Anda di halaman 1dari 19

PERJANJIAN DAN KEBIASAAN INTERNASIONAL YANG MENGATUR

MENGENAI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Humaniter
Internasional

Dosen Pengampu: Dr. Danial, S.H., M.H.

Oleh:

Kelompok 2 Kelas 5 A

Ahmad Jayani (1111150143)

Fina Suthia Zahara (1111190151)

Sifa Aulia Febriyanti (1111190101)

Safira Anggraini (1111190211)

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah berjudul “Perjanjian dan Kebiasaan Internasinal
yang Mengatur Mengenai Hukum Humaniter Internasional” sebagai salah satu
pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Humaniter Internasional yang diampu oleh
bapak Dr. Danial, S.H., M.H.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini. Demikian, apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Serang, September 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 2
BAB II
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3
2.1 Perjanjian Internasional yang Mengatur Mengenai Hukum Humniter
Internasional .............................................................................................................. 3
2.1.1 Konvensi Den Haag ................................................................................ 3
2.1.2 Konvensi Jenewa 1949 ............................................................................ 8
2.1.3 Protokol Tambahan 1977 ...................................................................... 10
2.2 Kebiasaan Internasional yang Mengatur Mengenai Hukum Humaniter
Internasional ............................................................................................................ 11
BAB III
PENUTUP ................................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum Humaniter Internasional (international humanitarian law),


selanjutnya disingkat HHI, yang juga dikenal dengan hukum perang (the law of
war) dan hukum konflik bersenjata (the law of armed conflict) adalah bagian
dari hukum internasional yang mengatur konflik-konflik bersenjata, baik yang
bersifat internasional maupun non-internasional. Hukum Humaniter
Internasional adalah seperangkat aturan yang hadir karena alasan kemanusiaan,
dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata.

Karena hukum humaniter adalah bagian dari hukum internasional, maka


smber hukum keduanya adalah sama. Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional menetapkan bahwa sumber hukum yang dipakai oleh Mahkamah
dalam mengadili perkara-perkara adalah: (1) Perjanjian Internasional
(International Convention), baik yang bersifat umum maupun khusus, (2)
Kebiasaan Internasional (International Custom), (3) Prinsip-Prinsip Umum
Hukum (General Principles of Law) yang Diakui Oleh Negara-Negara
Beradab, (4) Keputusan pengadilan (Judicial decision) dan pendapat para ahli
yang telah diakui kepakarannya.

Hukum humaniter ditujukan untuk meminimalkan penderitaan mereka


yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara
dan metode berperang menjadi lebih manusiawi dengan cara membatasi
penggunan senjata-senjata yang barbar (biadab, kejam). Tujuan utama hukum
humaniter internasional adalah mempertahankan kemanusiaan, menyelamatkan
nyawa, dan mengurangi penderitaan orang orang yang menjadi korban atau
terdampak oleh adanya konflik bersenjata.

ICRC (Internaional Committee of the Red Cross) mendefinisikan HHI


sebagai seperangkat aturan yang berusaha, untuk alasan kemanusiaan,

1
membatasi efek dari konflik bersenjata. Sebagai seperangkat aturan, HHI
ditetapkan melalui perjanjian (treaty) atau kebiasaan (custom) yang selain
dimaksudkan untuk melindungi orang-orang, juga harta benda-benda (objek-
objek) yang kemungkinan terkena dampak konflik bersenjata, serta membatasi
hak-hak mereka yang terlibat konflik dalam menggunakan metode dan alat
perang yang mereka pilih.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, identifikasi masalah yang


akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perjanjian internasional yang mengatur mengenai Hukum
Humaniter Internasional?
2. Bagaimana kebiasaan internasional yang mengatur mengenai Hukum
Humaniter Internasional?

1.3 Tujuan Penulisan

Sesuai dengan identisikasi masalah di atas, tujuan dari penulisan adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui perjanjian internasional yang mengatur mengenai
Hukum Humaniter Internasional.
2. Untuk mengetahui kebiasaan internasional yang mengatur mengenai
Hukum Humaniter Internasional.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perjanjian Internasional yang Mengatur Mengenai Hukum Humniter


Internasional

Pada praktiknya, penyusunan rancangan sebuah perjanjian internasional


membantu memfokuskan opini hukum dunia dan memberikan pengaruh pasti
terhadap perilaku dan keyakinan hukum selanjutnya di pihak Negara-negara.
Pengadilan Internasional mengakui hal ini dalam keputusannya menyangkut
kasus Continental Shelf. Dalam keputusan ini Pengadilan Internasional
menyatakan bahwa "perjanjian-perjanjian multilateral mungkin memainkan
peran penting dalam mencatat dan mendefinisikan aturan-aturan yang berasal
dari HI Kebiasaan, atau justru dalam mengembangkan aturan-aturan semacam
itu." Dengan pernyataan ini, Pengadilan Internasional meneguhkan bahwa
perjanjian internasional bisa menjadi kodifikasi aturan-aturan HI Kebiasaan
yang sudah ada sebelumnya tetapi bisa juga menjadi landasan bagi
pengembangan aturan-aturan baru dalam HI Kebiasaan berdasarkan norma-
norma yang terdapat dalam perjanjian internasional yang bersangkutan.
Dalam kaitannya dengan HHI, perjanjin yang menjadi sumber hukum
paling penting adalah Konvensi Jenewa I-IV dan Protokol Tambahannya serta
Konvensi Den Haag dan Deklarasi Tambahannya.

2.1.1 Konvensi Den Haag


Konvensi-konvensi Den Haag merupakan ketentuan hukum
humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-
konvensi Den Haag ini merupakan konvensi-konvensi yang dihasilkan
dari Konferensi-konferensi Den Haag I dan II yang diadakan pada tahun
1899 dan 1907.
1) Konvensi Den Haag 1899

3
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil
Konferensi Perdamaian I yang diselenggarakan pada tanggal 18
Mei - 29 Juli 1899. Konferensi ini terselenggara atas prakarsa Tsar
Nicholas II dari Rusia. Untuk melaksanakan kehendak Tsar
Nicholas II itu, maka pada tahun 1898 Menteri Luar Negeri Rusia
Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua Perwakilan
Negara-negara yang terakreditasi di St. Petersburg, berupa ajakan
Tsar untuk mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi
persenjataan. Konvensi yang berlangsung 2 (dua) bulan ini
menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli
1899.
Ketiga Konvensi yang dihasilkan adalah:
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan
Internasional;
2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat;
3. Konvensi III tentang Adaptasi Azasazas Konvensi Jenewa
tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-


peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian
dalam, sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh
manusia).
2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak
dari balon selama jangka lima tahun yang terakhir di tahun
1905 juga dilarang.
3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas
cekik dan beracun juga dilarang.
2) Konvensi Den Haag 1907

4
Konvensi-konvensi tahun 1907 ini merupakan kelanjutan dari
Konferensi Perdamaian I tahun 1809 di Den Haag. Konvensi-
konvensi yang dihasilkan dari Konvensi Den Haag II adalah
sebagai berikut:
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan
Internasional;
2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam
Menuntut Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian
Perdata;
3. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan;
4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
dilengkapi dengan Peraturan Den Haag;
5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga
Negara Netral dalam Perang di Darat;
6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat
Permulaan Perang;
7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal
Perang;
8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di
dalam Laut;
9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di
Waktu Perang;
10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa
tentang Perang di Laut;
11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap
Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan
Laut;
12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan;
13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral
dalam Perang di Laut.

5
Adapun hal-hal penting yang terdapat dalam Konvensi Den
Haag tahun 1907 antara lain adalah:

1. Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai


Peperangan
Perang antara Rusia dan Jepang pada tahun 1904 dimulai
dengan suatu serangan secara tiba-tiba oleh Jepang terhadap
kapal perang Rusia. Kejadian inilah yang menjadi bahan
pembicaraan dalam Konferensi Den Haag tahun 1907, yang
hasilnya adalah disepakatinya Konvensi III tahun 1907 yang
judul resminya “Hague Convention No. III Relative to the
Opening of Hostilities”, dimana Pasal 1 Konvensi ini
berbunyi : “The Contracting Powers recognize that
hostilities between themselves must not commence without
previous and explecit warning, in the either of a reasoned
declaration of war or of an ultimatum with conditional
declaration of war”. Dengan demikian, suatu perang dapat
dimulai dengan:
a. Suatu pernyataan perang, disertai dengan alasannya.
b. Suatu ultimatum yang disertai dengan pernyataan
perang yang bersyarat. Apabila penerima ultimatum
tidak memberi jawaban yang tegas/memuaskan
pihak yang mengirim ultimatum dalam waktu yang
ditentukan, sehingga pihak pengirim ultimatum akan
berada dalam keadaan perang dengan penerima
ultimatum.
2. Konvensi Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan
Kebiasaan Perang di Darat
Konvensi ini judul lengkapnya adalah “Convention
Respecting to the Laws and Customs of War on Land”.

6
Konvensi ini terdiri dari 9 pasal, yang disertai juga dengan
lampiran yang disebut “Hague Regulations”. Konvensi ini
merupakan penyempurnaan terhadap Konvensi Den Haag II
1899 tentang Kebiasaan Perang di Darat. Hal penting yang
diatur dalam Konvensi Den Haag IV 1907 adalah mengenai
apa yang disebut sebagai “Klausula si Omnes”, yaitu bahwa
konvensi hanya berlaku apabila kedua belah pihak yang
bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah satu
pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku.
Selain itu, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan
adalah ketentuanketentuan yang terdapat dalam Lampiran
Konvensi Den Haag IV (Hague Regulations), antara lain:
a. Pasal 1 HR, yang berisi mengenai siapa saja yang
termasuk “belligerents”, yaitu tentara. Pasal ini juga
mengatur mengenai syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh kelompok milisi dan korps sukarela,
sehingga mereka bisa disebut sebagai kombatan,
yaitu :
i. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung
jawab atas bawahannya;
ii. Memakai tanda/emblem yang dapat dilihat
dari jauh;
iii. Membawa senjata secara terbuka;
iv. Melaksanakan operasinya sesuai dengan
hukum dan kebiasaan perang.
b. Pasal 2 HR mengatur mengenai levee en masse,
yang dikategorikan sebagai “belligerent”, yang
harus memenuhi syarat-syarat:
i. Penduduk dari wilayah yang belum dikuasai;
ii. Secara spontan mengangkat senjata;

7
iii. Tidak ada waktu untuk mengatur diri;
iv. Membawa senjata secara terbuka;
v. Mengindahkan hukum perang.
2.1.2 Konvensi Jenewa 1949

Konvensi Jenewa 1949 tersebut terdiri dari 4 buah konvensi yaitu:


1. Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan Anggota Angkatan Perang
yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat.
2. Konvensi Jenewa II tentang Perbaikan Kondisi Angkatan Perang di
Laut yang Luka, Sakit dan Korban Kapal Karam.
3. Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Tawanan Perang.
4. Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Sipil di Waktu Perang.

Dalam keempat Konvensi Jenwa 1949 mengenai perlindungan


korban perang terdapat ketentuan-ketentuan yang sama atau yang
bersamaan. Yang terpenting diantaranya, adalah mengenai ketentuan-
ketentuan pokok dari Konvensi-konvensi Jenewa, yang di dalam
keempat Konvensi terdapat dalam Bab I. Hal ini merupakan suatu
kemajuan besar dalam sistematika susunan pasal-pasal dan menekankan
keseragaman serta kesatuan dari keempat konvensi ini sebagai suatu
perangkat ketentuan tertulis mengenai perlindungan korban perang.

Ketentuan yang bersamaan dalam Konvensi-konvensi Jenewa tersebut


dapat dibagi ke dalam beberapa golongan, yaitu:

1. Penghormatan dari Konvensi-konvensi


Mengenai penghormatan dari konvensi-konvensi ini
terdapat dalam Pasal 1 Konvensi, yang menyatakan bahwa “Pihak
Peserta Agung berjanji untuk menjamin penghormatan dalam
segala keadaan”. Ketentuan mengenai penghormatan diletakkan
dalam Pasal 1 menandakan bahwa peserta-peserta konferensi
hendak menekankan pentingnya kewajiban penandatangan untuk
menghormati ketentuanketentuan konvensi dan lebih bertanggung

8
jawab atas pelaksanaannya. Selain hal tersebut, Pasal 1 ini berarti
juga bahwa berlakunya ketentuan - ketentuan konvensi tidak boleh
dipengaruhi oleh sifat dari sengketa bersenjata. Ketentuan -
ketentuan konvensi mengenai perlindungan korban perang (yang
sakit, luka, tawanan perang, dsb) tetap berlaku, tidak perduli apakah
perang itu adil atau tidak adil, perang agresi atau perang
mempertahankan diri. Yang menjadi ukuran adalah apakah telah
ada sengketa bersenjata atau pendudukan dalam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
2. Berlakunya Konvensi-Konvensi
Mengenai berlakunya konvensi--konvensi dinyatakan
dalam Pasal 2 Paragraf 1, bahwa “ …Konvensi ini akan berlaku
untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap
sengketa bersenjata (armed conflict) lainnya yang mungkin timbul
antara dua atau lebih pihak penandatangan, sekalipun keadaan
perang tidak diakui salah satu diantara mereka”.
Dengan pernyataan bahwa Konvensi tahun 1949 ini berlaku
bagi setiap sengketa bersenjata (armed conflict), maka tidak ada
lagi kemungkinan bagi suatu negara untuk mengelakkan diri dari
kewajiban-kewajiban konvensi dengan menyangkal adanya perang
dalam arti hukum. Jadi menurut ketentuan di atas, konvensi-
konvensi ini berlaku dalam setiap persengketaan senjata
internasional, dengan tidak mempersoalkan apakah peristiwa ini
menurut salah satu atau semua pihak dalam konvensi merupakan
suatu “pembelaan diri yang sah”, “aksi polisi”, “insiden” atau suatu
tindakan pengamanan kolektif dalam rangka piagam PBB.
Selain hal tersebut di atas, “…Konvensi ini juga akan
berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau
seluruhnya, dari wilayah Peserta Agung, sekalipun pendudukan
tersebut tidak menemui perlawanan”. Dalam hal ini ketentuan

9
mengenai perlindungan korban perang Konvensi Jenewa 1949
dengan sendirinya berlaku.
3. Sengketa Bersenjata yang Tidak Bersifat Internasional
Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada
ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau
pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa
tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini
diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh
status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan
antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh
hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan
netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan
berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik
bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas
status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga
akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila
hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara
politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena
itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal
adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.

2.1.3 Protokol Tambahan 1977


Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan ketentuan-ketentuan yang
menambah dan melengkapi Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Protokol
Tambahan tahun 1977 ini terdiri dari Protokol Tambahan I dan Protokol
Tambahan II.
1. Protokol Tambahan I
Latar belakang dibentuknya Protokol Tambahan I disebabkan
metode peperangan yang digunakan oleh negara-negara telah
berkembang, demikian pula dengan aturanaturan mengenai tata cara

10
berperang (code of conduct). Protokol Tambahan I ini menentukan
bahwa hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih cara dan
alat adalah tidak terbatas. Selain itu, di dalam Protokol Tambahan I
ini juga melarang untuk menggunakan senjata atau proyektil serta
cara-cara lainnya yang dapat mengakibatkan luka-luka yang
berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
2. Protokol Tambahan II
Berisikan beberapa aturan mengenai perang atau konflik bersenjata
yang terjadi di wilayah salah satu pihak peserta agung antara
pasukannya dengan pemberontak yang ada di wilayah tersebut.
Dengan kata lain, sifat nya non-internasional. Protokol Tambahan II
ini menambah isi/ruang lingkup Pasal 3 Konvensi Jenewa. Pasal 3
konvensi jenewa merupakan pasal yang menjelaskan tentang
kewajiban pihak yang terlibat bersenjata yang tidak bersifat
internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak
Peserta Agung, akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-
kurangnya tiga ketentuan yang ada dalam pasal tersebut.

2.2 Kebiasaan Internasional yang Mengatur Mengenai Hukum Humaniter


Internasional

Selain perjanjian, hukum kebiasaan internasional (customary


international law) juga merupakan sumber fundamental bagi HHI.
Sebagaimana ditegaskan dalam Klausula Martens, bahwa apabila Hukum
Humaniter belum mengatur masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang
digunakan harus mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional yang
terbentuk dari kebiasaan antara negara-negara, hukum kemanusiaan serta dari
hati nurani masyarakat.
Hukum kebiasaan intenasional adalah bentuk hukum yang berasal dari
praktik negara-negara (states practice) dan apa yang dikenal dengan opinion
juris. Hukum kebiasan internasional dapat ditemukan dala praktik hubungan

11
antarnegara dan dianggap oleh negara-negara sebagai praktik (practice),
berbeda dengan perjanjian yang hanya mengikat pihak-pihak yang membuat
atau menandatangani perjanjian. Hukum kebiasaan memberikan perlindungan
hukum untuk menutup kesenjangan perlindungan yang timbul dari kelangkaan
ratifikasi oleh negara-negara terhadap perjanjian-perjanjian utama, khususnya
dalam situasi konflik bersenjata internal.
Tujuan studi Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (HHI
Kebiasaan) ini ialah untuk mengatasi sebagian dari masalah-masalah yang
berkaitan dengan penerapan Hukum Humaniter Internasional Perjanjian (HHI
Perjanjian).
Statuta Pengadilan Internasional (the Statute of the International Court
of Justice) mendefinisikan HHI Kebiasaan sebagai "praktik-praktik umum yang
telah diterima sebagai hukum." Telah disepakati secara meluas bahwa
eksistensi sebuah aturan dalam HHI Kebiasaan ditentukan oleh dua unsur,
yaitu: praktik di kalangan Negara-negara (usus) dan keyakinan bahwa praktik
tersebut diwajibkan, dilarang, atau diperbolehkan demi hukum (opinio juris
sive necessitatis), tergantung pada hakikat aturannya sendiri. Sebagaimana
dinyatakan oleh Pengadilan Internasional dalam kasus Continental Shelf
(Landas Kontinen): "Sudah barang tentu merupakan aksioma bahwa materi
HHI Kebiasaan harus dicari terutama dalam praktik aktual dan opinio juris
Negara-negara." Arti dan isi persisnya dari kedua unsur tersebut telah menjadi
topik pada banyak tulisan akademis. Pendekatan yang diambil dalam studi HHI
Kebiasaan ini untuk menentukan apakah sebuah aturan tertentu benar-benar ada
dalam HI Kebiasaan adalah pendekatan klasik, yaitu pendekatan sebagaimana
yang dijabarkan oleh Pengadilan Internasional, khususnya dalam kasus-kasus
Continental Shelf.
Tidak mudah menemukan atau menilai bahwa suatu norma HHI telah
menjadi hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana telah ditetapkan dalam
Statuta Mahkamah Internasional, suatu aturan hanya dapat dikategorikan
hukum kebiasaan internasional apabila telah memenuhi beberapa syarat

12
tertentu, yaitu telah dipraktikan secara umum oleh negara-negara dan telah
memperoleh pendapat hukum yang mengakui ketentuan tersebut sebagai suatu
keharusan. Sulit untuk menemukan praktik umum atas ketentuan tersebut,
kecuali dari manual tertulis mengenai instruksi perang, sedangkan hanya sedikit
negara yang mempunyai manual seperti itu. Kesulitan lain dalam menemukan
praktik umum yang dapat dikategorikan sebagai hukum kebiasaan. Justru HHI
terbentuk karena pengalaman adanya praktik-praktik peperangan yang
dianggap merugikan atau tidak adil.
Walaupun perjanjian internasional HHI cukup banyak, tetapi
keberadaan hukum kebiasaan internasional sangat dibutuhkan khususnya untuk
memberikan perlindungan kepada korban perang jika suatu hal tidak ditemukan
kaidahnya dalam perjanjian. Paling tidak hukum kebiasaan internasional dapat
membantu apabila suatu aturan dalam perjanjian internasional masih belum
memperoleh pengesahan dari negara-negara.
Saat ini, cukup banyak upaya di tingkat internasional untuk Menyusun
aturan-aturan HHI dari hukum kebiasaan internasional. San Remo Manual 1994
Tentang Hukum Sengketa Bersenjata, yang dapat diberlakukan dalam
peperangan laut adalah salah satunya contohnya.
Menurut hukum internasional, San Remo Manual 1994 yang hanya
merupakan pedoman yang dibuat oleh para ahli tidak dapat digunakan sebagai
sumber hukum internasional karena tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Sejak awal pembentukannya, para ahli memang sudah sepakat bahwa San
Remo Manual 1994 tidak dibuat dalam bentuk perjanjian internasional yang
mengikat negara-negara, tetapi hanya dibuat dalam bentuk manual saja, yang
akan menjadi pedoman bagi negara-negara dalam menjalankan perang di laut.
Hal ini berdasarkan pada latar belakang bahwa telah beberapa kali diupayakan
untuk membuat suatu perjanjian internasional dalam bidang ini yang mengikat
negara-negara, tetapi tidak berhasil.
San Remo Manual, dikarenakan bentuknya yang unik maka sulit
menempatkan San Remo Manual dalam kerangka hukum internasional. Suatu

13
manual atau pedoman tidak dapat dapat dipakai sebagai sumber hukum apabila
terjadi sengketa diantara negara-negara yang berperang. untuk bisa menjadi
sumber hukum dalam arti formal maka harus memenuhi kriteria Pasal 38
Statuta Mahkamah Internasional. Dari ketentuan pasal tersebut San Remo
Manual pada dasrnya dapat menjadi sumber hukum melalui du acara:
1. Menjadikannya sebagai suatu perjanjian internasional yang
mengikat negara-negara
2. Melalui proses hukum kebiasaan internasional.
Yang akan kita bahas adalah melalui proses hukum kebiasaan
internasional, dalam prakteknya hukum internasional selama ini, pembentukan
yang penting dari hukum kebiasaan internasional secara garis besar merupakan
suatu perpaduan antara akibat diterapkannya suatu ketentuan atas suatu
peristiwa oleh sejumlah negara dengan memperhatikan masalah hukum atau
situasi yang khusus. Pada awalnya ketentuan hukum kebiasaan internasional
belum diakui oleh banyak negara sebagai hukum, yang merupakan suatu
kebiasaan internasional saja, tetapi pada akhirnya ketentuan tersebut membuat
negara-negara merasa terikat untuk melaksanakan ketentuan tersebut.
Kemungkinan San Remo Manual dapat menjadi hukum kebiasaan
internasional, sebab sebagian besar ketentuan yang sudah ada dalam San Remo
Manual merupakan pengaturan kembali dari ketentuan-ketentuan yang ada
dalam Konvensi Den Haag tahun 1907, Konvensi Jenewa tahun 1949,
konvensi-konvensi tersebut akan langsung berlaku bagi negara-negara
walaupun negara yang bersangkutan tidak melakukan ratifikasi. Apabila syarat-
syarat mengenai keberadaan hukum kebiasaan internasional di atas diterapkan
dalam Sam Remo Manual maka dapat dikatakan bahwa sebagian ketentuan
yang ada dalam Sam Remo Manual tersebut sudah memenuhi kriteria sebagai
hukum kebiasaan internasional dan sebagian lagi tidak memenuhi kriteria
sebagai hukum kebiasaan internasional.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


perjanjian dan kebiasaan internasional yang mengatur mengenai hukum
humaniter internasional merupakan seperangkat aturan yang berusaha, untuk
alasan kemanusiaan, membatasi efek dari konflik bersenjata. Keduanya
merupakan sumber hukum internasional. Sebagaimana dengan perjanjian
internasional, kebiasaan internasional juga perlu diimplementasikan secara
efektif.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, Deni Ramdhany, dan Rina Rusman. 2012. Hukum Humaniter


Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: P.T. Rajagrafindo
Persada.

Bakry, Umar Suryadi. 2019. Hukum Humaniter Internasional Sebuah Pengantar.


Jakarta: Prenadamedia Group.

Henckaerts, Jean Marie. 2005. Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional
Kebiasaan: Sebuah sumbangan bagi pemahaman dan penghormatan terhadap
tertib hukum dalam konflik bersenjata.
https://www.icrc.org/en/doc/assets/files/other/indo-irrc_857_henckaerts.pdf.
Diakses pada 8 September 2021.

Kusumaatmadja, Mochtar. 2002. Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949. Bandung:


P.T. Alumni.

Mataram, Haryo. 1988. Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang). Jakarta:
Bumi Nusantara Jaya.

Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni.

Syahmin. 1985. Beberapa Masalah (Hukum) Kebiasaan Internasional Sebagai Sumber


Hukum Internasional.
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/1102/1025. Diakses pada 8
September 2021.

iii

Anda mungkin juga menyukai