Bab I
Hubungan antara HPI dengan HATAH (Hukum Antar Tata Hukum)
Untuk mempelajari Hubungan antara Hukum Perdata Internasional dengan Hukum
Antar Tata Hukum ada baiknya kita mengetahui istilah-istilah yang ada di beberapa
negara. Istilah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang digunakan di Indonesia sekarang
ini merupakan terjemahan dari berbagai istilah antara lain sebagai berikut :
Pertama-tama perlu diketahui bahwa tidak ada kesepakatan di antara para sarjana
dari berbagai negara tentang apa itu HPI. Berbagai istilah dipakai untuk HPI ini,
seperti Conflict of Laws, atau Hukum Perselisihan, Private International Law, Hukum
Antar Tata Hukum (HATAH). Begitu pula dipertanyakan apakah HPI itu hukum
nasional atau hukum internasional? HPI itu hukum perdata tetapi kenapa
internasional. Satu-satunya kesepakatan di antara para sarjana ialah bahwa HPI ini
adalah ilmu yang sulit. Adanya ketidaksepahaman ini menimbulkan ejekan sebaiknya
istilah conflict of laws ini diganti menjadi conflict of lawyers, seperti seloroh dalam bahasa
Belanda twee juristen drie meningen, kalau ada dua sarjana hukum berkumpul paling
sedikit pendapatnya tiga. Dengan demikian dapat dikatakan pertengkaran mengenai ilmu
ini dimulai dari pengertian atau judul HPI itu sendiri: dispute starts from the title page1.
1. Conflict Of Law
Istilah ini diperkenalkan oleh Dicey. Padanan bahasa Indonesia untuk istilah ini
adalah Hukum Perselisihan, yang pernah dipakai oleh Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat, Universitas Indonesia pada era tahun 1950-an.
Prof. R.H. Graveson berpendapat bahwa : “The Conflict of Laws, is that branch of
law which deals with cases in which some relevant fact has a connection with
1
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Bina Cipta,
1987), hlm.7-8.
1
another system of law on either territorial or personal grounds, and may, on that
account, raise a question as to the application of one‟s own or the appropriate
alternative (ussually foreign) law to the determination of the issue, or as to the exercise
of jurisdiction by one‟s own or foreign courts”.
Pandangan Prof. Graveson ini seperti yang dikutip dan diterjemahkan oleh Bayu Seto
sebagai berikut:
“Conflict of Law adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara
yang didalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukkan perkaitan dengan
suatu sistem hukum lain, baik karena aspek teritorial maupun aspek subjek
hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan tentang penerapan hukum
sendiri atau hukum lain (yang biasanya asing) atau masalah pelaksanaan
yurisdiksi badan pengadilan sendiri atau badang pengadilan asing”.2
Keberatan atas istilah Conflict Of Law ini adalah adanya kesan bahwa seolah-olah
dalam HPI terdapat perselisihan, pertentangan antara berbagai berbagai stelsel atau
sistem hukum. Atau dapat pula dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
Perselisihan, dari kata ”selisih”, misalnya dapat berarti berselisih jalan dan
karenanya tidak pernah bertemu. Padahal yang kita hadapi dalam masalah HPI ini
adalah terjadinya ”pertemuan” atau ”pertautan” antara dua atau lebih stelsel hukum.
Tugas dari HPI adalah menghindari terjadinya konflik diantara stelsel hukum yang
bertemu, yaitu dengan jalan memilih hukum mana yang akan berlaku atau dipakai
(choice of law) apabila terjadi pertemuan atau pertautan antara dua atau lebih stelsel
hukum.3
Keberatan lain dari dipakainya istilah conflict of laws atau ”hukum perselisihan”
ini adalah adanya kesan bahwa seolah-olah kedaulatan negara sedang berkonflik,
sehingga hakim dalam memilih hukum yang berlaku antara hukum asing atau
hukum sendiri (lex fori), akan selalu memakai hukumnya sendiri. Suatu sikap yang
tidak pada tempatnya. Seperti diuraikan di atas tidak ada konflik karena dipakainya
hukum asing itu adalah hasil analisis hukum nasional kita sendiri.4
2
Bayu Seto, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Ketiga, (PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001), hlm. 6
3
Sudarto Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid 1. Buku Kesatu. Cetakan kelima,
(Bandung: Alumni, 1992), hlm. 24
4
Sudarto Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, op. cit, hlm. 10.
2
melintasi batas negara. Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum
perdata (nasional) yang berlainan.5
5
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Kesatu,
(PT. Alumni, Bandung, 2003), hlm. 1.
6
Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Binacipta, 1989), hlm. 29
7
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Cetakan Pertama,
(Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 1.
3
Berbagai keberatan atas istilah-istilah tersebut di atas mendorong Sudargo
Gautama mencari istilah yang lebih tepat. Istilah itu adalah Hukum Antar Tata
Hukum, dengan mengikuti istilah ”interlegal law” dari Alf Ross atau
”Interrechtsordenrecht” dari Logemann dan ”tussenrechtsordening” dari
Resink. Dengan istilah HATAH ini kesan konflik tidak terlihat, dan justru
memberikan kesan bahwa terdapat ”Tata Hukum” di antara sistem-sistem hukum
yang bertemu pada satu waktu tertentu.
Sudargo Gautama membagi HATAH ke dalam HATAH INTERN, yang meliputi,
Hukum Antar Waktu, Hukum Antar Tempat, Hukum Antar Golongan
termasuk Hukum Antar Agama, dan HATAH EKSTERN, yaitu HPI.
Dari definisi tersebut terlihat sifat intern dari HATAH ini, yaitu hubungan-
hubungan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi hanya antara sesama warga
negara. Tidak ada unsur asing.
Sebagai contoh Hukum Antar Waktu dapat dikemukakan batas umur untuk
menikah tanpa izin orangtua. Telah terjadi perkawinan antara sepasang muda-mudi
keturunan Tionghoa di Jakarta pada tanggal 5 Februari 1975. Pengantinwanita
berumur 23 tahun, dan pengantin laki-laki berumur 28 tahun. Perkawinan
tersebut rupanya telah dilakukan tanpa restu kedua orangtua. Orangtua
pengantin wanita, karena tidak setuju dengan perkawinan itu, mengajukan
permohonan ke Pengadilan Negeri agar perkawinan itu dibatalkan dengan alasan
batas umur untuk menikah tanpa izin orangtua menurut KUHPerdata, sebagai
hukum yang berlaku bagi keduanya adalah 30 (tiga puluh) tahun.
Kedua pengantin berdalih bahwa dengan telah diundangkannya Undang-
Undang No. 1Tahun 1974 tentang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 yang
menyatakan batas umur menikah tanpa izin orangtua adalah 21 tahun, maka
8
Sudarto Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid 1 Buku Kesatu Cetakan kelima,
op.cit, hlm. 5
9
Ibid
4
keberatan orangtua tersebut harus ditolak. Dalam kasus ini hakim mengabulkan
permohonan orangtua dan membatalkan perkawinan tersebut dengan alasan bahwa
benar UU No.1 Tahun 1974 telah diundangkan, tetapi UU tersebut masih belum
berlaku. UU No.1 Tahun 1974 baru berlaku setelah dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu pada tanggal 1 April 1975, sedangkan
perkawinan telah berlangsung sebelum keluarnya Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975. Dengan demikian pada saat perkawinan dilangsungkan batas umur
yang berlaku untuk perkawinan tanpa izin orangtua adalah 30 tahun, sesuai
dengan ketentuan dalam KUHPerdata.
Hukum Antar Golongan adalah ”keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan
hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga)
negara dalam satu negara, satu tempat dan satu waktu tertentu, memperlihatkan
titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda
dalam lingkungan–lingkungan kuasa pribadi dan soal-soal.”11
5
lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat, (pribadi) dan soal-
soal.”12
Tekanan terlihat pada adanya perbedaan dari dua atau lebih negara, yang
menunjukkan adanya unsur asing. Walaupun Sudargo Gautama telah menciptakan
istilah HATAH, yang dianggap lebih baik, namun ternyata buku-buku yang
ditulisnya tetap memakai judul Hukum Perdata Internasional (HPI). Alasannya
ialah, karena alasan praktis, yakni istilah HPI sudah umum diterima.
1) HATAH lebih luas dari HPI karena HATAH meliputi HATAH intern dan
HATAH ekstern.
Bab II
Sejarah HPI di dunia dan di Indonesia
12
Ibid
6
Untuk mempelajari Sejarah HPI di dunia akan dijabarkan dalam beberapa zaman antara
lain sebagai berikut :
Pada akhir abad 6M kekaisaran romawi ditaklukkan bangsa “barbar” dari Eropa.
Bekas wilayah kekaisaran romawi diduduki berbagai suku bangsa yang satu dengan yang
Bayu Seto, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Ketiga, (PT. Citra
13
7
lainnya berbeda secara geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang penting, karena
masing-masing suku bangsa tersebut tetap memberlakukan hokum personal, hokum keluarga
serta hokum agamanya masing-masing di daerah yang didudukinya. Dengan demikian prinsip
territorial telah berubah menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip personal hokum yang
berlaku digantungkan pada pribadi yang bersangkutan. Sehingga dalam wilayah tertentu
mungkin akan berlaku beberapa hokum sekaligus.
Dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua suku bangsa yang berbeda
biasanya ditentukan dulu kaidah-kaidah hokum (adat) masing-masing suku, barulah
ditetapkan hokum mana yang akan diberlakukan.
Beberapa asas HPI yang tumbuh pada masa tersebut yang dewasa ni dapat
dikategorikan sebagai asas HPI (yang berasa personal), misalnya :14
a. Asas yang menetapkan bahwa hokum yang berlaku dalam suatu perkara adalah hokum
personal dari pihak tergugat.
b. Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan perbuatan hokum seseorang
ditentukan oleh hokum personal orang tersebut. Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian
harus ditentukan oleh hokum personal dari masing-masing pihak.
c. Asa yang menyatakan bahwa masalah pewarisan harus diatur berdasarkan hokum personal si
pewaris.
d. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hokum personal sang suami.
8
Florence, Pisa, Peruggia, Venetia, Milan, Padua, dan Genoa. Kota-kota tersebut merupakan
kota perdagangan yang otonom dengan :
1. Batas-batas territorial sendiri
2. System hokum local sendiri yang berlainnya satu dengan yang lainnya dan berbeda pula
dengan hokum romawi dan Lombardi yang berlaku umum di seluruh Italia.
9
karena dalam Undang-Undang Contos Popolos telah ditentukan … ques nostrae clementiae
regit imperium.”
Doktrin yang telah dikemukakan Accursius kemudian dikembangkan oleh Bartolus
De Sassoferrato (1314-1357). Bartolus menghububgkan statuta personalia dengan lex originis
dan statute realia dengan kekuasaan territorial hokum itu. Ia membedakan statuta ke dalam
statua yang mengijinkan sesuatu dan yang melarang sesuatu.
Statuta personalia, statuta yang mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personal.
Bahwa statuta itu mengikuti orang (person) dimanapun dia berada.
Statuta realia, Statuta yang mempunyai lingkungan kuasa secara terotorial. Hanya benda-
benda yang terletak di dalam wilayah pembentuk undang-undang tunduk di bawah statuta-
statutanya.
Statuta mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang diadakan di tempat berlakunya
Statuta itu denga segala akibat hukumnya. Sedangkan mengenai wanprestasi dengan segala
akibat hukumnya diatur menurut Statuta di tempat perjanjian itu seharusnya dilaksanakan.
15
Ibid
10
coutume tersebut dan makin meningkatnya perdagangan antar propinsi, maka konflik hokum
antar propinsi meningkat pula. Dalam keadaan demikian beberapa ahli hokum perancis,
seperti Charles Dumoulin dan Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori statute dan
menerapkannya di perancis dengan beberapa modifikasi.16
Charles Dumoulin memperluas pengertian statuta personalia hingga mencakup
pilihan hukum (hukum yang dikehendaki oleh para pihak) sebagai hukum yang seharusnya
berlaku dalam perjanjian. Jadi perjanjian yang dalam teori statuta dari Bartolus masuk dalam
statuta realia menurut Charles Dumoulin harus masuk dalam ruang lingkup statuta
personalia, karena pada hakekatnya kebebasan untuk memilih hokum adalah semacam status
perseorangan.
Menurut Bertrand D’Argentre yang harus diperluas itu adalah statuta realia, sehingga
yang diutamakan bukanlah otonomi para pihak melainkan otonomi propinsi. Ia tetap
mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan statuta personalia, misalnya kaidah yang
menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan hokum, akan tetapi :
1. Ada statuta yang dimaksudkan ntuk mengatur orang, tetapi berkaitan dengan hak milik orang
itu atas suatu benda (realia)
2. Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hokum (statute mixta) yang dilakukan
di tempat tertentu . statuta semacam itu harus dianggap sebagai statuta realia, karena isinya
berkaitan dengan dengan teritori atau wilayah penguasa yang memberlaukan statuta itu.
6. Perkembangan Teori Statuta di Belanda (Abad 17 )
Teori Argentre ternyata diikuti para sarjana hokum Belanda setelah pembebasan dari
penjajahan Spanyol. Pada saat itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hokum yang dbuat
Negara berlaku secara mutlak di dalam wilayah Negara tersebut. Prinsip dasar yang
digunakan penganut teori statuta di negeri belanda adalah kedaulatan eksklusif Negara.
Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajkan tiga prisip dasar yang dapat
digunakan untk menyeesaikan perkara-perkara HPI sebgai berikut :17
1. Hukum dari suatu Negara mempunyai daya berlaku yang mutlak hanya di dalam batas-batas
wilayah kedaulatannya saja
16
Ibid
17
Ibid
11
2. Sremua orang baik yang menetap maupun sementara yang berada di dalam wilayah suatu
Negara berdaulat harus menjadi subyek hokum dari Negara itu
3. Berdasarkan alas an sopan santun antar Negara (asas komitas=comity) diakui pula bahwa
setiap pemeritah Negara yang berdaulat mengakui bahwa hokum yang sudah berlaku di
Negara asalnya akan tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana sejauh tidak bertentangan
dengan kepentingan subyek hokum dari Negara yang memberikan pengakuan itu.
Selanjutnya Urik Huber menegaskan bahwa dalam menafsirkan ketiga hal tersebut
harus pula diperhatikan prinsip semua perbuatan/transakasi yuridis yang dianggap sah
berdasarkan hokum dari suatu Negara tertentu, akan diakui sah pula ditempat lain yang
system hukumnya sebenarnya mengganggap perbuatan/transaksi semacam itu batal. Tetapi
perbuatan/transaksi yang dilaksanakan disuatu tempat tetentu yang menganggapnya batal
demi hokum juga dianggap batal dimanapun.
Pada abad ke-19 pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha dari tiga
orang pakar hokum yaitu Joseph Story, Friedrich Carl Von Savigny, dan Pasquae Manchini.
Titik tolak pandangan Von Savigny adalh bahwa suatu hububngan hokum yang sama harus
member penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan oleh hakim Negara A maupun
Negara B. Maka, penyelesaian soal-soal yang menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya
diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya juga akan sama dimana-mana.
Satunya pergaukan internasional akan menimbulkan satu system hokum supra
nasional yaitu hokum perdata internasional. Oleh karena titik tolak berfikir Von Savigny
adalah bahwa HPI itu bersifat hokum supra nasional, oleh karenanya bersifat universal maka
ada yang menyebut piikiran Von Savigny ini dengan istilah teori HPI universal.
Menurut Von Savigny pengakuan terhadap hokum asing bukan semata-mata
berdasarkan comitas, akan tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi
yang dipenuhinya bagi semua pihak (Negara atau manusia) yang bersangkutan.
Machini berpendapat, bahwa hokum personil seseorang ditentukan oleh
nasionalitasnya. Pendapat Machini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian.
Menurut mazhab Italia ini ada dua macam kaidah dalam setiap system hokum yaitu :
1. Kaidah hokum yang menyangkut kepentingan perseorangan
2. Kaidah-kaidah hokum untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum
Berdasarkan pembagian ini dikemukakan tiga asas HPI yaitu : 18
18
Ibid
12
1. Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warga Negara dimanapun
dan kapanpun juga (prinsip personil)
2. Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat territorial dan berlaku bagi setiap
orang yang ada dalam wilayah kekuasaan suatu Negara (prinsip terotorial)
3. Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih hokum
manakah yang akan berlaku terhadap transakasi diantara mereka (pilihan hokum)
Cita-cita Machini adalah mencapai unifikasi HPI melalui persetujuan- persetujuan
internasional swedangkan Von Savigny ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI supra
nasional.
Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diadakan asas HPI yang berlaku
umum. Setiap hubungan hokum selama ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri dan
inipun bergantung pada kebiasaan, undang-undang putusan-putusan pengadilan di dalam
masing-masing masyarakat hokum. Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah
banyaknya perjanjian internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI seperti
perjanjian-perjanjian HPI Den Haag.
Setelah mempelajari Sejarah HPI di dunia maka akan dijabarkan sejarah HPI di
Indonesia antara lain sebagai berikut :19
Hukum perdata internasional di Indonesia tumbuh sejak masa pemerintahan Hindia
Belanda. Cikal bakal HPI dalam konteks negara jajahan adalah bentuk hukum antargolongan.
Lahirnya hukum antar Golongan ini adalah karena adanya Pasal 131 AB Indonesia yang
membagi penduduk di Hindia Belanda ke dalam tiga golongan penduduk, yakni Eropa atau
yang disamakan Timur Asing dan Bumi Putra. Masing-masing golongan penduduk itu tunduk
pada sistem hukum yang berbeda. Golongan penduduk Eropa atau yang disamakan tunduk
pada hukum perdata barat; golongan penduduk Timur asing tunduk pada hukum adat
masingmasing (dan sejak tahun 1925 ditundukan pada hukum perdata barat dengan beberapa
pengecualian); dan golongan penduduk Bumi Putera tunduk pada hukum adat masing-
masing. Hubungan antargolongan penduduk itu melahirkan peristiwa hukum antargolongan.
Sampai dengan saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan nasional Indonesia
secara khusus menghimpun dan mengatur asas dan kaidah HPI secara lengkap, komprehensif,
dan terintregrasi. Kaidah dan asas HPI terbesar di berbagai peraturan substansif yang trpisah-
pisah. Kaidah HPI umum (general choice of law rules) yang ada dan merupakan peninggalan
sistem hukum Hindia Belanda, termuat di dalam pasal 16, 17, 18, Algemeene Bepalingen
van Wetgeving (voor Indonesiё). Peraturan tersebut isinya adalah sebagai berikut:
Pasal 16 AB
19
Bayu Seto, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Ketiga , (PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001), hlm. 72-78
13
“Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai status wewenang seseorang
tetap berlaku bagi kaula negara Belanda, apabila ia berada di luar negeri. Akan tetapi, apabila
ia menetap di negara Belanda atau di salah satu daerah koloni Belanda, selama ia mempunyai
tempat tinggal di situ, berlakulah mengenai bagian tersebut dan hukum perdata yang berlaku
di sana.”
Pasal ini mengatur tentang status dan kewenangan personal dari seseorang. Asas yang
dipergunakan dalam pasal ini adalah AsasDomicilium organis. Artinya, untuk menentukan
apakah seseorang cakap/berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, ukuran
yang dipergunakan adalah ukuran yang berlaku di dalam hukum tempat orang itu berasal.
Pasal 17 AB
“Terhadap barang-barang yang tidak bergerak berlakulah undang-undang dari negeri
atau tempat di mana barang barang itu berada.”
Pasal ini mengatur tentang status kebendaan dari benda tetap. Asas yang
dipergunakan di dalam pasal ini adalah Asas lexsitus atau lex rei sitae. Artinya ukuran-ukuran
untuk menentukan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai benda tetap, hak kebendaan atas
benda tetap, serta akibat-akibat hukumnya, harus ditetapkan berdasarkan sistem hukum dari
tempat benda berada/terletak.
Pasal 18 AB
“Bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut perundang-
undangan dari negeri atau tempat, di mana tindakan hukum itu dilakukan.”
Pasal ini mengatur tentang hukum yang seharusnya diberlakukan dalam penetapkan
status dan keabsahan dari perbuatan-perbuatan atau hubunganhubungan hukum (yang
mengandung unsur asing). Asas HPI yang digunakan di dalam pasal ini adalah Asas Lex Loci
Actus artinya bentuk dari sebuah perbuatan hukum atau hubungan hukum serta
keabsahsannya akan ditentukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan hukum dilakukan
atau hubungan hukum dibuat. Asas ini menjadi sangat penting untuk menentukan “kualifikasi
hukum” dari sebuah perbuatan hukum.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan menjadi sebuah negara berdaulat,
relevasi dari hukum antargolongan sebenarnya menjadi berakhir dan digantikan perannya
14
oleh hukum perdata internasional dalam arti yang sempit (hanya mengatur hubungan-
hubungan hukum yang melibatkan WNI Indonesia dengan WNI asing). Hubungan antar
kelompok penduduk di Indonesia bukan lagi dibedakan karena perbedaan golongan
penduduk, melainkan karena pembedaan kewarganegaraan. Artinya, hubungan ini berubah
menjadi hubungan yang bersifat transnasional yang mengandung unsur asing (foreign
elment).
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
15
Bayu Seto, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Ketiga, Bandung,
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Kesatu,
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung, Bina Cipta,
1987.
Sudarto Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid 1. Buku Kesatu. Cetakan kelima,
16