keuangan yang beroperasi secara online, penyedia pinjaman online tersebut biasa dikenal dengan
sebutan fintech, di dalam masyarakat sekarang yang sudah terbiasa menggunakan internet dan
teknologi informasi, fintech sangat dibutuhkan karena dengan cara itu, memudahkan masyarakat
untuk mendapatkan pinjaman tanpa perlu mendatangi bank secara langsung atau bertatap muka
untuk mengajukan permohonan kredit. Cukup dengan mengakses website fintech, maka
transaksi keuangan seperti pinjaman hingga transfer dana dapat dilakukan dimana saja dan kapan
saja
Namun seiring dengan kemajuan teknologi tersebut, bermunculah fintech - fintech ilegal dan
tidak berbasis di indonesia. Seperti PT VCard Technology Indonesia. Yang mana mereka telah
melakukan praktek-praktek pinjaman online kepada masyarakat tanpa pengawasan Otoritas Jasa
keuangan (OJK). Sebagaimana kita ketahui pada prinsipnya, perusahaan fintech tersebut sangat
membantu masyarakat yang membutuhkan dana dengan cepat, tetapi pada prakteknya apabila
masyarakat itu tidak dapat membayar pinjamannya, maka, sering kali mereka melakukan
Jika nasabah sudah jatuh tempo untuk membayar maka pihak Desk Collector PT. Vcard
Technology Indonesia (Vloan) yaitu Indra, Kevin Yuniar, Ronny Sanjaya dan Wahyu Wijaya
alias Ismed Chaniago akan mengakses Supercash.co/Banshee Vloan kemudian melakukan login
dengan menggunakan Username dan password masing-masing Desk Collector (DC) sehingga
dapat masuk ke fitur task di mana dalam Fitur tersebut terdapat data-data nasabah yang akan
ditagih.
Jika ada nasabah yang telah jatuh tempo melakukan pembayaran pinjaman uang di atas 30 hari
serta tidak dapat dihubungi maka para DC akan membuat Group Whatsapp dan mengundang
nomor nasabah dan nomor-nomor teman maupun keluarga dari nasabah yang ada di kontak
handphone nasabah dan menyampaikan pesan berbau pornografi atau sexual harassment kepada
korban yang sudah tergabung dalam group yang dibuat oleh DC. Sedangkan DC lainnya yang
tergabung dalam group Whatsapp ikut-ikutan membuat suasana semakin panas dan memberikan
Adapun kerugian dari para korban adalah, salah satu dari mereka ada yang harus diberhentikan
dari pekerjaannya, menangung malu akibat penyebaran utang pada seluruh kontak yang terdapat
pada HP korban, merasa terintimidasi dengan perkataan kasar dari para tersangka dan menjadi
korban pelecehan seksual dari tersangka yang mengirimkan berbagai konten serta perkataan
Pada dasarnya, cara-cara mereka melakukan penagihan terhadap debitur yang belum membayar
pinjaman online tersebut dengan cara-cara seperti tersebut diatas adalah perbuatan yang
melanggar hukum dan mereka dapat di tuntut secara pidana. Yaitu melanggar pasal 40, 29 jo
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Kemudian pasal 45
ayat (1) dan (3) Jo Pasal 27 ayat (1) dan (3), Tentang Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik.
Selain itu, tersangka juga dikenai pasal 45B Jo Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Indivasi dan Transaksi
Elektronik. Yang terakhir adalah pasal 369 KUHP dan atau Pasal 3, 4, 5 Undang-Undang No. 8
Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tidak hanya Desk Collector tersebut yang
dapat dikenakan hukuman pidana seperti diatas, tetapi juga termasuk orang yang mengelola
Perusahaan fintech tersebut. Dengan cara di hubungkan pasal 55 KUHP, yaitu penyertaan
Menurut Hemat Saya, pinjaman online itu adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua pihak
yang meminjamkan dan pihak yang menerima pinjaman. Sebagaimana sesuai pasal 1320
KUHPerdata, syarat sah perjanjian adanya kata sepakat, cakap, suatu persoalan tertentu dan
suatu klausa yang halal. Namun dalam perjanjian kredit online ini sangat jelas, pihak yang
meminjam kedudukannya sangat lemah dibanding dengan yang memberikan pinjaman. Di dalam
KUHPerdata sudah sangat jelas apabila ada pihak yang cedera janji atau wanprestasi, maka salah
satu pihak dapat menuntut ke pengadilan dan tidak dapat bermain hakim sendiri seperti apa yang
dilakukan oleh perusahaan fintech dengan menggunakan Desk Collector. Seyogya nya kalau
mereka merasa dirugikan oleh si peminjam uang atau debitur, maka mereka harus melakukan
tuntutan ke pengadilan. Bukan melakukan tindakan main hakim sendiri seperti mengancam,
persyaratan-persyarata yang diberikan oleh perusahaan fintech tersebut. Atas dasar itulah
menurut hemat saya, setiap perusahaan fintech yang beroperasi di wilayah hukum indonesia
harus di awasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai pihak yang mempunyai kewenangan dalam
hal pengelolaan jasa keuangan. Dan juga Otoritas Jasa Keuangan harus memberikan