Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL

HUKUM RUANG ANGKASA

DISUSUN OLEH:

Vanessa Angelina 2016-050-019 / 120 1600 1218


Andrew Pate 2014-050-086/ 120 1400
Rizky Zein 2016-050-036 / 120 1600 1233
Gerald Alvino Fugen 2016-050-042 / 120 1600 1239
Haerold Kalvin Waker 2016-050-126 / 120 1600 1319
Chrisdani Yohanes 2016-050-208 / 120 1600 1400
Celestino Ronaldo 2016-050-215 / 120 1600 1407
Leo Tetuko Perangin-Angin 2016-050-221 / 120 1600 1413

DOSEN PENGAJAR:
Valerie Paskalia Selvie Sinaga,S.H.L.L.M.,PH.D.

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA


ATMA JAYA
Jl. Jend. Sudirman No.51, Semanggi, Jakarta Selatan
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

Rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Internasional dengan tema

“Hukum Ruang Angkasa” tepat waktu. Makalah ini diharapkan dapat memberikan

pemahaman dan menambah wawasan dalam pembelajaran mengenai salah satu cabang

Hukum Internasional, yakni Hukum Ruang Angkasa bagi para pembaca.

Makalah ini, dibuat dalam rangka untuk melengkapi tugas mata kuliah Hukum

Internasional. Kami pun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik

dari segi bentuk penyusunan, maupun materinya. Kritik konstruktif diharapkan untuk

penyempurnaan karya-karya tulis selanjutnya. Akhir kata penyusun berharap, semoga

makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, November 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i

DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii

BAB I. PENDAHULUAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1

A. Latar Belakang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1

B. Rumusan Masalah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..1

C. Tujuan Penulisan. . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1

BAB II. PEMBAHASAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

A. Pengertian Hukum Ruang Angkasa. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2

B. Pengaturan Hukum Ruang Angkasa Menurut Hukum Internasional . . . . . . . . . . . . . .2

C. Prinsip-prinsip Hukum Ruang Angkasa. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

D. Hak dan Kewajiban Negara. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .5

E. Pihak Yang Bertanggung Jawab. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7

BAB III. PENUTUP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9

A. Kesimpulan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9

DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .10


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan negara dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa dimulai sejak
diluncurkannya satelit Sputnik oleh Uni Soviet pada tahun 1957. Hal ini diikuti dengan
pengiriman awak pesawat angkasa pertama yaitu Yuri Gagarin pada tahun 1961. Dalam
melaksanakan tugasnya, awak pesawat angkasa mendapatkan perlindungan hukum
berdasarkan ​Space treaty 1967​, dan ​Rescue Agreement 1968​. Space Treaty 1967 merupakan
dasar utama dalam pengaturan Hukum Ruang Angkasa Internasional, yang kemudian
ditopang dengan 4 perjanjian Internasional di bidang ruang angkasa lainnya. Astonout
merupakan duta manusia dan negara-negara harus bekerja sama untuk memberi bantuan
kepada astronot yang mengalami kesulitan atau kecelakaan (Pasal 5 ​Space Treaty​). Di sisi
lain perkembangan komersialisasi ruang angkasa telah berjalan secara progresif, salah
satunya adalah bidang wisata ruang angkasa. Hal-hal baru tersebut belum ada pengaturannya
secara khusus sehingga dapat menimbulkan masalah mengenai aspek hukum dari wisata
ruang angkasa serta kegiatannya yang dilakukan oleh perusahaan swasta.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Ruang Angkasa menurut Hukum Internasional?


2. Apa Prinsip-prinsip dalam Hukum Ruang Angkasa Internasional?
3. Apa Hak dan kewajiban Negara menurut Hukum Ruang Angkasa Internasional?
4. Bagaimana Pertanggungjawaban Subjek Hukum Internasional terhadap ​Space Object
Yang Diluncurkan dalam Suatu Kasus?

C. Tujuan Penulisan

1. Memahami Pengaturan Hukum Ruang Angkasa menurut Hukum Internasional.


2. Memahami Prinsip-prinsip dalam Hukum Ruang Angkasa Internasional.
3. Memahami Hak dan Kewajiban Negara menurut Hukum Ruang Angkasa
Internasional.
4. Memahami Pertanggungjawaban dan Subjek Hukum Internasional terhadap ​Space
Object​ Yang Diluncurkan dalam Suatu Kasus.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Ruang Angkasa

Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa sama-sama termasuk dalam ranah Hukum
Internasional, namun keduanya merupakan dua konteks bidang hukum yang berbeda dengan
aspek dan ketentuan peraturannya masing-masing.
Hukum Ruang Angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan
antara negara-negara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari
segala aktivitas yang tertuju di ruang angkasa dan aktivitas itu demi kepentingan seluruh
umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan, ​terrestrial dan
1
non-​terrestrial,​ di manapun aktivitas itu dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan
Hukum Udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai pesawat,
navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik ataupun
2
perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional.
Dengan kata lain, secara singkat Hukum Udara adalah kumpulan aturan untuk
mengatur sarana penerbangan dan segala kegiatan di ruang udara. Sedangkan Hukum Ruang
Angkasa yakni kumpulan aturan yang mengatur segala kegiatan dan hal-hal yang berkaitan
objek-objek di ruang hampa udara (​outer space​).

B. Pengaturan Hukum Ruang Angkasa Menurut Hukum Internasional

1. Konvensi-konvensi Yang Diterima Majelis Umum

Menyadari konsekuensi yang akan timbul dari kegiatan di ruang angkasa, resolusi-resolusi
Majelis Umum PBB dalam perjalanannya berhasil melahirkan instrumen hukum ruang
angkasa, yang terdiri dari lima perjanjian internasional, yaitu:

a) Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of
Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies,​ 1967 (​The Outer Space treaty)​ .

1
​John C. Cooper, ​Aerospace Law – Subject Matter and Terminology,​ Recueil des course, JALC, 2003, hlm.89.
2
​AK, Syahmin and Utama, Meria and Idris, Akhmad, ​Hukum Udara dan Ruang Angkasa​, Penerbit: Unit
Penelitian Fakultas Hukum Unsri dan Unsri Press, Palembang, 2012, hlm. 15.
Berdasarkan pada Pasal 2 ​Space Treaty 1​ 967, Hukum Internasional mengakui status hukum
ruang angkasa sebagai ​res commnunis, ​sehingga tidak ada satu bagian pun dari ruang angkasa
dapat dijadikan menjadi bagian wilayah kedaulatan negara. ​Space Treaty merupakan
konvensi induk dalam Hukum Ruang Angkasa yang menetapkan bahwa ruang angkasa
beserta isinya adalah bebas atas klaim kepemilikan dan monopoli, serta harus digunakan
demi kepentingan umat manusia.
Pasal 9 ​Space Treaty 1967 juga berperan untuk mengikat para anggota perjanjian
tersebut udalam rangka melakukan pencegahan kontaminasi dan polusi akibat kegiatan
3
angkasa.

b) Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of
Objects Launched into Outer Space ​1968 (​The Rescue Agreement​). Konvensi isi merupakan
penjabaran lebih lanjut dari prinsip-prinsip dalam Pasal 5 space treaty 1967. Prinsip-prinsip
yang telah dituangkan dalam ​The ​Rescue Agreement tersebut dimaksudkan untuk
memberikan pertolongan kepada para astronaut dan wahananya bila mengalami suatu
musibah, hal ini merupakan suatu usaha kemanusiaan terhadap risiko yang dihadapi para
astronot dalam melaksanakan tugasnya.

c) Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects, also


known as the Space Liability Convention,​ 1972 (​The Liability Convention)​ . Konvensi ini
mengatur bahwa pertanggungjawaban atas kerusakan atau kerugian terhadap negara pihak
ketiga yang ditimbulkan akibat suatu ​space objects jatuh kepada negara peluncur, dan bukan
tanggung jawab awak peluncuran ​space objects​. Konvensi ini merupakan penjabaran lebih
lanjut dari pasal 7 ​Space Treaty 1967. Yang dimaksud dengan Negara Peluncur (​Launching
State)​ adalah Suatu Negara yang meluncurkan atau dalam pelaksanaan peluncuran benda
antariksa, ataupun suatu Negara yang dari wilayahnya atau fasilitas benda antariksa itu
diluncurkan.

d) Convention on Registration of Launched Objects into Outer Space 1975 (The


Registration Convention). ​Konvensi ini mengatur bahwa benda-benda angkasa yang akan

3
​K.Martono, ​Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional​, Penerbit:
Mandar Maju ​, Bandung, 1995, hlm. 178.
diluncurkan ke ruang angkasa harus diregistrasi di PBB sebagaimana diatur dalam Pasal 11
Space Treaty​ 1967 dan Pasal 5 ​Moon Treaty 1979​)

e) The Agreement Governing the Activities of states On The Moon And Other Celestial
4
Bodies, 1979 (​ ​The Moon treaty​). Konvensi ini mengatur eksplorasi dan penggunaan bulan
dan benda-benda langit lainnya oleh Negara-negara. Pasal 7 ​Moon Treaty 1979 yang
mengatur tentang pencemaran lingkungan dilatarbelakangi atas potensi pencemaran
lingkungan di bulan dan benda-benda langit lainnya akibat kegiatan eksplorasi dan
penggunaannya oleh Negara-negara. Pasal 7 tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari
pasal 9 ​Space Treaty​ 1967.

C. Prinsip-prinsip Hukum Ruang Angkasa (​Space Treaty​ 1967)

a) Tidak Dapat Dimiliki (​Non-Appropriation​), dimana Antariksa termasuk Bulan dan


benda-benda langit lainnya tidak dapat dijadikan milik nasional baik melalui pernyataan
kedaulatan, penggunaan ataupun pendudukan maupun melalui cara lain apapun (Pasal 2
Space Treaty​ 1967).

b) Kebebasan Penggunaan oleh siapa saja selama pelaksanaan eksplorasi dan


penggunaan ruang angkasa harus sesuai dengan Hukum Internasional dan piagam PBB (Pasal
3 ​Space Treaty 1967), serta dilaksanakan demi kepentingan umat manusia, serta memelihara
perdamaian dan keamanan internasional. Dimana penempatan dan penggunaan senjata militer
dilarang secara eksplisit.

c) Larangan penempatan senjata–senjata di ruang angkasa. Sebagaimana diketahui


bahwa pemanfaatan ruang angkasa dan benda–benda langit lain jika mempunyai maksud dan
tujuan damai (Pasal 4​ Space Treaty​ 1967).
d) Pemberian bantuan kepada astronot dan pemberitahuan mengenai adanya
gejala–gejala yang membahayakan di ruang angkasa. (Pasal 5 ​Space​ ​Treaty​ 1967).

e) Tanggung jawab internasional harus dilakukan oleh Negara yang melaksanakan


kegiatan di ruang angkasa sebagaimana diketahui bahwa kegiatan ruang angkasa itu dapat
dilakukan oleh pihak pemerintah suatu negara dan oleh pihak swasta atau non-pemerintah.

4
​Boer Mauna, ​Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,​ Penerbit:
P.T. Alumni ​, Bandung, 2005, hlm. 441.
Kegiatan yang dilakukan oleh non-pemerintah harus mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari pemerintah yang bersangkutan sedangkan bagi organisasi internasional oleh organisasi
itu sendiri dan pemerintah–pemerintah yang menjadi anggotanya (Pasal 6 ​Space Treaty
1967).

f) Ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan ruang angkasa (Pasal 7
Space Treaty 1967) sedangkan mengenai mereka yang berhak atas tuntutan ganti rugi
tersebut adalah Negara ketiga yang secara langsung menderita kerugian.

g) Jurisdiksi atas subjek dan objek yang diluncurkan. Prinsip ini menetapkan bahwa
manusia, objek, ruang angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa merupakan yurisdiksi
Negara peluncur tersebut, jika manusia atau objek ruang angkasa yang diluncurkan itu jatuh
harus mengembalikan negara pemiliknya ( Pasal 9 ​Space Treaty​ 1967).

h) Prinsip pencegahan terhadap pencemaran dan kontaminasi dari ruang angkasa dan
benda-benda ruang angkasa( Pasal 9 ​Space Treaty​ 1967).

i) Prinsip tentang keharusan untuk memberitahukan kepada sekjen PBB dan masyarakat
internasional mengenai maksud dan tujuan serta hasil dari kegiatan di ruang angkasa. Prinsip
ini memungkinkan terjadinya kerjasama internasional dalam rangka pemanfaatan sumber
5
daya ruang angkasa (Pasal 11 ​Space treaty​ 1967).

D. Hak dan Kewajiban Negara

1. Hak Negara

a) Hak untuk melakukan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa dalam hal ini setiap
Negara dapat secara bebas untuk mengeksplorasi dan menggunakan ruang angkasa untuk
kepentingan negaranya maupun kepentingan internasional namun harus dilakukan dengan
tujuan damai dan bukan untuk menguasai atau untuk hal-hal yang tidak baik dan merugikan.

b) Hak untuk memperoleh ganti rugi bila mengalami kerugian akibat benda-benda
angkasa. Dalam hal ini Negara yang mengalami kerugian akibat benda-benda langit milik
Negara lain berhak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Seperti

5
​Juajir Sumardi, ​Hukum Ruang Angkasa (suatu pengantar),​ Penerbit: Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hlm.
15.
misalnya jatuhnya roket suatu Negara ke wilayah Negara lain dan mengakibatkan kerugian
bagi Negara tersebut, maka Negara yang mengalami kerugian dapat menuntut ganti rugi
kepada Negara peluncur roket tersebut.

c) Mempunyai yurisdiksi dan wewenang untuk mengawasi benda antariksa termasuk


personil didalamnya. Dalam hal ini Negara-negara yang memiliki benda-benda ruang angkasa
dapat secara bebas mengawasi benda antariksanya dan personil didalamnya tanpa ada
yurisdiksi karena ruang angkasa adalah milik bersama bukan milik salah satu / beberapa
Negara saja.

d) Hak untuk mengakses benda-benda langit dan benda-benda angkasa Negara lain.
Dalam hal ini setiap Negara bebas mengakses benda langit Negara manapun dengan seijin
Negara yang bersangkutan namun dalam beberapa hal seperti untuk mengakses ISS
(​International Space Station)​ tidak perlu mendapatkan izin karena ISS merupakan milik
bersama, dan penggunaannya bersifat umum.

2. Kewajiban Negara

a) Tunduk pada ketentuan hukum internasional dan PBB. Dalam PBB yang mengatur
urusan ini adalah badan PBB yaitu ​UN-COPUOS (United Nations Committee on the Peaceful
Uses of Outer Space) dan UNOOSA (United Nations Office for Outer Space Affairs).

b) Memberikan bantuan kepaada astronot Dalam hal ini bantuan harus diberikan kepada
astronpt yang mengalami keadaan darurat di ruang angkasa dan mengembalikan benda-benda
yang dimaksud disini adalah benda-benda angkasa milik setiap Negara yang meluncurkan
benda-benda angkasanya ke ruang angkasa, maka Negara tersebut harus membawa kembali
benda-benda angkasanya ke bumi setelah penggunaannya selesai.

c) Bertanggung jawab secara internasional terhadap benda-benda angkasanya. Dalam hal


ini jika benda angkasa suatu Negara jatuh dan menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi
Negara lain, maka Negara pemilik benda-benda angkasa tersebut harus bertanggung jawab
atas kerugian yang di derita oleh Negara yang mengalami kerugian akibat jatuhnya
benda-benda angkasa milik Negara peluncur / pengirim benda-benda angkasa.
d) Mendaftarkan dan memberitahukan benda-benda angkasanya. Dalam hal ini Negara
harus mendaftarkan benda-benda angkasanya kepada komite Internasional/PBB yang
mengatur tentang ruang angkasa dan memberitahukannya kepada publik.

e) Melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Dalam kepemilikan


benda-benda ruang angkasa suatu Negara tidak boleh menimbulkan kerusakan lingkungan
baik di bumi maupun di ruang angkasa.

f) Melakukan pengawasan dan kontrol terhadap benda-benda angkasanya. Hal ini harus
dilakukan secara terus-menerus sehingga jika benda-benda angkasa miliknya mengalami
masalah Negara pemilik dapat segera mengatasinya.

g) Melakukan kerjasama internasional. Kerjasama internasonal dalam hal ini salah


satunya adalah dalam menolong astronot yang mengalami masalah di ruang angkasa, selain
itu dalam pembuatan benda-benda angkasa juga diperlukan kerjasama internasional seperti
6
dalam pembuatan ISS ​(International Space Station).

E. Pihak Yang Bertanggung Jawab

Untuk masalah lain yang dimiliki Hukum Ruang Angkasa adalah masalah tanggung
jawab ganti rugi, masalah kontrak jual beli satelit domestik dan kontrak sewa-menyewa
penggunaan transponden satelit palapa oleh negara-negara tetangga, serta masalah
keberhasilan aktivitas kita di ruang angkasa tidak hanya bergantung kepada kemajuan teknis
pengaturan hukum dan kemampuan ekonomi saja, tetapi juga pada kemampuan koordinasi
dari lembaga-lembaga yang menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan aktivitas
tersebut di atas. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan Hukum Perdata
Internasional atau hukum transnasional bagi pakar hukum angkasa.

Salah satu contoh kasus dalam permasalahan Hukum Luar Angkasa ialah masalah
kontrak jual-beli satelit domestik dan kontrak sewa-menyewa penggunaan transponden
Palapa oleh negara-negara tetangga, merupakan kontrak yang bersifat transnasioonal dengan
objek hukum yang unik.

6
​Alan waser & Douglas Jobes, “Space Settlement Rights and Obligations”, Journal of Air Law and Commerce,
Vol. 73 No. 1 2008.
Dalam Pasal 1 ​Liability Convention 1972 selalu dipergunakan ​launching state​,7 yaitu
negara yang meluncurkan benda angkasa, membiayai peluncuran benda angkasa, atau negara
yang dari wilayahnya atau fasilitasnya diluncurkan benda angkasa. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa andaikata satelit komunikasi Palapa II menyebabkan kerugian
sebagaimana dimaksud oleh konvensi, maka yang bertanggung jawab adalah Indonesia dan
Amerika Serikat, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama.

Selain daripada ​launching state,​ dapat pula bertanggung jawab organisasi-organisasi


internasional antarpemerintah, dengan syarat bahwa organisasi ini menyatakan menerima hak
dan kewajiban yang ditentukan oleh konvensi, dan apabila mayoritas negara anggota
organisasi tersebut merupakan anggota pula dari konvensi ini dan anggota dari ​Space Treaty
1967. ​Liability Convention t​ idak memungkinkan adanya pihak-pihak lain yang bertanggung
jawab, sehingga percobaan peluncuran oleh individu atau badan swasta atau badan nasional,
dari segi kerugian yang ditimbulkan terhadap negara-negara lain atau pesawat udara asing,
tetap menjadi tanggung jawab negara yang wilayahnya atau fasilitasnya dipergunakan untuk
peluncuran.8

Masalah lain yang berkaitan erat dengan masalah tanggung jawab adalah sejauh mana
tanggung jawab NASA sebagai pemilik dan operator pesawat angkasa terhadap kerugian
yang ditimbulkan pada pihak pemakai jasa, dan pihak ketiga yang tidak turut serta dalam
operasi tersebut. Ketentuan NASA antara pihak pemakai jasa pesawat ruang angkasa
Challenger dengan pihak NASA harus dibuat suatu “​Cargo Launch Agreements​.” Pasal 5 dari
kontrak ini tentang ​allocation of certain risks9 menarik bagi para pakar hukum. Karena
ketentuan mengenai ​waiver (pembebasan tanggung jawab) antara pihak yang berjanji.
Ditetapkan bahwa NASA dan pihak pemakai jasa saling membebaskan diri dari tuntutan
ganti rugi yang diajukan oleh personalia, kontraktor, sub-kontraktor masing-masing pihak,
baik ganti rugi karena kematian, luka-luka dan kerugian atas harta milik. Jika kerugian timbul
pada pada pihak NASA, dan demikian pula sebaliknya pada pihak pemakai jasa. Tidak
tertutup kemungkinan seorang petugas NASA untuk menuntut ganti rugi langsung kepada
pihak NASA, atau di lain pihak petugas dari pemakai jasa menuntut pemakaian jasa tersebut.

7
Liabilitity Coonvention pasal VII, VIII, IX, X
8
Suherman E., Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Bandung, Penerbit : Alumni, 1984.
9
Pasal V Allocation of Certain Risk, NASA Act 1958, amended 1980
Dasar tanggung jawab internasional untuk kerugian yang disebabkan oleh aktivitas pesawat
angkasa luar diatur dalam ​Liability Convention ​tahun 1972.

Asas tanggung jawab mutlak dan penuh (​absolute liability without proof of fault)​
berlaku bagi pihak “​lauching state​” dengan syarat kerugian yang ditimbulkan oleh ​space
object-n​ ya harus terjadi di atas permukaan bumi, atau terhadap pesawat udara yang sedang
dalam penerbangan.10 Jika kerugian tersebut terjadi di tempat lain atau karena tabrakan antar
“​space-object​”, yang berlaku adalah asas tanggung jawab dengan kewajiban pembuktian
unsur kesalahan (​liability based on fault​). Dalam hal kerugian disebabkan oleh dua launching
state berlaku asas tanggung jawab bersama dengan pembagian kerugian. Pasal 22 “​Liability
Convention​” menetapkan asas tanggung jawab sama untuk “​International Intergovernmental
Organization”​ 11 seperti Badan Antariksa Eropa dan lain-lain.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum Ruang Angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan
antara negara-negara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari
segala aktivitas yang tertuju di ruang angkasa dan aktivitas itu demi kepentingan seluruh
umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan di manapun aktivitas itu
dilakukan.

Terdapat lima Instrumen yang menjadi dasar hukum atas Hukum Ruang Angkasa
menurut Hukum Internasional, yang terdiri dari: ​Space Treaty 1967, ​Rescue Agreement 1969,
Liability Convention 1973, ​Registration Convention 1​ 975​, dan Moon Treaty 1979.
Prinsip-prinsip pengaturan Hukum Ruang Angkasa menurut Hukum Internasional secara
umum setidaknya terdapat 4 prinsip yaitu: a) Prinsip Tidak Dapat Dimiliki
(​Non-Appropriation​), dimana Ruang Angkasa beserta isinya tidak dapat dijadikan milik

10
Ny. Mieke Komar Kantaatmadja., Berbagai masalah Hukum Udara dan Angkasa (Air & Space
Law)., CV.Remadja Karya, Bandung, 1984, halaman 106, dst.
11
Liabiility Convention Pasal XII tahun 1972.
nasional; b) Kebebasan Penggunaan oleh siapa saja, pelaksanaan eksplorasi dan penggunaan
ruang angkasa harus sesuai dengan Hukum Internasional dan piagam PBB, dilaksanakan
demi kepentingan umat manusia, memelihara perdamaian dan keamanan internasional; c)
Penempatan dan penggunaan senjata militer dilarang secara eksplisit, dan d)
Pertanggungjawaban atas kerugian dan kerusakan akibat ​space objects ​jatuh kepada Negara
peluncur.

DAFTAR PUSTAKA

AK, Syahmin ​and​ Utama, Meria ​and​ Idris, Akhmad, 2012, Hukum Udara dan Ruang
Angkasa​, Palembang: Unit Penelitian Fakultas Hukum Unsri dan Unsri Press.

C. Cooper, John. 2003, “Aerospace Law – Subject Matter and Terminology”, Recueil des
course, JALC.
Christol, Q. Carl., Internasional Liability for Damage Caused by Space Objects, AJIL, Vol.
74 April 1980.

K, Martono. “Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut
Internasional”, Bandung: Mandar Maju.

Mauna, Boer. 2005, “Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Di-namika Global​”,​ Bandung: Alumni.
Mieke Komar, Beberapa Aspek Hukum Pesawat Antariksa Bolak Balik, dalam harian
umum Sinar Harapan, edisi : Selasa, 5 Mei 1981.

Rudy, May. 2002, “Hukum Internasional​ 2​ ”, Refika Aditama, Bandung.

Suherman, E., Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Bandung, Penerbit: Alumni , 1984.

Waser, Alan and Douglas Jobes. “Space Settlement Rights and Obligations”, Journal of Air
​ ear 2008.
Law and Commerce. Vol. 73 issue 1.​ Y

Sumber Konvensi :

Convention on Internasional Liability for Damage Caused by Space Object (Liability


Convention, 1 September 1972).

Anda mungkin juga menyukai