Anda di halaman 1dari 82

Istilah HPI

• Menurut GOUW GIOK SIONG (Gautama) adalah


Hukum Antar Tata Hukum (HATAH), yaitu dimana
beberapa system hukum bertemu dengan posisi /
kedudukan yang sama (azas equality).
Cabang-cabang dari HATAH :
A. HATAH INTERN (Pluralisme System Hukum)
B. HATAH EKSTERN, yaitu Hukum Perdata
International
HATAH Intern (Pluralisme System Hukum)
Terdiri dari:
1. Hukum Antar Waktu (HAW) :dalam praktek
ditemukan dalam Aturan Peralihan;
2. Hukum Antar Tempat (HAT) :timbul karena
adanya kekuasaan hukum adat;
3. Hukum Antar Golongan (HAG) : Warisan
Belanda, yaitu penggolongan beberapa system
Hukum terhadap penduduk di Indonesia, al: Gol
Eropah, Timur Asing dan Bumiputera (Psl 131 IS
jo 163), penggolongannya sudah dihapus,
tetapi hukumnya belum dihapus.
HATAH Ekstern, yaitu HPI
• - adanya unsur asing.
Keadaan dimana dua / lebih system hukum
bertemu, sehingga harus melakukan /
memilih hukum mana yang berlaku, untuk
itu perlu ada prinsip persamarataan (equal),
dimana system hukum yang bertemu itu
mempunyai kedudukan yang sama, tidak
ada system hukum yang lebih rendah atau
lebih tinggi dari sistim hukum lainnya.
Masalah HPI
Karena terdapat pluralisme HPI, dimana
Setiap Negara memiliki pengertian HPI
masing-masing.
1. Apakah HPI hukum Internasional atau
hukum nasional? Silang pendapat
mengenai ini dimulai dari judul materinya
(dispute starts from the title of the page).
2. HPI adalah hukum nasional, bukan
International. Sumbernya hukumnya
nasional. Hanya saja dalam HPI ada unsure
asingnya (foreign element). Perkataan
International pada HPI jangan dipandang
bahwa HPI bersumber dari hukum
International. Sifat Internationalnya
adalah karena HPI mengatur masalah
keperdataan yang mengandung unsur
asing.
• Istilah lain dari bertemunya beberapa
sistim hukum ini adalah Hukum
Perselisihan (Conflictenrecht- Van
Hasselt), Hukum Konflik (Conflict of law-
Diccey-Morris), Hukum Pertikaian
(Collisierecht). Istilah-istilah ini kurang /
tidak tepat, karena yang terjadi bukanlah
betrokan / tabrakan , namun suatu
pertautan stelsel-stelsel hukum dalam
suatu masalah keperdataan yang ada
unsure asingnya.

• Istilah yang tepat adalah : Choice of law, bukan
Conflict of law, karena HPI bertugas untuk
menghindari bentrokan, dan bertugas untuk
mengambil salah satu stelsel hukum yang
diberlakukan dalam suatu permasalahan.
• HPI juga bukan konflik kedaulatan, karena
hukum asing digunakan disebabkan hukum
nasional menginginkannya seperti itu, HPI
bersumber dari hukum nasional.
• Jadi HPI merupakan Hukum Perdata
(nasional) untuk hubungan-hubungan
International.
1. sumber hukumnya hukum nasional;
2. hubungannya, fakta-faktanya,
materinya bersifat International.
3. Azas nasionalistis : sumber dari HPI
adalah hukum nasional.
4. Azas internationalistis : dari berbagai
HPI ada satu HPI yang posisinya
berada diatas dari system hukum yang
ada (Supranasional).
5. HPI merupakan hubungan antara
orang (person) dengan orang dimana
terdapat unsure-unsur asing.
• Contoh-contoh sumber hukum
nasional:
1. Pasal 57 UU No. 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan:
2. UUPMA No. 1 Tahun 1967;
3. Pasal 16, 17, 18 AB (Algemeine
Bevalingen)
• Pasal 16 AB mengatur :
status & kewenangan hukum /status persona;
Dalam pasal ini diatur prinsip nasionalitas,
dimanapun Warga Negara Indonesia (WNI)
berada, hukum nasional Indonesia
mengikutinya. Dalam hal ini Indonesia
mengikuti Eropa Kontinental. (Anglo Saxon:
yang berlaku prinsip domisili, dimana hukum
yang berlaku pada seorang WN didasarkan
pada tempat tinggalnya atau berlaku hukum
dimana seseorang bertempat tinggal)
• Pasal 17 AB mengatur :
benda bergerak & tidak bergerak;
Dalam pasal ini diatur benda tidak bergerak
tunduk pada hukum dimana benda itu
terletak (Azas Lex Rei Sitae). Sejak zaman
Von Savigny ada perubahan makna bahwa
benda tak bergerak sama dengan benda
bergerak.
• Pasal 18 AB mengatur :
bentuk perbuatan hukum
Dalam pasal ini diatur bahwa suatu
perbuatan hukum tunduk pada hukum
dimana perbuatan itu dilakukan (Locus
Regim Actum). Jika perkawinan, hanya
syarat formalnya saja yang tunduk pada
hukum dimana perbuatan itu dilakukan
(Lex Loci Celebrationis)
PENGERTIAN HPI
• DEFENISI HPI:
• VAN BRAKEL (Grond Slagen en Beginselen Van
Nederlands International Privat Recht) :
“Hukum Perdata Interntional adalah hukum
nasional yang ditulis (diadakan) untuk
hubungan-hubungan International”
• GOUW GIOK SIONG (S GAUTAMA) & Schnitzer:
HPI bukanlah hukum international, tetapi
hukum national. Di Indonesia HPI dan Hukum
Antar Golongan (HAG) sangat erat
hubungannya.
• GRAVESON : Conflict of Law (HPI) adalah :
“cabang dari hukum Inggris” yang
berhadapan dengan masalah-masalah yang
fakta relevannya mempunyai hubungan
geografis dengan Negara asing, dan
memungkinkan timbulnya pertanyaan
tentang penerapan hukum Inggris atau
asing yang sesuai untuk pemecahan
masalah, atau seperti pada pelanggaran
yuridiksi oleh pengadilan Inggris atau
pengadilan asing.
Kesimpulannya
1. Hukum Perdata Interntional, bukan sumber
hukumnya international, tetapi materinya
(yaitu hubungan-hubungan /peristiwa-
peristiwa yang merupakan objeknya) yang
interntional.
2. HPI adalah hukum yang mengatur
hubungan antar individu dalam masyarakat
yang didalam hubungan itu mengandung
unsur asing;
OBJEK HPI
• Ruang lingkup kaedah-kaedah HPI di setiap
Negara berbeda, hal ini menunjukkan juga
bahwa HPI adalah hukum nasional.
• Di Inggris: HPI= (Confict of Laws) disamping
mengatur hubungan antara orang Skot (sistim
hukum Scotlandia lebih condong pada hukum
Belanda) dengan orang Inggris, juga
mencakup kaedah-kaedah hukum antar
agama;
• Di Amerika Serikat: HPI mencakup
hubungan antara orang-orang dari
Negara bagian yang berbeda (seperti
Negara Bagian New York dengan
California dsb), orang kulit putih dan
orang negro, serta orang (WN) Amerika
Serikat dengan orang Asing;

• Di Aljazair : kaedah-kaedah HPI
berkisar pada perbedaan agama
(Hanya orang Kristen dan Yahudi
yang sabagai orang asing
memperoleh perlindungan hukum).
Agamalah yang menjadi kriteria
seseorang dianggap asing atau tidak;
• Di Indonesia: HPI berkisar pada hubungan
perdata dengan unsur asing dalam
hubungan–hubungan International, Hukum
Antar Golongan (HAG) hanya berlangsung
dalam suasana hukum international,
karenanya maka:
1. HPI merupakan Hukum Antar Tata
Hukum (HATAH) extern, sedangkan
2. HAG merupakan Hukum Antar Tata
Hukum (HATAH) intern. meskipun kedua-
duanya merupakan hukum nasional.
• Karena berdasarkan Pasal 131 I.S (Indische
Staatregeling) penduduk Indonesia dibedakan
kedalam golongan-golongan penduduk: Eropah,
Timur Asing, dan Bumiputera, maka pada waktu
lalu dalam prakteknya orang-orang yang berasal
dari Eropah. Amerika, Jepang, Asia dan Afrika
(sekarang unsure Asing) tunduk kepada hukum
Barat yang berlaku di Indonesia. Hal ini
menunjukan peristiwa yang sesungguhnya HPI
diubah menjadi HAG.
HPI tidak semata-mata hukum perdata
• Corak HPI dibeberapa Negara menunjukkan
bahwa sejarah dan struktur ketatanegaraan
suatu masyarakat hukum sangat
menentukan corak dan luas lingkup
kaedah-kaedah HPI, sehingga HPI tidak
semata-mata mengenai hukum perdata.
• Scholten & Hamaker:
Antara hukum tata negara (constitutional law) dan
hukum perdata dapat kita bedakan, tetapi antara
hukum public dengan hukum perdata hanyalah
hubungan antara hukum khusus (perdata) dengan
hukum yang berlaku umum (public). Perbedaannya
dalam hukum perdata orang dapat melepaskan (tidak
menggunakan) haknya, sedang dalam hukum public
hal itu tidak mungkin.
• Kranenburg: (bukunya: Grondslagen der
Rechtswetenschap) tidak keberatan jika pembagian
hukum perdata dan hukum public ditiadakan.
• Schnitzer:
Perbedaan antara hkm perdata dan hkm public makin
kabur, karena kaedah-kaedah yang mengatur hukum
public makin lama makin berkembang disamping
hukum perdata, sebagai contoh: hukum perjanjian
International, hukum devisa, hkm perdagangan
International, hukum penanaman modal, hukum
pengangkutan international dsb. Hal ini terjadi seiring
dengan lahirnya gagasan tentang “Negara
kesejahteraan” (welfare state) dimana pemerintah
berkewajiban untuk mengatur kepentingan orang
banyak.
• Di Indonesia: hukum adatpun tidak mengenal
pembedaan perdata dan public.
• Hukum Inggris: tidak membuat perbedaan antara
kaedah-kaedah hukum public dan hukum
perdata, ini nampak dalam corak dan luas lingkup
HPI nya. Conplict of Law tidak hanya ditemui
dalam hukum perdata saja tetapi juga dalam
HTN, hukum pidana dan hukum lainnya
(Graveson). Hukum kewarganegaraan pun
dimasukkan dalam HPI (Dicey).
UNSUR ASING
• HPI lahir sebagai akibat adanya unsure
asing dalam suatu peristiwa. Maka
karena ada unsure asing itu timbul
pertanyaan: kaedah hukum mana yang
harus berlaku, kaedah lex fori (hukum
setempat) atau kaedah hukum asing
yang bersangkutan?
• Sebelum lahirnya HPI, di Eropah selalu Lex
fori yang dianggap berlaku sekalipun ada
unsure asingnya, karena setiap orang yang
berdiam disuatu Negara /kerajaan dianggap
tunduk pada hukum setempat. Ketentuan
ini didasarkan pada azas territorial.
• Penyelesaian masalah berdasarkan lex fori
ini lama kelamaan menimbulkan putusan-
putusan yang bertentangan dengan rasa
keadilan.
• Dengan berkembangnya hukum Romawi di Eropa,
terjadilah pembagian antara soal-soal hukum
materiil dan soal hukum acara.
• Bagi hukum acara berlaku lex fori (pengadilan
setempat), sedang bagi masalah hukum materiil
berlaku lex loci actus (yaitu hukum dari tempat
perjanjian atau perbuatan itu diadakan), karena
dianggap pada waktu dibuatnya perjanjian semua
pihak tunduk pada hukum setempat.
• Sebagai contoh perkawinan dianggap tunduk pada
hukum perkawinan dimana perkawinan itu
dilaksanakan.
• Kesimpulannya:
HPI mengatur setiap peristiwa atau
hubungan hukum yang mengandung
unsur asing, baik peristiwa termasuk
hukum public (TUN, pajak, pidana)
maupun termsuk hukum perdata
(perkawinan, waris dan hukum dagang).
• HPI akan mencari jawaban 3 masalah pokok
yang menyangkut peristiwa hukum yang
mengandung unsure asingnya, yaitu:
- Hakim mana yang berwenang ?
- Hukum mana yang berlaku ?
- Kapan dan sampai sejauh mana Hakim
nasional wajib memperhatikan putusan
hakim asing ?
MATERI II
Sejarah lahirnya HPI
• Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur
hubungan antar individu dalam pergaulan
masyarakat. Jika didalam suatu perkara
perdata tersimpul ada unsur asingnya (pihak
atau substansi),maka disebut sebagai Hukum
Perdata International (HPI);
• Di Eropa Barat, selalu ada pertentangan antara
dua kutub, yaitu kepentingan masyarakat dan
kepentingan individu.
• A. YSSEN (dalam bukunya “Individu en
Gemeenschap)
“ manusia sepanjang masa selalu
berhadapan dengan dilemma antara
individualisme dan kolektivisme,
sehingga karenanya bentuk dan sifat tau
pola kebudayaan setiap masyarakat
manusia selalu berkisar pada dua kutub
itu”
• Di Indonesia (dahulu), antara masyarakat dan
individu tidak dapat dipisahkan atau dwi tunggal,
tetapi di Eropa dan Amerika 2 kutub tersebut
dipandang sebagai hal yang berlawanan
(antagonistis), sehingga selalu terjadi dilemma.
Pertentangan ini tercermin juga di lapangan hukum
yang selalu mempertentangkan antara hukum
public dan hukum perdata. Khususnya HPI di Eropa
Barat pertentangan selalu berkisar diantara prinsip
personil dan prinsip territorial, atau pada zaman
modern ini antara prinsip domisili dan prinsip
kewarganegaraan (Mancini dari Italia).
1. Perkembangan masyarakat dari masy. geneologis (suku-suku,
hubungan darah) ke masy,geneologis-territorial (rumpun) dan dari
masy territorial kepada masy territorial-geneologis (ikatan Negara
nasional) sangat berpengaruh pada perkembangan hukum khususnya
terhadap HPI;
• masy geneologis, dibangun berdasarkan hubungan darah sebagai
anggotanya, orang asing tidak punya hak apa-apa. Type ini berubah
karena perang atau penyatuan ikatan dgn masy lain;
• masy territorial, orang asing masuk (adopsi) kedalam masyarakat
hukum tertentu, sehingga baginya berlaku hukum masyarakat yang
mengangkatnya (prinsip territorial);
• orang asing membawa bahasa dan kebiasaan Negara asalnya
kedalam masyarakat hukum lain dalam keadaan damai (prinsip
personil) ;
• Pertukaran barang dengan orang asing inilah yang melahirkan
kaedah-kaedah hukum HPI;
• Cara pertukaran barang ini juga dikenal dalam Hukum Adat Indonesia,
karenanya dapat dikatakan hkm adat juga mengandung kaedah-
kaedah HPI;
2. Commercium adalah hak berdagang ditempat yang
bukan tempat asalnya yang diberikan Pemerintah
Romawi kepada pedagang Yunani, Syiria dan Timur
Tengah;
- Praetor peregrines : hakim pengadilan khusus
yang menyelesaikan perselisihan antara orang
Romawi dengan pedagang asing;
- Ius Gentium : hukum yang digunakan untuk
mengadili peristiwa yang mengandung unsure asing
berdasarkan azas-azas keadilan, disamping ius civile
Romawi;
- Pada abad ke 3 M setelah Romawi menaklukkan
seluruh wilayah Eropah Continental, ius civile hanya
berlaku bagi Cives (warga) Roma, dan ius gentium
berlaku bagi seluruh kerajaan Roma.
3. Sesudah keruntuhan Kerajaan Romawi Kuno,
maka hukum kesukuan (stamenrecht) berlaku
kembali dan berlaku prinsip personil. Tetapi
karena banyaknya suku dan sukar untuk
membuktikan seseorang berasal dari suku
tertentu, maka berkembang penundukan pada
sistim hukum tertentu, maka mulailah “pilihan
hukum” memegang peranan dalam HPI;
4. Antara abad ke-6 dan ke-11, berlaku hukum
Franka, yang dinamakan capitularia, yaitu
hukum-hukum yang dinyatakan Raja-Raja
Franka. Hukum ini berlaku diseluruh wilayahnya
dan bagisetiap orang, berlaku secara territorial;
5. Abad ke-10 hukum personil (lex originis)
kehilangan artinya di Perancis dan Jerman,
berlakunya hukum masing-masing Negara
mempunyai arti yang menentukan. Mulailah
berkembang asas domisili;
6. Abad ke-13 di Italia tumbuh kota-kota yang
masing-masing mempunyai undang-undang
(Statuta) tersendiri (missal: Geno Pisa, Milan,
Bologna, Venezia, Plorence, Parma dll).
Dalam konteks HPI, pada abad ke-12 Aldricus
mempersoalkan apakah pengadilan akan
memberlakukan hukum / statute nya sendiri atau
hukum orang asing, menurut pendapatnya hakim
harus menggunakan hukum yang menurut
pendapatnya lebih baik dan lebih berguna.
Tumbuhnya Teori-teori Statuta
• Abad ke-12 berdasarkan Corpus Iuris dari Justianus
(Huku Romawi), azas HPI, yaitu hukum yang dibuat
penguasa kota (principe) hanya berlaku bagi kaula kota
yang bersangkutan (Statuta).
Pada masa ini Statuta dibedakan antara lain:
- Statuta realita, yang berlaku dalam lingkungan batas
wilayah kekuasaan, mengikat pada tempat, benda atau
orang seperti: kaedah-kaedah hak atas tanah;
- Statuta personalia, yang berlaku mengikuti seseorang,
kemana saja orang pergi, seperti: wewenang hubungan
pribadi (perjanjian),
• Abad ke-13 (1314-1357) Bartolus de
Saxoferrata:
- Statuta yang mengijinkan sesuatu, dan
- Statuta yang melarang sesuatu;
- Statuta Mixta, yaitu statute berlaku bagi
semua perjanjian yang dibuat ditempat
berlakunya statute dgn segala akibat
hukumnya, sedang wanprestasi dan segala
akibat hukumnya diatur menurut statuta
ditempat seharusnya perjanjian
dilaksanakan.
• Teori Statuta di Perancis:
Teori Statuta Bortolus diabad-abad berikutnya diikuti
oleh ahli-ahli hukum Perancis, Charles Dumoulin
(1500-1566):
1. setiap pihak dapat menentukan pilihan hukum yang
berlaku dalam setiap perkara;
2. Hukum yang berlaku adalah ditempat perbuatan
hukum dilakukan;
3. Bertrand D’Argente’ (1519-1590)
- barang warisan tunduk bukan hanya pada satu
system hukum saja, tetapi setiap barang tak
bergerak itu tunduk pada hukum tempat letaknya
barang (lex rei sitae)
• Teori Statuta di Belanda
Ahli hukum Belanda Ulrik Huber (1636-1694):
1. Hukum suatu Negara hanya berlaku dalam
batas-batas wilayah hukumnya dan terhadap
subjects nya sendiri;
2. Kaula (subject) negara adalah mereka yang
berada dalam lingkungan kekuasaan negara
tersebut, baik yang menetap, maupun yang
hanya sementara tinggal;
3. Berdasarkan azas Comitas (sopan santun),
hukum suatu Negara dapat dianggap seakan-
akan berlaku dimana-mana, asalkan tidak
melanggar kekuasaan atau hak-hak negara lain;
• Johanes Voet 1666-1698), melahirkan theori Comitas, yaitu:
1. Pada hakekatnya tidak ada Negara yg wajib menyatakan
berlakunya kaedah hukum asing dalam batas-batas wilayah
hukumnya, jika kaedah hukum asing itu diberlakukan, maka itu
disebabkan semata-mata berdasarkan sopan santun
pergaulan antar bangsa (Comitas gentium)
2. Comitas harus ditentukan secara objectif, berdasarkan azas
locus regit actum (perbuatan hukum tunduk pada hukum
setempat);
Teori Comitas gentium ini ditentang oleh Wolf, Van Brekel dan
Cheshire, yang menyatakan: “Hukum International tidak
mengenal azas Comitas, karena berlakunya hukum asing
hanyalah disebabkan karena keinginan untuk mencari
penyelesaian yang seadil-adilnya (the desire to do justice)”.
• Teori Statuta Jerman
Ahli-ahli hukum Jerman antara lain Johan Nikolaus Hert
(1651-1710) menyempurnakan HPI yang menolak teori-teori
statute dan mengemukakan teori tersendiri;
• Teori Statuta di Inggris
Sampai akhir abad-17 HPI di Inggris tidak berkembang
karena hukum setempat yang selalu berlaku. Ketika tampuk
kerajaan Inggris dan kerajaan Scotlandia berada disatu
tangan (Raja James I) mulailah dipikirkan berlakunya hukum
asing yang juga diakibatkan oleh perdagangan international
yang pesat:
- tidak lagi berpegang pada azas lex fori;
- berlaku azas Comitas dan pilihan hukum
Teori-teori Modern (abad 19)
• Pada abad-19 ini HPI mengalami kemajuan
yang pesat, berkat tiga orang sarjana, yaitu:
1. Joseph Story (Hakim Amerika, bukunya:
Commentaries on the Conflict of Law – 1834);
Story mereview putusan-putusan hakim
Inggris dan Amerika dengan cara induktif,
sehingga ia berkesimpulan: adanya kaedah-
kaedah HPI tertentu didalamnya.
• 2. Carl Frederick Von Savigny (Prof Jerman;bukunya: Sistem
hukum Romawi- 1849):
a. suatu hubungan hukum yang sama harus memberi
penyelesaian yang sama, baik diputuskan oleh hakim di
Negara A, maupun oleh Hakim di Negara B. maka karenanya
penyelesaian yg menyangkut unsur asing hendaknya diatur
sedemikian rupa, sehingga putusannya akan sama dimana-
mana;
b. Adanya pergaulan hidup masyarakat international
menimbulkan satu system hukum yang merupakan system
hukum supra-nasional, yaitu HPI;
c. Pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata
berdasarkan comitas (sopan santun), akan tetapi berdasar
pada kebaikan/kegunaan (manfaat) fungsi yang dipenuhinya
bagi semua pihak (Negara dan manusia) yang bersangkutan;
• 3. Pascuale Stanislao Mancini (bukunya : Kewarganegaraan
sebagai Dasar Hukum Antar Bangsa-1851) – mazhab Italy:
a. Semua nation (bangsa) mempunyai kedudukan yang sama
dalam masyarakat antar bangsa, dan timbulnya Hukum
Internasional adalah karena hidup bersama antar bangsa, yaitu
kedudukan yang sama rendah dan sama tinggi;
b. Mancini membuat perbedaan antara Negara dan nation, bahkan
menurutnya nasion itu mungkin ada sebelum adanyya Negara
(state);
c. Nasionalitas diartikan condong pada faham “tanah air” dari pada
faham “kewarganegaraan” yang berakar pada hukum publik,
ataupun faham “domicile” yang berakar pada hukum perdata.
Karenanya “nasionalitas” Mancini mempunyai arti politis (extra
juridis).
• Menurut Mazhab Italy ini, ada dua macam
kaedah dalam setiap sistim hukum, yaitu :
a) kaedah-kaedah hukum yg menyangkut
perseorangan;
b) kaedah-kaedah hukum untuk melindungi dan
menjaga ketertiban umum (public order)
Materi III

AZAS HPI
• Berdasarkan pembagian ini, ada tiga azas HPI :
1. Kaedah-kaedah untuk kepentingan perseorangan
berlaku bagi setiap warga Negara, dimanapun dan
pada waktu apun juga (prinsip personil);
2. Kaedah-kaedah untuk menjaga ketertiban umum
bersifat territorial dan berlaku bagi setiap orang
yang berada dalam wilayah kekuasaan suatu
Negara (azas territorial);
3. Azas kebebasan, yang menyatakan bahwa para
pihak yang bersangkutan boleh memilih hukum
manakah yang akan berlaku terhadap transaksi
diantara mereka (pilihan hukum).
Ruang Lingkup HPI
• Konsepsi-konsepsi tentang Ruang Lingkup
HPI, ada 4 konsepsi:
1. Konsepsi tersempit, HPI = Choice of Law
(pilihan hukum) Penganutnya : Jerman,
Belanda.
2. Konsepsi Luas, HPI = Choice of Law +
Choice of Juridiction (Pilihan hukum dan
pilihan Yuridiksi) Penganutnya : Negara-
negara Anglo Saxon.
3. Konsepsi Lebih Luas, HPI = Choice of Law +
Choice of Juridiction + Status orang asing
(Condition des strangers). Penganutnya :
Negara-negara Latin, spt: Itali, Spanyol,
Amerika latin.
4. Konsepsi Paling Luas, HPI = Choice of Law +
Choice of Juridiction + Status orang asing
(Condition des strangers) +
kewarganegaraan (nasionalitet).
Penganutnya : Prancis.
Sejarah ASAS-ASAS HPI – HATAH EXTERN
1. Prinsip Personalitas: Hukum berlaku digantungkan
pada perorangan, ikatan personil, berdasarkan
hubungan darah; (kemudian berkembang);
2. Prinsip Territorialitas : ikatan didasarkan pada
territorialitas (karena daerahnya makin luas);
a. Ius Gentium: hukum yang mengatur hubungan
antara warga civitas dengan peregrine;
b. Civitas : suatu wilayah yang sudah direbut oleh
kerajaan romawi dan memppunyai aturan sendiri;
c. Peregrini : orang-orang /pedagang asing yang
masuk kedalam civitas.
• - Setelah kerajaan Romawi runtuh, kekuasaan
dipegang oleh kaum bar-bar, prinsip
territorialitas kembali lagi kedalam prinsip
personalitas;
- Abad 11 – 12, kembali ke prinsip territorialitas,
kota-kota dagang mempunyai ketentuan-
ketentuan / hukum tersendiri yang dinamakan
“Statuta”;
• Abad 13-14, BARTOLUS DE SAXOFERRATA mengembangkan
“TEORI STATUTA” yang menjadi cikal bakal HPI, yaitu:
1. STATUTA PERSONALIA, mempunyai lingkungan kuasa
berlaku secara personil, mengikuti seseorang dimanapun dia
pergi, mencakup aturan-aturan / hukum perorangan termasuk
hukum kekeluargaan dan benda bergerak. (benda bergerak
mengikuti status penguasa benda tersebut – mobilia sequntur
personom);
2. STATUTA REALITA; berlaku secara territorial. Hanya benda
yang terletak dalam wilayah pembentuk undang-undang
tunduk pada peraturan yang berlaku tersebut, (berlaku juga
untuk benda tidak bergerak);
3. STATUTA MIXTA; berlaku bagi yang tidak masuk statute
realita dan statute personalia, yaitu bentuk perbuatan hukum
(azas Locus Regit Actum) ditempat dimana perbuatan hukum
itu dilakukan.
• VON SAVIGNI :
1. benda bergerak dan benda tidak bergerak
disatukan tunduk pada azas Lex Recipe,;
2. untuk hukum pribadi yang menjadi ukuran
adalah tempat tinggal, (mulai berlaku
Prinsip Domisili);
3. untuk hukum bidang kontrak/perjanjian
berlaku Lex Loci Executionis hukum
dimana kontrak dilaksanakan /
diselesaikan;
MATERI IV

KUALIFIKASI atau
PENGGOLONGAN
PENGERTIAN
• Penggolongan suatu peristiwa atau hubungan
hukum yang terjadi kedalam system kaedah-
kaedah Hukum perdata Internasional dan hukum
materiil nasional disebut : kwalifikasi (Bartin, Van
Brakel), atau “Classification” (Wolf, Graveson)
atau characterization (Ehrensweig).
Kualifikasi dapat dilakukan baik pada lapangan
hukum public, hukum pidana maupun hukum
perdata.
• (sebagai contoh: seseorang yang memasuki rumah
orang lain secara paksa dengan merusak pintu, maka
kualifikasinya/ penggolonngan peristiwa ini kedalam
hukum Pidana, dan kejahatannya (tindak pidananya)
adalah: memasuki rumah orang tanpa izin melanggar
Pasal 167 (1) KUHP dan merusak pintu: melanggar
Pasal 167 ayat (2) KUHP).
• Contoh lain mengenai: seorang anak asing (bukan
WNI) yang tidak diakui sah, akan menuntut hak-haknya
dari ayahnya yang berkewarganegaraan sama, maka
penggolongan fakta-fakta ini kedalam hukum Perdata,
mengenai status seorang anak yang diatur dalam
Pasal 16 AB (prinsip nasionalitas).
Macam Kualifikasi
1. QUALIFICATION OF LAW, yaitu
penggolongan atau pembagian semua
kaedah-kaedah hukum yang ada,
menurut kriteria yang ditentukan lebih
dahulu. Misalnya pembagian kedalam:
hukum perjanjian, Hukum Penanaman
Modal, Hukum Waris, Hukum
Perseorangan dan sebagainya.
2. QUALIFICATION OF FACTS, penggolongan /
penyalinan hukum dari fakta-fakta sehari-
hari kedalam istilah hukum, fakta-fakta
tersebut dimasukkan kedalam kotak-kotak
hukum / bagian-bagian hukum yang telah
tersedia (kaedah hukum yang
bersangkutan).
• Dalam melakukan kualifikasi terhadap suatu
peristiwa / fakta-fakta tertentu, dapat terjadi
beberapa kemungkinan:
a. Jika kaedah hukum yang harus berlaku bagi
peristiwa (berdasar kaedah penunjuk dan titik
taut) itu adalah lex fori (hukum setempat), maka
kualifikasi seakan-akan terdiri dari satu macam
perbuatan saja yaitu karena penggolongan
kaedah-kaedah hukum yang harus berlaku itu
dilakukan hanya menurut lex fori;
b. Jika kaedah penunjuk dan titik tautnya dalam
kumpulan fakta-fakta itu menunjuk pada
kaedah hukum asing, maka kualifikasi /
penggolongan dari hukum asing itu harus
dilakukan menurut hukum asing tersebut (lex
causae – the proper law);
c. Dalam hal tertentu, UU dengan nyata dan
tegas menyatakan kualifikasi harus
dilakukan menurut hukum tertentu,
misalnya dalam Pasal 17 AB yang
berbunyi: “Mengenai benda-benda tak
bergerak (immovebles) berlaku ketentuan
/ UU dari Negara / wilayah hukum
setempat ditempat benda tersebut
terletak”. Sehingga kualifikasi ini bukan
menurut lex fori, tetapi system hukum
yang lain;
d. Para pihak berhak menentukan
kualifikasi dilakukan berdasarkan
system hukum tertentu (pilihan
hukum);
TEORI-TEORI KUALIFIKASI
• 1. KUALIFIKASI menurut LEX FORI
a. Kualifikasi ini merupakan teori yang paling
tua, dan paling banyak diakui, yaitu
kualifikasi / penggolongan dilakukan
menurut hukum sang hakim (BARTIN).
b. Kualifikasi lex fori ini harus dilakukan, karena
kaedah HPI merupakan juga kaedah-kaedah
hukum intern / nasional, lex fori dikenal baik
oleh hakim dan pembuat UU sehingga
memudahkan penyelesaiannya.
c. Kelemahan teori ini seringkali menimbulkan
ketidak adilan, karena kualifikasi kaedah-
kaedah hukum itu bukan saja tidak sesuai
dengan hukum asing, juga bahkan tidak dikenal
oleh system hukum asing tersebut.
• 2. KUALIFIKASI menurut LEX CAUSAE
a. Teori ini dikembangkan oleh MARTIN
WOLFF dan CHESHIRE, yang berpendapat
bahwa kualifikasi hendaknya dilakukan
sesuai dengan sistim dan ukuran-ukuran
keseluruhan sistim hukum yang
besangkutan (lex causae).
b. Menurut Wolff, tujuan utama kualifikasi
ini untuk menetapkan kaedah HPI yang
mana dari lex fori yang berhubungan
dengan atau menyangkut kaedah hukum
materiil asing.
c. kelemahan teori ini, jika kualifikasi berhadapan
dengan suatu sistim hukum yang tidak
mempunyai kualifikasi yang lengkap, seperti
dalam Hukum Adat dan Hukum Inggris. Apalagi
jika sistim hukum asing itu tidak mengenal
lembaga hukum yang dikenal dalam hukum
nasional setempat atau sebaliknya. Menghadapi
yang demikian, maka kualifikasi harus
diselesaikan dengan mendasarkan pada analogi
terhadap peristiwa/fakta-fakta yang sama
dasarnya, jika tidak mungkin maka digunakan
lex fori.
• 3. KUALIFIKASI secara ANALITIS atau OTONOM
- Teori ini dikemukakan oleh RABEL, oleh BECKET disebut “Teori Hukum
Analitis” (analytical jurisprudence);
- Menurut teori ini: setiap kaedah hukum harus dibandingkan dengan
kaedah-kaedah hukum yang serupa dari sistim hukum yang dikenal,
dimaksudkan agar tercipta satu macam kualifikasi bagi HPI yang
universal, yaitu tercipta pengertian-pengertian HPI yang diterima umum
terlepas dari stelsel-stelsel hukum yang ada.
- Dalam praktek tidak mungkin dilakukan mengingat:
• 1) sulit menyelidiki semua sistim hukum yg berlaku,
• 2) setiap sistim hukum selalu berkembang, sehingga selalu sukar untuk
mengejar perubahan-perubahan disemua sistim hukum,
• 3) seandainya dapat diciptakan suatu sistim kualifikasi universal,
hanyalah gambaran rata-rata dari sistim hukum, bukan gambaran sistim
yang riil yang berlaku di setiap negara.
• (Contoh: lembaga “trust” di Inggris tidak dikenal dalam sistim hukum
lain, demikian jua “domicile” dalam hukum Inggris, berbeda sifatnya
dengan “domicilie” dalam hukum Belanda, berlainan pula dengan arti
“domisili” dalam hukum Indonesia.
• 4. KUALIFIKASI secara BERTAHAP
- Teori ini dikemukakan oleh SCHNITZER, yang
membedakan dua tingkat kualifikasi, yaitu:
- Kualifikasi tahap pertama kualifikasi menurut
lex fori untuk menemukan hukum mana yang
dipergunakan; dan
- kualifikasi tahap kedua kualifikasi menurut lex
causae yaitu kualifikasi lebih jauh dari hukum
asing mana yang harus dipergunakan.
• - Ada yang menganggap kualifikasi sama dengan
interpretasi (EHRENZWEIG) ,meskipun ada hubungan
erat antara keduanya, namun tetap harus dibedakan
antara keduanya, karena “Menafsirkan” berarti
memberi arti dan isi kepada suatu kaedah penunjuk
(terlepas ada kasus/peristiwa atau tidak), sebaliknya
“kualifikasi” berarti menerapkan suatu kaedah
hukum untuk suatu peristiwa tertentu (LEMAIRE);
- Teori ini mengatasi kesulitan secara realistis, karena
untuk menemukan lex causae, tidak mungkin dapat
mempergunakan kualifikasi lain selain kualifikasi
menurut lex fori.
• - Pengecualian dari kualifikasi ini, adalah:
a. Kewarganegaraan, yang berlaku lex causae
(hkum WN melekat);
b. Benda bergerak/tidak bergerak, lex rei sitae
(dimana benda
terletak)
c. Kontrak/perjanjian, pilihan hukum (choice
of law)
d. PMH / tort, lex loci delictie commissie
(tempat terjadinya PMH)
• 5. KUALIFIKASI HPI
- Teori ini dikemukakan KEGEL, yang
menyatakan kualifikasi kaedah hukum asing
tergantung pada tujuan yang akan dicapai HPI,
yaitu latar belakang kepentingan HPI
(keadilan, ketertiban, kepastian, kelancaran
pergaulan international) yang akan dilindungi.
Jadi harus ditentukan lebih dahulu
kepentingan HPI manakah yang dilindungi
oleh suatu kaedah hukum HPI tertentu.
• - Kepentingan HPI, antara lain:
a. kepentingan para pihak (hukumnya sendiri atau hukum yang
dipilihnya);
b. kepentingan pergaulan dan lalu lintas international (kepastian
hukum dan kecepatan dalam lalu lintas orang dan barang
menentukan menurut hukum mana kualifikasi dilakukan);
c. ketertiban dan kepastian hukum (yg merupakan tujuan unifikasi
hukum extern, dan kecenderungannya memerlukan lex fori);
d. perasaan keadilan dalam masyarakat (pergaulan) international
TAHAP-TAHAP PEMERIKSAAN SUATU
PERKARA HPI :
• 1. Menentukan Pengadilan mana yang berwenang
memeriksa perkara
HPI;
Penentuan ini didasarkan/dengan bantuan “titik-titik taut
primer”. Jika pengadilan Indonesia yang berhak memeriksa,
maka HPI dan Hukum Acara Indonesia yang akan
diberlakukan.
2. Menentukan jenis atau soal apakah peristiwa HPI itu,
perkara adopsi, atau perkawinan atau PMH atau pidana.
Pada tahap ini dilakukan kualifikasi dari fakta-fakta, disini
baru diketahui lex forinya, karenanya pengkualifikasian ini
hanya dapat dilakukan menurut lex fori.
• 3. Dengan berdasarkan lex fori, dicari hukum mana yang
berlaku, untuk itu harus dicari “titik-titik taut sekunder”
guna menemukan hukum yang harus berlaku: lex causae.
- Kadang-kadang lex causae ini adalah lex fori juga, maka
selanjutnya diteruskan menurut lex fori;
- Lex causae ditentukan letak benda tak bergerak, maka
sistim hukum yang berlaku lex situs;
- Ditentukan oleh tempat terjadinya perjanjian (lex loci
contractus), tempat dilangsungkannya perjanjian (lex loci
solutionis) atau tempat terjadinya perkawinan (lex loci
celebrationis).
- Bisa juga lex causae ini ditentukan oleh tempat tinggal
terakhitr atau tempat asal seseorang (lex domicilii)
• 4. Setelah lex causae, maka kualifikasi dan
penentuan perkara HPI dilakukan menurut lex
causae, kecuali jika lex causae memberi hasil
yang:
a. bertentangan dengan “kepentingan umum
lex fori, maka lex fori yang berlaku, atau
b. lex causae tidak mengatur persoalan HPI
yang bersangkutan.
• 5. Penunjukan kembali (Renvoi)
Dalam mencari lex cause, jika yg dimaksud
“hukum asing” seluruh kaedah hukum asing
termasuk kaedah HPI, maka ada kemungkinan
HPI asing itu menunjuk kembali kepada lex
fori, atau kepada hukum asing yang kedua /
lainnya, inilah yang disebut persoalan renvoi
(penunjukan kembali dan penunjukan lebih
lanjut).
Contoh-contoh
• A. Kulaifikasi menurut lex fori, biasa dilakukan
pengadilan Inggris.
I. Perkara Ogden Vs Ogden (1908)
- Suami (domisili di Perancis) menikahi istrinya
(berdomicile di Inggris)
di Inggris;
- Perkawinan ini dibatalkan di Perancis, karena di
Perancis suami masih dianggap belum dewasa dan
tidak mendapat izin orang tuanya.
- Menurut HPI Inggris syarat-syarat formil suatu
perkawinan diatur oleh lex loci celebrationis dan
syarat-syarat materiil oleh lexdomicilie;
• - Dalam hukum Inggris: izin orang tua dianggap unsure
formil (formality) yang diatur oleh hukum tempat
dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrationis),
sedangkan menurut hukum Perancis: izin orang tua
dianggap sebagai unsure materiil yang harus diatur
menurut hukum pribadi personil yang bersangkutan;
- Jika izin dikualifikasikan menurut lex fori (hkm Inggris),
maka perkawinan dianggap syah, tetapi jika dikualifikasi
menurut hukum Perancis, maka perkawinan itu batal.
- Menurut Pengadilan Tinggi (Court of Appeal) harus
dilakukan kualifikasi menurut lex fori, sehingga perkawinan
seperti itu dianggap sah.

Anda mungkin juga menyukai