Anda di halaman 1dari 9

Nama : Nara Gabhira Yogadharana

NIM : 20170610308
Matkul : Hukum Perdata Internasional
Kelas : F

BAB I
PENGERTIAN HUKUM ANTAR TATA HUKUM
Selalu terdapat perbedaan pendapat, dalam HPI ternyata tidak ada kata sepakat di antara
para penulis mengenai berbagai masalah. Selalu terdapat perbedaan paham. Oleh karena itu
maka seringkali secara mengejek apa yang dinamakan “conflict of laws” diganti menjadi
“conflict of lawyers”. Hukum Perdata Internasional Indonesia ini memperlihatkan bahwa kami
memiloih suatu sikap tertentu dalam HPI, aliran yang dinamakn HPI itu sifatnya
“Internasional” atau “nasional”. Sejak dahulu kala terdapat dua aliran besar dalam HPI, aliran
yang dinamakan “Internasionalistis” yang hendak menganggap bahwa kaidah-kaidah HPI itu
sebenernya bersifat “supra nasional”. Sumber – sumber hukumnya supra nasional untuk semua
negara – negara di dunia. Semua negara di dunia harus tunduk di bawah satu macam sistim
hukum HPI itu. HPI merupakan bagian daripada hukum nasional. Demikian banyak negara –
negara nasional. Demikian banyak sistim – sistim HPI. Oleh karena itu, tiap – tiap negara yang
merdeka dan berdaulat mempunyai sistim HPI-nya sendiri. Maka adalah tepat pemakaian
istilah “Hukum Perdata Internasional Indonesia” karena HPI Indonesia adalah sistim Hukum
Nasional Indonesia dan tidak bersifat supra nasional. Tidak mempunyai sumbernya secara
supra nasional tetapi bersumber pada hukum nasional Indonesia sendiri. Dengan lain perkataan
mereka ini mengedepankan bahwa tiap – tiap negara mempunyai HPI sendiri. Berarti istilah
“Internasional” ini tidak menunjuk pada sumber hukumnya, tetapi istilah Internasional ini
hanya menunjuk pada fakta – faktanya, materinya, “feiten complex”, casus positie itulah yang
bersifat internasional. Itulah yang memperlihatkan adanya bubungan – hubungan Internasional.
Karena ada unsur dari luar, karena ada unsur luar negerinya, unsur – unsur asing (foreign
elements) inilah yang menjadikan unsur – unsur asing tersebut menjadi internasional,
“internationale verhoudingen”. Menurut Schnitzer, Nicth das recht sondern der Tatbestand, ist
international, berarti bukan hukumnya yang internasional melainkan materinya,
feitencomplexnya, fakta – faktanya, Tatbestand yang internasional. Jadi jelas lagi apa yang
dikatakan oleh Meijers, bahwa HPI adalah hukum perdata untuk hubungan – hubungannya,
tetapi kaidah – kaidah HPI-nya adalah Hukum Perdata Nasional belaka. Orang menerima
bahwa memang tidak dapat disatukan, aneka warna pendapat tentang HPI. Tidak dapat
dicipatakan hanya satu macam HPI untuk semua negara di dunia ini. Orang sudah mulai
bertengkar tentang semua masalah HPI, apalagi yang termasuk prinsipiil sepertim apakah harus
diterima prinsip prinsip nasionalitas atau prinsip domisili untuk status personil. Perinsip
naisonalitas (prinsip kewarganegaraan) atau prinsip domisili. Prinsip kewarganegaraan berarti
dikaitkannya status personil seseorang kepada kewarganegaraannya, seperti misalnya negara –
negara Eropa Kontinental dan juga sistim negara kita sekarang ini serta sistim Erpa kontinental
seperti sistim Prancis, sistim German dan sebagainya. Di samping itu banyak pula negara –
negara yang terytama berpokok pangkal pada sistim negar – negara Commpnwealth, negara –
negara Anglo Saxon (Inggris, Amerika), jadi bukan negara – negara common law yang
mengatakan bahwa sebaiknya status personal seseorang dikaitkan kepada domisili sesorang
diaman ia berdomisili di mana dia ia menetap, bertempat tinggal di rumahnya setiap hari. Yang
pro nasionalitas mengtakan sistim nasionalitas lebih baik dari sistim domisili. Tetapi orang
yang menganut sistim domisili tidak akan membenarkan itu. Sebaliknya orang yang menganut
sistim domisili mengatakan sistim domisili yang paling baik. Jadi penganut dari masing –
masing pinsip ini tidak dapat meyakinkan yang satu terhadap yang lain bahwa sistimnya adalah
yang paling baik. Jadi kesimpulan kita bahwa perkataan “internasional pada HPI jangan
diartikan bahwa HPI sumbernya adalah internasional (supranasional). Tetapi sebaliknya
daripada itu HPI adalah Hukum Nasional.
Keberatan terhadap istilah HPI : bukan “internasional tetapu “nasional” sifatnya.
“Internasional” ini bukan diartikan sebagai “law of nation”, bukan hukum antar negara tetapi
insternasional ini kita harus diartikan sebagai “ada unsur luar negerinya”. Ada unsur dari luar,
unsur asingnya (foreign element). Jadi berarti bukan sumber –sumbernya yang internasional
tetapi hubungan – hubungannya adalah internasional. Ada hubungan luar negrinya ada unsur
asingnya. Perdata berarti “private antara orang – orang pribadi, mana bisa “internasional”. Jadi
seolah – olah ada suatu contractio in termins, suatu pertentangan dalam istilah, seperti orang
bicara tentang suatu “zwarte schimmel”. Schimmel itu istilahnya untuk kuda yang putih. Jadi
suatu “zwerte schimmel” tidak mungkin ada. Begitu pula dirasakan pada istilah “Hukum
Perdata Internasional”. Unsur luar negri ini teradapat karena adanta berbagai “faktor”. Contoh
– contoh warga negara Indonesia berkontrak dengan orang asing seorang warga negara
membeli dari negara lain dua orang orang warga negara mengatur jual beli tentang suatu pabrik
yang di impor dari liar negeri. Istilah HPI umum diterima karena istilah HPI sudah
“ingeburgerd” sudah diterima umum, maka dianggap adalah praktis. Itilah “Conflict of laws”,
“Hukum Perselisihan”, atau “Hukum Pertikaian” (conflicten recht). Sebaiknya diganti dengan
istilah “Hukum Antar Tata Hukum”. Aneka ragam pandangan tentang luas bidang HPI :
1. HPI = rechtstoepassinggrescht.
Istilah Hukum Perselisihan hanya terbatas pada masalah “hukum yang diperlakukan”
rechtstoepassinggrescht”
2. HPI = Choice of law + choice of juridiction
Dalam sistim negara – negara Anglo Saxon dikatakan bahwa HPI ini bukam hanya
terdiri dari “conflict of laws” tetapi mencakup pula persoalan – persoalan “conflicts of
juridiction” atau lebih tepat “choice of juridiction”, yakni persoalan tentang
komnpetensi wewenang Hakim. Jadi bukan saja mengenai “hukum manakah yang
berlaku” tetapi juga mengenai “Hakim manakah yang berwenang”.
3. HPI = Choice of law + choice of juridiction + condition des etrangers
Pandangan HPI yang lebih luas lagi yaitu seperti dikenal dalam negara – negara Latin
(Italia, Spanyol. Amerika Selatan)
4. HPI = Choice of law + choice of juridiction + condition des etrangers + nationalite
Sistim yang paling luas yaitu dikenal dalam HPI Prancis. Empat bagian HPI ini dalam
textbook – textbook HP Prancis selalu diperhatikan.
“Conflict of law” yang sering kali diberi julukkan “conflict of lawyers”, justri
sebaliknya daripada berkonflik hendak memperlihatkan adanya suatu tat tertub sesuai dengan
istilah kita yang lebih enak didengarnya, suatu “hukum di antara tata – tata hukum”. “hukum
di antara tata – tata hukum” disibgkatkan HATAH. Ada keberatan lain terhadap istilah “conflict
of laws” atau “hukum perselisihan” ini. Istilah ini kepada pikiran seolah – olah kedaultan
negara sedang berkonflik, hingga para hakim dalam memilih hukum yang harus dpakianya ini
terpengaruh untuk selalu memakai hukumnya sendiri karena kedaultan negaranya turut bucaea
dan kedaultan dari negaranya mensyaratkan bahwa harus berlakulah Hukum-nya sendiri,
hingga demikian dalam tiap persoalan HPI ia hanya memakai hukumnya sendiri. Dengan
demikian Hakim akan bersikap chauvinistis mendewa – dewakan hukum sendiri. Persoalan –
persoalan HPI tidak diselesaikan sesuai dengan kebutuhan hukum para justiabelen.
Pembagian HATAH. HATAH dapat dibagi dalam bagian intern dan extern. Kita akan
memberikab perumusan daripada HATAH ini ndengan memakai sebagi landasan apa yang
dinamakan “Ilmu Lingkungan Kekuasaan Hukum” atau “gabiedsleer”. Istilah ini dalam
bidangan hukum Indonesia terutama diperkembangkan oleh Logemann yang berbicara tentang
“gebieden” atau lingkungan kekuasaan hukum daripada “Ambten” (jabatan –jabatan). Hans
Kelsen juga memakai istilah ini dan beliau menggunakannya untuk “norma – norma hukum”.
Oleh karena HATAH ini bekerja juga dengan norma – norma hukum, maka yang paling cocok
dipakai sebagai landasan kita ialah gebiedsleer seperti dikemukakan oleh Kelsen. Hukum Antar
Waktu, sebagai contoh konkrit misalnya kita disini mengenal Undang – undang Lalu Lintas
Devisa yang dirubah pada tahun 1964. Sebelumnya Undang – Undang Devisa 1964 itu
penduduk Indonesia dilarang memepunyai alat – alat pembyaran luar negeri tanpa mengadakan
laporan kepada atau memperoleh ijin dari LAAPN (Lembaga Alat Pmebayaran Luar Negeri).
Sekarang ini keadaannya sudah berubah. Penduduk devisa Indonesia bisa mempunyai dollar,
bisa mempunyai Deustche Marken, Yen dan sebagainya tanpa memerlukan ijin lagi dari
LAAPLN. Maka “waktunya” pada sekarang ini berbeda, 1976, jadi setelah berlakunya Undang
– undang Devisa baru. Dan “tempatnya” sama, masih penduduk Indonesi. Orangnya memang
benar masih sama – sama openduduk devisa Indoensia itu – itu juga. Tetapi kalau menurut
hukum, orangnya sudah menajdi berbeda. Karena di satu pihak orang ini adalah “bisa
dihukum”, sedangkan orang yang biologis sama ini, secara hukumnya (juridis) menjadi tidak
bisa dihukum. Pada HAW norma – norma yang bertemu terjadinya di dalam suatu negara
karena termasuk HATAH Intern. Hukum Antar Waktu adalah keseluruhan peraturan dan
keputusan hukum yang menunjukan hukum, jika hubungan – hubungan dan persitiwa –
peristiwa anatar warga negara dalam satu negara dan satu tempat memeperlihatkan titik – titik
pertalian dengan stelsel – stelsel dan kaidah – kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan
– lingkungan kuasa waktu dan soal – soal (naar tijdilijke en zakelijke werking verschilende
rechtsstelesels of normen).
Skema HAW
W W
TT
P P
S S
Bagian – bagian dari perumusan ini akan ditunjau secra khsus di bawah ini
 “Peraturan hukum dan keputusan hukum” Kerena hukum ini bukan hanya terdiri
daripada peratyran – peraturan hukum yang diciptakan oleh pembuat Undang – Undang
tetapi juga terdiri dari apa yang diputuskan para hakkim (pejabat – pejabat hukum,
rechtsfunctionarissen).
 “Yang menunjukan hukum manakah yang berlaku” Jadi disini terdapat perbedaan
dengan kaidah penunjukan kaidah – kaidah berdiri sendiri ini tidak hanya menunjuk
kepada hukum yang berlakui itu. Tetapi kaidah – kaidah ini sendiri terdiri mengatur
apakah yang merupakan hukum itu.
 Jika hubungan – hubungan dan peristiwa peristiwa anatara warga negara dalam satu
negara dan satu tempat” Satu negara (jadi Republik Indonesia) dan satu tempat, misal
nya di Jakarta.
 “Memperlahatkan titik – titik pertalian”. Titik – titik pertalaian atau taut
(aanknopingspunten) ini suatu pengertian yanh harus selalu diperhatikan dalam
HATAH.
Hukum Antar Tempat (HAT) Hukum Antar Tempat (HAT) terjadi jiksa misalnya seorang laki
– laki dari Palembang, menikah dengan perempouan sunda. Hukum adat mereka berbeda
karena di Indonesia ini ada aneka ragam lingkungan hukum adat (adatrechtsferen). Diantara
hukum – hukum yang bertamu ini ada suatu “tata hukum” yang mengatur mengenai persoalan
“hukum manakah yang berlaku”. Persoalan – persoalan HAT atau interlocaal recht kata orang,
jika dikeluarkan dari batas – batas dalam negeri ada hubungan yang dinamakan Hukum Antar
Regio (HAR). HAR ini timbu; antara sistim – sistim hukum dari negara – negara kerajaan
Belanda. Sebelum perang timbulah HAR, yaiti antar Nederland di tepi Noordzee, negara
penjajah, dengan Stattsdelenya atau jajahan – jajahan di sebarang lautan, Hindia Belanda
misalnya. HAR sekarang sudah menjadi apa yang dinamakan hubungan Hukum Perdata
Internasional (HPI), walaupun pernah diharapkan supaya dapat menajdi HPI bersifat khusus.
Hukum Antar Tempat ini kita rumuskan sebagai “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum,
yang menunjukan stelse hukum hubungan – hubungan dan peristiwa –peristiwa antara warga
negara dalam satu negara dan satu waktu tertentu, memeperlihatkan titik – titik pertalian
dengan stelsel – stelsel dan kaidah – kaidah hukum yang berada dalam lingkungan –
lingkungan kuasa tempat dan soal – soal (naar plaatselijke en zakelijke werkung verschillende
rechtstelesel of normen)”. Skema untuk HAT adalah sama speerti skema untuk HPI. Yang
berbeda hanya ialah dalam HAT persoalannya terjadi dalam lingkungan satu negara, Negara
Republik Indonesia. Kedua kaidah yang “bertemu” ini adalah kaidah – kaidah dari suatu negara
sedangkan pada HPI kaidah – kaidah ini adalah dari dua atau lebih negara misalnya negara
Indonesia dan negara German. Jadi kaidah dari negara X bertemu dengan kaidah negara Y ini
adalah masalah HPI atua dengan istilah lain dinamkan juga HATAH Exktern. Sedangkan HAT
termasuk HATAH Intern, “intern” berarti internaisonal di dalam datu negara “Extern berarti
Internasional. Jadi yang satu Intern nasional, HATAH Intern, HAT yang lain HPI adalah
HATAH Extern, HPI ada hubungannya dengan luar negeri, dengan unsur aising. Hukum Antar
Golongan (HAG) adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum, yang menunjukan
stelse hukum hubungan – hubungan dan peristiwa –peristiwa antara warga negara dalam satu
negara dan satu waktu tertentu, memeperlihatkan titik – titik pertalian dengan stelsel – stelsel
dan kaidah – kaidah hukum yang berada dalam lingkungan – lingkungan kuasa pribadi dan
soal – soal (naar plaatselijke en zakelijke werkung verschillende rechtstelesel en
rechtnormen)”. Skema HAG
WW
TT
P P
S S
Jadi pada skema daripada Hukum Antar Golongan ini kitan melihat “waktunya” (W) dan
“tempatnya” (T) tidak berbeda “waktunya” sekarang ini tempatnya di Jakarta, terdapat masalah
– masalag perbedaan hukum karena golongan rakyat yang berbeda “pribadi” (P) yang berbeda,
orang – orang dan golongan – golongan rakyat berbeda, “Soa; - soal”nya (S) juga berbeda.
Materinya berbeda karena hukum untuk golongan rakyat itu adalah berbeda pula. HAW, HAT
dan HAG dalam HAG dapat dimasukkan pula Hukum Antar Agama (HAA, interreligius recht)
oleh karen masalah – masalah HAA oleh penulis terbanyak dianggap tidak beda dengan
masalah – masalah HAG. Perumusan HATAH Intern “keseluruhan peraturan dan keputusan
hukum, yang menunjukan stelse hukum hubungan – hubungan dan peristiwa –peristiwa antara
warga negara dalam satu negara dan satu waktu tertentu, memeperlihatkan titik – titik pertalian
dengan stelsel – stelsel dan kaidah – kaidah hukum yang berada dalam lingkungan – kuasa-
waktu, tempat pribadi dan soal – soal.
Skema HATAH-INTERN
HAW HAT HAG (HAA)
W W WW WW
TT T T TT
P P P P P P
S S S S S S

Hukum Perdata Internasional (HPI) dirumuskan “keseluruhan peraturan dan keputusan


hukum, yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan
hukum jika hubungan – hubungan dan peristiwa –peristiwa antara warga negara dalam satu
negara dan satu waktu tertentu, memeperlihatkan titik – titik pertalian dengan stelsel – stelsel
dan kaidah – kaidah hukum dari duan atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan
lingkungan – lingkungan kuasa tempat (pribadi) dan soal – soal.
Skema
HPI
W W
T T
P P
S S
Negara X Negara Y
Kita menulis “warga negara” secara agak aneh karena pada umumnya perisiwa –
peristiwa ini terjadi antara lebih dari satu orang, jadi lebih dari seorang warganegara. Tetapi
mungkin juga mungkin juga terjadi bahwa hanya seorang warganegara yang bersangkitan
dengan persotiawa ini, misalnya pada berbagai masalah – masalah yang dinamakan perubahan
status, peleburan atau peralihan agama dimana orang – orang merubah status hukumnya. HPI
adalah ilmu mengenai huku, yang harus diberlakukan. Interntional privaatrecht is
rechtstoepassingrecht”. Applicable law atau rechtstoepassingrecht, hukum yang harsu
dipergunakan menurut istilah van Zevenbergeb Hukum untuk memepergunakan hukum,
hukum diantara tata hukum, hukum yang mengatur, hukum manakah yang harus kita pilih
diantara tata – tata hukum masing – masing, ituylah HPI. Jadi diantara tata hukum berbagai
negara itu terdapat satu macam sistim.
BAB II
TITIK – TITIK PERATALIAN
Soal titik – titik pertalian merupakan suatu bagian yang penting dari HATAH oleh
karena titik pertalian inilah yang pertama – tama memberikan petunjuk kepada kita bahwa kita
menghdapi suatu masalah HATAH. Titik pertalian macam ini dinamakan “titik pertalian
primer”. Jadi faktor – faktor dan keadaan – keadaan yang menciptakan bahwa suatu hubungan
menjadi hubungan HATAH kita namakan “titik pertalian primer” (disingkatkan TPP) atau
“titik taut penentu”, ttitik taut yang menentukan hukum mana yang harus diberlakukan. Karena
ada titik taut primer yakni faktor – faktor dan keadaan yang menciptakan, yang melahirkan
hubungan HATAH. Titik pertalian primer primer yang pertama di bidang HAG adalah
golongan rakyat yang menentukan status dari para pihak, para subyek hukum. Dalam suatu
hubungan tertentu golongan rakyat mereka yang menimbulkan persoalan antar golongan.
Karena adanya golongan rakyat yang berbeda antara kedua orang ini timbulnya golongan
rakyat yang berbeda antara kedua orang ini timbulah masalah HAG. Jadi karena mereka
termasuk golongan rakyat yang lain, yang satu golongan bumiputra yang lain golongan rakyat
Eropa timbulah masalah Hukum Antar Golongan. Demikian pula dalam bidang HPI, sejalan
dengan golongan – golongan rakyat untuk HAG ini, kewarganegaraan daripada pihak yang
menyebabkan timbulnya suatu persoalan HPI. Bendera kapal TPP untuk HPI, dengan kapal –
kapal timbul juga masalah HPI, karena bendera dari kapal ini berbeda dari orang – orang yang
mengadakan hubungan dengan kapal itu. Tanah sebagai TPP untuk HAG, sebagai TPP untuk
bidang HAG kita sebut disini faktor – faktor tanah. Tetapi peranan tanah sebagai TPP ini hanya
demikian untuk periode sebelum berlakunya. Undang – Undang Pokok Agraria di tahun 1960.
Setelah itu ada unifikasi hukum tanah yang diusahakan oleh pemerintah. Sebelum Undang –
Undang Pokok Agraria tidak semua tanah berada di bawah satu macam sistim hukum tetapi
hukumnya berbeda – beda. Terutama di kota – kota besar atau pusat industri dimana Kadaster
sudah mulai bekerja, tanah – tanah itu didaftarkan dan karena pendaftaran di Kadaster ini.
Karena tercatat dalam Kadaster status tanah – tanah itu adalah di bawah hukum Eropa. Kita
bicara tentang “tanah Eropa seolah – olah tanah ini mempunyai golongan rakyat tersendiri,
yaitu seperti orang – orang Eropa berada di bawah Hukum Eropa. Tanah yang belum didaftar,
yang belum dipetakan di Kadaster tanah – tanah ini berada di bawah Hukum Adat. Hukum dari
orang ini, hukum adat, atau hukum tanah itu, B.W. karena tanah ini tercatat pada Kadaster.
Dengan kata lain perkataan faktor tanah menyebabkan timbulnya suatu persoalan antar
golongan karena tanah ini punya status tersendiri yang terlepas daripada status hukum orang
yang mempunyai hubungan dengan tanah itu. Ini yang dinamkan “azaz tanah antar golongan,
azaz antar golongan azaz antar golongan mengenai tanah” intergentiele grondonregel.
Jadi berarti orang – orang di bawah hukum adat bisa mempunyai, memegang tanah –
tanah di bawah hukum Eropa dan status Eropa itu. Eigendom tetap berlaku dan tidak berubah,
karena dibeli oleh orang di bawah hukum adat. Ia sehari – hari di bawah hukum adat tetapi ia
mempunyai tanah di bawah hukum Eropa. Untuk hubungannya dengan tanah Eropa ini tetap
berlaku hukum Eropa. Berarti kalau ia menjual lagi tanah ini harus dibawa ke hadapan
ketentuan – ketentuan hukum Eropa. Tetapi prinsipnya adalah bahwa semua tanah di bawah
satu macam hukum yakni hukum adat. Hukum adat, katanya yang disesuaikan dengan lalu
lintas modern dan kebutuhan hukum secara modern, kehidupan negara juga secara modern.
Hukum adat ini telah dismpurnkan dan disesuaikan dengan keadaan yang sekarang sudah
berubah. Hasratnya adalah kesatuan hukum, dan boleh dikatakan hasilnya cukup baik.
Sekarang ini sertifikat – sertifikat dikeluarkan sebagai pengganti daripada apa yang dahulu
merupakan hak – hak eigendom, hak erpacht, hak Opstal dan sebagainya, Sekarang diganti,
dikeluarkan sertifkat lain warna hijau itu dengan hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak pakai dan sebagainya. Dengan adanya unifikasi sekarang ini tanah tidak lagi
merupakan faktor yang menerbitkan masalah Hukum Antar Golongan, pentingnya faktor tanah
sebagai faktor tanah sebagai titik taut Primer.
Domisili, domisili seseorang dapat merupakan juga faktor yang menimbulkan masalah
HPI. Contohnya, kalau seorang warganegara Inggris A, berdomisili di negara Y, dan
melangsungkan perkawinan dengan warganegara Inggris lain (B) yang berdomisili di negara
X, keduanya A dan B adalaha warga negara Inggris. Tetapi domisili dari B ini berlainan dari
domisili A ini. Jadi ada dua orang warga negara. Mereka ini melakukan suatu hubungan
misalnya mereka menikah karena mereka warganegaranya sama debtulnya tidak menimbulkan
persoalan HPI karena kewarganegaraan. Tapi karena mereka domisilinya berlainan timbul pula
masalah HPI. Domisili ini merupakan suatu pengertian hukum yang baru lahir kalu sudah
terpenuhi syarat – syarat pengertian hukum yang baru lahir kalau sudah terpenuhu syarat –
syarat tertentu, misalnya kediaman yang permanen di suatu tempat, tidak ada maksud untuk
pelangi kembali dan sebagainya.
Tempat kediaman, yang dikedepankan pengertian de facto di mana seorang berdiam
sebagai tempat kediamannya (residence). Tempat ini adalah dimana sehari – hari yang
bersangkutan dianggap mempunyai kediamannya, dimana ada rumahnya dimana ia bekerja
sehari – hari di situ adalah “residence” dari orang ini. Di samping residence, atau tempat
kediaman tempat seorang de facto berada, juga bisa menimbulkan soal – soal HPI. Contohnya
disini asa dua orang Malaysia berkediaman di Indonesia. Tapi mereka tidak sampai merubah
domicile. Artinya tidak terus menetap tapi sementar waktu saja mereka bertempat tinggal di
Jakarta. Tempat kedudukan badan hukum, untuk badan – badan hukum, perseroan terbatas dan
sebagainya, kita sebagainya, kita bukannya bicara tentang domisili tetapi kita bicara tentang
“tempat kedudukan”. Hubungan anatara TPP dan TPS, TPP adalah faktor – faktor dan jeadaab
yang menimbulkan menciptakan suatu hubungan HATAH. Setelah adanya salah satu TPP,
maka kita menegatahui masalah ini adalah suatu masalah HATAH.
Dalam yurisprudensi ini kita mendapat contoh – contoh tentang TPS ini. Di dalam
bidang HUkum Kontrak kita saksiskan TPS ini antara lain dalam contoh – contoh yang
mengedepankan “maksdud dari para pihak”. Maksud dari para pihak atau “bedoeling van
partijen” itu adalah faktor yang menentukan apa yang berlaku. Pilihan hukum merupakan TPS
jika terjadi dalam hubungan HAG atau HPI. Misalnya seorang pribumi dan seorang Eropa
menentukan dalam kontrak mereka bahwa B.W. yang berlaku. Hukum mana yang berlaku
untuk suatu perjanjian ditentukkan pertama – tama oleh maksud dari pihak, apa yang
dikehendaki para pihak apa yang diinginkan para pihak. Ini adalah yang terkenal di dalam
bidang HPI sebagai partijautonomie. Autonomie van partijen artinya autonomie dari pihak
untuk menetukan senduru hukum yang mereka kehendaki. Jadi di bidang Hukum Perjanjian
para pohak dapat menetukan sendiri hukum mana yang berlaku bagi perjanjian mereka. Mereka
dapat memilih sendiri. Jadi apa yang berlaku untuk hukum Perjanjian pertama – tama ialah
maksud para pihak, yang dikehendaki para pihak, bedoeling van partijen atau partij autonomie.
Perusahaan asing yang banyak memiliki technical knowhow ini yang belum ada pada
perusahaan nasional , mengadakan hubungan ini. Jadi ada aneka ragam kontrak, tapi selalu di
dalam kontrak – kontrak ini dapat kita lihat bahwa mereka tidak lupa memasukkan clausula
tentang hukum yang harus dipergunakan, hukum yang mereka pilih. Mereka ini memilih
biasanya hukum negara tertentu dan dinyatakan secara tegas berlakulah untuk perjanjian ini.
Di samping pilihan hukum secara tegas (dengan sedemikian banyak perkataan), dapat pula
dilakukan secara diama – diam. Jadi ada dua macam memilih hukum. Secara tegas atau secara
diam – diam. Mengenai hal yang belakangan ini (secara diam – diam) kita harus berhati – hati,
jangan sampai menarik kesimpulan sesuatu yang sebenernya tidak dikehendaki oleh para pihak
tetapi yang kita sebagai hakim atau sebagai pelaksana hukum, sebenarnya mengehendaki
supaya para pihak memilih hkum itu.
Tempat letaknya benda (situs), letaknya suatu benda (situs) nmerupakan titik tau yang
menentukan hukum yang harus diberlakukan (lex rei sitae). Untuk benda- benda tetap berlaku
ketentuan bahwa hukum dari tempat letaknya benda itu adalah yang dipakai untuk hubungan –
hubungan hukum berkenaan dengan benda itu. Tetapi bukan saja untuk benda 0 benmda tetap
berlaku azas lex rei sitae ini. Juga untuk benda – benda bergarak di bidang HPI diterima secara
umum bahwa lex rei sitaelah yang berlaku. Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum,
tempat dimana perbuatan hukum dilangsungkan atau perjanjian dibuat )lex loci actus, lex loci
contractus merupakan faktor yang memnetukan akan hukum yang harus diberlakukan.
Ternyata bahwa azas lex loci contarctus untuk hukum perjanjian internasional kini dianggap
sebagai kolot adanya dan tidak memenuhi kebutuhan hukum lagi. Contoh dari yurisprudensi
Indonesia, seorang telah mengadakan perjanjian peminjaman uang yang dibuat di Tiongkok.
Dipakai hukum Tiongkok sebagai hukum di mana tempat perjanjian telah dibuat. Demikian
diputuskan oleh Read van Justite di Medan dalam tahun 1926. Ditambahkan pula oleh
Pengadilan bersangkutan bahwa berlakunya hukum Tiongkok ini ialah karena menurut
“maksud para pihak” memang hukum dari tempat perjanjian inilah yang mereka kehendaki.
Lex loci contractus ini berkembang pada permulaan perkembangan HPI. Pada waktu dahulu
jaman abad pertengahan kita saksikan pasar – pasar atau gelanggang – gelanggang dagang yang
diadakan di Italia. Disini mereka mengadakan kontrak – kontrak dan pada waktu itu memang
mereka saling bertemu dan kontrak – kontrak juga masih diselenggarakan dengan upacara
khusus. Tempat dilaksanan perjanjian berkenaan dengan pertalian sekunder lex loci contractys
ini, kita melihat bahwa orang memakai pula tempat diaman harus dilaksanakan sesuatu kontrak
sebagai hukum yang harus diberlakukan (Lex loci solutionis, lex loci executionis).
Dalam perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad unerlaubte Handlung
unlawful act tort), diapaki menurut teori klasik, hukum dari tempat dimana perbuatan
melanggar hukum dilakukan (lex loci delich commissi, Tatort). Contoh dari yurisprudensi
Indonesia tuntutan dari Ford Motor Company of Canda Ltd terhadap seorang reparateur mobil
di Jakarta yang dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum dengan memasang
merek di deoan bengkelnya “Ford Service” diadili menurut hukum Indonesia. Pemakaian
prinsip kewarganegaraan untuk HPI Indonesia, seperti telah dikatakan di atas pasal 16 AB
menentukan bahwa prinsip nasionalitas yang dipakai untuk menentukan status personil.
Berbagai contoh yurisprudensi di Indonesia dapat menjelaskan hal ini. Mengenai persoalan
kemampuan bertindak dalam hukum, kita saksikan perempuan warganegara Jepang, Fumie
Jainada, dimana ditentukan bahwa hukum Jepanglah yang dipakai sebagai “openbare
koopvrouw” ia dipadang berhak untuk meminta peilisemen atas permohonan sendiri, tanpa
bantuan dari suaminya, K.Shiraishi. Karena adanya pailisemen ini ia terlepas dari
penyanderaan (gijzeling) yang diadakan atas permintaab Veerappa Chetty, merek Nana Moena
Ana. Bantahan dari yang belakangan ini terhadap permohonan pailit Fumie Jamada tidak
terkabul. Untuk hukum harta benda dalam perkawinan (huwelijks goederenrecht) ter yata juga
telah dipakai hukum nasioanl para pihak.
Hooggerechtshof dalam 1936 menyatakan bahwa untuk orang – orang asing warga
negara Tiongkok yang telah menikah di Tiongkok pada tahun 1910 berlakulah hukum harta
benda perkawinan Tiongkok. Staatsblad 1855 no.79 tidak berlaku untuk mereka. Dalam
perkara pengakuan anak juga kita saksikan adanya pemakaian hukum nasional Jepang untuk
pengakuan (erkenning). Dan ternyata pengakuan yang telah dilakukan oleh perempuan Jepang
Hisayo Kawai, atas anak – anak di bawah umur Hien Siang Kawai alis The Hien Siang, Hien
Lien Kawai alias The Hien Lien dan Hien Djien Kawai alias The Hien Dieng dianggap sebagai
sah adanya. Sang ayah dari anak tersebut adalah The Ing Bian, yam saudah mempunyai istri
dah Nyonya Han Biauw Nio. Yang belakangan ini diperkaralkan oleh perempuan Hisayo
Kawai untuk diri sendiri dan anak – anaknya karena menganggap disebabkan pengakuan sah
dari anak –anak ini menurut hukum Jepang anak – anak bersangkutan ditaruh di bawah
kekuasaan orang tua dari pihak yang melakukan pengakuan ini yang dipakai dalam hal
pengakuan anak menurut Hooggererchtshof adalah hukum dari pihak yang melakukan
pengakuan itu dan bukan hukum dari pihak anak yang diakui. Syarat –syarat perkawinan kita
melihat pula bahwa adanya ketentuan pemakaian hukum nasional si mana orang – orang yang
hendak menikah adalah orang – orang Tionghoa Asing Medan. Maka ternyata hukum
Tiongkok yang telah dipakai. Menurut hukum Tionghoa maupun menurut hukum Inggris
(Penang). Maka kalu untuk daoat menikah cukup kalau orang – orang sudah mencapai usia 21
tahun dapat leluasa untuk menikah tanpa memerlukan persetujuan khusus orang tua mereka.
Pewarisan, untum pewarisam dari warganegara Tiongkok, ternyata Raad van Justitie jakrata
(Kamar 1 pada tahun 1934) telah memakai hukum Naisonal si pewaris yaitu hukum Tiongkok.
Warisan dari HO Tjoeng Kon, wijkmeester dari Sijoek (Biliton) yang semula status
kaulanegara Belanda tetapi karena kepergiannya ke Tiongkok untuk 11 tahun lamanya tanpa
kembali dianggap kehilangan status itu (sesuai dengan ketentuan – ketentuan pasal 2 sub 4 e
S. 1910 no 296). Hukum dari Tiongkok pada tahun 1927 ini (tahu meninggalnya pewaris)
menentukan bahwa anak – anak perempuan sudah diakui akhli waris tetapi hanya mereka yang
belum ke luar dari keluarganya karena perkawinan (“est sortie (de sa famille) par le marriage”).

Anda mungkin juga menyukai