahirnya suatu negara adalah mutlak. Sebab
negara belum lahir apabila belum mendapat pengakuan negara lain. Lauterpacht mengatakan “ a state
is, and becomes, an international person through recognition only and axeclusively “. Berarti hanya
melalui pengakuanlah negara baru dapat dikatakan telah lahir dan dapat menjadi sybyek hukum
internasional.

2. Teori Deklaratif .

Pengakuan tidak menciptakan negara, sebab lahirnya negara semata-mata merupakan suatu fakta
murni dan pengakuan hanya merupakan penerimaan suatu fakta tersebut. Penganut teori ini
menegaskan bahwa “ negara begitu lahir langsung menjadi anggota masyarakat internasional dan
pengakuan merupakan peneguhan dari kelahiran tersebut dan bukan merupakan sebuah syarat “.
Menurut Pasal 3 Deklarasi Montevideo 27 desember 1933 mengenai Hak-hak dan kewajiban negara
mengatakan “ Keberadaan politik suatu negara bebas dari pengakuan oleh negara – negara lain “.

B. Pengakuan Negara .

Pengakuan adalah pernyataan dari suatu negara yang mengakui negara lain sebagai subyek hukum
internasional. Dalam memberi pengakuan pada negara baru, umumnya negara-negara memakai kriteria
sebagai berikut :

- Keyakinan adanya stabilitas di negara tersebut ;


- Dukungan umum dari penduduk ;
- Kesanggupan dan kemauan negara tersebut melaksanakan kewajiban internasional .

Pengakuan sebagai kebijakan politik dapat berakibat sebagai berikut :


1. Negara-negara bebas untuk mengakui suatu negara tanpa harus memperhatikan sikap negara-negara

lain ;

2. Pengakuan adalah discretionary act yaitu suatu negara mengakui negara lain kalau dianggapnya

perlu . Contoh :

- Spanyol baru mengakui Peru setelah 75 tahun negara tersebut merdeka .


- Belanda baru mengakui Belgia pada tahun 1838 setelah negara tsb merdeka th 1831.
- Amerika Serikat mengakui Israel hanya beberapa jam setelah lahir 14 Mei 1948.
- Amerika serikat mengakui RRC setelah 30 tahun terbentuknya negara .

C. Bentuk - Bentuk Pengakuan

1. Pengakuan Secara Terang – Terangan dan Individual

Pengakuan seperti ini berasal dari pemerintah atau organ yang berwenang dibidang hubungan luar
negeri . cara yang sering dilakukan melalui :

- Nota Diplomatik, suatu Pernyataan atau Telegram ;


- Suatu Perjanjian Internasional ;
- Pengakuan timbal- balik .

2. Pengakuan Secara Diam - Diam

Pengakuan implisit ini terjadi bila suatu negara mengadakan hubungan dengan pemerintah atau
negara baru dengan mengirimkan wakil diplomatic, mengadakan pembicaraan dengan pejabat-pejabat
resmi ataupun kepala negara setempat membuat persetujuan dengan negara tersebut .

3. Pengakuan Secara Kolektif

Pengakuan secara kolektif ini diwujudkan dalam suatu perjanjian intenasional atau konferensi
multilateral. Melalui Helsinki Treaty tahun 1976, Negara-negara NATO mengakui Demokrasi Jerman
Timur . Negara- Negara ASEAN pada 18 April 1975 mengakui Kamboja baru setelah jatuhnya Phom Penh
ke tangan kelompok Komunis. Pengakuan kolektif oleh PBB terhadap lahirnya suatu negara. Pengakuan
kolektif oleh PBB belum dapat diartikan pengakuan masing-masing anggotanya, sebelum negara
tersebut member pengakuan sendiri.

4. Pengakuan Secara Prematur

Suatu Pengakuan dianggap prematur bila unsur-unsur konstitutif berdirinya sebuah negara belum
terpenuhi. Contoh : Perancis pernah mengakui amerika serikat tahun 1778 yang menyebabkan Inggris
menyatakan perang kepada Perancis.

Kasus pengakuan secara prematur ini sering terjadi pada negara yang memisahkan diri dari induknya.
India misalnya mengakui Bangladesh tanggal 6 Desember 1971 sedangkan kemerdekaan negara
tersebut baru diumumkan beberapa waktu kemudian yaitu : tanggal 25 Mret 1972. Pengakuan secara
premature ini merupakan tanda bahwa pengakuan yang dilakukan oleh negara-negara itu lebih bersifat
politik dan diluar ketentuan hukum internasional.

D. PENGAKUAN PEMERINTAH

Pengakuan pemerintah adalah suatu pernyataan dari suatu negara bahwa negara tersebut telah siap
dan bersedia berhubungan dengan pemerintah yang baru diakuisebagai organyang bertindak untuk dan
atas nama negaranya. Pengakuan pemerintah ini sangat penting, sebab tidak mungkin suatu negara itu
mengadakan hubungan kerjasama sebelum pemerintahan suatu negara itu mengakuinya. Contoh :
sesaat setelah SBY terpilih sebagai presiden RI 2009 2014; Presiden Amerika serikat memberikan
ucapan selamat dan siap bekerjasama dengan Indonesia.

1. Perbedaan antara Pengakuan Negara dan Pemerintahan

a. Pengakuan negara ialah pengakuan terhadap entitas baru yang telah memiliki unsur-unsur konsitutif

negara dan telah menunjukkan kemauan dan kemampuanya melaksanakan hak dan kewajiban

sebagai anggota masyarakat internasional ;

b. Pengakuan negara mengakibatkan pula pengakuan terhadap pemerintahannya dan berisi

kekediaanya mengadakan hubungan dengan pemerinta yang baru itu ;

c. Pengakuan terhadap negara sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali, sedangkan terhadap

pemerintahan dapat dicabut sewaktu-waktu. Perubahan pengakuan pemerintahan tidak

mempengaruhi personalitas internasional suatu negara.

2. Akibat Pengakuan Terhadap Pemerintah baru

Pengakuan terhadap pemerintahan baru dapat berakibat sebagai berikut :

a. Pemerintah yang diakui dapat mengadakan hubungan resmi dengan negara yang menkakui ;

b. Pemerintah yang diakui atas nama negaranya, dapat menuntut negara yang mengakui di

peradilan;

c. Pemerintah yang mengakui dapat melibatkan tanggungjawab negara yang diakui untuk semua

perbuatan internasionalnya ;
d. Pemerintah yang diakui berhak memiliki harta benda pemerintah sebelumnya diwilayah negara

yang mengakui .

3. Terjadinya Suatu Pengakuan Pemerintahan

Pengakuan terhadap pemerintahan baru, terjadi jika terjadinya atau pembentukannya atau
pergantiaanya dilakukan secara inkonstitusional atau dengan jalan revolusi atau dilakukan melalui cara –
cara ekstra yuridik. Misal : Coup d”etat, revolution. Dalam sejarah deplomatik terdapat beberapa
doktrin tentang pengakuan pemerintah yaitu :

a. Doktrin Tobar

Dr. Tobar, menteri luar negeri Equador dalam pernyataannya tanggal 15 Maret 1907 meletakkan
prinsip bahwa “ suatu negara harus berusaha untuk tidak mengakui sebuah pemerintah asing jika
pembentukan pemerintah tersebut dilakukan dengan cara kudeta militer atau pemberontakan “.
Sebelum diakui, paling tidak pemerintah tersebut harus disahkan dulu secara konstitusional. Doktrin
Tobar tersebut dikenal sebagai doktrin Legitimasi konstitusional. Doktrin ini juga sesuai dengan
doktrin Wilson. Presiden Amerika Serikat Wilson semenjak tahun 1913 melaksanakan “ doctrine of
non recognition of government set up by force in any of the five Central American republics “.
Doktrin ini didukung oleh dua instrument yuridis yaitu :

- 1. Konvensi Washington antara 5 Republik Amerika Tengah ( Costa Rica, Guatemala, Honduras,
Nicaragua dan Salvador ) tahun 1907 untuk 10 tahun, tetapi tidak diperpanjang sesudah tahun
1917 ;
- 2. Konvensi Washington tanggal 7 Pebruari 1923 antara negara-negara yang sama untuk 10
tahun tetapi juga tidak diperbaharuhi .

Dalam praktiknya, doktrin ini tidak dilaksanakan oleh negara-negara eropa seperti Perancis, Inggris
dan belgia yang tetap mengakui Pemerintahan Jendral Martinez di Salvador melalui Kudeta tahun
1933 . Dan Negara-Negara amerika Latin yang mengakui Pemerintahan Jendral Franco beberapa
bulan setelah perang saudara di spanyol pada bulan Agustus 1936.

b. Doktrin Stimson

Doktrin Stimon adalah doktrin yang menolak diakuinya suatu keadaan yang lahir sebagai akibat
penggunaan kekerasan atau pelanggaran terhadap perjanjian- perjanjian yang ada. Henry Stimon
menteri luar negeri Amerika serikat telah mengirimkan nota ke Jepang dan Cina pada tanggal 7
januari 1932 yang menolak pembentukan negara Manchukuo oleh Jepang, propinsi Cina yang
diduduki negara tersebut. Inggris dan Perancis mendukung doktrin ini dan mengirimkan nota
penolakan ke Jepang. Doktrin ini dipakai pula untuk menolak Unisiviet yang mencaplok negara –
negara Baltik pada tahun 1940.

c. Doktrin Estrada
Estrada adalah Menteri Luar Negeri Mexico, pada tanggal 27 September 1930 menyatakan bahwa
“ Penolakan pengakuan adalah cara yang tidak baik, karena bukan saja bertentangan dengan
kedaulatan suatu negara juga merupakan bentuk intervensi urusan dalam negeri negara lain “.
Penolakan ini didasarkan pada teori bahwa “ diplomatic representation is to the state not to the
government “. Praktik yang terjadi dewasa ini adalah negara-negara membiarkan perwakilan
deplomatiknya ada dalam suatu negara walaupun terjadi pergantian pemerintahan secara
inkonstitusional. Bahkan perubahan pemerintahan non konstitusional di suatu negara tidak
mempunyai dampak langsung terhadap keanggotaannya dalam organisasi internasional. Itulah
sebabnya doktrin Estrada ini dipandang paling sesuai dengan kondisi saat ini.

4. Pengakuan De Facto Dan De Jure

Pengakuan De Facto adalah Pengakuan yang diberikan kepada suatu pemerintahan yang belum sah

secara konstitusional. Pemerintahan yang lahir melalui revolusi misalnya masih dianggap sebagai
pemerintahan De facto walaupun kekuasaan pemerintahan sudah berjalan diseluruh wilayah nasional.
Ada 3 syarat yang harus dipenuhi oleh Pemerintah De facto yaitu :

- Efektivitas : Kekuasaan tsb diakui dseluruh wilayah negara ;


- Regularitas : Berasal dari pemilihan umum atau telah disahkan oleh konstitusi ;
- Eksklusivitas : tidak ada pemerintahan tandingan .

Dalam praktik internasional, negara-negara terlebih dahulu memberikan pengakuan secara de Facto
baru kemudian Pengakuan secara De Jure . Inggris, italia dan Swiss mengakui Unisoviet secara De Facto
terlebih dahulu dengan mengadakan hubungan dagang, baru kemudian diikuti dengan pengakuan De
Jure . Indonesia juga diakui secara De Facto oleh sejumlah negara waktu revolusi Fisik tahun 1945-
tahun 1949 dan baru sesudah pemulihan kedaulatan mendapat Pengakuan De Jure. Amerika serikat
pada Tahun 1946 memberikan Pengakuan De facto pada Indonesia, baru kemudian diikuti oleh
pengakuan De Jure.

E. PENGAKUAN TERHADAP PEMBERONTAK ( BELLIGERENCY )

Bila dalam suatu negara terjadi pemberontakan dan pemberontakan tersebut telah memecah belah
kekuasaan nasional dan efektivitas pemerintahan maka, keadaan ini menempatkan pihak ke tiga dalam
keadaan sulit terutama dalam melindungi berbagai macam kepentingannya di negara tersebut. Dalam
kondisi seperti ini lahirlah Pengakuan Belligerency. Negara ke tiga dalam sikapnya membatasi diri
sekedar mencatat bahwa para pemberontak tidak kalah dan telah menguasai sebagian wilayah
nasionaldan mempunyai kekuasaan secara fakta. Amerika dan inggris pernah memberikan pengakuan
belligerency dimasa lampau. Dan pada orang-orang selatan di amerika Serikat pada waktu perang
saudara oleh Perancis dan Inggris serta negara-negara Eropa lainnya. Contoh : Pada abad 19 koloni-
koloni Spanyol melakukan pemberontakan dan memproklamasikan kemerdekaan. Inggris dan Perancis
mengakui sebagai Belligerent. Memberikan pengakuan terhadap belligerent berarti :

1. Memberikan kepada pihak pemberontak hak dan kewajiban suatu negara selama berlangsungnya
peperangan ;

2. Ini berarti :

a. Angkatan perangnya adalah kesatuan yang sah sesuai hukum perang dan bukan pembajak;

b. Peperangan antar pihak harus mematuhi hukum perang ;

c. Kapal perangnya adalah kapal perang yang sah, bukan bajak laut ;

d. Blokade-blokade yang dilakukan di laut harus dihormati oleh negara-negara netral .

3. Diakui sebagai subyek hukum internasional yang bersifat terbatas dan sementara ;

4. Negara induk dibebaskan dari tanggungjawab terhadap negara ke-3 sehubungan dengan perbuatan

yang dilakukan ;

5. Jika negara induk mengakui sebagai Belligerency maka kedua belah pihak harus melakukan sesuai

hukum perang dan negara ke-3 tidak boleh ragu-ragu untuk mengakuinya juga ;

6. Pengakuan sebagai Belligerency bersifat terbatas dan sementara dan berlaku hanya selama perang

tanpa memperhatikan pemberontak ini akan kalah atau menang ;

7. Pengakuan Belligerency diberikan untuk alasan humaniter dan negara ke-3 mempunyai hak dan

kewajiban sebagai negara netral .

F. PENGAKUAN TERHADAP GERAKAN-GERAKAN PEMBEBASAN NASIONAL

Suatu perkembangan baru dalam hukum internasional ialah dengan diakuinya Pengakuan Terbatas,
kepada Gerakan-gerakan pembebasan nasional. yang memungkinkan gerakan ini untuk ikut dalam PBB
atau organisasi internasional tertentu. Pengakuan semacam ini belum bersifat universal. Negara Amerika
serikat dan Inggris menolak dengan alasan piagam PBB tidak berisi ketentuan-ketentuan mengenai
peninjau dan gerakan-gerakan pembebasan adalah kelompok bukan negara.

Melalui Resolusi Majelis umum PBB No. 3237 tanggal 22 Nopember 1974 Palestine Liberation
Organization ( P L O ) diberi status peninjau tetap pada PBB. Demikian juga South west Africa
People Organization ( SWAPO ) mendapat status yang sama melalui Resolusi Majelis Umum No.311
tahun 1973 sebagai The sole and authentic representative of the Namibian People .

PM Austria, Bruno Kreisky, pada tanggal 13 maret 1980 memberikan pengakuan diplomatic penuh
kepada PLO yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain termasuk Indonesia dengan perkecualian
negara – negara Barat hanya memiliki kantor-kantor penerangan.
BAB IX

PENYELESAIAN SECARA DAMAI SENGKETA INTERNASIONAL

A. PRINSIP –PRINSIP UMUM

1. Prinsip – Prinsip hukum Internasional yang Berlaku

Dalam Deklarasi mengenai hubungan persahabatan dan kerjasama antar negara tanggal 24 Oktober
1970 ( A/RES/2625/XXV ) serta deklarasi Manila 15 Nopember 1982 memuat tentang Prinsip-prinsip
penyelesaian sengketa secara damai sebagai berikut :

- Prisip negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam integritas territorial
atau kebebasan politik suatu negara atau cara-cara lain yang tidak sesuai dengan tujuan PBB;
- Prinsip non intervensi urusan dalam dan luar negeri suatu negara ;
- Prinsip Persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa ;
- Prinsip Persamaan kedaulatan negara ;
- Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan , kedaulatan dan integritas territorial suatu
negara ;
- Prinsip etikat baik dalam hubungan internasional ;
- Prinsip keadilan dalam hukum internasional.

2. Kebebasan Memilih Prosedur Penyelesaian

Hukum internasional tidak menentukan keharusan untuk menyelesaikan sengketa menurut prosedur
tertentu, hal ini ditegaskan dalam paal 33 Piagam PBB yang meminta “ Kepada negara-negara untuk
menyelesaikan sengketa secara damai dengan memberikan alternatif penyelesaian yang dipilih secara
bebas. Atas dasar itu negara-negara lebih memilih penyelesaian secara politik daripada cara
penyelesaian melalui Arbitrase atau Penyalesaian secara Hukum. Sebab penyelesaian secara politik akan
melindungi kedaulatan negara. Jika penyelesaian secara politik tidak membawa hasil, baru ditempuh
secara hukum apabila sengketa itu mengadung aspek hukum. Bahkan jika dimungkinkan kedua cara ini
dapat dilakukan secara paralel. Penyelesaian secara Juridis lebih dapat menjamin pelaksanaan yang
efisien. Cara tersebut juga merupakan unsur positif bagi kemajuan dan perkembangan hukum
internasional.

3. Perbedaan Penyelesaian Secara Politik dan Secara Hukum

Hukum internasional membedakan sengketa internasional kedalam dua katagori yaitu : sengketa
politik dan sengketa hukum. Bahkan pada selama decade terakhir muncul katagori sengketa baru yaitu :
Sengketa teknik.

- Sengketa Politik adalah sengketa dimana kedua negara mendasarkan tuntutannya atas
pertimbangan –pertimbangan politik atau kepentingan nasional masing-masing. Penyelesaian
juga secara politik ;
- Sengketa hukum adalah sengketa yang ditimbulkan atas tuntutan-tuntutan secara hukum, baik
disebabkan karena perjanjian internasional, ketentuan hukum internasional yang mengikat suatu
negara.
- Sengketa teknik adalah sengketa yang tidak berkaitan dengan substansi / pokok perkara.

Sangat disadari bahwa tidak gampang membedakan suatu sengketa itu, termasuk sengketa politik
atau sengketa hukum. Sebab dalam suatu sengketa selalu ada unsure politik dan unsure hukumnya,
dan itu sebabnya perlu dikaji secara seksama dari kedua unsure tersebut mana yang lebih menonjol.
Jika unsure politik yang menonjol, maka penyelesaiannya dilakukan secara politik. Jika sebaliknya,
maka penyelesaiannya dilakukan secara Hukum.

B. PENYELESAIAN SECARA POLITIK

Sejalan dengan semakin berkembangnya Organisasi-Organisasi Internasional terutama PBB, maka


Penyelesaian sengketa internasional secara politik dapat dibedakan dalam 3 katagori, yaitu :

- Penyelesaian dalam kerangka antar negara ;


- Penyelesaian dalam Kerangka Organisasi PBB ; dan
- Penyelesaian dalam Kerangka Organisasi-Organisasi regional .

1. Penyelesaian dalam kerangka antar Negara

Penyelesaian sengketa internasional antar negara secara politik dapat dilakukan dengan jalan yaitu :

a. Perundingan langsung antar negara

Perundingan ini dilakukan oleh Para Menteri Luar negeri, duata besar-duta besar atau wakil-wakilnya
yang ditugaskan untuk berunding secara diplomatik guna menyelesaikan sengketa tersebut. Tujuannya
adalah : Tidak harus secara khusus menyelesaikan suatu engketa yang terjadi, tetapi dapat pula untuk
menghasilkan suatu kesepakatan dalam bentuk aturan baru guna mencegah atau meredakan situasi
sengketa yang potensial.

b. Jasa-Jasa Baik dan Mediasi

Prosedur penyelesaian ini berasal dari kebiasaan dan kemudian dikodifikasikan oleh Konvensi den
Haag 29 juli 1899 dan selanjutnya di ganti oleh Konvensi Den Haag 18 Oktober 1907 . Jasa- Jasa baik
( good offices ) berarti intervensi suatu negara ketiga yang merasa dirinya wajar untuk membantu
penyelesaiaan sengketa yang terjadi antar negara.

Ada perbedaan antara Jasa-jasa Baik dan Mediasi, yaitu :

* Jasa-Jasa Baik ini dilakukan baik atas permintaan salahsatu atau dari dua negara yang sedang
bersengketa. Peran negara yang diminta tersebut biasanya mempunyai pengaruh moral dan politik
gunan menyiapkan langkah – langkah secara aktif agar kedua negara yang bersengketa bersedia
melakukan perundingan dan setelah maksud tersebut tercapai berarti selesailah tugasnya . Dan negara
tersebut tidak terlibat langsung dalam suatu perundingan. Contoh : ( 1 ) Amerika Serikat memberi jasa
baiknya agar Mesir dan Israil bersedia mengadakan perundingan pada tingkat wakil-wakil militer untuk
melaksanakan gencatan senjata yang diminta oleh PBB, bulan Oktober 1973. ( 2 ). Amerika Serikat dan
Inggris menawarkan jasa baiknya kepada Perancis dan Tunisia agar menyelesaikan sengketa mereka
akibat serangan udara Perancis atas Sakhiet-Sidi Youssef.

* Mediasi merupakan campur tangan yang lebih nyata. Karena negara mediator berperan lebih aktif
dalam :

- mengusulkan dasar-dasar perundingan baik para pihak;

- ikut terlibat langsung dalam perundingan yang sedang berlangsung ;

- menggunakan pengaruhnya agar negara yang bersengeta memberikan konsesinya timbale-balik demi

tercapainya suatu penyelesaian . Contoh : pada tahun 1898 Perancis menjadi Mediator dalam

sengketa antara USA dan Spanyol yang terlibat dalam peperangan. Pada tahun 1904-1905 Amerika

Serikat menjadi mediator pada waktu terjadinya Perang Rusia – Jepang .

Prosedur jasa –jasa baik dan Mediasi juga mempunyai persamaan, yaitu :

- Prosedur jasa baik maupun mediasi ditandai dengan intervensi negara ketiga, suatu kelompok
negara-negara atau seorang tokoh yang dikenal ;
- Intervensi negara ketiga tidak member kewajiban apapun bagi negara-negara yang bersengketa.
Tawaran jasa-jasa baik dan mediasi dapat ditolak kecuali kalau ada konvensi mediasi wajib antara
negara-negara yang bersengketa;
- Negara-negara yang bersengketa dapat secara leluasa menolak , baik usul-usul untuk dasar
perundingan maupun rumusan penyelesaian yang diajukan pihak ketiga ;
- Sering pula terjadi, negara yang memberikan jasa baiknya bertindak sebagai mediator.

Dalam kenyataannya Prosedur jasa-jasa baik dan mediasi bukan hal yang mudah, seringkali pihak ketiga
yang menjadi mediator maupun pemberi jasa baik dicurigai mencari keuntungan dibalik usaha mencari
solusi guna menyelesaikan sengketa. Utamanya, jika yang menjadi mediator maupun pemberi jasa – jasa
baik adalah negara besar.

c. Jasa- Jasa baik dan Mediasi Sekjen PBB

Sekjen PBB, dalam pelaksanaan fungsi baik atas prakarsa sendiri, permintaan Dewan keamanan PBB,
Permintaan Majelis Umum PBB maupun permintaan salahsatu pihak maupun keduabelah pihak dapat
memberikan jasa-jasa baiknya dan menjadi mediator untuk mencari solusi bagi penyelesaiaan sengketa.

Berikut adalah contoh Jasa-jasa baik yang ditawarkan Sekjen PBB, yaitu :

- Jasa-jasa baik Sekjen PBB terhadap masalah Afganistan telah berhasil dengan ditandatanganinya
persetujuan Jenewa april 1988, yang isinya penarikan pasukan Unisiviet dari afganistan. Jasa-
jasa baik yang dilakukan oleh Sekjen PBB ini atas permintaan majelis Umum PBB 14 januari 1980.
- Jasa-jasa baik Sekjen PBB, atas permintaan Lima kepala Negara Amerika Tengah untuk
membantu penyelesaian antara pemerintahan Salvador dan kelompok Gerilyawan .
- Sekjen PBB diberi peranan luas oleh Dewan Keamanan PBB, untuk memberikan Jasa-jasa baiknya
guna mengahiri Invasi Irak terhadap Kuwait 2 Agustus 1990.
- Sekjen PBB juga membantu penyelesaian sengketa antara Indonesia dengan Timor –Timur dari
tahun 1975 hingga 1982.

Itulah beberapa contoh jasa-jasa baik yang dilakukan oleh Sekjen PBB dalam menjalankan fungsi sebagai
salah satu organ PBB.

2. Angket

Angket adalah cara penyelesaian sengketa non juridiksional dengan tujuan mencari fakta yang
merupakan penyebab dari timbulnya sengketa tersebut. Tidak berbeda dengan Jasa-jasa baik maupun
mediasi, penyelesaian melalui angket sifatnya fakultatif, tidak imperatif baik terhadap penggunaan
maupun mengenai sifat putusannya. Sistem angket ini bertujuan memberikan dasar yang kuat bagi
jalannya suatu perundingan. Agar perundingan mempunyai dasar yang kuat, diperlukan data-data yang
obyektif sebagai penyebab timbulnya sengketa. Oleh sebab itu perlu dibentuk komisi indipenden untuk
melakukan angket.

( a ). Pendirian Komisi angket Internasional

Mekanisme angket oleh komisi-komisi internasional dibuat pertama kali oleh Konvensi Den Haag
29 Juli 1899 dan Konvensi den Haag II 18 Oktober 1907 sebagai penegasan dan penyempurnaan
prosedur yang telah diterima pada tahun 1899. Pasal 9 Konvensi den Haag 1907 menyatakan bahwa

- “Dalam sengketa internasional dimana tidak terlibat baik kehormatan maupun kepentingan
pokok nasional tetapi hanya perbedaan pendapat tentang fakta-fakta, negara-negara yang
bersengketa dapat membentuk suatu komisi angket internasional yang bertugas untuk
mempermudah penyelesaian sengketa sengketa dengan jalan mempelajari secar tidak memihak
dan penuh kesadaran persoalan-persoalan mengenai fakta “. ( Boer Mauna ).

Atas dasar ketentuan pasal 9 Konvensi den Haag 1907 tersebut jelas wewenang Komisi terbatas pada
persoalan fakta. Dengan demikian Komisi ini dibentuk sesudah ada insiden/ perselisihan, dimana negara-
negara tsb tidak sependapat tentang fakta-fakta yang menjadi sebab timbulnya sengketa. Contoh
perselisihan tentang tabal batas laut.

Gagasan untuk membentuk prosedur angket ini berasal dari delegasi rusi, yang di kepalai oleh De
Martens dalam Konferensi den Haag 1899. De Martens berpendapat bahwa “ Bila terjadi insiden berat
antara kedua negara dimana pendapat umum menjadi berkobar yang mungkin mengakibatkan
tindakan tindakan yang tidak diinginkan, maka pembentukan suatu komisi angket yang akan
menyelidiki sebab-sebab insiden itu dapat meredam suasana dan memenangkan waktu. Memang
pembentukan komisi angket samasekali tidak berarti bahwa persoalannya sudah dapat diselesaikan,
angket masih tetap ada, namun sifat gawatnya sudah berkurang “.
Ada dua peristiwa terkenal yang memperkuat gagasan De Martens tentang perlunya pembentukan
Komisi angket, yaitu :

- Peristiwa schnoebele tahun 1887, mengenai seorang Komisaris Polisi Perancis yang berasal dari
daerah Alsace. Dia diundang oleh kolega-kolega Jermannya ke Tapal batas untuk menyelesaikan
beberapa persoalan mengenai bea cukai. Tetapi sampai ditapal batas dia ditangkap oleh Polisi
jerman. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendapat umum Perancis, karena saat itu Perancis
kehilangan propinsi Alsace-Lorraine tahun 1870 yang diambil oleh Jerman.
- Peristiwa Maine mengenai Kapal Perang Amerika serikat yang meledak hancur dipelabuhan
Spanyol Havana. Menurut Komisi Angket Amerika serikat meledaknya disebabkan ranjau laut
spanyol. Tetapi menurut spanyol disebabkan kerusakan mesin itu sendiri. Akibatnya terjadi
Perang Amerika serikat melawan Spanyol.

Dengan adanya dua kejadian tersebut de martens mengusulkan untuk membentuk Komisi
Angket Internasional. Agar pencarian fakta berjalan obyektif. Perlu pula diingat bahwa dalam
praktiknya angket ini bersifat fakultatif dan tidak mengharuskan negara-negara untuk memilih
prosedur ini. Dalam pasal 35 tentang laporan angket Konvensi Den Haag 1907 menyatakan
bahwa “ Laporan Komisi angket Terbatas pada Konstantasi fakta- Fakta dan samasekali tidak
dapat disamakan dengan putusan arbitrase.

b. Komisi-Komisi Angket yang didirikanoleh Konvensi-Konvesi Lain.

Komisi angket yang didirikan berdasarkan Konvensi-Konvensi lain yaitu :

( 1 ). Perjanjian- Perjanjian Knox.

pada tahun 1919, Menteri Luar negeri Knox Amerika serikat membuat perjanjian antara amerika
serikat, Perancis dan Inggris untuk membentuk procedure angket wajib yang hasilnya dapat digunakan
sebagai dasar penyelesaian secara arbitrase. Konvensi ini untuk melengkapi Konvensi 1908.

( 2 ). Perjanjian-Perjanjian Bryan .

Bryan antara tahun 1914 dan tahun 1915 membuat perjanjian Bilateral untuk mendirikan Komisi angket
internasional . ada sekitar 30 perjanjian ditandatangani dan 15 perjanjian tujuannya memperluas
wewenang Komisi angket yang terdapat pada Konvensi Den Haag. Komisi ini dibentuk tidak hanya
bertugas mencari fakta tetapi juga untuk memebrikan laporan tentang sebab-sebab timbulnya pokok
persoalan. Dalam prosedur angket ini negara-negara yang terlibat tidak boleh melakukan perang atau
penyerangan bila komisi angket belum menyelesaikan tugasnya.

Disamping dua perjanjian ini, masih ada perjanjian lain yang mempunyai tujuan yang sama seperti dua
perjanjian diatas. Seperti :

1. Konvensi Washington 7 Pebruari 1923, antara amerika dengan Guatemala, El savador, Honduras,
Nicaragua dan Costa Rica
2. Perjanjian Santiago de Chili 3 Mei 1923 untuk menyelesaiakan secara damai sengketa antara negara –
negara Amerika. Dll.

c. Praktek Angket Internasional

angket Internasional dalam prateknya bukan hanya membatasi pada penyelidikan fakta materiil,
tetapi juga mempelajari sebab-sebab pokok dari pertikaian dan mengajukan usul-usul mengenai
penyelesaiannya. Jadi praktek mengikuti perjanjian –perjanjian Knox dan Perjanjian-Perjanjian Bryan
serta perjanjian-perjanjian Washington dan Santiago de Chili.

c. Konsiliasi Internasional

Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian secara damai sengketa internasional oleh organ yang telah
dibentuk sebelumnya atausetelah terjadinya masalah yang dipersengketakan. Dalam hal ini Organ
tersebut mengajukan usul penyelesaian kepada pihak-pihak yang bersengketa. Komisi Konsiliasi bukan
saja bertugas mempelajari fakta-fakta tetapi juga harus mempelajari sengketa dari semua segi agar
dapat merumuskan penyelesaian .

Ciri-Ciri Konsiliasi :

- Konsiliasi adalah suatu prosedur yang diatur dalam Konvensi. Negara-negara pihak suatu
konvensi berjanji untuk mengajukan sengketa mereka pada komisi-komisi konsiliasi. Komisi dapat
melaksanakan tugasnya bila ada salah satu negara peserta Konvensi memintanya. Dan tidak
diperlukan persetujuan pihak lain ( Konsiliasi wajib ).
- Wewenang Komisi adalah dapat mempelajari semua persoalan dari semua aspek serta
mengajukan usul -usul untuk penyelesaian, walaupun usul-usul yang diajukan tidak mengikat
karena masuk dalam kualifikasi penyelesaian secara politik. Jika usul-usul penyelesaian ditolak,
maka negara-negara yang bersengketa dapat meneruskan pada penyelesaian secara
Yuridiksional.
- Komisi- komisi Konsiliasi adalah Komisi yang bersifat tetap. Yang dibentuk setelah berlakunya
Konvensidan pembentukan tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada Konvensi. Komisi-komisi itu terdiri dari % 0rang yaitu : 2 dari masing-masing negara yang
bersengketa dan 1 wakil dari negara lain.

(1). Komisi –Komisi Konsiliasi

Liga Bangsa bangsa dalam resolosinya tanggal 22 september 1922 menganjurkan kepada negara-
negara anggota untuk membuat Konvensi – Konvensi yang berisikan pembentukan Komisi-Komisi
konsiliasi . Saran ini diikuti oleh banyak negara dan sebelum meletusnya PD II, tercatat ada 20 Perjanjian
bilateral mengenai Konsiliasi. Adapun wewenang Komisi konsilisi tercantum dalam pasal 15 Ketentuan
Umum Arbitrasi tahun1928 yang disempurnakan oleh Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 28 april 1949
yang menyatakan bahwa “ Komisi konsiliasi bertugas mempelajari soal-soal yang berhubungan
dengan sengketa dan untuk itu mengumpulkan keterangan-keterangan yang perlu dengan jalan
angket atau dengan cara-cara lain agar dapat mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa. Setelah
mengadakan penyelidikan terhadap sengketa tersebut, komisi dapat mengajukan usul-usul
penyelesaian kepada negara-negara yang bersengketa dan memberikan waktu pada mereka untuk
dapat menentukan sikap “ .

Jadi, ketentuan umum inilah yang menjadi dasar bagi negara-negara dalam membuat Konvensi –
Konvensi Konsiliasi misalnya : Konvensi Konsiliasi eropa 1957, Perjanjian Inggris – swiss 1965 dll.

(2). Praktek Konsiliasi Internasional

Banyaknya negara yang membuat Konvensi Konsiliasi, ternyata tidak diikuti oleh praktik konsiliasi
internasional hingga Perang Dunia II. Contoh :

- Sengketa antara Perancis - Thailand membentuk Komisi konsiliasi antar dua negara ; dalam
sengketa tersebut Thailand menuntut Perancis agar mengembalikan sebagian wilayah Laos dan
kamboja yang terletak dibagian timur tapal batasnya. Pada saat itu Laos dan kamboja adalah
Protektorat – Protektorat Perancis.
- Komisi yang dibentuk atas persetujuan Perancis – maroko tahun 1957, yang bertugas untuk
memeriksa peristiwa Penahanan Pesawat Udara yang membawa Ben Bella, tokoh pejuang
aljazair dan kawan-kawannya ini disebut Komisi angket dan konsiliasi. Dll.

Dari beberapa contah dan gambaran tersebut, dapat dikatakan ada perkembangan dalam penyelesaian
sengketa sesuai dengan prosedur Konsiliasi dengan bukti banyaknya Konvensi untuk Konsiliasi yang
berisi kominten negara-negara untuk menggunakan cara ini terutama setelah berakhirnya Perang Dunia
II. Perlu diingat sekali lagi, walaupun peranan Komisi Konsiliasi begitu luas, namun tetap penyelesaiaan
jenis ini tidak mengikat negara-negara untuk harus mengikutinnya, sebab masih dalam kualifikasi
penyelesaiaan secara politik.

2. Penyelesaian dalam Kerangka Organisasi PBB.

Diantara organisasi –organisasi Internasional dan Regional yang mempunyai wewenang untuk
menyelesaikan sengketa –sengketa inetrnasional adalah PBB. Sebab sesuai dengan tujuan
pembentukaanya adalah Untuk menjaga dan memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

a. Prinsip umum penyelesaian sengketa

dapat dijumpai pada ktentuan pasal 2 ayat 3 piagam PBB yang menyatakan bahwa “ anggota-
anggota PBB harus menyelesaikan sengketa-sengketa internasional secara damai sehingga perdamaian
dan keaanan internasional maupun keadilan tidak terancam “. Bertolak dari ketentuan pasal ini, PBB
menghormati prinsip penyelesaian yang bersifat Non Intervensi terhadap urusan dalam negeri negara
anggota sesuai ketentuan pasal 2 ayat 7 Piagam PBB.

b. Peran utama Dewan Keamanan

Peran dewan keamanan PBB dituangkan dalam pasal 24 ayat ( 1 ) Piagam yang menyatakan bahwa “
agar PBB dapat mengambil tindakan segera dan efektif , negara-negara anggota memberikan
tanggungjawab utama kepada Dewan Keamanan untuk memelihara perdamaian dan keamanan
internasional dan setuju bahwa Dewan Keamanan bertindak atas nama negara-negara anggota “.
Penyelesaian sengketa internasional secara damai diatur dalam Bab VI Piagam. Dan negara-negara dapat
meminta perhatian dewan keamanan, apabila sengketa tersebut dapat :

- Mengancam perdamaian dan keamanan internasional atau suatu keadaan yang dapat
menimbulkan sengketa seperti tercantum dalam pasal 35 ayat ( 1 ) Piagam ;
- Sekjen juga dapat mengambil inisiatif untuk meminta perhatian dewan keamanan sesuai
ketentuan pasal 99 Piagam ;
- Negara-Negara bukan anggota PBB yang terlibat dalam sengketa juga dapat meminta perhatian
Dewan keamanan dengan syarat negara-negara tersebut sebelumnya menerima kewajiban-
kewajiban mengenai penyelesaian sengketa secara damai ( Pasal 35 ayat 2 Piagam ).
- Negara-negara yang bersengketa atas persetujuan bersama , dapat meminta Rekomendasi
Dewan Keamanan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai ( Pasal 38 Piagam ).

Mengingat Struktur Dewan Keamanan tersebut maka, dalam menyelesaikan sengketa dewan
memerlukan kerjasama dengan perantaraan suatu komisi antar pemerintah dan tokoh-tokoh kenamaan.
Sebagai contoh :

- Bekerjasama dengan Komisi Konsiliasi dalam Peristiwa Congo tahun 1960 ;


- Bekerjasama dengan tokoh kenamaan dalam masalah Palestina 1948 , Ciprus tahun 1964 ;
- Bekerjasama dengan beberapa Tokoh untuk masalah Aparheid tahun 1963.

Dalam perkembangan baru Dewan keamanan juga mendirikan Organ Organ subsider yang berada dalam
wewenang dewan keamanan untuk membantu Dewan. Contoh : organ pengawas Peletakan senjata di
Palestina tahun Resolusi No.73 tahun 1949. Bahkan melalui Resolusi 27 juli 1978; Dewan Keamanan
menugaskan sekjen untuk menunjuk wakil khusus untuk Namibia dengan Tugas menyiapkan Pemilu
sampai pada Priklamasi Kemerdekaan . Dan pada tahun yang sama juga dibentuk United Nations
Transitional Assistance Group ( UNTAG ) Res. 435 tahun 1978.

c. Peran Majelis Umum

Piagam PBB hanya memberikan sedikit wewenang pada Majelis umum dalam hal yang berhubungan
dengan Pemeliharaan Keamanan Internasional. Tetapi kemacetan Dewan Keamanan PBB akhirnya
menyebabkan Majelis Umum dalam prakteknya memainkan peranan yang cukup penting. Dalam pasal
10 Piagam mengatur tentang “ Majelis Umum dapat membahas semua persoalan atau hal-hal yang
termasuk dalam kerangka piagam atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan fungsi salah satu
organ yang tercantum dalam piagam … dan membuat rekomendasi –rekomendasi kepada anggota-
anggota PBB atau ke Dewan Keamanan “.

Dan dalam pasal 11 ayat ( 2 ) Piagam menyatakan bahwa “ Majelis dapat membahas dan membuat
rekomendasi-rekomendasi mengenai semua persoalan yang berhubungan dengan pemeliharaan
keamanan internasional yang diajukan oleh salah satu anggota PBB atau oleh Dewan Keamanan
atau oleh suatu negara bukan anggota PBB “.
Dalam menjalankan wewenangnya tersebut, Majelis Umum lebih cenderung meminta Dewan Keamanan
merekomendasikan penggunaan cara-cara damai penyelesaian sengketa atau meminta kepada pihak-
pihak yang bersengketa untuk memilih sendiri cara-cara penyelesaian damai yang disepakati.

d. wewenang Sekretaris Jendral P B B

Menurut Ketentuan pasal 99 Piagam dikatakan bahwa “ Sekretaris Jendral PBB dapat menari
perhatian Dewan keamanan atas semua masalah, yang menurut pendapatnya dapat mengancam
perdamaian dan keamanan dunia “. Ketentuan ini merupakan hal baru, dimanan pendiri PBB tidak ingin
mengulangi kesalahan LBB yang tidak memberikan wewenang kepada Sekjen untuk mengambil prakarsa
atas keadaan yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Dalam laporannya pada Dewan
Keamanan tanggal 30 Juni 1992, yang berjudul Agenda for peace, Sekjen Boutros Boutros Ghali
mengajukan sejumlah langkah-langkah yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas PBB dibidang
deplomasi preventif, pemeliharaan dan pemulihan perdamaian. Isi laporanya tersebut mendapat
sambutan baik oleh banyak negara karena akan memperkuat PBB dalam upaya mencegah
danmeredakan sengketa-sengketa internsional.

Sekjen juga dapat melaksanakan fungsi deplomasi atas prakarsa Majelis Umum maupun Dewan
keamanan sesuai ketentuan pasal 98 Piagam.

3. Penyelesaian dalam Kerangka Organisasi – Organisasi dan Badan – badan regional

Ada dua ketentuan pasal yang dapat dijadikan rujukan/ dasar bagi Organisasi Regional untuk ikut
serta dalam menyelesaikan sengketa internasional yaitu : Pasal 33 Piagam menetapkan bahwa salah satu
cara menyelesaikan sengketa internasional secara damai adalah melalui Pengaturan regional ( Regional
Arrangement ) serta campur tangan organisasi-organisasi dan badan – badan regional berdasarkan
pilihan sendiri. Selain itu, berdasarkan pasal 52 Piagam yang mengatur tentang Kesepakatan kawasan,
istilah Regional arrangement maupun Regional Agencies merupakan pengaturan regional dan badan
regional yang dibuat untuk ikut serta menjalankan fungsinya dalam mencegah maupun menyelesaikan
sengketa internsional yang berada dalam kawasan tersebut.

Wewenang Organisasi/ Badan regional didalam proses penyelesaian sengketa internasional antara
yang satu dengan yang lain bisa berbeda sesuai hasil kesepakatan yang telah dilakukan, sebagai contoh
adalah berikut :

a. Liga Arab ( Leaque of arab state )

Peranan Liga Arab dalam menyelesaikan sengketa diatur dalam pasal 5 Pakta Liga Arab yang
membentuk Dewan Liga arab yang terdiri dari Wakil – Wakil Semua negara anggotanya. Keputusan Liga
Arab mengikat semua anggotanya untuk dilaksanakan jika tidak menyangkut :

- Kemerdekaan ;
- Kedaulatan dan
- Keutuhan wilayah salahsatu anggotanya.
Dewan Liga Arab berfungsi sebagai badan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa diantara anggotanya
berdasarkan :

- Permohonan anggota untuk menangani sengketa ;


- Permasalahan yang menjadi sengketa .

Negara anggota yang terlibat dalam sengketa tidak diijinkan ikut dalam pengambilan keputusan. Dewan
juga dapat melakukan, jasa-jsa baik, mediasi dan konsiliasi tanpa diminta oleh negara-negara yang
bersengketa.

b. Organisasi Negara-Negara Amerika ( Organization of American State / OAS )

Bab VI pasal 23 – pasal 26, Piagam OAS, secara khusus mengatur prosedur penyelesaian sengketa
para anggota dengan cara damai melalui perundingan langsung diantara para pihak yang bersengketa.
Jasa-Jasa baik, mediasi, konsiliasi dan cara-cara damai lainnya. Piagam OAS tidak membatasi anggotanya
untuk menempuh mekanisme penyelesaiaan sengketa diluar Piagam OAS. Setelah disempurnakan
Piagam OAS juga menetapkan Pembentukan Dewan Tetap untuk menyelesaikan sengketa secara
damai.Dewan tetap baru dapat berfungsi berdasarkan inisiatif atau persetujuan pihak-pihak
terkait.Dalam kondisi tertentu, Dewan juga dapat membentuk Komite Ad hoc yang diberi mandate untuk
mencari penyelesaian terbaik berdasarkan persetujuan pihak yang bersengketa.Piagam OAS memberikan
wewenang penuh kepada Sekjen OAS untuk berperan dalam penyelesaian sengketa, sebagaimana yang
dimiliki Sekjen PBB berdasarkan pasal 99 Piagam PBB.

c.Organisasi Persatuan Afrika ( Organization of African Unity/ OAU ).

Pasal 19 Piagam OAU menetapkan prinsip-prinsip penyelesaian secara damai dan membentuk komisi
Mediasi, Komisi Konsiliasi dan Arbitrase yang para anggotanya dan fungsinya diatur dalam protokol
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Piagam OAU. Anggota Komisi terdiri dari 21 wakil dari negara
anggota yang dipilih oleh Majelis Umum untuk periode 5 tahun. Setiap sengketa dapat diajukan pada
Komisi oleh salah satu dari pihak yang bersengketa. Komisi baru dapat menjalankan fungsinya bila
mendapat persetujuan dari pihak terkait lainnya. Dalam praktiknya, Komisi dapat membentuk Komite
Adhoc guna menyelidiki suatu kasus serta menggunakan sumber-sumber dan prosedur-prosedur lainnya
seperti : Jasa-jasa baik para tokoh negara/ politisi negara-negara afrika.

d. Dewan Eropa ( Council of Europe/European Convention for the Peacefull Settlement of disputes )

Konvensi Eropa Tahun 1957, membedakan penyelesaian sengketa menjadi dua, yaitu : sengketa
hukum dan Sengketa non Hukum sebagaimana ditetapkan oleh pasal 36 ( 2 ) Statuta Mahkamah
internasional. Khusus untuk sengketa hukum, para pihak dalam Konvensi ini setuju untuk menerima
yurisdiksi International Court of Justice yang mengikat ( Compulsory Jurisdiction ), namun demikian
para pihak juga berhak memilih penyelesaian diluar ICJ.

C. PENYELESAIAAN SECARA HUKUM


Penyelesaian sengketa secara hukum sifatnya mengikat bagi para pihak. Kerena putusan yang diambil
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku bagi para pihak.

1. Ciri – Ciri Pokok Fungsi Peradilan Internasional

Penyelesaian sengketa secara hukum, yang menghasilkan putusan-putusan mengikat juga berarti
akan mengurangi kedaulatan dari negara yang bersengketa. Itu sebabnya selama masyarakat
internasional masih merupakan kesejajaran negara-negara berdaulat, fungsi yuridiksionalitas
internasional tidak akan dapat berkembang sempurna seperti peradilan nasional. Peradilan nasional
hanya dapat dijadikan model oleh peradilan internasional karena struktur masyarakat dimana kedua
sistem hukum itu berlaku berbeda satu dengan yang lainnya.

a. sifat Fakultatif Peradilan Internasional

Dalam hukum internasional, peradilan internasional bersifat fakultatif. Artinya, bila suatu negara ingin
mengajukan perkaranya ke peradilan internasional, maka harus disetujui oleh pihak lain yang terlibat
dalam persengketaan tersebut karena ini menyangkut kedaulatan negara. Prinsip ini jelas berbeda
dengan peradilan dalam suatu negara yang bersifat wajib. Artinya, apabila seseorang mengajukan
gugatan pada orang lain, maka orang yang digugat harus/ wajib memenuhi panggilan sidang dalam suatu
sidang pengadilan.

b. Perbedaan antara arbitrase dan Mahkamah Internasional

Menurut ketentuan pasal 37 Konvensi Den Haag 18 Oktober 1907 tentang Penyelesaian Secara Damai
Sengketa-Sengketa Internasional mengatakan bahwa “Arbitase internasional bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa antara negara oleh hakim-hakim pilihan mereka sendiri dan atas dasar
ketentuan-ketentuan hukum. Penyelesaian melalui arbitarse ini berarti bahwa negara-negara harus
melaksanakan keputusan dengan itikad baik “. Atas dasar ketentuan tersebut berarti :

- Bersifat sukarela : Pilihan penyelesaian sengketa dilakukan secara bebas termasuk menentukan
hakimnya ;
- Putusan hakim mengikat : Negara harus taat dan tunduk untuk melaksanakan putusan haikm ;
- Non Institusional : hakim yang dipilih bukan merupakan organ permanenyang dibentuk sebelum
lahirnya sengketa. Jadi organ arbitrase dibentuk setelah ada sengketa.

Sedangkan Mahkamah Peradilan Tetap, merupakan bentuk peradilan yang lebih sempurna dengan cirri-
ciri :

- Organ ini dibentuk sebelum ada sengketa ;


- Putusannya mengikat ;
- Bersifat permanen, komposisi serta tatacara kerjanya ditentukan sebelum dan samasekali bebas
dari intervensi negara-negara yang bersengketa.

c. Asal – Usul Kedua Macam Peradilan


Dari segi historis, yang lahir lebih dahulu adalah Arbitrase. Yang lebih mengutamakan kedaulatan
negara dan lebih sesuai dengan struktur masyarakat internasional dan baru kemudian muncul peradilan
tetap. Arbitrase ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, Abad Pertengahan, raja-raja sering meminta
Arbitrase Paus yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar pada waktu itu. Setelah lahirnya
negara-negara modern, praktik arbitrase menjadi mundur karena negara-negara baru tersebut tidak
mau menundukkan kedaulatannya pada pihak ketiga. Sedangkan Lahirnya Mahkamah peradilan adalah
di abad ke-20, melalui Konvensi Den Haag 1899 dan 1907. Dan dalam rangka Organisasi-organisasi
Internasional, Mahkamah Peradilan tetap dapat berkembang dengan baik.

2. Penyelesaian Melalui Arbitrase Internasional

Penyelesaian sengketa internasional melalui Arbitrase, dapat dikaji atas 4 seksi, yaitu :

a. Penggunaan dan Kompromi arbitrase

Penggunaan Arbitrase didasarkan atas kesepakatan negara-negara yang bersengketa, sebelum


mengajukan sengketa di lembaga ini. Persetujuan dapat dilakukan dengan dua cara :

1 . sesudah terjadi sengketadi sebut arbitrase fakultatif ; persetujuan itu terbatas pada sengketa itu saja

2. sebelum terjadi sengketa disebut arbitrase wajib permanen.Lembaga ini dibentuk dengan tujuan
untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diwaktu mendatang.

b. Organ arbitrase

Pembentukan Organ arbitrase juga dilakukan dengan cara kompromi, baik struturnya terdiri hakim
tunggal atau komisi gabungan serta wewenangnya.

c. Prosedur arbitrase

Prosedur arbitrase juga dilakukan secara kompromi. Disamping itu juga ada nasah-naskah umum yang
mengatur tentang prosedur penyelesaian sengketa. Prosedur arbitrase terdiri dalam du atahap yaitu :
Tahap tertulis dan Tahap tidak tertulis. Sesuai dengan Konvensi Den Haag 1899 dan 1907, dipergunakan
Prosedur Kontradiktoar dengan mengajukan pernyataan kontra pernyataan dan soal jawab. Masing-
masing pihak mempunyai wakil-wakil di Organ arbitrase dan dibantu oleh penasihat-penasihat dan ahli
hukumnya. Kerja Arbitrase berakhir dengan keputusan Final para Hakim. Keputusan yang diambil harus
diterangkan motifnya dan diambil dengan suara terbanyak anggotannya serta dibaca dalam siding
umum yang dihadiri oleh wakil-wakil dan para ahli dari pihak-pihak yang bersengketa. Keputusan
arbitrase harus diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang bersengketa

d.Hukum yang berlaku

Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya dapat merujuk pada ketentuan
pasal 38 ayat ( 1 ) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu : Berupa sumber-Sumber Hukum
Internasional yang dipakai oleh Mahkamah Internasional sebagai dasar menyelesaikan sengketa yang
terdiri dari :
- i. Perjanjian Internasional baik yang bersifat umum maupun yang khusus ;
- ii. Kebiasaan Internasional ;
- iii Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab ;
- iv Keputusan Pengadilan dan pendapat ahli hukum yang terkemuka .

Disamping itu juga merujuk pada perjanjian arbitrase pada umumnya dengan tetap menjaga prinsip-
prinsip hukum umum seperti persamaan hak, keadilan dan penyelesaian secara seimbang.

e.Keputusan Arbitrase

Keputusan arbitrse mengikat negara-negara yang bersengketa. Oleh sebab itu pihak-piha harus
mengambil langkah-langkah legislasi, administrasi, keuangan dan hukum untuk melaksanakan keputusan
itu dengan etikat baik.

3. Mahkamah Internasional

Menurut ketentuan pasal 92 Piagam PBB : Makamah Internasional merupakan organ hukum utama
PBB yang mempunyai kewenangan penyelesaian sengketa internasional secara yuridis antar negara. Ada
seksi yang perlu dikaji dalam memahami Mahkamah ini, yaitu :

a. Aspek-aspek institusional Mahkamah

Dilihat secara institusional Mahkamah ini bersifat permanen. Mahkamah didirikan sebelum ada
sengketa, hakim-hakimnya dipilih sebelumnya, wewenang dan prosedurnya telah ditetapkan sebelum
sengketa itu timbul. Menurut ketentuan pasal 2 Statuta : “ Mahkamah terdiri dari sekumpulan hakim-
haim yang bebas, dipilih tanpa memandang kewarganegaraannya diantara ahli-ahli yang
mempunyai moral yang tinggi dan kualifikasi yang diperlukan untuk memegang jabatan hukum
tertinggi di negeri mereka masing-masing atau penasihat-penasihat hukum yang keahliannya telah
diakui dalam hukum internsional “. Dan dalam ketentuan pasal 94 Piagam PBB ditegaskan bahwa :

- Tiap –tiap negara anggota PBB harus melaksanakan keputusan Mahkamah Internasional
dalam sengketa dimana dia merupakan pihak ;
- Bila negara pihak suatu sengketa tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan
oleh Mahkamah kepadanya, maka negara pihak lainnya dapat mengajukan persoalannya ke
Dewan Keamanan , kalau perlu dapat membuat rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan
tindakan-tindakan yang akan diambil supaya keputusan tersebut dilaksanakan .

Pasal 94 Piagam PBB ini memberikan jaminan agar keputusan Mahkamah Internasional yang
mempunyai kekuatan mengikat hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan oleh pihak yang sedang
bersengketa.

b. Wewenang Mahkamah

Menurut ketentuan pasal 34 ayat ( 1 ) Statuta secara tegas menyatakan bahwa “ hanya negara-
negara yang boleh menjadi pihak dalam perkara-perkara di muka Mahkamah “. Individu-individu
dan organisasi -0rganisasi internasional tidak bisa menjadi pihak dalam perkara di Mahkamah. Penolakan
akses individu-individu ke Mahkamah bukan berarti bahwa sengketa-sengketa yang diajukan ke
Mahkamah tidak pernah menyangkut kepentingan individu-individu. Melalui mekanisme perlindungan
dipolomatik dibidang pertanggungjawaban internasional, negara-negara dapat mengambil-alih dan
memperjuangkan kepentingan warganegaranya di depan Mahkamah. Contoh : Perkara yang diperiksa
Mahkamah yang berasal dari pelaksanaan perlindungan diplomatik negara terhadap warga negara nya,
missal : Perkara Ambatielos ( ICJ 1952 -1953 ), Perkara Interhandel ( ICJ 1957-1958 ). Begitu pula
dengan Organisas-organisasi internasional juga dapat akses ke Mahkamah interasional dengan
melakukan kerjasama dengan Mahkamah, sesuai ketentuan pasal 34 ayat 2 dan 3 Statuta.Selanjutnya
pasal 36 ( 1 ) Statuta menyatakan : “Wewenang Mahkamah meliputi semua perkara yang diajukan
pihak-pihak yang bersengketa kepadanya dan semua hal, terutama yang terdapat dalam piagam PBB
atau perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi yang berlaku “.

Adapun wewenang wajib Mahkamah terdapa dalam pasal 36 ayat ( 2 ) statuta yang menyatakan bahwa “
Negara-negara phak statuta , dapat setiap saat menyatakan untuk menerima wewenang wajib
Mahkamah dan tanpa persetujuan khusus dalam hubungannya dengan negara lain yang menerima
kewajiban yang sama, dalam semua sengketa hukum mengenai :

- Penafsiran suatu perjanjian ;-

- setiap persoalan hukum internasional ;

← - Adanya suatu fakta yang bila terbukti akan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban
← internasional ;
← - Jenis atau besarnya ganti rugi yang harus dilaksanakan karena pelanggaran dari suatu
← kewajiban internasional .

Rincian sengketa hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 36 ayat ( 2 ) statuta ini, disebut sebagai
Klausula Opsional, yaitu : pernyataan suatu negara untuk menerima klausula tersebut tanpa syarat
ataupun dengan syarat resiprositas oleh negara-negara lain dalam kurun waktu tertentu.

c. Pendapat- pendapat yang tidak mengikat

Mahkamah juga mempunyai fungsi konsultatif, yaitu memberikan pendapat –pendapat yang tidak
mengikat atau yang disebut Advisory Opinion sebagamana tertuang dalam pasal 96 ayat ( 1) Piagam
yang menyatakan bahwa “ Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB dapat meminta Advisory Opinion
mengenai masalah hukum ke Mahkamah “. Selanjutnya menurut ayat ( 2 )nya menyatakan bahwa “ Hak
untuk meminta pendapat Mahkamah juga dapat diberikan kepada ogan-Organ lain PBB dan Badan-
badan Khusus, dengan syarat bahwa semuanya harus mendapat otoritas terlebih dahulu dar Majelis
Umum “.

d. Penilaian Peranan Mahkamah .

Peranan mahkamah dalam menyelesaikan sengketa dapat dikatakan sangat kurang. Ini disebabkan
karena putusan mahkamah bersifat mengikat, sehingga dapat mengganggu kedaulatan negara. Serta
sifatnya fakultatif. Tentang keadaan mahkamah dapat dilihat dari segi politik, teknik dan hukum.
- Dari segi politik : ada kekurangpercayaan terhadap hakim-hakim mahkamah Internasional
dengan alasan yang berbeda-beda. Negara berkembang melihat hakim terlalu berpihak pada
negara Barat. Negara sosialis berpendapat hakim bersikap Borjuis.
- Dari segi teknik : Mahkamah dianggap terlampau lamban dalam menyelesaikan sengketa.
Prosedur mengajukan sengketa sangat berat dan memakan biaya yang mahal sehingga negara
berkembang enggan menyelesaikan perkaranya di hdapan mahkamah.
- Segi hukum : hanya negara yang dapat mengajukan perkaranya dihadapan mahkamah.
Organisasi internasional dan Individu tidak dapat melakukan akses. Opsional klausul yang
terdapat pada pasal 36 ayat ( 2 ) Piagam PBB sering diabaikan oleh negara-negara Besar.

4. Peradilan Internasional lainnya di Bawah PBB

a. Mahkamah Pidana Internasional ( International Criminal Court )

Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB ) sejak pembentukannya memainkan peranan penting di bidang
Hukum Internasional sebagai upaya menciptakan perdamaian dunia dan keadilan bagi seluruh umat
manusia. Selain ICJ yang berkedudukan di Den Haag, Belanda yang merupakan organ utama PBB, telah
pula dibentuk ICC . Dalam prosesnya Statuta ICC ( Statuta Roma ) dinyatakan berlaku sejak 1 Juli 2002
setelah ditandatangani oleh 139 Negara sebelum deadline pada tanggal 31 Desember 2000 dan 89
negara telah meratifikasi. Ada 4 Jurisdiksi yang berkaitan dengan parameter hukum, yaitu :

- Temporal Jurisdiction/ Ratione Temporis : ICC tidak berluku surut ;


- Territorial Jurisdiction/ Ratione Loci : ICC berlaku disemua wilayah negara peserta tidak
memandang kewarganegaraan pelaku ;
- Subject matter jurisdiction / Ratione materiae : ICC berlaku untuk : Kejahatan HAM Berat/ Most
serious crimes seperti : Genocide, Crime againt humanity; war crime dan Crime of aggression .
Khusus Crime of aggression ICC akan menerapkan yurisdiksi setelah ada kesepakatan terhadap
definisi tentang Crime aggression / Kejahatan agresi.
- Personal jurisdiction/ Ratione Personae : ICC berlaku terhadap individu warganegara negara
peserta statute ini.

b. The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia / ICTY= Mahkamah Kriminal

Internasional untuk Bekas Yugoslavia .

Melalui Resolusi dewan Keamanan no. 827 tanggal 25 Mei 1993, PBB membentuk ICTY yang
berkedudukan di Den Haag negeri Belanda, bertugas mengadili orang-orang yang terlibat atas
pelanggaran – pelanggaran Berat terhadap hukum Humaniter internasional yang terjadi di bekas
Yugoslavia. Sejak didirikan ICTY ini sudah memeriksa 84 orang yang terlibat dalam pelenggaran-
pelanggaran berat dan 20 orang dintaranya telah ditahan. Pada tanggal 3 Maret tahun 2000 Mahkamah
menjatuhkan Pidana penjara 45 tahun kepada Jendral Kroasia Bosnia Tihomir Blaskic yang telah
mengorganisir Ethnic cleansing terhadap orang –orang muslim selama perang Bosnia 1992 -1995.
Dengan tuduhan pelanggaran Konvensi Jenewa 1948 dan Konvensi Jenewa 1949.

c. The International Criminal Tribunal for Rwanda / Mahkamah Kriminal untuk Rwanda
Melalui resolusi Dewan keamanan PBB No. 955 tanggal 8 Nopember 1994, dibentuklah Mahkamah
Kriminal untuk Rwanda yang berkedudukan di Arusha, Tansania. Tugas Mahkamah meminta
pertanggungjawaban para pembunuh masal terhadap suku Tutsi sekitar 800.000 orang Rwanda.
Mahkamah menjatuhkan Hukuman kepada : Jean- Paul Akayesu mantan wali kota Taba di hukum
penjara 80 tahun. Clement kayishema dihukum seumur hidup dan Obed Rusindana dihukum 25 tahun
penjara dengantuduhan melakukan pembunuhan ras ( Genosida ).

Berbeda dengan ICC, yang bersifat permanen. ICTY dan ICTR adalah bersifat Ad hoc. Olehsebab itu
untuk pelanggaran –pelanggaran berat terhadap kemanusiaan setelah terbentuknya ICC ini. Tentu
menjadi yurisdiksi ICC.

------------------------------------------------------------------

Anda mungkin juga menyukai