Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Mata Kuliah : Hukum Internasional


Kelas : III / E-1 Pagi
Dosen Pengampu : Mirsa Astuti, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 10

1. Aura Eka Rahayu 2106200236


2. Bunga Febiola 2106200253
3. Kirensi Sembiring 2106200266
4. Muryani 2106200249

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA UTARA
T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah yang telah melimpahkan taufik
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan judul
"Hukum Humaniter Internasional". Sholawat dan salam semoga tercurahkan
kepada junjungan kita yakni Nabi Muhammad saw, yang telah membawa ajaran
yang benar semoga kita diberisyafa'at beliau.
Kami sebagai penyusun makalah ini dengan berusaha semaksimal
mungkin agar penyajian makalah ini dapat bermanfaat mengenai pengetahuan
tentang Hukum Humaniter Internasional baik bagi penyusun sendiri maupun bagi
para pembaca.
Di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, segala
kritik dan saran yang bersifat perbaikan dari dosen pembimbing dan teman-teman
sekalian akan kami terima dengan senang hati. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dalam menjalankan kehidupan yang lebih baik, baik akhirat maupun
dunia fana.

Medan, 31 Oktober 2022

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................

A. Latar Belakang..................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................ 2

C. Tujuan Pembahasan ............................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................

A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Humaniter Internasional 3

B. Pengetian, Asas, Dasar dan Tujuan Hukum Humaniter......... 5

C. Orang yang Dilindungi Pada Saat Sengketa Bersenjata ........ 9

BAB III PENUTUP ....................................................................................

A. Kesimpulan.......................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kurun waktu sekitar 50 tahun semenjak diadopsinya Konvensi-
konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dalam jumlah
yang mencemaskan. Konflik - konflik bersenjata ini terjadi di hampir semua
benua. Dalam kurun waktu tersebut, keempat Konvensi Jenewa 1949 beserta
kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-
orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam
permusuhan (yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan
sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil). Meskipun demikian,
dalam kurun waktu yang sama juga telah terjadi banyak sekali pelanggaran
terhadap perjanjian-perjanjian internasional tersebut, sehingga timbul penderitaan
dan korban tewas yang mungkin dapat dihindari seandainya Hukum Humaniter
Internasional (HHI) dihormati dengan lebih baik.
Pandangan umum yang ada ialah bahwa pelanggaran-pelanggaran
terhadap HHI bukan disebabkan oleh kurang memadainya aturan-aturan yang
termaktub dalam hukum tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmauan
untuk menghormatinya, oleh kurang memadainya sarana yang tersedia untuk
menegakkannya, oleh ketidakpastian mengenai penerapan hukum tersebut dalam
situasi-situasi tertentu, dan oleh kurangnya pengetahuan para pemimpin politik,
komandan, kombatan, dan masyarakat umum tentang hukum tersebut. Konferensi
International tentang Perlindungan Korban Perang yang diselenggarakan di
Jenewa pada bulan Agustus-September 1993 membahas secara khusus cara-cara
untuk menanggulangi pelanggaran HHI tetapi tidak mengusulkan diadopsinya
sebuah perjanjian internasional baru. Akan tetapi, dalam Deklarasi Finalnya, yang
diadopsi secara mufakat, Konferensi tersebut menegaskan kembali "perlunya
mengefektifkan implementasi HHI" dan menyerukan kepada Pemerintah Swiss
untuk "mengadakan sebuah kelompok pakar antarpemerintah yang bersifat
terbuka dengan tugas untuk melakukan studi mengenai cara - cara praktis
meningkatkan penghormatan penuh dan kepatuhan terhadap HHI serta menyusun

1
laporan yang perlu dipresentasikan kepada Negara-negara dan kepada Konferensi
Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah berikutnya."1
Kelompok Pakar Antar pemerintah untuk Perlindungan Korban Perang
tersebut bertemu di Jenewa pada bulan Januari 1995 dan mengadopsi sejumlah
rekomendasi yang bertujuan meningkatkan penghormatan terhadap HHI, terutama
dengan cara mengambil langkah - langkah preventif yang bisa menjamin bahwa
HHI akan diketahui dengan lebih baik dan dilaksanakan dengan lebih efektif.
Rekomendasi II dari Kelompok Pakar Antar pemerintah tersebut ialah: bahwa
ICRC perlu diminta untuk menyusun sebuah laporan tentang aturan-
aturan HHI yang berasal dari Hukum Kebiasaan dan dapat berlaku (applicable)
dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional, dengan bantuan
pakar HHI dari berbagai kawasan geografis dan berbagai sistem hukum dan secara
berkonsultasi dengan pemerintah - pemerintah dan organisasi-organisasi
internasional, dan untuk mengedarkan laporan tersebut ke Negara-negara dan
lembaga-lembaga internasional yang kompeten. 2

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat pada makalah ini tentang Hukum
Humaniter Internasional yang meliputi :
1. Sejarah dan perkembangan hukum humaniter
2. Pengertian, asas, dasar dan tujuan hukum humaniter
3. Orang yang dilindungi pada saat sengketa bersenjata

C. Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui dan mencoba memahami lebih rinci tentang Hukum
Humaniter Internasional.

1
Konferensi Internasional Perlindungan Korban Perang, Jenewa, 30 Agustus - 1 September 1993, Deklarasi
Final, International Review of the Red Cross, No. 296, 1993, hal. 381
2
Pertemuan Kelompok Pakar Antarpemerintah untuk Perlindungan Korban Perang di Jenewa, 23-27 Januari
1995, Rekomendasi II, International Review of the Red Cross, No. 310, 1996, hal. 84

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Humaniter Internasional


1. Zaman Kuno
Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan
mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka
dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian
permusuhan maka pihak – pihak yang berperang biasanya bersepakat untuk
memperlakukan tawanan perang dengan baik 3. Sebelum perang dimulai, maka
pihak musuh akan diberi peringatan terlebih dahulu. Lalu untuk menghindari luka
yang berlebihan maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera
setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari.
Genjatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit di kedua
pihak ditarik dari medan pertempuran4. Juga, dalam berbagai peradaban besar
sealam tahun 3000 – 1500 SM upaya – upaya seperti itu berjalan terus. Hal ini
dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut :
1. Diantara bangsa – bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang
terorganisir.
2. Kebudayaan Mesir Kuno yang sebagaimana disebutkan dalam " Seven Works
of True Mercy " yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan
makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh, juga perintah untuk
merawat yang sakit dan menguburkan yang mati.
3. Dalam kebudayaan bangsa Hittite, perang dilakukan dengan cara – cara yang
sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan
integritas. Mereka menandatangi pernyataan perang dan traktat. Para penduduk
yang menyerah yang berasal dari kota, tidak diganggu. Namun hal ini merupakan
pengecualian terhadap kota – kota yang dirusak dan penduduknya
dibantai/dijadikan budak.

3
Frits Kalshoven, loc. cit.; lihat juga Jean Pictet, op. Cit., hlm. 6.
4
Jean Pictet, loc. cit.

3
4. Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan
undang – undang Manu5, para satria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang
menyerah; yang luka harus dipulangkan kerumah mereka setelah diobati. Semua
senjata dengan sasaran menusuk ke hati / senjata beracun dan panah api dilarang,
penyitaan hak milik musuh dan syarat – syarat bagi penahanan para tawanan
perang telah diatur dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.

2. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran –
ajaran dari agama kristen, islam dan prinsip kesatriaan. Ajaran agam kristen
misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep "perang yang adil" atau just
war. Ajaran islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al-Quran surah
Al- Baqarah : 190 – 191, surah Al – Anfal : 39, surah At- Taubah : 5, Al- Haj :
396, yang memamndang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan
kemugkaran. Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan
ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan
penggunaan senjata – senjata tertentu.

3. Zaman Modern
Kemajuan yang menentukan terjadi mulai abad ke-18 dan setelah
berakhirnya perang Napoleon, terutama pada tahn 1850 sampai pecahnya Perang
Dunia I. Praktek negara kemudian menjadi hukum dan kebiasaan dalam berperang
(jus in bello). Salah satu tonggak penting dalam perkembangan hukum humaniter
adalah didirikannya organisasi Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi
Jenewa tahun 1864. Pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat,
Presiden Lincoln meminta Lieber (seorang pakar hukum imigran Jerman) untuk
menyusun aturan berperang. Hasilnya adalah Instruction for Government of
Armies of the United States atau disebut Lieber Code yang dipublikasikan pada

5
Dikatakan oleh Viswanath dalam bukunya International Law in Ancient India, bahwa dalam hukum
internasional India Kuno terdapat ketentuan mengenai hak – hak tentara pendudukan, senjata terlarang dan
perlakuan tawanan perang yang mirip dengan ketentuan – ketentuan Peraturan – peraturan Den Haag
mengenai Peperangan di Darat 1907; lihat Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi – konvensi Palang Merah th.
1949, Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 10.
6
Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar – dasar hukum Internasional, IKIP
Malang, 1995, hlm. 16.

4
tahun 1863.7 Kode Lieber ini memuat aturan – aturan rinci pada semua tahapan
perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil,
perlakuan terhadap kelompok orang – orang tertentu seperti tawanan perang yang
luka, dsb.
Konvensi 1864, yaitu Konvensi bagi Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di
Medan Perang Darat, 1864 dipandang sebagai Konvensi yang mengawali
konvensi – konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan Perlindungan
Korban Perang. Berdasarkan konvensi ini, maka unit – unit dan personil
kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam
melaksanakan tugasnya. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah diatas
dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan 8. Tanda
Palang Merah ini merupakan lambang dari International Committee of the Red
Cross yang sebelumnya bernama International Committe for the Aid of the
Wounded , yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant
pada tahun 18639.

B. Pengertian, Asas, Dasar dan Tujuan Hukum Humaniter


1. Pengertian
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International
Humanitaroan Law Applicable in Armed Conflict berawal dari istilah huku perang
(laws of war), yang kemudia berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata
(laws of armed conflict) yang akhirnya pada saat ini bisa dikenal dengan istilah
hukum humaniter.
Dalam istilah lain, hukum humaniter internasional dikenal dengan istilah
hukum perang (law of war). Istilah hukum humaniter, baru lahir sekitar tahun
1970-an, ditandai dengan diadakannya Conference of Goverment Expert on the
Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Selanjutnya
pada tahun 1974 – 1977 diadakan Diplomatic of International Humanitarian Law
Applicable in Armed Conflict.

7
Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, 1994, hlm. 16.
8
Jean Pictet, op.cit., hlm. 29.
9
Frits Kalshoven, op.cit., hlm. 9.

5
Definis Hukum Humaniter menurut para ahli :
I. Menurut Jean Pictet :
"International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision,
whether written and cutomary, ensuring respect for individual and his well being"

II. Menurut Geza Herzegh :


" Part of the rules of public international law which serve as protection of
individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is
closely related to the be must be clearly distinguish from these its purpose and
sprit being different"

III. Menurut Kusmaatmadja :


"Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan – ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan engan hukum perang yang
mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara
melakukan perang itu sendiri:

Ruang lingkup humaniter dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu aliran


luas, aliran tengah dan aliran sempit. Jean Pictet menganut dalam arti luas, yaitu
hukum humaniter mencakup baik hukum Jenewa, hukum Den Haag dan HAM.
Geza Herzegh menganut aliran sempit dimana hukum humaniter hanya
menyangkut hukum Jenewa. Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah
yang menyatakan hukum humaniter terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den
Haag10.

Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut :11


 Jus ad bellum : hukum tentang perang, mengatur tentang dalam
hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan
bersenjata.
 Jus in bello : hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi
menjadi 2 yaitu :
10
Penjelasan lebih lengkap mengenai ruang lingkup ini lihat Haryomataram, op.cit., hlm. 15-25.
11
Haryomataram, Hukum Humaniter, C.V. Radjawali, Jakarta, 1994, hlm. 2-3.

6
a) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang itu sendiri
(conduct of war). Bagian ini biasa disebut The Hague Laws.
b) Hukum yang mengatur perlindungan orang yang menjadi
korban perang. Ini disebut The Geneva Laws.

Haryomataram membagi hukum humaniter berdasarkan pada tempat


dilaksanakan konferensi internasional yang melahirkan perjanjian internasional
dibidang hukum humaniter, yaitu :12
 Hukum Den Haag : mengatur mengenai pembatasan pemakaian
senjata serta alat yang boleh dipakai untuk berperang dan metode
berperang (The Hague Laws).
 Hukum Genewa : mengatur mengenai perlindungan terhadap
kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (The Geneva
Laws).

2. Asas
Dalam HHI, terdapat 3 (tiga) asas utama, yaitu: 13
1. Asas kepentingan militer (military necessity) : pihak yang bersengketa
dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi
tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
2. Asas perikemanusiaan (humanity) : pihak yang bersengketa diharuskan
untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk
menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan
atau penderitaan yang tidak perlu.
3. Asas kesatriaan (chivalry) : kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-
alat tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara yang bersifat
khianat dilarang.

12
Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1994,
hlm. 1.
13
Arlina Permanasari (et.al), Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC, 1999, hal. 11.

7
3. Dasar
Sedangkan, menurut Ambarwati terdapat 8 (delapan) prinsip dasar HHI, yaitu:14
1. Kemanusiaan, yakni non kombatan harus dijauhkan sebisa mungkin dari
arena pertempuran, dan korban luka harus diusahakan seminimal mungkin.
2. Kepentingan, yaitu yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam
pertempuran adalah objek militer.
3. Proporsional, yaitu setiap serangan dalam operasi militer harus didahului
dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tidak akan
menyebabkan korban dan kerusakan yang berlebihan.
4. Pembedaan, yakni dalam konflik bersenjata harus dibedakan kombatan
dan orang sipil.
5. Larangan menyebabkan penderitaan tidak seharusnya, yaitu prinsip
pembatasan. Artinya, prinsip ini berkaitan dengan metode dan alat perang.
Misalnya larangan menggunakan racun, peluru, senjata biologi, dan
lainnya.
6. Pemisahan Jus ad Bellum dan Jus in Bello.
7. Ketentuan minimal HHI, yakni Konvensi Jenewa 1949.
8. Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan HHI, artinya HHI
wajib dihormati pemerintah dan warga negara yang bersangkutan.

4. Tujuan
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari
penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang
jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus
dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.
Disini, yang terpenting adalah asas perikemanusiaan. 15

14
Ambarwati (et.al), Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2009, hal. 41-52.
15
Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the Waf of Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987, hlm. 2,
yang menyatakan bahwa : "The Law of War aims at limiting and alleviating as much as possible the
calamities of war. Therefore, the law of conciliates military needs and requirements of humanity".

8
C. Orang yang Dilindungi Pada Saat Sengketa Bersenjata
Dalam suatu sengketa bersenjata, orang – orang yang dilindungi meliputi
kombatan dan penduduk sispil. Kombantan yang telah berstatus "Hors de combat"
harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan16. Kombatan yang jatuh
ketangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang. Perlindungan dan
hak – hak sebagai seorang tawanan perang diatur didalam konvensi Jenewa III.
Sedangkan penduduk sipil berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur
dalam konvensi Jenewa IV dan protokol tambahan 1977.

1. Perlindungan terhadap Tawanan Perang


Hal ini terdapat dalam ketentuan pasal 4A Konvensi III 17. Pasal ini
menyatakan bahwa mereka yang berhak mendapatkan status sebagai tawanan
perang adalah :
a) Para anggota perang dari pihak yang bersengketa, anggota milisi atau
korps sukarela yang merupakan bagian dari angkatan perang itu.
b) Para anggota milisi lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang
diorganisasikan (organized resistance movement) yang tergolong pada
satu pihak yang bersengketa dan beroperasi di dalam atau diluar wilayah.
c) Para anggota angkatan perang reguler yang menyatakan kesetiaannya pada
suatu pemerintah / kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahanan.
d) Orang – orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya
menjadi anggota dari angkatan perang.
e) Awak kapal niaga termasuk narkoba, pandu laut dan taruna serta awak
pesawat terbang sipil dari pihak – pihak yang bersengketa yang tidak

16
Penghormatan merupakan unsur yang bersifat pasif, yaitu kewajiban untuk tidak melakukan tindakan –
tindakan yang membahayakan, tidak memperparah keadaan, dan tidak membunuh orang yang dilindungi.
'Perlindungan' bersifat aktif, berupa kewajiban untuk mencegah bahaya dan kerusakan. Perlakuan manusiawi
berkaitan dengan sikap mental yang akan mengatur semua segi dari orang – orang yang dilindungi.
Pengertian 'penghormatan' dan 'perlindungan saling melengkapi.; lihat Frits Kalshoven, Constraint on the
Waging of War, ICRC, Second Edition, 1987, hlm. 2-13.
17
Ketentuan mengenai siapa saja yang dapat diperlakukan sebagai tawanan perang ini dilengkapi kembali
dalam Protokol I, khususnya pasal 43 ( tentang angkatan bersenjata ) dan ketentuan lainnya mengenai tentara
bayaran dan mata – mata. Ketentuan baru dalam protokol juga menyatakan bahwa apabila seorang yang
ditangkap diragukan statusnya apakah ia kombatan ataukah penduduk sipil, maka ia akan tetap menikmati
status sebagai tawanan perang, sampai statusnya ditentukan oleh pengadilan yang berkompeten (pasal 45
Protokol I). Lebih lanjut lihat penjelasan pada bab tentang prinsip pembedaan dan ketentuan tentang mata –
mata dan tentara bayaran.

9
mendapat perlakuan yang lebih baik menurut ketentuan – ketentuan
apapun dalam hukum internasional.
f) Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang tatkala musuh mendekat,
atas kemauannya sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk
melawan pasukan – pasukan yang datang menyerbu.

Dapat dilihat bahwa 6 golongan tersebut, yang dapat terdiri dari kombatan dan
penduduk sipil, apabila jatuh ke tangan musuh, berhak mendapatkan perlakuan
sebagai tawanan perang. Mereka harus dilindungi dan dihormati dalam segala
keadaan.

2. Perlindungan terhadap Penduduk Sipil


Sebagaimana telah disebutkan di awal, perlindungan terhadap penduduk
sipil telah diatur dalam konvensi Jenewa IV. Menurut konvensi IV ini,
perlindungan tersebut meliputi perlindungan umum (general protection), diatur
dalam bagian II.
Sedangkan berdasarkan protokol tambahan, perlindungan tersebut diatur
dalam bagian IV tentang penduduk sipil. Bagian IV Protokol ini, antara lain
mengatur mengenai perlindungan umum (general protection against the effect of
hostilities), bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civil ian
population) serta perlakuan orang – orang yang berada dalam satu kekuasaan
pihak yang bersengketa (treatment of person in the power of a party to a conflict)
termasuk didalamnya adalah perlindungan terhadap para pengungsi, orang yang
tidak memiliki kewarganegaraan ( stateless ), anak anak, wanita dan wartawan.

 Perlindungan Umum
Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak
kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak
boleh dilakukan tindakan – tindakan sebagai mana yang disebutkan dalam pasal
27 – 34, yaitu :

10
 Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh
keterangan
 Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani
 Menjatuhkan hukuman kolektif
 Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan
 Melakukan pembalasan (reprisal)
 Menjadikan mereka sebagai sandera
 Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani /
permusuhan terhadap orang yang dilindungi.
Diantara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok orang
– orang sipil yang harus dilindungi, seperti :
1) Orang asing diwilayah pendudukan : berdasarkan pasal 35 Konvensi IV
mereka harus diberi ijin untuk meninggalkan negara yang perang. Jika
permohonan mereka ditolak, mereka berhak meminta agar penolakan
tersebut dipertimbangkan kembali. Mereka jug adapat dipindahkan ke
negara asal mereka kapan saja, dan apabila masih ada, mereka harus
dipulangkan pada saat terakhir setelah berakhirnya permusuhan. Mereka
dapat diserahkan melalui negara ketiga. Harus pula terdapat jaminan
bahwa mereka tida akan diajukan ke pengadilan karena keyakinan politik
atau agama yang mereka anut 18.
2) Orang yang tinggal di wilayah pendudukan : penguasa pendudukan
(occupying power) tidak boleh mengubah hukum yang berlaku diwilayah
tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di wilayah tersebut
adalah hukum dari negara yang diduduki. Orang – orang sipil di wilayah
ini harus dihormati hak – hak asasinya. Penguasa pendudukan juga harus
memperhatikan kesejahteraan anak serta menjamin kebutuhan makanan
dan kesehatan penduduk (pasal 50) dan bila penguasa pendudukan tidak
mampu melakukan hal tersebut maka mereka harus mengijinkan adanya
bantuan yang datang dari luar negri, sesuai pasal 59-61 dsb.

18
Hans-Peter Gasser, op. cit., hal. 42.

11
3) Interniran sipil : ketentuan tentang perlakuan orang yang diinter diatur
dalam Seksi IV, pasal 79-135 Konvensi Jenewa IV. Orang – orang sipil
yang diinternir :
- penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa
yang perlu diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan19.
- penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa
yang dengan sukarela menghendaki untuk diinternir atau karena
keadaannya menyebabkan ia diinternir 20.
- penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila
penguasa pendudukan menghendaki mereka perlu diinternir karena
alasan mendesak
- penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum yang
secara khusus bertujuan untuk merugikan penguasa pendudukan 21.

 Perlindungan Khusus
Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu
organisasi sosial yang melaksanakan tugas – tugas yang bersifat sosial untuk
membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata. Mereka
adalah penduduk sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah
Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya termasuk
anggota Pertahanan Sipil.
Pada saat melaksanakan tugas – tugas yang bersifat sosial (sipil), biasanya
mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi, bangunan –
bangunan khusus), maupun lambang – lambang khusus. Apabila sedang
melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati (respected) dan dilindungi
(protected).

19
Lihat pasal 41 ayat (1) dan pasal 42 ayat (2) jo. pasal 78.
20
Lihat pasal 42 ayat (2).
21
Lihat pasal 68 ayat (1).

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara : negara dengan
negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan
negara satu sama lain . Dalam hukum internasional terdapat perbedaan antara
hukum perdata internasional dengan hukum internasional publik. Hukum perdata
internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
perdata yang melintasi batas negara. Sedangkan hukum internasional publik ialah
keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara yang bukan bersifat perdata.
Tujuan hukum internasional adalah sama dengan tujuan hukum pada
umumnya yaitu menciptakan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat tempat
berlakunya hukum tersebut . Ketentuan hukum internasional haruslah dihormati
dan ditaati keberadannya. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh negara yang
melintasi batas-batas negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum internasional
termasuk dalam hal peperangan. Hukum humaniter merupakan salah satu cabang
dari hukum internasional publik. ‘keadaan bagaimana’ negara itu dibenarkan
untuk berperang dan Ius in Bello ialah hukum yang berlaku dalam perang
merupakan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perang, yang diatur dalam
sumber-sumber hukum humaniter. Tujuan utama hukum humaniter adalah
memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita atau
menjadi korban perang, baik mereka yang secara nyata atau aktif turut dalam
permusuhan , maupun mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Arlina Permanasari (et.al), Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC, 1999.

Gasser, Hans-Peter, International Humanitarian Law: An Introduction, Paul Haupt


Publisher, Berne-Stuttgart-Vienna, 1993.

Haryomataram, Hukum Humaniter, C.V. Radjawali, Jakarta, 1994.

Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University


Press, 1994.

Kalshoven, Frits, Constraint on the Waging of War, ICRC, 1991.

Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar – dasar
hukum Internasional, IKIP Malang, 1995.

Pictet, Jean, Development and Principles of International Humanitarian Law,


Martinus Nijhoff Publisher, 1985.

14

Anda mungkin juga menyukai