Anda di halaman 1dari 165

Kata Pengantar

PRAKATA EDISI KELIMA Setelah lebih dari enam tahun yang lalu diterbitkan, ternyata cukup banyak
pihak yang menganggap bahwa buku sederhana ini cukup membantu para mahasiswa dalam memberi
pemahaman elementer terhadap bidang hukum perdata internasional yang dikenal "angker" karena
kerumitan metode dan pola berpikirnya. Walaupun isi buku ini tidak dapat dibandingkan dengan kualitas
serta kelengkapan isi buku-buku teks standar HPI (atau conflict of laws), baik di tingkat internasional
maupun nasional, penulis tetap berusaha konsisten untuk mempertahankan sasaran penerbitan buku ini
untuk menyediakan bahan bacaan HPI yang disajikan dengan bahasa yang sesederhana mungkin
sehingga relatif mudah dicerna oleh pembacanya.

Pengembangan terpenting dari edisi kelima terpusat pada penambahan sebuah bab baru tentang
Sejarah Perkembangan HPI di Indonesia (Bab III). Penyisipan bab baru ini bukan tanpa alasan akademik
sama sekali. Pembaca dianggap perlu menyadari bahwa dalam lintas historis, HPI di Indonesia
berkembang melalui episode-episode yang khas, khususnya pada masa prakemerdekaan. Di beberapa
Fakultas Hukum Indonesia selama ini, aspek yang berkonotasi sejarah HPI diberikan di dalam mata
kuliah Hukum Perselisihan (Conflict of Laws). Mata kuliah ini juga mencakup bidang-bidang hukum
perselisihan pada umumnya, seperti hukum antargolongan, hukum antaradat/tempat, hukum
antarwaktu, dan hukum antarwewenang.

Di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, di mana penulis membaktikan diri sebagai pengajar,
mata kuliah Hukum Perselisihan dihapuskan dari kurikulum tahun 2010. Bidang-bidang hukum
perselisihan tersebut di atas disisipkan pada materi pembahasan berbagai mata kuliah induk, seperti
hukum adat, hukum tata negara, atau hukum tata usaha negara. Hukum antargolongan
(Intergentielrecht) yang merupakan bidang hukum khas di masa penjajahan kemudian dilekatkan pada
HPI karena dianggap mencerminkan sejarah perkembangan HPI pramasa kemerdekaan.
Untukmendukung kebijaksanaan itulah maka buku ini memuat aspek-aspek sejarah HPI Indonesia yang
banyak memuat pembahasan tentang hukum antargolongan serta perkembangannya sampai masa
kemerdekaan. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada ibu Dr. Ida Susanti S.H.,LL.M., CN yang pada
dasarnya telah menulis draf pertama Bab III yang baru.

Di samping penambahan di atas, penulis juga telah melakukan beberapa perbaikan dan penyempurnaan
redaksional di bab-bab yang sudah ada, termasuk pengkinian catatan-catatan kaki yang akan membantu
para pembaca untuk merujuk pada sumber-sumber pustaka lain yang lebih mutakhir. Koreksi dan
penajaman juga telah dilakukan terhadap kasus-kasus yang digunakan sebagai itustrasi pada beberapa
pokok bahasan.

Terima kasih pada semua pihak yang telah mendukung penerbitan buku ini, terutama pimpinan dan
seluruh staf PT Citra Aditya Bakti, yang dengan sabar dan tekun telah melakukan edit terakhir terhadap
manuskrip penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan kritik dan apresiasi terhadap buku ini, terutama kepada guru kami Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati

i
Hartono, S.H. yang tidak pernah berhenti mendorong penulis untuk senantiasa melanjutkan tongkat
estafet pengembangan hukum perdata internasional di Indonesia.

Semoga HPI sebagai objek studi yang dianggap kompleks dapat tampil lebih sederhana dan semoga
kesederhanaan penampilan HPI dalam buku ini tidak mengurangi kedalaman dan kompleksitas bidang
hukum ini akibat dari kecenderungan menjadi over-simplifikasi. Akhir kata, mohon maaf atas kekeliruan
dan kekurangan yang masih terdapat di dalam buku ini, yang tentu sepenuhnya menjadi tanggung jawab
penulis.

Bandung, Februari 2013

B.S.H.

ii
Daftar Isi

Prakata Edisi Kelima

DAFTAR ISI

BAB I PENGERTIAN, POLA BERPIKIR YURIDIK, DAN MASALAH-

MASALAH POKOK HUKUM PERDATA INTERNASIONAL...........1

A. PENDAHULUAN........ 1

B. BEBERAPA DEFINISI DAN PENGERTIAN POKOK HPI...........7

C. MANFAAT HPI DALAM PENYELESALAN PERSOALAN-PERSOALAN HUKUM.......11

D. POLA BERPIKIR YURIDIK HPI (DENGAN PENDEKATAN TRADISIONAL) ..........13

E. MASALAH-MASALAH POKOK HPI......20

BAB II SEJARAH UMUM PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL TRADISIONAL...........25

A. PENDAHULUAN.........25

B. MODEL-MODEL PENDEKATAN DALAM HPI.....25

1. Pendekatan Berdasarkan Tujuan HPI....25

2. Pendekatan Berdasarkan Hasil yang Dicapai dari Proses HPI........ 26

3. Pendekatan Berdasarkan Metodologi Penetapan Hukum yang Harus Diberlakukan.........27

C. SEJARAH UMUM PERKEMBANGAN HPI TRADISIONAL................28

1. Masa Kekaisaran Romawi (Abad ke-2 SM-6 M)......29

2. Masa Pertumbuhan Asas Personal HPI (Abad ke 6-10)...... 32

3. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad Ke 11-12 Italia).........33

4. Perkembangan Teori Statuta.....35

a. Perkembangan teori statuta di Italia (abad ke 13-15).....35

1) Dasar-dasar teori statuta......35

iii
2) Penggunaan teori statuta dalam HPI modern.......38

b. Perkembangan teori statuta di Prancis (abad ke-16)............41

1) Situasi kenegaraan di Prancis abad ke-16.......41

2) Cara penyelesaian.........41

c. Perkembangan teori statuta di Belanda (abad ke 17-18).......43

5. Teori HPI Universal (Abad Ke-19).........45

BAB III HUKUM PERSELISIHAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA....... 51

A. PENGANTAR........51

B. RUANG LINGKUP HUKUM PERSELISIHAN.......52

1. Istilah Hukum Perselisihan .......52

2. Conflict of Laws Vs Hukum Perdata Internasional..........52

3. Fungsi Hukum Perselisihan ...........53

4. Hukum Antartata Hukum (HATAH)........54

5. Penjelasan Singkat Sub-Subbidang Hukum Perselisihan.............54

a. Intern................54

b. Ekstern.........,......55

6. Faktor Pendorong Tumbuhnya Bidang-Bidang Hukum Perselisihan.….............56

a. Hukum antaradat.............57

b. Hukum antargolongan.........57

c. Hukum Antaragama............61

d. Hukum Antawaktu...........61

e. Hukum Antardaerah.........62

f. Hukum Antarwewenang.............62

g. Hukum Perdata Internasional.........63

iv
C. METODE PENDEKATAN HUKUM PERSELISIHAN..........63

1. Titik Taut........64

a. Titik laut primer (disebut juga sebagai titik taut pembeda)..............65

b. Titik taut sekunder (disebut juga titik taut penentu)..................66

2 kualifikasi.................68

3. Prosedur Penyelesaian Perkara.............69

D. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DI INDONESIA............72

E. ASAS-ASAS UMUM HPI DI INDONESIA............73

1. Status Personal dan kecakapan Hukum: Hukum dari Tempat Berkewarganegaraan...........76

2. Benda Tetap: Asas Lex Situs...........77

3. Perbuatan Hukum atau Hubungan Hukum: Asas Lex Loci Actus...........78

F. KESIMPULAN.......................81

BAB IV BEBERAPA PRANATA TRADISIONAL HUKUM PERDATA INTERNASIONAL..................83

A. PENDAHULUAN....................83

B. TITIK-TITIK TAUT DALAM HPI.............84

C. KUALIFIKASI MASALAH HUKUM DAN TEORI-TEORI KUALIFIKASI HPI................91

1. Teori Kualifikasi Lex Fori..................99

2. Teori Kualifikasi Lex Causae (Lex Fori yang Diperluas).................103

3. Teori Kualifikasi Bertahap.............106

4. Teori Kualifikasi Analitis/Otonom.........110

5. Teori Kualifikasi Berdasarkan Tujuan HPI..................111

D. KUALIFIKASI MASALAH SUBSTANSIAL ATAU PROSEDURAL.................114

BAB V DOKTRIN TENTANG PENUMJUKAN KEMBALI (RENVOI)............121

A. PENGERTIAN RENVOI...........121

B. CONTOH-CONTOH KASUS SINGLE RENVOI.............125

v
1. The Forgo Case (1879)...........125

2. Kasus Patino vs Patino (1950)..........127

3. Kasus Harta Peninggalan Schneider (1950)........128

C THE FOREIGN COURT THEORY..........129

1. Re Annestey Case (1926)...........131

2. Kasus Re Duke of Wellington (1948)........133

D. PENGGUNAAN RENVOI DALAM HPI..............135

BAB VI KETERTIBAN UMUM, KAIDAH-KAIDAH HUKUM MEMAKSA,

DAN HAK-HAK YANG DIPEROLEH............137

A PENDAHULUAN................137

B. KONSEP KETERTIBAN UMUM DALAM HPI..................137

C. KONSEP KAIDAH HUKUM MEMAKSA (MANDATORY LAWS)................145

D. KONSEP HAK-HAK YANG DIPEROLEH (VESTED RIGHTS) DALAM HPI............150

E. BEBERAPA KESIMPULAN...............152

BAB VII PERSOALAN PENDAHULUAN DAN DÉPEÇAGE.....................153

A. PENGERTIAN...............153

B. CARA PENYELESAIAN..........155

C. CONTOH-CONTOH KASUS.......155

1. Re May's Estate (1953)........157

2. Perkara Schwebel Vs Ungar (1953)........160

3. Perkara Lawrence Vs Lawrence (1958)......161

4. R. vs Brentwood Marriage Registrar Case...........163

D. DEPEÇAGE..........165

BAB VIII PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM ACARA PERDATA INTERNASIONAL..............169

A. PENDAHULUAN..............169

vi
B. BEBERAPA PRINSIP HPL TENTANG DASAR PENETAPAN YURISDIKSI FORUM DALAM LITIGASI PERKARA
TRANS-NASIONAL..............173

C. PERSOALAN-PERSOALAN KHUSUS TENTANG YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL (EXTRATERRITORIAL


JURISDICTION).........................181

D. ELEMEN-ELEMEN YURISDIKSI FORUM DALAM HPI (PENJELASAN DAN KASUS KASUS)...............185

1. Prinsip Konstitutif untuk Klaim Yurisdiksi..............186

2. Beberapa Contoh Kasus............186

a. Kasus McGee vs International Life Insurance Co. (1957)................187

b. Perkins vs Benguet Consolidated Mining Co. (1952)..............187

3. Batas-Batas Kemungkinan Pelaksanaan Yurisdiksi.................188

4. Beberapa kasus yang menyangkut Purposeful Availment...............189

a. Kasus World Wide Volkswagen Corporation vs Woodson (1980)...........189

b. Kasus Helicopteros Nacionales de Colombia, S.A vs Hall (1984)................191

C. Kasus Asahi Metal Co. Ltd. vs Superior Court (1987).............192

E. TREN PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PERDATA INTERNASIONAL...............198

BAB IX TEORI-TEORI HPI MODERN.........207

A. POLA PERKEMBANGAN TEORI-TEORI MODERN.....................207

B. TEORI STATUTA MODERN......................208

C. TEORI HPI INTERNASIONAL...................209

D. TEORI TERITORIAL.....................210

E. TEORI HUKUM LOKAL (THE LOCAL LAW THEORY)..............212

F. TEORI ANALISIS KEPENTINGAN NEGARA (THE GOVERNMENTAL INTEREST ANALYSIS


THEORY)..........................214

G. BEBERAPA VARIAN TEORI ANALISIS KEBIJAKAN (POLICY ORIENTED THEORIES)........................225

1. Teori Lex Rori (Ehrenzeig)............225

2. Comparatne pairment Theory (William Baxter)............227

vii
3. Functional Analysis Theory...............229

4. Functional Analysis 2................231

H. PENDEKATAN THE SECOND RESTATEMENT ON CONFLICT

OF LAWS (THE MOST SIGNIFICANT RELATIONSHIP THEORY)....................232

I. TEORI CHOICE INFLUENCING CONSIDERATIONS...................248

J. TEORI KEADILAN (THE JUSTICE THEORY)...................253

BAB X ASAS ASAS UMUM HPI DALAM BIDANG-BIDANG HUKUM KEPERDATAAN........................255

A. PENDAHULUAN….....................255

B. ASAS-ASAS HPI TENTANG SUBJEK HUKUM........................259

1. Asas Nasionalitas (Kewarganegaraan).................260

2. Asas Domicile................261

3. Asas-asas untuk penentuan Status Badan Hukum..........262

a. Asas kewarganegaraan/domicile pemegang saham...............262

b. Asas centre of administration/business.............262

c. Asas place of incorporation...........263

d. Asas centre of exploitation.............263

C. ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM KELUARGA….................264

1. Pengertian Perkawinan Campuran.............265

2. validitas Esensial Perkawinan..............265

3. Validitas Formal Perkawinan .............266

4. Akibat-Akibat Perkawinan............266

5. Perceraian dan Akibat Perceraian............266

D. ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM BENDA................267

E. ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM PERJANJIAN..................269

1. Pendahuluan................269

viii
2. Pengertian The Proper Law of Contract..............271

3. Asas-asas dan Teori Teori Penentuan The Proper Law of Contract............271

a. Asas lex loci contractus..............272

b. Asas lex loci solutionis................272

c. Asas kebebasan para pihak (party autonomy....................273

4. Doktrin-Doktrin di dalam HPI Inggris.........275

5. Doktrin Doktrin dalam Conflict of Laws Amerika Serikat...................277

6. Die Charakteristische Leistung Theorie............279

F. ASAS ASAS HPI TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM (TORT/ONRECHTMATIGE


DAAD).................282

G. ASAS-ASAS HPI TENTANG HUKUM PEWARISAN.................285

BAB XI EKSISTENSI DAN PROSPEK HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DI MASA DEPAN................289

A. PENDAHULUAN.........289

B. HPI PADA DASARNYA BERSIFAT NASIONAL TERITORIALISTIK..............290

C.HARMONISASI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL..............293

D. HARMONISASI HUKUM DAN LEX MERCATORIA BARU-AWAL

PERGESERAN FUNGSI HPI?.............296

DAFTAR PUSTAKA................303

ix
x
ВАВ І

PENGERTIAN, POLA BERPIKIR YURIDIK, DAN

MASALAH-MASALAH POKOK

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

A. PENDAHULUAN

Dibandingkan dengan umumnya peristiwa hukum yang dihadapi orang dalam kehidupan sehari-hari,
baik di bidang-bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum bisnis,
maupun bidang-bidang hukum lain, semakin banyak dijumpai peristiwa-peristiwa hukum yang
menunjukkan adanya ciri khusus, yang membedakannya dari umumnya peristiwa-peristiwa hukum tadi.
Beberapa contoh sederhana di bawah ini dapat mengilustrasikan hal tersebut:

• Seorang warga negara Indonesia menikah dengan seorang warga negara Jepang. Pernikahan
dilangsungkan di Tokyo dan karena salah satu pihak ternyata masih terikat pada suatu perkawinan lain
yang sudah ada, pihak itu dianggap telah melakukan poligami, dan pihak yang lain mengajukan gugatan
perceraian di pengadilan Indonesia di Jakarta; atau

• Sebuah kontrak jual beli antara sebuah perusahaan ekspor Indonesia dan sebuah perusahaan importir
di negara bagian Florida, Amerika Serikat. Mengenai barang-barang yang harus diangkut dari Pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya ke Miami Florida. Perjanjian dibuat di Jakarta. Ketika barang siap dikirimkan,
ternyata importir tidak memenuhi janjinya untuk melakukan pembayaran pada waktunya. Eksportir
Indonesia kemudian berniat untuk mengajukan gugatan wanprestasi dan menuntut ganti rugi melalui
pengadilan di Kota Miami, Florida.

Bahkan, agak berbeda dari contoh-contoh di atas, orang dapat pula menghadapi peristiwa-peristiwa
hukum yang walaupun menunjukkan ciri yang sama, tetapi menunjukkan sifat-sifat yang khusus, seperti:

• Dalam rangka pemasaran sejumlah produk-produk elektronik dari Indonesia ke Korea Selatan,
eksportir Indonesia dan eksportir Korea Selatan telah membuat sebuah kontrak yang siap untuk
dilaksanakan. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata para pihak menghadapi hambatan karena adanya
peembatasan-pembatasan impor (bea masuk atau standar mutu) yang ditetapkan oleh pemerintah
Korea Selatan untuk Impor barang-barang elektronik. Timbul persoalan tentang sejauh mana kaidah-
kaidah hukum administrasi negara asing itu mengikat dan berlaku terhadap perjanjian-perjanjian
semacam itu.

Lebih jauh lagi, sering kali orang beranggapan bahwa mereka menghadapi sebuah kasus (intern)
domestik. Padahal, setelah analisis lebih jauh terhadap fakta-faktanya, ternyata terdapat unsur-unsur
yang menautkan perkara dengan tempat atau negara asing (ada foreign elements), misalnya:

1
• Seorang warga negara Indonesia memiliki sebuah usaha restoran yang sangat terkenal bernama
"Warung Pak Ober. Ciri khas dari restoran tersebut adalah menyajikan makanan khas dari Jawa Timur
dalam kemasan siap saji.

• Seorang warga negara Indonesia lainnya berniat untuk membuka restoran yang sama di Hong Kong.

• Mereka menyepakati suatu format kerja sama bisnis dalam bentuk "perjanjian waralaba" (franchise
agreement) dan menegosiasikan serta menyepakati perjanjian tersebut di Jakarta, wilayah pelaksanaan
perjanjian tersebut adalah di Hong Kong.

• Dalam perjanjian tersebut disebutkan dengan tegas bahwa "pihak franchisee dilarang untuk membuka
usaha sejenis atau usaha yang dapat menjadi kompetitor dari usaha tersebut selama pelaksanaan
perjanjian ini dan setidak-tidaknya hingga lima tahun setelah berakhirnya perjanjian ini" (klausula
nonkompetisi).

• Dalam pelaksanaan perjanjian tersebut, pihak franchisee kemudian membuka restoran lain yang
khusus menjual rawon (masakan khas Jawa Timur Juga).

• Franchisor menggugat franchisee dengan dasar bahwa franchisee telah melakukan wanprestasi karena
melanggar klausul non kompetisi tersebut. Franchisee menolak gugatan tersebut dengan alasan bahwa
noncompetition clouse yang termuat di dalam perjanjian franchise mereka adalah klausula yang dilarang
berdasarkan hukum Hong Kong.

• Timbul masalah, apakah pihak franchisor dapat menggugat franchise itu di pengadilan Indonesia
ataukah harus di pengadilan Hong Kong?

• Timbul pula masalah lain tentang apakah perjanjian yang dibuat di Indonesia oleh para warga negara
Indonesia itu harus tunduk dan diatur oleh hukum Indonesia ataukah akan terikat pada hukum yang
berlaku di Hong Kong?

Contoh-contoh tadi sekadar menggambarkan kenyataan bahwa sistem hukum atau aturan-aturan
hukum dari suatu negara berdaulat sering kali dihadapkan pada masalah-masalah hukum yang tidak
sepenuhnya bersifat intern-domestik dan sebaliknya menunjukkan adanya kaitan dengan unsur-unsur
asing (foreign elements). Hubungan/peristiwa hukum, baik di bidang hukum keperdataan maupun
nonkeperdataan yang mengandung unsur-unsur yang melampaui batas-batas teritorial negara atau
unsur-unsur transnasional itulah yang menjadi pusat perhatian bidang hukum yang dikenal dengan
sebutan hukum perdata internasional (selanjutnya disebut HPI). Jadi, Toreign elements" itu berarti titik-
titik pertautan (contacts) dengan satu atau lebih sistem hukum lain di luar sistem hukum negara "forum"
(negara tempat pengadilan yang mengadili perkara), dan pertautan itu sebenarnya ada di dalam fakta-
fakta dari perkara. Yang menjadi pertanyaan adalah jika HPI dianggap sebagai bidang hukum yang
mengatur juga masalah-masalah di luar hukum keperdataan, mengapa bidang hukum ini disebut sebagai
hukum perdata internasional? Sebenarnya penggunaan istilah "hukum perdata internasional dapat
ditelusuri balik ke sejarah perkembangan HPI di Eropa daratan dan di Indonesia orang berusaha

2
menerjemahkannya dari istilah-istilah yang berkembang di Eropa, seperti internationaal Privaatrecht
(Belanda), Internationales Privaatrecht (Jerman), Private International Law (Inggris), atau Droit
International Prive (Prancis). Istilah-istilah yang banyak berasal dari tradisi hukum Eropa Kontinental ini
kemudian diterjemahkan menjadi hukum perdata internasional. Dari pembahasan tentang sejarah
perkembangan HPI di beberapa bagian dari buku ini pembaca akan memperoleh gambaran mengapa
sejarah perkembangan HPI di Eropa daratan mendorong penggunaan sebutan HPI untuk bidang hukum
ini. Namun, ada pula ahli hukum yang berpendapat bahwa HPI (atau conflict of laws) adalah bagian dari
hukum perdata suatu negara. Prof. J.H.C. Morris (alm.) dan David McClean yang walaupun
menggunakan sebutan conflict of lawas, misalnya menyatakan bahwa: "The conflict of laws is that part
of the private law of a particular country which deals with Cases having a foreign element."

Walaupun tidak ada persoalan praksis yang timbul dari pengertian di atas, penulis perlu memberi
catatan terhadap pandangan Morris dan McClean itu. Ditinjau dari pola berpikir dan metode yang
digunakan untuk menegakkan kaidah-kaidah di dalamnya, HPI tidak dapat disetarakan dengan bidang-
bidang hukum perdata substantif yang dikenal secara tradisional, seperti hukum tentang orang,
keluarga, kekayaan, perikatan, atau waris. Alasan pertama, untuk catatan penulis adalah karena
persoalan-persoalan yang ditangani melalui HPI justru dapat merasuk ke setiap bidang hukum
keperdataan di atas. Alasan kedua, berbeda dari aturan-aturan hukum perdata substantif (materiil),
asas-asas dan aturan-aturan HPI-secara tradisional tidak dimaksudkan untuk memberikan jawaban
substansial atas persoalan-persoalan hukum yang dihadapinya, tetapi memberikan jalan untuk memilih
hukum internal mana yang seharusnya digunakan untuk memberikan jawaban substantif itu. Terlepas
dari catatan di atas, sistem-sistem hukum yang berkembang didalam tradisi hukum common law, seperti
Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Singapura, Malaysia, India, dan sebagainya sebenarnya
menggunakan sebutan lain yang mungkin lebih memadai, yaitu conflict of laws dengan asumsi bahwa
bidang hukum ini pada dasarnya berusaha menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang menyangkut
adanya conflict atau collision atau "perbenturan" antara dua atau lebih kaidah-kaidah hukum dari dua
atau lebih sistem hukum. Namun begitu, istilah conflict of laws ini pun tidak jarang digunakan untuk
mengartikan kaidah-kaidah hukum yang dibuat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
melibatkan dua aturan hukum yang berbeda atau dua sistem hukum yang berbeda, tanpa harus ada
unsur-unsur asing (foreign elements) atau cukup mengandung "unsur asing semu" dan tidak benar-
benar bersifat transnasional, misalnya, conflict of laws dalam pengertian yang dipahami di Amerika
Serikat yangtumbuh karena pertemuan antara dua atau lebih aturan hukum dari negara negara bagian
(interstate conflicts), Karena itu, penyetaraan HPI dengan conflict of laws tampaknya juga tidak terlalu
tepat karena bidang hukum yang disebut terakhir ini memiliki cakupan bidang yang lebih luas dari pada
HPI, dan dalam konteks teori dan hukum positif Indonesia berada dalam satu kelas dengan hukum
perselisihan. Dari uraian singkat di atas dapatlah dikatakan bahwa HPI lebih tepat dipahami sebagai
bidang hukum yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari hukum keperdataan. HPI tidak setara dengan
hukum perselisihan dan lebih baik dipahami sebagai bagian dari hukum perselisihan (a specific branch of
conflict of laws). Yang masih dapat dipertanyakan adalah apakah dengan sebutan "internasional" di
belakang istilah HPI, bidang hukum ini dapat dikategorikan sebagai bagian dari hukum internasional
(publik) ataukah sebagai bagian dari hukum nasional suatu negara? Dengan kata lain, apakah HPI adalah
3
bidang hukum yang bersumber pada sumber-sumber hukum internasional publik atau pada sumber-
sumber hukum nasional suatu negara? Jawabannya secara singkat adalah bahwa HPI pada dasarnya
merupakan bagian dari hukum nasional suatu negara dan bukan merupakan bagian dari hukum
internasional publik. Artinya:

• HPI merupakan salah satu subbidang hukum dalam sebuah sistem hukum nasional yang bersama-sama
dengan sub-subbidang hukum lain, seperti hukum keperdataan, hukum dagang, hukum pidana, dan
sebagainya membentuk suatu sistem hukum nasional yang utuh.

• Sistem hukum dari sebuah negara seharusnya diperlengkapi dengan suatu sistem HPI nasional yang
bersumber pada sumber-sumber hukum nasional, tetapi yang khusus dikembangkan untuk memberi
kemampuan pada sistem hukum itu untuk menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsur
asing.

E. Hambro' dalam kaitan ini mengatakan bahwa:

The rules (of private international law) may be common to several states, and may even be established
by international conventions or customs and in the latter case may possess the character of true
International law governing the relations between states. But opart from this, it has to be considered
that these rules form part of municpal law."

Dalam tulisan terkemuka lain, J.H.C. Morris menganggap bahwa kesalahpahaman mengenal sumber-
sumber HPI ini timbul karena penggunaan istilah private International law yang dapat menyesatkan.
Menurut Morris:

"This alternative title is potentially misleading, for the conflict of laws is not an International system of
law. Public International law is a single system seeking primarily to regulate relations between sovereign
states; In theory at any rate, It is the same everywhere. But rules of the conflict of laws differ from
country to country.

Prof. Mathijs H. ten Wolde, dalam bukunya Internationaal en Inter-Europees Privaatrecht' juga
menegaskan hal ini dan mengatakan:

"Alhoewel de naam anders doet vermoeden is internationaal privaatrecht nationaal recht leder land
heeft zijn eigen regels betreffende toepasselijke recht, Internationaal bevoegdheidsrecht en erkenning
en tenuitvoerlegging van buitenlandse rechterlijke beslissingen. Ieder land stelt zijn eigen ipr-regels op
vanuit eigen waarde en doelvoorstellingen, zijn eigen waarden en normen.

Memang harus diakui bahwa dewasa ini terdapat kecenderungan kuat secara internasional untuk
membangun dan menetapkan kaidah-kaidah atau asas-asas HPI melalui jalur dan mekanisme serta
menuangkannya dalam sumber-sumber hukum internasional publik (misalnya, melalui konvensi-
konvensi hukum internasional, model laws, supranational directives, dan sebagainya. Perkembangan ini
menjadi penting artinya untuk mengusahakan adanya keseragaman, unifikasi, dan harmonisasi kaidah-
kaidah HPI secara Internasional. Kaidah-kaidah atau asas-asas HPI yang dikembangkan melalui
4
perjanjian-perjanjian internasional antarnegara itu disebut "kaidah-kaidah HPI internasional", yang tetap
baru akan mengikat negara-negara apabila mereka meratifikasinya dan menjadikannya bagian dari
sistem hukum nasional mereka. Jadi, bahkan kaidah-kaidah HPI internasional semacam ini pun tetap
dapat dianggap sebagai sumber-sumber HPI nasional.

B. BEBERAPA DEFINISI DAN PENGERTIAN POKOK HPI

Untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai pengertian, ruang lingkup, serta persoalan-
persoalan utama yang diatur di dalam HPI, maka perlu diperhatikan beberapa batasan atau definisi HPI
yang dikemukakan oleh beberapa ahli di bawah ini:

Prof. R.H. Graveson

Prof. R.H. Graveson" berpendapat bahwa:

"The conflict of laws, or private international law, is that branch of law which deals with cases in which
some relevant fact has a connection with another system of law on either territorial or personal
grounds, and may, on that account, raise a question as to the application of one's own or the
appropriate alternative (usually foreign) law to the determination of the issue, or as to the exercise of
jurisdiction by one's own or foreign courts" (cetak tebal oleh penulis).

Pandangan Prof. Graveson ini kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai berikut: "Conflict of laws atau
hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang di
dalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukkan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain,
baik karena aspek teritorial maupun aspek subjek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan
tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya asing), atau masalah pelaksanaan
yurisdiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing."

Prof. van Brakel

Nederlands Internationaal Privaatrecht's berpandangan bahwa: Prof. van Brakel dalam bukunya
Grondslagen en Beginselen "Hukum perdata internasional adalah hukum nasional yang dibuat untuk
hubungan-hubungan hukum internasional."

Prof. G.C. Cheshire

Prof. G.C. Cheshire (Inggris), misalnya, beranggapan bahwa: "Private International law is that part of
English law which comes into element. It is only when this element is present that private International
operation whenever the court is faced with a claim that contains law has a function to perform."

Dalam tulisan yang sama Cheshire menyimpulkan bahwa: "Private International law, then is that part of
law which comes into play when the issue before the court affects some fact, event, or transaction that
is so closely connected with a foreign system of law as to necessitate recourse to that system.

Prof. Sudargo Gautama


5
Dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Prof. Sudargo Gautama
mendefinisikan HPI sebagai: keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel
hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau
peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik
pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda
dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi, dan soal-soal."

Prof. J.G. Sauveplanne

Prof. J.G. Sauveplanne" berpendapat bahwa: "Het i.p.r (internationaal privaatrecht-penulis) omvat het
samenstel van regels die privaatrechtelijke rechtsverhoudingen met internationale elementen
bestrijken, en met name rechtsverhoudingen die zodanig met vreemde landen zijn verbonden, dat de
vraag kan rijzen om het wel juist is hen zonder meer te onderwerpen aan het interne Nederlandse
recht."

Jadi, menurut Sauveplanne HPI adalah keseluruhan aturan yang mengatur hubungan hubungan hukum
perdata yang mengandung elemen-elemen internasional dan hubungan-hubungan hukum yang memiliki
kaitan dengan negara-negara asing sehingga dapat menimbulkan pertanyaan apakah penundukan
langsung ke arah hukum asing itu tanpa harus menundukkan diri pada hukum intern (Belanda). Dengan
mendasarkan diri pada pandangan Prof. van Brakel, Rene van Rooij, dan Maurice van Polak beranggapan
bahwa:

The hybrid nature of private international law, ... can hardly be described more accurately than in the
words of van Brakel: 'Private International Law is national law written for international situations'
Privote International Law is indeed, an amalgam of International and national elements, Its sources are
to be found on both an international and a national level; Its subject matter is always international."

Pandangan yang dikemukakan terakhir di atas juga menguatkan pendapat bahwa:

1. HPI adalah bagian dari hukum nasional ("... national law written for ...");

2. Walaupun dalam perkembangannya kaidah-kaidah HPI dapat dijumpai di dalam sumber-sumber


hukum nasional ataupun hukum internasional ("... both an international and a national level"); serta

3. HPI adalah bidang hukum yang masalah-masalah pokoknya selalu difokuskan pada persoalan-
persoalan yang bersifat transnasional atau melampaui batas-batas negara ("... its subject matter is
always international").

Prof. Sunaryati Hartono

Prof. Sunaryati Hartono berpandangan bahwa HPI mengatur setiap peristiwa/hubungan hukum yang
mengandung unsur asing, baik di bidang hukum publik maupun hukum privat. Karena inti dari HPI
adalah pergaulan hidup masyarakat internasional, maka HPI sebenarnyadapat disebut sebagai hukum
pergaulan internasional. Dengan adanya pandangan Prof. Sunaryati Hartono di atas, sebenarnya dapat

6
ditarik kesimpulan bahwa dalam pengertian modern HPI dapat dipahami dalam artinya yang luas
sebagai bidang hukum yang masalah-masalahnya tidak terbatas pada persoalan-persoatan di Bidang
hukum keperdataan saja, tetapi juga mencakup persoalan-persoalan hukum yang timbul sebagai akibat
dari berinteraksinya pelbagal bidang hukum (hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum
ekonomi, dan bahkan hukum internasional publik) di dalam persoalan-persoalan hukum yang timbul di
dalam masyarakat, sebagai akibat dari interaksi sosial yang semakin mengaburkan batas-batas teritorial
negara-negara. Terlepas dari perbedaan-perbedaan penekanan yang mungkin tampak dalam pendapat-
pendapat yang dikemukakan di atas, pada umumnya di terima pandangan bahwa:

Hukum perdata internasional adalah seperangkat kaidah-kaidah, asas-asas, dan atau aturan-aturan
hukum nasional yang dibuat untuk mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur
transnasional (atau unsur-unsur ekstrateritorial).

Sebagai suatu definisi kerja, maka pengertian HPI yang disebut terakhir iní kiranya dapat dijadikan
pegangan dalam memahami isi buku ini. Lebih jauh lagi dapat pula disepakati bahwa HPI selalu
mengandung unsur-unsur nasional dan transnasional dan masalah-masalah pokok yang dihadapinya
(subject matter) selalu bersifat transnasional.

Persoalan-persoalan HPl pada dasarnya muncul dalam perkara-perkara yang melibatkan lebih dari
satu_yurisdiksi hukum dan hukum intern dari negara negara berdaulat yang berbeda. HPI juga dapat
dipahami sebagai proses dan aturan-aturan yang digunakan oleh pengadilan sebuah negara untuk
menentukan hukum mana yang harus diberlakukan pada perkara sedang dihadapi. Terdapat pelbagai
metode dan cara pendekatan yang digunakan untuk menjawab persoalan tersebut walaupun banyak
banyak sistem hukum di dunia yang masih berpegang pada teori HPI tradisional yang berkembang dari
tradisi hukum Eropa Kontinenta, yang pada dasarnya akan mengisl bab-bab pertama buku ini.

Pengertian, Fala Herpistr Yurtolk, arn 1Assalah,ay

C, MANFAAT HPI DALAM PENYELESAIAN PERSOALAN-PERSOALAN HUKUM

Dengan definisi kerja seperti diatas ditambah dengan ilustrasi-ilustrasi perkara hukum yang
menggambarkan kinerja kaidah-kaidah HPI, maka seringkali timbul kesan umum bahwa HPl adalah
bidang hukum yang relevan dengan fungsi pengadilan (atau hakim) dalam penyelesaian sengketa-
sengketa yang melibatkan lebih dari satu sistem hukum. Walaupun pandangan semacam itu sama sekali
tidak keliru, sebenarnya pengetahuan dan keterampilan (knowledge and skills) HPI Juga sangat
bermanfaat dalam memenuhi berbagai kebutuhan lain di bldang hukum. Seorang ahli hukum yang
bergerak di pengembangan ilmu pengetahuan hukum sering kali harus menghadapi persoalan-persoalan
yang mau tidak mau harus diselesaikan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan HPI karena ia
dihadapkan pada situasi bertemunya dua atau lebih sistem hukum nasional dalam sebuah peristiwa
hukum. Sebuah lembaga legislasi nasional atau internasional, sebagai ilustrasi lain, yang memprakarsai
gerakan untuk mewujudkan unifikasi atau harmonisasi hukum secara internasional atau regional, tidak
jarang "terbentur" pada masalah-masalah yang hanya bisa diselesaikan dengan menunjuk pada sistem
atau prosedur HPI yang dikenal dalam hukum nasional. Masih contoh lain lagi, seorang penasihat hukum
7
(lawyer) yang harus membantu kliennya dalam penyusunan dan perancangan kontrak-kontrak bisnis
Internasional, selalu harus dapat menganjurkan kliennya untuk melakukan pilihan hukum yang akan
berlaku atas kontrak yang dibuatnya. Tindakan pilihan hukum semacam itu sering kali harus didukung
oleh pertimbangan-pertimbangan yang matang di bidang HPI, khususnya dalam mengupayakan
pemenuhan harapan-harapan yang sah dan keadilan bagi para klien. Lebih jauh lagi, dalam menata
pendapat-pendapat hukum (legal opinion) atau menyusun argumentasl hukum untuk diajukan di dalam
proses beperkara di pengadilan atau arbitrase, seorang penasihat hukum juga sering kali dituntut untuk
menggunakan pendekatan-pendekatan HPI tertentu yang sedemikian rupa diharapkan akan dapat
menempatkan kliennya dalam kedudukan yang menguntungkan atau lebih adil. Contoh-contoh di atas
belum menyentuh bidang hukum perorangan, keluarga, benda, dan pewarisan yang dewasa ini semakin
banyak memperlihatkan aspek-aspek transnasional.

Apabila secara teoretis ilmu pengetahuan HPI (the science of private international law) seakan-akan
menyajikan pelbagai teori dan atau metode pendekatan yang berbeda-beda untuk menjawab persoalan-
persoalan hukum perdata yang mengandung unsur asing, maka di dalam praktik teori-teori, doktrin-
doktrin, atau metode-metode itu sebenarnya tersedia untuk:

1. Dianut dan digunakan secara konsisten dan konsekuen di dalam sistem peraturan perundang-
undangan HPI suatu negara dan menjadi bagian dari hukum positif negara yang bersangkutan.

2. Dianut dan digunakan dengan mengombinasikannya di dalam suatu

argumentasi yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan demi tujuan

tertentu.

3. Dimanfaatkan secara bergantian, bergantung dari dorongan untuk memberikan keadilan dan
kewajaran dalam keputusan hukum yang hendak dibuat.

4. Dimodifikasi dan dikembangkan menjadi metode-metode pendekatan baru dan atau unik disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi-kondisi yang khusus.

Tidaklah mengherankan jika banyak pranata yang dikembangkan di dalam teori-teori dan pendekatan
HPI seakan-akan membuka kemungkinan bagi pengadilan atau siapa pun yang memanfaatkannya dalam
proses pengambilan keputusan hukum untuk "merekayasa" dan "mengarahkan penarikan kesimpulan-
kesimpulan hukum secara diskresioner. Tidak jarang bahwa di satu saat pengadilan menganut suatu
teori atau pendekatan tertentu. Namun, dalam perkembangannya berubah sikap dan mengganti pola
pendekatan yang digunakannya untuk menyelesaikan perkara-perkara HPI. Yang penting dalam kaitan
ini tentunya adalah nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi dalam penegakan hukumlah yang harus
mengendalikan perkembangan semacam itu. Artinya, nilai-nilai keadilan (justice), kewajaran

(reasonableness), kepastian hukum (legal certainty), serta tanggung jawab

8
profesional (professional responsibility) harus selalu menjadi dasar pemanfaatan HPI dalam aktivitas
pengambilan keputusan hukum sehari-hari. Sejalan dengan sikap itu, buku sederhana ini juga disajikan
sebagai buku pegangan yang sejauh mungkin bebas-nilai dan sejauh mana nilai-nilai nonyuridik akan
mewarnai penggunaan teori-teori dan doktrin-doktrin yang ada di dalamnya, sebaiknya diserahkan
kepada para dosen, mahasiswa,

praktisi, dan phak-pihak yang mungkin memperoleh manfaat dari buku ini.

D. POLA BERPIKIR YURIDIK HPI (DENGAN PENDEKATAN TRADISIONAL)

Agar para pembaca memperoleh gambaran yang lebih konkret mengenal bagaimana "logic dan
keruntutan berpikir HPI bekerja dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengandung
unsur asing, maka dalam paragraf ini akan digambarkan adanya empat langkah berpikir hukum utama
yang umumnya dijalani apabila orang hendak menyelesaikan persoalan-persoalan hukum semacam itu,
khususnya dalam menetapkan hukum apa yang harus diberlakukan untuk menyelesaikan perkara (di
bidang hukum keperdataan) yang mengandung unsur asing (menetapkan lex causae). Penggambaran
yang akan dilakukan di bawah ini mengaumsikan serangkaian "langkah-langkah dasar dalam proses
penyelesaian perkara HPI sederhana dan "normal" (tanpa komplikasi).

Perlu disadari pula bahwa ilustrasi di bawah ini dibuat dengan lebih banyak mendasarkan diri pada
pendekatan HPI tradisional yang berakar pada pola Savignian dan bahwa perbedaan pola pendekatan
atau teori yang digunakan dapat sedikit atau banyak berpengaruh terhadap alur logikal yang harus
dilalui dalam penyelesaian suatu perkara HPI. Pemaparan berikut ini hanya dimaksudkan agar pembaca
dapat memahami inti-inti persoalan yang hendak dijawab oleh HPI serta memberikan pandangan umum
(over-view) tentang cara bekerja HPI.

Langkah 1:

Hakim/forum menghadapi persoalan/perkara hukum yang berupa sekumpulan fakta hukum yang
mengandung unsur-unsur asing (foreign elements). Adanya unsur-unsur asing mengharuskan forum HPI
beserta segala konsekuensinya.

Pada tahap ini hakim menyadari bahwa fakta-fakta hukum di dalam perkara yang diajukan ke
hadapannya menunjukkan adanya keterkaitan (connections/aanknopings) perkara ini dengan tempat-
tempat atau wilayah yurisdiksi asing (di luar wilayah negara forum). Fakta-fakta ini dalam HPI disebut
sebagai titik-titik taut primer (primary points of contact). Titik-titik taut primer di dalam sekumpulan
fakta mengindikasikan bahwa forum menghadapi sebuah perkara HPI. Apabila sebuah forum
menghadapi suatu perkara HPI (atau "perkara yang menunjukkan pertautan dengan lebih dari satu
sistem hukum nasional dari negara-negara yang berbeda"), forum tidak dapat mengabaikan
kemungkinan-kemungkinan bahwa:

9
• Pengadilan asing tertentu (yang sistem hukumnya relevan dengan perkara) ternyata lebih berwenang
untuk memeriksa dan mengadili perkara atau bahkan forum sebenarnya tidak berwenang mengadili
perkara ini karena tidak adanya pertautan yang cukup dan signifikan (sufficient and significant contacts)
antara perkara dan forum.

• Lex fori“ bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan dalam penyelesaian
perkara yang bersangkutan. Artinya, ada kebutuhan untuk menentukan sistem hukum manakah
diantara sistem-sistem hukum yang relevan, yang seharusnya atau lebih tepat untuk diberlakukan dalam
penyelesaian perkara yang sedang dihadapi.

Karena itu, tindakan awal yang harus dijalani oleh sebuah forum dalam

menghadapi perkara HPI adalah:

Langkah 2:

Penentuan ada/tidaknya kompetensi/kewenangan yurisdiksional forum untuk memeriksa, mengadili,


dan memutus perkara yang bersangkutan.

Pada tahap ini sebagai akibat dari adanya unsur-unsur atau fakta-fakta asing dalam perkara hakim harus
menetapkan terlebih dahulu apakah forum memiliki kewenangan yurisdiksional (jurisdictional
competence) untuk memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Untuk menentukan
hal ini, hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah dan asas-asas hukum acara perdata internasional
yang berlaku dan merupakan bagian dari sistem HPI lex fori. Dalam konteks ini HPI berfungsi dalam
menetapkan asas-asas dan/atau persyaratan-persyaratan berdasarkan mana pengadilan sebuah negara
menetapkan ada atau tidaknya kompetensi sebuah forum untuk mengklaim yurisdiksi atas perkara yang
bersangkutan. Dalam ilmu HPI berkembang pelbagai asas hukum acara yang berkenaan dengan masalah
ini. Ukuran apa yang digunakan oleh sebuah pengadilan dalam menetapkan kewenangan yurisdiksional
ini akan bergantung dari aturan-aturan hukum acara (perdata internasional) negara itu.

Langkah 3:

Menentukan sistem hukum intern negara mana/apa yang harus diberlakukan untuk menyelesaikan
perkara/menjawab persoalan hukum yang mengandung unsur-unsur asing itu (menentukan lex causae
bagi perkara yang bersangkutan).

Jika perkara jelas merupakan sebuah persoalan HPI dan pengadilan telah menetapkan kewenangan
yurisdiksionalnya untuk mengadili perkara, persoalan berikutnya adalah proses apa yang harus dijalani
hakim untuk menentukan hukum yang berlaku atas perkara yang bersangkutan (lex causae)?

Pada tahap inilah sebenarnya di dalam HPI telah dikembangkan pelbagai doktrin, asas, ataupun metode
pendekatan yang dalam buku ini disebut dengan teori-teori HPI yang akan dibahas pada bab-bab
selanjutnya. Berdasarkan teori HPI tradisional, pada tahap ini pengadilan akan berupaya menetapkan
titik taut sekunder dari antara berbagai fakta hukum yang ada di dalam perkara, yang bersifat

10
menentukan dan yang harus digunakan sebagai indikator yang akan mengarahkan hakim ke arah lex
cause. Titik taut sekunder ini harus ditemukan di dalam kaidah/aturan/asas HPI (choice of law rule atau
conflict rule) yang tepat dan relevan untuk digunakan pada pokok perkara yang sedang dihadapi. Kaidah
atau asas HPI yang dimaksud di sini tentunya adalah kaidah/aturan/asas HPI yang berlaku di dalam
sistem hukum pengadilan yang bersangkutan (lex fori).

Sangat mungkin bahwa hakim menghadapi kenyataan bahwa pada tahap ini ia akan berurusan dengan
sekumpulan kaidah/aturan/asas HPI yang beraneka ragam dan berlaku dalam pelbagai bidang hukum
dan untuk pelbagai kategori perkara," Pada tahap inilah hakim harus dapat menentukan satu kaidah HPI
penentu yang relevan dan tepat untuk menunjuk ke arah sistem hukum yang seharusnya diberlakukan
dalam perkara/persoalan hukum yang sedang dihadapinya. Karena itu, upaya menemukan kaidah HPI
lex fori yang tepat ini hakim perlu melibatkan diri pada beberapa subaktivitas atau langkah-langkah,
yaitu:

a. Mencari dan menemukan kaidah HPI yang tepat melalui tindakan kualifikasi fakta dan kualifikasi
hukum.

Untuk dapat menetapkan kaidah HPI yang tepat di antara pelbagai kaidah HPI di dalam lex fori, hakim
harus terlebih dahulu menentukan kategori yuridik dari sekumpulan fakta yang dihadapinya sebagai
perkara hukum. Hal ini dilakukan dengan menyimpulkan dan mendefinisikan sekumpulan fakta yang
dihadapi ke dalam satu atau lebih persoalan hukum. Misalnya, sebagai perkara tentang penetapan
status anak, tentang hak dan kedudukan ahli waris dalam proses pewarisan testamenter, tentang
timbulnya situasi ingkar janji/wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian, tentang keabsahan
pembentukan kontrak, tentang kedudukan istri atas harta perkawinan, dan sebagainya. Upaya di atas
disebut tindakan kualifikasi fakta yang pada dasarnya merupakan upaya mendeskripsikan inti dari
sekumpulan fakta yang dihadapi sebagai perkara hukum dan menentukan kualifikasi hukum dari pokok
perkara berdasarkan kategori yuridik yang dikenal hakim (biasanya berdasarkan pembidangan hukum
yang dikenal di dalam lex fori). Di dalam HPI, khususnya dalam pendekatan tradisional, persoalan
kualifikasi ini menjadi lebih kompleks ketimbang persalan kualifikasi

dalam persoalan-persoalan hukum yang sepenuhnya bersifat domestik, karena hakim dapat
menghadapi pelbagai sistem hukum yang memiliki sistem kualifikasinya masing-masing. Hasil dari proses
kualifikasi ini adalah bahwa hakim dapat menentukan kategori perkara, pokok persoalan hukum (legal
issue), atau pokok perkara yang sedang dihadapi.

Contoh: Hakim Indonesia mengualifikasikan sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara dan
berdasarkan kualifikasi hukum yang dikenal di dalam hukum Indonesia (lex fori), perkara, anggap saja,
harus dikualifikasikan sebagai perkara tentang "gugatan wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian".

b. Menentukan kaidah HPI lex fori yang relevan dalam rangka penunjukan ke arah lex causae.

11
Setelah hakim menetapkan kategori yuridik dari perkara yang dihadapinya melalui tindakan kualifikasi,
hakim kini dapat menetapkan kaidah HPI di antara kaidah-kaidah HPI yang dikenal dan berlaku didalam
lex fori yang tepat untuk digunakannya dalam rangka penunjukan ke arah lex causae.

Contoh: Sejalan dengan contoh pada butir a di atas, anggap saja kaidah HPI yang harus digunakan adalah
"kaidah HPI lex fori tentang pelaksanaan perjanjian"

Seperti umumnya rumusan kaidah atau asas HPI, maka kaidah ini akan merupakan kaidah penunjuk yang
akan memuat titik taut sekunder yang menunjuk ke tempat yang sistem hukumnya harus digunakan
dalam menyelesaikan perkara. Kaidah HPI semacam ini disebut sebagai choice of law rule atau kaidah
kolisi (kollisionsnorm).

Contoh: Kaidah HPi lex fori tentang pelaksanaan perjanjian, misalnya, dirumuskan sebagai berikut:

"Jika forum menghadapi masalah-masalah hukum yang timbul dari pelaksanaan suatu perjanjian (ini
adalah kategori perkara hasil kualifikasi), maka hukum yang harus diberlakukan adalah hukum dari
tempat di mana perjanjian itu dilaksanakan" (ini adalah titik taut

sekunder yang harus digunakan).

c. Memeriksa kembali fakta-fakta dalam perkara dan menentukan sistern hukum mana atau negara apa
yang seharusnya diberlakukan sebagai lex causae.

Setelah titik taut sekunder yang harus digunakan dapat diketahui di dalam kaidah HPI di atas, hakim mau
tidak mau harus memeriksa kembali fakta-fakta perkara (terutama titik-titik tautnya) dan menemukan
fakta apa di dalam perkara yang mengindikasikan titik taut sekunder yang secara faktual menunjuk ke
arah lex causae sesuai kaidah HPI yang bersangkutan.

Contoh: Sejalan dengan contoh pada butir-butir sebelumnya, anggap saja hakim harus menemukan
fakta tentang di mana tempat pelaksanaan perjanjian sebagai titik taut sekunder yang dimaksud dalam
perkara yang sedang dihadapi. Jika fakta itu telah ditemukan, hakim dapat tiba pada kesimpulan bahwa
dari tempat/negara yang ditunjuk kaidah HPI itulah yang harus diberlakukan sebagai lex causae.

Contoh: Andaikan fakta dalam perkara menunjukkan bahwa tempat pelaksanaan perjanjian ternyata
adalah, misalnya, di Jepang, hukum Jepanglah yang harus dianggap sebagai lex causae. Artinya, kaidah-
kaidah hukum perdata intern Jepanglah yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara hukum yang
sedang dihadapi.

Langkah 4:

Menyelesaikan perkara dengan menggunakan/memberlakukan kaidah-kaidah hukum intern dari lex


causae.

12
Dengan ditetapkannya lex causae sebenarnya tugas HPI pada dasarnya telah selesai dan hakim akan
menyelesaikan perkara dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum intern dari lex causae itu yang
dianggap sesuai untuk perkara yang bersangkutan.

Contoh: Hakim akan memutus perkara tentang wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian dalam contoh
di atas dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum di dalam KUHPerdata Jepang.

Uraian ini menggambarkan proses penyelesaian perkara HPI secara "straight forward" dan tidak
memperhitungkan kemungkinan adanya penyulit-penyulit (komplikasi) sebagai akibat dari tindakan-
tindakan atau situasi-situasi yang khas dalam perkara. Misalnya, hakim menjalankan proses renvoi, atau
hakim menghadapi incidental question, atau hakim ingin mengesampingkan berlakunya hukum asing
dan ingin memberlakukan hukumnya sendiri karena alasan "ketertiban umum" atau melalui kualifikasi
persoalan hukum yang dihadapinya sebagai persoalan hukum acara (procedural issue).

E. MASALAH-MASALAH POKOK HPI

Perkembangan HPI sebenarnya didasarkan atas kenyataan adanya koeksistensi dari pelbagai sistem
hukum negara-negara di dunia yang sederajat kedudukannya. Pergaulan internasional menyebabkan
bertemunya sistem-sistem hukum ini dalam hubungan-hubungan hukum antara warga dari dua negara
atau lebih. Setiap pembuat hukum di suatu negara nasional pada kondisi yang ada di negaranya. Akan
tetapi, seperti telah disinggung sebelumnya, interaksi transnasional sering kali menyebabkan terjadinya
peristiwa-peristiwa hukum yang menunjukkan adanya keterkaitan antara peristiwa dengan lebih dari
satu sistem hukum atau kaidah hukum negara-negara yang berbeda. Jika kenyataan ini dikaitkan dengan
HPI, orang dapat menyimpulkan bahwa ada persoalan-persoalan khas yang dapat dianggap sebagai
masalah-masalah pokok HPI, yaitu:

1. Hakim atau Badan Peradilan Manakah yang Berwenang Menyelesaikan Perkara-perkara Hukum yang
Mengandung Unsur Asing.

Prof. Graveson mengatakan bahwa asas-asas HPI berusaha membentuk aturan-aturan (rules) yang dapat
digunakan, antara lain, untuk menjustifikasi secara internasional mengenai kewenangan yurisdiksional
suatu pengadilan untuk mengadili perkara-perkara tertentu apa pun (choice of jurisdiction). Masalah
pokok ini mewujudkan diri menjadi topik permasalahan khusus dalam HPI yang mungkin dapat dianggap
sebagai "hukum acara perdata internasional" Prof. Cheshire menyatakan bahwa fungsi pertama HPI
adalah: "To prescribe the conditions under which the court is competent to entertain such claim.

2. Hukum Manakah yang Harus Diberlakukan untuk Mengatur dan/atau Menyelesaikan Persoalan-
persoalan Hukum yang Mengandung Unsur Asing.

Masalah choice of law atau pemilihan hukum yang seharusnya berlaku ini, pada dasarnya merupakan
masalah utama HPI dan mengambil porsi terbesar dalam perkembangan teori dan doktrin HPI di
pelbagai bidang hukum. Setelah sebuah forum menetapkan keabsahan kedudukan yurisdiksionalnya,
pertanyaan berikutnya yang umumnya timbul dalam perkara-perkara HPI adalah sistem hukum

13
manakah yang akan dipilih dan diterapkan oleh pengadilan itu untuk menyelesaikan perkara seadil
mungkin? Graveson mengingatkan bahwa dalam menjawab pertanyaan ini kaidah HPI tidak berusaha
menentukan aturan hukum intern yang mana dari suatu sistem hukum yang akan digunakan untuk
memutus perkara, tetapi hanya membantu pengadilan dalam menentukan sistem hukum mana yang
seharusnya diberlakukan (the appropriate legal system). Prof. Cheshire menyatakan: "To determine for
each class of case the particular municipal system of Law by reference to which the rights of the parties
must be ascertained.

3. Bilamana/Sejauh Mana Suatu Pengadilan harus Memerhatikan dan Mengakui Putusan-Putusan


Hukum Asing atau Mengakui Hak-Hak yang Terbit Berdasarkan Hukum atau Putusan Pengadilan Asing.

Masalah pokok ketiga ini berkaitan erat dengan persoalan: apakah pengadilan asing memiliki
kewenangan yurisdiksional untuk memutus suatu perkara atau tidak (masalah pokok). Setelah
pengadilan menyatakan dirinya berwenang untuk mengadili perkara, HPI pada umumnya akan berfungsi
untuk menentukan hukum apa yang berlaku. Namun, jika berdasarkan pendekatan HPI ternyata hukum
asing

yang seharusnya diberlakukan atau hak-hak asing yang harus ditegakkan

dalam putusan perkara tetap masih menjadi masalah, apakah pengadilan suatu negara selalu harus
mengakui dan memberlakukan hukum atau hak asing itu di dalam wilayah yurisdiksinya. Selain itu,

apabila forum suatu negara telah memutuskan suatu perkara yang

mengandung elemen-elemen asing, masih dapat menjadi pertanyaan: apakah putusan pengadilan ini
harus dianggap mengikat dan dapat dilaksanakan di luar wilayah yurisdiksi pengadilan yang
bersangkutan? Ada atau tidakkah dasar bagi suatu negara untuk menolak

atau membenarkan penerimaan/pengakuan hukum atau hak atau putusan hukum asing itu. Hal-hal
inilah yang menjadi salah satu pokok

masalah dalam HPI, yang singkatnya sering kali disebut masalah

pengakuan dan pelaksanaan putusan hukum asing (recognition and enforcement of foreign
judgements). Prof. Cheshire mendeskripsikan masalah ketiga ini dengan membedakan lebih lanjut
sebagai berikut:

to specify the circumstances in which (a) a foreign judgement can be recognised as decisive of the
question in dispute; and (b) the right vested the judgement creditor by a foreign judgement can be
enforced by action in England.

Pendek kata, persoalan pokok HPI ketiga memasalahkan apakah pengadilan suatu negara mengakui
penetapan hak dan kewajiban yang telah dibuat di dalam putusan sebuah pengadilan asing

14
(recognition), dan/atau memastikan bahwa pihak yang dikalahkan dalam putusan pengadilan asing akan
mematuhi dan melaksanakan perintah yang dijatuhkan di dalam putusan pengadilan asing itu.

Dari uraian di atas, secara umum dapat disimpulkan dari pandangan Prof. Friedrich K. Juenger yang
merumuskan masalah-masalah pokok HPI secara padat sebagai berikut: "The conflict of laws comprises
three distinct but interrelated subjects: jurisdiction, choice of law, and judgments recognition. This
tripartite division reflects the questions facing counsel dealing with transactions that transcend the
forum's boundaries: Where, in the event of a dispute, should an action be brought; what law can the
tribunal in which it is liti gated be expected to apply; and will the tribunal's decision be respected in
other fora?" Atau untuk konteks buku kecil ini secara bebas dapat diterjemahkan sebagai berikut:

"Hukum perdata internasional terdiri atas tiga masalah yang berbeda-beda, namun terkait satu sama
lain: yurisdiksi, pilihan hukum, dan pengakuan putusan-putusan hukum. Pembedaan ke dalam tiga
bagian ini mencerminkan persoalan-persoalan yang dihadapi seorang penasihat hukum yang
menghadapi transaksi-transaksi yang melampaui batas-batas yuridiksi pengadilan dalam hal terjadinya
sengketa, di manakah gugatan hukum harus diajukan, hukum apa yang akan diberlakukan oleh
pengadilan di tempat perkara diajukan, dan apakah putusan perkara yang dijatuhkan oleh pengadilan
tersebut akan dihormati di forum-forum pengadilan lain?"

BAB II

SEJARAH UMUM PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL TRADISIONAL

A. PENDAHULUAN

HPI dapat dianggap sebagai bidang hukum yang dinamis dan selalu berkembang menyesuaikan diri pada
perkembangan perkembangan kebutuhan di dalam masyarakat modern. Namun begitu, adalah kurang
tepat apabila orang beranggapan bahwa HPI adalah sebuah bidang hukum baru yang tumbuh di abad
ke-20. Asas-asas dan pola berpikir HPI sudah dapat dijumpai dan tumbuh di dalam pergaulan
masyarakat sekurang-kurangnya sejak masa Kekaisaran Romawi (abad ke-2 SM-ke-6 M), seiring dengan
pertumbuhan peradaban Barat (Western civilization) di Eropa daratan.

Bab ini akan memberikan gambaran sekilas perkembangan HPI di dalam konteks perkembangan
peradaban dan hukum Barat (Western civilization), yang pada dasarnya membentuk apa yang dewasa ini
disebut pendekatan HPI tradisional. Para pengguna buku ini diharapkan dapat memperoleh gambaran
sekilas tentang titik-titik penting dalam sejarah perkembangan HPI tradisional, yang ditandai oleh

15
tumbuhnya pola-pola berpikir yang menggunakan titik tolak yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara
umum perlu disinggung terlebih dahulu beberapa penggolongan model pendekatan HPI (PIL approach
models) yang dikenal di dalam ilmu HPI yang pada gilirannya melahirkan berbagai teori HPI dengan
ukuran-ukuran yang berbeda, tetapi yang pada titik-titik tertentu dapat menjadi jumbuh satu sama lain.

B. MODEL-MODEL PENDEKATAN DALAM HPI

1. Pendekatan Berdasarkan Tujuan HPI

Ada dua jenis model pendekatan HPI ditinjau dari anggapan dasar tentang tujuan HPI yang berbeda,
yaitu yang melihat:

a. HPI yang bertujuan mewujudkan keadilan dalam perselisihan hukum (Conflict justice atau conflictual
justice)

Kelompok ini menghimpun teori-teori dan doktrin-doktrin HPI lebih mementingkan keseragaman pola
penyelesaian perkara-perkara HPI dalam bidang-bidang hukum tertentu, di mana pun dan berdasarkan
hukum apa pun perkara diselesaikan (decisional harmony), karena itu, kelompok teori ini memusatkan
perhatiannya pada pengembangan asas-asas HPI yang cenderung bersifat tetap dan kaku (hard and fast
rules) yang dapat diterapkan pada setiap perkara hukum yang sejenis.

b. HPI yang bertujuan mewujudkan keadilan substansial dalam setiap perkara (substantive justice)

Di dalam kelompok yang kedua ini berhimpun teori-teori HPI yang lebih mengutamakan pengupayaan
keadilan substansial dalam setiap perkara yang dihadapi dengan memerhatikan keadaan-keadaan
khusus yang melingkupi perkara yang sedang dihadapi. Teori-teori dalam kelompok ini menganjurkan
metode yang harus digunakan untuk menemukan dan menetapkan aturan hukum substansial
(substantive rule/hukum materiil) mana di antara aturan-aturan yang berhadapan dalam perkara
tertentu yang lebih relevan untuk diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Relevansi ditentukan oleh
sejauh mana aturan tersebut dapat memberikan penyelesaian yang paling adil dalam perkara yang
bersangkutan.

2. Pendekatan Berdasarkan Hasil yang Dicapai dari proses HPI

Hampir sejalan dengan pembedaan pada butir 1. di atas, adakalanya orang membedakan kelompok
pendekatan HPI dilihat dari sifat dan fungsi metodologi HPI dalam menghasilkanpenetapan tentang
hukum yang hendak diberlakukan dalam penyelesaian perkara-perkara yang mengandung unsur asing.
Berdasarkan ukuran ini orang membedakan antara:

a. Pendekatan HPI yang berfungsi menetapkan sistem hukum yang seharusnya berlaku atas semua
persoalan hukum yang dapat timbul dari sebuah perkara HPI (jurisdiction-selecting approaches) dan

16
b. Pendekatan HPI yang berfungsi memilih dan menetapkan aturan hukum lokal yang harus
diberlakukan atas masalah hukum (legal issue) tertentu yang terbit dari sebuah perkara HPI tertentu
(rule-selecting approaches). Jurisdiction-selecting approaches yang tumbuh di dalam tradisi hukum
Eropa Kontinental umumnya dianggap sebagai metode HPI yang bertujuan mencapai conflict Justice.
Sedangkan rule-selecting approaches tumbuh di dalam tradisi hukum Amerika Utara (AS) yang
perkembangan HPI-nya berakar pada metode penyelesaian persoalan-persoalan hukum antarnegara
bagian (Interstate conflicts).

3. Pendekatan Berdasarkan Metodologi Penetapan Hukum yang Harus Diberlakukan

Cara lain yang digunakan untuk membedakan teori-teori dan pendekatan yang berkembang dalam
sejarah pertumbuhan HPI adalah dengan mengklasifikasikan teori-teori HPI secara fundamental ke
dalam:

a. Pendekatan lex fori

Yang menganggap bahwa pengadilan yang mengadili perkaralah yang akan memberlakukan hukumnya
sendiri untuk memutus perkara yang dihadapinya.

b. Pendekatan multilateralism

Yang bertitik tolak dari prinsip bahwa pengadilan harus bersikap netral dan menetapkan terlebih dahulu
tempat kedudukan dari hubungan hukum yang menjadi perkara dengan bantuan titik-titik taut. Apabila
tempat kedudukan itu telah dapat ditetapkan, hukum dari tempat itulah yang harus digunakan untuk
menyelesaikan semua persoalan hukum yang timbul dari hubungan hukum yang bersangkutan. Jadi,
pendekatan ini selalu bersifat "jurisdiction selecting"

c. Pendekatan unilateralism

Yang beranggapan bahwa forum harus menentukan aturan hukum mana di antara aturan-aturan hukum
yang relevan (baik dari lex fori maupun hukum asing) yang akan diberlakukan untuk menyelesaikan
persoalan hukum tertentu yang timbul dalam suatu hubungan hukum. Pengadilan sebenarnya
menentukan sejauh mana hukumnya sendiri dapat diberlakukan dalam menyelesaikan perkara dan/atau
alasan-alasanapa yang dapat menjadi dasar pembenar untuk mengesampingkan lex fori dan
memberlakukan hukum asing

d. Pendekatan hukum substantif

Yang cenderung menyelesaikan persoalan-persoalan HPI dengan menggunakan asas-asas atau aturan-
aturan hukum substantir (hukum materiil yang diterima dan diakui secara internasional.

e. Pendekatan eklektik (eclecticism)

Yang menurut Prof. Juonger menggambarkan kecenderungan untuk mengakomodasi semua pendekatan
yang berbeda-beda itu dan mengombinasikannya dalam penetapan hukum atau aturan hukum yang
17
seharusnya berlaku dalam penyelesaian suatu perkara. Secara kasuistik, elemen-elemen yang
diunggulkan oleh masing-masing pendekatan terdahulu itu dapat digunakan untuk menetapkan
hukum/aturan hukum yang akan diberlakukan, bergantung dari pertimbangan-pertimbangan yang khas
yang terbit dari kondisi dan situasi setiap perkara.'

C. SEJARAH UMUM PERKEMBANGAN HPI TRADISIONAL

Terlepas dari perbedaan model-model pendekatan tersebut di atas, bab ini akan meninjau secara umum
pertumbuhan HPI, khususnya di Eropa daratan sampai dengan abad ke-19 yang dianggap sebagai masa
di mana pendekatan tradisional HPI (the traditional approach) mencapai puncak pertumbuhannya dan
mewarnai pola penyelesaian perkara-perkara HPI di Eropa daratan dan juga di Inggris sampai dengan
saat ini. Bahkan, dalam perkembangan praktik penyelesaian perkara-perkara conflict of laws di Amerika
Serikat yang dianggap sebagai pusat perkembangan "revolusi HPI", orang masih dapat menjumpai
pengadilan-pengadilan negara bagian yang masih dapat menjumpai pengadilan-pengadilan negara
bagian yang masih merasa "comfortable" dengan menggunakan pendekatan tradisional ini. Dari tinjauan
sejarah berikut ini pembaca akan memperoleh gambaran tentang pola penyelesaian perkara-perkara
HPL di pelbagai periode waktumulai abad ke-2 SM di masa Kekaisaran Romawi sampai dengan
perkembangan pendekatan HPI Universal di Jerman (yang ditokohi oleh Friedrich Carl von Savigny) di
abad ke-19 di Eropa daratan. Dari bab ini pembaca diharapkan dapat juga memperoleh gambaran
tentang asas-asas dan doktrin-doktrin utama HPI yang banyak berpengaruh dan masih digunakan orang
dalam penyelesaian perkara-perkara HPI dalam arti modern (perkara-perkara yang mengandung foreign
elements) berikut modifikasi-modifikasi yang diwujudkan dalam teori-teori modern HPI (lihat Bab IX
buku ini).

1. Masa Kekaisaran Romawi (Abad Ke-2 SM-6 M)

Masa Kekaisaran Romawi dapat dianggap sebagai awal perkembangan hukum perdata internasional
walaupun kenyataan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa hukum yang diaturnya masih
sangat jauh dari pengertian "peristiwa HPI" dalam arti yang modern. Pada masa ini pola hubungan
internasional dalam wujudnya yang sederhana sudah mulai tampak dengan adanya hubungan hubungan
antara:

a. Warga (cives) Romawi dan penduduk provinsi-provinsi atau Municipia (untuk wilayah di Italia, kecuali
Roma) yang menjadi bagian dari wilayah kekaisaran karena pendudukan. Penduduk asli provinsi-provinsi
ini dianggap sebagai orang asing dan ditundukkan pada hukum mereka sendiri.

b. Penduduk provinsi atau orang asing yang berhubungan satu sama lain di dalam wilayah Kekaisaran
Romawi sehingga masing-masing pihak dapat dianggap sebagai subjek hukum dari beberapa yurisdiksi
yang berbeda.

Sejalan dengan itu, timbul pula masalah tentang hukum apa yang harus diberlakukan untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dari hubungan-hubungan hukum itu. Untuk

18
menyelesaikan sengketa-sengketa semacam itu dibentuk suatu peradilan khusus yang disebut praetor
peregrinis.

Hukum yang diberlakukan oleh para hakim praetor peregrinis ini pada dasarnya adalah hukum yang
dibuat untuk para cives Romawi, yaitu lus civile, tetapi yang telah disesuaikan untuk kebutuhan
pergaulan "antarbangsa" ini. Ius civile yang telah diadaptasikan untuk penyelesaian perkara-perkara
yang melibatkan orang-orang yang tunduk pada yurisdiksi hukum yang berbeda-beda (khususnya
penduduk kota-kota di provinsi dan dan di municipia) yang kemudian berkembang menjadi ius gentium.
Tidak banyak informasi tentang cara forum ini menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsur
asing itu.

Seperti lus civile, maka lus gentium juga memuat kaidah-kaidah hukum yang dapat dikategorikan ke
dalam lus privatum (yang mengatur persoalan persoalan hukum orang perorangan) dan ius publicum
(yang mengatur persoalan-persoalan kewenangan negara sebagai kekuasaan publik). Bagian dari lus
gentium yang termasuk ius privatumlah yang menjadi cikal bakal dari HPI yang berkembang di dalam
tradisi hukum Eropa Kontinental. Sedangkan bagian lus publicum dari lus gentium berkembang menjadi
sekumpulan asas dan kaldah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara Kekaisaran
Romawi dan negara-negara lain (cikal bakal hukum internasional publikk).

Prinsip-prinsip hukum yang dapat dianggap sebagai prinsip HPI di masa ini umumnya dilandasi asas
teritorial, dalam arti bahwa untuk perkara-perkara yang menyangkut warga-warga provinsi (yang
dianggap "orang asing" itu akan ditundukkan pada ius gentium sebagai bagian dari hukum kekaisaran
dan tidak berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum provinsi tempat para pihak berkediaman. Beberapa
asas HPI yang bertumbuh dan berkembang pada menjadi asas penting dalam HPI modern adalah:

a. Asas lex rei sitae (lex situs)

Yang berarti perkara-perkara yang menyangkut benda-benda tidak bergerak (Immovables/onroerend


goederen) tunduk pada hukum dari tempat di mana benda itu berada/terletak Penerapan asas ini hanya
pada benda-benda tetap saja sebenarnya tumbuh karena semakin tingginya kemungkinan mobilitas
benda-benda tertentu yang di masa modern ini dianggap sebagai benda bergerak
(movables/roerendgoederen) sehingga menjadi tidak wajar lagi jika status benda-benda bergerak juga
digantungkan pada tempat benda-benda itu terletak. Oleh karena itu, status benda-benda yang dewasa
ini dianggap benda bergerak akan ditentukan dengan mendasarkan diri pada hukum personal dari orang
atau subjek hukum yang menguasai benda itu.

b. Asas fex domicili

Yang menetapkan bahwa hak dan kewajiban perorangan harus diatur oleh hukum dari tempat
seseorang berkediaman tetap. Yang menjadi persoalan, dalam hukum Romawi kedudukan seseorang
dapat dikaitkan dengan dua titik taut, yaitu kewargaan (origo) yang dapat ditentukan karena tempat
orang tua (ayah atau ibu), adopsi, penerimaan atau pemilihan, atau domicil adalah komunitas yang telah
dipilih seseorang sebagai tempat kediaman tetap. Perbedaan titik taut ini menyebabkan adanya

19
persoalan tentang hukum mana yang harus digunakan. Hukum origo atau domicil? Dalam
perkembangannya lex domicili ini menunjuk ke arah tempat kediaman tetap (permanent residence),
tempat kediaman sehari-hari (habitual residence), untuk korporasi/badan hukum menunjuk ke arah
tempat usaha (place of business) korporasi atau badan hukum yang bersangkutan. Pada abad ke-19,
sejalan dengan berkembangnya konsep negara nasional (national states), asas ini memperoleh saingan
baru yaitu asas kewarganegaraan (lex patriae) yang sampai sekarang banyak mendasari sistem HPI di
Eropa kontinental dan bekas negara-negara jajahannya.

c. Asas lex loci contractus

Yang menetapkan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian (yang melibatkan pihak-pihak warga dari
provinsi yang berbeda) berlaku dari tempat pembuatan perjanjian. Asas ini memiliki peran yang sangat
penting sampai pada abad ke-20 dalam menyelesaikan persoalan-persoalan HPI di bidang kontrak.
Namun, dengan semakin tumbuhnya teknologi di bidang komunikasi dan transportasi, semakin besar di
mana pihak-pihak dalam kontrak berhubungan satu sama lain di mana tempat pembuatan/penutupan
kontrak menjadi tidak relevan. Dalam perkembangan ini, asas HPI penting, yang menjadi lebih berperan
adalah asas lex loci solutionis yang menunjuk ke arah hukum dari tempat pelaksanaan kontrak (place of
performance).

2. Masa Pertumbuhan Asas Personal HPI (Abad Ke-6-10)

Pada akhir abad ke-6 Kekaisaran Romawi ditaklukkan oleh bangsa-bangsa "barbar" dari wilayah-wilayah
bekas provinsi-provinsi jajahan Romawi. Wilayah bekas jajahan Kekaisaran Romawi itu kemudian
diduduki oleh pelbagai suku bangsa, yang satu sama lain dibedakan secara genealogis dan bukan
teritorial. Di masa ini kedudukan ius civile menjadi kurang penting dan masing-masing suku bangsa itu
kembali memberlakukan kaidah-kaidah hukurn adat, hukum personal, hukum keluarga, serta hukum
agama mereka (tribal laws atau systems of personal laws) di dalam wilayah yang mereka duduki.

Persoalan yang agak mendekati masalah HPI baru muncul pada saat timbul perkara-perkara yang
menyangkut dua atau lebih suku bangsa. Biasanya dalam menyelesaikan sengketa-sengketa semacam
itu ditetapkan terlebih dahulu sistem-sistem hukum adat manakah yang relevan dengan perkara dan
kemudian baru dipilih hukum mana yang harus diberlakukan dalam penyelesaian sengketa. Pada masa
ini pun tidak jelas bagaimana perkara-perkara semacam itu diselesaikan. Namun demikian, tumbuh
beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar asas genealogis, yaitu:

a. Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian sengketa hukum, hukum yang
digunakan adalah hukum dari pihak tergugat. Walaupun tidak lagi dipengaruhi oleh prinsip genealogis,
asas ini masih memiliki arti penting dewasa ini, sebagai asas hukum acara (perdata internasional) yang
dikenal sebagai asas actor sequituur forum rei.

b. Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seorang harus dilakukan berdasarkan hukum
personal dari masing-masing pihak.

20
c. Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris.

d. Peralihan hak milik atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum personal pihak transferor.

e. Penyelesaian perkara tentang perbuatan melawan hukum harus dilakukan berdasarkan hukum
personal dari pihak pelalui perbuatan yang melanggar hukum.

f. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak suami.

Dalam perkembangan HPI dewasa ini, perlu disadari bahwa pengertian "hukum personal sebagai titik
taut sekunder mengalami perkembangan makna yang berbeda-beda. Pelbagai sistem hukum memahami
"hukum personal sebagai hukum dari tempat kediaman tetap (domicile) atau tempat kediaman sehari-
hari (habitual residence). Sistem hukum lain membatasi pengertian hukum personal sebagai hukum
kewarganegaraan seseorang (lex patriae). Dengan perkataan lain, asas-asas HPI yang berkembang pada
masa ini, sekarang masih digunakan orang, tetapi dengan pemaknaan yang diwarnai asas teritorial
(kecuali asas yang menunjuk ke arah "hukum pihak suami" yang semakin kehilangan makna di tengah
perkembangan idea tentang persamaan gender.

3. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad ke-11-12 di Italia)

Setelah melalui masa tiga ratusan tahun, pertumbuhan asas personal-genealogis semakin sulit untuk
dipertahankan mengingat terjadinya transformasi struktur masyarakat yang semakin condong ke arah
masyarakat teritorialistik (keterikatan atas dasar wilayah yang sama) di seluruh wilayah Eropa. Namun
demikian, di dua kawasan di Eropa tumbuh perbedaan yangcukup mencolok dalam proses transformasi
yang sama itu, yakni:

a. Pertumbuhan di Eropa Utara

Di kawasan ini (sekarang Jerman, Prancis, dan Inggris) tata susunan masyarakat genealogis ini
bertransformasi menjadi masyarakat teritorialistik melalui tumbuhnya kelompok-kelompok masyarakat
feodalistik. Unit-unit masyarakat yang berada di bawah keluasaan feodal (tuan-tuan tanah) cenderung
memberlakukan hukum mereka secara eksklusif terhadap siapa pun yang berada di dalam teritori
mereka. Dengan kata lain, di dalam suasana feodalistik seperti ini, tidak ada pengakuan terhadap hak
hak asing dan bahkan penguasa setempat dapat mengabaikan atau mencabut hak-hak yang sebenarnya
sudah melekat pada seseorang berdasarkan kaidah hukum asing. Dalam situasi seperti ini, tidak ada
perkembangan HPI yang berarti di kawasan ini sampai dengan abad ke 16.

b. Pertumbuhan di Eropa Selatan

Transformasi dari asas personal genealogis ke arah masyarakat teritorialistik juga terjadi di kawasan
Eropa bagian selatan. Transformasi ini juga disebabkan oleh pertumbuhan kota-kota perdagangan di
Italia. Dasar ikatan antarmanusia di kawasan ini tidak lagi karena ikatan personal genealogis dan juga
tidak karena kekuasaan seorang penguasa feodal tertentu, tetapi karena tempat kediaman di kota yang
sama.

21
Kota-kota yang dimaksud di sini adalah

• Kota-kota perdagangan, seperti Milan, Florence, Venetia, Bologna, Padua, Genoa, dan sebagainya yang
merupakan pusat-pusat perdagangan

• Dapat dianggap sebagai kota-kota yang otonom dengan batas-batas wilayah yang tertentu; dan

• Dengan sistem hukum lokalnya sendiri yang berbeda dari kota-kota dan juga berbeda dari hukum
Romawi yang berlaku secara umum di seluruh Italia,

Keanekaragaman (diversity) sistem sistem hukum lokal kota-kota ini (municipal (aws), didukung dengan
intensitas perdagangan antarkota yang sangat tinggi, sering kali menimbulkan persoalan tentang
pengakuan (recognition) terhadap hukum dan hak-hak asing (kota lain) di dalam wilayah suatu kota, dan
dalam suasana inilah asas-asas hukum yang digunakan untuk menjawab perkara-perkara hukum
perselisihan antarkota inilah yang dapat dianggap sebagai pemicu tumbuhnya teori HPI yang penting,
yang dikenal dengan sebutan teori statuta diabad ke-13-15.4.

4. Perkembangan Teori Statuta

a. Perkembangan teori statuta di Italia (abad ke-13-15)

Dengan semakin meningkatnya intensitas perdagangan antarkota di Italia, ternyata asas teritorial (dalam
arti keterikatan karena tempat tinggal di wilayah suatu kota tertentu) perlu ditinjau kembali.

Misalnya: Seorang warga Kota Bologna yang berada di Forence dan mengadakan perjanjian jual beli di
Florence. Karena berdasarkan prinsip teritorial selama ia berada di kota Florence ia harus tunduk pada
kewenangan hakum Kota Florence, maka dapat timbul persoalan-persoalan, seperti:

• Sejauh manakah putusan hukum atau hakim Bologna memiliki daya

berlaku di kota Florence?

• Sejauh manakah perjanjian jual beli itu dapat dilaksanakan di wilayah Bologna

Persoalan-persoalan semacam inilah yang mendorong para ahli hukum Italia, khususnya yang disebut
kelompok post-glassator untuk mencari asas-asas hukum yang dianggap lebih adil, watar (fair and
reason byable), dan ilmiah untuk menyelesaikan konflik-konflik semacam itu.

1. Dasar-dasar teori statuta

Tumbuhnya teori statuta Italia sebenarnya dipicu oleh sebuah gagasan yang dikemukakan oleh seorang
tokoh post-glossators, yaitu Accursius (1228) yang mengajukan asas sebagai berikut: Bila seseorang yang
berasal dari suatu kota tertentu di Italia digugat di sebuah kota lain, ia tidak dapat dituntut berdasarkan
hukum dari kota lain itu karena ia bukan subjek hulum dari kota lain itu."

22
Juga, ketika para ahli hukum Italia dihadapkan pada pertanyaan yang bersifat transnasional, yaitu
apakah hak untuk mewaris dari seorang Inggris atas sebidang tanah yang terletak di Italia harus tunduk
pada hukum Inggris tentang hak waris atas tanah, maka pertanyaan-pertanyaan lain yang justru muncul
darinya adalah:

• Apakah hukum Inggris tentang hak seseorang untuk menerima waris atas tanah itu mengatur tentang
benda (property) atau mengatur tentang orangnya?

• Apabila hukum Inggris itu mengatur tentang orang, ia dapat diberlakukan atas pewarisan sebidang
tanah yang ada di Italia, tetapi apabila ia mengatur tentang benda, apakah hukum Inggris itu dapat
diberlakukan atas tanah yang terletak di Italia?

Persoalan quaestio anglica inilah yang kemudian menarik perhatian dan penelitian lebih lanjut oleh
Bartolus de Sassoferato (1315-1357) yang kemudian menjadi sangat terkenal sebagai pencetus teori
statuta. Karena teorinya dianggap sebagai teori pertama yang mendekati persoalan-persoalan hukum
perselisihan secara metodik dan sistematik, maka di dalam sejarah perkembangan HPI (Eropa
Kontinental), Bartolus sering kali dijuluki Bapak HPI. Upaya yang dilakukan oleh Bartolus sebenarnya
dapat diringkas menjadi sebagai berikut:

a). Bartolus berupaya mengembangkan asas-asas yang dapat digunakan secara praktis untuk
menentukan wilayah berlaku dari setiap aturan hukum (statuta) yang berlaku di sebuah kota di Italia.

b). Upaya itu dilakukannya dengan pertama-tama mencoba membuat klasifikasi tentang jenis-jenis
hubungan atau persoalan hukum apa saja yang mungkin dimasukkan ke dalam lingkup berlaku statuta-
statuta sebuah kota.

c) Berdasarkan klasifikasi itu, ia kemudian menyimpulkan pertanyaan-pertanyaan, apakah statuta dari


sebuah kota di italia:

(1) Dapat diberlakukan juga bagi orang-orang yang bulan warga kota yang bersangkutan (bagi ornng
asing)?

(2) Dapat memiliki daya berlaku juga di luar wilayah kota yang bersangkutan tempat ia diterbitkan (sifat
ekstrateritorialitas)?

Persoalan-persoalan inilah yang sebenarnya hendak dijawab oleh teori statuta Italia dan dimaksudkan
sebagai cara praktis penyelesaian perkara-perkara yang menyangkut lebih dari satu kota di Italia. Dari
pengamatan Bartolus terhadap statuta statuta di kota-kota di Italia, ia kemudian berKesimpulan bahwa:

a). Ditinjau dari hal yang menjadi obiek pengaturannya, statuta-statuta suatu kota dapat diklasifikasikan
ke dalam dun (atau tiga) kelompok/jenis statuta, yaitu:

(1) Statuta-statuta yang berkenaan dengan kedudukan hukum atau status personal orang yang
kemudian dinamalan STATUTA PERSONALIA.

23
(2) Statuta-statuta yang berkenaan dengan status benda yang dinamakan STATUTA REALIA.

(3) Statuta-statuta yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum yang kemudian disebut
STATUTA MIXTA.

b). Setiap jenis statuta itu dapat ditentukan lingkup atau wilayah berlakunya secara pasti, yaitu:

(1) Statuta personalia

Statuta personalia objek pengaturannya adalah orang dan status orang (subjek hukum) dalam
persoalan-persoalan hukum yang menyangkut pribadi dan keluarga. Statuta ini memiliki lingkup berlaku
yang bersifat ekstrateritorial karena ada kemungkinan untuk berlaku di luar wilayah penguasa kota yang
memberlakukannya. Namun, statuta personalia hanya berlaku terhadap warga kota yang berkediaman
tetap di wilayah kota yang bersangkutan dan terhadap mereka statuta ini akan tetap melekat dan
berlaku di mana pun mereka berada atau kemana pun mereka pergi.

(2) Statuta realia

Statuta realia objek pengaturannya adalah benda dan status hukum dari benda. Jenis statuta ini pada
dasarnya berlaku atas dasar prinsip teritorial, artinya ia hanya berlaku di dalam wilayah kekuasaan
penguasa kota yang memberlakukannya. Namun, statuta ini akan tetap berlaku terhadap siapa saja
(warga kota ataupun pendatang/orang asing) yang berbeda di dalam teritorial kota yang bersangkutan.

(3) Statuta mixta

Statuta mixta adalah statuta-statuta yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum oleh subjek
hukum atau perbuatan-perbuatan hukum oleh benda-benda. termasuk dalam kategori ini adalah
statuta-statuta yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum. Kekuatan berlaku statuta ini
dilandasi prinsip teritorial. Artinya ia juga berlaku atas semua perbuatan hukum yang terjadi atau
dilangsungkan di dalam wilayah penguasa kota yang memberlakukan statuta ini. Seperti statuta realia
walaupun ia hanya berlaku di dalam teritorial kota yang bersangkutan, berlaku terhadap siapa saja
(warga kota ataupun pendatang/orang asing) yang melakukan perbuatan hukum (atau perbuatan
melawan hukum) di dalam wilayah kota yang bersangkutan.

2. Penggunaan teori statuta dalam HPI modern

Pada masa modern ini, seandainya orang menggunakan teori statuta Italia sebagai pedoman dalam
menyelesaikan perkara-perkara HPI (perkara yang melibatkan sistem hukum dari dua negara atau lebih),
tampak adanya modifikasi-modifikasi sebagai berikut:

a) Pembedaan ke dalam personalia, realia, dan mixta tidak lagi dilihat sebagai aturan-aturan hukum
yang diberlakukan dalam sebuah kota, tetapi sebagai kategori untuk mengualifikasikan pokok perkara
yang sedang dihadapi dan kemudian digunakan sebagai titik tolak untuk menentukan lex causae.

24
Jadi, hakim akan menentukan, apakah pokok perkara legal Issue) yang sedang dihadapinya adalah
perkara yang menyangkut:

• Status benda (perkara realia); atau

• Status orang/badan hukum/subjek hukum (perkara personalia): atau

• Status perbuatan-perbuatan hukum (perkara mixta).

b) Dalam menentukan lex causae, maka jika perkara dikualifikasikan sebagai perkara tentang:

• Status benda

Maka hukum yang harus diberlakukan sebagai lex causae adalah hukum dari tempat di mana benda
terletak/berada (lex situs) karena hukum dari tempat inilah yang paling relevan untuk digunakan. Dalam
perkembangan HPI, pendekatan realia ini hanya cocok untuk digunakan dalam perkara-perkara yang
menyangkut benda tetap (immovables), sedangkan untuk benda-benda bergerak (movables) digunakan
asas HPI lain, yaitu mobilia sequntuur personam (status benda bergerak mengikuti status personal orang
yang menguasai bendanya).

• Status orang/badan hukum

Maka hukum yang harus menjadi lex causae adalah hukum dari tempat di mana orang atau subjek
hukum itu berkediaman tetap (lex domicilii) atau berkewarganegaraan/lex patriae karena sistem hukum
dari tempat itulah yang dianggap paling "melekat" pada orang atau badan hukum tersebut.

Jadi, hakim akan menentukan, apakah pokok perkara legal Issue) yang sedang dihadapinya adalah
perkara yang menyangkut:

• Status benda (perkara realia); atau

• Status orang/badan hukum/subjek hukum (perkara personalia): atau

• Status perbuatan-perbuatan hukum (perkara mixta).

b) Dalam menentukan lex causae, maka jika perkara dikualifikasikan sebagai perkara tentang:

• Status benda

Maka hukum yang harus diberlakukan sebagai lex causae adalah hukum dari tempat di mana benda
terletak/berada (lex situs) karena hukum dari tempat inilah yang paling relevan untuk digunakan

Dalam perkembangan HPI, pendekatan realia ini hanya cocok untuk digunakan dalam perkara-perkara
yang menyangkut benda tetap (immovables), sedangkan untuk benda-benda bergerak (movables)
digunakan asas HPI lain, yaitu mobilia sequntuur personam (status benda bergerak mengikuti status
personal orang yang menguasai bendanya).

25
• Status orang/badan hukum

Maka hukum yang harus menjadi lex causae adalah hukum dari tempat di mana orang atau subjek
hukum itu berkediaman tetap (lex domicilii) atau berkewarganegaraan/lex patriae karena sistem hukum
dari tempat itulah yang dianggap paling "melekat" pada orang atau badan hukum tersebut.

• Status perbuatan-perbuatan hukum

Maka hukum yang harus diberlakukan sebagai lex causae adalah hukum dari tempat di mana perbuatan
hukum itu dijalankan (lex loci actus) dan hal ini berlaku, baik untuk perbuatan-perbuatan yang tidak
melanggar hukum maupun yang melanggar hukum (torts, onrechtmatige daad).

Contoh-contoh: A berasal dari Kota Milan. Berdasarkan statuta Milan melakukan transaksi jual beli
dengan B, seorang warga Kota Venetia. Objek jual beli adalah sebidang tanah di Kota Roma. Apabila
timbul perkara tentang status pemilikan tanah di Roma tersebut, sebagai perkara realla, perkara ini
harus diselesaikan berdasarkan hukum tanah Roma.

• C adalah warga yang berkediaman tetap di negara bagian New York, AS. Di New York, C dianggap
sebagai orang yang sudah mampu melakukan perbuatan hukum secara mandiri. Namun, di negara
bagian California, karena kaidah-kaidah hukum yang berbeda, C akan dianggap belum mampu
melakukan perbuatan hukum sendiri. Apabila masalah ini diperkarakan di pengadilan California, sebagai
perkara personalia, status personal si C harus ditentukan berdasarkan hukum New York sebagai lex
domicilli si C

• D adalah warga negara Indonesia. Ketika ia berada di Prancis, la telah melakukan perbuatan yang
merugikan E-seorang warga Prancis dan E kemudian menuntut ganti rugi dari D di pengadilan Prancis.
Dalam hal ini, sebagai perkara mixta, pengadilan Prancis akan menetapkan apakah D telah melakukan
perbuatan melawan hukum dan E berhak atas ganti rugi, berdasarkan hukum Prancis sebagai hukum
dari tempat di mana perbuatan dilaksanakan.

Klasifikasi aturan-aturan hukum ke dalam jenis-jenis statuta seperti yang dilakukan oleh Bartolus dalam
teori statuta Italia pada dasarya dimaksudkan untuk menyediakan jalan keluar yang sederhana dan
efektif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum antarkota (atau perkara HPI di masa modern).
Akan tetapi, upaya untuk menetapkan dengan tegas kaidah-kaidah apa yang harus diklasifikasikan ke
dalam kaidah-kaidah realia, personalia, atau mixta ternyata tidak selalu mudah dilaksanakan. Misalnya,
apabila orang dihadapkan pada kaidah (atau perkara) tentang kemampuan hukum seseorang untuk
mengalihkan hak milik atas tanah. Apakah hal ini harus dikualifikasikan sebagai statuta (atau perkara)
personalia atau realia? Contoh lain, jika orang menghadapi statuta (atau perkara) tentang perbuatan
melawan hukum yang sasarannya adalah suatu benda tetap. Apakah statuta (atau perkara) ini akan
dianggap sebagai perkara realia (dan berlaku lex situs) atau sebagai perkara mixta (dan berlaku lex loci
actus)?

26
Gartolus menjawab kritik-kritik semacam ini dengan menggunakan penafsiran gramatikal sebagai
berikut: Suatu statuta adalah realia jika rumusan statuta itu diawali dengan istilah benda terlebih
dahulu; demikian pula suatu statuta adalah personalia, jika perumusannya diawali dengan penyebutan
tentang orang atau subjek hukumnya terlebih dahulu.

b. Perkembangan teori statuta di Prancis ke-16

1). Situasi kenegaraan di Prancis abad ke-16

Struktur kenegaraan Prancis pada abad ke-16 sebelum revolusi Prancis mendorong orang untuk
mempelajari hukum perselisihan secara intensif. Provinsi-provinsi di Prancis, yang dari segi
ketatanegaraan merupakan bagian dari negara Prancis, ternyata secara de facto merupakan wilayah-
wilayah yang berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan yang mengingatkan orang pada
perkembangan kota-kota di Italia beberapa abad sebelumnya. Kenyataan menunjukkan bahwa:

• Masing-masing provinsi memiliki sistem hukum Lokalnya sendiri (coutume). Jadi, yang dimaksud
dengan statuta di sini adalah hukum lokal dari provinsi-provinsi.

• Meningkatnya aktivitas perdagangan antarprovinsi di Prancis mengakibatkan bertemunya kaidah-


kaidah hukum pelbagai provinsi dalam konflik-konflik hukum antarprovinsi.

2) Cara penyelesaian

Para ahli hukum Prancis berusaha mendalami dan memodifikasi teori statuta Italia dan menerapkannya
dalam konflik antarprovinsi di Prancis beberapa tokoh yang dikenal sebagai tokoh teori statuta Prancis
adalah:

• Dumoulin (1500-1566)

• D'Argentre (1523-1603)

Pandangan dan modifikasi kedua ahli tersebut terhadap teori statuta Italia tampak sebagai berikut:

Pendapat Dumoulin

Pandangan Dumoulin ini tumbuh di masa Renaissance di Eropa, di mana kebebasan individual menjadi
inti dari kehidupan manusia di segala bidang. Kebebasan individu ini juga merasuk ke dalam pemikiran-
pemikiran tentang hukum, khususnya di bidang hukum perjanjian. Prinsip kebebasan berkontrak
(freedom of contract contractsvrijheid yang merupakan salah satu tiang utama dalam hukum perjanjian
modern juga mulai diintrodusir pada masa ini. Menurut Dumoulin dalam konteks penetapan hukum
yang harus berlaku atas suatu perjanjian, kebebasan individu ini juga dicerminkan dalam kebebasan para
pihak untuk memilih dan menentukan hukumyang berlaku atas kontrak mereka. Apabila berdasarkan
teori statuta dikemukakan oleh Bartolus di Italia, Statuta yang menyangkut perjanjian/kontrak
dikategorikan sebagai bagian dari statuta realia atau (atau statuta mixta menurut murid-murid Bartolus),
menurut Dumoulin:
27
a) Pihak-pihak (subjek hukum) dalam perjanjian pada dasarnya memiliki kebebasan berkontrak.

b) Kebebasan berkontrak, antara lain, diwujudkan juga dalam kebebasan untuk memilih hukum apa
yang hendak mereka berlakukan dalam kontrak mereka.

c) Jadi kebebasan orang untuk memilih hukum yang berlaku atas perjanjian sebenarnya mirip dengan
persoalan status personal seseorang.

d) Sebagai persoalan status personal, maka kebebasan ini akan melekat terus pada diri orang-orang yang
akan menjadi pihak-pihak dalam perjanjian dimana pun mereka berada dan membuat perjanjian.

e) Karena itu, perjanjian seyogianya masuk dalam lingkup STATUTA PERSONALIA dan memiliki sifat
ekstrateritorial

f) Jadi, Dumoulin sebenarnya memperluas ruang lingkup statuta personalia Bartolus dan memasukkan
perjanjian ke dalamnya.

Pandangan Dumoulin ini penting artinya dalam perkembangan HPI, khususnya dalam mengintrodusir
lembaga pilihan hukum (choice of law) dalam perjanjian perjanjian perdata internasional sebagai wujud
dari penerapan prinsip kebebasan berkontrak dalam konteks penentuan hukum yang seharusnya
diberlakukan dalam perjanjian-perjanjian semacam itu. Asas yang memberikan kebebasan bagi para
pihak dalam kontrak untuk memilih hukum yang berlaku atas kontrak mereka merupakan salah satu
asas utama dalam hukum kontrak internasional modern. Namun demikian, kebebasan pilihan hukum ini
dalam perkembangannya bukan lagi merupakan kebebasan mutlak, melainkan kebebasan yang terbatas.

Pendapat D'Argentre

a) D'Argentre mengakui bahwa ada beberapa statuta yang benar-benar mengatur tentang kecakapan
seseorang secara yuridis dan masuk ke dalam statuta personalia, tetapi

b) Banyak statuta yang mengatur kedudukan orang (personalia), tetapi dalam kaitannya dengan hak
milik orang itu atas suatu benda (realia); atau

c) Banyak statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum realia atau mixta), tetapi yang dilakukan
di wilayah provinsi tertentu;

d) Statuta-statuta semacam itu ((b) dan c)) harus dikategorikan sebagai statuta realia karena isinya
berkaitan erat dengan wilayah provinsi dari penguasa yang memberlakukan statuta itu;

e) Dalam kaitan itu yang harus diutamakan adalah otonomi dari provinsi-provinsi (di Prancis) dan bukan
otonomi subjek hukum (seperti kata Dumoulin) sehingga

28
f) Yang dikehendaki oleh D'Argentre sebenarnya adalah memperluas ruang lingkup statuta realia dan
memasukkan perjanjian-perjanjian dan perbuatan-perbuatan hukum lain ke dalam lingkup statuta
realia.

С. Perkembangan teori statuta di Belanda (abad ke-17)

Tokoh-tokoh teori statuta Belanda adalah:

• Ulrik Huber (1636–1694)

• Johannes Voet (1647-1714)

Prinsip dasar yang dijadikan titik tolak dalam teori statuta Belanda adalah kedaulatan eksklusif negara.
Jadi, statuta yang dimaksud adalah hukum suatu negara yang berlaku di dalam teritorial suatu negara.

Pandangan Ulrik Huber

Untuk menyelesaikan perkara HPI, Ulrik Huber berpandangan bahwa orang harus bertitik tolak dari tiga
prinsip dasar, yaitu bahwa:

1) Hukum suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial negara itu.

2) Semua orang/subjek hukum yang secara tetap atau sementara berada di dalam teritorial wilayah
suatu negara berdaulat:

• Merupakan subjek hukum dari negara tersebut, dan

• Tunduk serta terikat pada hukum negara tersebut.

3) Namun, berdasarkan prinsip sopan santun antarnegara (comitas

gentium), hukum yang harus berlaku di negara asalnya tetap memiliki kekuatan berlaku di mana-mana,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberi pengakuan.

Selanjutnya, untuk menyelesaikan perkara-perkara HPI, maka ketiga prinsip di atas harus ditafsirkan
dengan memerhatikan dua prinsip lain, yaitu bahwa suatu perbuatan hukum yang dilakukan di suatu
tempat tertentu dan:

• Dianggap sebagai perbuatan hukum yang sah menurut hukum setempat, harus diakui/dianggap sah
juga di negara lain, (termasuk di negara forum) meskipun hukum negara lain itu menganggap perbuatan
semacam itu batal atau

• Dianggap sebagai perbuatan hukum yang batal menurut hukum setempat, akan dianggap batal di
mana pun termasuk di dalam wilayah negara forum.

Jadi, dalam HPI, menurut Huber:

29
• Setiap negara memiliki kedaulatan sehingga negara memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan
kaidah-kaidah HPI-nya, tetapi

• Dalam kenyataan, negara-negara itu tidak dapat bertindak secara bebas, dalam arti bahwa
berdasarkan asas comitas gentium negara itu harus mengakui pelaksanaan suatu hak yang telah
diperoleh secara sah di negara lain.

Pandangan Johannes Voet

Johannes Voet menegaskan kembali ajaran comitas gentium dengan menjelaskan sebagai berikut:

1) Pemberlakuan hukum asing di suatu negara bukan merupakan kewajiban hukum internasional
(publik) atau karena sifat hubungan HPInуа.

2) Suatu negara asing tidak dapat menuntut pengakuan/pemberlakuan

kaidah hukumnya di dalam wilayah hukum suatu negara lain.

3) Karena itu, pengakuan atas berlakunya suatu hukum asing hanya dilakukan demi sopan santun
pergaulan antarnegara (comitas gentium).

4) Namun demikian, asas comitas gentium ini harus ditaati oleh setiap negara dan asas ini harus
dianggap sebagai bagian dari sistem hukum nasional negara itu.

Salah satu asas HPI yang menjadi penting artinya bagi penganut teori statuta Belanda (teori comitas
gentium) adalah asas locus regit actum, yang sebenarnya sudah dikenal di masa glossators di Italia, yang
menyatakan "bahwa tempat di mana perbuatan dilakukan akan menentukan bentuk hukum dari
perbuatan itu."

5. Teori HPI Universal (Abad Ke-19)

Tokoh pencetus teori ini adalah Friedrich Carl v. Savigny di Jerman. Pekerjaan besar Savigny
mengembangkan teori ini, sebenarnya merupakan reaksi atas pola berpikir statuta Italia yang dianggap
memiliki banyak kelemahan. Pemikiran Savigny juga berkembang setelah didahului oleh pemikiran ahli
hukum Jerman lain, yaitu C.G. von Wächter.

Pandangan C.G. Von Wächter

Von Wächter mengkritik teori statuta (Italia) yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum. la
menolak adanya sifat ekstrateritorial dari suatu aturan (seperti statuta personalia) karena adanya aturan
seperti itu akan menyebabkan timbulnya kewajiban hukum di negara asing.

Wachter berasumsi bahwa: Hukum intern forum hanya dibuat untuk dan hanya dapat diterapkan pada
kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu, dalam perkara-perkara HPI, forumlah yang harus menyediakan
kaidah-kaidah HPI (choice of low rules) atau yang menentukan hukum apa yang harus berlaku.

30
Elemen penting dari pemikiran von Wachter di atas adalah bahwa ia berusaha meninggalkan Klasifikasi
ala teori statuta dan memusatkan perhatiannya pada penetapan hukum yang seharusnya berlaku
terhadap hubungan hukum (legal relationship) tertentu. Untuk itu, titik tolak penentuan adalah hukum
dari tempat yang merupakan LEGAL SEAT (tempat kedudukan)hukum yang seharusnya diberlakukan
dalam sebuah perkara HPI sebenarnya dari dimulainya suatu hubungan hukum tertentu. Selanjutnya,
harus dipahami bahwa perkara-perkara HPI, sebagai suatu hubungan hukum, mulai ada sejak perkara itu
diajukan di suatu forum tertentu. Karena itu, forum pengadilan itulah yang harus dianggap sebagai
tempat kedudukan hukum (legal seat) perkara yang bersangkutan.

Karena forum merupakan "legal seat" dari suatu perkara HPI, maka lex forilah yang harus diberlakukan
sebagai hukum yang berwenang menentukan hukum apa yang dapat berlaku dalam perkara HPI. Sikap
ini dianggap terlalu melebih-lebihkan fungsi forum (dan lex fori) dalam menyelesaikan perkara HPI.

Pandangan F.C. von Savigny

a. Savigny mencoba menggunakan konsepsi "legal seat" itu dengan berasumsi bahwa untuk setiap jenis
hubungan hukum dapat ditentukan legal seat/tempat kedudukan hukumnya", dengan melihat pada
hakikat dari hubungan hukum tersebut.

b. Jika orang hendak menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara yang
terbit dari suatu hubungan hukum, hakim berkewajiban untuk menentukan tempat kedudukan
hukum/legal seat dari hubungan hukum itu.

c. Berbeda dari pandangan von Wachter yang serta-merta menganggap bahwa legal seat sebuah perkara
HPI adalah tempat pengadilan dimana perkara diajukan (forum), maka Savigny beranggapan bahwa legal
seat itu harus ditetapkan terlebih dahulu dan caranya adalah dengan melokalisasi tempat kedudukan
hukum dari hubungan hukum itu melalui bantuan titik-titik taut (connecting factors). Menetapkan legal
seat dari setiap peristiwa hukum yang mengandung unsur asing merupakan tugas HPI ini sebenarnya
berarti mengalokasikan hubungan-hubungan hukum, misalnya, tentang benda, perikatan, hukum,
keluarga, waris, dan sebagainya ke dalam suatu sistem hukum tertentu melalui titik-titik pertautan
antara hubungan hukum dan sistem hukum itu.

d. Jika tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat ditentukan, sistem
hukum dari tempat itulah yang akan digunakan sebagai lex causae.

e. Setelah tempat kedudukan hukum itu dapat selalu dilokalisasi, melalui penerapan titik-titik taut yang
sama pada hubungan-hubungan hukum yang sejenis, dapatlah dibentuk asas-asas hukum (perdata
internasional). Apabila pengadilan di mana pun menggunakan asas-asas HPI yang mengaitkan setiap
jenis hubungan hukum dengan suatu tempat atau negara tertentu melalui penggunaan titik-titik taut
yang bersifat tetap (fixed connecting factors), penentuan hukum apa yang harus diberlakukan (lex
causae) untuk setiap jenis hubungan hukum dapat menjadi asas yang bersifat universal. Universalitas itu
menurut Savigny akan mengurangi kecenderungan orang untuk melakukan forum shopping dan akan
membawa keharmonisan keputusan-keputusan perkara HPI di dunia (decisional harmony).

31
f. Asas hukum itulah yang menjadi asas HPI (choice of law rules), yang menurut pendekatan tradisional
mengandung titik taut sekunder/penentu yang harus digunakan dalam rangka menentukan lex causae.

g. Menggunakan sebuah asas HPI yang bersifat tetap (yang ditentukan dengan bantuan titik-titik taut)
untuk menyelesaikan pelbagai perkara HPI sejenis itulah yang menjadi pola dasar penyelesaian perkara
HPI di dalam sistem Eropa Kontinental, yang dalam buku ini disebut dengan pendekatan HPI tradisional.

Teori HPI (atau lebih baik disebut pendekatan HPI) von Savigny ini yang dianggap memelopori aliran
dalam HPI yang disebut dengan aliran multilateralism yang selanjutnya dianggap sebagai teori HPI
tradisional Eropa Kontinental. Pendekatan multilateralism ini sering kali disejajarkan dengan pola
pendekatan HPl yang disebut "Jurisdiction-selecting method" karena pendekatan multilateralism
bertujuan untuk menetapkan sistem hukum yang secara umum memiliki yurisdiksi untuk diberlakukan
atas peristiwa/hubungan hukum yang dihadapi sebagai perkara.

Teori lain yang dikembangkan di Eropa (Kontinental atapun di Inggris sebelum konvensi Roma)
berdasarkan pendekatan von Savigny meninggalkan pola penggunaan satu titik taut dominan untuk
perkara sejenis dan secara fleksibel memanfaatkan titik-tiIk taut untuk menentukan legal seat dari suatu
peristiwa/hubungan hukum. Walaupun secara essential dapat digunakan untuk pelbagai peristiwa HPI,
pendekatan ini lebih banyak dimanfaatkan untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku terhadap
sebuah perjanjian (the proper law of contract). " Terpusatnya titik-titik taut pada suatu tempat tertentu
akan nmenunjukKan bahwa tempat tersebutlah yang menjadi centre of gravity (pusat gaya berat) dari
suatu hubungan hukum (kontraktual), atau yang oleh Prof. Cheshire diungkapkan dengan kata-kata: "In
the light of all the relevant circumstances, they attempt to decide each case according to the legal
system to which it seems most naturally to belong." Perlu disadari bahwa sebuah kaidah HPl
berdasarkan pendekatan ini, sebenarnya digunakan untuk menunjuk ke arah sistem hukum suatu
negara, yang akan menjadi lex causae, atau yang akan digunakan untuk menyelesaikan semua persoalan
hukum yang timbul dari suatu hubungan hukum. Lex causae iní harus diberlakukan untuk menjawab
semua legal issues dari perkara yang sedang dihadapi. Jadi, kaidah HPI tidak dimaksudkan untuk mencari
dan menentukan aturan nukum intern apa atau yang mana yang akan diberlakukan untuk
menyelesaikan suatu legal issues tertentu yang dapat timbul dari suatu hubungan hukum. Hal ini erat
kaitannya dengan pola pikir bahwa fungsi HPl lebih banyak dimaksudkan untuk menciptakan conflictual
justice" dan bukan mewujudkan "substantial Justice". Di dalam perkembangan HPI (conflict of laws) di
Amerika Serikat di abad ke-20, pola berplkir teorí universal juga sempat menjadi pendekatan utama
yang digunakan pengadilan-pengadilan dalam memutus perkara-perkara hukum perselisihan. Ditokohi
oleh Prof. Joseph H. Beale yang menjadi tokoh utama pembentukan kompilasi asas-asas HPI di Amerika
Serikat yang dikenal dengan sebutan Restatement of Conflict of Laws. Menurut Beale, lokasi dari satu
titik taut penentu dalam sebuah transaksi seharusnya menunjukkan tempat (atau negara yang sistem
hukumnya harus diberlakukan atas transaksi tersebut. Atas dasar prinsip ini, Prof. Beale membangun
sistem conflict of laws Amerika Serikat sejalan dengan pendekatan multilateralistiknya Savigny, tetapi
kemudian memperoleh banyak kritik karena kekakuannya (rigidity)." Kritik terhadap pendekatan Beale
ini yang mengawali perubahan-perubahan drastik dalam perkembangan conflict of laws di negara ini
sehingga sering kal disebut sebagal conflict of law revolution".
32
BAB III

HUKUM PERSELISIHAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DI


INDONESIA

A. PENGANTAR

Berbeda dengan pertumbuhan hukum perdata internasional di berbagai negara di dunia, HPI di
Indonesia tidak terbentuk secara langsung sebagai suatu bidang hukum yang berdirí sendiri. Seperti
telah disinggung pada Bab Pertama buku ini, pada dasarnya, HPI merupakan bagian dari hukum
perselisihan. Seperti telah disinggung sebelumnya, hukum perselisihan dapat diartikan sebagai: "bidang
hukum yang berfungsl untuk menyelesaikan masalah hukum yang melibatkan lebih dari satu sistem
hukum, dengan cara menentukan sistem hukum yang seharusnya berlaku untuk menyelesaikan masalah
hukum tersebut". Menyadari bahwa HPI adalah bagian darí hukum perselisihan, maka kesamaan antara
HPl dan hukum perselisihan tampak dari fungsi utama kedua bidang hukum ini untuk menentukan
hukum yang seharusnya berlaku di dalam perkara yang melibatkan lebih dari satu asas, aturan, atau
sistem hukum yang berbeda. Dalam perkara HPI hal tersebut terjadi karena adanya peristiwa atau
hubungan hukum yang melibatkan unsur asing di dalamnya. Bab kedua ini hendak memberikan
pengertian awal tentang bagaimana HPI berkembang di Indonesia sehingga para pembaca akan menjadi
lebih mudah untuk kemudian mendalami HPI secara utuh dan mendalam. Dalam bab ini akan dijabarkan
proses pertumbuhan dan kedudukan HPl (sebagai bagian dari hukum perselisihan), metode HPI harus
diterapkan untuk menyelesaikan perkara, asal mula tumbuh dan berkembangnya HPI di Indonesia, dan
asas-asas HPI yang saat ini masih berlaku sebagai bagian dari hukum positif Indonesia. Untuk
menjabarkan substansi tersebut, bab ini akan dibagi ke dalam beberapa subhab, yaitu sebagai berikut:

• Ruang Lingkup Hukum Perselisihan

• Metode Pendekatan Hukum Perselisihan

• Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Internasional di Indonesia

• Asas-Asas Umum HPI di Indonesia

Bagian berikut ini akan menjabarkan lebih detail tentang masing-masing bagian berikut.

B. RUANG LINGKUP HUKUM PERSELISIHAN

1. Istilah Hukum Perselisihan

Istilah hukum perselisihan dalam hukum indonesia memiliki cakupan yang lebih luas daripada istilah
conflict of laws yang digunakan di dalam tradisi common law. Hukum perselisihan mencakup upaya
hukum untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang menyangkut adanya conflict atau
collision atau perbenturan antara dua atau lebih kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih sistem
hukum. Hukum perselisihan secara umum mengatur peristiwa-peristiwa yang melibatkan lebih dari satu

33
sistem hukum atau tata hukum berkenaan dengan berbagaí subject matters, baik yang memiliki sifat
privat maupun publik. Sedangkan conflict of laws adalah bidang hukum yang mengatur masalah hukum
yang melibatkan dua atau leblh sistem hukum yang berbeda, yang umumnya muncul dalam masalah-
masalah yang bersifat keperdataan (dengan perkataan lain, subject matters dari perkara tersebut adalah
hubungan antarindividu, terutama yang berkaitan dengan masalah yang bersifat keperdataan).

2. Conflict of Laws Vs Hukum Perdata Internasional

Sebelumnya perlu disadari bahwa membandingkan conflict of laws dengan private international law
(HPI), maka dalam conflict of laws hubungan atau peristiwa hukum yang diaturnya tidak selalu harus
timbul dalam konteks transnasional (atau mengandung unsur-unsur asing). Conflict of laws di Amerika
Serikat, sebagai contoh, selain mengatur masalah-masalah hukum atau hubungan hukum yang
melibatkan sistem hukum federal Amerika serikat dengan suatu sistem hukum negara lain; bidang
hukum ini juga mengatur masalah hukum atau hubungan hukum yang melibatkan subjek-subjek hukum
atau peristiwa hukum di dalam negeri, tetapi dari dua atau lebih

negara bagian (states) yang berbeda di dalam wilayah Amerika Serikat (misalnya yang menimbulkan
persinggungan antara keberlakuan hukum negara bagian New York dan hukum negara bagian Alaska) Di
lain pihak dalam hukum perdata internasional perkara-perkara justru terjadi karena adanya sifat
transnasional" di dalam suatu hubungan/peristiwa hukum yang bersangkutan. Dengan kata lain, conflict
of laws adalah bidang hukum yang memiliki persoalan pokok (subject matter) yang sama dengan hukum
perdata internasional di lndonesia (misalnya, menentukan hukum yang seharusnya berlaku), tetapi
dengan ruang lingkup berlaku yang lebih luas. Hal ini disebabkan conflict of laws tidak hanya mengatur
masalah-masalah hukum yang bersifat transnasional atau internasional, tetapi mengatur juga masalah-
masalah hukum yang bersifat transnegara bagian (interstate confliets), yang mungkin ada kemiripan
dengan hukum antardaerah atau hukum antaradat di Indonesia.

3. Fungsi Hukum Perselisihan

Fungsi dari hukum perselisihan secara umum adalah untuk menentukan sistem hukum/tata hukum
mana yang akan diterapkan untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan lebih dari satu sistem
hukum/tata hukum tersebut. Karena luas cakupannya dapat mengatur hal hal, baik yang bersifat publik
maupun privat, dapat dimengerti apabila orang memerhatikan suasana hukum, sosial, dan politik di
Indonesia sejak masa kolonial Sampai masa setelah kemerdekaan, ruang lingkup hukum peselisihan.
Indonesia menjadi sangat luas dan dapat meliputi:

a. Hukum antargolongan;

b. Hukum antaradat;

c. Hukum antaragama

d. Hukum perdata intemasional;

34
e. Hukum antarwaktu

f. Hukum antardaerah; dan

g. Hukum antarwewenang.

Hukum antargolongan, hukum antaradat, hukum antaragama, dan hukum perdata internasional
semuanya mengatur tentang hubungan antarindividu (perorangan) sehingga dapat dikatakan banwa
sub-Subbidang ini memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan Keperdataan. Sedangkan hukum
antarwaktu, hukum antardaerah, dan hukum antarwewenang yang mengatur tentang masalah yang
terkait dengan daya berlaku perundang-undangan dalam masa peralihan, kewenangan yang bersifat
lintas pemerintah daerah, dan kewenangan dari berbagai instansi/lembaga pemerintahan adalah bagian
yang memiliki sifat publik.

4. Hukum Antartata Hukum (HATAH)

Hukum perselisihan oleh Prof. Soedargo Gautama dinamakan hukum antar tata hukum (HATAH). HATAH
ini kemudian diartikan sebagai:

Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku
atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga(-
warga) negara dalam satu negara, memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-
kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan-kuasa-waktu', tempat, pribadi dan soal-soal. Dari bidang
tersebut kemudian Prof. Soedargo Gautama membedakan antara HATAH intern yang menunjuk pada
hukum antargolongan dan HATAH ekstern yang menunjuk pada hukum perdata internasional.

5. Penjelasan Singkat Sub-Subbidang Hukum Perselisihan

a. Intern

Inti dari pengertian yang diberikan oleh Prof. Soedargo Gautama mengenai hukum perselisihan (HATAH)
adalah bahwa HATAH sebenarnya memiliki fungsi menemukan hukum yang seharusnya berlaku (the
proper law), apabila sebuah peristiwa hukum ternyata melibatkan lebih dari satu sistem hukum atau
aturan hukum. Untuk menyederhanakan pemahaman tentang HATAH (Hukum perselisihan) dalam
konteks HATAH intern, dapat dikatakan bahwa bidang hukum ini selalu memiliki unsur:

• Bidang tersebut pasti menyangkut peristiwa hukum yang melibatkan lebih dari satu kaidah atau aturan
hukum.

• Kaidah hukum atau aturan yang terlibat tersebut masih berada di dalam ruang lingkup sebuah hukum
nasional atau satu wilayah kenegaraan tertentu.

• Penyebab dari terlibatnya lebih dari satu kaidah hukum atau aturan adalah karena adanya unsur
pembeda dari bidang hukum biasa, yaitu bahwa di dalam bídang hukum tersebut terdapat titik taut
pembeda, yang terjadi karena adanya:
35
∆ Lebih dari satu adat (hukum antaradat);

∆ Lebih dari satu agama (hukum antaragama);

∆ Lebih dari satu golongan penduduk (hukum antargolongan);

∆ Lebih dari satu masa tertentu (hukum antarwaktu)

∆ Lebih dari satu daerah otonom tertentu atau melibatkan otonomi daerah dan pusat (hukum
antardaerah); dan

∆ Lebih dari satu kewenangan instansi pemerintahan atau instansi nonpemerintahan, misalnya,
kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain (hukum antarwewenang).

• Bidang ini memuat prinsip atau asas atau norma/kaidah yang dapat dipergunakan untuk menentukan
tentang hukum mana yang akan berlaku, dari beberapa prinsip atau asas atau kaidah hukum atau aturan
yang terlibat.

b. Ekstern

HATAH ekstern menunjuk ke arah sebuah bidang hukum yang khas, yaitu hukum perdata internasional
dan akan menjadi kajian utama buku ini. HATAH ekstern ini oleh Sudargo Gautama diartikan sebagai:
"Keseluruhan peraturan dan keputusan-hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku
atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan perstiwa-peristiwa antara warga(-
warga) negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan
kaidah-kaidah kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan-
kuasa-tempat, (pribadi) dan soal-soal."

Bidang ini berkembang mengnadapi peristiwa-peristiwa hukum yang melibatkan prinsip atau asas atau
norma/kaidah yang berasal dari lebih dari satu wilayah negara berdaulat. Dari rumusan tersebut dapat
disimpulkan beberapa unsur HATAH ekstern yan mencakup juga:

• Bidang hukum ini senantiasa berkenaan dengan peristiwa hukum yang melibatkan lebih dari satu
kaidah atau aturan hukum

• Kaidah hukum atau aturan yang terlibat tersebut salah satunya atau beberapa adalah kaidah hukum
atau aturan dari negara berdaulat lain.

• Penyebab dari terlibatnya lebih dari satu kaidah hukum atau aturan dari negara-negara berbeda
terutama disebabkan oleh adanya unsur pembeda dari bidang hukum biasa, yaitu bahwa di dalam
bidang hukum tersebut terdapat titik taut pembeda, yang terjadi karena adanya keterlibatan lebih dari
satu wlayah negara (karena adanya unsur asing).

36
• Bidang ini memuat tentang prinsip atau asas atau norma/kaidah yang dapat dipergunakan untuk
menentukan tentang hukum mana yang akan berlaku, dari beberapa prinsip atau asas atau kaidah
hukum atau aturan yang terlibat.

Untuk selanjutnya, istilah yang akan digunakan dalam bab ini untuk merujuk HATAH adalah hukum
perselisihan.

6. Faktor Pendorong Tumbuhnya Bidang-Bidang Hukum Perselisihan

Ada pandangan yang beranggapan bahwa hukum antaradat, hukum agama, hukum antargolongan, dan
hukum perdata internasional merupakan bidang- bidang hukum yang dilahirkan oleh faktor
primordialisme, yaitu faktor adat, agama, golongan penduduk, dan kewarganegaraan atau kebangsaan.
Sedangkan bidang hukum antardaerah, hukum antarwaktu dan hukum antarwewenang terbentuk
karena adanya faktor-faktor yang bersifat publik, yaitu unsur administrasi pemerintahan. Di bawah ini
disinggung secara singkat sub-Subbidang hukum perselisihan yang berkembang di Indonesia.

a. Hukum antaradat

Hukum antaradat adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum
manakah yang berlaku dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara, yang di
dalamnya memperlihatkan titik taut dengan kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan adat
istiadatnya. Keadaan ini menimbulkan persoalan tentang kewenangan peradilan adat, mengenai hukum
substantif adat yang harus diberlakukan untuk menyelesaikan perkara, serta tidak mustahil, membawa
persoalan tentang sejauh mana keabsahan dari suatu putusan lingkungan hukum adat tertentu dapat
diakui sah pula di dalam lingkungan hukum adat lain.

Contoh: seorang laki-laki dari Minangkabau menikah dengan perempuan Tapanuli. Sang suami tunduk
pada hukum perkawinan adat Minangkabau yang bersifat matrilineal sementara sang istri tunduk pada
hukum perkawinan adat Batak yang bersifat patrilinial. Hukum antaradat berfungsi untuk menentukan
apakah hukum perkawinan adat Minangkabau atau hukum perkawinan adat Batak yang berfungsi untuk
mengatur perkawinan mereka, atau setidak-tidaknya menetapkan hukum adat mana yang harus
digunakan untuk menentukan keabsahan perkawinan tersebut, atau langkah-langkah keadatan apa yang
harus dilakukan untuk mengabsahkan perkawinan semacam itu.

b. Hukum antargolongan

Hukum antargolongan adalah "keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum
manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara di wilayah penguasa kolonial
Hindia Belanda, yang menunjukkan adanya titik-titik pertautan dengan sistem atau kaidah hukum yang
bersumber pada sistem hukum yang berbeda sebagai akibat dari adanya perbedaan lingkungan
golongan penduduk dari para pihak.

Sudargo Gautama mengartikan hukum antargolongan sebagai:

37
"Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku
atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (-
warga) negara dalam satu negara, satu tempat, dan satu waktu tertentu, memperiihatkan titik-titik
pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan
kuasa-pribadí dan soal-soal (naar personele en zakelijke werking verschillende rechtsstelsels en
rechtsnormen)." Melihat sifatnya yang khas, hukum antargolongan sering diartikan sebagai hukum
perdata internasionat dalam hubungan yang melibatkan negara-negara yang tidak seoderajat (misanya,
antara negara penjajah dan terjajah). Karena kekhasan itu maka bidang hukum ini oleh seorang penulis
Belanda, yaitu Andre de la Porte disebut sebagai quasi-private international law. (hukum perdata kuasi
internasional). Contoh peristiwa hukum antargolongan adalah bila dalam masa Hindia Belanda seorang
wanita Belanda akan menikah dengan seorang laki-laki bumiputra yang masing-masing oleh hukum
kolonial ditundukkan pada sistem hukum yang berlainan. Keadaan inilah yang akan melahirkan peristiwa
hukum antargolongan. Peristiwa hukum antargolongan berakar dari pembagian golongan penduduk
yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, khususnya melalui penetapan Pasal 131 jo.
163 Indische Staatsregeling van Wetgeving Pasal 131 IS menetapkan bahwa penduduk Hindia Belanda
tiga golongan, meliputi:

• Golongan Eropa: mencakup orang-orang Belanda dan orang Eropa selain Belanda, serta bagi mereka
yang disamakan dengan golongan Eropa (dalam hal ini adalah yang sistem hukumnya menerapkan asas
monogami, misalnya, orang Jepang).

• Golongan bumiputra, yaitu penduduk Hindia Belanda (Indonesia) asli.

• Golongan Timur Asing (TA) dan yang disamakan dengan mereka, yang bukan golongan Eropa dan
bukan golongon bumiputra. Golongan ini dibagi menjadi golongan TA Asia Timur, TA Asia Tengah, dan
TA Asia Selatan.

Penentuan golongan penduduk tersebut dilakukan dengan menggunakan asas genealogis atau asas
domicilium originis sebagai pedoman. Artinya, seseorang akan dikategorikan sebagai bagian dari
golongan penduduk tertentu dengan memerhatikan asal usul atau keturunan dari orang tersebut.
Pengelompokan ini sesungguhnya berkaitan dengan fungsi ekonomis dari masing-masing kelompok
penduduk dalam konteks kepentingan ekonomis pemerintah kolonial, di mana golongan penduduk
Eropa berperan untuk mengubah bahan baku menjadi barang jadi (yang memiliki nilai tambah dan
diproses melalui industri untuk memenuhi kebutuhan bangsa Belanda di Eropa); golongan penduduk
bumiputra berperan untuk menghasilkan bahan mentah (sehingga sebagian besar dari mereka adalah
masyarakat agraris); sedangkan golongan Timur Asing adalah golongan perantara, yang didominasí oleh
para pedagang, yang berfungsi untuk menyalurkan bahan mentah yang diperoleh dari golongan
bumiputra untuk dijual kepada golongan Eropa yang akan mengekspornya ke Eropa.

Selanjutnya, pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah pemerintah Hindia Belanda mengatur
hukum yang berlaku terhadap masyarakat yang plural tersebut, apakah melalui unifikasi hukum ataukah
melalui hukun yang heterogen juga. Dalam masyarakat yang homogen, sangatlah jelas bahwa

38
penerapan satu hukum untuk semua masyarakat tidak akan mendatangkan masalah. Namun, bagi
masyarakat plural (dalam hal ini terbagi menjadi tiga golongan penduduk sementara di dalam kelompok
bumiputera dan Timur Asing, di dalam kelompok itu sendiri juga masih terdiri atas banyak subkelompok
yang berbeda), dibutuhkan hukum yang bersifat plural agar tidak mempersulit masyarakat mengatur
masalah-masalah yang tidak netral (misalnya, dalam hukum Keluarga). Sebagai konsekuensi dari
pluralisme di Hindia Belanda ini, pemberlakuan hukum dl Hindia Belanda pada waktu itu kemudian
diatur di dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling sebagai berikut:

• Golongan Eropa tunduk pada hukum perdata Barat (KUHPerdata dan KUHDagang).

• Golongan Timur Asing tunduk pada hukum adat masing-masing walaupun sejak tahun 1925, melalui
Stb. 1924 NO. 556, golongan Timur Asing Cina ditundukkan pada hukum perdata Barat (kecuali tentang
hukum keluarga).

• Sedangkan golongan bumiputra akan tunduk pada hukum adat masing-masing. Di dalam penerapan
hukum adat ini, hukum Islam juga sering diterapkan bagi golongan bumiputra Muslim.

7. Hukum Antaragama

a. Hukum antaragama adalah keseluruhan peraturan dan keputusan

hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku, dalam

hubungan hukum antara warga negara, yang memperlihatkan titik taut dengan kaidah hukum yang
berbeda karena adanya perbedaan lingkungan keagamaan para pihak.

b. Pada masa Hindia Belanda, hukum antaragama (HAA) sering bersentuhan dengan hukum
antargolongan. Salah satu contoh terpenting adalah dalam GHR (Gemende Huwelijken Regeling) yang
mengatur juga tentang perkawinan beda agama.

c. Cukup ironis bahwa perkawinan beda agama (Interreligious marriages) justru tidak diakomodisasi di
dalam UU 1/1974 tentang Perkawinan karena di dalam UU tersebut dengan tegas disebutkan bahwa
suatu perkawinan hanya akan dianggap sah apabila telah sah berdasarkan agama dan kepercayaan
masing-masing. Mengingat hampir sebagian besar agama yang diakui di Indonesia mengharuskan
dilakukannya perkawinan dengan orang yang seagama, maka perkawinan antaragama saat ini menjadi
sulit dilaksanakan.

d. Setelah tahun 1986, melalui kasus Andi Vonny (Putusan Registrasi No. 1400K/Pdt/1986), perkawinan
antaragama akhirnya dapat dilaksanakan dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri
untuk memerintahkan kantor catatan sipil mencatatkan perkawinan yang berbeda agama (dalam kasus
ini adalah antara wanita Islam dan laki-laki Kristen).

8. Hukum Antarwaktu

39
Hukum antarwaktu adalah "keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum
manakah yang berlaku, bila hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara memperlihatkan
titik taut dengan dua peraturan yang mengatur tentang hal yang sama, di mana peraturan yang lama
digantikan oleh peraturan yang baru.

Contoh:

Sejak tanggal 20 Februari 2009 telah diberlakukan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor Per-04/Men/II/2009 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor Kep-27/Men/2000 tentang Program Santunan Pekerja Perusahaan Jasa Penunjang
Pertambangan

minyak dan gas Bumi. Seorang pekerja di bidang pengeboran minyak terikat di dalam perjanjian kerja
dengan perusahaan minyak terhitung tanggal 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2009. Pada saat
diundangkan Permenakertrans tersebut muncul pertanyaan, apakah dengan dicabutnya peraturan yang
mewajibkan pembayaran santunan sebagaimana diatur di dalam kep-27/Men/2000, perusahaan tempat
pekerja tersebut bekerja tidak berkewajiban untuk membayar santunan lagi?

Masalah ini harus diselesaikan berdasarkan pendekatan hukum antarwaktu dalam Pasal 2
Per-04/Men/11/2009 yang isinya: "Bagi Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi yang saat diterbitkannya peraturan menteri ini masih melaksanakan hubungan kerja dengan
perjanjian kerja waktu tertentu, maka ketentuan keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
KEP-27/MEN/2000 tetap berlaku hingga berakhirnya perjanjian kerja waktu tersebut, dan perusahaan
tetap memberikan santunan pekerja/buruh sesuai ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Kep-27/Men/2000. Berarti berdasarkan kaidah tersebut jelaslah bahwaperjanjian kerja tersebut tetap
tunduk pada Kep-27/ Men/2000 dan bukan pada Per-04/Men/II/2009. Inilah yang dipahami sebagai
solusi hukum antarwaktu.

9. Hukum Antardaerah

Hukum antardaerah adalah "keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang berfungsi untuk
menentukan hukum manakah yang berlaku, dalam masalah hukum atau hubungan hukum yang
menyebabkan terlibatnya lebih dari satu peraturan daerah." Sebagai contoh, seorang penduduk
Kabupaten Bandung Barat setiap hari pergi ke Kota Bandung dan mendirikan sebuah warung nasi goreng
di trotoar di samping Taman Pramuka, yang terletak di wilayah Kota Bandung. Di Kota Bandung terdapat
Perda No. 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan yang
melarang orang untuk mendirikan warung di atas trotoar dan wilayah hijau. Permasalahannya adalah
pedagang kaki lima itu adalah warga Kabupaten Bandung Barat sehingga pertanyaannya adalah apakah
warga Kabupaten Bandung Barat itu terikat untuk tunduk pada Perda Kota Bandung.

10. Hukum Antarwewenang

40
Hukum antarwewenang adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang berfungsi untuk
menentukan hukum manakah yang berlaku dalam masalah hukum atau hubungan hukum yang
menyebabkan terlibatnya lebih dari satu kewenangan instansi pemerintahan atau lembaga
pemerintahan serta seluruh jajarannya, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah."

Contoh

Provinsi Jawa Barat membutuhkan pasokan listrik tambahan untuk memenuhi kebutuhan listrik di
berbagai kota di provinsi tersebut. Untuk mengadakan proyek tersebut, berbagai pihak yang terkait
haruslah dilibatkan untuk membuat proyek tersebut dapat diselenggarakan, misalnya, perwakilan dari
Kementerian Dalam Negeri (di tingkat provinsi atau di tingkat kota atau kabupaten?), perwakilan dari
Kementerian Pekerjaan Umum (di tingkat provinsi atau di tingkat kota atau kabupaten?), perwakilan dari
pemerintahan provinsi, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dan lain-lain. Bahkan, proyek ini bisa
juga bergeser menjadi proyek nasional yang kebetulan akan ditempatkan di Provinsi Jawa Barat Jika
pasokan listriknya ternyata bukan hanya untuk wilayah Jawa Barat. Hukum antarwewenang akan
berfungsi untuk menentukan siapa" instansi yang harus dilibatkan di dalam proyek tersebut, dan apa
fungsi mereka di dalam proyek tersebut, serta "bagaimana proyek tersebut harus dilaksanakan sehingga
dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

11. Hukum Perdata Internasional

Hukum perdata internasional adalah "keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang berfungsi
untuk menentukan hukum manakah yang berlaku, dalam masalah hukum atau hubungan hukum yang
melibatkan lebih dari satu sistem hukum negara yang berbeda". Bagian dari hukum perselisihan inilah
yang menjadi pusat perhatian buku ini dan akan didalami lebih lanjut di dalam bab-bab lain dari buku ini.

C. METODE PENDEKATAN HUKUM PERSELISIHAN

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, fungsi hukum perselisihan pada dasarnya "menentukan
hukum yang seharusnya diterapkan untuk menyelesaikan masalah hukum yang melibatkan lebih dari
satu asas, kaidah, atau peraturan hukum". Penentuan hukum yang seharusnya berlaku (determining the
applicable law) ini tentu harus dilakukan dengan menggunakan cara yang tepat dan standar sehingga
setiap orang yang akan menyelesaikan kasus-kasus hukum perselisihan memiliki cara yang terukur,
berkepastian, dan prediktabel. Metode penyelesaian perkara-perkara hukum perselisihan memiliki
beberapa pranata hukum yang khasnya, khususnya:

• Titik-titik taut (connecting factors, aanknopingspunten, aanknupungspunten);

• Kualifikasi (qualification, characterization, qualificatie)

Untuk lebih jelasnya, metode penyelesaian perkara-perkara hukum perselisihan tersebut akan dibahas
berikut ini.

1. Titik Taut

41
Titik taut adalah faktor faktor atau fakta-fakta khusus di dalam suatu peristiwa hukum atau persoalan
hukum yang menunjukkan pertalian khusus dengan sistem aturan atau sistem hukum tertentu". Di
dalam suatu peritiwa hukum, senantiasa akan dapat dijumpai adanya fakta (fakta) penting yang
membentuk pertalian/pertautan antara persoalan yang dihadapi dengan suatu aturan di dalam sistem
hukum tertentu. Titik taut adalah fakta di dalam perkara yang mengaitkan perkara tersebut kepada
suatu sistem aturan atau sistem hukum tertentu.

Contoh:

a. A, Seorang wanita berkewarganegaraan Belanda, berusia 25 tahun, tidak menikah

b. A adalah ahli waris dari orang tua yang kaya raya sehingga ia memiliki aset baik dalam bentuk uang
kas, emas murni, perusahaan, dan benda tetap

c. Aset berupa benda tetap terletak di Indonesia, Suriname, dan Curacao.

d. A berniat untuk menjual seluruh aset benda tetapnya.

Pada contoh di atas, fakta-fakta menunjukkan bahwa kewarganegaraan A adalah Belanda, benda tetap
yang diwarisinya berada di Indonesia, Suriname dan Curacao. Fakta-fakta tersebut merupakan titik-titik
taut, yang mengkaitkan perkara dengan tempat-tempat tersebut, dan pada gilirannya mengakibatkan
timbulnya kemungkinan bahwa hukum Belanda, Indonesia, Suriname, dan Curacao menjadi relevan
untuk dipertimbangkan sebagai hukum yang berlaku dalam menyelesaikan perkara pewarisan yang
bersangkutan.

Di lain pihak, fakta bahwa A telah berusia 25 tahun dan belum menikah adalah fakta hukum yang
penting dalam perkara tersebut sebagai fakta-fakta yang dapat menentukan status kecakapan A dalam
melakukan perbuatan hukum. Demikian juga fakta ke-2 dan ke-4 di atas merupakan fakta-fakta hukum
yang penting. Namun, fakta-fakta tersebut bukanlah merupakan titik taut dalam pengertian hukum
perselisihan karena tidak mengaitkan kasus tersebut pada suatu sistem aturan atau sistem hukum
tertentu. Hukum Perselisihan membedakan pengertian titik taut ini ke dalam titik taut primer dan titik
taut sekunder.

a. Titik taut primer (disebut juga sebagai titik taut pembeda)

Sudargo Gautama memaknai titik taut primer ini sebagai "hal-hal yang merupakan tanda akan adanya
persoalan hukum antargolongan. Pengertian ini tidak hanya dapat diterapkan di dalam hukum
antargolongan, tetapi juga pada bidang-bidang hukum perselisihan pada umumnya. Titik taut primer
adalah fakta yang membedakan kasus yang dihadapi tersebut dari kasus yang sepenuhnya tunduk pada
satu aturan/sistem aturan/sistem hukum dan karena itu menunjukkan bahwa kasus tersebut adalah
kasus hukum perselisihan. Ciri yang membedakan adalah bahwa dengan adanya titik taut tersebut, kita
mengetahui terlibatnya lebih dari satu aturan hukum atau sistem hukum di dalam perkara tersebut.

42
Kembali pada contoh di atas, setelah menyadari keterlibatan lebih dari satu sistem hukum di dalam
perkara tersebut karena adanya perbedaan sistem hukum dari pihak yang memiliki kekayaan (Belanda)
dengan hukum dari letak benda-benda tetap yang dimiliki orang tersebut (Indonesia, Suriname, dan
Curacao), maka titik taut primer dalam perkara ini adalah perbedaan sistem hukum yang berlaku
terhadap pemilik benda dengan sistem hukum yang berlaku terhadap benda tetap.

Perhatikan juga beberapa contoh berikut:

• Seandainya seorang wanita Belanda pada tahun 1912 akan menikah dengan seorang laki-laki Cina,
maka perbedaan golongan penduduk dari para pihak tersebut merupakan titik taut primer dari perkara
(yang wanita adalah golongan Eropa yang tunduk pada hukum perdata Barat, sedangkan yang laki-laki
adalah golongan TA Cina yang tunduk pada hukum adat Cina).

• Seorang penduduk Kotamadya Tegal sedang bepergian ke Kabupaten Tegal dan buang air (kencing)
sembarangan di wilayah Kabupaten Tegal. Berdasarkan Perda yang berlaku di Kabupaten Tegal, orang
itu dapat dikenai denda sebesar Rp 100.000,00. Perbedaan asal usul dari pelaku dan tempat terjadinya
pelanggaran merupakan titik taut primer dari perkara ini.

• B sedang mengajukan permohonan penerbitan izin membuat bangunan (IMB) di Kota Berawan. B
telah memenuhi semua persyaratan pendaftaran IMB sesuai dengan Perda Kota Berawan Nomor 15
Tahun 2002 yang berlaku pada saat permohonan diajukan. Ketika permohonan izin tersebut sedang
dalam proses penerbitan pada instansi yang berwenang, ternyata Pemerintah Daerah Kota Berawan
menerbitkan sebuah peraturan daerah yang baru, yang mensyaratkan dimasukkannya daftar riwayat
tanah sebagai salah satu dokumen perizinan. Syarat tersebut tidak ada di dalam Perda 15/2002.
Perbedaan hukum yang berlaku antara saat pengajuan permohonan IMB dan saat permohonan harus
diputuskan merupakan titik taut primer dari perkara ini.

b. Titik taut sekunder (disebut juga titik taut penentu)

Titik taut sekunder adalah fakta yang digunakan untuk menentukan hukum apa atau hukum mana yang
seharusnya diberlakukan terhadap perkara yang melibatkan lebih dari satu sistem hukum/kaidah
hukum/peraturan. Yang dianggap sebagai titik taut sekunder dalam hukum perselisihan adalah faktor-
faktor penentu, seperti:

1) Pilihan hukum yang secara tegas dinyatakan oleh para pihak di dalam perjanjian. Titik taut ini hanya
diakui di bidang hukum kekayaan dan perikatan.

2) Pilihan hukum yang disimpulkan oleh hakim/pilihan hukum secara diam-diam (tidak tegas). Hal ini
dapat disimpulkan dari:

• Bentuk dan isi perjanjian yang dipilih para pihak misalnya, WN Indonesia membuat perjanjian trust
(yang hanya dikenal di dalam hukum Inggris) dengan orang Inggris, dapat disimpulkan bahwa dia tunduk
pada/memilih hukum Inggris secara diam-diam)

43
• Suasana/lingkungan/milieu/tempat terjadinya perbuatan hukum (misalnya, orang Belanda membeli
padi secara langsung kepada seorang petani di Ciwidey, dapat dianggap dia memasuki milieu bumiputra
dan tunduk pada hukum adat Sunda).

• Kedudukan salah satu pihak yang lebih penting/lebih dominan/lebih menentukan (misalnya, seorang
bumiputra membuka rekening bank (lembaga perbankan pada masa Hindia Belanda hanya dikenal di
dalam hukum perdata Barat), maka dapat disimpulkan bahwa dia tunduk secara diam-diam pada hukum
perdata Barat)]

3) Pembebanan hukum atau pilihan hukum yang diperintahkan/diwajibkan pemberlakuannya oleh


negara/penguasa melalui perundang-undangan, yang mengakibatkan berlakunya suatu sistem hukum
tertentu terhadap seseorang yang seharusnya tidak terikat pada sistem hukum tersebut. Pembebanan
hukum ini banyak dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, di mana pemerintah adakalanya
mewajibkan orang bumiputra atau Timur Asing yang seharusnya tunduk pada hukum adat, untuk tunduk
dan terikat pada aturan-aturan hukum perdata Barat. Misalnya, Stbl. 1924 No. 556 dan 557 yang
mengakibatkan berlakunya hukum perdata Barat atas golongan penduduk Timur Asing (dengan
beberapa pengecualian).

4) Fakta-fakta khusus yang oleh kaidah/asas hukum perselisihan negara tersebut ditetapkan sebagai titik
taut terpenting untuk menentukan hukum yang berlaku dalam masalah hukum perselisihan tertentu.

Contoh:

Pasal 56 (1) UU 1/1974 tentang Perkawinan menetapkan menentukan

bahwa:

"Perkawinan di luar negeri antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara
Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilalukan menurut hukum yang berlaku di
negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indohesia tidak melanggar
ketentuan undang-undang ini."

Berkaitan dengan keabsahan dari perkawinan itu sendiri, tampak bahwa Undang-Undang Perkawinan ini
menggunakan asas lex loci solutionis. Berarti pula tempat dari dilaksanakannya peresmian perkawinan
merupakan titik Taut sekunder (titik taut penentu) yang harus digunakan dalam menetapkan keabsahan
perkawinan antara WNI dan WNA atau antar-WNI yang dilakukan diluar negeri. Artinya, hukum yang
seharusnya berlaku untuk menentukan keabsahan perkawinan adalah hukum dari tempat perkawinan
diresmikan.

2. Kualifikasi

Kualifikasi adalah proses yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mendefinisikan persoalan/masalah
hukum yang terbit dari perkara yang dihadapi, serta menetapkan kategori yuridis dari masalah hukum
tersebut. Dalam prosesnya, apabila orang menghadapi suatu perkara, berdasarkan fakta-fakta yang

44
relevan di dalam perkara tersebut ia harus dapat mendefinisikan/merumuskan persoalan hukum yang
sedang dihadapi (kualifikasi fakta). Dalam melaksanakan kualifikasi fakta, orang harus juga memilih dan
memilah fakta-fakta apa saja yang dianggap relevan dan memiliki akibat hukum tertentu terhadap
perkara. Setelah kualifikasi fakta, orang harus memasukkan peristiwa hukum yang didefinisikan tadi ke
dalam kategori yuridis tertentu. Jadi, dalam kualifikasi hukum orang menentukan peristiwa hukum atau
hubungan hukum apa yang dihadapi sebagai perkara, berdasarkan kategori yang dikenal di dalam
sebuah sistem hukum tertentu.

Contoh:

Perkara: C, seorang wanita warga negara Belanda yang belum menikah dan tidak kaya berniat untuk
menikah dengan D, seorang saudagar pedagang hasil bumi pria penduduk Hindia Belanda dari golongan
Timur Asing Cina yang kaya raya. Perkawinan dilaksanakan pada tahun 1926 di Batavia Kualifikasi
faktanya:

Fakta yang relevan: C adalah wanita warga negara Belanda, D adalah pria Timur Asing Cina, pernikahan
pada tahun 1926 di Batavia. Fakta tersebut relevan karena memiliki akibat hukum.

• Fakta tahun 1926 terjadi di Batavia: menentukan tentang hukum apa yang berlaku pada waktu itu di
tempat itu.

• Fakta perkawinan: melibatkan lembaga dalam hukum keluarga yang menimbulkan hubungan dan
akibat hukum bagi pihak-pihak yang terikat di dalamnya.

• Fakta C berkewarganegaraan Belanda: untuk menunjukkan hukum yang berlaku bagi orang tersebut.

• Fakta D golongan penduduk Cina: untuk menunjukkan hukurm vesne berlaku bagi orang tersebut.

Fakta bahwa C bukan seorang kaya tidaklah relevan dalam perkara ini karena tidak ada akibat hukum
yang dapat terbit dari fakta tersebut. Demikian juga fakta bahwa D adalah seorang yang kaya raya,
dalam perkara ini tidak berakibat hukum apa pun. Dengan demikian, fakta-fakta yang tidak relevan ini
dapat diabaikan pada saat proses kualifikasi dijalani.

Kesimpulan atau hasil dari proses kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum akan bergantung pada sumber-
sumber hukum yang terkait pada perkara tersebut dan pemahaman terhadap sumber-sumber hukum
yang seharusnya digunakan dalam proses kualifikasi tersebut akan sangat menentukan ketepatan hasil
kualifikasi. Selanjutnya, dari fakta-fakta yang dianggap relevan di atas, orang dapat memahami mereka
sebagai satu kesatuan dan berdasarkan pemahaman itu kemudian menentukan apa kategori yuridis dari
fakta-fakta tersebut dengan memerhatikan isi perundang- undangan yang ada. Dalam contoh perkara di
atas, fakta-fakta tersebut, misalnya, dapat dikategorikan/dikualifikasikan sebagai peristiwa perkawinan
antargolongan.

3. Prosedur Penyelesaian Perkara

45
Beberapa tahap penting yang harus dilalui untuk menentukan cara penyelesaian perkara hukum
perselisihan dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut (bagian ini hanya memberikan gambaran
singkat tentang bagaimana langkah umum yang harus dilakukan, bukan memberikan penjabaran yang
bersifat komprehensif):

a. Menyusun kasus posisi dari perkara

Langkah awal dari penyelesaian perkara dilakukan dengan menyusun kasus posisi dari perkara tersebut.
Artinya, kita harus mengumpulkan semua fakta dan informasi yang retevan. Pada saat fakta-fakta dalam
rangka merumuskan kasus posisi inilah Orang akan memilih dan memilah fakta dan informasi yang
relevan (melakukan kualifikasi fakta) dan menyusunnya ke dalam Suatu urutan kejadian yang sistematis.

b. Menentukan ada/tidaknya peristtwa hukum perselisihan

Berdasarkan kasus posisi tersebut orang kemudian harus menentukan apakah di antara kasus tersebut
terdapat fakta-fakta yang mempertautkan perkara dengan lebih dari satu sistem hukum peraturan
("mencari titik-titik taut primer"). Jika perkara tersebut ternyata memiliki titik taut primer, barulah terbit
kebutuhan untuk menyelesaikan perkara tersebut dengan menggunakan metode pendekatan dan
metode hukum perselisihan.

c. Menentukan masalah hukum utama yang muncul dalam perkara dalam perkara

Biasanya penentuan masalah hukum ini dilakukan dengan menentukan hal-hal, seperti pokok
gugatan/permohonan, pokok yang diperuangkan/dipersengketakan oleh para pihak, hubungan hukum
yang mengikat para pihak, dan seterusnya. Dari penentuan masalah hukum utama ini, Anda akan dapat
menemukan/menyimpulkan apa yang merupakan kualifikasi hukum dari perkara tersebut. Aktivitas ini
merupakan satu rangkaian aktivitas yang tidak perlu diperdebatkan mana yang harus dilakukan terlebih
dahulu, apakah menentukan masalah utama dari perkara ataukah menentukan kualifikasi hukum dari
perkara.

d. Menentukan titik taut sekunder dari perkara

Dari perkara yang Anda hadapi, harus dicari apa yang merupakan fakta penentu untuk menunjuk hukum
yang seharusnya menyelesaikan perkara. Titik taut sekunder tersebut dapat ditemukan di dalam asas
hukum atau kaidah hukum yang termuat di dalam sumber hukum yang terkait dengan perkara. Sebagai
contoh, seorang wanita Indonesia menikah dengan laki-laki Singapura. Perkawinan dilaksanakan di
London (Inggris) pada tanggal 12 April 2011. Dalam situasi ini kita menghadapi kasus yang dapat
dikualifikasikan sebagai perkawinan yang dilakukan di luar negeri, yang salah satu pihaknya adalah WNI.
Secara lebih singkat, kasus seperti ini sering dikualifikasikan sebagai perkawinan di luar negeri".
Pertanyaan hukum/masalah hukum yang paling pokok dalam perkara ini adalah "dapatkah perkawinan
dilakukan di luar negeri dianggap sebagai perkawinan yang sah di Indonesia? Atau dapat juga
dirumuskan, "bagaimana agar perkawinan yang dilakukan di luar negeri dianggap sebagai perkawinan
yang sah di Indonesia?" Untuk menjawab masalah ini, kita harus memerhatikan isi dari Pasal 56 ayat (1)

46
UU Perkawinan yang telah menjadi contoh sebelumnya. Sekali lagi disitir di sini rumusan pasal tersebut:
"Perkawinan di luar negeri antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara
Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum. yang berlaku di
negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar
ketentuan undang-undang ini."

Ayat (1) ini memuat dua hal:

Pertama, berkaitan dengan keabsahan dari perkawinan, Undang-Undang Perkawinan ini menentukan
tempat dari dilaksanakannya perkawinan merupakan titik taut sekunder dari keabsahan perkawinan
antara WNI dan WN Singapura. Peraturan ini menggunakan asas lex loci solutionis. Artinya, hukum yang
seharusnya berlaku untuk menentukan keabsahan perkawinan adalah hukum dari tempat perkawinan
dilaksanakan, yang dalam hal ini di Singapura. Berarti, apabila perkawinan tersebut dilaksanakansecara
sah berdasarkan hukum Singapura, perkawinan tersebut akan dianggap terpenuhi keabsahan
pelaksanaannya.

Kedua, berkaitan dengan syarat materil perkawinan yang harus dipenuhi oleh pihak WNI yang
melakukan perkawinan di luar negera (masalah status/kewenangan seseorang dalam melakukan
perkawinan di luar negeri). Undang-Undang Perkawinan ternyata mengatur bahwa WNI tersebut tidak
boleh melanggar isi ketentuan syarat materiil dalam Undang-Undang Perkawinan. Peraturan ini
menundukkan WNI tersebut pada hukum Indonesia sekalipun perkawinan dilaksanakan di luar negeri
(dalam hal ini di Singapura). Berarti títik taut sekunder dari masalah syarat materil perkawinan
didasarkan pada lex patriae (hukum dari tempat WNI tersebut berkewarganegaraan). Dengan demikian,
apakah wanita Indonesia tersebut dianggap telah cakap untuk melakukan perkawinan, telah memenuhi
semua syarat materiil dan prosedural agar perkawinan itu dapat dilaksanakan, harus diatur dengan
hukum Indonesia (Undang-Undang Perkawinan).

e. Penyelesaian kasus

Langkah terakhir dalam tahap penyelesaian sengketa ini adalah dengan menentukan apakah perkawinan
ini sah atau tidak (berarti kitaharus menelusuri isi hukum Singapura, mencari apa syarat pelaksanaan
perkawinan di Singapura, dan menentukan apakah syarat tersebut dipenuhi). Selanjutnya, dalam
menentukan apakah pihak wanita Indonesianya telah memenuhi syarat materil untuk melaksanakan
perkawinan, maka kita harus menggunakan hukum Indonesia untuk menentukan apakah syarat tersebut
telah terpenuhi sehingga dapat menentukan apakah wanita Indonesia tersebut telah berhak untuk
menikah.

D. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DI INDONESIA

Sekali lagi ditegaskan bahwa hukum perdata internasional merupakan bagian dari hukum perselisihan
dan hal yang menjadi pembeda utama HPI dibandingkan dengan subbidang hukum perselisihan lainnya
adalah bahwa HPI ini memiliki titik taut berupa adanya unsur asing di dalam peristiwa HPI. Pertumbuhan
HPI di indonesia memilIkI sejarah yang unik. Pada dasarnya pemikiran HPl di Indonesia berkembang dari

47
konsepsi hukum perdata kuasi internasional, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Andre de la Porte
ketika Indonesia masih merupakan negara jajahan Belanda (Hindia Belanda). Konsep ini diperkenalkan
oleh pemerintah Belanda dengan melalui sistem yang dikenal sebagai hukum antargolongan atau hukum
antar komunitas.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan menjadi sebuah negara berdaulat, relevansi dari
hukum antargolongan sebenarnya menjadi berakhir dan digantikan perannya oleh hukum perdata
internasional dalam arti yang sempit (hanya mengatur hubungan-hubungan hukum yang melibatkan WN
Indonesia dengan WN Asing) Hubungan antarkelompok penduduk di Indonesia bukan lagi dibedakan
karena pembedaan golongan penduduk, melainkan karena pembedaan kewarganegaraan. Artinya,
hubungan ini berubah menjadi hubungan yang bersifat transnasional yang mengandung unsur asing
(foreign element).

E. ASAS-ASAS UMUM HPI DI INDONESIA

Sampai dengan tulisan ini diterbitkan, belum ada peraturan perundang-undangan nasional Indonesia
yang secara khusus menghimpun dan mengatur asas dan kaídah HPI secara lengkap, komprehensif, dan
terintegrasi. Kaidah dan asas HPI tersebar di berbagai peraturan substansif yang terpisah-pisah. Kaidah-
kaidah HPI umum (general choice of law rules) yang ada dan merupakan peninggalan sistem hukum
Hindia Belanda, termuat di dalam Pasal 16, 17, dan 18 Algemeene Bepalingen van Wetgeving (voor
Indonesië)." Peraturan tersebut isinya adalah sebagai berikut:

• Pasal 16

"Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku
bagi kaula negara Belanda, apabila ia berada dí luar negeri. Akan tetapi, apabila ia menetap di negeri
Belanda atau di salah satu daerah koloní Belanda, selama ia mempunyaí tempat tinggal disitu,
berlakulah mengenai bagian tersebut dan hukum perdata yang berlaku di sana". Pasal ini mengatur
tentang status dan kewenangan personal dari seseorang. Asas yang dipergunakan dalam pasal ini adalah
asas domicilium originis. Artinya, untuk menentukan apakah seseorang cakap/berwenang untuk
melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, ukuran yang dipergunakan adalah ukuran yang berlaku di
dalam hukum tempat orang itu berasal.

Contoh

Dalam situasi dewasa ini, apabila orang Indonesia pergi ke Amerika Serikat dan melakukan perbuatan
hukum di Amerika Serikat, untuk menentukan apakah dia cakap atau tidak dalam melakukan perbuatan
hukum itu, ukuran yang harus dipergunakan (misalnya, tentang usia dewasa) tetaplah hukum Indonesia.

Pasal 17

Terhadap barang-barang yang tidak bergerak berlakulah undang-undang dari negeri atau tempat di
mana barang-barang itu berada. Pasal ini mengatur tentang status kebendaan dari benda tetap. Asas
yang dipergunakan di dalam pasal ini adalah asas lex situs atau lex rei sitae. Artinya, ukuran-ukuran
48
untuk menentukan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai benda tetap, hak kebendaan atas benda
tetap, serta akibat-akibat hukumnya, harus ditetapkan berdasarkan sistem hukum dari tempat benda
berada/terletak.

Contoh:

Seorang warga negara Inggris akan terikat pada Undang-Undang Pokok Agraria Indonesia dan segala
peraturan pelaksanaannya apabila ia ingin menguasai atau memiliki hak tertentu atas tanah di
Indonesia. Dengan demikian, ia tidak dapat menguasai tanah hak milik, misalnya, karena hukum
Indonesia tentang hak milik atas tanah melarang pemilikan tanah oleh orang asing dengan atas hak
milik.

Pasal 18

Bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut perundang-undangan dari negerí
atau tempat, di mana tindakan hukum itu dilakukan. Pasal ini mengatur tentang hukum yang seharusnya
diberlakukan dalam penetapan status dan keabsahan dari perbuatan-perbuatan atau hubungan-
hubungan hukum (yang mengandung unsur asing). Asas HPI yang digunakan di dalam pasal ini adalah
asas lex loci artinya bentuk dari sebuah perbuatan hukum atau hubungan hukum serta keabsahannya
akan ditentukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan hukum dilakukan atau hubungan hukum
dibuat. Asas ini menjadi sangat penting untuk menentukan "kualifikasi hukum" dari sebuah perbuatan
hukum.

Contoh:

Orang tua berkewarganegaraan Inggris meminta orang Belanda untuk mengelola hartanya senilai 2 juta
pound sterling. Hasil pengelolaan tersebut harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan pendidikan
anak-anak kandung orang Inggris tersebut sampai mereka mencapai usia dewasa. Apabila anak-anak
tersebut mencapai usia 25 tahun, barulah harta tersebut dapat diserahkan atau diwariskan kepada
mereka. Untuk melaksanakan perjanjian tersebut, orang Belanda itu diberi hak untuk menikmati 20%
dari keuntungan pengelolaan harta itu sebagai kompensasi atas jerih payahnya. Perjanjian itu dibuat dan
disepakati di Inggris. Jika kita menggunakan hukum Inggris, perjanjian seperti ini dikategorikan sebagai
sebuah trust inter vivos, dan belum terlalu jelas apakah lembaga ini harus dikualifikasi sebagai hubungan
masuk di dalam kelompok hukum kontrak (law of contracts) atau hukum benda. Sedangkan jika
perjanjian itu dikualifikasikan berdasarkan hukum Belanda, timbul masalah apakah lembaga ini akan
dikualifikasikan sebagai persoalan perwalian dan masuk ke dalam bagian hukum keluarga (familierecht)
atau hukum kontrak. Dalam kasus ini, karena perjanjian ini dibuat di Inggris, maka hukum Inggrislah
yang harus dipergunakan mengualifikasikan hubungan hukum tersebut sehingga hubungan hukum itu
akan dikategorikan sebagai perjanjian trust menurut hukum Inggris. Persoalan-persoalan lain akan
muncul apabila orang berurusan dengan lembaga-lembaga hukum yang hanya dikenal di suatu sistem
atau tradisi hukum tertentu, tetapi tidak dikenal di dalam sistem hukum atau tradisi hukum lain.

49
Sekalipun AB voor Indonesië diundangkan lebih dari dua abad yang lalu dan sekalipun Indonesia saat ini
adalah negara berdaulat, ternyata peraturan ini sampai saat ini masih berlaku di Indonesia. Hal ini bisa
dijustifikasi oleh Pasal 1 Aturan Peralihan dari Amandemen Ke-4 UUD 1945, yang menyatakan:

"Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut undang-undang dasar ini."

Mengingat hingga saat ini Indonesia belum memiliki peraturan yang berisi asas HPl yang dapat
menggantikan ketiga pasal AB tersebut, maka AB hingga saat ini masih berlaku dan menjadi acuan
penting untuk menentukan hukum yang berlaku (lex causae/the governing lawl the proper law) untuk
menyelesaikan perkara HPI. Penjabaran lebih jauh dari ketiga asas tersebut akan dibahas pada bagian di
bawah ini.

1. Status Personal dan Kecakapan Hukum: Hukum dari Tempat Berkewarganegaraan

Pada dasarnya Pasal 16 AB diatur dalam konteks penjajahan Belanda karena peraturan ini ditujukan
untuk menentukan status personal dari kaula negara Belanda (para warga di wilayah terjajah), yang
tetap tunduk pada sistem hukum dari wilayahnya berasal, kecuali jika ia tinggal di Belanda atau di salah
satu wilayah koloni Belanda (pada waktu itu beberapa negara jajahan Belanda lainnya adalah Suriname,
Netherlands Antilles, Curacao). Mereka akan tunduk dari hukum Belanda atau hukum negara terjajah
lainnya di mana kaula negara itu berada. Jadi, jika seorang bumiputra pada 1921 tinggal di Amerika
Serikat, penentuan status personalnya akan tunduk pada hukum adatnya sendiri. Namun, jika bumiputra
tersebut tinggal di Curacao, status personalnya akan diatur dengan hukum Curacao. Dalam konteks
negara Indonesia yang telah merdeka, asas yang dapat disimpulkan dari Pasal 16 AB adalah status
personal dan kecakapan bertindak dari seorang WNI akan tunduk pada hukum Indonesia; visa versa,
status personal dan kecakapan bertindak dari setiap warga negara asing akan tunduk pada hukum dari
tempat mereka berasal (asas country of origin atau domicilium originis). Mengadopsi dari sistem yang
berlaku di Belanda, di Indonesia domicilium originis ini diterapkan dengan menggunakan patokan
hukum dari tempat orang tersebut berkewarganegaraan (nationality principle).

Di dalam interpretasinya terhadap Pasal 16 AB, Kollewijn menolak penerapan prinsip kewarganegaraan
di dalam hukum antargolongan. Sebagai contoh, ia merujuk pada status personal dari seorang Hindia
Belanda (yang tunduk pada hukum adat-penulis) yang pindah ke Belanda. Dalam situasi ini, hukum
adatnya akan tetap berlaku, sepanjang status kependudukannya di Hindia Belanda tidak terputus.
Namun, dengan kepindahannya ke Belanda, jika ia bukan lagi penduduk Hindia Belanda, hukum Belanda
akan berlaku baginya. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam hukum antargolongan, yang berlaku adalah
prinsip domisili dan bukan prinsip kewarganegaraan. Kollewijn membedakan penerapan dari prinsip
nasionalitas dalam negara merdeka dan dalam situasi antargolongan, yang secara faktual dapat
ditemukan di dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen der Wetgeving van het Koninkrijk” dan pasal 16 AB
voor Indonesie. Pasal 6 AB Belanda berisi satu asas utama, yaitu prinsip nasionalitas sementara Pasal 16
AB Indonesia menerapkan asas nasionalitas dengan pengecualian, yaitu jika kaula negara (BP) hidup di
wilayah Belanda atau negara jajahan Belanda lainnya, prinsip domisili yang berlaku. Dalam konteks

50
Indonesia merdeka saat ini, pengecualian tersebut menjadi tidak relevan. Berarti berdasarkan Pasal 16
AB Indonesia, maka prinsip nasionalitas berlaku tanpa pengecualian.

2. Benda Tetap: Asas Lex Situs

Pasal 17 AB Indonesia menentukan status benda tetap diatur dengan menggunakan asas lex situs atau
lex rei sitae, yang artinya hukum dari tempat benda tersebut beradalah yang akan dipergunakan untuk
menentukan status benda tetap. Asas ini adalah asas yang sangat tepat, mengingat dengan
ditundukkannya status benda pada hukum dari tempat benda tersebut berada akan membuat eksekusi
atau penegakan atas hak atas benda itu menjadi lebih mudah dilaksanakan karena telah sesuai dengan
hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Harus ditegaskan kembali bahwa Pasal 17 ini hanya
diberlakukan untuk menentukan status benda tetap (immovables, onroerendgoederen). Akibatnya,
hingga saat ini Indonesia tidak memiliki kaidah HPI yang mengatur tentang hukum yang seharusnya
berlaku terhadap status benda bergerak (movables, roerendgoederen). Secara doktrinal dan juga dalam
praktik, asas yang dipergunakan untuk menentukan status hukum dari benda bergerak adalah asas
mobilia sequuntur personam, yang menentukan keberlakuan hukum personal pemilik/penguasa benda
bergerak tersebut untuk mengatur status hukum dari benda-benda tersebut. Penerapan asas mobilia
sequuntur personam dalam menentukan status dari benda bergerak dapat lebih memberikan kepastian
hukum daripada penerapan asas lex situs yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

3. Perbuatan Hukum atau Hubungan Hukum: Asas Lex Loct Actus

Di dalam hukum Indonesia, bentuk, formalitas, dan keabsahan dari sebuah perbuatan hukum ditentukan
berdasarkan hukum dari tempat terlaksana/dilaksanakannya perbuatan hukum (asas lex loci actus). Asas
ini diturunkan dari asas locus regit actum, yang memberi kualifikasi atas bentuk perbuatan hukum
tertentu atau atas masalah hukum tertentu berdasarkan sistem hukum di mana perbuatan hukum atau
masalah hukum itu terjadi. Apakah sebuah perbuatan hukum adalah perbuatan yang sah atau tidak sah,
apakah formalitas dari sebuah perbuatan hukum telah dipenuhi, apakah akibat hukum dari sebuah
perbuatan hukum tertentu, semuanya akan ditentukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan
tersebut dianggap terjadi. Prinsip ini dapat diterapkan untuk menentukan hukum yang berlaku terhadap
masalah-masalah hukum perikatan di dalam hukum perjanjian (contract) maupun di dalam perbuatan-
perbuatan hukum karena undang-undang, baik yang sesuai hukum (mis. zaakwarneming atau
negotiorum gestio) atau yang melawan hukum (onrechtmatige daad atau torts). Selanjutnya, ada
sekurang-kurangnya dua asas HPI tentang hukum kontrak yang diturunkan dari asas locus regit actum,
yaitu:

• Berkaitan dengan keabsahan dari pembuatan perjanjian, yang didasarkan pada hukum dari tempat
perjanjian tersebut disepakati dan dibuat (asas lex loci contractus); dan

• Berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian, yang harus tunduk pada hukum dari tempat di mana
perjanjian tersebut dilaksanakan lasas lex loci solutionis).

51
• Untuk menetapkan status dan tanggung jawab yang terbit dari perbuatan hukum sesuai undang-
undang umumnya digunakan asas lex loci actus. Sementara itu, terhadap perbuatan melawan hukum
sekurang-kurangnya dapat diturunkan dua asas penting, yaitu:

• Bentuk atau kategori hukum dari sebuah perbuatan melawan hukum harus ditentukan berdasarkan
hukum di mana perbuatan melawan hukum itu dilakukan (asas lex loci delicti commissi); dan

• Hukum dari tempat munculnya kerugian langsung dari perbuatan melawan hukum tersebut (asas lex
loci damni).

Walau demikian, Indonesia masih belum memiliki kaidah HPI khusus berkaitan dengan perjanjian dan
perbuatan melawan hukum sebagaimana yang dijabarkan di atas. Dengan demikian, Pasal 18 AB ini
adalah satu-satunya asas umum yang memayungi juga kaidah HPI untuk kontrak dan perbuatan
melawan hukum. Di dalam praktik hukum di Indonesia terkait masalah kontraktual, asas lex loci
contractus telah diaplikasikan oleh Pengadilan Negeri Medan untuk menentukan hak dan kewajiban dari
pihak-pihak dalam perjanjian utang piutang yang disepakati di Cina. Asas ini juga diterapkan untuk
menentukan akibat hukum dari perjanjian penghibahan yang dilakukan secara sepihak, yang dibuat di
Saudi Arabia, walaupun objek dari perjanjian tersebut adalah sebidang tanah yang terletak di Jakarta. Di
dalam kasus lain, asas lex loci solutionis telah diterapkan untuk menentukan akibat hukum dari sebuah
perjanjian ekspor impor karena penarikan dan persetujuan pembayaran telah dilakukan di London.
Mengingat, baik asas lex loci contractus maupun lex loci solutionis telah digunakan di dalam putusan-
putusan hakim di Indonesia (meskipun kedua asas tersebut tidak dimuat secara tegas di dalam
perundang-undangan), pertanyaannya adalah bagaimana hakim Indonesia mempertimbangkan untuk
menerapkan asas lex loci contractus atau asas lex loci solutionis di dalam menentukan hukum yang
seharusnya berlaku terhadap sebuah kontrak? Mereka menerapkan "subjective test" terhadap isi
perjanjian, melalui analisis dan penyimpulan mengenai kehendak tersirat para pihak (intentions of the
parties) di dalam perjanjian mengenai hukum yang hendak diberlakukan atas kontrak mereka yang harus
didasarkan pada pengujian kasus demi kasus.

Berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, asas lex loci delicti commissi telah diterapkan di dalam
kasus kelalaian dari seorang pekerja golongan penduduk Eropa yang bekerja di Hindia Belanda untuk
meneliti aturan-aturan keamanan kerja. Walaupun korban dari kelalaian tersebut adalah sebuah
perusahaan Eropa, kasus tersebut diputus berdasarkan hukum dari negara di mana kelalaian tersebut
terjadi. Oleh karena itu, kasus ini kemudian diputus dengan menggunakan hukum adat. Harus
diperhatikan bahwa asas lex loci delicti commissi dan asas lex loci damni di dalam praktik telah
dikecualikan oleh hukum dari pihak yang mengalami kerugian (the law of the injuring party). Contoh di
atas menggambarkan bahwa tanggung jawab dari seorang supir bumiputra yang menyebabkan orang
mengalami kerugian telah diselesaikan dengan menggunakan hukum adat sekalipun kerugian diderita
oleh perusahaan Eropa.

KESIMPULAN

52
1. Hukum perdata internasional merupakan bagian dari hukum perselisihan. Inti dari hukum perselisihan
adalah serangkaian asas hukum, kaidah hukum, atau peraturan yang berfungsi untuk menentukan
hukum yang seharusnya berlaku untuk menyelesaikan perkara jika di dalam perkara tersebut ternyata
terkait pada lebih dari satu sistem hukum/kaidah hukum /peraturan. Sedangkan HPI adalah bagian dari
hukum perselisihan yang memiliki kekhasan (titik taut primer) berupa adanya unsur asing (foreign
element) di dalam masalah hukum yang dihadapinya.

2. Penyelesaian perkara hukum perselisihan (termasuk juga penyelesaian perkara HPI) harus dilakukan
dengan menggunakan metode hukum perselisihan. Metode ini melibatkan pranata hukum yang disebut
sebagai titik taut dan kualifikasi.Tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk menentukan hukum
yang seharusnya berlaku (the proper law/ the governing law/lex causae) dari perkara.

3. Hukum perdata internasional di Indonesia tumbuh sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Cikal
bakal HPI dalam konteks negara jajahan adalah dalam bentuk hukum antargolongan. Lahirnya hukum
antargolongan ini adalah karena adanya Pasal 131 AB Indonesia yang membagi penduduk di Hindia
Belanda ke dalam tiga golongan penduduk, yakni Eropa atau yang disamakan, Timur Asing, dan
bumiputra. Masing-masing golongan penduduk itu tunduk pada sistem hukum yang berbeda. Golongan
penduduk Eropa atau yang disamakan tunduk pada hukum perdata Barat; golongan penduduk Timur
Asing tunduk pada hukum adat masing-masing (dan sejak tahun 1975 ditundukkan pada hukum perdata
Barat dengan beberapa pengecualian); dan golongan penduduk bumiputra tunduk pada hukum adat
masing-masing. Hubungan antargolongan penduduk itu melahirkan peristiwa hukum antargolongan.
Sejak Indonesia merdeka, pengelompakan berdasarkan golongan penduduk ini menjadi tidak relevan,
mengingat Indonesia dan Belanda kemudian sama-sama berkedudukan sebagai negara merdeka yang
berkedaulatan. Oleh karena itu, hubungan hukum antara orang-orang Belanda dan Indonesia itu (dan
hubungan hukum lain yang memiliki sifat transnasional) diatur dengan hukum perdata internasional.

4. Indonesia tidak memiliki peraturan yang secara komprehensif mengatur kaidah HPI. Hingga saat ini,
peraturan utama yang dipergunakan untuk menyelesaikan perkara HPI termuat di dalam Pasal 16-18
Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesië. Ketiga pasal tersebut mengatur tentang hukum
yang dipergunakan untuk menyelesaikan masalah status dan kewenangan personal (berdasarkan asas
kewarganegaraan); status hukum benda tetap (berdasarkan asas lex situs); dan status hukum dari suatu
perbuatan hukum/hubungan hukum (berdasarkan asas lex loci actus). Ketiga pasal itulah yang hingga
saat ini menjadi pasal dasar untuk menyelesaikan masalah-masalah HPI. Sedangkan kaidahHPI dari
beberapa masalah transnasional yang bersifat khusus (misalnya, perkawinan di luar negeri) diatur secara
khusus di dalam peraturan-peraturan teknis terkait (misalnya Undang-Undang Perkawinan).

53
BAB IV

BEBERAPA PRANATA TRADISIONAL HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

A. PENDAHULUAN

Dari pembahasan pada Bab I telah dapat disimpulkan bahwa HPI adalah sekumplan kaidah hukum
(perselisihan) nasional yang dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung
unsur-unsur asing atau unsur-unsur yang berisifat transnasional. Pemahaman teoretis terhadap
pengertian itu ternyata lebih mudah jika dibandingkan dengan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi
dalam proses penyelesaian perkara-perkara HPI secara konkret.

Perbedaan dan keunikan sistem-sistem politik, budaya, serta perkembangan sejarah pelbagai kesatuan
kebangsaan di dunia telah membawa keunikan-keunikan pula terhadap bentuk, corak, serta sifat sistem-
sistem hukum di dunia, tidak terkecuali terhadap sistem HPI-nya. Oleh karena itu, sangatlah sulit bagi
orang untuk berbicara tentang suatu teori, pendekatan, atau sistem HPI yang bersifat universal serta
54
yang dapat diaplikasikan dimana pun. Pembahasan pada aspek sejarah perkembangan HPI pada Bab II
serta perkembangan teori-teori HPI modern pada Bab IX buku ini pun sebenarnya dapat memberikan
gambaran tersirat mengenai keanekaragaman itu. Yang akan dibahas pada bab ini dan juga Bab V
sebenarnya adalah pelbagai teori dan asas HPI tentang pranata-pranata hukum yang dikembangkan di
dalam tradisi HPI di Eropa (baik dalam tradisi civil law maupun common law). Menyadari bahwa HPI
sebenarnya tumbuh bersama dengan perkembangan kebudayaan dan hukum di Eropa (lihat Bab II) dan
bahwa teori-teori HPI kontemporer yang berkembang di abad ke-20 sebenarnya juga tidak dapat
dilepaskan dari proses perkembangan yang serupa (lihat Bab IX), maka tampaknya penting bahwa para
pembaca buku ini juga dapat memperoleh gambaran tentang pranata-pranata, asas, dan juga persoalan-
persoalan HPI utama yang dikenal dan dicari jalan keluarnya di dalam pendekatan tradisional untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan HPI.

Beberapa pranata, asas serta problematik pokok yang akan dibahas di dalam bab ini sampai dengan bab
VII adalah:

1. Titik-titik taut dan klasifikasi titik-titik taut dalam HPI.

2. Kualifikasi pokok perkara dan teori-teori kualifikasi dalam HPI.

3. Kualifikasi masalah substansial dan prosedural.

4. Penunjukan kembali (renvoi) (Bab V).

5. Ketertiban umum (Bab VI).

6. Persoalan pendahuluan (incidental question-Bab VII).

Perlu disadari pula bahwa pranata-pranata HPI tradisional tersebut di atas juga selalu dapat dilihat
sebagai alat atau pola-solusi yang memungkinkan pengadilan atau pengguna lainnya untuk merekayasa
isi kesimpulan atas persoalan HPI yang hendak dibuatnya.

B. TITIK-TITIK TAUT DALAM HPI

Sebutan lain untuk titik-titik taut di dalam pelbagai literatur HPI adalah connecting factors (Inggris),
aanknüpfungspunkte (Jerman), points of contact (Inggris), aanknopingspunten (Belanda), dan titik-titik
pertalian. Berdasarkan pendekatan tradisional, proses penyelesaian perkara HPI sebenarnya dimulai
dengan evaluasi terhadap titik-titik taut (primer) dan setelah melalui proses kualifikasi fakta, konsep titik
taut kembali digunakan (dalam arti sekunder) dalam rangka menentukan hukum yang akan di
berlakukan dalam perkara HPI yang bersangkutan. Pertanyaannya, apakah titik-titik taut itu? Secara
sederhana, titik-titik taut dalam HPI dapat didefinisikan sebagai:

"Fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang menunjukkan pertautan antara perkara itu
dengan suatu tempat (d.h.i. negara) tertentu, dan karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang
bersangkutan dengan kemungkinan berlakunya sistem/aturan hukum intern dari tempat itu." Perhatikan

55
contoh imaginer di bawah ini: Seorang warga negara Jerman, yang sehari-hari berdomisili di
London,Inggris, dan akhirnya meninggal di Prancis serta meninggalkan sejumlah warisan di Italia, Inggris,
dan Jerman. Sebelum meninggal, ia telah membuat sebuah testamen untuk mengatur pembagian harta
warisannya itu. Testamen dibuat di Prancis. Ketika para ahli waris bersengketa mengenal pembagian
waris ini, mereka sepakat untuk mengajukan perkara di pengadilan Jerman. contoh di atas dengan cukup
tajam hendak menunjukkan adanya kaitan (connections) antara fakta-fakta yang ada di perkara dengan
suatu tempat/negara dan juga sistem hukum negara-negara tertentu. Misalnya, pertautan karena:

1. Kewarganegaraan pihak pewaris (Jerman).

2. Tempat kediaman tetap (domicilii) pewaris (Inggris).

3. Letak benda (situs rei) (Italia, Inggris, Jerman).

4. Tempat perbuatan hukum dilakukan (pembuatan testamen) (Prancis).

5. Tempat perkara diajukan (forum) (Jerman).

Setiap titik taut di atas menunjukkan adanya kaitan antara perkara dan suatu tempat tertentu. Pada
tahap pertama dari proses penyelesaian perkara HPI, adanya faktor-faktor ini sebenarnya menunjukkan
bahwa perkara yang sedang dihadapi adalah perkara HPI (perkara yang mengandung unsur-unsur asing)
ditinjau dari sudut pandang forum yang mengadili perkara. Pada tahap-tahap berikutnya, tidak mustahil
bahwa faktor-faktor itu akan memberikan efek hukum yang berbeda di pelbagai sistem hukum sehingga
orang harus menentukan titik taut apa yang bersifat menentukan (decisive) dalam menetapkan hukum
yang harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara (apakah hukum Jerman, Prancis, Italia, atau
Inggris?

Prof. E.J. Cohn berpandangan bahwa salah satu objek dari HPI adalah untuk meletakkan aturan-aturan
dalam rangka memilih hukum yang akan diberlakukan (rules for the choice of law).' Choice of law rules
(norma-norma HPI) itu adalah aturan-aturan yang menegaskan hukum apa yang seharusnya mengatur
suatu perkara yang mengandung unsur asing. Usaha pemilihan hukum ini hampir selalu bergantung
pada titik-titik taut yang akan menunjukkan sistem hukum apa yang relevan dengan sekumpulan fakta
yang sedang dihadapi. Menurut Cohn, di samping faktor kewarganegaraan pihak-pihak yang beperkara,
beberapa titik taut lain yang dianggap penting adalah:

1. Hukum dari tempat dilaksanakannya perbuatan (lex loci actus).

2. Hukum dari tempat di mana benda-benda tetap terletak (lex rei sitae).

3. Tempat pembuatan dan atau pelaksanaan kontrak (locus contractus locus solutionis).

Dalam kaitan yang sama, Prof. R.H. Graveson berpendapat bahwa dalam upaya menyelesaikan suatu
perkara HPI perlu diperhatikan tiga hal berikut ini:

56
• Titik-titik taut apa sajakah yang dipilih oleh sistem HPI tertentu yang dapat diterapkan pada
sekumpulan fakta yang bersangkutan?

• Berdasarkan hukum manakah di antara pelbagai sistem hukum yang relevan dengan perkara titik-titik
taut itu akan ditentukan. Hal ini perlu diperhatikan karena faktor-faktor yang sama mungkin secara
teoretis diberi interpretasi yang berbeda di dalam pelbagai sistem hukum.

• Setelah kedua masalah tadi diselesaikan, barulah ditetapkan bagaimana pertautan itu dibatasi oleh
sistem hukum yang akan diberlakukan (lex causae).

Pengertian Titik Taut dalam HPI

Dalam HPI dikenal dua jenis titik taut, yaitu:

1. Titik-Titik Taut Primer (Primary Points of Contact)

Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan peristiwa hukum ini
mengandung unsur-unsur asing (foreign elements) dan karena itu peristiwa hukum yang dihadapi adalah
peristiwa HPI dan bukan peristiwa hukum intern/domestik semata.

Perlu disadari bahwa pemahaman terhadap titik-titik taut dalam arti primer ini harus selalu dilihat dari
sudut pandang lex fori tertentu. Apabila dilihat contoh di awal bab ini, titik-titik taut yang menunjuk ke
arah hukum Inggris, Italia, atau Prancislah yang dapat dikategorikansebagai titik taut primer karena
unsur-unsur (asing) ini dilihat dari posisi Jerman sebagai forum yang mengadili perkara.

2. Titik-Titik Taut Sekunder (Secondary Points of Contact)

Yaitu fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan hukum manakah yang harus
diberlakukan dalam menyelesaikan persoalan HPI yang sedang dihadapi. Titik taut sekunder sering kali
disebut titik taut penentu karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan
digunakan sebagai the applicable law dalam penyelesaian suatu perkara. Berdasarkan pendekatan HPI
tradisional, titik taut sekunder yang bersifat menentukan itu harus ditemukan di dalam kaidah HPI lex
fori yang relevan dengan perkara. Apabila dikaitkan kembali dengan contoh di atas, jika kaidah HPI
Jerman menetapkan bahwa penyelesaian perkara waris itu harus diselesaikan berdasarkan hukum dari
tempat di mana testamen dibuat secara sah (sebagai titik taut penentu), hakim akan menggunakan
kaidah-kaidah hukum intern Prancis untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan.

Jenis-jenis pertautan yang umumnya dianggap menentukan dalam HPI, antara lain:

• Tempat penerbitan izin berlayar sebuah kapal (bendera kapal) kewarganegaraan para pihak;

• Domisili, tempat tinggal tetap, tempat asal orang, atau badan hukum;

• Tempat benda terletak (situs);

• Tempat dilakukannya perbuatan hukum (locus actus);


57
• Tempat timbulnya akibat perbuatan hukum/tempat pelaksanaan perjanjian (locus solutionis);

• Tempat pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum resmi (locus celebrationis); dan

• Tempat gugatan perkara diajukan/tempat pengadilan (locus forum).

Ada pandangan yang menganggap bahwa penggunaan titik-titik taut secara tradisional dapat
menimbulkan dua masalah utama, yaitu:

1. Titik-titik taut yang digunakan secara tradisional tidak selalu menunjukkan ke arah pemilihan hukum
yang rasional.

2. Titik-titik taut yang dipilih sering kali didasarkan pada asumsi tentang adanya kesetaraan atau
paralelisme konsep hukum, yang mungkin sebenarnya tidak ada.

Karena itu, sebagai jalan keluar terhadap masalah semacam itu, diusulkan agar:

1. Suatu titik taut sebaiknya tidak digunakan jika secara mekanis (melalui prosedur tradisional) ternyata
akan menunjuk ke arah suatu sistem hukum yang sama sekali tidak relevan dengan perkara yang sedang
dihadapi dan

2. Substansi/isi dari suatu tata hukum asing yang ditunjuk harus menunjukkan relevansi tertentu yang
signifikan, dalam arti bahwa kaidah hukum asing yang kemudian ditunjuk adalah kaidah hukum yang
juga akan digunakan dalam perkara-perkara domestik sejenis di negara yang bersangkutan. Untuk
memahami kemungkinan dapat terjadinya penunjukan oleh titik taut sekunder (tradisional) ke arah
sistem hukum yang tidak relevan dengan kasus yang dihadapi oleh forum, dapat diperhatikan contoh
kasus imaginer di bawah ini.

Fakta hukum:

• The International Theater Institute (ITI) adalah sebuah lembaga pendidikan seni di Paris. Lembaga ini
bermaksud untuk mengadakan pertunjukan teatrikal seni tari di berbagai negara di Eropa dan salah
satunya adalah di Inggris.

• Untuk melaksanakan pertunjukan tersebut, ITI membuat theatrical performance contract dengan
London Colloseum Productions (LC), sebuah rumah produksi dan pusat pertunjukan teater di London,
Inggris.

• Anggap saja bahwa perjanjian dibuat di Antwepen (Belgia) ketika para pihak bertemu di dalam sebuah
pekan seni internasional di sana. Para pihak sepakat bahwa pagelaran pertunjukan akan dilaksanakan di
London.

58
• Satu bulan sebelum pelaksanaan perjanjian, secara mendadak IT membatalkan perjanjian secara
sepihak karena alasan-alasan keamanan, padahal pihak LC telah mempersiapkan hampir seluruh sarana
dan prasarana pendukung pertunjukan serta berhasil menjual habis tiket pertunjukan.

C. KUALIFIKASI MASALAH HUKUM DAN TEORI-TEORI KUALIFIKASI HPI

Dari pembahasan pada Bab I telah dapat disimpulkan bahwa HPI adalah sekumpulan kaidah hukum
(perselisihan) yang dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur-
unsur transnasional. Pemahaman teoretik terhadap definisi itu ternyata jauh lebih mudah dibandingkan
dengan aplikasinya dalam kenyataan. Perbedaan-perbedaan serta keunikan-keunikan sistem politik,
sosial, budaya, dan perkembangan sejarah dari negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ternyata
memberikan kekhasan pula terhadap bentuk, corak, serta sifat dari sistem-sistem hukum
nasional/domestik negara-negara di dunia, termasuk sistem HP-nya. Karena itu, hampir tidak mungkin
orang berbicara tentang suatu sistem dan teori HPI universal, yang dapat digunakan dimanapun. Materi
pada bab ini sebenarnya juga menggambarkan bagaimana pelbagai teori HPI tumbuh dan
mencerminkan keanekaragaman itu. Dalam bagian ini, secara umum akan dibahas pelbagai teori
tentang pranata HPI yang dikembangkan di dalam tradisi hukum civil law dan juga common law,
khususnya mengenai kualifikasi fakta/hukum dan teori-teori kualifikasi HPI dan secara khusus masalah
tentang kualifikasi substansial dan prosedural.

Pengertian dan Problematik Kualifikasi Fakta/Hukum dalam HPI

Dalam setiap proses pengambilan keputusan hukum, tindakan "kualifikasi adalah bagian dari proses
yang hampir pasti dilalui karena dengan kualifikasi, orang mencoba untuk menata sekumpulan fakta
yang dihadapinya (sebagai persoalan hukum), mendefinisikannya, dan kemudian menempatkannya ke
dalam suatu kategori yuridik tertentu.

Dalam HPI, persoalan kualifikasi masalah hukum (classification of the cause of action) ini ditangani
secara lebih khusus karena dalam perkara-perkara HPI orang selalu berurusan dengan kemungkinan
berlakunya lebih dari satu sistem atau aturan hukum dari dua negara yang berbeda untuk mengatur
sekumpulan fakta tertentu. Singkatnya, kenyataan ini dapat menimbulkan masalah utama, yaitu proses
kualifikasi dalam HPI harus dilakukan berdasarkan sistem hukum mana/apa, di antara pelbagai sistem
hukum yang relevan dalam suatu perkara? Sebelum pembahasan dapat dilakukan terhadap pelbagai
teori HPI yang berusaha menjawab masalah di atas, maka perlu disadari terlebih dahulu bahwa dalam
hukum orang perlu membedakan dua jenis kualifikasi, yaitu:

• Kualifikasi fakta (classification of facts)

Yaitu proses kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta yang dihadapi dalam sebuah
peristiwa hukum (atau perkara) untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah hukum
(legal issues), sesuai dengan sistem klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dalam suatu sistem
hukum tertentu.

59
• Kualifikasi hukum (legal classification)

Yaitu penetapan tentang penggolongan/pembagian seluruh kaidah hukum di dalam sebuah sistem
hukum ke dalam pembidangan, pengelompokan, atau kategori hukum tertentu. Dalam hukum
Indonesia, misalnya, orang mengenal klasifikasi hukum perdata ke dalam hukum tentang orang, benda,
perikatan, pewarisan, dan sebagainya. Lebih lanjut lagi, hukum tentang benda dibedakan ke dalam
hukum tentang benda bergerak dan benda tetap atau pewarisan testamenter dan ab-intestatis, dan
sebagainya. Proses kualifikasi fakta ini mencakup langkah-langkah sebagai berikut:

1. Kualifikasi Sekumpulan Fakta dalam Perkara dan Mendefinisikan Peristiwa Hukum yang dihadapi Itu
berdasarkan dan ke dalam Kategori/Klasifikasi Hukum yang sudah ada dalam sistem Hukum tertentu
melalui serangkaian upaya menilai dan menyistematisasi sekumpulan fakta yang dihadapi dalam
perkara, orang kemudian mencoba mendeskripsikan atau mendefinisikan peristiwa yang dihadapinya
sebagai satu atau beberapa peristiwa hukum tertentu.

Contoh: Atas permintaan tergugat, penggugat telah berjanji untuk memberikan sejumlah uang tertentu
kepada tergugat dengan syarat bahwa apabila tergugat di kemudian hari telah menjadi pejabat negara,
tergugat akan memberikan sejumlah fasilitas untuk kemudahan usaha penggugat. Penggugat
memberikan sejumlah uang yang diminta itu. Namun, ternyata setelah tergugat menjadi pejabat, ia
mengingkari janjinya dan tidak memberikan fasilitas apa pun kepada penggugat. Penggugat mengajukan
gugatan terhadap tergugat di pengadilan Indonesia karena ia telah melakukan investasi yang cukup
besar dengan mengandalkan janji tergugat tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah gugatan
tersebut dapat dikualifikasi sebagai masalah wanprestasi/breach of contract atau sebagai masalah
perbuatan hukum/tort?

2. Kualifikasi Sekumpulan Fakta yang Telah Dikualifikasikan Tadi ke dalam Kaidah-Kaidah Hukum yang
Dianggap Harus Berlaku (The Applicable Law)

Contoh:

Seandainya sekumpulan fakta di atas telah dikualifikasikan sebagai perkara perbuatan melawan hukum
(tort), perkara ini harus diatur oleh kaidah/aturan hukum positif Indonesia yang dianggap paling relavan.
Apakah Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia atau ketentuan-ketentuan tentang wanprestasi di dalam
KUHPerdata? Di sini orang dikatakan melakukan kualifikasi hukum.

Persoalan timbul dalam HPI apabila perkara yang bersangkutan ternyata melibatkan lebih dari satu
sistem hukum (misalnya, karena tergugat adalah warga negara Indonesia, sedangkan penggugat (warga
negara Singapura), dan sistem hukum masing-masing pihak ternyata mengualifikasikan sekumpulan
fakta yang sama ke dalam kategori yuridik yang berlainan. Misalnya, hukum Indonesia mengategorikan
fakta-fakta di atas sebagai perkara tentang perbuatan melawan hukum, sedangkan hukum Singapura
menganggapnya sebagai perkara wanprestasi dalam perjanjian. Apakah pengadilan Indonesia harus
mengualifikasi fakta-fakta di atas sebagai perkara mengenai perbuatan melawan hukum atau
wanprestasi?

60
Ilustrasi di atas dimaksudkan untuk sekadar menajamkan persoalan khas di dalam HPI yang dapat
mengakibatkan proses kualifikasi HPI menjadi relatif lebih rumit dibandingkan dengan proses kualifikasi
dalam proses penyelesaian persoalan-persoalan hukum intern/domestik biasa. Secara sederhana, dari
contoh tadi dapat dipertanyakan, apakah perkara akan dianggap sebagai perkara tentang wanprestasi
dalam kontrak atau sebagai perkara tentang perbuatan melawan hukum? Keputusan yang diambil
dalam pemilihan ini mungkin akan membawa pengaruh tertentu dari hasil akhir pemutusan perkara.
Pengadilan Prancis akhirnya menetapkan bahwa perkara dikualifikasikan sebagai masalah harta
perkawian (sejalan dengan kualifikasi hukuam Inggris) dan memutus perkara berdasarkan lex loci
celebrationis (hukum Inggris) serta mengabulkan tuntutan janda.

Putusan hakim Prancis pada perkara Anton vs Bartolo menimbulkan kritik dan kontroversi karena hakim
dianggap telah melakukan kualifikasi berdasarkan hukum yang bukan lex fori dan tindakan ini dianggap
sebagai tindakan yang tidak tepat. Akibat lebih lanjut dari putusan perkara ini adalah dimulainya
perdebatan tentang masalah sistem hukum mana yang harus digunakan oleh hakim dalam
mengualifikasi suatu perkara HPI? Pertanyaan inilah yang kemudian menimbulkan pelbagai teori
kualifikasi dalam HPI.

1. Teori Kualifikasi Lex Fori

Tokoh-tokohnya adalah Franz Kahn (Jerman) dan Bartin (Prancis). Baik Kahn maupun Bartin bertitik tolak
dari anggapan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan hukum dari pengadilan yang mengadili
perkara (lex fori) karena sistem kualifikasi adalah bagian dari hukum intern lex fori tersebut. Franz Kahn,
lebih lanjut menyatakan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan lex fori karena alasan-alasan:

a. Kesederhanaan (simplicity)

Kesederhanaan (simplicity) sebab jika kualifikasi dilakukan dengan menggunakan lex fori, pengertian,
batasan, dan konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penyelesaian perkara adalah pengertian-
pengertian yang paling dikenal oleh hakim.

b. Kepastian (certainty)

Kepastian (certainty) sebab pihak-pihak yang beperkara akan telah mengetahui terlebih dahulu sebagai
peristiwa atau hubungan hukum apakah perkara mereka akan dikualifikasikan olelh hakim beserta
segala konsekuensi yuridiknya.

2 Teori Kualitikast Lex Causae (Lex Fori yang Diperluas)

pendukung teori ini adalah Martin Wolff. Teori ini beranggapan bahwa proses kualifikasi dalam perkara
HPI dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-ukuran dan keseluruhan sistem hukum yang berkaitan

61
dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah mana dari lex forl yang
palng erat Kaitannya dengan kaidah hukum asing yang mungkin diberlakukan. penentuan ini harus
dilakukan dengan mendasarkan diri pada hasil kualifikasi yang dilakukan dengan memerhatikan sistem
hukum asing yang bersangkutan. Setelah kategori yuridik dari suatu peristivwa hukum ditetapkan
dengan cara itu, barulah dapat ditetapkan kaidah yang mana dari lex fori yang akan digunakan untuk
menunjuk ke arah lex Causae,

Prof. Sunaryati Hartono berpendapat bahwa dalam hal kualifikasi dilakukan berdasarkan lex causae,
kesulitan mungkin akan timbul jika sistem hukum asing tertentu ternyata tidak memilikí sistem kualfikasi
yang cukup lengkap atau bahkan tidak mengenal klasifikasi lembaga hukum yang sedang dihadapi dalam
perkara. Dalam menghadapí kekosongan hukum semacam itu, lanjutnya, hakim biasanya menjalankan
konstruksi-konstruksi hukum (analogi) dengan memerhatikan cara-cara penyelesaian sengketa hukum
yang serupa atau sejenis di dalam sistem-sistem hukum yang dianggap memiliki dasar yang sama.
Apabila cara itu belum dapat membantu penyelesaian perlkara, barulah kualifikasi dilakukan
berdasarkan lex fori.

Prof. Cheshire melihat mekanisme berpikir kualifikasi secara agak berbeda. Menurut pandangannya,
kualifikasi dalam praktik sering kali dijalankan berdasarkan tex fori, tetapi karena dalam HPI kualifikasi
dijalankan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsur asing, maka sebenarnya
kualifikasi HPI tidak terlalu harus dilakukan berdasarkan lex fori saja. menurut Chesire, tindakan
kualifikasi dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara HPI dan salah satu fungsi utama HPI adalah
menetapkan aturan-aturan yang dapat diterapkan pada perkara-perkara yang masuk ke dalam suatu
sistem hukum asing. Karena itu, jelaslah bahwa hakim dalam perkara HPI harus juga mempertmbangkan
aturan-aturan dan lembaga-lembaga hukum asing. Karena itu pula, hakim tidak secarakaku (rigid) pada
konsep-konsep lex fori saja. Sikap yang demikian dapat mengakibatkan dikesampingkannya suatu
lembaga atau konsep hukum asing yang seharusnya digunakan hanya karena alasan tidak dikenalnya
lembaga atau konsep hukum asing itu di dalam lex fori. Dengan kata lain, Cheshire menyarankan agar
konsep-konsep, seperti "kontrak, perbuatan melawan hukum, dan sebagainya dalam HPI diberi
pengertian yang lebih luas sehingga dapat mencakup peristiwa/hubungan hukum yang sejenis dari suatu
sistem hukum asing.

Berdasarkan pertimbangan itu, hakim kemudian memutuskan bahwa:

• Testamen seorang suami yang mengabaikan hak-hak istrinya atas harta bersama, harus dianggap batal
demi hukum.

• Suami hanya berhak atas separuh dari harta perkawinan.

• Si janda berhak atas separuh bagian sisanya.

3. Teori Kualifikasi Bertahap

62
Teori ini dikembangkan oleh Adolph Schnitzer (Swiss) dan didukung juga dalam pandangan-pandangan
Prof. G.C. Cheshire, Prof. Ehrenzweig, dan Prof. Sunaryati Hartono. Teori ini bertitik tolak dari keberatan
terhadap teori kualifikasi lex Causae karena kualifikasi tidak mungkin dilalkukan berdasarkan hukum
yang seharusnya berlaku karena justru hukum yang hendak diberlakukan itulah yang masih harus
ditentukan dengan bantuan proses kualifikasi. Penentu lex causae dalam perkara HPl hanya dapat
dilakukan melalui proses kualifikasi (dengan bantuan titik-titik taut) dan pada tahap penentuan lex
causae kualifikasi mau tidak mau harus dilakukan berdasarkan lex fori terebih dahulu. Demi keadilan dan
ketelitian dalam proses penentuan kaidah hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara,
maka kualifikasi harus lakukan melalui dua tahap, yaitu

a. Kualifikasi tahap pertama

• Disebut juga qualifikation ersten grades, primary classification, qualificatie in de eerste graad.

• Kualifikasi ini dijalankan pada saat hakim harus menemukan kaidah HPI atau choice of law rule (lex
fori) yang akan digunakanuntuk menentukan titik taut penentu.

• Kualifikasi ini dilakukan dalam rangka menetapkan lex causae.

• Kualifikasi pada tahap ini harus dilaksanakan berdasarkan lex

fori.

• Proses kualifikasi dilakukan dengan mendasarkan diri pada sistem kualifikasi intern yang dikenal pada
lex fori.

Setelah lex causae dapat ditetapkan, hakim dianjurkan untuk menjalani tahap kedua.

b. Kualifikasi tahap kedua

• Disebut juga qualifikation zweiten grades, secondary classification, qualificatie in de tweede graad

• Kualifikasí ini dijalankan setelah lex causae ditetapkan, dan dalam rangka menetapkan kategori kaidah
atau aturan hukum intern apa dari lex causae yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara.

• Kualifikasí pada tahap ini harus dijalankan berdasarkan sistem kualifikasi intern yang dikenal pada lex
causae.

• Pada tahap ini semua fakta dalam perkara harus dikualifikasikan kembali berdasarkan kategori lex
causae.

• Berdasarkan hasil kualifikasi ini maka hakim dapat menetapkan kaidah hukum intern lex causae yang
akan digunakan untuk menyelesaikan perkara.

4. Teori Kualifikasi Analitis/Otonom

63
Tokoh-tokohnya adalah Ernst Rabel (Jerman) dan Beckett (Inggris). Teori ini pada dasarnya bertitik tolak
dari penolakan mereka terhadap asumsi bahwa yang melatarbelakangi suatu kaidah HPI itu hanya
hukum intern dari forum. Setiap sistem HPl sebenarnya dibentuk untuk menciptakan keharmonisan
internasional antara lex fori dan sistem-sistem hukum lain. Karena itu, metode perbandingan hukum
untuk membangun suatu sistem kualifikasi HPI yang dapat digunakan secara universal di forum mana
pun merupakan salah satu elemen terpenting dalam HPI. Menurut para penganut teori ini, dalam
tíndakan kualifikasi terhadap sekumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari kaitannya pada
suatu sistem hukum lokal/ nasional tertentu (bersifat otonom). Artinya, dalam HPI seharusnya
dikembangkan konsep-konsep (begrip) hukum yang dan dapat berlaku secara umum serta mempunyai
makna yang sama di mana pun di dunia.

Maka dari itu, untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Rabel, haruslah

digunakan metode perbandingan hukum dalam rangka membentuk pengertian-pengertian HPI yang
dapat diterima di mana-mana. Tujuannya adalah

unntuk menciptakan suatu sistem HPI yang utuh dan sempurna serta yang

berisi konsep-konsep dasar yang bersifat mutlak. Gagasan yang menarik

dari teori iní dalam kenyataan sulit diwujudkan karena:

a. Sangat sulit untuk menemukan dan merumuskan pengertian-pengertian hukum yang dapat dianggap
sebagai pengertian yang berlaku

umum.

b. Hakim yang hendak menggunakan pola kualifikasi ini harus mengenal semua sistem hukum di dunia
agar ia dapat memperoleh gambaran tentang konsep-konsep hukum yang memang diakui di seluruh
dunia.

Prof. Sudargo Gautama beranggapan bahwa:

"Walaupun teori kualifikasi iní sulit dijalankan, tetapi hal yang dapat ditarik sebagai pelajaran adalah
cara pendekatan/sikap seperti itu perlu dibina dalam HPI, walaupun seseorang akan mengualifíkasikan
sekumpulan fakta berdasarkan lex fori sekalipun. Artinya, konsep-konsep HPI jangan dítafsirkan hanya
berdasarkan pengertian lex fori saja, tetapi juga harus dísandarkan pada prinsip-prinsip yang dikenal
secara umum dan dengan memerhatikan konsepsi-konsepsi di dalam sistem hukum asing yang dianggap
hampir sama (analogous).

5. Teori Kualifikasi Berdasarkan Tujuan HPI

Tokohnya adalah G. Kegel. Teori ini bertitik tolak dari pandangan bahwa setiap kaidah HPI harus
dianggap memiliki suatu tujuan HPI tertentu yang hendak dicapai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai
melalui HPI haruslah diletakkan di dalam konteks kepentingan HPl, yaitu:
64
• Keadilan dalam pergaulan internasional

• Kepastian hukum dalam pergaulan internasional

• Ketertiban dalam pergaulan internasional

• Kelancaran lalu lintas pergaulan internasional

Karena itu, pada dasarnya masalah bagaimana proses kualifikasi harus dijalankan, tidaklah dapat
ditetapkan terlebih dahulu, tetapi akan merupakan hal yang ditetapkan kemudian, setelah penentuan
kepentingan HPI apa yang hendak dilindungi oleh suatu kaidah HPI tertentu. Secara sistematis, orang
dapat menyimpulkan bahwa proses kualifikasi yang dianjurkan oleh teori ini sebenarnya sejalan dengan
pola pendekatan teori-teori atau HPI modern, khususnya yang menuntut fleksibilitas perhatian pada
kecenderungan internasionalistik dalam fungsi HPI. Teori-teori modern HPI umumnya hendak
melepaskan diri dari anggapan bahwa HPI adalah sekumpulan aturan" (a set of rules) dan cenderung
melihat HPI sebagai 'suatu pendekatan" (approach). Misalnya, pendekatan yang diajukan di dalam The
Restatement Second-Conflict of Laws di AS yang dikenal dengan pendekatan The Most significant
Relationship Theory. Dalam penentuan hukum yang harus berlaku menurut pendekatan ini-hakim tidak
saja harus berpegang pada kaidah-kaidah HPI yang ada-di dalam lex fori-tetapi juga harus memerhatikan
asas-asas yang mencerminkan kebiakan-kebaikan dasar (guiding policies) HPI, yang menurut pendapat
penulis akan memengaruhi proses kualifikasi fakta yang akan dijalankan oleh Hakim dalam setiap
perkara HPI yang dihadapinya. Faktor-faktor itu adalah:

a. Forum pada dasarnya harus mematuni perintah-perintah undang-undangnya sendiri, selama


peraturan perundang-undangan semacam itu konstitusional.

b. Kaidah-kaidah HPI seharusnya dibuat agar sistem-sistem antarnegara bagian dan antarnegara dapat
berjalan dengan baik.

c. Forum pada dasarnya harus melaksanakan hukumnya sendiri, kecuali jika ada alasan kuat untuk tidak
melakukan itu.

d. Forum harus mempertimbangkan tujuan dari aturan hukum lokalnya yang relevan dengan perkara,
sebelum ia memutuskan untuk memberlakukan hukumnya sendiri atau hukum suatu negara lain.

e. Kaidah-kaidah HPI harus dibuat untuk mengupayakan kepastian, prediktabilitas, dan keseragaman
hasil penyelesaian perkara.

f. Forum harus selalu mengupayakan perlindungan terhadap harapan-harapan yang sah dari pihak-pihak
yang beperkara.

D. KUALIFIKASI MASALAH SUBSTANSIAL ATAU PROSEDURAL

Pembedaan masalah ke dalam persoalan substansial (substance) dan persoalan prosedural (procedural)
adalah hal yang perlu disadari dalam penyelesaian perkara-perkara HPI. Masalah substansial berkenaan
65
dengan persoalan mengenai hak-hak dan kewajiban_subjek hukum yang dijamin oleh kaidah hukum
objektif. Sedangkan masalah prosedural berkenaan dengan upaya-upaya hukum (remedies) yang
hendak dilakukan oleh subjek hukum untuk menegakkan hak-hak dan kewajiban yang terbit dan dijamin
berdasarkan kaidah hukum objektif, dengan bantuan pengadilan. Asas yang secara umum diterima
dalam HPI mengenai hal ini bahwa: Semua persoalan hukum yang dikualifikasikan sebagai masalah
prosedural harus ditentukan berdasarkan atau tunduk pada lex fori.

Namun, yang perlu dipertanyakan terlebih dahulu adalah:

• Apakah sebuah persoalan yang dihadapi forum sebagai perkara adalah perkara prosedural atau
substansial? Untuk menjawab pertanyaan ini, umumnya digunakan asas bahwa pengadilan tempat
perkara diajukanlah yang harus menetapkan itu berdasarkan sistem HPI-nya.

• Apakah kaidah hukum intern lex fori yang relevan dengan perkara harus dikualifikasikan sebagai
kaidah hukum acara (procedural law) atau kaidah hukum materiil (substantive law)?

Yang sering kali menimbulkan masalah dalam HPI adalah bagaimana orang harus mengualifikasilkan
suatu kaidah hukum sebagai kaidah hukum acara atau kaidah hukum materiil. Persoalan semacam ini
biasanya muncul di dalam konteks di mana pengadilan menghadapi pertanyaan, apakah dalam sebuah
perkara yang seharusnya tunduk pada suatu sistem hukum asing, suatu kaidah hukum lex fori harus
dikategorikan sebagai kaidah prosedural atau substansial. Dalam hal ini biasanya diterinma pandangan
bahwa seandainya suatu kaidah hukum dikualifikasi sebagai kaidah prosedural, kaidah hukum itu harus
diberlakukan walaupun hukum yang seharusnya berlaku sebagai lex causae adalah hukum asing. Dengan
perkataan lain, suatu pengadilan hanya akan menerapkan kaidah hukum asing seandainya kaidah itu
berkenaan dengan substansi perkara dan akan memengaruhi isi putusan.

Di dalam sistem HPI Amerika Serikat berkembang beberapa pandangan mengenai metode penentuan
(tests) untuk menentukan apakah suatu kaidah hukum harus dikualifikasikan sebagai kaidah prosedural
atau sebagai kaidah substansial.

Menurut Prof. Beale apakah suatu perkara harus dikualifikasikan sebagai perkara substansial atau
prosedural dapat dilakukan dengan melihat apakah ada cukup alasan untuk menggunakan lex fori dalam
penyelesaian perkara yang ada. Jika bagi forum dianggap lebih praktis (practical convenience) untuk
menggunakan hukum lokal dan penggunaan hukum intern forum itu akan lebih menguntungkan para
pihak, lex fori-lah yang harus digunakan. Artinya, apabila ukuran-ukuran tersebut dipenuhi, perkara yang
sedang dihadapi dapat dikategorikan sebagai masalah prosedural.

Prof. Walter Wheeler Cooke beranggapan bahwa batas yang tegas antara masalah substansial dan
prosedural sebenarnya tidak ada dan tidak dapat

ditentukan hanya dengan mengandalkan logika dan analisis hukum. Seharusnya batas itu ditentukan
dengan melihat pada apa yang dianggap hakim. Sebagai hal yang terbaik demi mewujudkan tujuan

66
forum. Untuk itu pertanyaan yang harus dijawab adalah sejauh mana forum dapat mengadili perkara
dengan menggunakan kaidah-kaidah hukun asing, tanpa mengganggu atau menyulitkan forum sendiri.

Prof. Morgan beranggapan, asas yang menetapkan bahwa masalah-masalah prosedural harus tunduk
pada lex fori, haruslah ditinggalkan sebab:

• Hukum dari tempat perbuatan (locus) harus diberlakukan terhadap semua masalah yang dianggap
prosedural, kecuali jika pemberlakuan hukum itu akan melanggar ketertiban umum forum.

• Hukum dari tempat perbuatan juga harus diberlakukan atas masalah-masalah prosedural jika
pemberlakuan itu akan berpengaruh besar terhadap hasil penyelesaian perkara. Terhadap asas ini
terdapat pengecualian, yaitu jika terdapat ancaman terhadap public order dari forum atau karena
pertimbangan-pertimbangan praktis menuntut diberlakukannya lex fori.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan pandangan di atas, pandangan yang umumnya diterima dewasa ini
tetap mendasarkan diri pada prinsip bahwa pengajuan perkara oleh suatu pihak ke hadapan forum
suatu negara sebenarnya secara tersirat sudah mengandung kehendak untuk tunduk pada tata cara
beperkara (procedural rules) dari forum yang bersangkutan.

Berdasarkan titik tolak itu maka prinsip yang umum diterima adalah:

Masalah masalah prosedural harus diatur berdasarkan lex fori, dan forum dapat memberlakukan
hukumnya sendiri setelah ia mengualifikasikan persoalan yang dihadapinya dalam perkara sebagai masa
prosedural walaupun secara analitis persoalan itu seharusnya dikualifikasikan sebagai masalah
substansial.

BAB V

DOKTRIN TENTANG PENUNJUKAN KEMBALI (RENVOI)

A. PENGERTIAN RENVOI

Apabila sampai sejauh ini para pembaca beranggapan bahwa penunjukan yang dilakukan melalui
penerapan sebuah kaidah HPI selalu diarahkan ke dan dimaksudkan untuk menetapkan sistem hukum
mana yang akan diberlakukan sebagai lex causae, dalam perkembangan HPI ternyata tumbuh kebutuhan
untuk menyimpang dari proses berpikir ini, khususnya apabila pengadilan beranggapan bahwa perkara
akan lebih baik diselesaikan berdasarkan kaidah-kaidah hukum intern lex fori atau sistem hukum lain
selain lex causae yang ditunjuk tadi. Misalnya, kaidah HPI Indonesia yang digunakan oleh forum
menunjuk ke arah hukum intern Singapura sebagai lex causae, tetapi hakim beranggapan bahwa perkara
akan lebih baik (dalam arti "lebih adil", "lebih mudah", dan sebagainya) diputuskan berdasarkan hukum
intern Indonesia atau hukum intern Thailand, maka dalam kondisi-kondisi tertentu pengadilan Indonesia
membutuhkan justifikasi untuk akhirnya memutus perkara dengan menggunakan hukum intern lex fori

67
atau hukum Thailand dan mengesampingkan hukum Singapura. Salah satu proses berpikir yang
dikembangkan untuk memungkinkan tindakan ini adalah lembaga atau doktrin renvoi. Dengan demikian,
doktrin penunjukan kembali/ penunjukan tebih lanjut (renvoi doctrine) merupakan salah satu pranata
HPI tradisional yang terutama berkembang di dälam tradisi civil law (hukum Eropa Kontinental) sebagai
pranata yang dapat digunakan untuk menghindarlkan pemberlakuan kaidah atau sistem hukum yang
seharusnya berlaku (ex causae) yang sudah ditetapkan berdasarkan prosedur HPI yang normal.
Pelaksanaan renvoi ini pada dasarnya dimungkinkan karena adanya pelbagai sistem hukum di dunia
yang masing-masing memiliki sistem dan kaidah-kaidah HPl-nya sendiri.

B. Contoh-contoh Kasus Kasus Single Renvoi

1. Kasus Patino vs Patino (1950)

Kasus posisi:

• Sepasang suami istri warga negara Bolivia mengajukan permohonan untuk perceraian.

• Pernikahan mereka dilakukan dan diresmikan di Spanyol.

• Permohonan perceraian diajukan di pengadilan Prancis.

Fakta hukum:

• Kaidah HPI Prancis menetapkan bahwa: Perkara-perkara yang menyangkut status personal harus
ditentukan berdasarkan prinsip kewarganegaraan para pihak.

• Kaidah HPI Bolivia menetapkan bahwa: Perkara tentang "pemenuhan atau penolakan terhadap
permohonan perceraian" harus dilakukan berdasarkan hukum dari tempat perkawinan diresmikan (lex
loci celebrationis).

• Kaidah hukum intern Spanyol menutup kemungkinan untuk pelaksanaan perceraian terhadap
perkawinan yang resmi dilaksanakan berdasarkan hukum Spanyol.

Proses penyelesaian perkara:

• Hakim Prancis, pertama- tama menggunakan kaidah HPI lex fori untuk menentukan hukum yang
seharusnya berlaku dan berdasarkan prinsip kewarganegaraan, kaidah HPI Prancis menunjuk ke arah
hukum Bolivia.

• Penunjukan ke arah hukum Bolivia oleh hakim Prancis ternyata dimaksudkan sebagai
gesamtverweisung ke arah kaidah HPI Bolivia.

• Kaidah HPI Bolivia ternyata menunjuk ke arah tempat peresmian perkawinan (locus celebrationis) dan
dalam hal ini adalah Spanyol. Penunjukan dari Bolivia ke arah hukum Spanyol inilah yang merupakan
renvoi ke arah sistem hukum ketiga (dan tidak lkembali ke arah lex fori)

68
• Hakim Prancis kemudian menganggap bahwa penunjukan ini sebagai Sachnormenverweisung ke arah
hukum intern Spanyol.

• Dengan asumsi ini, hakim Prancis kemudian memberlakukan hukum intern Spanyol dan menolak
permohonan cerai yang bersangkutan, dan pola berpikir yang digunakan hakim Prancis ini
menggambarkan proses renvoi dalam arti Transmission (penunjukan lebih lanjut).

2. Kasus Harta Peninggalan Schneider (1950)

Kasus Posisi

• A seorang warga negara AS, berdomisili di negara bagian New York dan berasal dari Swiss.

• A meninggal di New York dan meninggalkan sebuah tanah dan rumah di Swiss.

• Tanah di Swiss sebenarnya telah dijual dan uang hasil penjualannya telah ditransfer ke New York,
tetapi untuk kepentingan proses pewarisan tetap dianggap sebagai benda tetap (immovable)

• A meninggalkan sebuah testamen yang mewariskan tanah/hasil penjualan tanah itu kepada pihak-
pihak ketiga (beneficiaries) yang bukan ahli waris menurut garis keturunan (heirs).

• Para ahli waris (heirs) menggugat testamen dan mengklaim hak-haknya atas tanah di Swiss sebagai
ahli waris menurut undang-undang

• Gugatan diajukan di pengadilan New York.

Fakta-fakta hukum:

a. Hukum intern Swiss mengualifikasikan perkara sebagai perkara tentang kedudukan ahli waris menurut
undang-undang dalam pewarisan testamenter.

b. Hukum intern New York mengualifikasikan perkara sebagai perkara pewarisan tanah melalui
testamen.

c.Kaidah HPI New York menetapkan bahwa untuk perkara-perkara pewarisan benda-benda tetap, maka
hukum yang diberlakukan adalah hukum dari tempat di mana benda berada.

d. Kaidah HPI Swiss menetapkan bahwa status dan kedudukan dalam proses pewarisan testamenter
harus tunduk pada hukum dari tempat di mana pewaris memiliki kewarganegaraannya yang terakhir.

e. Kaidah hukum intern negara bagian New York menetapkan bahwa seorang pewaris testamenter
dapat dengan sah mewariskan kekayaannya kepada pihak-pihak ketíga (beneficiaries), bahkan juga jika
ia mengabaikan kedudukan ahlí-ahlí warisnya (heirs)

69
f. Kaidah hukum intern Swiss menetapkan bahwa seorang pewaris tidak dapat mewariskan kekayaannya
melalui testamen dengan mengabaikan bagian dari para ahli waris menurut undang-undang
(legitiemeportie).

Proses penyelesaian perkara:

a. Walaupun tanah telah dijual dan hasil penjualannya telah ditransfer ke New York, hakim New York
pertama-tama mengualifikasikan perkara berdasarkan hukum New York (lex fori) sebagaí perlara
pewarisan benda tetap dan berdasarkan kaidah HP! New York, perkara ini harus tunduk pada hukum
Swiss berdasarkan asas lex rei sitae (disini berlangsung penunjukan pertama).

b. Hakim New York kemudian mengualifikasikan perkara berdasarkan hukum Swiss dan menganggapnya
sebagai perkara tentang kedudukan ahli waris menurut undang-undang dalam pewarisan testamenter.
Penunjukan ke arah hukum Swiss itu ternyata merupakan gesamtverweisung ke arah kaidah HPI Swiss.

c. Kaidah HPI Swiss menetapkan bahwa kedudukan ahli waris dalam pewarisan testamenter harus diatur
berdasarkan hukum dari tempat dimana pewaris memiliki kewarganegaraannya yang terakhir. Jadi,
kaidah HPI Swiss dianggap akan menunjuk kembali ke arah New York.

d. Hakim New York kemudian menganggap bahwa penunjukan kembali oleh kaidah HPI Swiss itu sebagai
sachnormverweisung ke arah hukurn intern New York dan memutuskan bahwa tanah/hasil penjualan
tanah akan dibagikan sesuai amanat yang ada di dalam testamen.

e. Gugatan para ahli waris (heirs) ditolak

C. THE FOREIGN COURT THEORY

Jika pranata renvoi yang dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya dipahami sebagai renvoi yang
berkembang di Eropa Kontinental dan dikenal sebagai pranata single renvoi, dalam sistem hukum Inggris
berkembang pula sejenis renvoi yang diberi nama The Foreign Court Theory (selanjut nya FCT).
Pengadilan Inggris pada dasarnya menolak pelaksanaan doktrin (single) renvoi dalam penyelesaian
perkara-perkara HPI. Namun, dalam beberapa perkara, tampak adanya kebutuhan bagi sistem peradilan
HPI Inggris untuk mengesampingkan berlakunya (lex causae dengan menggunakan pola berpikir yang
mirip renvoi.

Teori ini didasarkan pada fiksi hukum bahwa dalam penyelesaian perkara HPI pengadilan Inggris harus
bertindak sebagai suatu forum/pengadilan asing (yang telah ditunjuk oleh kaidah HPI Inggris), dan
memutus perkara dengan cara yang sama seperti badan peradilan asing itu.

Ada dua hal yang perlu disadari dalam pelaksanaan doktrin FCT ini, yaitu sebagai berikut:

1. Hakim harus menentukan terlebih dahulu sistem hukum atau badan peradilan asing manakah yang
seharusnya mengadili dan perkara HPI yang dihadapi. Secara tradisional, hal ini dilakukan dengan
menggunakan titik-titik taut dan kaidah-kaidah HPI lex fori. Pada tahap ini sebenarnya yang dilakukan

70
adalah menentukan badan peradilan asing mana yang menjadi the proper forum dan hukum asing mana
yang seharusnya menjadi the proper foreign lex fori. Hakim Inggris di sini akan melakukan
gesamtverweisung ke arah sistem hukum asing tertentu.

2. Langkah selanjutnya, dalam proses penyelesaian perkara haruslah dilakukan berdasarkan sistem HPI
dari foreign forum yang ditunjuk itu. Pada tahap ini hakim Inggris (yang berfiksi dalam kedudukannya
sebagai hakim asing itu) akan kembali menggunakan titik-titik taut dan kaidah HPI forum asing itu. Jadi,
pada tahap kedua ini sebenarnya terjadi "proses ulangan untuk menentukan lex causae dan tindakan ini
dapat menimbulkan beberapa akibat:

a. Karena alasan-alasan tertentu kaidah HPI asing menunjuk kembali" ke arah hukum Inggris dan oleh
hakim Inggris dianggap sebagai gesamtverweisung sehingga kaidah HPI Inggris akan menunjuk lagi ke
arah hukum asing yang bersangkutan dan kali ini penunjukan akan dianggap lagi sebagai
sachnormenverwesuig ke arah hukum intern asing yang akan digunakan untuk memutus perkara.
Kemungkinan yang pertama ini dijalankan oleh hakim karena pengadilan berhadapan dengan suatu
sistem hukum asing yang diketahui menerima renvoi. Lihat kasus Re Annesley di bawah ini.

b. Kaidah HPI asing menunjuk kembali" ke arah hukum Inggris dan oleh hakim Inggris dianggap sebagai
gesamtverweisung sehingga kaidah HPI Inggris akan menunjuk lagi" ke arah hukum asing dan kali ini
penunjukan dianggap sebagai gesamtverweisung lagi sehingga kaidah HPI asing akan menunjuk kembali"
ke arah hukum Inggris dan penunjukan terakhir ini akan dianggap sebagai sachnormenverweisung oleh
hakim Inggris, dan hukum intern Inggrislah yang digunakan untuk memutus perkara. Kemungkinan yang
kedua ini dijalankan oleh hakim karena pengadilan ternyata berhadapan dengan suatu sistem hukum
asing yang diketahui juga melarang/menolak renvoi. Lihat kasus Re Duke of Wellington di bawah ini.

Dari uraian di atas tampak bahwa yang menjadi masalah utama dalam FCT doctrine bukanlah apakah lex
fori menerima atau menolak renvoi, melainkan apakah sebuah forum asing (foreign courh menerima
renvoi atau menolak renvoi).

Beberapa putusan terkenal di dalam yurisprudensi Inggris yang sedikit banyak menggambarkan variasi
penggunaan doktrin FCT ini adalah:

1. Re Annesley case (1926)

2. Re Duke of Wellington case (1949)

Selengkapnya kedua keputusan tersebut akan diuraikan berikut ini.

1. Re Annesley Case (1926)

Kasus posisi:

• Seorang wanita warga negara Inggris, berdomisili di Prancis, dan meninggal dunia di Prancis.

• la meninggalkan testamen yang dibuat berdasarkan kaidah hukum waris Inggris.


71
• Testamen digugat oleh para ahli waris berdasarkan undang-undang karena dianggap mengabaikan
(egitieme portie yang memberikan hak kepada mereka untuk menerima 2/3 dari peninggalan pewaris.

• Wanita tersebut dalam kenyataan tinggal di Prancis. Namun, ia tidak pernah memperoleh status resmi
sebagai penduduk Prancis.

• Perkara diajukan di pengadilan Inggris.

Fakta hukum:

• Kaidah HPI Inggris menganggap bahwa masalah pewarisan testamenter harus diatur berdasarkan
hukum dari domicile pewaris pada saat ia meninggal.

• Kaidah HPI Prancis menganggap masalan pewarisan harus diselesaikan berdasarkan hulkum darí
tempat pewaris menjadi warga negara.

• Hukum HPI Prancis lain menetapkan bahwa dalam hal status kependudukan seseorang sebagai
penduduk Prancis tidak dapat ditentukan, kedudukan hukum orang itu harus diatur berdasarkan
kewarganeraan orang tersebut.

• Hukum intern Inggris menganggap testamen yang dibuat adalah sah.

• Hukum intern Prancis menganggap suatu testamen yang mengabaikan legitieme portie adalah batal
demi hukum.

Masalah hukum:

Berdasarkan hukum mana pembagian waris itu harus dilakukan dan apakah para ahli waris berdasarkan
undang-undang berhak menerima legitieme portie dari peninggalan Annesley?

Proses pemutusan perkara:

a. Berdasarkan kaidah HPI Inggris, hakim menunjuk ke arah hukum Prancis sebagai hukum dari domicile
pewaris pada saat meninggalnya.

b.Penunjukan pada butir a ini merupakan gesamtverweisung karena disinilah hakim memulai fiksi
hukumnya dengan menganggap bahwa forum Prancis adalah forum asing yang seharusnya mengadili
perkara.

c. Seorang hakim Prancis, menghadapi perkara semacam ini, terutama karena ketiadaan bukti yang
dapat digunakan untuk menentukan

bahwa pewaris adalah penduduk Prancis, akan menggunakan kaidah HPI-nya dan menunjuk ke arah
hukum Inggris sebagai lex patriae dari pewaris.

72
d. Karena hukum Inggris pada dasarnya menolak renvoi, maka hakim Prancis akan menganggap
penunjukan ke arah hukum Inggris ini sebagai gesamtverwelsung lagi dan kaidah HPI Inggris yang sama
akan

menunjuk kembali (Remission) ke arah hukum Prancis. Di sinilah (menurut hakim Prancis) terjadi Renvoi
yang díakui oleh sistem hukum Prancis.

e. Karena itu, hakim Prancís akan menganggap bahwa penunjukan kembali ini sebagai
sachnormenverwelsung ke arah hukum waris intern Prancis.

f. Karena itu, hakim Inggris kemudian menyimpulkan bahwa hakum Prancis akan memberlakukan hukum
internnya (code cívil) dan menganggap bahwa testamen harus díanggap tidak sah dan kemudian
mengabulkan gugatan para ahli waris menurut undang-undang.

2. Kasus Re Duke of Wellington (1948)

Kasus posisi:

• Duke of Wellington VI adalah bangsawan Inggris, berkewarganegaraan Inggris, dan membujang sampai
ia meninggal dunia di lnggris pada tahun 1942.

• Duke of Wellington juga pemegang gelar kebangsawanan Spanyol, yaitu Culdad Rodrigo.

• Pada saat meninggalnya ia meninggalkan sejumlah benda tetap (tanah) di Inggris dan di Spanyol.

• la meninggalkan dua buah testamen, yaitu testamen yang dibuat berdasarkan hukum Inggris untuk
peninggalannya yang berada di Inggris dan testamen yang dibuat berdasarkan hukum Spanyol untuk
peninggalannya di Spanyol

• Di dalam testamen Spanyol, pewaris menetapkan bahwa tanah-tanah di Spanyol akan diwariskan pada
orang yang sekaligus akan menjadi Duke of Wellineton VII dan pemegang gelar Cuidad Rodrigo yang
baru

• Perkara diajukan di pengadilan inggris.

Fakta hukum

• Kaidah HPI inggris menetapkan: Status benda-benda tetap harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat di mana benda terletak (asas lex rei sitae).

• Kaidah HPI Spanyol menetapkan: Proses pewarisan (baik yang testamenter maupun intestatis) harus
diatur berdasarkan hukum dari negara mana pewaris menjadi warga negara.

• Hukum intern Inggris menetapkan: Apabila pemegang gelar Duke of Wellington tidak memiliki anak,
harta peninggalannya jatuh ke tangan Seorang paman.

73
• Hukum intern Spanyol menetapkan: Apabila pemeganng gelar Cuidad Rodrigo tidak memiliki anak,
harta peninggalannya jatuh ke tangan seorang saudara perempuan pewaris.

• Hukum intern Inggris menetapkan bahwa seorang pewaris dapat mewariskan seluruh tanah
warisannya melalui testamen.

• Hukum intern Spanyol menetapkan bahwa seorang pewaris hanya dapat mewariskan separuh dari
tanah yanng dimilikinya melalui testamen

Masalah hukum:

Testamen berdasarkan hukum Spanyol tidak mungkin dilaksanakan (unen forceable) karena tidak ada
satu orangpun yang memenulhi persyaratan untuk menerima waris sesuai amanat pada testamen
Spanyol itu. Bagaimana status dari tanah-tanah peninggalan Duke of Wellington yang berada di Spanyol?

Proses penyelesaian perkara:

a Hakim Inggris pertama-tama menunjuk ke arah hukum Spanyol gai lex situs sesuai ketentuan kaidah
HPl Inggris. Penunjukan ini merupakan gesamtverweisung.

b. Hakim Inggris kemudian beranggapan bahwa seorang hakim Spanyol, seandainya menghadapi
perkara semacam ini, akan menggunakan kaidah HPl-nya yang akan menunjuk ke arah hukum Inggris
sebagai lex patriae dari pewaris.

c.Karena forum inggns menolak single-renvoi, penunjukan dari Spanyol ini akan dianggap sebagai
gesamtverweisung lagi dan kaidah HPI Inggris akan menunjuk kembali ke arah hukum Spanyol sebagai
lex situs. Disinilah menurut pandangan hakim Inggris terjadi renvoi (penunjukan kembali) ke arah hukum
Spanyol.

d. Karena hukum spanyol juga menolak renvoi, penunjukan ini juga akan dianggap sebagai
gesamtverweisung ke arah kaidah HPI Spanyol yang akan menunjuk kembali ke arah hukum Inggris.

e. Untuk menghentikan proses tunjuk-menunjuk ini, maka hakim Inggris

kemudian menganggap bahwa penunjukan yang teraknir ke arah hukum Inggris adalah
sachnormenverweisung ke arah hukum intern Inggris dan hakim kemudian memberlakukan hukum
waris intern lnggris.

f. Tanah-tanah di Spanyol akhirnya diwariskan kepada ahli waris yang

sesuai dengan ketentuan hukum waris Inggris (jatuh ke tangan seorang paman dari Duke of Wellington
VI).

D. PENGGUNAAN RENVOI DALAM HPI

74
Menurut Cheshire, doktrin renvoi ini tidak dapat digunakan di semua jenis perkara HPI. terutama dalam
perkara-perkara yang sedikit banyak berkaitan dengan transaksi-transaksi bisnis dan setiap tindakan
pilihan hukum dalam transaksi-transaksi seperti itu pasti akan dimaksudkan sebagai penunjukan ke arah
hukum intern (sachnormenverweisung). Di dalam Pasal 155 dari Konvensi Roma (1980) yang mengikat
semua negara anggota masyarakat Eropa dan juga di dalam Konvensi Meksiko (1994),misalnya, renvoi
tegas-tegas ditolak dalam penyelesaian perkara-perkara HPI dalam bidang kontrak/perjanjian. Rasio
yang melatarbelakangi kecenderungan internasional untuk menolak renvoi dalam kontrak kemungkinan
besar karena hakikat renvoi akan berkontradiksi dengan asas utama dalam hukum kontrak

(HPI) bahwa para pihak dalam kontrak sebenarnya memiliki kebebasan untuk menentukan hukum yang
berlaku (the Governing law) atas kontrak mereka. Apabila kebebasan ini ternyata menjadi rentan
(vulnerable) terhadap tindakan renvoi oleh pengadilan, kebebasan itu menjadi insignifikan sifatnya.

Masalah-masalah HPl yang jika dimungkinkan masih dapat diselesaikan dengan menggunakan doktrin
renvoi adalah masalah validitas pewarisan (testamenter atau intestatis); tuntutan-tuntutan atas benda-
benda tetap di negara asing; perkara-perkara yang menyangkut benda bergerak; dan masalah-masalah
hukum keluarga (perkawinan, akibat perkawinan, harta perkawinan, status personal, dan sebagainya).

BAB VI

KETERTIBAN UMUM, KAIDAH-KAIDAH HUKUM MEMAKSA, DAN HAK-HAK YANG DIPEROLEH

A. PENDAHULUAN

Persoalan ketertiban umum (public order), pemberlakuan kaidah-kaidah hukum yang bersifat memaksa
(mandatory laws), dan persoalan pengakuan atas hak-hak yang diperoleh (vested rights) adalah
beberapa dari persoalan pokok HPI, khususnya yang berkaitan dengan pertanyaan tentang sejauh mana
suatu forum harus mengakui atau dapat mengesampingkan sistem hukum, kaidah hukum asing, atau
hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum asing. Artinya, ketiga masalah itu dapat dianggap sebagai
pendekatan-pendekatan yang berbeda terhadap persoalan yang sama dalam HPI, yaitu persoalan sejauh
mana sebuah pengadilan berkewajiban untuk memerhatikan, menaati, dan mengakui keberlakuan
hukum asing sebagai akibat dari adanya unsur-unsur asing dalam suatu perkara.

Perbedaan di antara ketiga masalah tersebut sebenarnya hanya terletak pada tujuan yang hendak
dicapai karena teori tentang ketertiban umum berupaya membentuk landas pijak bagi hakim untuk
mengesampingkan berlakunya hukum/kaidah hukum asing di dalam perkara HPI yang seharusnya
tunduk pada suatu sistem hukum asing. Sementara asas-asas dalam pemberlakuan mandatory laws
dimaksudkan untuk membatasi hukum asing yang tetap akan diberlakukan. Sedangkan teori tentang
hak-hak yang yang diperoleh hendak memberikan landas pijak bagi forum untuk mengakui berlakunya
kaidah-kaidah atau hak-hak yang terbit berdasarkan hukum asing.

B. KONSEP KETERTIBAN UMUM DALAM HPI

75
Pemikiran tentang ketertiban umum (public order) dalam HPl pada dasarnya bertitik tolak dari anggapan
dasar bahwa "'sebuah pengadilan adalah bagian dari struktur kenegaraan yang berdaulat" dan karena
itu pengadilan berwenang untuk memberlakukan hukumnya sendiri dalam perkara-perkara yang
diajukan kepädanya. Masalahnya, apakah dalam perkara-perkara yang mengandung unsur asing-sejalan
dengan kaidah penunjuk di dalam sistem HPI-nya pengadilan ini harus selalu memberlakukan hukum
asing yang seharusnya menjadi lex causae di dalam wilayah yurisdiksinya? Jawabannya adalah tidak
selalu harus demikian, dalam arti bahwa pengadilan atau para pihak dalam perkara mungkin akan
berhadapan dengan hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk mengesampingkan pemberlakuan hukum
asing di wilayah lex fori. Salah satu alasan untuk itu adalah ketertiban umum.

Jika pemberlakuan hukum asing dapat menimbulkan akibat-akibat berupa pelanggaran terhadap sendi-
sendi pokok hukum setempat (lex fori), maka hukum asing itu dapat dikesampingkan dengan dasar
"demi kepentingan umum atau "demi ketertiban umum." Prinsip yang digunakan untuk menetapkan hal
itu adalah:

Yang masih menjadi persoalan dalam penegakan prinsip di atas adalah sejauh mana orang dapat
menggunakan dasar "demi ketertiban umum"itu untuk mengesampingkan kaidah-kaidah hukum asíng
yang seharusnya berlaku atau apa ukuran-ukuran yang dapat digunakan sebagai landasan pemberlakuan
asas ketertiban umum ini.

Dalam tradisi hukum Eropa Kontinental, konsep ketertiban umum dikembangkan berdasarkan prinsip
bahwa:

"Semua kaidah hukum setempat yang dibuat untuk melindungi kesejahteraan umum (public welfare)
harus didahulukan dari ketentuan-ketentuan hukum asing yang isinya dianggap bertentangan dengan
kaidah hukum tersebut.

Prof. Sunaryati Hartono berpendapat bahwa:

Apa yang merupakan "ketertiban umum' itu sulit untuk dirumuskan dengan jelas karena pengertian ini
sangat dipengaruhi oleh waktu, tempat, serta falsafah bangsa/negara dan sebagainya yang
bersangkutan dengan masyarakat hukum yang bersangkutan.

Sejalan dengan itu, David D. Siegel juga beranggapan bahwa:

It is impossible to define a state's 'publicpolicy'. Presumably 1t entirety if tha of the state's law, whether
embodied in statutes, rules, decisions is the definition, then it could be argued that any foreign claim of
rule of not having precise counterpart tn forum law would violate forum 'policy', and law that would
mean in cum that a state would 'never enforce different lavs of ano ther state(nisJ is of course not the
case,

Kegel berpendapat bahwa konsep ketertiban umum pada dasarnya berkenaan dengan "bagian yang
tidak dapat dísentuh dari sistem hukum setempat". Karena itu, hukum asing (yang seharusnya berlaku)
dapat dikesampingkan jika dianggap bertentangan dengan "the untouchable part" dari lex fori itu.
76
Martin Wolff beranggapan bahwa masalah "ordre public" merupakan exeption to the application of
foreign law (pengecualian terhadap berlakunya kaidah hukum asing).

Dari segi penggunaan lembaga ketertiban umum ini, Prof. Sudargo Gautama berpendapat bahwa
lembaga ini haruslah berfungsi seperti "rem darurat pada sebuah kereta api" dan hanya digunakan
apabila benar-benar dibutuhkan saja.

Ada pendapat yang beranggapan bahwa kaidah-kaidah HPI sering kali bersifat "terlalu umum"
(overgeneralized), khususnya di dalam tradisi hukum Eropa Kontinental yang mengutamakan sumber-
sumber hukum tertulis. Kaidah-kaidah HPI tertulis adakalanya bersifat sangat umum dan hanya
mengatur suatu masalah secara garis besar atau menerapkan satu kaidah HPl tertulis untuk digunakan
secara umum dalam perkara-perkara HPl sejenis. Oleh sebab itu, hakim tidak terlalu leluasa untuk ikut
mempertimbangkan hal-hal khusus yang mungkin ada di dalam setiap perkara. Ahli HPI lain (di Amerika
Serikat) beranggapan bahwa "public policy" merupakan teknik yang dapat digunakan untuk
membenarkan hakim dalam menolak suatu klaim yang didasarkan pada suatu kaidah hukum asing.
Sebagai suatu teknik, "ketertiban umum" menunjuk pada situasi di mana pengadilan tidak mengakui
suatu tuntutan yang seharusnya tunduk pada suatu hukum negara (bagian) lain karena hakikat dari
tuntutan itu yang ditinjau dari yurisdiksi forum, jikà diakui akan menyebabkan:" • Pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip keadilan yang mendasar sifatnya; atau

• Bertentangan dengan konsepsi yang berlaku mengenai kesusilaan yang baik;

• Bertentangan dengan suatu tradisi yang sudah mengakar.

Dalam situasi-sltuasi seperti yang disebut di ataslah maka lembaga ketertiban umum" dapat menjadi
dasar pembenar bagi hakim untuk menyimpang dari kaidah HPI yang seharusnya berlaku dan menunjuk
ke arah berlakunya suatu sistem hukum asing.

Contoh:

Hakim menghadapi suatu perkara HPI yang menyangkut kontrak jual beli dan para pihak telah
melakukan pilihan hukum ke arah suatu sistem hukum asing.

Ketika dihadapkan pada masalah hukum manakah yang harus diberlakukansebagai the applicable law
yang akan digunakan untuk menentukan sah tidaknya kontrak, hakim harus melihat pada kaidah HPI
yang relevan didalam lex fori.

Anggaplah kaidah HPI forum menetapkan bahwa apabila para pihak dalam suatu perjanjian telah
melakukan tindakan pilihan hukum yang sah ke arah suatu sistem hukum asing, keabsahan kontrak
harus ditetapkan berdasarkan sistem hukum asing tersebut.

Sesuai pendekatan HPI tradisíonal, maka hakim dalam hal ini seharusnya memberlakukan sistem hukum
asing tersebut untuk menentukan validitas kontrak. Namun, adakalanya hakim beranggapan bahwa
pemberlakuan hukum asing akan dapat mengganggu kepentingan nasional lex fori (atau kepentingan

77
umum) sehingga berdasarkan alasan ketertiban umum, hakim dapat mengesampingkan sistem/kaidah
hukum asing (yang telah dipilih oleh para pihak dan ditunjuk oleh kaidah HPI-nya sendiri) dan
memberlakukan hukum intern lex fori.

Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa lembaga ketertiban umum dapat berfungsi positif untuk mendukung
kepentingan lex fori dan dapat dianggap sebagai salah satu pranata untuk mengesampingkan
berlakunya hukum asing (seperti pranata-pranata HPI lain, misalnya, renvoi, kualifikasi
substansial/prosedural). Akan tetapi, penggunaannya secara berlebihan dapat pula menghambat
pergaulan internasional, menghambat perkembangan lex fori sendiri, dan bahkan mungkin
menimbulkan ketidakadilan.

secara tradisional, doktrin-doktrin HPI membedakan dua fungsi lembaga ketertiban umum, yaitu:

Fungsi Positif

Yaitu menjamin agar aturan-aturan tertentu dari lex fori tetap diberlakukan (tidak dikesampingkan)
sebagai akibat dari pemberlakuan hukum asing yang ditunjuk oleh kaidah HPl atau melalui proses
pendekatan HPI, terlepas dari persoalan hukum mana yang seharusnya berlaku, atau apa pun isi
kaídah/aturan lex fori yang bersangkutan.

Fungsi Negatif

Yaitu untuk menghindarkan pemberlakuan kaidah-kaidah hukum asing jika pemberlakuan itu akan
menyebabkan pelanggaran terhadap konsep-konsep dasar lex fori.

C. KONSEP KAIDAH HUKUM MEMAKSA (MANDATORY RULES)

Persoalan keberlakuan dari mandatory rules dalam HPI sering kali menjadi agak kompleks sifatnya
karena dalam pemberlakuan hukum asing dalam suatu hubungan hukum, baik melalui pilihan hukum
maupun karena berfungsinya kaidah-kaidah HPl, orang dapat berhadapan dengan mandatory laws yang
pada dasarnya tidak dapat dikesampingkan pemberlakuannya sekadar melaluí kesepakatan di antara
para pihak. Situasi yang dapat terjadi dalam kaitan ini akan mirip dengan situasi di mana berlakunya
sistem hukum asing atau aturan-aturan di dalamnya harus dikesampingkan atas dasar bertentangan
dengan ketertiban umum/public order" di negara forum. Walaupun dalam penerapannya terdapat
kemiripan, persoalan mandatory laws ini sedikit berbeda dari persoalan "ketertiban umum" karena
pemberlakuan dasar ketertiban umum" dimaksudkan sebagai upaya defensif untuk mencegah timbulnya
akibat-akibat negatif dari pemberlakuan hukum asing terhadap kepentingan nasional forum, sedangkan
pemberlakuan "mandatory laws" harus diberlakukan, tanpa melihat isi dari kaidah hukum asing yang
seharusnya diberlakukan.

Dalam artían umum, "kaidah-kaidah hukum memaksa" dapat diartikan sebagai "aturan-aturan hukum
tertulis yang tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak melalui kesepakatan dalam perjanjian". " Oleh

78
karena itu, persoalan pemberlakuan mandatory rules ini menjadi krusial dalam HPl, khususnya dalam
bidang-bidang kontrak di mana pihak-pihak pada dasarnya memiliki kebebasan untuk menentukan
hukum yang berlaku atas kontrak mereka. Dengan perkataan lain, mandatory rules akan membatasi
kebebasan para pihak dalam transaksi-transaksi internasional. Penalaran yang melatarbelakangi
pemberlakuan mandatory rules ini adalah anggapan bahwa aturan-aturan ini umumnya berisi (atau
mencerminkan) kebijakan dasar (fundamental policy) dari negara yang memberlakukan dan apabila
aturan-aturan semacam itu dapat dikesampingkan oleh kaidah-kaidah HPI atau melalui kesepakatan di
antara para pihak, dengan sendirinya aturan-aturan itu akan kehilangan maknanya sebagai aturan yang
memuat fundamental policy di atas. Namun, dalam praktik tidak mudah untuk menentukan apakah
suatu aturan hukum dapat dikategorikan sebagai mandatory atau tidak dan persoalan ini biasanya
dijawab melalui tindakan penafsiran dan konstruksi hukum (legal interpretation and construction) pada
tingkat domestik, dengan mempertimbangkan substansi serta kebijakan dasar (underlying policy) yang
melatarbelakangi aturan-aturan itu. Dari segi Internasional, persoalan ini menjadi lebih rumit karena
tidak semua aturan hukum memaksa domestik dengan tegas mengharuskan penerapannya dengan tidak
memedulikan hukum apa yang berlaku atas hubungan hukum yang bersangkutan. Artinya, tídak semua
aturan hukum yang bersifat memaksa dalam persoalan-persoalan hukum yang sepenuhnya domestik
dengan sendirinya menjadi bersifat memaksa pula dalam arti international.

Dalam konteks HPI, pengertian "mandatory rules" ini umumnya dikaitkan dengan persoalan
pemberlakuan aturan-aturan hukum dari:

• Satu-satunya negara yang memiliki kaitan nyata dengan hubungan atau peristiwa hukum yang
dihadapi forum (sole-connection country) walaupun hukum negara ini mungkin tidak dipilih oleh para
pihak dalam hubungan hukum mereka, atau

• Negara yang memiliki kaitan nyata dengan peristiwa hukum yang dihadapi walaupun sistem hukum
negara ini belum tentu merupakan sistem hukum yang memiliki kaitan yang paling erat dengan
peristiwa hukum yang bersangkutan (close-connection country).

Konsep kaidah hukum memaksa umumnya digunakan untuk menjadi dasar pemberlakuan:

• Aturan-aturan hukum yang khusus dimaksudkan untuk mengatur masalah-masalah ketenagakerjaan


dan perlindungan konsumen.

• Aturan-aturan hukum dari sebuah negara yang dipertautkan (connected) oleh semua elemen yang
relevan dalam suatu persoalan hukum, kecuali pilihan' hukum para pihak.

• Aturan-aturan badan pengadilan yang mengadili perkara.

• Aturan-aturan hukum dari suatu negara yang memiliki kaitan nyata dengan situasí tertentu walaupun
hukum negara itu bukan merupakan merupakan lex causae.

D. KONSEP HAK-HAK YANG DIPEROLEH (VESTED RIGHTS DALAM HPI

79
Istilah hak-hak yang diperoleh sering kali disebut dengan rights and obligations created abroad atau hak
dan kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum asing. Yang menjadi persoalan dalam HPl dalam
kaitan ini adalah apakah hak dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang berdasarkan kaidah-kaidah
hukum dari suatu sistem hukum asing tertentu harus diakui atau tidak oleh lex fori (Sunaryati Hartono).

Jadi, persoalan "hak-hak yang diperoleh" seseorang (atau suatu subjek hukum) berdasarkan hukum
asing tertentu, hampir pastí berkaitan dengan status hukum yang diterbitkan oleh sistem hukum asing
itu.

Dari pandangan Prof. Sudargo Gautama dapat disimpulkan bahwa dalam HPI masalah 'vested rights ini
dikemukakan untuk memasalahkan sejauh mana perubahan-perubahan yang terjadi terhadap fakta-
fakta akan mempengaruhi berlakunya kaidah-kaidah hukum yang semula diigunakan.

Contoh

A warga negara Indonesia dan berdasarkan hukum Indonesia telah diakui sah sebagai pemegang hak
milik atas suatu benda bergerak. Pada suatu saat, A mengubah status kewarganegaraannya menjadi
warga negara Republik Rakyat Cina. Menurut hukum positif Cina, anggap saja A belum dapat dianggap
sebagai pemilik yang sah atas benda bergerak yang bersangkutan.

Masalah:

Apakah karena perubahan kewarganegaraan dari Indonesia menjadi Cina, hak milik atas barang yang
semula sudah melekat pada A, kemudian akan dianggap tidak ada?

Jika hakim (atau hukum) Republik Rakyat Cina mengnggap bahwa suatu pemilikan atas benda bergerak
yang dianggap sah berdasarkan hukum yang, seharusnya berlaku, akan tetap diakui sah di mana pun hak
itu hendak ditegakkan, dapatlah dikatakan bahwa pengadilan Cina menerima prinsip "hak-hak yang
diperoleh" (vested rights)

Vested rights dapat didefinisikan sebagai:

An act done outside of the forum may give rise to e existen right, which the plaintiff carries with him,
and which Will be enforced or otherwise recognized by the forum when put into issue there.

Batasan itu dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut:

Suatu perbuatan yang dilakukan di luar forum dapat menerbitkan suatu hak yang melekat pada pihak
penggugat dan akan dilaksanakan atau diakui oleh forum tempat hak itu diajukan sebagai perkara. Jadi,
sebenarnya, doktrin ini erat kaitannya dengan pengakuan terhadap apa yang telah dimiliki oleh, atau
yang telah menjadi hak, atau yang telah melekat secara hukum pada suatu subjek hukum. Hak dan
kewajiban hukum yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu kaidah hukum haruslah dihormati

80
oleh siapa saja, termasuk oleh lex fori, kecuali jika pengakuan terhadap hak-hak semacam itu akan
menimbulkan akibat-akibat yang bertentangan dengan public order dari masyarakat forum.

Pandangan atau asas ini memang berkembang pada masa memuncaknya pandangan hidup
individualistilk yang menganggap bahwa "hak milik" seseorang mempunyai kekuatan hukum yang
mutlak sehingga perlu memperoleh perlindungan mutlak di mana pun dan terhadap apa pun. Namun,
dalam perkembangannya, sejalan pula dengan perkembangan pandangan tentang "hak milik yang
berfungsi sosial, wawasan mengenai doktrin vested rights ini mengalami pergeseran pula dan orang
cenderung untuk menganut ajaran ini secara terbatas (qualified).

Dalam arti yang terbatas, maka vested rights atau hak-hak yang diperoleh akan berarti: Hak-hak yang
dimiliki seseorang (suatu subjek hukurn) berdasarkan kaidah hukum asing dapat diakui di dalam
yurisdiksi lex fori selama pengakuan itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum masyarakat lex
fori.

Dengan kata lain, "hak-hak yang diperoleh dapat diakui selama pengakuan itu tidak bertentangan
dengan ketertiban umum lex fori atau dengan asas-asas keadilan yang hidup di dalam masyarakat
forum.

E. BEBERAPA KESIMPULAN

1 Asas keteriban umum dan asas pemberlakuan mandatory laws

rules di satu pihak dan asas hak-hak yang diperoleh di lain pihak, sebenarnya merupakan dua sisi dari
satu persoalan HPI yang sama, yaitu pemberlakuan dan atau pengakuan oleh lex fori terhadap hukum
asing yang seharusnya diberlakukan, baik karena dipilih oleh para pihak maupun secara objektif ditunjuk
oleh kaidah-kaidah HPI lex fori sendiri. Status hukum atau hak-hak yang diperoleh berdasarkan hukum
asing itu akan diakui selama dianggap tidak bertentangan atau melawan kepentingan hukum dan
kepentingan masyarakat nasional dari forum atau selama tidak mengabaikan kaidah-kaidah hukum yang
sifatnya memaksa.

2. Jika asas "ketertiban umum merupakan pengecualian terhadap kewajiban untuk memberlakukan
kaidah hukum asing yang seharusnya berlaku berdasarkan proses penentuan lex causae berdasarkan
pendekatan HPI, pemberlakuan mandatory laws merupakan pemberlakuan aturan-aturan hukum yang
tidak dapat disimpangi oleh para pihak melalui perjanjian, tetapi yang pemberlakuannya tidak
mengesampingkan berlakunya sistem hukum asing yang seharusnya berlaku. Lebih jauh lagi, di lain
pihak, asas hak-hak yang diperoleh" merupakan pengakuan terhadap berlakunya suatu kaidah hukum
intern asing atau hak-hak yang terbit darinya.

81
BAB VII

PERSOALAN PENDAHULUAN DAN DÉPECAGE

A. PENGERTIAN

Masalah "persoalan pendahuluan dalam HPI dapat dirumuskan secara sederhana

sebagai: "Suatu persoalan/masalah HPl dalam sebuah perkara yang harus dipecahkan dan/atau
ditetapkan terlebih dahulu sebelum putusan terhadap masalah HPl yang menjadi pokok perkara dapat
ditetapkan oleh hakim.

Menurut Prof. Cheshire:

"It may be that in a case involving private international law, there is not only a main question before the
court but also some further subsicfiary issue. After the law to govern the mafn question has been
ascertained by the application of the relevant rule for the choice of law, a further choice of law rule may
be required to answer subsidiary question affecting the main issue.

R.H. Graveson berpendapat bahwa:

The problem arises in one of its possible forms when English Private international law has indicated the
appropriate applicable law for the solution of an issue. It may then appear that the issue so referred to
the chosen law involves a minor and separate subsidiary issue raising its own question of private
international law".

Jadi, masalah incidental question dapat timbul dalam penyelesaian suatu perkara HPI karena:

Putusan terhadap persoalan hukum yang menjadi pokok sengketa (Houptfrage/Hoofdvraag/Main


Question) akan tergantung pada penetapan hukum atas suatu hubungan hukum atau persoalan hukum
lain yang harus terlebih dahulu (Varfrage/ Voorvraag/incidental Question/Praliminary Question).

82
Pranata persoalan pendahuluan (lncidental question) dalam perkembangan HPl dapat dilihat juga
sebagai salah satu pranata HPI yang mungkin digunakan hakim untuk merekayasa putusan perkara atau
setidak-tidaknya mengarahkan penentuan hukum yang harus diberlakukan untuk menyelsaikan, baik
masalah pokok maupun masalah pendahuluannya.

Persoalan HPI utama dalam incidental question ini sebenarnya terletak pada pertanyaan:

• Apakah "subsidiary issue akan ditetapkan berdasarkan suatu sístem hukum yang diberlakukan melalui
penunjukan oleh kaidah HPI khusus repartition) atau

• Apakah "subsidiary issue akan ditetapkan berdasarkan sistem hukum yang juga akan digunakan
sebagai lex causae untuk primary/main Issue-nya (absorption)?

Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan incidental question", maka
perlu dipenuhi tiga persyaratan, yaitu:

• Main issue" yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah HPI yang berdasarkan kaidah HPI
forum harus tunduk pada hukum asing.

• Dalam perkara yang sama harus terdapat 'subsidiary issue" yang mengandung unsur asing, yang
sebenarnya dapat timbul sebagai masalah HPI yang terpisah dan diselesaikan melalui penggunaan
kaidah HPI lain secara independen.

• Kaidah HPI yang digunakan untuk menentukan lex causae bagi "subsidiary issue" akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan dihasilkan seandainya lex causae dari main issue"
yang digunakan.

Disadari bahwa pada dasarnya sangatlah jarang sebuah kasus yang berkaitan dengan incidental question
dapat memenuhi kriteria tersebut. Oleh karena itu, dalam praktik kriteria tersebut diterapkan dengan
tidak terlalu strict. Salah satu contoh batasan fleksibilitas penerapan yang tidak boleh dilampaui,
misalnya, dalam kasus pewarisan atas benda bergerak adalah sebagai berikut:

• Kriteria pertama dianggap tidak terpenuhi apabila pada saat pewaris meninggal dunia, ia berkediaman
tetap di negara forum.

• Kriteria ketiga dianggap tidak terpenuhi apabila seorang pewaris yang berdomisili di negara asing
membuat testamen yang menyatakan untuk memberikan harta warisannya untuk anak sahnya, padahal
lex fori dan hukum asing tersebut memiliki kesamaan aturan (agreed) dalam menentukan apakah anak
tersebut adalah anak yang sah atau tidak sah.

Dengan tidak dipenuhinya kriteria tersebut, maka persoalan yang dihadapi di dalam kasus tidak perlu
diselesaikan dengan menggunakan metode penyelesaian dalam incidental question.

B. CARA-CARA PENYELESAIAN

83
Dalam teori HPI berkembang tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan, yaitu:

1. Absorption

Prinsipnya, melalui absorption, lex causae yang dicari dan ditetapkan melalui penerapan kaidah HPI
untuk mengatur masalah pokok (main issue) akan digunakan juga untuk menjawab "persoalan
pendahuluan". Jadi, setelah lex causae untuk masalah pokok ditetapkan melalui penerapan kaidah HPI
lex fori, maka masalah pendahuluannya akan ditundukkan pada lex causae yang sama. Cara ini
adakalanya disebut cara penyelesaian berdasarkan lex causae.

Kualifikasi serta penentuan kaidah hukum intern apa yang harus digunakan untuk memutus masalah
pendahuluannya akan bergantung pada lex causae yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan
masalah pokok (afhankelijke aanknoping).

2. Repartition

Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan lex causae untuk masalah pendahuluan
secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex causae dari masalah pokoknya terlebih dahulu. Dengan
mengabaikan sistem hukum mana yang merupakan lex causae untuk menjawab masalah pokok, hakim
akan melakukan kualifikasi berdasarkan lex fori dan menggunakan kaidah-kaidah HPI-nya

yang relevan khusus untuk menetapkan lex causae dari masalah pendahuluan (zelfstandige aanknoping).
Cara ini disebut penyelesaian dengan lex fori.

3. Pendekatan Kasus demi Kasus

Ada pandangan yang berpendapat bahwa penetapan lex causae untuk masalah pendahuluan atau
incidental question-nya harus dilakukan dengan pendekatan kasuistis, dengan memerhatikan sifat dan
hakikat perkara atau kebijakan dan kepentingan forum yang mengadili perkara. Menurut Cheshire,
kebanyakan putusan hakim dalam kasus-kasus incidental questions diselesaikan melalui absorption.
Akan tetapi, Cheshire sendiri tampak cenderung untuk menggunakan pola pendekatan yang ketiga
(case-by-case approach) dengan memerhatikan kelas dari jenis perkara yang sedang dihadapi. Melalui
pendekatan ini, misalnya, untuk perkara-perkara HPI di bidang pewarisan benda-benda bergerak
(succesion to movables) sebaiknya digunakan absorption, sedangkan untuk perkara-perkara di bidang
perbuatan melawan hukum (tort) atau kontrak sebaiknya digunakan repartition. Di negeri Belanda,
misalnya, pengadilan lebih banyak menggunakan repartition. Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad)
menetapkan bahwa pada dasarnya masalah hukum yang berlaku dalam persoalan voorvraag harus
dijawab melalui repartition (zelfstandige aanknoping). Namun, dengan pengecualian bahwa absorption
(afhankelijke aanknoping) dapat digunakan jika terdapat keterkaitan yang kuat antara hoofdvraag dan
voorvraag. Di Inggris, seperti yang disinyalir oleh Cheshire, ada kecenderungan untuk (secara tidak
sadar) melakukan absorpsi.

84
Studi lebih lanjut akan diperlukan untuk menentukan cara penyelesaian yang mana yang sebaiknya
digunakan untuk kebutuhan Indonesia walaupun di dalam draft akademik rancangan UU HPI Indonesia
masalah ini tampaknya belum diatur secara jelas.

C. CONTOH-CONTOH KASUS

1. Re May's Estate (1953)

Kasus posisi

a. Sam dan Fannie May adalah paman dan kemenakan yang berkediaman tetap di negara bagian New
York, Amerika Serikat. Mereka adalah orang-orang keturunan Yahudi.

b. Sam dan Fannie berniat untuk menikah, tetapi berdasarkan hukum negara bagian New York
perkawinan antara paman dan kemenakan dianggap batal demi hukum karena bersifat incestous.
Sebenarnya, berdasarkan hukum agama dan adat Hibrani, seorang paman dan kemenakan dapat saja
menikah.

c. Menyadari hambatan itu, pada tahun 1913 Sam dan Fannie May pergi ke negara bagian Rhode Island,
dengan harapan agar mereka dapat menikah di sana berdasarkan hukum setempat.

d. Mereka berhasil menikah berdasarkan kaidah hukum adat Yahudi/Hibrani di Rhode Island pada tahun
yang sama dan perkawinan mereka diakui sah berdasarkan hukum negara bagian Rhode Island.

e. Dua minggu setelah perkawinan, mereka kembali ke New York dan melanjutkan hidup di sana sebagai
suami istri selama 32 tahun dan dikaruniai 6 orang anak.

f. Pada tahun 1945, Fannie May meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta peninggalan yang
kini dikuasai suaminya, Sam May.

g. Setelah Fannie meninggal dunia, salah seorang anaknya mengajukan gugatan di pengadilan New York
untuk menentang kewenangan Sam May (ayahnya) untuk menguasai dan mengurusi kekayaan
peninggalan istrinya.

h. Dasar dari gugatan ini adalah karena perkawinan Sam dan Fannie May di dan berdasarkan hukum
Rhode Island dianggap tidak sah.

Persoalan hukum

a. Apakah Sam May berwenang untuk menguasai dan mengurus kekayaan Fannie May, dengan alas hak
bahwa ia adalah pasangan yang masih hidup (surviving spouse) dari sepasang suami istri yang telah
menikah dengan sah. Hal ini harus diputuskan berdasarkan lex domicili dari Sam dan Fannie, yaitu
hukum New York. Gugatan sang anak inilah yang menjadi masalah pokok (hauptfrage, main question)
dalam kasus ini.

85
b. Untuk memutus persoalan pada butir 1 ini pengadilan New York menghadapi kenyataan bahwa
mereka harus memutuskan terlebih dahulu, apakah perkawinan Sam dan Fannie May di dan
berdasarkan hukum Rhode Island dapat diterima sebagai perkawinan yang sah. Persoalan ini adalah
incidental question (vorfrage, persoalan pendahuluan) dalam kasus ini yang harus ditetapkan terlebih
dahulu, sebelum hakim dapat memutus persoalan pokoknya.

Fakta hukum

• Hukum intern New York menganggap perkawinan antara seorang paman dan seorang kemenakan
adalah incestous dan karena itu batal demi hukum.

• Kaidah HPI New York sama sekali tidak jelas mengenai keabsahan dari perkawinan dua orang warga
New York yang diresmikan di suatu negara bagian lain. Karena itu, sah tidaknya perkawinan harus
ditentukan berdasarkan hukum dari tempat peresmian perkawinan lex loci celebrationis).

• Kaidah HPI New York juga tidak jelas mengenai pengakuan terhadap keabsahan sebuah perkawinan
warga New York di suatu negara bagian lain dan yang dianggap sah di negara bagian lain itu.

• Hukum intern Rhode Island di bidang perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang dianggap sah
berdasarkan kaidah-kaidah agama dan tradisi tertentu, akan dianggap sah pula berdasarkan hukum
negara.

Proses pemutusan perkara

Langkah-langkah berpikir dan pertimbangan hakim New York tampak sebagai berikut:

a. Hakim New York pertama kali menunjuk ke arah hukum Rhode Island sebagai lex loci celebrationis
untuk menentukan keabsahan perkawinan Sam dan Fannie May karena hukum intern New York sendiri
tidak jelas mengenai hal itu.

b. Perkawinan Sam dan Fannie May adalah perkawinan agama (Hibrani) yang sah dan perkawinan
semacam itu akan diakui sah pula oleh lex loci celebrationis (hukum Rhode Island).

c. Berdasarkan pertimbangan itu, hakim memutuskan bahwa perkawinan Sam dan Fannie May
(incidental question) adalah perkawinan yang sah.

d. Karena perkawinan Sam dan Fannie dianggap sah, maka berdasarkan hukum New York (sebagai
hukum yang harus berlaku terhadap main question, yang pada dasarnya merupakan kasus domestik
New York) dari suatu perkawinan yang sah akan terbit kewenangan pada pasangan yang masih hidup
untuk menguasai dan mengurus kekayaan dari pasangan yang telah meninggal terlebih dahulu (main
question, hauptfrage)

e. Jadi Sam May berhak untuk tetap menguasai kekayaan peninggalan Fannie dalam kedudukannya
sebagai suami yang sah.

86
Dengan demikian, dalam perkara ini hakim New York telah melakukan repartition, dengan
menundukkan persoalan pendahuluannya (sah tidaknya perkawinan) pada sistem hukum yang berbeda
(hukum Rhode Island) dari sistem hukum yang digunakan untuk menjawab masalah pokoknya (hukum
New York).

2. Perkara Schwebel Vs Ungar (1953)

Kasus posisi

a. Sepasang suami istri yang berdomisili di Hungaria, memutuskan untuk tinggal di Israel.

b. Ketika mereka berada di Italia, dalam perjalanan menuju Israel, sang suami menceraikan istrinya
dengan menggunakan lembaga "Gett".

c. Berdasarkan hukum Hungaria (lex domicili para pihak) dan hukum Italia, perceraian ini dianggap tidak
sah, tetapi akan dianggap sah berdasarkan hukum Israel.

d. Mereka kemudian memperoleh domisili di Israel dan di masa ini sang istri kemudian berkunjung ke
Ontario, Kanada, dan menikah dengan seorang pria Kanada.

e. Suami kedua ini beberapa waktu kemudian mengajukan permohonan ke pengadilan Ontario untuk
penerbitan pernyataan kebatalan perkawinan ini karena istrinya dianggap melakukan bigami.

Fakta-fakta hukum

a. Kaidah HPI Kanada (Ontario): Kapasitas seorang wanita untuk menikah lagi harus ditetapkan
berdasarkan hukum dari tempat di mana perkawinan akan dilangsungkan (lex loci celebrationis).

b. Sah tidak sahnya perkawinan, HPI yang dilakukan di Kanada harus tunduk pada hukum perkawinan
Kanada (sebagai lex loci celebrationis).

c. Kaidah hukum intern/HP! Israel: Perceraian di antara dua orang Yahudi berdasarkan adat Gett akan
diakui sah di mana pun perceraian itu dilangsungkan.

Proses penyelesaian perkara

a. Hakim menganggap bahwa kemampuan sang wanita untuk menikah kembali adalah VORFRAGE yang
harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum,

b. Keabsahan perkawinan yang kedua (sebagai HAUPTFRAGE) dapat diputuskan.

c. Dalam perkara ini hakim menganggap bahwa vorfrage ini tidak perlu diputuskan berdasarkan hukum
Kanada, tetapi tunduk pada lex domicilli wanita itu pada saat perkawinan kedua ini dilaksanakan. Jadi,
vorfrage oleh hakim ditundukkan pada hukum Israel.

87
d. Kaidah hukum Israel dalam hal ini menetapkan bahwa perceraian si wanita dari suami pertamanya
(dengan lembaga Gett) adalan sah.

e. Berdasarkan jawaban terhadap vorfrage itu, hakim Kanada lalu menganggap bahwa si wanita tetap
memiliki kapasitas hukum untuk menikah lagi dan berdasarkan hukum Kanada (sebagai lex causae untuk
hauptfrage) dan tidak dapat dianggap telah melakukan bigami.

f. Karena itu, perkawinan si wanita dengan penggugat adalah sah dan gugatan pembatalan ditolak.

Kasus ini mencerminkan contoh yang bertolak belakang dari perkara Lawrence v. Lawrence (lihat butir 3
dibawah ini) karena aturan mengenai kewenangan untuk menikah (Hungaria dan ltalia) dianggap
mengesampingkan pengakuan atas suatu perceraian.

Pengadilan Ontario, tidak saja mempertimbangkan kemampuan hukum si istri untuk menikah (main
issue), yang berdasarkan kaidah HPI Ontario menunjuk ke arah hukum israel (lex domicili si istri), tetapi
juga menjawab masalah tentang keabsahan perceraian sang istri dan suaminya yang pertama yang
dilaksanakan dengan lembaga Gett (incidental question) juga berdasarkan hukum Israe).

Jadi, kasus Schwebel vs Ungar iní menggambarkan praktik absorpsi, dimana satu sistem hukum (hukumn
israel) digunakan untuk menjawab masalah pokok dan masalah pendahuluan.

3. Perkara Lawrence Vs Lawrence (1985)

Kasus posisi

a. Sepasang suami istri menikah di Brazil dan berdomisili di sana sampai tahun 1970.

b. Pada tahun 1970 istri memperoleh putusan cerai dari suaminya di Pengadilan Negara Bagian Nevada,
Amerika Serikat.

c. Berdasarkan kekuatan hukurn putusan pengadilan Nevada itu, sang istri menikah lagi dengan seorang
warga negara AS/warga Nevada, perkawinan kedua ini dilangsungkan di Nevada.

d. Beberapa waktu kemudian, suami mengajukan permohonan pengesahan perkawinannya dengan si


wanita itu di pengadilan inggris.

Fakta-fakta hukum

a. Kaidah HPI Inggris: Kapasitas hukum seorang wanita untuk menikah kembali, tunduk pada hukum dari
tempat Wanita itu berdomisili.

b. Kaidah HPI Inggris lain: Sah tidak sahnya perceraian harus diatur berdasarkan hukum dari tempat di
mana perceraian dilaksanakan.

c. Kaidah HPI Inggris lain: Sah tidak sahnya suatu perkawinan harus ditetapkan berdasarkan hukum dari
tempat di mana perkawinan dilangsungkan.
88
d. Kaidah hukum intern Brazil: Perceraian atas sebuah perkawinan yang dilakukan di Brazil, yang
dilakukan di luar negeri, tidak memiliki kekuatan berlaku di Brazil.

Proses penyelesaian perkara

a. Vorfrage dalam perkara ini adalah apakah si wanita memiliki kapasitas hukum untuk menikah kembali.

b. Hauptfrage dalam perkara ini adalah apakah Pengadilan Inggris harus menguatkan perkawinan kedua
dari si wanita itu dengan pemohon

c. Untuk menjawab Vorfrage, hakim nggris berpendapat bahwa ia harus mempertimbangkan fakta
hukum bahwa:

• Berdasarkan hukum Brazil (lex domicili sang wanita yang ditunjuk oleh kaidah HPI Inggris) menganggap
bahwa si wanita tidak memiliki kapasitas untuk menikah kembali karena perceraiannya dari suami
pertama adalah tidak sah.

• Namun, berdasarkan hukum Nevada (lex loci celebrationis, perceraian yang ditunjuk oleh kaidah HPI
Inggris lain) menganggap bahwa perceraian Nevada itu adalah perceraian yang sah.

d. Hakim dalam putusannya akhirnya menetapkan bahwa Vorfrage dalam perkara ini ditundukkan pada
hukum dari tempat di mana perceraian diresmikan sehingga lex causae-nya adalah hukum Nevada yang
menganggap bahwa si wanita memiliki kapasitas hukum menikah kembali.

e. Berdasarkan hal itu, hakim kemudian menguatkan perkawinan kedua yang dilakukan secara sah
berdasarkan hukum Nevada ( lex causae untuk hauptfrage). Permohonan pihak pemohon dikabulkan.

4. R. Vs Brentwood Marriage Registrar Case'

Kasus posisi

• Seorang lelaki warga negara ltalia menikah dengan seorang warga

negara Swiss dan kemudian berdomisili di Swiss. Setelah perkawinan berlangsung beberapa tahun,
mereka berdua kemudian bercerai. Perceraian dilakukan di Swiss. Setelah perceraian tersebut, sang istri
kemudian menikah lagi di Swiss.

• Lelaki Italia tersebut kemudian bermaksud untuk menikahi seorang warga negara spanyol yang
berdomisili di Swiss. Perkawinan akan dilakukan di inggris.

• Lembaga pendaftaran perkawinan inggris kemudian memutuskan untuk menolak permohonan


pendaftaran perkawinan tersebut. Dasar penolakan oleh lembaga tersebut adalah terdapat halangan
untuk pelaksanaan perkawinan tersebut karena kecakapan seseorang untuk melangsungkan perkawinan
(menurut hukum Swiss) adalah berdasarkan hukum dari kewarganegaraan orang tersebut (ltalia), dan
hukum Italia melarang dilakukannya perceraian.

89
• Pemohon kemudian mengajukan banding kepada Divisional Court.

Persoalan hukum

• Masalah pokok (main question) dari perkara ini adalah apakah laki-laki ltalia tersebut memiliki
kecakapan untuk melakukan perkawinan (kedua) tersebut?

• Masalah pendahuluan (incidental question) dari perkara ini adalah apakah perceraian yang dilakukan
oleh seorang laki-laki Italia di Swiss (terhadap perkawinan yang dilakukan di Swiss) merupakan
perceraian yang sah? Atau dengan kata lain, apakah laki-laki Italia tersebut masih terikat pada
perkawinan pertamanya?

Fakta hukum

• Kaidah HPI Inggris (lex fori):

Untuk menentukan apakah suatu perceraian telah terjadi secara sah, hukum yang akan dipergunakan
adalah hukum dari tempat perceraian tersebut dilaksanakan. Untuk menentukan apakah seseorang
memiliki Kecakapan untuk menikah atau bercerai akan ditentukan berdasarkan hukum dari tempat
orang tersebut berdomisili.

• Kaidah HPI Swiss:

Untuk menentukan apakah seseorang memiliki kecakapan untuk menikah atau atau bercerai akan
ditentukan berdasarkan hukum dari tempat orang tersebut berkewarganegaraan.

• Hukum intern Italia:

Seorang warga negara ltalia yang telah melakukan perkawinan secara sah berdasarkan hukum Italia,
dilarang untuk melakukan perceraian. Apabila perceraian tersebut dilakukan di negara lain yang
memperkenankan dilaksanakannya perceraian, keabsahan dari perceraian tersebut tidak akan diakui
oleh hukum ltalia.

•Hukuam intern ltalia:

Kesamaan antara ketiga sistem hukum tersebut: Ketiganya melarang seseorang untuk melakukan
poligami atau bigami.

Penyeiesaian perkara

• Forum menentukan bahwa hukum yang harus dipergunakan untuk menentukan apakah laki-laki ltalia
tersebut memiliki kecakapan untuk melakukan perkawinan (kedua) ditentukan berdasarkan hukum
Swiss (sebagai tempat berdomisili laki-laki ltalia tersebut).

90
• Namun, hakim kemudian beranggapan bahwa hukunm Swiss akan merujuk ke arah hukum Italia
(sebagai tempat dari laki-laki tersebut berkewarganegaraan). Dengan demikian, hukum Italia merupakan
lex causae dari main question.

• Berdasarkan hukum Italia tersebut (lex causae dari main question), ternyata hakim kemudian
menentukan apakah perceraian yang dilakukan oleh laki-laki tersebut atas perkawinan pertamanya
adalah perceraian yang sah (merupakan incidental question dari perkara ini).

• Berdasarkan hukum Italia yang melarang warganya untuk melakukan perceraian, forum kemudian
menentukan bahwa perceraian yang dilakukan oleh laki-laki ltalia tersebut merupakan perceraian yang
tidak sah. Dengan demikian, ia juga tidak memiliki kecakapan untuk menikah dengan wanita Spanyol
tersebut (karena hukum intern Italia melarang terjadinya poligami/bigami).

• Banding dari laki-laki ltalia tersebut ditolak dan hakim menguatkan keputusan dari BrentWood
Marriage Registrar

Catatan:

• Cara berpikir hakim ini merupakan aplikasi dari penggunaan absorpsi di dalam menyelesaikan
persoalan pendahuluan karena hakim mempergunakan lex causae dari main question untuk
menyelesaikan masalah di dalam incidental question juga.

• Kasus ini memberi gambaran bahwa dalam praktik di pengadilan lnggris

meskipun para ahli hukum Inggris tidak menerima konsep renvoi, sebenarnya renvoi juga terjadi
sekalipun hakim tidak pernah menyatakannya di dalam argumentasi putusannya. Di dalam kasus ini
sebenarnya telah terjadi renvoi pada saat forum menentukan lex causae dari main question:

⚖️Forum menggunakan kaidah HPI lex fori dan menentukan bahwa hukum yang harus dipergunakan
untuk menentukan apakah laki-laki Italia tersebut memiliki kecakapan untuk melakukan perkawinan
(kedua) ditentukan berdasarkan hukum Swiss (sebagai tempat berdomisili laki-laki Italia tersebut).

⚖️Selanjutnya, seandainya hakim tidak melakukan renvoi, seharusnya penunjukan ke arah hukum Swiss
dianggap sebagai sachnormverweising. Namun, dalam kasus ini hakim ternyata menunjuk ke arah
kaidah HPI Swiss (terjadi gesamtverweisung) sehingga pada saat itu terjadi renvoi (dalam pengertian
transmission). Hukum negara ketiga yang ditunjuk adalah hukum Italia. Hakim kemudian menerapkan
hukum intern ltalia sehingga dapat disimpulkan bahwa hakim menerima renvoi.

D, DÉPEÇAGE

Depeçage (bahasa Prancis) sebenarnya berarti pemecahan atau pemilahan. Dalam buku ini pembahasan
mengenai dépeçage disajikan pada bab ini dengan alasan tertentu, yaitu bahwa pelaksanaan dépeçage
dalam konteks HPI sebenarnya menimbulkan kemungkinan yang mirip dengan situasi yang dihadapi
dalam menghadapi "incidental question walaupun secara hakiki tidak sepenuhnya sama. Depeçage

91
adalah tindakan untuk menundukkan persoalan-persoalan tertentu yang mungkin terbit di dalam
sebuah peristiwa atau hubungan hukum pada sistem-sistem hukum (atau aturan dari sistem-sistem
hukum) yang berbeda.

Definisi lain dari depeçage adalah:

"... applying the rules of different states to determine different issues. When a case presents more than
one choice-of-law issue and each is analyzed separately, situations arise in which it is claimed that the
law of one state should govern one issue and the other a second."

Misalnya, dalam menghadapi persoalan pewarisan yang dibuat oleh seorang

pewaris yang berkewarganegaraan Indonesia melalui pembuatan testamen yang dilaksanakan di


Singapura. Apabila perkara tentang gugatan atas testamen itu diajukan di Indonesia, secara umum orang
dapat mengatakan bahwa perkara harus tunduk pada sistem hukum dari tempat pembuatan testamen.
Akan tetapi, jika orang memilah-milah perkara ini ke dalam sub-subpersoalan, misalnya, subpersoalan
tentang:

1. Keabsahan formal dari testamen dan

2. Subpersoalan tentang kemampuan hukum si pewaris untuk mewariskan kekayaan lewat testamen,

maka ada kemungkinan bahwa untuk submasalah 1 pengadilan memberlakukan hukum Singapura,
sedangkan untuk submasalah 2 pengadilan memberlakukan hukum Indonesia. Tindakan "memilih dan
memilah" inilah yang dimaksud dengan dépecage. Yang menjadi pertanyaan utama dalam perspektif
dan pendekatan HPI tradisional adalah apakah orang dapat melakukan pemilahan seperti itu.

Contoh lain, perkara gugatan ganti rugi yang diajukan oleh orang warga New York atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan ai negara bagian Texas oleh seorang warga Texas dan gugatan diajukan
di New York. Ada kemungkinan persoalan yang menjadi pokok masalah adalah apakah perbuatan
tergugat dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (masalah substansial), hukum yang
berlaku adalah hukum Texas sebagai lex loci delicti. Namun, Jika pokok persoalan yang sedang dihedapi
adalah apakah besarnya ganti rugi yang diminta terbatas pada jumlah tertentu atau tidak (masalah
prosedural), persoalan ini mungkin ditundukkan dan diselesaikan berdasarkan hukum New York sebagai
lex fori (ingat kualifikasi substansial atau prosedural).

Walaupun dalam HPI depeçage dapat dipahami dalam arti bahwa sistem-sisterm hukum yang berbeda
dapat diberlakukan atas bagian-bagian yang berbeda dari sebuah peristiwa atau hubungan hukum,
dalam pelaksanaan hal ini dapat diartikan secara berbeda-beda. Dicey dan morris, dalam konteks
perjanjian/kontrak HPl membedakannya sebagai berikut:

1. Tidak semua persoalan yang dapat timbul dari sebuah hubungan

92
kontraktual dengan sendirinya harus diatur berdasarkan satu hukum yang sama. Jadi, jika hukum yang
dengan tegas dipilih oleh para pihak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
menyangkut sah tidaknya kontrak (validity), masalah-masalah yang menyangkut bentuk kontrak
mungkin ditundukkan pada lex locl contractus atau masalah kemampuan hukum para pihak ditundukkan
pada hukum personal masing-masing pihak.

2. Hukum-hukum yang berbeda dapat diberlakukan atas bagian-bagian dari sebuah kontrak, misalnya,
salah satu kewajiban kontraktual ditundukkan pada hukum A, sedang kewajiban kontraktual lain dari
kontrak yang sama ditundukkan pada hukum B.

HPl tradisional (Eropa) secara teoretis bertitik tolak dari prinsip bahwa sebuah hubungan hukum
seharusnya tunduk pada satu sistem hukum (jurisdiction selecting approach) sehingga dépeçage
dianggap sebagai pengecualian yang dapat dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya, karena:

• Pelaksanaan kewajiban píhak-pihak dalam kontrak harus dilaksanakan di tempat-tempat yang


berbeda; atau

• Karena pihak-pihak sepakat untuk "memecah-mecah" sebuah kontrak ke dalam bagian-bagian


tertentu dan menundukkan masing-masingbagian itu pada sistem hukum yang berbeda-beda; atau

• Karena submasalah tertentu yang timbul dari suatu hubungan hukum ternyata memiliki kaítan nyata
yang lebih besar pada sebuah sistem hukum tertentu daripada sistem hukum yang seharusnya berlaku
berdasarkan pilihan hukum para pihak atau berdasarkan kaidah HPI.

Di lain pihak, apabila orang meninjau masalah ini di dalam sistem conflict of laws di Amerika Serikat,
teori-teori modern Amerika yang pada dasarnya menganggap bahwa tugas HP adalah menetapkan
aturan hukum lokal negara mana yang paling sesuai untuk digunakan dalam menyelesaikan sebuah
persoalan tertentu (a particular issue at hand) yang terbit dari sebuah hubungan/peristiwa hukum (rule
selecting approach), akan menganggap depeçage ini sebagai sesuatu yang alamiah. Umumnya diterima
pandangan bahwa penyelesaian perkara conflict of laws dan penetapan hukum yang berlaku, harus
dilakukan atas dasar analisis kasus demi kasus (case-by-case analysis) sehingga adalah situasi yang wajar
bahwa salah satu kasus harus tunduk pada sistem hukum yang berbeda dari sistem hukum yang
diberlakukan untuk kasus lain yang mungkin timbul dari sebuah hubungan/peristiwa hukum yang sama.

93
BAB VIII

PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM ACARA PERDATA INTERNASIONAL

A. PENDAHULUAN

pada Bab I buku ini telah disinggung secara umum bahwa salah satu masalah pokok HPI (dari tiga
masalah pokok) adalah masalah: "Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan
perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing. Dengan perkataan lain, bagi HPI persoalan
pokok di atas sebenarnya berbicara ada tidaknya dasar bagi forum suatu negara nasional atau forum
dalam pengertian lain untuk mengklaim kewenangan yurisdiksional untuk mengadili suatu perkara (di
bidang hukum keperdataan) yang diajukan ke hadapannya. Asas-asas HPl yang tumbuh dalam rangka
menjawab masalah yurisdiksi itulah yang menjadi subpokok bahasan utama pada bab ini.

Ditinjau dari "letak" persoalan ini dalam konteks HPI, maka perlu disadari bahwa apabila pelaku bisnís
dan para penasihat hukum mereka umumnya mengandalkan aturan-aturan hukum untuk
mengupayakan penyelesaian damai atas perselisihan-perselisihan di antara klien-klien mereka,
perhatian akan dipusatkan pada solusi atas persoalan hukum dari segi hukum materil (substantive law).
Kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum perdagangan umumnya memang dibentuk untuk membantu
para pengambil keputusan hukum dalam mencapai hasil penyelesaian perkara yang paling baik dari segi
substansial (on the merit of the case). Di sini para ahli hukum pada umumnya mengandalkan hukum
perikatan (law of obligations) atau hukum kontrak atau hukum tentang perbuatan melawan hukum,
atau hukum keluarga, hukum kebendaan, dan sebagainya. Kaidah-kaidah hukum substansial
(substantive rules) inilah yang akan menentukan penegakan hak dan kewajiban para pihak dan/atau
bagaimana perkara akan diselesaikan dengan adil, tetapi berkepastian hukum.

Namun, dalam upaya memperoleh penyelesaian perkara, para ahli hukum

juga sering kali harus berurusan dengan kaidah-kaidah hukum formal prosedural/acara yang akan
menetapkan bagaimana aturan-aturan penyelesaian sengketa harus dijalani agar upaya-upaya
penegakan hak dan hukum substantif di atas dapat diwujudkan secara efektif.

Dari segi hukum perdata internasionai, setidak-tidaknya dalam buku sederhana ini, persoalan pokok di
bidang hukum acara perdata internasional ini menyangkut beberapa hal, yang secara umum dapat
dibedakan ke dalam:
94
1. Penentuan kewenangan mengadili sebuah forum jika ia dihadapkan pada perkara-perkara yang
mengandung unsur asing yang kemungkinan bersinggungan dengan yurisdiksi hukum suatu negara lain.

2. Persoalan pilihan forum (choice of court) dan pilihan hukum (choice of law).

3. Efektivitas daya berlaku putusan hukum suatu forum di wilayah yurisdiksi suatu negara selain
wilayahnya sendiri. Hal ini berkenaan dengan masalah pokok HPI yang ketiga, yaitu persoalan
recognition and enforcement of foreign judgements.

4. Persoalan-persoalan umum HPI dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, khususnya melalui
forum arbitrase (komersial) internasional.

Apabila sebuah transaksi diselenggarakan secara transnasional (melampaui batas-batas negara),


masalah-masalah prosedural dalam proses penyelesaian sengketa yang muncul dari dalamnya juga akan
bersifat khas.

Misalnya: Penggugat A yang berdomisili di lndonesia mengajukan gugatan ganti rugi di pengadilan
Indonesia terhadap B yang berdomisili di Singapura.

Ada beberapa masalah khas yang dapat muncul, yaitu:

1. Apakah pengadilan Indonesia memiliki kewenangan yurisdiksi ekstrateritorial atas B sebagai warga
asing. Atau dengan kata lain, apakah pengadilan Indonesia memiliki kompetensi untuk memutus perkara
antara A dan B.

2. Apabila pengadilan Indonesia memiliki kompetensi untuk mengadili perkara, persoalan berikutnya
adalah hukum manakah yang harus digunakan untuk menyelesaikan perselisihan. ini adalah persoalan
tentanghukum intern negara mana (indonesia atau Singapura) yang akan digunakan sebagai substantive
law dalam memutus perkara.

Hal-hal yang dicakup dalam masalah butir 2 ini sebenarnya merupakan persoalan bagi hukum perdata
internasional dalam arti yang sempit, yaitu persoalan penentuan hukum materiil yang harus
diberlakukan dalam hubungan hukum yang mengandung unsur-unsur asing

determining the applicable substantive law on legal relationships having foreign elements). Dengan
perkataan lain, masalah ini masuk dalam lingkup persoalan HPI, tetapi di luar persoalan hukum acara
perdata internasional.

3. Persoalan lain yang mungkin muncul adalah proses pengajuan tergugat ke hadapan pengadilan
indonesia (service of process) yang berkaitan dengan masalah butir 1 dan 2 di atas. Apabila B tidak
dipanggil dan diajukan sesuai dengan tata cara dari hukum yang seharusnya berlaku atau hukum
internasional, pengadilanIndonesia mungkin tidak dapat memberikan putusan hukum yang sah dan
putusan pengadilan indonesia tidak akan memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan (di Indonesia, di
Singapura, atau di mana pun).

95
4. Dalam proses penyelesaian perkara ada kemungkinan timbul persoalan perolehan alat bukti-bukti
atau saksi-saksi di luar negeri (taking evidence abroad). Hal ini akan terlihat sebagai "pelaksanaan
kewenangan peradilan suatu negara di wilayah negara lain'. Hal-hal dalam butir 3 dan 4 ini umumnya
diatur di dalam konvensi-konvensi hukum internasional yang khusus dibuat untuk itu. Namun, dalam hal
tidak ada konvensi yang dapat diberlakukan, maka pertanyaan mengenai hukum acara manakah yang
harus diberlakukan dalam hal-hal khusus yang menyangkut daya jangkau kewenangan forum (the
forum's extra territorial reach), ada dua pandangan yang berbeda, yaitu:

a. Pandangan yang menganggap bahwa hukum acara forum (lex fori) yang mengadili perkara juga harus
berlaku di wilayah negara asing tempat di mana alat-alat bukti itu berada. Asas ini didasarkan pada
prinsip kedaulatan negara yang antara lain, diwujudkan dalam pelaksanaan kewenangan yurisdiksional
pengadilan. Pelaksanaan kewenangan yurisdiksional tunduk pada hukum acara. Karena hukum. Karena
hukum acara pada dasarnya berfungsi memberikan pelayanan umum dalam wujud bagi masyarakat
pengupayaan keadilan bagi masyarakat, maka hukum acara dari tempat pengajuan perkaralah (lex fori)
yang juga harus berlaku.

b. Pandangan yang menganggap bahwa dalam penyelesaian urusan-urusan yang menyangkut


pelaksanaan kewenangan forum di wilayah negara asing tidak selalu dapat ditundukkan pada lex fori
asing (foreign jurisdiction atau yang disebut lex diligentiae). walaupun alaupun lex fori pada dasarnya
berwenang sepenuhnya untuk mnenetapkan tata cara penyelesaian perkara yang diajukan di
hadapannya, jika proses penyelesaian perkara menghendaki pelaksanaan tindakan-tindakan prosedural
tertentu di luar negerti (abroad), mau tidak mau pelaksanaan itu harus tunduk pada hukum acara
setempat (lex diligentiae).

5. Seandainya pengadilan indonesia telah memiliki kewenangan yurisdiksional dan memutus perkara
yang mengalahkan B, ada kemungkinan bahwa badan peradilan Singapura diminta untuk mengakui
keabsahan putusan pengadilan Indonesia dan, misalnya, melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap
aset-aset B di Singapura sebagai wujud dari pelaksanaan putusan pengadilan indonesia. Hal ini sering
kali dapat menjadi persoalan, terutama jika antara Indonesia dan Singapura tidak terdapat perjanjian
untuk saling mengakui dan melaksanakan putusan hukum yang dibuat di masing-masing negara.
Masalah ini disebut recognition and enforcement of foreign judgements dan merupakan masalah pokok
ketiga dari HPI.

6. Kemungkinan lain yang agak menyimpang dari persoalan-persoalan di atas dapat terjadi apabila,
misalnya, para pihak dalam sebuah kontrak telah bersepakat untuk menyelesaikan perselisihan-
perselisihan di antara mereka melalui arbitrase perdagangan internasional (International commercial
arbitration) yang dari segi prosedural memiliki seperangkat aturan-aturan acara yang berbeda dari
proses litigasi di depan pengadilan biasa. Persoalan-persoalan HPI akan lebih tajam muncul dalam
penyelesaian perkara melalui arbitrase apabila forum arbiter ditunjuk oleh pihak-pihak yang beperkara
untuk bertindak atas dasar "ex aequo et bono" sehingga perwasitan dapat dijalankan tanpa harus
mengaitkan proses penyelesaian perkara pada sistem hukum nosional tertentu. Dalam kedudukan
seperti itu, menjadi masalah apakah kebebasan forum arbitrase itu bersifat mutlak atau kah forum tetap
96
terikat untuk mendasarkan diri pada sistem hukum tertentu untuk menjawab persoalan-persoalan yang
bersifat yuridis yang muncul dari perkara yang ada di hadapannya? Persoalan ini pada akhirnya akan
membawa orang pada penentuan hukum apa yang harus digunakan sebagai acuan dalam proses
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Mengingat sangat luasnya lingkup pembahasan yang dapat dicakup oleh persoalan-persoalan di atas,
maka pembahasan dalam buku ini akan dibatasi pada persoalan HPI tentang yurisdiksi dan kompetensi
ekstrateritorial forum untuk mengadili perkara yang mengandung elemen asing. Sebagai bahan
pengantar, pembahasan pada bab ini juga akan dibatasi pada beberapa asas HP yang dikenal dalam
praktik Internasional atau doktrin-doktrin HPI dan tidak akan menyentuh sistem hukum acara perdata
Indonesia.

B. BEBERAPA PRINSIP HPI TENTANG DASAR PENETAPAN YURISDIKSI FORUM DALAM LITIGASI
PERKARA TRANSNASIONAL

Berbicara tentang yurisdiksi ekstrateritorial, orang akan menghadapi pelbagai aturan hukum nasional
negara-negara, yang menetapkan sendiri kapan pengadilan nasional mereka berwenang untuk
mengklaim yurisdiksi atas subjek hukum asing. Ekstremnya, atas dasar kedaulatannya, setiap negara
berwenang sepenuhnya untuk mengklaim yurisdiksi atas subjek hukum. Namun, umumnya diterima
prinsip secara internasional bahwa kewenangan semacam itu perlu dibatasi dan negara-negara harus
membatasi diri dalam mengklaim kewenangan semacam itu (self-restraint). Artinya, selalu harus
sekurang-kurangnya ada suatu dasar yang konkret bagi pengadilan suatu negara untuk mengklaim
yurisdiksi semacam itu. Dasar yang konkret itu umumnya ditentukan oleh ada-tidaknya suatu pertautan
atau kontrak (connection) tertentu antara negara dan badan peradilannya di satu pihak, dengan gugatan
atau pihak-pihak dalam perkara dilain pihak.

Pengertian Kewenangan Yurisdiksional Forum dalam Konteks HPI

secara tradisional, pengertian masalah yurisdiksi dapat diartikan secara luas sebagai masalah apakah
sebuah forum akan mengadili dan memutuskan suatu persoalan hukum yang diajukan kepadanya. Di
dalam HPI persoalan yurisdiksi forum ini menjadi lebih kompleks karena secara tradisional, masalah
yurisdiksi peradilan dalam HPI mencakup beberapa masalah pokok, yaitu:

1. Apakah Pengadilan Berwenang untuk Mengadili Perkara

Kompetensi mengadili dari suatu peradilan adalah persoalan hukum acara dan dalam soal-soal hukum
keperdataan biasanya bergantung dari penyampaian panggilan pengadilan (service of writ) kepada pihak
tergugat dan panggilan semacam itu hanya dapat disampaikan apabila tergugat berada secara fisik di
dalam yurisdiksi pengadilan, atau jika tergugat menundukkan diri pada kewenangan yurisdiksional, atau
jika pengadilan memerintahkan pemanggilan tergugat di wilayah di luar yurisdiksi pengadilan (service of
writ out of out of the Jurisdiction).

97
2. Apakah Pengadilan akan Menolak Mengadili atau Tidak Melanjutkan Proses Peradilan Walaupun
sebuah forum terbukti berwenang untuk mengadili sebuah perkara, ia dapat menolak untuk mengadili
atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara karena:

a. Pertimbangan bahwa koneksitas antara para pihak dan atau pokok perkara sangat tidak signifikan
sehingga perkara seharusnya diajukan di pengadilan negara lain (penolakan dengan menggunakan asas
forum nonconveniens), atau karena terbukti bahwa proses pemeriksaan perkara yang sama juga sedang
berjalan dihadapan sebuah forum negara lain (penolakan dengan alasan lisalibi pendens), atau karena
perkara dan pihak-pihak yang sama telah diadili dan diputuskan oleh sebuah forum lain dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (res judicata).

b. Keputusan untuk melanjutkan pemeriksaan akan bertentangan dengan kewenangan yurisdiksional


eksklusif (exclusive jurisdiction atau bertentangan dengan klausula arbitrase yang disepakati para pihak
yang beperkara.

3. Apakah Ada Pembatasan terhadap Pengadilan dalam Melaksanakan

Kewenangan Yurisdiksionalnya walaupun pengadilan sudah melaksanakan pemanggilan dengan benar,


yurisdiksi pengadilan masih mungkin dibatasi pula oleh pembatasan-pembatasan tertentu, yang dapat
mengakibatkan pengadilan akan dianggap tidak berwenang/inkompeten untuk mengadili perkara.
Pembatasan-pembatasan seperti ini dapat berkenaan dengan:

a. Pokok perkara (subject matter), misalnya, menyangkut tanah atau properti di wilayah negara asing).

b. Jenis penyelesaian perkara yang diminta, misalnya, pemberian izin untuk perceraian.

c. Subjek hukum terhadap mana tuntutan diajukan, misalnya, gugatan terhadap negara asing.

dalam litigasi transnasional, di mana asas actor sequituur forum rei (asas yang menetapkan bahwa
"tempat tergugat berada menentukan tempat yang menetapkan pengadilan") yang umumnya
digunakan untuk menetapkan yurisdiksi pengadilan dalam perkara-perkara lokal, ternyata tidak selalu
dapat digunakan secara efektif karena connection dalam perkara-perkara di bidang HPI sering kali
dibentuk melalui titik-titik taut lain, seperti pelaksanaan kontrak atau tempat perbuatan melawan
hukum di negara forum. Penentuan dasar yurisdiksi suatu pengadilan itu, dalam praktik litigasi
internasional, umumnya dibedakan ke dalam yurisdiksi in personam dan yurisdiksi in rem, dan dalam
keadaan-keadaan khusus berkembang pula konsep yurisdiksi quasi in rem, yaitu:

⚖️Yurisdiksi in Personam

Yurisdiksi in personam adalah yurisdiksi atas orang (persons). Jenis yurisdiksi ini umumnya dianggap
sebagai yurisdiksi tidak terbatas (unlimited jurisdiction), dalam arti bahwa pengadilan yang memiliki
yurisdiksi in personam atas seseorang tergugat" akan dianggap memiliki kewenangan untuk memutus
perkara atas tergugat itu untuk jumlah yang tidak terbatas dan menyangkut seluruh aset miliknya.
Yurisdiksi in personam dapat terbit karena:

98
• Kehadiran (presence)

Kehadiran (presence) seseorang di dalam wilayah negara forum. Kehadiran semacam itu dapat dianggap
sebagai dasar yang cukup bagi forum untuk mengklaim general jurisdiction (lihat penjelasan di bawah)
atas orang itu. Namun, perlu disadari bahwa kehadiran seseorang di wilayah negara forum karena kadar
transit (transitory presence) umumnya belum dianggap cukup bagi forum untuk mengklaim yurisdiksi
atas orang tersebut.

• Tempat kediaman (domicile)

Tempat kediaman (domicile) seseorang di suatu negara. Kenyataan ini umumnya dianggap sebagai dasar
bagi forum negara itu untuk mengklaim general jurisdiction atas orang itu.

• Penundukan sukarela (consent)

Penundukan sukarela (consent) seseorang Karena ia mengajukan gugatan atau menjawab gugatan
terhadap dirinya di forum suatu negara. Hal ini dapat menjadi dasar bagi forum itu untuk mengklaim
yurisdiksi in personam. Yurisdiksi dalam arti ini dikategorikan sebagai yurisdiksi khusus atau specific
jurisdiction (lihat pejelasan di bawah).

•Adanya pertautan minimum (minimu7 contacis)

Adanya pertautan minimum (minimum contacts) antara seseorang dan negara forum (lihat penjelasan di
bawah).

⚖️Yurisdiksi in Rem

Yurisdiksi in rem di lain pihak, adalah yurisdiksi atas benda (things/res) yang berada di dalam wilayah
negara forun, yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.
Pengadilan yang memiliki kewenangan yurisdiksi in rem memiliki kewenangan untuk mengadili
sengketa-sengketa yang berkenaan dengan titel atas benda-benda tertentu yang berada di
wilayahforum.

⚖️Yurisdiksi Quasi in Rem

Di dalam sistem hukum acara Amerika dikenal jenis yurisdiksi quasi.in rem untuk perkara-perkara yang
tidak secara langsung menyelesaikan gugatan atas kepemilikan tergugat atas suatu kebendaan yang
berkaitan dengan perkara, tetapi hanya karena penggugat menuntut agar kekayaan tertentu milik
tergugat yang ada di wilayah forum "dilekatkan" (attached) pada perkara walaupun tidak ada kaitan
langsung antara kekayaan itu dan pokok perkara.

Secara umum dapatlah dirangkum beberapa prinsip penetapan yurisdiksi dalam proses litigasi perdata
internasional, yaitu:

1. Yurisdiksi Teritorial atas Dasar Domisili (Tergugat)

99
Berdasarkan prinsip actor sequitur forum rei, gugatan umumnya diajukan di tempat di mana tergugat
berdomisili atau berkediaman tetap. Yurisdiksi dalam arti ini pada dasarnya sama dengan yurisdiksi atas
perkara-perkara domestik. Prinsip forum rei itu dimaksudkan untuk mengupayakan perlindungan hukum
bagi pihak tergugat, yang mungkin akan menghadapi kesulitan dan ketidakadilan jika ia harus diadili di
suatu pengadilan asing. Rasio di belakang prinsip ini adalah bahwa domisili merupakan tempat di mana
seseorang secara terus-menerus (continously) berada dan karena itu ia dapat digugat tanpa harus ada
pembatasan-pembatasan tertentu mengenai jenis pokok perkara (subject matter) dan tanpa ada
persyaratan untuk membuktikan adanya connection antara domisili tergugat dan pokok perkara yang
dihadapi. Karena itulah, yurisdiksi pengadilan di tempat domisili tergugat dikatakan memiliki general
jurisdiction atas tergugat yang bersangkutan. Sebuah pengadilan dapat mengklaim untuk memiliki
general jurisdiction atas seseorang karena pertautan (contact) antara forum dan orang itu yang bersifat
terus-menerus (continous) dan sistematis (systematic). Atas dasar yurisdiksi ini, seseorang dapat digugat
atas perkara apa saja yang diajukan di dalam wilayah forum.

Jika orang menggunakan sebutan tergugat" (defendant), yang perlu dibedakan adalah tergugat sebagai
"orang (natural person) atau sebagai "badan hukum" (legal person). Untuk badan hukum, ukuran tidak
ditentukan berdasarkan domisili badan hukum itu, tetapi berdasarkan lokasi badan hukum tersebut.
Negara-negara tertentu menetapkan "lokasi" atas dasar tempat pengelolaan utama dan pengawasan
(chief management and control, siege social) badan hukum itu berada (Prancis), atau tempat pusat
operasi (central location of the companys operation) badan hukum itu (Jerman), atau tempat di mana
badan hukum itu didirikan secara hukum (place of incorporation-lnggris). Di Amerika Serikat, yurisdiksi
atas badan hukum (corporations) ditentukan oleh:

a. Tempat usaha utama (principle place of business) di wilayah negara forum. Kenyataan ini memberikan
kewenangan bagi forum untuk mengkiaim general jurisdiction atas badan hukum yang bersangkutan.

b. Tempat pendirian (state of incorporation) di negara forum, yang juga dapat menjadi dasar bagi forum
negara tersebut untuk mengklaim general jurisdiction.

c. Adanya pertautan minimum (minimum contacts) dengan negara forum, yang dapat menjadi dasar
bagi forum negara tersebut untuk mengklaim setidak-tidaknya specific jurisdiction.

2. Yurisdiksi Khusus dalam Perjanjian dan Perbuatan Melawan Hukum

Di banyak hukum acara negara-negara di dunia, seorang penggugat memiliki kesempatan untuk
mengajukan gugatan di tempat pelaksanaan suatu kontrak (place of performance of the obligation
dalam hal kontrak) atau dalam hal perbuatan melawan hukum (tort), di tempat di mana peristiwa atau
perbuatan yang merugikan dianggap terjadi (place where the harmful event or tort occurred). Apabila
pertautan tergugat-domisili memberikan dasar bagi forum untuk mengklaim general jurisdiction, dalam
hal kontrak dan perbuatan melawan hukum pengadilan setempat dapat mengklaim specific jurisdiction
(yurisdiksi khusus). Dikatakan "specific karena harus dipenuhinya persyaratan adanya hubungan antara
perikatan dan perkara. Akan tetapi, begitu sebuah forum memiliki kewenangan "spesifik" ini, maka
umumnya forum dianggap memiliki yurisdiksi tak terbatas (unlimited jurisdiction) atas tergugat.
100
Secara tradisional banyak negara yang mengakui kewenangan yurisdiksional dari forum di tempat di
mana perianjian dibuat (forum contractus). Namun, dalam perkembangannya konsep forum contractus
semakin bergeser ke arah forum solutionis (tempat pelaksanaan kontrak). Di Amerika Serikat
perkembangan yang sama juga terjadi, tetapi umumnya penggunaan asas forum solutionis diterapkan
dengan pembatasan tertentu. Misalnya: "Seorang tergugat asing yang tidak melakukan prestasi dari
sebuah kontrak yang harus dilaksanakan di negara bagian X dapat digugat di depan pengadilan X, selama
pokok gugatan memang terbit dari prestasi tersebut". Pembatasan lain dirumuskan sebagai berikut:
"Seorang tergugat asing yang harus melaksanakan kontrak di negara bagian Y dapat digugat di
pengadilan Y, apabila tergugat asing itu secara teratur melaksanakan atau menawarkan bisnisnya di
negara bagian Y".

Dalam perkara-perkara perbuatan melawan hukum (tort, PMH), hukum acara negara-negara umumnya
mendasarkan diri atas asas forum delicti commissi (tempat di mana PMH dilakukan). Namun, dalam
konteks PMH transnasional dewasa ini, terjadi perkembangan ke arah pengakuan asas "place where the
Injury was sustained" (tempat dimana kerugian dianggap timbul). Di Amerika Serikat digunakan juga
asas forum delicti commissi, tetapi umumnya ditambahkan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus
dipenuhi dan harus ditentukan dengan menggunakan reasonableness test (lihat kasus Asahi)

3. Yurisdiksi karena Persetujuan

Yurisdiksi ekstrateritorial dapat juga diklaim oleh sebuah forum atas dasar kenyataan bahwa para píhak
(khususnya tergugat) telah secara sukarela memilh untuk mempertahankan dirinya dan harta
kekayaannya di depan suatu forum asing, baik melalui suatu choice of forum clause di dalam suatu
kontrak maupun melalui persetujuan tertulis yang dibuat pada saat sengketa timbul. Perlu disadari
bahwa persetujuan (consent) tergugat (atau pihak-pihak dalam suatu hubungan hukum) untuk tampil di
suatu forum asing hanya dapat dijadikan dasar yurisdiksi jika penampilan itu memang dilakukan dalam
rangka menyelesaikan pokok perkara dan tidak sekadar untuk menentang yurisdiksi forum asing itu (to
contest such jurisdiction).

4. Yurisdiksi atas Dasar Kewarganegaraan, Kekayaan, atau Pemunculan/Kehadiran

Perselisihan yang mungkin timbul dari hubungan-hubungan hukum transnasional harus selalu dapat
díselesaikan oleh dan di depan suatu forum pengadilan nasional tertentu (kecuali pihak-pihak sepakat
untuk mengajukan sengketa ke arbitrase atau apabila mereka harus mengajukan perkara ke suatu badan
peradilan supranasional). Akan tetapi, dalam proses penyelesaian sengketa di bidang perdagangan
modern dewasa ini, kewenangan suatu forum juga dibatasi prinsip-prinsip kewajaran dan
keadaban/kepantasan (reasonableness and decency). Pembatasan-pembatasan tersebut dapat
diberlakukan atas dasar:

a. Kemauan politik dari forum suatu negara berdaulat untuk membatasi kedaulatan dan kewenangannya
(sovereign self-restraint).

101
b. Pemberlakuan batas-batas tertentu yang harus dipenuhi sebelum sebuah forum mengklaim yurisdiksi
(lihat section 2 dari EC Council Regulation yang berlaku dí negara-negara masyarakat Eropa).

c. Berlakunya aturan-aturan hukum nasional yang menetapkan batas-batas pelaksanaan yurisdiksi


ekstrateritorial (long-arm statutes), seperti yang dapat dijumpai di negara-negara bagian di Amerika
Serikat.

C. PERSOALAN-PERSOALAN KHUSUS TENTANG YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL (EXTRATERRITORIAL


JURISDICTION)

Yang dimaksud dengan yurisdiksi ekstrateritorial di sini adalah kewenangan pengadilan suatu negara
untuk melaksanakan yurisdiksinya atas seorang tergugat (defendant) yang berkediaman tetap
(berdomisili) di suatu negara di luar negara forum. Asas yang pada dasarnya berlaku bagi pengadilan
untuk menentukan ada tidaknya kewenangan pengadilan untuk mengklaim yurisdiksi atas seorang
tergugat adalah asas actor sequitur forum rei

Dalam proses litigasi domestik, penerapan asas actor sequitur forum rei tidak membawa terlalu banyak
masalah, kecuali masalah-masalah perbedaan prosedur penentuan kompetensi teritorial domestik dan
bidang perkara.

Masalah-masalah HPI baru timbul apabila pengadilan harus menetapkan kewenangan yurisdiksi
ekstrateritorialnya untuk memeriksa perkara-perkara yang mengandung unsur asing. Apabila pengadilan
harus menentukan kewenangan yurisdiksionalnya atas seorang tergugat yang berkediaman tetap di
dalam wilayah negara forum, penerapan prinsip forum rei di atas masih dapat dengan mudah
diterapkan pengadilan untuk membentuk kaitan yang nyata (real connection) antara forum dan
tergugat, dan atas dasar itu dapat mengklaim kewenangan yurisdiksional umum (general jurisdiction)
atas tergugat. Berdasarkan asas forum rei di atas, sebuah pengadilan pada dasarnya memiliki yurisdiksi
umum (general jurisdiction) atas pihak tergugat. Pemahaman ini umumnya dianut di negara-negara
common law, keadaan serupa dipahami melalui konsep yurisdiksi in personam atas pihak tergugat atas
dasar asumsi bahwa pertautan personal/pribadi antara forum yang mengadali perkara dan seorang yang
berdomisili/berkediaman tetap di wilayah forum menerbitkan yurisdiksi tak terbatas pengadilan atas
orang itu. Berdasarkan prinsip forum rei itu penggugat diarahkan untuk mengajukan gugatan dan
perkara di forum negara tergugat, dengan tujuan agar pihak tergugat tidak perlu menjalani proses
peradilan di suatu pengadilan asing.

Namun, dalam perkara-perkara yang bersifat transnasional dapat timbul beberapa persoalan yurisdiksi
yang khas apabila pengadilan suatu negara harus memeriksa perkara-perkara yang menyangkut tergugat
asing (non domiciliary defendant) atau perkara-perkara di mana gugatan dlajukan di suatu forum asing.
Persoalannya terutama terletak pada adanya perbedaan-perbedaan prinsip atau aturan yang digunakan
oleh pelbagai sistem hukum untuk menentukan adanya pertautan atau "connection" antara forum dan
tergugat.

102
Di samping pertautan in personam sepertí yang dikenal di dalam sistem peradilan common law, untuk
mengklaim kewenangan yurisdiksionalnya pengadilan dapat menggunakan cara pemanggilan yang sah
terhadap tergugat yang secara fisik hadir di wilayah pengadilan. Dalam kasus-kasus lain, sistem HPl
menggunakan pola yang dikembangkan di Amerilka Serikat yang menggunakan ukuran "minimum
contacts antara negara forum dan pihak tergugat. Pertautan minimum semacam itu baru dianggap ada
apabila memenuhi kriteria umum "kewajaran dan keadilan dalam arti tradisional (traditional notion of
fair play and substantial justice). Harus diakui bahwa standar yang sangat umum seperti itu tidak dengan
sendirinya dianggap sebagai kriterium yang cukup jelas bagi pengadilan, dan pelbagai penafsiran serta
upaya membatasi pengertlan "fair play" and "substantial justice" itu terus berkembang dengan
memerhatikan hal-hal khusus yang ada di setiap perkara yang dihadapi.

Interpretasi yang digunakan di dalam praktik pengadilan di Amerila Serikat, misalnya, untuk
mewujudkan "minimum contacts" secara wajar dan adil seperti di atas, dapat berbeda-beda. Ukuran
tambahan untuk membentuk pertautan itu sering kali ditegaskan dari adanya fakta-fakta dalam perkara
yang menunjukkan:

1. Continuity and systematic way of conducting business in the forum state (kesinambungan dan pola
yang teratur dari tergugat dalam menjalankan urusan-urusannya di wilayah negara forum).

2. Claims have to arise out of and related to the defendant's activities in the forum state (gugatan harus
terbit dari dan berkaitan dengan aktivitas pihak tergugat di wilayah forum).

3. Dalam perkara-perkara yang menyangkut kontrak jual beli internasional, seorang tergugat asing (alien
defendant) yang secara tidak langsung memasarkan produknya di Armerika Serikat melalui pihak ketiga,
tanpa kehadiran fisik di wilayah Amerika Serikat, dianggap seharusnya sadar bahwa produk-produknya
akan memasuki arus perdagangan di Amerilka dan ia akan memperoleh manfaat/keuntungan dari situ.
Karena itu, dalam situasi sedemikian itu pun adalah wajar dan adil apabila tergugat dianggap telah
memilikl "minimum contact" dengan Amerika Serikat dan karena itu pengadilan AS berwenang untuk
mengklaim yurisdiksi in personam atas tergugat.

4. Dalam perkara lain, pertautan yang substansial antara tergugat dan negara forum harus terbentuk
atas dasar adanya tindak-tanduk tergugat yang dengan sengaja diarahkan ke negara forum (purposefully
directed toward the forum state). Jadi, tanpa adanya niat untuk sengaja memasarkan produk tertentu di
wilayah suatu negara, maka pengadilan negara itu belum dapat mengklaim yurisdiksi atas tergugat atas
dasar the traditional notion of fair play and substantial justice tadi.

D. ELEMEN-ELEMEN YURISDIKSI FORUM DALAM HPI (PENJELASAN DAN KASUS-KASUS)

Yurisdiksi hukum (judicial jurisdiction) pada dasarnya berkaitan dengan masalah apakah sebuah
pengadilan memliki kaitan yang cukup (sufficient connection) terhadap:

1. orang atau pihak yang berkedudukan sebagai tergugat (defendant), atau

2. Hak milik kebendaan (property) yang terlibat dalam perkara, atau


103
3. Transaksi dasar (the underlying transaction) dari perkara, sebagai dasar Justifikasi klaim pengadilan
tersebut untuk nengadill perkara yang bersangkutan.

Masalah ini akan timbul apabila perkara tersebut merupakan perkara asing bagi pengadilan yang
bersangkutan, dalam arti bahwa tidak semua pihak datam perkara itu adalah pihak yang berkediaman
tetap di wilayah forum atau tidak semua fakta hukum yang penting dari perkara tersebut memiliki kaítan
yang nyata dengan wilayah forum.

Jadi, persoalan yurisdiksi peradilan dalam konteks HPI harus dibedakan dari persoalan-persoalan hukum
acara domestik, yang menyangkut kewenangan mengadili atas dasar pokok perkara (subject matter
Jurisdiction) atau kewenangan atas dasar tempat pengadilan di dalam wilayah forum (proper venue).

Dalam persoalan yurisdiksi HPI perlu diperhatikan pula masalah yang menyangkut hak pihak tergugat
(asing) untuk memperoleh pemberitahuan yang cukup (adequate notice) mengenai gugatan yang
diajukan terhadap seorang tergugat dan pemberian kesempatan yang cukup baginya untuk melakukan
pembelaan diri terhadap gugatan tersebut (due process matters).

Selanjutnya, dalam hal pengadilan suatu negara memiliki kewenangan yurisdiksional untuk mengadili
perkara HPl, di negara-negara berbasis common law dikenal prinsip yang dapat digunakan oleh
pengadilan untuk menolak mengadili perkara dalam hal-hal:

⚖️Perkara seharusnya diajukan di forum negara lain;

⚖️Perkara menyangkut urusan-urusan internal sebuah badan hukum (internal affairs of corporations);
atau

⚖️Perkara menyangkut klaim atau gugatan atas tanah di suatu negara asing.

Asas yang dapat digunakan pengadilan dalam situasi-sítuasi semacam itu disebut asas forum
nonconveniens. Asas ini tidak begitu dikenal di negara-negara yang berbasis civil law seperti Indonesia
karena pada prinsipnya negara-negara ini mendasarkan diri pada prinsip bahwa sebuah pengadilan pada
dasarnya tidak dapat menolak untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Dalam konteks HPI
alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan (di negara cívil law) untuk menolak mengadili perkara
adalah asas lis alibi pendens apabila dapat dibuktikan bahwa perkara yang diajukan ternyata sedang
diajukan dan diadili di pengadilan negara lain (concurrent litigation) atau asas res judicata apabila dapat
dibuktikan bahwa perkara yang sama sebenarnya telah diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan lain
dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (succesive litigation).

1. Prinsip Konstitutif untuk Klaim Yurisdiksi

Perkembangan modern dalam HPI yang diterapkan pengadilan suatu negara untuk melaksanakan
yurisdiksi atas sebuah perkara HPl tidak lagi didasarkan pada prinsip kedaulatan teritorial atas orang dan
benda yang berada di dalam wilayah negara forum. Prinsip yang semakin banyak digunakan secara

104
internasional adalah pertimbangan adanya pertautan minimum dan prinsip kewajaran yang mendasar
(minimum contacts and fundamental fairness principle-MCFF principle).

Prinsip MCFF ini dikembangkan untuk membatasi kebebasan pihak penggugat untuk mengajukan
perkara di pengadilan tempat ia berkediaman tetap. Kebebasan semacam itu memang pada dasarnya
diakui sebagai salah satu dasar untuk mengklaim yurisdiksi. Namun, yang perlu dilengkapi dengan
pembatasan-pembatasan tertentu untuk mencegah terjadinya pelanggaran atas hak-hak pihak tergugat
untuk memperoleh perlakuan hukum yang wajar. Untuk itulah maka prinsip MCFF dianggap sebagai
"batas luar bagi pengadilan untuk melaksanakan yurisdiksi. Artinya, pengadilan hanya dapat
melaksanakan yurisdiksi jika terdapat pertautan minimum antara tergurat dan negara forum sedemikian
rupa sehingga pihak tergugat akan menerima perlakuan yang wajar dan adil. Di bawah ini dipaparkan
beberapa perkara di Amerika Serikat yang benar-benar merupakan persoalan yurisdiksi dalam kasus-
kasus yang benar bersifat transnasional (dan bukan antar negara bagian di AS saja) dan yang dewasa ini
membentuk kriteria penentuan ada/tidaknya minimurm contacts antara forum dan perkara sehingga
forum dapat mengklaim general jurisdiction atau specific jurisdiction.

2. Beberapa Contoh Kasus

Di bawah ini disajikan beberapa kasus pembentukan pertautan (contacts) antara perkara dan forum
yang berkembang dalam keputusan-keputusan

Mahkamah Agung Anerika Serikat. Penyajian ini hanya dimaksudkan untuk memberikan gambaran
bagaimana konsep penetapan yurisdiksi dapat berkembang sesuai perkembangan kasus-kasus dalam
praktik.

a. Kasus McGee vs International Life Insurance Co. (1957)

Tergugat adalah sebuah perusahaan asuransi negara X, yang menawarkan dan menutup sebuah
perjanjian asuransí kepada penggugat, seorang warga negara Y. Perjanjian asuransi iní merupakan satu-
satunya perjanjían yang dijual tergugat di negara Y. Setelah penggugat meninggal dunía, tergugat
menolak untuk membayar klaim uang asuransi dan pihak tertanggung (beneficiary/ahli waris penggugat)
menggugat tergugat di negara Y berdasarkan peraturan "long arm statute" yang berlaku di negara Y
yang dapat diberlakukan untuk transaksi-transaksi asuransi semacam itu. Tergugat dipanggil melalui
surat dan akhirnya hadir di negara Y untuk melawan dan membantah kewenangan yurisdiksional
pengadilan Y.

Negara Y dianggap dapat mengklaim yurisdiksi atas pihak tergugat (asing) itu dengan dasar pikiran
bahwa:

1) Tergugat telah mengajukan penawaran untuk menutup kontrak asuransi kepada seorang warga
negara Y.

2) Negara Y memiliki kepentingan untuk melindungi warga negara Y dari kegagalan perusahaan asuransi
untuk membayar klaim-klaim asuransi.
105
Berdasarkan long arm statute negara Y, maka warga negara Y dapat menggugat perusahaan asuransi
asing di depan forum negara Y. Dengan kataan lain, dalam perkara ini kedua elemen di atas dapat
dianggap memberikan dasar hukum yang cukup bagi pengadilan Y untuk mengklaim yurisdiksi.

b. Perkins vs Benguet Consolidated Mining Co. (1952)

Tergugat adalah sebuah perusahaan Filipina yang bergerak di bidang pertambangan emas dan perak di
Filipina. Ketika zaman pendudukan Filipina oleh tentara Jepang, seluruh operasi pertambangan tergugat
dihentikan dan presiden direkturnya (yang sekaligus pemegang saham terbesar) pergi meninggalkan
Filipina dan kembali ke negara bagian Ohio di AS. Selama ia berada di Ohio, tergugat melaksanakan
tugas-tugas sementara dari perusahaannya berkenaan dengan upaya perolehan aset-aset perusahaan
yang ada di Filipina dan mengirimkan uang ke Filipina untuk membeli mesin-mesin.

Penggugat, seseorang yang bukan warga ohio mengajukan gugatan terhadap perusahaan tergugat di
Ohio untuk mengklaim haknya atas pembayaran dividen yang sudah jatuh tempo untuknya dalam
kedudukan sebagai pemegang saham di perusahaan tergugat.

Fakta menunjukkan bahwa gugatan penggugat sama sekali tidak berkaitan dengan aktivitas perusahaan
tergugat di Ohio. Namun, pengadilan Ohio tetap menerima gugatan dengan anggapan bahwa sebagian
besar aktivitas perusahaan tergugat sejak Perang Dunia sampai saat gugatan diajukan dilakukan dari
Ohio.

Berdasarkan fakta itu, pengadilan Ohio menganggap bahwa Ohio memiliki "sufficient contacts dengan
perusahaan tergugat dan penerimaan yurisdiksi atas gugatan yang berkaitan dengan aktivitas tergugat
yang tidak berkaitan sama sekali dengan Ohio (melainkan dengan Filipina), dianggap tidak melanggar
pengertian tradisional mengenai Keadilan dan Fair Play" (reasonable and iust).

Di Amerika Serikat, sejak tahun 1977. Mahkamah Agung AS dengan tegas mengesampingkan dan
menolak "kekuasaan atas orang dan benda sebagai dasar dari sebuah pengadilan untuk mengklaim
yurisdiksi atas tergugat asing dan menetapkan bahwa dalam semua perkara, pelaksanaan kewenangan
yurisdiksi harus diwujudkan atas dasar dan diuji lewat pemenuhan prinsip minimum contacts and
fundamental fairness" (Perkara Shaffer vs Heitner 1977).

3. Batas-Batas Kemungkinan Pelaksanaan Yurisdiksi

Dalam menentukan batas-batas terluar bagi forum untuk mengklaim yurisdiksi, Mahkamah Agung AS
pernah menegaskan bahwa;

a. Penekanan harus diletakkan pada tergugat (defendant) dan pertautan (contacts) antara tergugat atau
antara transaksi yang menimbulkan perkara yang melibatkan tergugat dengan forum.

b. Pengadilan tidak dapat mengklaim yurisdiksi semata-mata atas dasar pandangan bahwa pengadilan
mempunyai kepentingan untuk menyediakan forum penyelesaian sengketa untuk penggugat karena
penggugat memiliki "connection" dengan forum.

106
c. Persoalan apakah pengajuan perkara di forum akan menyulitkan pihak tergugat (asing) atau tidak,
atau apakah hukum intern forum mungkin akan diberlakukan sebagai lex causae untuk menyelesaikan
satu atau lebih pokok perkara yang bersangkutan, tidak lagi dianggap sebagai dasar pertimbangan untuk
mengklaim yurisdiksi atas seorang tergugat asing.

d. Sebaliknya juga, selama terdapat "minimum contacts" antara tergugat dan forum atau antara
transaksi hukum yang diperkarakan dan forum, maka tidak adanya kaitan antara penggugat dengan
forum atau tidak adanya kepentingan forum untuk melindungi hak penggugat untuk memperkarakan
gugatannya.

e. Prinsip yang terpenting dalam menentukan batas terluar bagi sebuah pengadilan untuk mengklaim
yurisdiksi atas sebuah perkara adalah prinsip "penundukan secara sadar pihak tergugat" (purposeful
availment of the defendant). Artinya, berdasarkan prinsip "purposeful availment" haruslah dapat
dibuktikan bahwa:

1) Tergugat dengan sadar telah menempatkan dirinya dalam posisi untuk dapat melaksanakan aktivitas
di wilayah forum dan karena itu untuk juga memperoleh manfaat dan perlindungan dari lex fori.

2) Tergugat dengan sadar telah mengarahkan kegiatannya kepada orang yang berkediaman tetap di
wilayah forum.

3) Jika salah satu unsur ini dipenuhi, adalah "wajar dan adil" untuk mengadili tergugat dalam perkara
yang bersangkutan di forum yang bersangkutan.

4. Beberapa kasus yang menyangkut Purposeful Availment

a. Kasus World Wide Volkswagen Corporation vs Woodson (1980)

Kesus posisi:

• Ketika penggugat berkediaman tetap di New York ia membeli sebuah mobil dari tergugat 1, sebuah
perusahaan dealer mobil bermerek Volkswagen di New York.

• Tahun berikutnya, ketika penggugat sedang dalam perjalanan untuk pindah ke negara bagian Arizona,
penggugat mengalami kecelakaan di negara bagian Oklahoma ketika mengendarai mobilnya itu.

• Penggugat mengalami cedera serius dalam kecelakaan itu.

• Penggugat kemudian mengajukan gugatan "product liability' terhadap tergugat 1 dan tergugat 2
(distributor regional untuk New York, New Jersey, dan Connecticut).

• Gugatan diajukan (tingkat pertama) di pengadilan Oklahoma.

• Yurisdiksi pengadilan Oklahoma dalam perkara ini ditolak oleh tergugat 1 dan tergugat 2. Namun,
penolakan itu dibantah oleh pengadilan Oklahoma dan pengadilan tetap pada sikapnya untuk
mengklaim yurisdiksi atas perkara.
107
• Ketika para tergugat mengajukan kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan
Oklahoma dengan alasan klaim yurisdiksi pengadilan Oklahoma dianggap melanggar prinsip due process.

Pola berpikir Mahkamah Agung AS

• Kedua tergugat menjalankan aktivitas bisnis di Oklahoma.

• Kewenangan yurisdiksi yang digunakan penggugat (di pengadilan Oklahoma) didasarkan pada
keadaan-keadaan yang sangat kebetulan sifatnya (fortuitous circumstances), yaitu bahwa "sebuah mobil
yang dijual di New York kepada seorang penduduk New York yang kebetulan mengalami kecelakaan
ketika sedang melewati negara bagian Oklahoma".

• Supreme Court berpandangan bahwa pihak-pihak yang mungkin menjadi tergugat dalam perkara
harus dapat memperkirakan perilakunya dengan memperoleh kepastian minimum tentang di mana saja
perilaku mereka dapat mengakibatkan gugatan hukum.

• Para tergugat sama sekali tidak memiliki kaitan (contact) dengan Oklahoma, sedemikian rupa sehingga
mereka dapat menduga bahwa mereka mungkin digugat di sana. Kenyataan bahwa mobil yang mereka
pasarkan dapat mengalami kecelakaan di mana saja (termasuk di Oklahoma), tidak dapat dianggap
cukup dasar untuk menganggap adanya connection antara tergugat dan Oklahoma.

• Jaringan kerja mereka yang bersifat global untuk memasarkan dan memberi pelayanan pemeliharaan
mobil juga belum cukup dianggap sebagai dasar untuk mengklaim yurisdiksi.

• Karena para tergugat sendiri tidak memiliki kontak apa pun dan tidak melakukan aktivitas bisnis apa
pun yang secara langsung berkaitan dengan negara bagian Oklahoma, maka mereka secara
konstitusional tidak dapat ditundukkan untuk beperkara di Oklahoma walaupun kecelakaan yang
melibatkan mobil yang dijual kepada penggugat temyata terjadi di Oklahoma.

• Putusan Supreme Court, pengadilan Oklahoma tidak memiliki kewenangan yurisdisional untuk
mengadil para tergugat.

b. Kasus Helicopteros Nacionales de Colombia, S.A vs Hall (1984)

kasus posisi:

• Tergugat, sebuah perusahaan Colombia, dengan kantor pusat perusahaan yang terletak di negara itu.

• Tergugat bergerak di bidang bisnis rental pesawat helikopter untuk transportasi pusat pengeboran
minyak bumi dan aktivitas konstruksi di Amerika Latin.

• Sebuah helikopter milik tergugat mengalami kecelakaan di Peru dan menyebabkan empat orang
Amerika yang dipekerjakan pada konsorsium perusahaan minyak Peru, tewas dalam kecelakaan itu.

• Konsorsium Peru itu sebenarnya merupakan anak perusahaan dari sebuah perusahaan minyak yang
berkantor pusat di negara bagian Texas, Amerika Serikat.
108
• Para ahli waris dari para korban mengajukan gugatan ganti rugi atas "perbuatan melawan hukum yang
menyebabkan mati" (wrongful death action) di pengadilan Texas.

• Tergugat menolak yurisdiksi pengadilan Texas.

• Salah satu kontak yang pernah terjadi antara perusahaan pihak penggugat dan tergugat adalah proses
negosiasi pembelian sebuah pesawat helikopter yang mengambil tempat di Texas.

•Pertautan lain antara tergugat dan negara bagian texas adalah:

⚖️Realisasi pembelian helikopter oleh tergugat.

⚖️Pembelian suku cadang.

⚖️Tergugat mengirimkan calon-calon penerbang ke Texas untuk dilatih.

⚖️Pengiriman helikopter dari Texas ke tempat-tempat di Amerika Latin.

⚖️Kunjungan kerja pihak manajemen dan pegawai tergugat ke Texas untuk mengenal pabrik dan proses
pembuatan helikopter.

⚖️Pembayaran dilakukan melalui bank di Texas.

• Tergugat tidak memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan bisnis di Texas dan tidak ada
pertautan-pertautan lain dengan Texas.

• Karena penggugat dalam gugatannya tidak menyebutkan bahwa gugatan terbit dari aktivitas tergugat
di Texas, Mahkamah Agung AS menganggap bahwa klaim yurisdiksi oleh pengadilan Texas hanya dapat
ditegakkan apabila kontak antara tergugat dan negara bagian Texas terjadi sangat sering dan terus-
menerus sehingga ia dapat digugat di Texas atas perkara apa pun (general jurisdiction).

• Mahkamah Agung memutuskan bahwa kontak antara tergugat dan Texas tidak cukup memadai untuk
dapat mengklaim yurisdiksi atas dasar general jurisdiction.

• Sekadar pembelian produk-produk dari Texas, walaupun dilakukan dengan interval yang teratur,
termasuk segala aktivitas yang berkaitan dengan pembelian itu, dianggap belum cukup untuk
membenarkan pengadilan Texas untuk mengklaim yurisdiksi in personam atas sebuah perusahaan asing,
dalam suatu gugatan yang pokok perkaranya tidak berkaitan dengan kegiatan pembelian itu.

c. Kasus Asahi Metal Industry Co. Ltd. vs Superior Court (1987)13

Kasus posisi:

• Pada tahun 1980, di Jalan Raya Interstate Highway 80 di Kabupaten Solano, Negara Bagian California,
AS, Gary Zurcher (seorang warga California), ketika mengendarai mobilnya, mengalami slip dan

109
bertabrakan dengan sebuah truk. Zurcher mengalami cedera dan penumpang lain (istrinya) tewas dalam
kecelakaan tersebut.

• Pada tahun 1981, Zurcher mengajukan gugatan product liability di pengadilan tinggi di California.

• Zurcher menuduh kecelakaan yang pada alami pada tahun 1978 diakibatkan oleh berkurangnya udara
secara mendadak dan meletusnya ban belakang dari mobilnya. Peristiwa ini terjadi karena cacatnya ban
luar, ban dalam, dan lapisan pelindung ban.

• Cheng Shin Rubber Industrial Co. Ltd. (selanjutnya Cheng Shin), perusahaan Taiwan, adalah
perusahaan yang memproduksi ban dalam yang digunakan Zurcher.

• Cheng Shin mengajukan gugatan untuk kompensasi (cross-complaint for indemnification) ke Asahi
Metal Industry Co. Ltd. (selanjutnya Asahi Metal), sebuah perusahaan Jepang penghasil produk katup
ban dalam (pentil/valve) yang digunakan pada ban-ban dalam produksi Cheng Shin.

• Gugatan ganti rugi Zurcher akhirnya diselesaikan dengan baik dan perkara yang masih terus
dilanjutkan prosesnya adalah perkara antara Cheng Shin dan Asahi Metal.

• Hukum Acara Negara Bagian California: "Pengadilan California dapat melaksanakan yurisdiksi atas
dasar apa pun selama tidak bertentangan dengan konstitusi negara bagian California dan konstitusi
Amerika Serikat" (long arm statute).

• Asahi Metal mengajukan keberatan terhadap gugatan Cheng Shin di Pengadilan Tingkat Pertama
(Superior Court) California dengan alasan negara bagian California tidak dapat melaksanakan yurisdiksi
terhadap Asahi Metal sebagai perusahaan Jepang.

Beberapa informasi mengenai Asahi Metal dan Cheng Sin

• Asahi Metal adalah sebuah perusahaan Jepang yang memproduksi katup ban dalam di Jepang dan
menjualnya ke Cheng Shin dan pelbagai produsen ban di pelbagai negara untuk digunakan dalam
merakit ban-ban jadi.

• Penjualan Asahi Metal pada Cheng Shin dilakukan di Taiwan.

• Pengiriman barang dari Asahi Metal ke Cheng Shin dilakukan dari Jepang ke Pelabuhan Taipei di
Taiwan.

• Cheng Shin membeli dan menggunakan katup buatan Asahi Metal untuk dipasang pada 150 ribu unit
ban (pada tahun 1978), 500 ribu pada tahun 1979, dan 100 ribu pada tahun 1980.

• Penjualan Asahi Metal ke Cheng Shin berjumlah 1,5% dari keuntungan Cheng Shin pada tahun 1979
dan 0,5% pada tahun 1980.

E. TREN PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PERDATA INTERNASIONAL

110
Asas klasik bagi pengadilan untuk mengklaim yurisdiksi dalam suatu perkara HPI pada dasarnya adalah
asas actor sequituur forum rei (penggugat mengikuti forum dari tempat tergugat). Dalam
perkembangan, asas ini memiliki makna: tergugat pada dasarnya dapat digugat di negara tempat ia
berdomisili (domicile), atau di negara di mana tergugat dapat dikenakan panggilan untuk diadili
meskipun kehadirannya di negara itu hanya bersifat sementara.

Di Amerika Serikat, sejak tahun 1878 (kasus Pennoyer vs Neffl") diakui prinsip bahwa klaim yurisdiksi
oleh pengadilan suatu negara hanya sah apabila tidak melanggar prinsip due process yang ada di
konstitusi AS dan apabila sebuah pengadilan mengklaim yurisdiksi in personam atas seorang tergugat
asing (foreign defendant) tanpa adanya panggilan resmi (summon) yang disampaikan kepada tergugat di
negara forum, klaim yurisdiksi itu dianggap bertentangan dengan asas due process dan karenanya
yurisdiksi akan dianggap batal demi hukum. Jadi, adanya panggilan resmi atas seseorang yang hadir dan
berada di wilayah negara forum dianggap dasar yang sah untuk klaim yurisdiksi karena hal ini memenuhi
syarat adanya kekuasaan fisik dari negara forum atas pihak tergugat yang berada di wilayah forum (the
concept of physical power).

Sejak tahun 1945, melalui perkara International Shoe vs Washington konsep physical power itu digeser
oleh pertimbangan-pertimbangan lain. Mahkamah Agung AS dalam kasus ini menetapkan bahwa:
"Untuk menentukan apakah asas due process dipenuhi atau tidak lebih banyak ditentukan oleh hakikat
dan kualitas dari aktivitas dalam kaitan dengan penegakan hukum yang teratur dan adil."

Berdasarkan hal itu, Mahkamah Agung menganggap bahwa untuk mengklaim yurisdiksi umum (general
jurisdiction) atas seorang tergugat asing:

1. Konsep penguasaan fisik harus diganti dengan pertimbangan kewajaran (consideration of


reasonableness and fair play, serta keadilan yang mendasar (substantial justice).

2. Pokok perkara atau hubungan antara dasar gugatan dan aktivitas tergugat di negara forurn harus
menjadi pertimbangan penting untuk menentukan apakah forum memiliki kewenangan untuk
mengklairn yurisdiksi. Kriteria inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan standar international shoe.

Pada tahun 1955, sebagai dasar untuk mengklaim yurisdiksi dikembangkan konsep yurisdiksi khusus
(specific Jurisdiction), yaitu yurisdiksi atas dasar aktivitas tergugat vang menimbulkan tanggung jawab
(liability creating activity) atau berakibat tertentu di negara forum (lihat kasus McGee vs International
Life Insurance Co. 1957). Pada tahun 1958 (kasus Hanson vs Denckla) ditetapkan bahwa aktivitas
tergugat itu harus merupakan suatu tindakan di mana tergugat dengan sadar dan sengaja menundukkan
diri pada kesempatan untuk melaksanakan tindakan-tindakan di dalam wilayah forum dan karena itu
memperoleh manfaat dan perlindungan dari lex fori (prinsip purposeful availment).

Pada tahun 1977, melalui perkara Shaffer vs Heitner, Mahkamah Agung AS mengadili perkara yang
menyangkut apa yang disebut quasi in rem jurisdiction. Dalam kasus ini penggugat berupaya untuk

111
menggunakan benda milik tergugat yang berada di negara forum sebagai dasar bagi forum untuk
mengklaim yurisdiksi atas tergugat walaupun pokok gugatan dalam perkara ini sama sekali tidak
berkaitan dengan benda-benda tersebut.

Menurut MA, kewenangan pengadilan untuk melaksanakan in rem jurisdiction (yaitu kewenangan untuk
mengklaim yurisdiksi atas seorang tergugat atas dasar keberadaan benda-benda milik tergugat asing di
negara forum, yang berkaitan dengan pokok gugatan) adalah kurang lebih sama dengan kewenangan
pengadilan untuk mengklaim yurisdiksi in personam atas tergugat. Jadi, agar klaim yurisdiksi in rem
sebuah pengadilan dapat dibenarkan, maka dasar yurisdiksinya adalah "kepentingan dari orang-orang
atas benda yang berada di negara forum". Jadi, di sini harus digunakan lagi ukuran adanya "minimum
contacts" antara pokok perkara dan benda milik tergugat itu.

Dalam kasus Shaffer vs Heitner, pengadilan negara bagian Delaware hendak mengklaim yurisdiksi atas
tergugat-tergugat asing (nonresidents) atas dasar hak milik kebendaan para tergugat yang berada di
Delaware, tetapi

yang sama sekali tidak ada kaitan dengan pokok perkara yang sedang diajukan pihak penggugat (quasi in
rem). Jadi, walaupun keberadaan benda-benda milik para tergugat di negara forum mungkin
menunjukkan adanya keterkaitan lain antara para tergugat, negara forum dan proses perkara, adanya
benda/hak milik tergugat saja tidak cukup untuk dijadikan dasar yurisdiksi. Apabila connections lain itu
tidak ada, maka pengadilan tidak dapat mengklaim yurisdiksi. Dengan kata lain, persoalan apakah
pengadilan ada di wilayah forum, haruslah diuji dengan menggunakan standar international shoe.

Di negeri Belanda, sebagai perbandingan, klaim yurisdiksi atas sebuah perkara dalam perkembangan
praktik peradilan dapat didasarkan pada asas-asas yang sebagian besar juga dikenal di dalam Konvensi
Brussels atau EC Council Regulation on Jurisdiction and the Recognition and Enforcement of Judgments
in Civil and Commercial Matters (2001) dan yang selengkapnya

meliputi:

1. Asas Forum Rei

Asas forum rei ("tempat forum berada") yang sebenarnya sama dengan asas actor sequitur forum rei
dan menjadi asas utama bagi pengadilan untuk mengklaim yurisdiksi atas seorang tergugat yang
berdomisili atau berkediaman sehari-hari di wilayah negara forum.

2. Asas Forum Solutionis Contractus

Yaitu asas yang menjadi dasar penetapan yurisdiksi bagi forum dari tempat di mana suatu perikatan
dianggap telah dilaksanakan atau seharusnya dilaksanakan.

3. Asas Pengadilan tempat Pihak yang Berkedudukan Lebih Lemah

112
Yaitu asas yang memberikan kewenangan yurisdiksional pada pengadilan dari tempat di mana pihak
dalam transaksi hukum yang dianggap berkedudukan lebih lemah, khususnya dalam rangka memberikan
perlindungan kepada pihak konsumen dalam transaksi-transaksi konsumen atau pihak buruh dalam
transaksi-transaksi dalam hubungan kerja.

4. Pangadilan yang Dipilih oleh Para Pihak

Yaitu asas yang merupakan manifestasi dari asas kebebasan berkontrak dimana pihak-pihak dapat
menentukan sendiri pengadilan yang dianggap memiliki yurisdiksi eksklusif untuk menyelesaikan
perkara-perkara yang akan timbul dari hubungan mereka. Asas ini juga diakui keberadaannya di dalam
konvensi-konvensi dan aturan-aturan regional Eropa.

5. Pemunculan Secara Sukarela (Voluntary Appearance)

Yang menetapkan bahwa dalam hal seorang tergugat secara sukarela tampil di sebuah forum pengadilan
asing untuk membela dirinya dalam pokok perkara (dan bukan sekadar untuk menyatakan bahwa forum
asing itu tidak kompeten), maka forum asing itu akan dianggap memiliki yurisdiksi atas si tergugat. Asas
ini hanya dapat digunakan dalam hal forum pengadilan Belanda tidak memiliki yurisdiksi eksklusif atas
perkara.

6. Asas Forum Rei Sitae

Yaitu asas yang dapat menjadi dasar penetapan kevenangan yurisdiksional forurn atas perkara-perkara
yang menyangkut hak kebendaan atas benda-benda tetap (immovables) yang terletak di wilayah forum.
Asas ini sama dengan konsep in rem jurisdiction yang dikenal di Amerika Serikat.

7. Yurisdiksi atas Kantor Cabang, Agensi, dan Badan-Badan Lain

Yaitu asas yang dianggap ada pada pengadilan asing tempat di mana perkara timbul dari beroperasinya
cabang, agen, atau badan sejenis terletak.

8. Asas Forum Delicti

Yaitu asas yang digunakan untuk penentuan adanya kewenangan yurisdiksional dalam perkara-perkara
perbuatan melawan hukum (tort, onrechmatige daad) yang dimiliki oleh forum tempat perbuatan
dilakukan atau tempat di mana kerugian (injury) akibat perbuatan melawan hukum itu timbul.

9. Asas Fom Connexitatis

Yaitu asas penetapan yurisdiksi yang memberikan kewenangan mengadili pada forum yang telah
memiliki yurisdiksi untuk memeriksa pokok perkara untuk juga memeriksa gugat-balik (counterclaims)
atau gugatan pihak ke-3 (third party proceedings). Asas ini hanya digunakan apabila tidak ada forum lain
yang memiliki yurisdiksi eksklusíf atau yurisdiksi karena pilihan para pihak.

10. Asas Forum Arresti

113
Yaitu asas yang dalam perkara -perkara yang menyangkut muatan barang atau kapal yang ditahan untuk
jaminan utang, memberikan kewenangan yurisdiksional pada pengadilan dari tempat di mana kapal atau
muatan kapal itu ditahan.

BAB IX

TEORI-TEORI HPI MODERN

A. POLA PERIKEMBANGAN TEORI-TEORI MODERN

Yang dimaksud dengan teori-teori HPl modern dalam bab Ini sebenarnya ada teori-teori atau metode-
metode pendekatan hukum perdata internasional (atau conflict of laws) yang dikembangkan pada abad
ke-20. Teorl-teori ini, sedikit atau banyak membawa perubahan, baik pada pemikiran dasar, metode
pendekatan, maupun prosedur teknis penyelesaian perkara-perkara HPl yang sampai dengan pokok
bahasan bab sebelum ini masih di dominasi oleh teori-teori HPI tradislonal. Namun, perlu disadari pula
bahwa terlepas dan perbedaan cara atau teknik penyelesaian persoalan-persoalan HPl, teori-teori yang
akan dikemukakan dalam bab ini, di samping merupakan pengembangan dan metode berpikir HPI
tradisional, juga merupakan cara pendekatan yang pada awalnya dikembangkan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum perselisihan (conflict of laws) pada umumnya.

Teort-teori atau pendekatan-pendekatan yang telah ada dalam perkembangan HPI (lihat Bab I buku in)
seperti pendekatan unilateralisme, multilateralisme, substantif, atau eklektísme sejak abad ke-20
sampaí sekarang juga berkembang dalam pelbagai wujud modernnya.' Akan tetapi, benang merah yang
sama yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami teori-teori modern ini, yaítu bahwa pada
umumnya teori-teori iní pun khususnya berupaya menjawab satu atau lebih masalah-masalah pokok
HPI, yang meliputi persoalan penentuan yurisdiksi forum, pemilihan hukum yang harus diberlakukan,
dan pengakuan hak dan/atau hukum asing oleh forum. Dengan pegangan ini, diharapkan teori-teori
selanjutnya akan lebih mudah dipahami intinya.

B. TEORI STATUTA MODERN

Teori ini berusaha memperluas klasifikasi statuta realia, personalia dan mixta ke dalam seluruh sistem
pemikiran HPI. Maksudnya, persoalan-persoalan HPI hendaknya dikualifikasikan terlebih dahulu pokok
perkaranya ke dalam kategori persoalan real (tentang benda) atau persoalan personal (tentang status
hukum dari subjek hukum).

Setelah kualifikasi semacam itu dilakukan, lex causae dapat ditentukan dengan menentukan teritori
hukum yang relevan dengan perkara yang bersangkutan. Artinya, teori ini berupaya untuk menetapkan

114
daya jangkau ekstrateritorial (extraterritorial reach) dari perkara-perkara dan bukan dari aturan-aturan
hukum suatu negara) yang mengandung unsur asing yang sedang dihadapi pengadilan. Misalnya,
pengadilan menghadapi sebuah perkara yang menyangkut keabsahan sebuah testamen yang dibuat di
suatu negara asing. Seandainya pokok perkara ini oleh forum dikualifikasikan sebagai perkara tentang
perbuatan hukum” (atau perkara realia atau mixta), berdasarkan kualifikasi itu forum dapat menetapkan
bahwa hukum yang harus berlaku adalah hukum dari tempat di mana testamen itu dibuat berdasarkan
prinsip teori statuta realia yang menetapkan bahwa "kaidah-kaidah hukum suatu tempat mengenai
perbuatan hukum hanya berlaku di dalam wilayah penguasa tempat tersebut", kemudian dapat ditarik
kesimpulan bahwa hukum dari tempat itulah yang harus diberlakukan dalam perkara.

Berdasarkan cara berpikir itu, teori ini kemudian menyimpulkan bahwa untuk perkara-perkara HPI yang:

• Menyangkut benda atau perbuatan hukum, maka berlaku hukum dari tempat yang berkaitan dengan
benda atau perbuatan itu.

• Menyangkut orang atau subjek hukum, maka hukum yang berlaku adalah hukum personal dari orang
tersebut, tanpa harus memerhatikan di mana perkara diajukan.

Kritik yang dilontarkan terhadap teori ini:

• Teori ini akan menghadapi kesulitan jika sebuah masalah oleh sistem

hukum A dikualifikasi sebagai masalah realia, tetapi oleh sistem hukum B dikualifikasi sebagai masalah
personalia, atau

• Khusus pada masalah personalia, sistem hukum A berasas kewarganegaraan dan sistem hukum B
berasas domicile.

Para penganut teori ini mengakui adanya kesulitan-kesulitan di atas, tetapi untuk menanggulangi
persoalan semacam itu, forum selalu dapat memberlakukan lex fori dan menolak hukum asing dengan
dasar public order.

C. TEORI HPI INTERNASIONAL

Tokoh-tokoh teori ini adalah Rabel, Zittelman, dan Jitta. Menurut teori ini, HPI adalah:

suatu kesatuan sistem hukum yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul akibat
fakta bahwa sebuah sistem hukum lokal ternyata isinya bertentangan dengan sistem hukum lokal lain."

Untuk menghindarkan kesulitan yang mungkin timbul, maka sesuai pemikiran Von Savigny perlu
dibentuk prinsip-prinsip HPI universal untuk dijadikan landasan di dalam sistem-sistem HPI suatu negara
dan prinsip-prinsip ini akan berlaku bagi semua orang di mana pun.

Kritik yang dilontarkan terhadap teori ini:

115
1. Berdasarkan prinsip kedaulatan, suatu negara dapat saja membatasi kemungkinan berlakunya
kaidah/asas HPI semacam itu dengan menggunakan asas ketertiban umum atau untuk menegakkan
kaidah-kaidah hukum setempat yang bersifat memaksa.

2. Membangun prinsip-prinsip HPI secara universal akan sulit dilakukan, terutama jika disadari adanya
perbedaan-perbedaan asas-asas hukum di pelbagai sistem hukum utama yang berlaku di pelbagai
tempat di dunia (misalnya, antara civil law dan common law). Prof. R.H. Graveson, sebaliknya,
mengkritik pandangan Prof. Beale itu dan menyatakan bahwa pengertian "internasional" tidak harus
selalu diartikan setara dengan "universal". Teori internasional masih tetap valid walaupun terdapat dua
atau lebih sistem hukum yang berkembang di dunia. Menurut Graveson, dalam HPI yang perlu disadari
adalah adanya kebutuhan untuk mewujudkan suatu pola perilaku (pattern of behaviour) tertentu yang
akan digunakan untuk menertibkan pergaulan manusia yang bersifat internasional." Dari pola perilaku
semacam itulah sebenarnya harus ditemukan dan dikembangkan prinsip-prinsip dasar untuk penetapan
kaidah-kaidah HPI internasional tersebut.

Terlepas dari perbedaan pandangan di atas, maka sejalan kecenderungan perkembangan politik,
ekonomi, dan hukum internasional dewasa ini, yang semakin menuju ke arah globalisasi dan
internasionalisasi, maka pengembangan suatu sistem aturan-aturan HPI (system of rules) tampaknya
tidak lagi dapat dianggap sebagai usaha yang sia-sia perkembangan ini terutama tampak dalam bidang-
bidang hukum tertentu yang cenderung bersifat "bebas nilai", seperti bidang kontrak internasional,
pembayaran internasional, international torts, dan sebagainya.

D. TEORI TERITORIAL

Tokoh-tokoh teori ini adalah: Dicey, Beale, dan Schmithofi. Teori teritorial bertitik tolak dari pengertian
kedaulatan (sovereignty) dalam arti hukum internasional publik dan merupakan pengembangan modern
dari teori statuta Belanda yang dikembangkan oleh Ulrik Huber dan Johannes Voet. Di Amerika Serikat,
dikembangkannya teori teritorial ini di dalam The first Restatement on Conflict of Laws sebenarnya
menjadi awal dari penggunaan pendekatan tradisional.

Prinsip dasar teori ini adalah:

"Sistem hukum yang diberlakukan di dalam badan peradilan suatu negara pada dasarnya adalah sistem
hukum intern negara itu; sistem-sistem hukum asing (negara lain) hanya akan diberlakukan dan/atau
pertimbangkan sejauh penguasa/pemegang kedaulatan di negara forum mengizinkannya."

Prinsip ini tampak sejalan dengan asas yang dikenal dalam hukum inter- nasional (publik), yaitu asas
comitas gentium (sopan-santun antarbangsa) yang dipelopori oleh Ulrik Huber sebagai pencetus teori
statuta Belanda.

Teori ini adakalanya dianjurkan untuk digunakan demi terciptanya keadilan dalam penyelesaian perkara-
perkara HPI seandainya ketidakadilan (injustice) dapat terjadi jika hukum asing yang relevan ternyata
diabaikan.

116
Dalam perkembangannya, asas comitas gentium ini lambat laun memperoleh interpretasi modern yang
kemudian menjadi terkenal sebagai doktrin tentang hak-hak yang diperoleh (the doctrine of vested
rights), yang berpandangan bahwa:

"Forum Suatu negara pada prinsipnya tidak pernah mermberlakukan hukum asing dalam arti seperti itu,
melainkan hanya berurusan dengan hak-hak yang telah diterbitkan berdasarkan hukum asing tertentu
yang harus dibuktikan keberadaannya sebagai fakta di depan forum." Profesor Josep E. Beale yang
menjadi reporter dalam penyusunan The first Restatement-conflict of Laws di Amerika Serikat pada
tahun 1935 menyatakan bahwa: "A right having been created by the appropriate law, the recognition of
its existence should follow everywhere. Thus an act valid where done cannot be called in question
anywhere. "

Jadi, dalam HPI forum pada dasarnya tidak mengakui atau memberlakukan hukum asing di dalam
wilayah yurisdiksinya, tetapi hanya mengakui (baca: memberikan daya berlaku ekstrateritorial bagi) hak-
hak yang sudah diterbitkan secara sah berdasarkan hukum asing. Cara berpikir tersebut yang
mendorong para pendukung teori ini beranggapan bahwa dalam perkara HPI forum tidak perlu
membedakan antara fakta dan hukum karena HPI berfungsi untuk mengakui hak-hak asing yang telah
diperoleh secara sah sebagai fakta dan bukan dalam arti memberlakukan hukum asing. Namun, forum
juga tetap memiliki kewenangan untuk mengabaikan hak-hak yang telah diperoleh berdasarkarn hukum
asing itu, dengan menggunakan alasan: n"... demi ketertiban umum".

Teori ini memberikan sumbangsih penting bagi HPI, dalam arti bahwa melalui teori ini orang dapat
menyadari bahwa dalam menjawab persoalan hukum apa yang harus diberlakukan dalam
menyelesaikan suatu perkara yang mengandung unsur-unsur asing, selalu dapat dilihat bahwa forum
menghadapi "dua sisi dari satu persoalan yang sama", yaitu bahwa di satu pihak, pengakuan atas hak-
hak yang terbit berdasarkan hukum asing dapat selalu diberikan demi keadilan dalam menyelesaikan
perkara, melalui recognition of vested/acquired righ its. Namun, di lain pihak, kedaulatan negara forum
dapat selalu mengesampingkan hak-hak asing itu apabila pengakuan terhadap hak-hak asing itu
dianggap in contrary to the public interests of the forum.

Kritik yang dilontarkan terhadap teori ini:

Teori ini mendasarkan diri pada prinsip bahwa nukum suatu negara hanya berlaku di dalam batas-batas
teritorial negara yang bersangkutan. Namun, istilah teritorial dalam teori ini tampaknya diartikan
dengan cara yang terlalu sempit. Pengertian teritorial negara ini seharusnya dipahami dalam kaitan
dengan sistem hukum suatu negara yang berdaulat, yang dalam kenyataannya di samping memuat
kaidah-kaidah hukum intern (substantive law) yang dibuat untuk mengatur tingkah laku dan peristiwa
hukum yang terjadi di dalam teritorial negara tersebut, juga mencakup kaidah-kaidah HPI (choice of law
atau conflict of law rules) yang khusus diberlakukan untuk mengatur masalah-masalah yang
mengandung elemen-elemen asing. Kaidah-kaidah HPI inilah yang khusus dibuat untuk memberikan
petunjuk mengenai hukum mana yang seharusnya berlaku jika mengenai hukum mana yang seharusnya
forum menghadapi perkara-perkara yang mengandung unsur-unsur asing.

117
2. Teori ini juga dianggap kurang bermanfaat apabila ia harus berfungsi

untuk menentukan hukum mana yang harus berlaku dalam penyelesaian perkara HPI. Teori ini seakan-
akan bergerak dalam lingkaran setan" karena jika forum bertugas untuk melindungi hak-hak asing yang
telah diperoleh secara sah (acquired rights), forum tetap harus menentukan terlebih dahulu sistem
hukum mana yang merupakan lex causae di antara pelbagai sistem hukum yang tampak relevan dengan
perkara, yang harus digunakan untuk menentukan apakah hak-hak itu tidak bisa dilanggar atau tidak.
Penentuan hukum yang harus berlaku ini tidak dapat dilakukan hanya dengan bertolak dari prinsip
bahwa sesuatu hak yang telah diperoleh secara sah harus tetap diakui keabsahannya."

E. TEORI HUKUM LOKAL (THE LOCAL LAW THEORY)

Teori ini dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 30-an dengan tokoh utamanya Prof. Walter
Wheeler Cooke. Teori ini dapat dipandang sebagai usaha untuk menerapkan prinsip teritoriail secara
lebih radikal.

Titik tolak teori ini adalah:

"Tidak ada badan peradilan suatu negara yang menerapkan kaidah-kaidah hukumnegara lain, selain
kaidah-kaidah hukum dari sistem hukumnya sendiri.

selanjutnya, Prof. cooke menyatakan bahwa dalam penyelesaian perkara-perkara yang mengandung
unsur asing, pengadilan selalu:

always applies its own law to the case, but in doing so adopts and enforces as

its own law rule of decision identical, or at least highly similar though not identical in scope, wn a rule of
decision in the system of law in force in another state or country with which some or all of the foreign
elements are connected.

Berdasarkan titik tolak ini, tidak ada pengadilan yang harus mermberlakukan suatu hak asing begitu saja.
Dalam sistem conflict of laws Amerika Serikat, terhadap pertanyaan, misalnya, apakah pemberian ganti
rugi akibat suatu perbuatan melawan hukum yang seluruhnya dilakukan di suatu negara asing harus
dilaksanakan dan ditentukan berdasarkan hukum dari tempat asing itu Menurut Prof. Cooke, tidak
perlu! karena yang dimaksudkan dengan penerapan hukum asing tidak pernah berarti bahwa forum
harus menyerahkan seluruh berkas perkara itu ke pengadilan negara asing yang bersangkutan untuk
diselesaikan di dan berdasarkan hukum negara asing itu.

Jika forum mengabulkan suatu gugatan ganti rugi, hal itu dilakukan semata-mata demi pemenuhan
tuntutan kebutuhan sosial (social convenience) saja untuk memberikan ganti rugi dengan cara yang
semirip mungkin dengan aturan tentang hal itu yang dikenal di negara asing yang bersangkutan. Jadi,
118
forum dalam hal ini tidak mengakui, memberlakukan, atau menerapkan suatu hak atau hukum asing,
tetapi hanya menerapkan suatu hak yang diciptakannya sendiri, dengan mempertimbangkan
kemiripannya dengan hak atau lembaga hukum sejenis yang dikenal di dalam sistem hukum asing
tertentu, Cooke lebih jauh menyatakan bahwa hukum dalam arti pragmatik sebenarnya tebih dari
sekadar prediksi tentang apa yang akan diputuskan oleh seorang hakim dalam pemutusan sebuah
perkara. Karena itu, konsep-konsep hukum yang dikenal di dalam lex fori dalam perkara-perkara HPI
harus digunakan secara relatif dan fungsional. Dalam menghadapi masalah-masalah HPI hakim tidak
perlu memberikan penafsiran yang identik dengan konsep-konsep lex fori yang biasa digunakan untuk
menyelesaikan perkara-perkara domestik.

Pendekatan Prof. Cooke ini sebenarnya mirip dengan pandangan Hans Kelsen tentang HPI yang
menganggap bahwa dalam kasus-kasus tertentu, hukum dari suatu negara akan mengarahkan pranata-
pranata hukumnya sedemikian rupa sehingga asas-asas hukum yang dikenal secara lokal dapat tetap
diterapkan, tetapi mengandung aturan hukum yang sama dengan ketentuan-ketentuan sejenis yang
dikenal di dalam suatu sistem hukum asing.

Kritik yang dilontarkan terhadap teori ini diajukan oleh:

1. Prof. Yntema beranggapan bahwa teori ini sama sekali tidak memberikan jalan keluar yang berarti
bagi hakim dalam penyelesaian sebuah perkara HPI, khususnya dalam menetapkan hukum (asing) mana
di antara pelbagai sistem hukum yang relevan, yang harus diberlakukan dalam perkara yang sedang
dihadapi.

2 Prof. G.C. Cheshire

Prof. G.C. Cheshire melihat bahwa teori ini agak tidak berdaya (sterile) karena sama sekali tidak
memberikan dasar pemikiran yang berarti untuk pengembangan HPl. Dengan mendorong forum untuk
selalu menerapkan hukumnya sendiri (lex fori) dalam perkara-perkara yang mengandung unsur asing
sebenarnya teori ini tidak memberikan jalan keluar apa pun, kecuali sebagai alat (means) saja untuk
membantu menetapkan lex causae. Apabila dilihat dari aspek tujuan HPI, teori ini tampaknya tidak
signifikan."

F. TEORI ANALISIS KEPENTINGAN NEGARA (THE GOVERN MENTAL INTEREST ANALYSIS THEORY)

Teori governmental interest analysis dipelopori oleh Prof. Brainerd Currie dan merupakan salah satu dari
teori HPI yang berpengaruh dalam praktik peradilan di Amerika Serikat. yang dimaksud dengan interests
(kepentingan) dalam teori ini sebenarnya adalah kepentingan dari negara (governmental interests) yang
sistem hukumnya relevan dengan pokok perkara, untuk memberlakukan hukumnya dalam penyelesaian
pokok perkara yang sedang dihadapi, yang dapat disimpulkan dari kebijakan hukum (policies) di dalam
kaidah hukum lokal yang bersangkutan. Adanya kebijakan-kebijakan (policies) tertentu yang
melatarbelakangi pemberlakuan suatu kaidah hukum lokal/domestik itulah yang mendasari kepentingan
dari negara yang bersangkutan untuk memberlakukan hukumnya dalam perkara.

119
Teori ini pada dasarnya bersifat teritorialistik dan bertitik tolak dari asumsi bahwa:

• Sistem hukum yang seharusnya menjadi lex causae dalam sebuah perkara HPI adalah (lex fori.

• Keputusan rorum untuk mengesampingkan lex fori dan menggantinya dengan suatu kaidah hukum
asing hanya dapat dilakukan setelah dilakukan analisis secara kasuistik (case-by-case approach) dengan
mempertimbangkan pelbagai policies dan interests dari negara-negara lain yang sistem hukumnya
relevan terhadap pokok perkara yang sedang dihadapi.

G. BEBERAPA VARIAN TEORI ANALISIS KEBIJAKAN (POLICY ORIENTED THEORIES)

Beberapa teori yang berkembang di Amerika Serikat dapat dianggap sebagai variasi dari teori Analisis
Kepentingan tidak saja karena umumnya bertitik tolak dari kebijakan hukum/politik hukum yang
melatarbelakangi suatu aturan hukum (policy oriented theories), tetapi juga karena teori-teori ini
menandai sikap yang cenderung bersifat teritorial dan menekankan pemberlakuan (lex fori sebagai
hukum yang pada dasarnya harus diberlakukan (inward-bound policy analysis). Penjelasan singkat teori
ini akan disajikan berikut ini.

1. Teori Lex Fori (Ehrenzweig)

Teori ini pada dasarnya menolak pendekatan HPl tradisional yang mengandalkan satu titik taut penentu
yang harus digunakan dalam menetapkan satu sistem hukum yang harus berlaku sebagai lex causae
dalam semua perkara HPI yang sejenis. Menurut Enrenzweig, sumber hukum utama untuk penyelesaian
masalah-masalah HPI adalah pengadilan/hakim. Dalam hal pengadilan tidak memiliki kaidah HPI lokal
(local choice-of-law) yang dapat digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku dan jika aturan
hukum lokal yang ada tidak dapat langsung digunakan dalam menyelesaikan perkara, pengadilan harus
membuat interpretasi terhadap kaidah hukum internnya sendiri dan menetapkan apakah memang
kaidah hukum itu perlu dikesampingkan oleh hukum asing tertentu.

Karena itu, kaidah-kaidah HPI sebagian besar merupakan kaidah-kaidah hukum lokal forum. Dengan
demikian, untuk memutus perkara HPI pengadilan harus senantiasa menyelidiki politik hukum atau legal
policies yang melandasi kaidah hukum forum, khususnya apabila tidak ada kaidah-kaidah HPI tertulis
(choice of law rules) atau yurisprudensi lokal yang menetapkan cara penentuan hukum yang berlaku.
Melalui policy analysis terhadap hukum lokal yang dianggap relevan, maka pengadilan dapat
mengetahui apakah perkara memang layak untuk diajukan ke pengadilan ini atau tidak. Apabila
jawabannya negatf, pengadilan dapat menggunakan asas forum non-conveniens dan mengarahkan para
pihak untuk mengajukan perkara ke depan pengadilan yang lebih tepat (a more proper forum). Jadi,
pertanyaan tentang hukum apa yang seharusnya berlaku akan berada seiring dengan persoalan
pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara. Dalam situasi seperti ini seharusnya pengadilan
dapat mengarahkan para pihak. Untuk pendekatan inilah yang oleh Ehrenzweig dinamakan "the proper
law in the proper forum".

120
Pandangan Ehrenzweig dapat disimpulkan sebagai berikut: Apabila hukum intern dari forum tidak dapat
dengan tegas diterapkan pada perkara yang mengandung unsur asing dan penerapan aturan hukum
asing tidak diharuskan oleh kaidah-kaidah HPI lex fori, setiap keputusan untuk memilih hukum yang
berlaku haruslah dilandasi pada penafsiran terhadap kaidah-kaidah hukum intern forum yang hendak
dikesampingkan oleh para pihak. Jika penafsiranterhadap kaidah-kaidah hukum intern forum itu tidak
mengakibatkam

berlakunya aturan hukun asing, kaidah hukum intern (lex fori itulah yang akan diberlakukan sebagai
residuary law.

Tiga hal pokok dalan teori Ehrenzweig yang merupakan elemen-elemen pokok

dalam penyelesaian suatu perkara HPl adalah:

a.True rules

True rules atau aturan-aturan HPI (choice of law rules) yang terbentuk secara faktual di pengadilan-
pengadilan dan yang dilandasi kebijakan-kebijakan (policies) dan prinsip-prinsip fairness dan justice bagi
para pihak yang beperkara.

b.Kaidah-kaidah hukum intern forum

Yaitu kaidah-kaídah hukum intern lex fori yang harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara
seandainya tidak dapat disimpulkan adanya true rules yang diterima umum. Jadi, kaidah-kaidah hukum
intern forum ini hanya dapat dikesampingkan apabila terdapat cukup alasan untuk melakukan hal itu.
Misalnya, karena adanya true rules itu.

c. The proper forum

Yaitu kebebasan bagi pihak penggugat dalam sebuah perkara untuk memilih forum yang politik
hukumnya dianggap akan menyebabkan berlakunya aturan-aturan huküm (domestik atau asing) yang
paling menguntungkan dirinya (choice of proper forum)

2. Comparative Impairment Theory (William Baxter)

Teori ini pada dasarnya berbeda dari teori interest analysis karena di sini hakim justru dianjurkan untuk
menimbang-nimbang dan membandingkan kepentingan negara-negara yang hukumnya relevan dalam
penyelesaian perkara (weighing conflicting interests); suatu hal yang pada dasarnya ditolak dalam teori
interests analysis. Menurut Prof. Baxter, tujuan atau kepentingan intern dari negara-negara yang secara
komparatif tidak terlalu dirugikan, seharusnya dapat dikesampingkan atau dikalahkan oleh kepentingan
negara lain yang lebih besar. Jadi, teori iní justru menganjurkan dilakukannya upaya menimbang-
nimbang besarnya kerugian sebuah negara (bagian) apabila hukumnya tidak diberlakukan untuk
memutus perkara.

121
Pengadilan negara bagian California pernah melaksanakan pembandingan kepentingan iní di dalam
perkara Bernhard vs Harrah's club, sebuah perkara perbuatan melawan hukum yang memasalahkan
apakah aturan hukum California tentang perbuatan melawan hukum (vicarious liability) dapat dikenakan
pada pemilik sebuah bar di Nevada yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
seorang warga california yang telah jadi korban tabrak lari di California oleh seseorang yang sebelumnya
minum dan menjadi mabuk di bar Nevada tersebut. Hukum Nevada tidak memiliki aturan vicarious
liability semacam itu. Fakta pendukung lain dalam kasus ini adalah kenyataan bahwa pemilik bar Nevada
itu telah membuat advertensi di wilayah California untuk menarik perhatian para pengemudi California
yang akan memasuki wilayah Nevada. Apabila kasus ini diamati dengan menggunakan kacamata interest
analysis, tampak bahwa:

a. California memiliki kepentingan untuk melindungi warganya dari kerugian-kerugian yang dideritanya
akibat perbuatan pihak tergugat (bar penyedia minuman keras) dan warganya akan sangat dirugikan
apabila bar-bar semacam itu dibebaskan dari tanggung jawab hukum untuk mengganti rugi.

b. Nevada, di lain pihak, memiliki kepentingan untuk melindungi kepentingan bisnis dari bar-bar yang
menyelenggarakan bisnis yang sah, dari kewajiban untuk menanggung kerugian yang diderita oleh
perbuatan-perbuatan yang dari orang-orang yang mabuk setelah meminum minuman keras di
tempatnya.

3 Functionat Analysis Theory

Tokoh-tokohnya adalah Prof. D. Trautman dan Prof. A.T. von Mehren. Teori ini dianggap merupakan
upaya untuk mendekatan perbedaan approach HPI yang menekankan pada kekuatan teritorialístik dari
lex fori dengan kebutuhan untuk menempatkan forum sebagai pengadilan yang netral (disinterested
forum) dalam menyelesaikan perkara-perkara yang bersifat transnasional. Seperti umumnya teori
analisis kepentingan lainnya, teori ini juga bertitik tolak dari prinsip bahwa setiap negara pada dasarnya
berkepentingan untuk menegakkan kebijakan-kebijakan yang tercermin di dalam politik hukumnya.
Namun, Prof. Trautman dan Prof. Mehren berkeberatan terhadap pandangan Prof, Currie yang
menganggap bahwa kebijakan negara yang harus menjadi ukuran adalah kebijakan yang hendak
ditegakkan oleh forum dalam perkara-perkara yang sepenuhnya domestik. Ketentuan-ketentuan yang
dibuat oleh negara khusus untuk mengatur transaksi-transaksi transnasional(perkara-perkara HPI)
mungkin berbeda dengan aturan-aturan yang khusus dibuat untuk transaksi-transaksi lokal (nonperkara
HPI). Menurut penganut teori ini, situasi true conflict baru dianggap muncul jika kebijakan yang
melatarbelakangi kedua aturan ini bertentangan satu sama lain. Dalam situasi seperti ini, aturan hukum
dari negara yang memiliki kepentingan yang lebih besar (predominant concern)-lah yang harus
diberlakukan. Jika negara dengan kepentingan semacam itu tidak dapat ditentukan, kebijakan-kebijakan
yang bertentangan itu harus dibandingkan satu sama lain dan aturan mana yang akhirnya diberlakukan
adalah aturan yang dianggap secara fungsional lebih baik. Berbeda dari teori interests analysis, teori ini
juga mendorong dilakukannya upaya menimbang-nimbang besarnya kepentingan dari negara-negara
untuk memberlakukan hukumnya.

122
Metodoiogi

• Teori ini pertama-tama mencoba melihat satu perkara HPl sebagai suatu situasi "false-conflict case,
yang melibatkan kebijakan hukum pada kaidah-kaidah hukum intern dari dua negara berkonflik, tetapi
salah satu negara tampak memiliki "kepentingan" yang lebih besar (predominantly concerned
jurisdiction).

• Apabila analisis false-conflict" ini gagal menentukan "the predominantly concerned jurisdiction",
penyelesaian perkara dapat dilakukan dengan menimbang-nimbang policy yang berkonflik itu dan
menentukan policy negara mana yang secara fungsional harus didahulukan. Dalam menimbang-nimbang
policies tersebut, pengadilan dapat berpegang pada beberapa asas, yaitu:

- Memilih hukum dari negara yang dianggap memiliki kebijakan yang paling kuat dipertahankan (strongly
held policy)

- Memprioritaskan pemberlakuan hukum dari negara yang mencerminkan policy yang lebih maju
daripada yang mencerminkan ke munduran/regressive (more modern policy).

- Mendahulukan pemberlakuan hukum dari negara yang menunjukkan policy yang lebih khusus daripada
yang lebih umum (more specific policy).

- Memilih aturan hukum yang dianggap paling mendukung dalam upaya mewujudkan suatu policy
tertentu yang mendasari suatu penyelesaian perkara (best effectuates a given policy)

4. Functional Analysis 2

Tokohnya adalah Prof. Russell J. Weintraub. Teori ini pada dasarnya juga bertitik tolak dari kebijakan
hukum/policies serta kepentingan dari negara-negara untuk memberlakukan hukumnya, Teori iní
disebut teori analisis fungsional lebih karena penerapannya ditujukan pada bidang-bidang khusus

HPI. Menurut teori ini, dalam menghadapi "true conflicts" hakim harus memusatkan perhatiannya pada
upaya untuk menimbang-nimbang (welghing) policies darí negara-negara yang relevan. Prof. Weintraub
berusaha lebih konkret dalam memberikan kriteria untuk menganalisis pollcies ini:

• Untuk perkara-perkara yang menyangkut perbuatan melawan hukum (tort) hukum yang sebaiknya
diberlakukan adalah aturan hukum yang akan menguntungkan penggugat, kecuali jika terdapat faktor-
faktor di bawah ini:

a. Aturan hukum itu dianggap terlalu ketinggalan zaman atau sangat menyimpang/tidak lazim.

b. Tidak ada kaitan yang cukup nyata antara negara dari aturan hukum yang bersangkutan dan pihak
tergugat atau perilaku tergugat, untuk membenarkan penerapan hukum dari tempat itu dalam perkara.

Dalam hubungan ini hakim harus memerhatikan kecenderungan perkembangan tort law ke arah
pembagian beban dengan perusahaan Teori-Teori HPI Modern asuransi, penggantian kerugian pada

123
korban yang cedera, atau pencegahan terhadap terjadinya "unfair surprise" terhadap si pelaku tort dan
sebagainya.

H. PENDEKATAN THE SECOND RESTATEMENT ON CONFLICT OF LAWS (THE MOST SIGNIFICANT


RELATIONSHIP THEORY)

Dikembangkan oleh Prof. Willis Reese yang bertindak sebagai reporter dalam penyusunan sekumpulan
asas-asas conflict of laws baru yang menggantikan asas-asas yang dimuat di dalam Restatement of
Conflict of Laws. Prinsip-prinsip dasar dari teori ini dimuat di dalam The Second Restatement on Conflict
of Laws (selanjutnya disebut 2 Restatement) dan dalam praktik peradilan di AS merupakan salah satu
dari teori-teori modern yang banyak digunakan. Pendekatan 2 Restatement dianggap sebagai titik
kumulasi dari perkembangan teori-teori conflict of laws di Amerika Serikat yang lebih bersifat terbuka
(open-ended conflict of laws approach) yang berbeda dan dianggap berhadapan dengan teori-teori
teritorial yang bertitik tolak dari kewenangan teritorial forum (forum centred choice of law approaches),
seperti teori governmental interest analysis dan varian-variannya

Sebagai suatu pendekatan HPI yang bersifat terbuka, 2 Restatement menunjukkan kemiripan dengan
pendekatan HPI tradisional yang dikembangkan oleh Von Savigny sampai dengan perkembangannya
dewasa ini (the proximity approach"). Persamaan-persamaannya terutama tampak dari kecenderungan
kedua pendekatan ini untuk menunjuk ke arah legal seat dari suatu hubungan atau peristiwa hukum.
Kedua-duanya, walaupun dengan arahya yang khas, berupaya membentuk hubungan (connection,
relation) antara persoalan hukum yang sedang dihadapi dengan suatu tempat tertentu melaiui bantuan
titík-titik taut (connecting factors, choice influencing onsiderations). Kedua pendekatan ini juga bertitik
tolak dari asumsi bahwa perkara-perkara HPl mewajibkan sebuah forum untuk menempatkan dirinya
sebagai sebuah forum yang netral dan objektif (disinterested forum).

Namun, pengkajian lebih menyeluruh terhadap kedua pendekatan tersebut akan menunjukkan bahwa
perbedaan penting di antara keduanya justru terletak pada tujuan yang hendak dicapai melalui
penentuan hukum yang akan diberlakukan itu. Penentuan hukum yang berlaku dalam konteks
Restatement lebih diarahkan pada penentuan aturan hukum dari negara

(atau negara bagian) yang dianggap paling signifikan untuk menyelesaikan persoalan hukum yang
sedang dihadapi Di lain pihak, upaya pendekatan HPI tradisional dalam penentuan hukum yang berlaku
diarahkan pada penentuan yurisdiksi sistem hukum yang dianggap sebagai legal seat dan yang aturan-
aturannya harus diberlakukan untuk menyelesaikan persoalan hukum yang bersangkutan. Dengan
perkataan lain, Restatement merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada fungsi "rule-
selecting dari HPI, sedangkan teori HPI tradisional lebih menekankan fungsi jurisdiction selecting". Pada
akhirnya, perbedaan fungsi ini juga menunjukkan perbedaan tujuan di antara keduanya karena
pendekatan Restatement bertujuan untuk mewujudkan substantive justice bagi para pihak yang sedang
diperkara, sedangkan pendekatan tradisíonal bertujuan mencapai conflict justice.

124
I. TEORI CHOICE INFLUENCING CONSIDERATIONS

Teori yang dikembangkan oleh Prof. Robert E. Leflar" ini sebenarnya di inspirasikan oleh faktor-faktor
yang dikemukakan oleh Prof. Cheatham dan Prof. Reese, dan yang kemudian dimuat di dalam
Restatement sebagai sembilan faktor yang mungkin dipertimbangkan dalam menentukan tempat yang
memiliki the most significant relationship dengan pokok perkara yang sedang dihadapi. Menurut Prof.
Leflar, faktor-faktor yang dikemukakan dalam teori the most significant relationship itu sebaiknya
dipahami sebagai faktor-faktor yang akan memengaruhi pemilihan hukum yang berlaku (choice
influencing considerations) dan untuk itu perlu dirumuskan kembali dan didefinisikan lebih Konkret
sehingga secara praktikal dapat digunakan untuk menguji ketepatan pemilihan hukum dan pemutusan
perkara yang dihadapi.

Berbeda dengan cara berpikir the most significant relationship theory, teori berpandangan bahwa
faktor-faktor yang akan memengaruhi pemilihan hukum itu harus dapat membuka kemungkinan dalam
HPI untuk menerapkannya setiap kali jika pengadilan menghadapi kategori-kategori perkara sejenis
tertentu." Prof. Leflar mengakui bahwa sering kali setiap perkara yang dihadapi memiliki keunikan dan
perbedaan-perbedaan khas dibandingkan dengan perkara sejenis lain dan penggunaan pendekatan HPI
tradisional (yang cenderung mekanis) tidak mungkin dilakukan dí sini. Namun, jika orang menyadari
bahwa proses penyelesaian perkara HPI itu sebenarnya merupakan upaya untuk memadukan dan
mengaitkan fungsi sosial dari suatu bidang hukum di mana perkara timbul di satu pihak, dengan
perbedaan-perbedaan kebijakan hukum setempat yang melatarbelakangi aturan-aturan hukum lokal
yang berhadapan dalam sebuah perkara di lain pihak. Di sinilah pertimbangan-pertimbangan yang
disebut choice influencing considerations dapat membantu pencapafan prediktabilitas untuk hubungan-
hubungan hukum sejenis tertentu, dan/atau memberikan nilai-nilai baru untuk penyelesaian perkara
dalam jenís-jenis transaksi hukum lainnya. Untuk mencapai tujuan itu, menurut Leflar, kesembilan butir
pertimbangan yang dikemukakan di dalam teori the most significant relationship itu perlu dipadatkan
menjadi lima butir pertimbangan dan menjadi manage ably compact form so as to make use of them in
the day-to-day process of deciding conflict cases.

J. TEORI KEADILAN (THE JUSTICE THEORY)

Pola berpikir ini tampak berkembang dalam pandangan-pandangan Cheshire dan Graveson yang
menggambarkan kecenderungan perkembangan HPI di Inggris. Pandangan ini bertitik tolak dari
pemahaman bahwa tumbuhnya pelbagai pola pendekatan dan teori-teori HPI sebenarnya merupakan
varian-varian saja dari satu tema pokok, yaitu upaya menemukan aturan yang paling tepat, menurut
pandangan pendukungnya untuk menetapkan hukum yang harus berlaku.

Perbedaan-perbedaan yang ada di antara pelbagai pendekatan HPl sebenarnya muncul Karena
pengaruh waktu dan tempat yang berbeda, dan yang sebenarnya dibutuhkan dalam penyelesaían
persoalan-persoalan HPI adalah suatu prinsip yang di satu pihak dapat memenuhi kebutuhan waktu dan
tempat itu, sedangkan di lain pihak juga tidak begitu terpengaruh oleh perbedaan dimensi ruang dan
waktu tersebut. Cheshire berpendapat bahwa seorang ahli hukum harus menguji dampak dari

125
pemberlakuan aturan-aturan hukum intern yang relevan terhadap aktivitas dan harapan manusia yang
wajar/normal (normal human activities and expectations). Dengan "pola kerja" semacam ini, lambat
laun akan dapat diterbitkan prinsip umum. Berbeda dari pola "policy analysis" yang dikembangkan di
Amerika Serikat yang díarahkan pada penyelesaian kasus demi kasus, maka prinsip umum yang
dimaksud di sini harus memuat kebijakan umum untuk kaidah-kaidah HPI. Di sini tampak perbedaan
penting antara perkembangan HPI (conflict of laws) di Amerika Serikat dan perkembangan di Inggris
yang lebih menjurus ke arah HPI sebagai suatu jurisdiction-selecting approach.

pernyataan Cheshire di bawah ini mencerminkan juga anggapan itu: There is no sacred principle that
pervades all decisions, but when the circum ances indicate that the internal law of foreign country
wprovide solutionJust, more convenient, and more in accord with the expectations of the Parties than
the internal law of [England) judge does not hesitate to give effect to foreign rules. .. Neither justice nor
convenience is promoted by rigid adherence to any one principle it is preferable tnu tne various
priciples the needs of the different legal relations, ang snould harmonise with social, legal, and economic
traditions of (England). Teori keadilan mungkin dapat dianggap sebagai upaya untuk mewujudkan
prinsip umum semacam itu, dengan bertitik tolak dari anggapan dasar bahwa:

1. Dari Segi Sosiologis

Harus selalu disadari bahwa pihak-pihak dalam hubungan-hubungan hukum yang bersifat internasional
selalu memiliki kebutuhan untuk memperoleh perlakuan yang adil (fair treatment) di dalam hubungan-
hubungan keperdataan mereka.

2. Dari Segi Etik

Umumnya diterima anggapan bahwa hakikat dari proses pendidikan ahli hukum adalah agar dalam
menjalankan profesinya ia harus selalu berupaya mewujudkan keadilan (justice).

3. Dari Segi Hukum

Seorang hakim pada dasarnya selalu memiliki kewajiban untuk mewujudkan keadilan dalam putusan-
putusannya.

Beberapa ahli HPl di Inggris beranggapan bahwa teori HPl yang memusatkan perhatian pada "state
interests" (seperti di AS) sulit diterapkan di Inggris karena kaidah-kaidah hukum lokal lnggris lebih
banyak dimaksudkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan perdata (private interests) dan karena
itu kepentingan publik/negara hanya merupakan pengecualian. Dengan keadaan seperti itu, upaya
untuk memberikan keadilan pada pihak-pihak dalam perkara lebih mencerminkan aspirasi HPI Inggris
daripada penerapan kepentingan negara.

126
BAB X

ASAS-ASAS UMUM HPI DALAM BIDANG-BIDANG HUKUM KEPERDATAAN

A. PENDAHULUAN

Hubungan-hubungan hukum yang dilakukan antarmanusia secara individual dan yang menerbitkan
pelbagai hak dan kewajiban bagi para pelakunya dapat dianggap sebagai hubungan-hubungan hukum
keperdataan. Secara tradisional, dalam hukum keperdataan orang mengklasifikasikan kaidah-kaidah
hukum ke dalam beberapa subbidang hukum, yaitu bidang hukum tentang:

• Subjek hukum;

• keluarga;

• Benda;

• Perikatan (perjanjian/perbuatan melawan hulkum); dan

• Pewarisan

Apabila dalam pergaulan keperdataan terlibat subjek, objek, atau hak/kewajiban hukum yang bertalian
dengan suatu sistem hukum asing, sebenarnya orang sudah memasuki bídang pembahasan HPI di
bidang hukum keperdataan. Namun, hal itu tidak berarti bahwa dalam menyelesaikan persoalan-
127
persoalan HPI yang menyangkut perselisihan keperdataan aspek-aspek nonkeperdataan dapat dengan
sendirinya dikesampingkan. Justru salah satu "jalur masuk" unsur-unsur nonkeperdataan sering kali
menimbulKan persoalan HPl tersendiri, seperti persoalan tentang kekuatan berlaku dari kaidah-kaidah
hukum yang bersifat memaksa (mandatory laws) dari dua sistem hukum yang berbeda atau tentang
kewenangan pengadilan untuk mengesampingkan berlakunya aturan-aturan hukum perdata materil
asing dengan alasan "demi ketertiban umum". Di samping itu, persoalan-persoalan yang menyangkut
status subjek-subjek hukum tertentu, seperti badan hukum, perusahaan publik, dan negara dalam
transaksinya dengan pihak swasta asing (government contracts) tentunya akan bersinggungan dengan
persoalan-persoalan nonkeperdataan. Situasi semacam inilah yang menjadi sumber adanya 'grey areas
di mana istilah hukum perdata internasional sering kali dirasakan terlalu sempit.

Terlepas dari itu, bab ini dimaksudkan untuk sekadar memperkenalkan serta memberikan gambaran
umum tentang asas-asas atau aturan-aturan hukum perdata internasional yang dikenal dan berkembang
dalam bidang-bidang hukum keperdataan tersebut di atas, khususnya yang berbentuk kaidah-kaidah
penunhuk yang dapat digunakan orang untuk menunjuk ke arah hukum yang seharusnya berlaku dalam
persoalan-persoalan tertentu (choice of law rules).

Bukan Choice-of-Law Rules Indonesia

Judul paragraf ini tampak tidak wajar, tetapi menggambarkan kondisi bidang HPI di Indonesia sebagai
salah satu bidang hukum yang dari segi kelengkapan regulasi dan aturan-aturannya, dapat dianggap
paling telantar (neglected). Jika orang berbicara tentang HPI Indonesia, orang akan menghadapi
kenyataan-kenyataan berikut:

1. Tidak ada kompilasi, apalagi kodifikasi, kaidah-kaidah HPI Indonesia yang dapat menjadi pegangan
bagi pengadilan-pengadilan Indonesia (atau stakeholders lainnya) dalam menjawab masalah-masalah
pokok HPI, Pelbagai negara di dunia, termasuk negara-negara berkembang, menganggap perlu adanya
kodifikasi semacam itu. Pernah ada upaya di Indonesia melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional
dimotori oleh Prof, Sudargo Gautama sebagai salah satu tokoh terkemuka HPI Indonesia untuk
menyusun draf Undang-Undang HPI Indonesia tetapi sayangnya inisiatif itu terhenti sampai pada draf
akademik saja.

2. Aturan-aturan HPI (choice of law rules) di Indonesia tersebar di dalam pelbagai peraturan perundang-
undangan, misalnya, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Kewarganegaraan, Undang-Undang
Penanaman Modal Asing, dan sebagainya sehingga tidak ada benang merah yang dapat digunakan untuk
menjaga konsistensi di antara aturan-aturan tersebut.

3. Asas-asas HPI "tulen yang ada di Indonesia merupakan peninggalan

dari masa penjajahan Belanda yang dimuat di dalam Pasal 16, 17, dan 18 dari Algemene Bepalingen van
Wetgeving yang jika ditinjau isinya masih sangat dipengaruhi oleh cara berpikir teori statuta Italia dari
abad ke-14-15 dan asas-asas HPI yang dianggap "klasik". Berdasarkan pasal-pasal AB itu, maka tiga titik
taut penentu utama dalam HPI Indonesia adalah lex patriae untuk menentukan status personal

128
seseorang", asas lex rei sitae untuk perkara-perkara yang menyangkut status hukum benda-benda tetap
(onroerendgoederen atau immovables ), dan asas lex loci actus untuk menetapkan persoalan-persoalan
yang menyangkut perbuatan hukum.

B. ASAS-ASAS HPI TENTANG SUBJEK HUKUM

Jika hubungan-hubungan semacam itu dilakukan dan atau terjadi di antara subjek-subjek hukum yang
tunduk pada sistem-sistem hukum dari negara-negara yang berbeda (peristiwa hukum perdata
internasional), pertama kali orang dapat memasalahkan: berdasarkan hukum mana, di antara pelbagai
sistem hukum yang relevan, status, dan kewenangan (status personal) subjek-subjek hukum itu harus
diatur?

Dalam perkembangan teori dan praktik HPl telah tumbuh pelbagai asas HPI yang pada dasarnya
dimaksudkan untuk memberikan jalan keluar pada masalah tersebut di atas.

1. Asas Nasionalitas (Kewarganegaraan)

Berdasarkan asas ini, status personal seseorang ditetapkan berdasarkan hukum kewarganegaraan (lex
patriae) orang itu. Asas ini juga digunakan dalam Pasal 16 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB)
yang secara teoretís masih berlaku di Indonesia.

Perlu disadari bahwa berdasarkan suatu asas dalam bidang hukum keperdataan, yaitu asas mobilia
sequntuur personam, asas pemberlakuan lex patriae ini berlaku juga dalam penentuan status benda-
benda bergerak (movables), dalam arti bahwa status suatu benda bergerak ditetapkan berdasarkan
hukum yang beraku untuk menetapkan status personal orang yang memiliki atau menguasai benda itu.

Beberapa masalah:

a. Problem renvoi dapat timbul jika asas ini hendak diterapkan pada seorang warga negara asing yang
berasal dari negara yang sistem hukumnya menganut asas domicile dalam penentuan status personal
seseorang.

b. Kewarganegaraan seseorang tidak selalu dapat menjamin adanya kenyataan bahwa secara faktual
seseorang menetap di wilayah negara nasionalnya.

c. Bagi sebuah forum, asas ini dapat menimbulkan kesulitan teknis karena hakim harus menetapkan
status dan kewenangan personal suatu subjek hukum berdasarkan suatu sistem hukum asing yang
belum tentu dikenalnya.

2. Asas Domicile

Asas domicile yang dimaksudkan di sini hendaknya diartikan sesuai dengan yang tumbuh di dalam
sistem-sistem hukum common law dan yang umumnya diartikan sebagai permanent home atau tempat

129
hidup seseorang secara permanen. Jadi, konsep ini harus dibedakan dari konsep domicili yang dikenal
dalam sistem hukum Eropa Kontinental (cívil law) yang lebih setara dengan pengertian habitual
residence atau tempat seseorang biasa bertempat tinggal atau tempat kediamanan sehari-hari.
Berdasarkan asas ini status dan kewenangan personal seseorang ditentukan berdasarkan hukum
domicile (hukum tempat kediaman permanen) orang itu.

Konsep domicile dalam tradisi common law pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga pengertian,
yaitu:

a. Domicile of origin

Yaitu tempat kediaman permanen seseorang karena kelahiran orang itu di tempat tertentu

b. Domicile of dependence

Yaitu tempat kediaman permanen seseorang karena kebergantungannya pada orang lain, misalnya,
anak-anak dí bawah umur akan mengikuti domicile orang tuanya atau istri mengikuti domicile suaminya.

c. Domicile of choice

Yaitu tempat kediaman permanen seseorang yang dibuktikan dari fakta kehadiran seseorang secara
tetap di suatu tempat tertentu dan indikasi bahwa tempat itu memang dipilih atas dasar kemauan
bebasnya (factum et animus).

Seperti halnya asas nasionalitas, maka pemakaían asas domicile secara tertalu ketat akan membawa
persoalan tersendiri, misalnya:

a. Masalah renvoi secara potensial dapat timbul apabila asas ini hendak diterapkan pada subjek hukum
yang secara faktual berdomicile di suatu negara yang menganut prinsip nasionalitas.

b. Dibandingkan dengan nasionalitas, asas domicile iní tampak kurang.permanen sifatnya karena tempat
kediaman seseorang relatif lebih mudah berubah daripada kewarganegaraan seseorang. Hal iní dapat
mempersulit upaya penetapan status dan wewenang personal.

c. Dibandingkan dengan asas kewarganegaraan, domicile seseorang tampaknya lebih sulit ditentukan
karena penentuan hal ini sering kali harus dikaitkan dengan adanya fakta dan hasrat (Factum et animus)
seseorang untuk tinggal secara permanen di suatu tempat.

3. Asas-Asas untuk Penentuan Status Badan Hukum

Peningkatan intensitas perdagangan internasional dewasa ini menyebabkan semakin banyaknya usaha
pendirian badan-badan hukum oleh pihak asing, dan atau oleh pihak lokal dan pihak asing dalam suatu
joint venture atau joint enterprise. Merambahnya kekuatan perusahaan-perusahaan multinasional ke
seluruh dunia juga menyebabkan persoalan-persoalan baru dalam penentuan status badan hukum dari
entitas-entitas semacam itu. Yang dapat menjadi masalah, dalam kaitan itu adalah sistem hukum mana

130
yang dapat digunakan untuk menetapkan serta mengatur status dan kewenangan yuridik suatu badan
hukum yang mengandung elemen asing?

Dalam teori dan praktik HPI berkembang beberapa doktrin atau asas yang dapat digunakan. Mengenai
hal tersebut, selengkapnya akan diuraikan berikut ini.

a. Asas kewarganegaraan/domicile pemegang saham

Asas ini beranggapan bahwa status badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari tempat di mana
mayoritas pemegang sahamnya menjadi warga negara (lex patriae) atau berdomicile (lex domicili). Asas
atau doktrin ini dianggap sudah ketinggalan zaman dan kurang menguntungkan karena kesulitan untuk
menetapkan kewarganegaraan atau domicile dari mayoritas pemegang saham, terutama jika komposisi
kewarganegaraan atau domicile itu ternyata beraneka ragam.

b. Asas centre of administration/business

Asas ini yang beranggapan bahwa status dan kewenangan yuridik suatu badan hukum harus tunduk
pada kaidah-kaidah hukum dari tempat yang merupakan pusat kegiatan administrasi badan hukum
tersebut. Teori ini menghendaki agar hukum dari tempat di mana suatu badan hukum memusatkan
kegiatan bisnis atau manajemennya harus digunakan untuk mengatur status yuridik badan hukum yang
bersangkutan. Asas ini umumnya diterima oleh negara-negara Eropa Kontinental.

c. Asas place of incorporation

Asas ini beranggapan bahwa status dan kewenangan badan hukum seyogianya ditetapkan berdasarkan
hukum dari tempat badan hukum itu secara resmi didirikan/dibentuk. Asas ini dianut di Indonesia dan
umumnya negara-negara berkembang) sebagai reaksi terhadap penggunaan asas centre of
administration/siege social. Dalam Pasal 3 UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, ditetapkan
bahwa:

"Pihak asing yang menanamkan modalnya di Indonesia haruslah:

- mendirikan badan hukum berdasarkan hukum Indonesia

- dan badan hukum yang didirikan itu harus berkedudukan di Indonesia.

Dengan demikian, perusahaan-perusahaan yang dalam pengoperasiannya di suatu negara memiliki


unsur-unsur asing (karena penyertaan modal asing, kepemilikan asing, dan klasifikasi hukum sebagai
perusahaan PMA) haruslah didirikan berdasarkan hukum dari negara tuan rumah dan tunduk pada
hukum negara tersebut. Apabila dilengkapi dengan perangkat-perangkat hukum nasional lain (di bidang
hukum kontrak, hukum perusahaan, parpajakan, hukum penanaman modal asing, hukum alih teknologi,
hak milik intelektual, dan sebagainya) yang memadai dan fair, prinsip ini dapat dianggap sebagai prinsip
yang terbaik untuk mendukung kepentingan ekonomi negara-negara berkembang di dalam kancah
perdagangan Internasional.

131
d. Asas centre of exploitation

Asas centre of exploitation atau disebut "centre of operations", yang beranggapan bahwa status dan
kedudukan badan hukum harus diatur berdasarkan hukum dari tempat perusahaan itu memusatkan
kegiatan operasional, eksploitasi, atau kegiatan produksi barang/jasanya.

Teori ini tampak akan mengalami kesulitan apabila orang dihadapkan pada suatu perusahaan
(multinasional) yang memiliki pelbagai bidang usaha, bidang eksploitasi dan/atau memiliki pelbagai anak
perusahaan/cabang yang tersebar di pelbagai tempat di dunia. Apabila perusahaan induknya mengalami
persoalan hukum yang berkaitan dengan eksistensi yuridisnya (misalnya, pailit, merger, akuisisi, dan
sebagainya), akan timbul pula pelbagai persoalan hukum kompleks yang menyangkut perusahaan-
perusahaan turunannya di pelbagai negara di dunia (baik cabang maupun anak perusahaan) yang
tunduk pada hukum dari pelbagai negara yang beraneka ragam.

C. ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM KELUARGA

Berbicara tentang bidang hukum keluarga, maka pada dasarnya orang berbicara tentang perkawinan
dalam arti yang luas dan mencakup persyaratan materiil/formal perkawinan, keabsahan perkawinan,
akibat-akibat perkawinan, harta perkawinan, dan berakhirnya perkawinan. Dalam HPI, persoalan
perkawinan transnasional adalah salah satu bidang yang paling vulnerable terhadap persoalan-persoalan
hukum perdata internasional.

Di Indonesia, sesuai Pasal 1 UU 1/1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan adalah:

"Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Ikatan semacam itu yang berlangsung antara seorang pria dan seorang wanita yang masing-masing
tunduk pada sistem hukum nasional yang berbeda tentunya akan memunculkan persoalan-persoalan
HPI dalam bidang hukum keluarga, yang meliputi masalah validitas perkawinannya sendiri, kekuasaan
orang tua, status anak, dan konsekuensi-konsekuensi yuridik lainnya dari perkawinan itu.

Dalam HPI persoalan pokoknya adalah sistem hukum manakah yang harus diberlakukan terhadap
persoalan-persoalan di atas. Di bawah ini akan disajikan beberapa asas utama yang dikembangkan
dalam bidang hukum keluarga/perkawinan untuk menentukan the applicable law dari pelbagai pe

Secrsoalan dalam perkawinan.

1. Pengertian Perkawinan Campuran

Secara teoretis dalam HPI dikenal dua pandangan utama yang berusaha membatasi pengertian
"perkawinan campuran", yaitu:

132
a. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah perkawinan yang
berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda domicile-nya sehingga terhadap masing-masing pihak
berlaku kaidah-kaidah hukum intern dari dua sistem hukum yang berbeda.

b. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan dianggap sebagai perkawinan campuran
apabila para pihak berbeda kewarganegaraan/nasionalitasnya."

Di bawah ini akan disinggung beberapa asas hukum perdata internasional di bidang hukum
keluarga/perkawinan.

2. Validitas Esensial Perkawinan

Asas-asas utama yang berkembang dalam HPI tentang hukum yang harus digunakan untuk mengatur
validitas materiil suatu perkawinan adalah:

a. Asas lex loci celebrationis yang bermakna bahwa validitas materiil perkawinan harus ditetapkan
berdasarkan kaidah hukum dari tempat di mana perkawinan diresmikan/dilangsungkan.

b. Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil suatu perkawinan ditentukan berdasarkan sistem
hukum dari tempat masing-masing pihak menjadi warga negara sebelum perkawinan dilangsungkan.

c. Asas yang menyatakan bahwa validitas material perkawinan harus ditentukan berdasarkan sistem
hukum dari tempat masing-masing pihak ber-domicile sebelum perkawinan dilangsungkan.

d. Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan berdasarkan sistem
hukum dari tempat dilangsungkannya perkawinan (locus celebrationis), tanpa mengabaikan persyaratan
perkawinan yang berlaku di dalam sistem hukum para pihak sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Validitas Formal Perkawinan

Pada umumnya di pelbagai sistem hukum, berdasarkan asas locus regit actum, diterima asas bahwa
validitas/persyaratan formal suatu perkawinan ditentukan berdasarkan lex loci celebrationis.

4. Akibat-Akibat Perkawinan

Beberapa asas yang berkembang di dalam HPI tentang akibat-akibat perkawinan (seperti masalah hak
dan kewajiban suami istri, hubungan orang tua dan anak, kekuasaan orang tua, harta kekayaan
perkawinan, dan sesbagainya) adalah bahwa akibat-akibat perkawinan tunduk pada:

a. Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan (lex loci celebrationis).

b. Sistem hukum dari tempat suami istri bersama-sama menjadi warga negara setelah perkawinan
(gemeenschapelijke nationaliteitijoint nationality)

133
c. Sistem hukum dari tempat suami istri berkediaman tetap bersama setelah perkawinan
(gemeenschapelijke woonplaats/joint residence), atau tempat suami istri ber-domicile tetap setelah
perkawinan.

Tidaklah jelas asas mana yang digunakan di dalam hukum perkawinan di

Indonesia. Pasal 62 UU 1/1974 hanya menyatakan bahwa:

"Kedudukan anak dalam perkawinan campuran ditentukan berdasarkan kewarganegaraan yang


diperoleh setelah perkawinan atau setelah berakhirnya perkawinan."

Sebenarnya, apabila disadari bahwa akibat-akibat perkawinan menyangkut dan/atau dipengaruhi oleh
aspek public policy (ketertiban umum) dan moralitas sosial di suatu negara, disarankan agar akibat-
akibat perkawinan diatur berdasarkan asas 4.b. atau 4.c. di atas.

5. Perceraian dan Akibat Perceraian

Beberapa asas HPI menyatakan bahwa masalah berakhirnya perkawinan karena perceraian serta akibat-
akibat perceraian harus diselesaikan berdasarkan sistem hukum dari tempat:

a. Lex loci celebrationis.

b. Gemeenschapelijke nationaliteit/joint nationality.

c. Gemeenschapelijke woonplaats/joint residence atau domicile of choice setelah perkawinan.

d. Diajukannya gugatan perceraian (lex fori).

D. ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM BENDA

Klasifikasi Jenis Benda

Kesulitan akan selalu timbul apabila pembahasan tentang benda dan hak-hak kebendaan dalam HPI
dimulai dari dikotomi antara benda tetap (immovables), benda bergerak (movables), dan benda-benda
tak berwujud (intangibles) karena pelbagai sistem hukum menetapkan kriteria serta klasifikasi tentang
benda yang berbeda-beda.

Karena itu, pertanyaan yang menjadi penting dalam HPI adalah berdasarkan hukum mana klasifikasi
jenis benda itu harus dilakukan. Dalam kaitan ini, teori HPI mengenal dua asas utama yang menetapkan
bahwa klasifikasi semacam itu harus dilakukan berdasarkan:

• Hukum dari tempat gugatan atas benda diajukan (lex fori).

• Hukum dari tempat benda berada/terletak (lex situs).

Status benda-benda bergerak

134
Beberapa asas HPI yang menyangkut penentuan status benda-benda bergerak, antara lain, menetapkan
bahwa status benda bergerak ditetapkan berdasarkan:

1. Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut (bezitter atau eigenaar) berkewarganegaraan
(asas nasionalitas)

2. Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut ber-domicile (asas domicile).

3. Hukum dari tempat benda terletak (lex situs).

Seperti telah disinggung sebelumnya dalam bagian lain dari bab ini, asas-asas 1 dan 2 di atas
sebenarnya dilandasi oleh asas hukum lain, yaitu asas mobilia sequntuur personam (status benda
bergerak mengikuti orangnya).

Status benda tetap

Asas umum yang diterima di dalam HPI menetapkan bahwa status benda-benda tetap ditetapkan
berdasarkan lex rei sitae sitae atau lex situs atau hukum dari tempat benda berada/terletak. Asas ini
juga dianut di Indonesia seperti yang dimuat dalam Pasal 17 Algemeene Bepalingen van Wetgeving.

Status benda tak berwujud

Benda-benda yang dikategorikan ke dalam "benda tak berwujud" biasanya meliputi utang piutang, hak
milik perindustrian, atau hak-hak milik intelektual. Asas-asas HPI yang relevan dengan usaha penentuan
status benda-benda tak berwujud, di antaranya, menetapkan bahwa yang harus diberlakukan adalah
sistem hukum dari tempat:

1. Kreditur atau pemegang hak atas benda itu berkewarganegaraan atau berdomicile (lex patriae atau
lex domicilii).

2. Gugatan atas benda-benda itu diajukan (lex fori).

3. Pembuatan perjanjian utang piutang (khusus untuk perjanjian utang piutang) (lex loci contractus).

4. Yang sistem hukumnya dipilih oleh para pihak dalam perjanjian yang menyangkut benda-benda itu
(choice of law).

5. Yang memiliki kaitan yang paling nyata dan substansial terhadap transaksi yang menyangkut benda
tersebut (the most substantial connection)

6. Pihak yang prestasinya dalam perjanjian tentang benda yang bersangkutan tampak paling khas dan
karakteristik (the most characteristic connection).

E. ASAS-ASAS HPI DALAM HUKUM PERJANJIAN

1. Pendahuluan

135
Kontrak adalah persetujuan di antara dua atau lebih orang yang berisi sebuah janji atau janji-janji yang
bertimbal balik yang diakui berdasarkan hukum atau yang pelaksanaannya diakui sebagai suatu
kewajiban hukum. Berdasarkan definisi tersebut orang dapat mengatakan bahwa hal-hal esensial dari
suatu kontrak adalah adanya persetujuan (agreement) dan hak dan kewajiban untuk melaksanakan
sesuatu (contractual rights and obligations). Berlakunya asas kebebasan berkontrak menyebabkan tidak
saja para pihak bebas untuk menyepakati semua elemen yang menyangkut kontrak mereka (selama
tidak melanggar undang-undang, kepatutan, itikad baik, dan sebagainya), tetapi juga menimbulkan
kewajiban bagi para pihak

untuk menepati janji-janji yang telah dibuatnya satu sama lain (pacta sunt

servanda).

Namun, kekhasan lain dari kontrak jika dikaitkan dengan masuknya unsur-unsur asing di dalamnya
(kontrak transnasional) adalah munculnya elemen pokok lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu unsur
kebebasan para pihak untuk melakukan pilihan hukum (freedom to choose the applicable law).
Kebebasan para pihak dalam suatu kontrak internasional untuk menundukkan kontrak mereka pada
suatu sistem hukum nasional tertentu praktis merupakan prinsip yang diakui secara universal dan
bahkan suatu kontrak internasional yang tidak memuat sebuah choice of law clause (dan juga klausula
pilihan forum) akan dianggap kurang lengkap. Pada masa modern ini kebebasan para pihak dibatasi oleh
beberapa hal yang umumnya menyangkut pemberlakuan kaidah-kaidah hukum memaksa dan atau
pencegahan terjadinya pelanggaran terhadap ketertiban umum. Untuk perincian pembatasan-
pembatasan terhadap pilihan hukum ini lihat penjelasan pada bagian lain dari bab ini (pembahasan
tentang asas kebebasan para pihak).

Jadi, asas HPI utama yang dianggap paling mengemuka di dalam hukum perjanjian (internasional) adalah
bahwa "hukum yang berlaku atas sebuah kontrak adalah hukum yang dipilih dan disepakati oleh para
pihak di dalam kontrak."

Akan tetapi, dalam praktik persoalan HPI menjadi lebih kompleks justru dalam situasi di mana para pihak
tidak melakukan pilihan hukum atau tidak menyatakan pilihan hukumnya secara tegas. Situasi inilah
yang justru menimbulkan pelbagai teori dan pandangan HPI tentang asas dan atau metode penentuan
hukum yang seharusnya berlaku atas kontrak. Situasi ini juga yang mendorong teoretisi HPI untuk
menemukan cara penentuan hukum mana yang seharusnya berlaku atas sebuah kontrak (the proper law
of contract) yang tidak mengandung pilihan hukum para pihak yang efektif.

Dalam kaitan inilah, bidang hukum kontrak merupakan salah satu bidang yang paling pelik dan paling
banyak menimbulkan kontroversi di dalam HPI. Jadi, persoalan pokok di bidang ini sebenarnya terfokus
pada persoalan penentuan "the proper law of contract" (hukum yang seyogianya diberlakukan untuk
mengatur masalah-masalah yang ada di dalam suatu kontrak). Teori-teori HPI di bidang hukum kontrak
umumnya berbicara tentang upaya untuk menetapkan "the proper law of contract" atau "the applicable
law to govern matters arising from contracts" ini.

136
2. Pengertian "The Proper Law of Contract

The proper law of contract" menurut Cheshire adalah:

a convenient and succinct expression to describe the law that governs many of the matters affecting a
contract. It has been defined as that law which the English or other court is to apply in determining the
obligations under the contract.

Konsep yang terkandung di dalam pengertian di ataslah yang banyak menimbulkan persoalan dan
perdebatan di dalam HPI, khususnya yang menyangkut masalah bagaimana orang dapat menentukan
"the proper law dari suatu kontrak. Konsep "proper law ini sebenarnya bertitik tolak dari anggapan
dasar bahwa setiap aspek dari sebuah kontrak pasti terbentuk berdasarkan suatu sistem hukum
walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa pelbagai aspek dari suatu kontrak diatur oleh pelbagai
sistem hukum yang berbeda.

Cheshire beranggapan bahwa masalahnya bukan "hukum apa yang mengatur suatu kontrak", melainkan
"hukum apa yang mengatur masalah tertentu yang menjadi pokok perkara dalam suatu kontrak?"
Kenyataan bahwa salah satu aspek dari kontrak diatur berdasarkan suatu sistem hukum tertentu, tidak
dapat diartikan bahwa sistem hukum itu menjadi "the proper law" dari kontrak yang bersangkutan.
Artinya, pelbagai aspek dapat saja diatur oleh pelbagai sistem hukum (dépeçage), walaupun dalam
praktik, pengadilan tidak begitu saja memecah suatu kontrak dengan cara itu dengan anggapan bahwa
selalu dapat ditentukan sistem hukum utama (primary system of law) yang mengatur umumnya
masalah-masalah pembentukan dan substansi suatu kontrak.

3. Asas-Asas dan Teori-Teori tentang Penentuan "The Proper Law of Contract"

Tidak seperti bidang-bidang hukum keperdataan lain yang relatif sudah lebih mapan dalam penggunaan
asas-asas HPl untuk menentukan hukum yang harus diberlakukan (the applicable law), maka dalam
bidang hukum kontrak sangat banyak titik taut (sekunder) yang dapat menjadi indikator tentang hukum
yang relevan untuk diberlakukan. Misalnya, kewarganegaraan atau domicile para pihak yang berbeda,
tempat pembuatan atau pelaksanaan kontrak, pusat bisnis para pihak di negara yang berbeda, letak
objek perjanjian, dan sebagainya. Di bawah ini akan ditinjau secara singkat mengenai beberapa asas dan
atau teori yang berkembang dalam HPI.

a. Asas lex loci contractus

Asas ini merupakan asas tertua yang dilandasi prinsip locus regit actum. Berdasarkan asas ini "the proper
law of contract" adalah hukum dari tempat pembuatan kontrak. Yang dimaksud dengan "tempat
pembuatan kontrak" dalam konteks HPI adalah tempat dilaksanakannya "tindakan terakhir" ("last act")
yang dibutuhkan untuk terbentuknya kesepakatan (agreement).

137
Pada masa modern teori ini tampaknya sudah tidak memadai lagi, terutama jika dikaitkan dengan
kontrak-kontrak yang diadakan antara pihak-pihak yang tidak berhadapan satu sama lain (Inter-
absentes). Semakin banyak kontrak yang dibuat dengan bantuan sarana komunikasi modern, seperti
teleks, telegram, dan faksimile sehingga penentuan locus contractus menjadi sulit dilakukan.

Prinsip ini dianggap masih dapat digunakan untuk menetapkan hukum yang berlaku terhadap
transaksi/perjanjian yang dibuat di pekan-pekan raya perdagangan (trade fairs) internasional, dalam arti
bahwa sistem hukum dari tempat penyelenggaraan pekan raya itulah yang dapat dianggap sebagai "the
proper law of contract".

b. Asas lex loci solutionis

Dengan semakin kecilnya peranan asas lex loci contractus, maka perhatian banyak dialihkan ke arah
sistem hukum dari tempat pelaksanaan perjanjian (locus solutionis). Asas yang menganggap bahwa "the
proper law of contract" adalah lex loci solutionis ini sebenarnya merupakan variasi dari penerapan asas
locus regit actum yang beranggapan bahwa tempat pelaksanaan perjanjian adalah tempat yang lebih
relevan dengan kontrak dibandingkan dengan tempat pembuatan perjanjian, terutama jika disadari
bahwa suatu kontrak yang walaupun sah di tempat pembuatannya akan tetap unenforceable jika
bertentangan dengan sistem hukum dari tempat pelaksanaan perjanjian itu.

Dalam perkembangannya, ternyata asas lex loci solutionis tidak selalu memberikan jalan keluar yang
memuaskan, terutama jika diterapkan pada kontrak-kontrak yang harus dilaksanakan di pelbagai tempat
yang berbeda. Ada kemungkinan bahwa kontrak itu dianggap sah di salah satu tempat pelaksanaannya,
tetapi dianggap tidak sah atau ilegal di tempat pelaksanaan lainnya. Kerena itu, dalam praktik, tidak
ditutup kemungkinan untuk menundukkan bagian-bagian kontrak pada pelbagai sistem hukum yang
berbeda (dépeçage), tetapi hal semacam itu tampaknya akan menyulitkan pengadilan untuk
menyelesaikan perkara.

c. Asas kebebasan para pihak (party autonomy)

Asas yang ketiga ini sebenarnya merupakan perkembangan apresiasi terhadap asas utama dalam hukum
perjanjian, yaitu asas bahwa "setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri
pada perjanjian" (asas kebebasan berkontrak, freedom to contract, atau party autonomy).

Dalam perkembangannya kebebasan para pihak untuk berkontrak ini dimanifestasikan pula dalam
bentuk kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku untuk mengatur kontrak yang mereka buat
(freedom to choose the applicable law). Dari sinilah muncul pengertian pilihan hukum (rechtskeuze,
choice of law) dalam hukum kontrak. Hukum yang dipilih para pihak itulah yang diakui sebagai "the
proper law of contract".

Yang masih dapat dijadikan masalah adalah sejauh mana pihak-pihak dalam kontrak memiliki kebebasan
untuk menentukan "the applicable law" untuk kontrak mereka.

138
Beberapa pembatasan (restrictions) yang dikembangkan dalam HPI untuk menetapkan validitas suatu
pilihan hukum, antara lain:

1) Jika pilihan hukum dimaksudkan hanya untuk membentuk atau menafsirkan persyaratan-persyaratan
dalam kontrak, kebebasan para pihak pada dasarnya tidak dibatasi.

2) Pilihan hukum tidak boleh melanggar public policy atau public order (ketertiban umum) dari sistem-
sistem hukum yang mempunyai kaitan yang nyata dan substansial terhadap kontrak.

Scoles dan Hays berpendapat bahwa:

"Commentators and courts generally agree that, at some point, a state other than that chosen by the
parties can assert its public policy and void the stipulation."

Dari pernyataan tersebut tersirat pengertian bahwa forum tidak dapat begitu saja membatalkan suatu
klausula pilihan hukum hanya dengan alasan bahwa hukum yang dipilih para pihak berbeda dari lex fori.
Kewenangan semacam itu baru terbit apabila perbedaan tersebut sudah menyentuh aspek ketertiban
umum dari forum atau dari sistem hukum lain yang mempunyai kaitan signifikan dengan kontrak.

Pembatasan ini juga mengakibatkan bahwa untuk jenis-jenis kontrak tertentu yang banyak mengandung
aspek public policy atau yang berkaitan erat dengan kaidah-kaidah hukum administrasi negara/hukum
ekonomi dari sistem hukum yang seharusnya berlaku, pihak-pihak tidak memiliki kebebasan sepenuhnya
untuk melakukan pilihan hukum, misalnya, kontrak kerja/perburuhan internasional; kontrak pembelian
senjata; atau kontrak-kontrak yang menyinggung persoalan devisa, proteksi industri, antimonopoli, dan
sebagainya.

3) Pilihan hukum hanya dapat dilakukan ke arah suatu sistem hukum

yang berkaitan secara substansial (having substantial relationship) dengan kontrak. Kaitan yang
substansial ini dapat dianggap ada karena adanya faktor-faktor yang mempertautkan sistem hukum itu
dengan kontrak, misalnya, tempat pembuatan kontrak, tempat pelaksanaan kontrak, domicile atau
kewarganegaraan para pihak, tempat pendirian, atau pusat administrasi badan hukum.

4) Pilihan hukum tidak boleh dimaksudkan sebagai usaha menundukkan seluruh kontrak atau bagian
tertentu dari kontrak mereka pada suatu sistem hukum asing, sekadar untuk menghindarkan diri dari
suatu kaidah hukum yang memaksa dari sistem hukum yang seharusnya berlaku seandainya tidak ada
pilihan hukum. Pilihan hukum seperti ini dapat dianggap sebagai pilihan hukum yang tidak bona fide
atau dianggap sebagai penyelundupan hukum (fraus legis).

5) Pilihan hukum hanya dapat dilakukan untuk mengatur hak dan kewajiban yang timbul dari kontrak
dan tidak untuk mengatur masalah validitas pembentukan perikatan/perjanjian.

139
6) Pilihan hukum ke arah suatu sistem hukum tertentu harus dipahami sebagai suatu
"sachnormverweisung", dalam arti pemilihan ke arah kaidah-kaidah hukum intern dari sistem hukum
yang bersangkutan dan tidak ke arah kaidah-kaidah HPI-nya. Pembatasan ini dimaksudkan untuk
menghindarkan terjadinya renvoi dalam hukum kontrak internasional.

7) Kewajiban untuk melakukan pilihan hukum pada saat kontrak ditutup (ada beberapa negara dan
konvensi internasional yang tidak memberlakukan larangan ini).

8) Larangan melakukan pilihan hukum ke arah sistem hukum yang sama sekali tidak memiliki kaitan
nyata dengan kontrak atau transaksi yang dibuat oleh para pihak (ada negara yang tidak
memberlakukan larangan ini).

9) Kewajiban untuk melakukan pilihan hukum ke arah sistem hukum nasional suatu negara tertentu atau
ke arah konvensi-konvensi internasional dan tidak ke arah kaidah-kaidah hukum transnasional atau
prinsip-prinsip dalam perdagangan internasional.

10) Pilihan hukum harus jelas diarahkan pada suatu sistem hukum nasional tertentu. Pilihan hukum yang
tidak bermakna (meaningless choice of law) tidak dapat diakui sebagai pilihan hukum yang sah.

4. Doktrin-Doktrin di dalam HPI Inggris

Di Inggris terdapat dua kelompok teori utama, yaitu:

a. Yang mendasarkan diri pada maksud para pihak (intention of the parties)

Menurut pandangan ini, "the proper law of contract" adalah hukum yang dikehendaki oleh para pihak
untuk diberlakukan terhadap kontrak mereka.

Teori ini dilandasi oleh prinsip bahwa para pihak dalam kontrak bebas untuk menentukan hukum yang
akan berlaku terhadap kontrak mereka. Kesulitannya adalah apakah "kehendak" para pihak itu harus
dinyatakan dengan tegas atau cukup dengan menyimpulkannya dari hal-hal yang secara faktual ada di
dalam kontrak. Seandainya orang hendak menyimpulkannya dari substansi kontrak, apakah
penyimpulan itu harus dilakukan secara objektif atau secara subjektif.

Dicey yang menganut pandangan ini beranggapan bahwa:

"The term 'the proper law of contract' means the law, or the laws by which the parties intended, or may
be fairly presumed to have intended, the contract to be governed; or (in other words) the law or laws to
which the parties intended or may fairly be presumed to have intended to submit themselves."

b. Yang bertitik tolak dari penentuan tempat di mana kontrak seharusnya berada (localization of
contract)

Menurut pandangan ini, "the proper law" adalah hukum dari negara yang dapat dianggap sebagai
tempat di mana kontrak terlokalisasi. Penentuan "tempat" ini dilakukan dengan mengelompokkan

140
semua elemen kontrak yang tampak dalam pembentukannya atau persyaratan di dalamnya. Hukum dari
tempat di mana elemen-elemen itu paling banyak "mengelompok" dianggap sebagai "the proper law'
dari kontrak yang bersangkutan. Pendekatan atau metode seperti ini, oleh Westlake, dinamakan metode
objektif.

Menurut Westlake:

"In these circumstances it may be said that the law by which to determine the instrinsic validity and
effects of a contract will be selected in England on substantial considerations, the preference being
given to the country with which the transaction has the most real connection, and not to the law of the
place of contracting as such"

Pendekatan ini juga dikritik, khususnya jika elemen-elemen itu berkelompok secara "seimbang" di lebih
dari satu tempat (dan lebih dari satu sistem hukum), karena dalam situasi seperti ini hakim akan
cenderung untuk "memberatkan timbangan sendiri" ke arah salah satu dari pelbagai sistem hukurn yang
relevan untuk diberlakukan itu.

5. Doktrin-Doktrin dalam Conflict of Laws Amerika Serikat

Persoalan HPI yang dihadapi dalam hukum kontrak pada dasarnya berkisar pada persoalan penentuan
hukum yang harus berlaku atas masalah-masalah yang timbul dari suatu kontrak, khususnya apabila
para pihak tidak melakukan pilihan hukum.

Tujuan utama yang tampak mendominasi doktrin-doktrin di Amerika Serikat adalah maintaining high
degree of predictability as to the protection of justified party interests and expectations.

Pendekatan yang berkembang di Amerika Serikat berjalan seiring dengan perkembangan teori-teori HPI
modern dan dapat dibedakan ke dalam kelompok:

a. Traditional approach

Traditional approach yang pada dasarnya menggunakan satu titik taut utama (single connecting factor)
untuk menentukan hukum yang berlaku terhadap semua persoalan yang timbul dari sebuah kontrak.
Dalam perkembangannya, asas lex loci contractus dan lex loci solutionis ternyata memperoleh banyak
kritik karena kelemahan-kelemahannya jika diterapkan pada kontrak-kontrak bisnis modern. Dalam
praktik penggunaan asas-asas itu sering kali mengalami penyimpangan-penyimpangan.

b. Modern approach

141
Modern approach yang lebih mengutamakan perlindungan terhadap harapan-harapan yang sah dari
pihak-pihak dalam perjanjian. Karena itu, kecenderungan dari aliran-aliran modern adalah ke arah
penerapan hukum yang akan mengesahkan kontrak (validating law, lex validatis, atau favor negotii).
Aliran modern menganggap perlu untuk melihat jenis-jenis khusus dari kontrak yang sedang dihadapi
dalam perkara, misalnya, kontrak-kontrak dengan unsur-unsur hukum keluarga, hukum waris, atau
kontrak-kontrak yang menyangkut hak dan kedudukan atas tanah, dan sebagainya.

Jadi, penentuan "the proper law" menurut pendekatan modern akan cenderung mementingkan:

• Lex validatis.

• Penyelesaian atas masalah-masalah khusus yang hendak diatur di dalam suatu kontrak tertentu
(subject matter of the contract).

6. Die Charakteristische Leistung Theorie

Teori HPI modern yang dewasa ini semakin banyak digunakan adalah teori yang dipelopori oleh Rabel
dan A. Schnitzer, yang dikenal dengan sebutan "die charakteristische leistung theorie" atau "the most
characteristic connection theory".

Menurut teori ini, sistem hukum yang seyogianya menjadi "the proper law of contract" adalah sistem
hukum dari pihak yang dianggap memberikan prestasi yang khas dalam suatu jenis/bentuk kontrak
tertentu. Teori ini berkembang di Eropa Kontinental (khususnya di Swiss) sebagai reaksi terhadap teori
yang hanya mengandalkan akumulasi titik-titik taut untuk "melokalisasi" suatu kontrak pada suatu
tempat tertentu. Dewasa ini teori ini pun diterapkan di dalam Konvensi Roma Tahun 1980 tentang Law
Applicable to contractual Obligations yang berlaku di antara negara-negara anggota masyarakat Eropa.
Article 4 ayat (1) dan terutama ayat (2) Konvensi Roma ini menetapkan, dalam hal para pihak tidak
membuat pilihan hukum secara tegas untuk berlaku atas kontrak mereka, kontrak akan diatur
berdasarkan hukum dari negara yang memiliki kaitan paling nyata terhadap kontrak [ayat (1)-"... with
which it is most closely connected']. Suatu kontrak diasumsikan memiliki kaitan yang paling nyata
dengan negara yang pada saat kontrak ditutup merupakan tempat tinggal sehari-hari atau pusat
administrasi (untuk badan hukum/korporasi) dari pihak yang dianggap memiliki prestasi yang paling
khas di dalam kontrak yang bersangkutan (ayat (2)-"... where the party who is to effect the performance
which is characteristic of the contract has, at the time of the conclusion of the contract, has his habitual
residence, or ... its central administration'].

Menurut teori ini, dalam menghadapi suatu hubungan hukum, sebaiknya di tentukan dulu titik-titik taut
yang secara fungsional menunjukkan adanya kaitan antara kontrak dan hubungan sosial yang hendak
diatur oleh suatu tata hukum tertentu. Dengan perkataan lain, berdasarkan pendekatan ini, hukum yang
berlaku atas sebuah kontrak adalah hukum dari negara tempat berbisnis (place of business) pihak yang
harus memberikan prestasinya yang khas, dan apabila kontrak tidak dibuat dalam rangka pelaksanaan
bisnis, hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat kediaman sehari-hari (habitual residence) pihak
tersebut."

142
Dengan kata lain, orang harus berusaha menemukan kaidah-kaidah hukum yang sejalan dengan hakikat
dari suatu hubungan hukum dan hakikat atau inti dari suatu hubungan hukum terletak pada faktor-
faktor yang menyebabkan hubungan hukum itu menjadi khas (karakteristik) sifatnya. Karena suatu
hubungan hukum (kontrak) secara fungsional termasuk ke dalam lingkungan hidup dari pihak yang
memberikan prestasi yang paling khas sifatnya, maka hukum dari pihak itulah yang seyogianya dianggap
sebagai "the proper law".

Teori ini, khususnya dalam usaha menetapkan apa yang menjadi "the proper law of contract" dianggap
paling baik karena ia tidak secara apriori menganggap salah satu atau beberapa titik pertautan sebagai
determinan yang pasti untuk menentukan "the proper law". Teori ini menganjurkan agar semua unsur di
dalam kontrak diperhatikan dan diseleksi dalam rangka menentukan unsur mana yang memberikan
kekhasan (karakteristik) pada kontrak yang bersangkutan. Namun, ada pandangan yang mengkritik teori
ini karena pada akhirnya teori yang dimaksudkan untuk menyediakan pendekatan yang objektif dalam
penentuan hukum yang berlaku, ternyata pada akhirnya akan digantungkan pada subjektivitas hakim,
khususnya dalam menghadapi jenis-jenis kontrak yang baru atau yang pihak-pihaknya memiliki prestasi-
prestasi yang bertimbal balik dan sama-sama bersifat esensial.

F. ASAS-ASAS HPI TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM (TORT ONRECHTMATIGE DAAD)

Sejalan dengan bunyi Pasal 1365 KUHPerdata, maka perbuatan melawan hukum (onrechtmatige dood)
di sini hendak diartikan sebagai tindakan yang karena sifatnya yang melawan hukum menimbulkan
kerugian pada orang lain dan karena itu menerbitkan hak pada orang lain itu untuk menuntut ganti rugi
atas kerugian yang dideritanya".

Persoalan perbuatan melawan hukum ini menjadi masalah HPI apabila di dalamnya terkandung unsur-
unsur asing, Pertautan antara suatu perbuatan (melanggar) hukum dan suatu tempat asing dapat terjadi
karena pelbagai titik-etik pertautan (connecting factors), misalnya:

• Pelaku perbuatan berdomisili, berkewarganegaraan, berkediaman sehari-hari di suatu negara asing.

• Tempat dilakukannya perbuatan melawan hukum di dalam wilayah suatu negara asing yang menjadi
tempat domisili, kewarganegaraan, tempat kediaman sehari-hari dari para pihak.

• Tempat akibat-akibat (kerugian) dari perbuatan timbul di suatu wilayah negara asing.

• Tempat pihak yang dirugikan berdomisili atau berkewarganegaraan asing.

Masalah-masalah HPI yang dapat timbul dari perkara semacam itu, antara lain:

• Berdasarkan sistem hukum mana penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan
hukumn harus ditentukan.

• Berdasarkan sistem hukum mana penetapan ganti rugi harus ditentukan.

• Apa titik taut sekunder yang harus digunakan untuk menetapkan hukum yang harus diberlakukan.
143
Asas-asas dan doktrin utama yang berkembang di dalam doktrin HPI untuk menjawab masalah-masalah
itu, antara lain:

1. Bahwa penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai perbuatan lawan hukum (atau tidak) harus
dilakukan berdasarkan hukum dan tempat perbuatan itu dilakukan (lex loci delicti comissi place of
acting), termasuk penetapan tentang perikatan-perikatan yang terbit dari perbuatan itu.

2. Sama dengan butir 1 di atas, hanya perikatan-perikatan yang timbul dari perbuatan itu (penetapan
ganti rugi, dan sebagainya) harus diatur berdasarkan hukum dari tempat timbulnya akibat dari
perbuatan itu (place where the tortious act produces its intended effect).

3. Bahwa penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum harus ditentukan
oleh hukum forum (lex fori), termasuk penetapan hak dan tanggung jawab dari para pihak yang terlibat.

4. Bahwa penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum serta hak dan
tanggung jawab yang terbit dari para pihak, harus ditentukan berdasarkan sistem hukum yang memiliki
kaitan yang paling signifikan dengan rangkaian tindakan dan situasi perkara yang sedang dihadapi.

Doktrin ini dikenal dengan sebutan the proper law of tort (Inggris) atau the most significant relationship
theory (Amerika Serikat).

5. Bahwa hukum yang berlaku untuk menyelesaikan perkara harus ditetapkan setelah memerhatikan
kebijakan-kebijakan umum (potletes) dari negara-negara yang hukumnya terlibat dalam perkara dan
menganalisis kepentingan-kepentingan (Interests) dari negara-negara itu untuk memberlakukan kaidah
hukum internnya pada perkara yang bersangkutan.

G. ASAS-ASAS HPI TENTANG HUKUM PEWARISAN

Masalah-masalah yuridik yang timbul dari persoalan dan proses pewarisan sering kali bersumber pada
dua masalah pokok, yaitu:

1. Adanya tata cara pewarisan yang diatur berdasarkan undang-undang dalam hal pewaris tidak
menyatakan dengan tegas keinginannya melalui testamen (abintestato atau intestate succesion), atau

2. Adanya keinginan tegas pewaris yang dinyatakan melalui testamen dan yang harus diwujudkan
terhadap harta peninggalannya setelah ia meninggal dunia (testamentary succesion).

Persoalan pewarisan semacam itu menjadi masalah HPI apabila di dalamnya terlibat sejumlah unsur
asing, yang pada akhirnya memunculkan persoalan tentang hukum mana/apa yang harus digunakan
untuk mengatur pewarisan yang bersangkutan.

Fakta-fakta dalam perkara pewarisan yang secara potensial yang umumnya dapat mempertautkan
perkara dengan suatu sistem hukum (lokal atau asing) adalah:

• Status dan kedudukan benda/harta peninggalan;

144
• Penentuan kapasitas hukum/kemampuan hukum si pewaris;

• Penentuan validitas substansial dan atau formal dari testamen;

• Ada tidaknya pembatasan-pembatasan terhadap pembuatan testamen, khususnya yang menyangkut


hak-hak ahli waris menurut undang-undang.

Beberapa asas HPI untuk menentukan hukum yang berlaku dalam persoalan pewarisan, misalnya:

• Umumnya diterima asas bahwa dalam hal benda yang menjadi objek pewarisan merupakan benda
tetap, proses pewarisan atas benda-benda semacam itu harus diatur berdasarkan hukurn dari tempat
benda terletak/berada berdasarkan asas lex rei sitae atau lex situs.

• Jika benda-benda yang menjadi objek pewarisan adalah benda-benda bergerak, proses pewarisan
benda-benda itu dapat ditundukkan pada kaidah-kaidah hukum waris dari tempat si pewaris menjadi
warga negara (lex patriae) atau berkediaman tetap (lex domicilii) pada saat ia meninggal dunia. Hal lain
yang dapat menimbulkan persoalan dalam pewarisan menyangkut kecakapan pewaris (legal capacity)
untuk membuat testamen. Secara khusus, problematik terfokus pada sistem hukum apa yang
seharusnya digunakan untuk menentukan kecakapan pewaris tersebut. Ada beberapa asas yang
mungkin digunakan untuk menjawab persoalan ini, yang menunjuk ke arah:

1. Hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga negara pada saat pembuatan testamen.

2. Hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga negara pada saat ia meninggal dunia.

Penulis berpendapat bahwa pemberlakuan hukum dari domisili (atau domicile) atau kewarganegaraan
pewaris pada saat meninggalnya (butir 2) secara teoretis kurang memadai untuk diterima sebagai "the
proper law", dan sewajarnya digunakan asas sesuai butir 1 karena kecakapan hukum seseorang untuk
membuat testamen pada dasarnya merupakan persoalan kewenangan personal, dan masalah
kewenangan personal sebaliknya diatur oleh hukum personal yang berlaku bagi seseorang pada saat
dilakukannya suatu perbuatan hukum.

Mengenai persyaratan esensial lainnya untuk menentukan validitas suatu testamen, umumnya diterima
pandangan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat pewaris menjadi warga negara atau
berdomisili pada saat testamen dibuat walaupun ada pandangan yang mendukung pemberlakuan
hukum dari tempat pembuatan testamen berdasarkan asas Iex loci actus.

Persyaratan formal sahnya suatu testamen (essential validity) biasanya ditentukan berdasarkan hukum
kewarganegaraan atau domisili pewaris pada saat pembuatan testamen, atau hukum dari tempat
pembuatan testamen itu

BAB XI

EKSISTENSI DAN PROSPEK HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DI MASA DEPAN

145
A. PENDAHULUAN

Bab awal dari buku ini memulai pembahasan tentang HPI dengan membuka wawasan para pembaca
tentang beberapa fakta, yaitu bahwa HPI adalah bagian dari hukum nasional, ia bukan bagian dari
hukum internasional, dan bahwa HPI lebih sesuai untuk dipahami sebagai bagian dari hukum
perselisihan (conflict of laws) yang menyangkut perkara-perkara yang benar-benar bersifat
internasional. Sebagai bagian dari hukum nasional suatu negara maka sistem dan aturan-aturan HPI
setiap negara kemungkinan memiliki cirinya sendiri dan berbeda dari satu negara ke negara yang lain.

Secara historis, tampak dari uraian-uraian sebelumnya, HPI pada awalnya berkembang sebagai bidang
hukum yang sangat terpusat pada hukum dari tempat perkara diajukan (lex fori). Upaya mencari
jawaban terhadap masalah-masalah pokok HPI bertitik tolak dari kewenangan forum dan kedaulatan
hukum negara forum (unilateralistik). Dengan munculnya teori HPI universal dari Von Savigny,
paradigma HPI bergeser menjadi sebuah sistem multilateralistik yang bertitik tolak dari kesederajatan
semua sistem hukum di dunia dan karena itu menempatkan forum sebagai disinterested forum yang
berusaha menjawab persoalan-persoalan pokok HPI sejauh mungkin secara objektif, tetapi dengan
menggunakan aturan-aturan HPI yang tidak fleksibel dan bersifat tetap. Kritik terhadap pendekatan yang
terakhir ini mengembalikan pendekatan HPI ke arah unilateralisme dan memajukan pertimbangan-
pertimbangan kepentingan negara (governmental interests) sebagai dasar utama dalam menjawab
masalah-masalah pokok HPI. Akan tetapi, kompleksitas dari metode-metode governmental analysis ini
mengakibatkan persoalan-persoalan praktikabilitas dari pemanfaatan cara berpikir ini dalam
penyelesaian perkara sehari-hari. Akibatnya, orang berpaling kembali ke arah pola-pola pendekatan
yang lebih bersifat terbuka dan objektif (open ended approaches) yang menawarkan fleksibilitas lebih
besar daripada pendekatan-pendekatan yang mendahuluinya. Penggunaan "closest connection", "the
most significant relationship", "the most characteristie connection' atau choice influencing
considerations, dan sebagainya menunjukkan adanya kebutuhan bagi pengadilan untuk secara lebih
mudah dan fleksibel menjawab persoalan-persoalan pokok HPI itu. Dengan demikian, kecenderungan
menjadi bersifat multilateralistik dan terbuka (open-ended) kembali mewarnai perkembangan bidang
hukum ini, tetapi dengan diwarnai oleh upaya untuk juga memerhatikan pelbagai keunggulan
pendekatan-pendekatan sebelumnya. Kritik terhadap perkembangan terakhir ini menganggap bahwa
saat ini teori HPI sedang berkembang menjadi suatu approach atau metode daripada sebuah teori atau
doktrin dan bahkan menjadi kombinasi dari sekumpulan metode pendekatan (eclectisism). Bagaimana
prospek dari tren yang berlangsung di dalam perkembangan HPI ini apabila dikaji dari sudut
perkembangan kebutuhan masyarakat akan sebuah cabang ilmu hukum yang dikembangkan untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur asing ini? Sebagai bab penutup dari
buku ini, maka paragraf-paragraf berikut akan membawa pembaca untuk melihat prospek dari HPI di
masa depan apabila dikaji dari sudut perkembangan kebutuhan masyarakat nanti.

B. HPI PADA DASARNYA BERSIFAT NASIONAL TERITORIALISTIK

Terlepas dari perbedaan corak dan penekanan dari teori-teori dan atau pendekatan-pendekatan yang
disinggung di atas, benang merah yang sama dari teori-teori tersebut tampak pada kenyataan bahwa
146
teori-teori tersebut menunjuk ke arah pemberlakuan hukum atau aturan hukum nasional tertentu dari
sebuah negara sebagai hukum yang berlaku. Persoalan-persoalan HPI sejauh ini selalu diarahkan pada
pemberlakuan sistem hukum domestik atau nasional tertentu dan karena itu dapat dikatakan bersifat
sangat nasional teritorialistik. Sementara itu, gejala perkembangan kualitas pergaulan hidup manusia
dewasa ini menunjukkan arah yang semakin world society. Jika kita kaji lebih jauh dari upaya HPI dalam
menyelesaikan masalah-masalah pokoknya, akan tampak bahwa:

1. Dalam menjawab persoalan-persoalan yang menyangkut yurisdiksi dan kompetensi pengadilan


sebuah negara untuk mengadili perkara HPI, maka pertanyaan yang selalu dicari jawabannya adalah
apakah forum domestik/nasional negara tertentu dapat mengklaim yurisdiksi atas perkara yang diajukan
kepadanya dan yang fakta-faktanya mengandung pertautan dengan wilayah atau yurisdiksi teritorial
negara nasional lain.

2. Dalam menjawab persoalan-persoalan yang menyangkut pemilihan ke arah hukum/aturan hukum


yang harus diberlakukan dalam sebuah perkara (determining the applicable law), teori-teori HPI
umumnya dikembangkan dengan kerangka berpikir untuk mencari dan menentukan hukum/aturan
hukum nasional suatu negara mana yang harus diberlakukan.

3. Dalam menjawab persoalan-persoalan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan hukum atau
aturan asing (recognition and enforcement of foreign judgments or foreign laws) upaya selalu diarahkan
pada persoalan apakah hukum/putusan hukum nasional negara forum atau hukum/putusan hukum
nasional negara asing yang harus ditegakkan dalam perkara-perkara HPI tertentu.

Tidaklah heran apabila sebagai bagian dari hukum nasional suatu negara, sistem dan aturan-aturan HPI
nasional suatu negara akan berkembang sesuai dengan politik hukum dan kebutuhan/kepentingan dari
negara-negara yang bersangkutan. Karena itu pula, tidaklah mengherankan apabila salah satu persoalan
besar yang melekat pada HPI adalah kenyataan adanya pelbagai sistem HPI nasional teritorialistik yang
berkoeksistensi di dunia ini dan yang justru dapat menjadi penghambat kelancaran pergaulan hidup
manusia yang semakin bersifat. Teori-teori yang bersifat terbuka (open ended theories) yang dipelopori
oleh Von Savigny dan kemudian dikembangkan di dalam teori-teori turunannya, sebenarnya sudah
memulai upaya untuk mengharmonisasi HPI secara universal. Tujuan yang hendak dicapai adalah
keharmonisan dalam pola pemutusan perkara-perkara HPI (decisional harmony). Prof. Reimann melihat
hal ini sebagai gejala "harmonisasi diam-diam (queit harmonization) karena teori-teori yang ada dan
berkembang di pelbagai belahan dunia tampaknya bermula dari divergensi dan menuju ke arah
konvergensi dan proses ini tampaknya menurut Reimann sekurang-kurangnya dalam bidang hukum
kontrak) bermuara pada prinsip "the closest connection".

Kecenderungan di atas dari satu segi memang menggembirakan karena perbedaan "mazhab" HPI antara
Amerika Serikat (yang sebenarnya berkembang dari kebutuhan untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan antarnegara bagian) dan perkembangan HPI di dalam sistem hukum Eropa (dan juga Amerika
Latin) yang semula dianggap sebagai "perpecahan Atlantik" (the Atlantic divide) ini lambat laun menjadi
semakin hilang dan dunia sedang menuju pada suatu pola pendekatan HPI yang kurang lebih harmonis.

147
Sementara itu, pendekatan-pendekatan HPI yang berkembang di kawasan Asia dan Afrika masih banyak
dipengaruhi oleh pola pendekatan HPI tradisional dan keinginan untuk membangun pendekatan-
pendekatan baru hanya terjadi pada tataran akademik sehingga perkembangan ini mungkin dapat
dilihat pula sebagai momentum bagi negara-negara ini untuk membangun sistem HPI nasionalnya
(termasuk Indonesia).

Namun, persoalan masih tetap ada jika ditinjau dari sifat dasar HPI yang selalu berfungsi sebagai sistem
penunjukan (aanwijzingssysteem) ke arah hukum nasional atau aturan-aturan hukum intern dari suatu
sistem hukum nasional negara tertentu. Singkatnya, di tengah-tengah perkembangan dunia yang
semakin bersifat "borderless" terutama karena perkembangan teknologi dan telekomunikasi, maka
perbedaan-perbedaan yang terdapat di masing-masing sistem hukum intern nasional justru akan
menjadi penghambat interaksi antarmanusia secara internasional atau transnasional yang sedang atau
akan berlangsung. Artinya, HPI dalam fungsi tradisionalnya itu ("menemukan sistem/aturan hukum
nasional") seakan-akan sedang mengalami masa surut yang luar biasa besarnya karena orang semakin
menyadari bahwa perbedaan sistem hukum intern dari negara-negara di dunia justru menjadi salah satu
penghambat dalam pergaulan internasional. Sementara itu, dengan memerhatikan "sifatnya" yang
tradisional Itu, HPI tampaknya perlu menjalani proses "denasionalisasi" atau "internasionalisasi dan
dilepaskan keterkaitannya dari sifatnya yang "nasional teritorialistik dan hal ini tampaknya hanya dapat
diwujudkan melalui proses harmonisasi hukum secara internasional. Akan tetapi, yang menjadi
persoalan dewasa ini adalah ke arah mana harmonisasi di bidang hukum itu harus diwujudkan?
Pertanyaan ini dapat dielaborasi lebih lanjut ke dalam sekurang-kurangnya tiga kemungkinan, yaitu:

1. Harmonisasi asas-asas HPI secara internasional, tetapi dengan tetap mempertahankan cirinya sebagai
asas-asas hukum untuk menentukan sistem hukum yang harus berlaku dalam perkara-perkara yang
mengandung unsur asing; atau

2. Harmonisasi asas-asas hukum substantif secara internasional di pelbagai bidang/sektor kehidupan


manusia dengan tujuan mewujudkan sebuah global ius commune sehingga fungsi tradisional HPI akan
semakin sirna; atau

3. Melakukan perubahan mendasar pada paradigma HPI yang ada dan membangun paradigma "private
International Law" sebagai sebuah sistem hukum yang berdiri sendiri (an independent legal system)
yang sejajar dengan sistem-sistem hukum yang ada (hukum nasional dan hukum internasional publik).

C. HARMONISASI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Kenyataan menunjukkan adanya pergerakan ke arah bertemunya pola-pola pendekatan "jurisdiction


selecting theories" dan "rule selecting theories", dengan tidak lagi terlalu memasalahkan perbedaan
fungsi dan tujuan penyelesaian persoalan HPI untuk mencapai "conflict justice" atau "substantive justice
dapat berfungsi untuk mendekati setiap persoalan secara lebih terbuka (open-ended) dan objektif
(mempertimbangkan pelbagai faktor dalam perkara yang menciptakan pertautan yang khas pula dengan
sebuah tempat/negara). HPI akan bertransformasi menjadi sebuah metode pendekatan (approach) dan
bukan kumpulan dari pelbagai teori atau doktrin. Dengan pola seperti ini maka proses harmonisasi HPI
148
secara internasional (atau regional, atau regional kemudian internasional) dapatlah diwujudkan.
Konvensi-konvensi hukum internasional di bidang HPI (choice of law conventions) yang disponsori oleh
badan-badan internasional, seperti The Hague conference on Private International Law, UNCITRAL, atau
UNIDROIT sudah banyak berhasil dan masih terus berupaya menciptakan harmonisasi asas-asas HPI di
pelbagai aspek kehidupan manusia.

Yang masih menjadi persoalan dengan alternatif ini adalah apakah pergeseran fungsi HPI seperti ini
sudah dapat memenuhi kebutuhan perkembangan interaksi transnasional manusia yang semakin
menuntut kepastian dan prediktabilitas tentang aturan hukum apa yang akan digunakan untuk
menyelesaikan transaksi-transaksi dan perkara-perkara konkret yang dihadapi sehari-hari. Selama HPI
masih diberi fungsi sebagai sistem yang "terikat secara nasional" (territorially bound), maka pada
akhirnya ia tetap akan melakukan penunjukan ke arah sistem hukum nasional yang akan digunakan
untuk mengatur transaksi-transaksi semacam itu. Penelitian lebih lanjut mengenai prospek
pengembangan HPI melalui alternatif ini perlu dilakukan. Terlepas dari itu, penulis berpendapat bahwa
fungsi tradisional HPI ini akan tetap dibutuhkan dan harmonisasi internasional (atau regional) melalui
pola ini tetap perlu dijalani, tetapi khusus untuk bidang-bidang hukum yang tidak "bebas nilai", seperti
bidang hukum perorangan, hukum perkawinan, hukum keluarga, dan hukum waris, karena bidang-
bidang ini sangatlah dipengaruhi oleh tata nilai sosio-kultural setempat dan menjadi tugas HPI untuk
dapat senantiasa menjarnin penegakan nilai-nilai semacam itu di dalam pergaulan internasional
manusia. Sedangkan untuk bidang-bidang yang bebas nilai, seperti bidang-bidang hukum perdagangan,
hukum perikatan (termasuk perbuatan melawan hukum) dan perjanjian, dan mungkin juga hukum
benda, fungsi tradisional HPI Justru dapat menimbulkan persoalan-persoalan baru karena perbedaan
substansi dari aturan-aturan hukum lokal/kaidah-kaidah hukum intern menyebabkan keengganan pihak-
pihak dalam transaksi hukum untuk tunduk pada hukum asing yang tidak dikenalnya. Ketidakpastian ini
menjadi semakin besar jika penetapan hukum apa yang akan diberlakukan oleh pengadilan ditentukan
melalui pendekatan HPI forum tempat perkara diajukan, yang mungkin akan berbeda seandainya
perkara diajukan di suatu forum negara lain. Prinsip dalam HPI yang berasumsi bahwa semua sistem
hukum di dunia adalah sederajat dan forum melalui kaidah-kaidah HPI-nya seharusnya dapat
menentukan hukum apa yang harus berlaku (lex forl atau hukum asing), dalam praktiknya masih
cenderung bersifat "forum oriented", dalam arti bahwa pengadilan yang mengadili perkara-perkara HPI
masih cenderung memberlakukan lex fori untuk memutus perkara, apa pun alasannya. Jadi, keinginan
salah satu pihak dalam sebuah transaksi hukum untuk tunduk pada aturan hukum nasional tertentu,
dapat dipenuhi melalui forum shopping. Melalui pendekatan HPI (tradisional ataupun modern, dengan
pendekatan unilateralistik atau multilateralistik) tetap dianggap belum memberikan hasil yang
memuaskan bagi pihak-pihak yang beperkara, khususnya dalam transaksi-transaksi perdagangan
internasional. Menurut Prof. Juenger:

"Obviously, methodological uncertainties of this kind hardly serves the needs of international commerce
between enterprises that treasure certainty and predictability in legal relationships."

149
Untuk menajamkan persoalan ini, Prof. Juenger kemudian mensítir dan merangkaikan pandangan-
pandangan dari Prof. Rene David (The International Unification of Private Law, 1969) dan Quint N. Alfons
(Teor a del Derecho Internacional Privado, 1955) sebagai berikut:

Prof. Rene David berpandangan bahwa:

".. the use of domestic tools to solve questions that are essentially international Is to square a circle."

Sementara Prof. Alfons mencoba menjawab pertanyaan "apakah sebuah hukum perdata nasional dapat
secara adekuat mengatur hubungan hukum yang bersifat ekstranasional?" Dengan jawaban tegas:
"Tidak!" Karena aturan hukum yang diberlakukan oleh sebuah negara didesain untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan masyarakatnya dan karena itu tidak dapat diberlakukan pada hubungan-
hubungan transnasional yang tuntutan-tuntutannya berbeda dari tuntutan-tuntutan hubungan yang
sepenuhnya bersifat nasional. Jadi, orang, khususnya dalam transaksi-transaksi di bidang perdagangan
internasional lebih membutuhkan aturan-aturan hukum substantif yang memang dibuat untuk
transaksi-transaksi internasional/transnasional. Artinya juga, upaya-upaya untuk harmonisasi atau
unifikasi kaidah-kaidah HPI (baik secara regional maupun secara internasional) tampaknya belum dapat
memberikan jalan keluar yang memadai jika pada akhirnya aturan hukum atau sistem hukum nasional
tertentu yang diberlakukan dan yang mungkin hanya dapat diterima dan akan memuaskan salah satu
pihak saja dalam perkara-perkara nyata. Ketidakpuasan inilah yang mendorong orang untuk melihat
kemungkinan baru yang lebih memberikan kepastian hukum. Orang-Orang melihat kemungkinan
dikembangkannya sekumpulan aturan-aturan hukum substantif yang berdiri sendiri (independent) dan
otonom yang dikembangkan (atau tumbuh) karena bertemunya kepentingan-kepentingan para pihak
yang benar-benar bersifat transnasional/internasional (transnational law). Yang masih menjadi
pertanyaan adalah apakah pola berpikir HPI yang kita kenal selama ini memungkinkan penunjukan dan
atau pemilihan ke arah kaidah-kaidah transnational law itu tanpa mengaitkannya dengan suatu sistem
hukum nasional tertentu (floating arbitration).

D. HARMONISASI HUKUM DAN LEX MERCATORIA BARU-AWAL PERGESERAN FUNGSI HPI?

Ketidakpuasan terhadap HPI sebagai bidang hukum yang seharusnya menentukan hukum apa yang
berlaku dalam transaksi-transaksi perdagangan.

internasional di atas, mendorong orang untuk melihat ke arah aturan-aturan hukum substantif (jadi
bukan aturan HPI) yang memang dibuat untuk menyelesaikan transaksi-transaksi yang bersifat
transnasional. Kaidah-kaidah semacam ini semula tumbuh sebagai hukum kebiasaan dalam perdagangan
internasional. Namun, lambat laun memperoleh pengakuan sebagai sekumpulan aturan hukum di
bidang perdagangan yang khusus dibuat untuk aktivitas perdagangan yang bersifat
internasional/transnasional. Aturan-aturan hukum semacam ini sebenarnya pernah subur berkembang
pada abad ke-17 di Eropa dan dikenal dengan sebutan lex mercatoria dan menjadi sumber kaidah
hukum utama para pedagang di Eropa dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan di antara mereka.
Baru ketika semangat dan ajaran nasionalisme tumbuh subur di Eropa, kaidah-kaidah tex mercatoria

150
seakan-akan tenggelam karena kaidah-kaidahnya diresap ke dalam sistem-sistem hukum negara-negara
nasional (Eropa di abad ke-18).

Dalam praktik perdagangan dan bisnis modern, lambat laun tumbuh aturan-aturan main dalam bidang
perdagangan internasional yang mengingatkan kita pada pertumbuhan lex mercatoria di Eropa di masa
lampau. Demi alasan praktis dan untuk menghindar dari penyelesaian perkara-perkara di pengadilan
berdasarkan aturan-aturan hukum nasional dari salah satu pihak yang tidak dikenal oleh pihak yang lain,
maka dalam transaksi-transaksi perdagangan dan bisnis internasional kemudian diciptakan dan tumbuh
sekumpulan kaidah dan asas kebiasaan dalam perdagangan internasional (international trade usages)
yang menjadi semacam "aturan main" para pedagang internasional dan lambat laun diterima sebagai
hukum kebiasaan.

Asas-asas dan kaidah-kaidah yang tidak berafiliasi sama sekali pada suatu sistem hukum nasional negara
tertentu, lambat laun dianggap sebagai suatu sistem hukum (tidak tertulis) yang independen dan berdiri
sendiri. Perkembangan inilah yang mendorong kecenderungan di kalangan para pelaku bisnis
internasional untuk menyelesaikan perkara-perkara di antara mereka melalui arbitrase perdagangan
internasional (international commercial arbitration) dan membentuk forum arbitrase sebagai amiable
compositeurs yang berwenang untuk menyelesaikan perkara atas dasar keadilan, itikad baik, dan tidak
harus mendasarkan putusannya pada suatu sistem hukum nasional tertentu. Karena itu, forum-forum
arbitrase perdagangan internasional adakalanya dianggap sebagai lembaga yang mepertahankan dan
menguatkan eksistensi "hukumnya para pedagang" (law of merchants) atau lex mercatoria itu.

Salah satu keberatan yang dianggap melekat pada penerimaan lex mercatoria sebagai sebuah sistem
hukum yang otonom dan independen terletak pada kenyataan bahwa asas-asas dan kaidah-kaidahnya
tidak dapat dijumpai di dalam sumber-sumber hukum yang pasti dan tradisional ada (konvensi-konvensi,
peraturan perundang-undangan, dan sebagainya) sehingga keberadaannya sulit dibuktikan. Namun,
perkembangan dalarn 10-15 tahun terakhir menunjukkan arah yang berbeda. Semakin banyak
kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan di dalam perdagangan internasional dihimpun dan ditegaskan
keberadaannya lewat:

1. Kompilasi-kompilasi tertulis asas-asas dan aturan-aturan dalam bidang atau sektor perdagangan
tertentu yang dilakukan oleh badan-badan

internasional (publik atau swasta). Contohnya, kompilasi Incoterms 2000 atau Uniform Customs and
Practice for Documentary Credit (UCPDC 1993), dan sebagainya.

2. Konvensi-konvensi hukum internasional (ataupun regional) yang mengatur sektor-sektor perdagangan


internasional tertentu secara substansial, yang dipelopori oleh The UNCITRAL Convention on Contracts
for International Sale of Goods (Vienna 1980) yang juga diikuti oleh pelbagai konvensi-konvensi lain (di
antaranya, Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods Amended 1980,
UNIDROIT Convention on International Financial Leasing-Ottawa 1988, Convention on International
Interests in Mobile Equipment-Cape Town 2001, dan The United Nations Convention on the Assignment

151
of Receivables in International Trade-New York 2001, dan UNIDROIT Convention on International
Factoring (Ottawa 1988).

3. Pembentukan model laws dan legal guides atau model/pedoman pembuatan peraturan perundang-
undangan nasional nasional, tetapi secara substantif mengandung asas-asas dan aturan-aturan yang
dianggap sesuai dengan tuntutan kebutuhan perdagangan internasional. Misalnya, The UNCITRAL Legal
Guide on Drawing up International Contracts for the Construction of Industrial Works (1988), UNIDROIT
Model Franchise Disclosure Law (2002), and UNCITRAL Model Legislative Provisions on Privately
Financed Infrastucture Projects (2004).

4. Pembuatan law restatements atau kodifikasi tidak resmi dari asas-asas dan aturan-aturan yang hidup
dan berkembang dalam praktik perdagangan internasional, yang didesain sedemikian rupa sehingga
dapat mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada di antara sistem-sistem atau tradisi-tradisi hukum yang
ada di dunia. Contoh yang paling baik untuk menggambarkan pranata ini adalah UNIDROIT Principles of
international Commercial Contracts (2004) yang berisi sekumpulan asas dan aturan dalam kontrak bisnis
internasional, baik yang dikenal dalam praktik maupun yang dianggap terbaik untuk mengatasi
persoalan-persoalan perdagangan sehari-hari. Diterimanya prinsip-prinsip UNIDROIT ini di pelbagai
forum internasional dan nasional, arbitrase, atau pengadilan biasa menunjukkan adanya kesadaran baru
bahwa kaidah-kaidah hukum perdagangan internasional itu sebenarnya ada dan memiliki sifat yang
otonom dan independen. Di lingkungan masyarakat Eropa (ME) juga tengah dikembangkan Principles of
European Contract Law yang direncanakan akan menjadi hukum kontrak Eropa sebagai European ius
commune walaupun masih banyak pro-kontra mengenai hal ini. Perkembangan terakhir bahkan
menunjukkan bahwa pendekatan melalui law restatements ini juga merasuk ke bidang hukum acara
perdata internasional, dengan diintrodusirnya ALLI UNIDROIT Principles of Transnational Civil

Procedure.

5. Pendekatan lain yang digunakan untuk membentuk sumber hukum tertulis dan dan wujud penetapan
kembali asas-asas yang dianggap hidup dan berlaku dalam praktik perdagangan internasional adalah

tertulis dalam wujud penetapan kembali asas-asas yang dianggap hidup dan berlaku dalam praktik
perdagangan internasional adalah 18 melalui penyusunan daftar asas-asas seperti yang dilakukan oleh
CENTRAL" dengan menerbitkan daftar yang disebut The list of Lex Mercatoria Principles, yang tidak saja
mencakup asas-asas yang berlaku di bidang kontrak internasional, tetapi juga di semua bidang hukum
perdagangan, bahkan termasuk asas-asas HPI. Daftar asas ("kodifikasi") yang dibuat tertulis (atau dapat
diakses secara elektronik) ini merupakan daftar terbuka" yang senantiasa disempurnakan dan dilengkapi
dengan hal-hal baru yang berkembang dalam praktik perdagangan dan penyelesaian sengketa
internasional. Oleh karena itu, pola yang digunakan ini diperkenalkan dengan sebutan "creeping
codification" yang dipelopori oleh Prof. Klaus Peter Berger.

152
Perkembangan di atas menunjukkan bahwa dewasa ini, sekurang-kurangnya di bidang perdagangan
internasional, sedang tumbuh seperangkat asas dan aturan hukum yang memiliki ciri dan sifat seperti
layaknya sebuah sistem hukum nasional yang otonom dan independen. Bidang hukum baru inilah yang
dikenal dengan sebutan the new lex mercatoria atau transnational commercial law,

Pelbagai pertanyaan dalam kaitan dengan peran HPI dapat diajukan di tengah perkembangan di atas.
Bagaimana peran HPI sebagai bidang hukum yang secara tradisional selalu bersifat territorially bound
atau terikat pada yurisdiksi suatu sistem hukum nasional tertentu? Apakah pendekatan HPI masih
relevan untuk digunakan dalam perkara-perkara yang diajukan ke depan forum arbitrase perdagangan
internasional? Bagaimana dengan kewenangan yurisdiksional dari forum-forum arbitrase internasional
itu jika dihadapkan pada yurisdiksi pengadilan-pengadilan negara nasional? Apakah kesepakatan pihak-
pihak dalam transaksi bisnis internasional untuk menundukkan transaksi mereka pada kaidah-kaidah
transnational commercial law dapat dianggap sebagai tindakan pilihan hukum yang sah menurut cara
pandang HPI tradisional? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mungkin dijawab dengan mudah dan apalagi
dituntaskan di dalam buku ringkas ini. Penelitian lebih lanjut pasti akan dibutuhkan untuk melihat
prospek dari peranan HPI di masa depan, terutama di dalam masa perkembangan kehidupan manusia
yang semakin tidak dibatasi oleh batas-batas teritorial negara (borderless society). Demikian pula perlu
diteliti lebih lanjut apakah peran HPI dalam artinya yang tradisional hanya relevan untuk bidang-bidang
hukum dan untuk mengatur interaksi transnasional manusia di bidang-bidang hukum perorangan,
keluarga, kebendaan, dan waris yang banyak dipengaruhi oleh kaidah-kaidah lokal (hukum dan moral)
saja dan tidak di bidang perdagangan dan bisnis? Penulis bahkan berpendapat bahwa walaupun bidang-
bidang hukum yang mengatur sektor kehidupan keperdataan dan status personal dari subjek hukum
masih dapat diatur melalui penetapan asas-asas dan aturan-aturan HPI (sebagai bagian dari sistem
hukum nasional), harmonisasi kaidah-kaidah HPI secara internasional atau mungkin lebih baik regional-
melalui konvensi-konvensi internasional (atau regional) juga akan lebih menjamin kepastian hukum dan
uniformity of results secara internasional (atau setidaknya regional). Sementara untuk bidang-bidang
hukum yang bebas nilai" seperti bidang hukum perikatan (khususnya di bidang perdagangan dan bisnis
internasional) perkembangan sebaiknya diarahkan pada pembentukan perangkat-perangkat hukurn
substantif (substantive rules dan bukan choice-of-law rules), baik melalui konvensi-konvensi
internasional (atau regional) maupun melalui law restatements sehingga dunia internasional (atau
regional) memiliki seperangkat asas-asas dan aturan-aturan hukum yang secara sistematis akan
membentuk transnational commercial law sebagai sebuah sistem hukum yang independen dan otonom.

Pertanyaannya, bagaimana dengan peran HPI dalam perkembangan semacam itu? Menurut pandangan
kami, fungsi dan peran HPI hanya akan bergeser ke arah pembukaan kemungkinan untuk mengakui
keabsahan tindakan pilihan hukum (validity of choice of law by parties) dan atau pemberlakuan hukum
yang berlaku (determining the applicable law) ke arah transnational commercial law sebagai sebuah
sistem hukum yang sederajat dengan sistem hukum nasional dan/atau hukum internasional.
Sehubungan dengan itu, pemikiran pesimistik yang menganggap bahwa HPI adalah "bidang hukum yang
sedang menuju kematiannya" dapatlah diabaikan karena yang dibutuhkan HPI dewasa ini adalah
sekadar sebuah"face-lift" dengan lebih membuka diri pada pembinaan dan penerimaan terhadap asas-

153
asas yang berkembang secara global (internationally observed). Sementara fungsi-fungsi pokok HPI pada
dasarnya tidak berubah secara mendasar. Hal ini juga akan lebih terasa apabila orang berbicara di
bidang hukum personal, hukum keluarga, dan hukum waris yang umumnya lebih banyak dibebani nilai-
nilai lokal tentang keadilan dan/atau kepastian.

DAFTAR PUSTAKA

ALI/UNIDROIT, Pinciples of Transnational Civil Procedure, Cambridge University Press, 2006. American
Law Institute, Restatement of the Law Second-Conflict of laws. 2d, American Law Institute Publishers,
Minnesota, 1971, 1995.

Bayu Seto Hardjowahono, The UNIDROIT Principles and the Law Governing Commercial Contracts in
Southeast Asia, Uniform Law Review NS-Vol. VII 2002-4, UNIDROIT, Rome, 2002. The Unification of
Private International Law on International Commercial Contracts within the Regional Legal System of
ASEAN, Ulrik Huber Institute for Private International Law, Groningen, 2005.

Beale, Joseph E., A Treatise on the Conflict of Laws, New York, 1935.

154
Berger, Klaus Peter, The Creeping Codification of the Lex Mercatoria, Kluwer Law International, The
Hague, 1999.

Boele-Woelki, Katharina, Joustra, Carla, Steenhoff Gert, Dutch Private International law at the End of
the 20 Century: Pluralism of Methods, Utrecht, 1999.

Bonomi, Andrea, Mandatory Rules in Private International Law, di dalam Sarcevic, Peter dan Volken,
Paul (Eds.), Yearbook of Private International Law, Vol. 1, 1999.

Carbonneau, Thomas E., The Remaking of Arbitration: Design and Destiny, di dalam buku Lex Mercatoria
and Arbitration, Carbonneau, Thomas E. (Ed.), Juris Publishing Inc., 1998.

Cheshire, G.C. & North P.M., Private International Law, Butterworths, Edisi 11, 1987.

Private International Law, Edisi 12, Butterworths, London, 1992.

155

Anda mungkin juga menyukai