MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Humaniter
Internasional
Oleh:
Kelompok 2 Kelas 5 A
FAKULTAS HUKUM
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah berjudul “Perjanjian dan Kebiasaan Internasinal
yang Mengatur Mengenai Hukum Humaniter Internasional” sebagai salah satu
pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Humaniter Internasional yang diampu oleh
bapak Dr. Danial, S.H., M.H.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini. Demikian, apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
membatasi efek dari konflik bersenjata. Sebagai seperangkat aturan, HHI
ditetapkan melalui perjanjian (treaty) atau kebiasaan (custom) yang selain
dimaksudkan untuk melindungi orang-orang, juga harta benda-benda (objek-
objek) yang kemungkinan terkena dampak konflik bersenjata, serta membatasi
hak-hak mereka yang terlibat konflik dalam menggunakan metode dan alat
perang yang mereka pilih.
Sesuai dengan identisikasi masalah di atas, tujuan dari penulisan adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui perjanjian internasional yang mengatur mengenai
Hukum Humaniter Internasional.
2. Untuk mengetahui kebiasaan internasional yang mengatur mengenai
Hukum Humaniter Internasional.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil
Konferensi Perdamaian I yang diselenggarakan pada tanggal 18
Mei - 29 Juli 1899. Konferensi ini terselenggara atas prakarsa Tsar
Nicholas II dari Rusia. Untuk melaksanakan kehendak Tsar
Nicholas II itu, maka pada tahun 1898 Menteri Luar Negeri Rusia
Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua Perwakilan
Negara-negara yang terakreditasi di St. Petersburg, berupa ajakan
Tsar untuk mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi
persenjataan. Konvensi yang berlangsung 2 (dua) bulan ini
menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli
1899.
Ketiga Konvensi yang dihasilkan adalah:
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan
Internasional;
2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat;
3. Konvensi III tentang Adaptasi Azasazas Konvensi Jenewa
tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.
4
Konvensi-konvensi tahun 1907 ini merupakan kelanjutan dari
Konferensi Perdamaian I tahun 1809 di Den Haag. Konvensi-
konvensi yang dihasilkan dari Konvensi Den Haag II adalah
sebagai berikut:
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan
Internasional;
2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam
Menuntut Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian
Perdata;
3. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan;
4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
dilengkapi dengan Peraturan Den Haag;
5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga
Negara Netral dalam Perang di Darat;
6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat
Permulaan Perang;
7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal
Perang;
8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di
dalam Laut;
9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di
Waktu Perang;
10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa
tentang Perang di Laut;
11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap
Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan
Laut;
12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan;
13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral
dalam Perang di Laut.
5
Adapun hal-hal penting yang terdapat dalam Konvensi Den
Haag tahun 1907 antara lain adalah:
6
Konvensi ini terdiri dari 9 pasal, yang disertai juga dengan
lampiran yang disebut “Hague Regulations”. Konvensi ini
merupakan penyempurnaan terhadap Konvensi Den Haag II
1899 tentang Kebiasaan Perang di Darat. Hal penting yang
diatur dalam Konvensi Den Haag IV 1907 adalah mengenai
apa yang disebut sebagai “Klausula si Omnes”, yaitu bahwa
konvensi hanya berlaku apabila kedua belah pihak yang
bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah satu
pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku.
Selain itu, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan
adalah ketentuanketentuan yang terdapat dalam Lampiran
Konvensi Den Haag IV (Hague Regulations), antara lain:
a. Pasal 1 HR, yang berisi mengenai siapa saja yang
termasuk “belligerents”, yaitu tentara. Pasal ini juga
mengatur mengenai syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh kelompok milisi dan korps sukarela,
sehingga mereka bisa disebut sebagai kombatan,
yaitu :
i. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung
jawab atas bawahannya;
ii. Memakai tanda/emblem yang dapat dilihat
dari jauh;
iii. Membawa senjata secara terbuka;
iv. Melaksanakan operasinya sesuai dengan
hukum dan kebiasaan perang.
b. Pasal 2 HR mengatur mengenai levee en masse,
yang dikategorikan sebagai “belligerent”, yang
harus memenuhi syarat-syarat:
i. Penduduk dari wilayah yang belum dikuasai;
ii. Secara spontan mengangkat senjata;
7
iii. Tidak ada waktu untuk mengatur diri;
iv. Membawa senjata secara terbuka;
v. Mengindahkan hukum perang.
2.1.2 Konvensi Jenewa 1949
8
jawab atas pelaksanaannya. Selain hal tersebut, Pasal 1 ini berarti
juga bahwa berlakunya ketentuan - ketentuan konvensi tidak boleh
dipengaruhi oleh sifat dari sengketa bersenjata. Ketentuan -
ketentuan konvensi mengenai perlindungan korban perang (yang
sakit, luka, tawanan perang, dsb) tetap berlaku, tidak perduli apakah
perang itu adil atau tidak adil, perang agresi atau perang
mempertahankan diri. Yang menjadi ukuran adalah apakah telah
ada sengketa bersenjata atau pendudukan dalam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
2. Berlakunya Konvensi-Konvensi
Mengenai berlakunya konvensi--konvensi dinyatakan
dalam Pasal 2 Paragraf 1, bahwa “ …Konvensi ini akan berlaku
untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap
sengketa bersenjata (armed conflict) lainnya yang mungkin timbul
antara dua atau lebih pihak penandatangan, sekalipun keadaan
perang tidak diakui salah satu diantara mereka”.
Dengan pernyataan bahwa Konvensi tahun 1949 ini berlaku
bagi setiap sengketa bersenjata (armed conflict), maka tidak ada
lagi kemungkinan bagi suatu negara untuk mengelakkan diri dari
kewajiban-kewajiban konvensi dengan menyangkal adanya perang
dalam arti hukum. Jadi menurut ketentuan di atas, konvensi-
konvensi ini berlaku dalam setiap persengketaan senjata
internasional, dengan tidak mempersoalkan apakah peristiwa ini
menurut salah satu atau semua pihak dalam konvensi merupakan
suatu “pembelaan diri yang sah”, “aksi polisi”, “insiden” atau suatu
tindakan pengamanan kolektif dalam rangka piagam PBB.
Selain hal tersebut di atas, “…Konvensi ini juga akan
berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau
seluruhnya, dari wilayah Peserta Agung, sekalipun pendudukan
tersebut tidak menemui perlawanan”. Dalam hal ini ketentuan
9
mengenai perlindungan korban perang Konvensi Jenewa 1949
dengan sendirinya berlaku.
3. Sengketa Bersenjata yang Tidak Bersifat Internasional
Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada
ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau
pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa
tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini
diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh
status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan
antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh
hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan
netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan
berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik
bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas
status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga
akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila
hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara
politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena
itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal
adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.
10
berperang (code of conduct). Protokol Tambahan I ini menentukan
bahwa hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih cara dan
alat adalah tidak terbatas. Selain itu, di dalam Protokol Tambahan I
ini juga melarang untuk menggunakan senjata atau proyektil serta
cara-cara lainnya yang dapat mengakibatkan luka-luka yang
berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
2. Protokol Tambahan II
Berisikan beberapa aturan mengenai perang atau konflik bersenjata
yang terjadi di wilayah salah satu pihak peserta agung antara
pasukannya dengan pemberontak yang ada di wilayah tersebut.
Dengan kata lain, sifat nya non-internasional. Protokol Tambahan II
ini menambah isi/ruang lingkup Pasal 3 Konvensi Jenewa. Pasal 3
konvensi jenewa merupakan pasal yang menjelaskan tentang
kewajiban pihak yang terlibat bersenjata yang tidak bersifat
internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak
Peserta Agung, akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-
kurangnya tiga ketentuan yang ada dalam pasal tersebut.
11
antarnegara dan dianggap oleh negara-negara sebagai praktik (practice),
berbeda dengan perjanjian yang hanya mengikat pihak-pihak yang membuat
atau menandatangani perjanjian. Hukum kebiasaan memberikan perlindungan
hukum untuk menutup kesenjangan perlindungan yang timbul dari kelangkaan
ratifikasi oleh negara-negara terhadap perjanjian-perjanjian utama, khususnya
dalam situasi konflik bersenjata internal.
Tujuan studi Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (HHI
Kebiasaan) ini ialah untuk mengatasi sebagian dari masalah-masalah yang
berkaitan dengan penerapan Hukum Humaniter Internasional Perjanjian (HHI
Perjanjian).
Statuta Pengadilan Internasional (the Statute of the International Court
of Justice) mendefinisikan HHI Kebiasaan sebagai "praktik-praktik umum yang
telah diterima sebagai hukum." Telah disepakati secara meluas bahwa
eksistensi sebuah aturan dalam HHI Kebiasaan ditentukan oleh dua unsur,
yaitu: praktik di kalangan Negara-negara (usus) dan keyakinan bahwa praktik
tersebut diwajibkan, dilarang, atau diperbolehkan demi hukum (opinio juris
sive necessitatis), tergantung pada hakikat aturannya sendiri. Sebagaimana
dinyatakan oleh Pengadilan Internasional dalam kasus Continental Shelf
(Landas Kontinen): "Sudah barang tentu merupakan aksioma bahwa materi
HHI Kebiasaan harus dicari terutama dalam praktik aktual dan opinio juris
Negara-negara." Arti dan isi persisnya dari kedua unsur tersebut telah menjadi
topik pada banyak tulisan akademis. Pendekatan yang diambil dalam studi HHI
Kebiasaan ini untuk menentukan apakah sebuah aturan tertentu benar-benar ada
dalam HI Kebiasaan adalah pendekatan klasik, yaitu pendekatan sebagaimana
yang dijabarkan oleh Pengadilan Internasional, khususnya dalam kasus-kasus
Continental Shelf.
Tidak mudah menemukan atau menilai bahwa suatu norma HHI telah
menjadi hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana telah ditetapkan dalam
Statuta Mahkamah Internasional, suatu aturan hanya dapat dikategorikan
hukum kebiasaan internasional apabila telah memenuhi beberapa syarat
12
tertentu, yaitu telah dipraktikan secara umum oleh negara-negara dan telah
memperoleh pendapat hukum yang mengakui ketentuan tersebut sebagai suatu
keharusan. Sulit untuk menemukan praktik umum atas ketentuan tersebut,
kecuali dari manual tertulis mengenai instruksi perang, sedangkan hanya sedikit
negara yang mempunyai manual seperti itu. Kesulitan lain dalam menemukan
praktik umum yang dapat dikategorikan sebagai hukum kebiasaan. Justru HHI
terbentuk karena pengalaman adanya praktik-praktik peperangan yang
dianggap merugikan atau tidak adil.
Walaupun perjanjian internasional HHI cukup banyak, tetapi
keberadaan hukum kebiasaan internasional sangat dibutuhkan khususnya untuk
memberikan perlindungan kepada korban perang jika suatu hal tidak ditemukan
kaidahnya dalam perjanjian. Paling tidak hukum kebiasaan internasional dapat
membantu apabila suatu aturan dalam perjanjian internasional masih belum
memperoleh pengesahan dari negara-negara.
Saat ini, cukup banyak upaya di tingkat internasional untuk Menyusun
aturan-aturan HHI dari hukum kebiasaan internasional. San Remo Manual 1994
Tentang Hukum Sengketa Bersenjata, yang dapat diberlakukan dalam
peperangan laut adalah salah satunya contohnya.
Menurut hukum internasional, San Remo Manual 1994 yang hanya
merupakan pedoman yang dibuat oleh para ahli tidak dapat digunakan sebagai
sumber hukum internasional karena tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Sejak awal pembentukannya, para ahli memang sudah sepakat bahwa San
Remo Manual 1994 tidak dibuat dalam bentuk perjanjian internasional yang
mengikat negara-negara, tetapi hanya dibuat dalam bentuk manual saja, yang
akan menjadi pedoman bagi negara-negara dalam menjalankan perang di laut.
Hal ini berdasarkan pada latar belakang bahwa telah beberapa kali diupayakan
untuk membuat suatu perjanjian internasional dalam bidang ini yang mengikat
negara-negara, tetapi tidak berhasil.
San Remo Manual, dikarenakan bentuknya yang unik maka sulit
menempatkan San Remo Manual dalam kerangka hukum internasional. Suatu
13
manual atau pedoman tidak dapat dapat dipakai sebagai sumber hukum apabila
terjadi sengketa diantara negara-negara yang berperang. untuk bisa menjadi
sumber hukum dalam arti formal maka harus memenuhi kriteria Pasal 38
Statuta Mahkamah Internasional. Dari ketentuan pasal tersebut San Remo
Manual pada dasrnya dapat menjadi sumber hukum melalui du acara:
1. Menjadikannya sebagai suatu perjanjian internasional yang
mengikat negara-negara
2. Melalui proses hukum kebiasaan internasional.
Yang akan kita bahas adalah melalui proses hukum kebiasaan
internasional, dalam prakteknya hukum internasional selama ini, pembentukan
yang penting dari hukum kebiasaan internasional secara garis besar merupakan
suatu perpaduan antara akibat diterapkannya suatu ketentuan atas suatu
peristiwa oleh sejumlah negara dengan memperhatikan masalah hukum atau
situasi yang khusus. Pada awalnya ketentuan hukum kebiasaan internasional
belum diakui oleh banyak negara sebagai hukum, yang merupakan suatu
kebiasaan internasional saja, tetapi pada akhirnya ketentuan tersebut membuat
negara-negara merasa terikat untuk melaksanakan ketentuan tersebut.
Kemungkinan San Remo Manual dapat menjadi hukum kebiasaan
internasional, sebab sebagian besar ketentuan yang sudah ada dalam San Remo
Manual merupakan pengaturan kembali dari ketentuan-ketentuan yang ada
dalam Konvensi Den Haag tahun 1907, Konvensi Jenewa tahun 1949,
konvensi-konvensi tersebut akan langsung berlaku bagi negara-negara
walaupun negara yang bersangkutan tidak melakukan ratifikasi. Apabila syarat-
syarat mengenai keberadaan hukum kebiasaan internasional di atas diterapkan
dalam Sam Remo Manual maka dapat dikatakan bahwa sebagian ketentuan
yang ada dalam Sam Remo Manual tersebut sudah memenuhi kriteria sebagai
hukum kebiasaan internasional dan sebagian lagi tidak memenuhi kriteria
sebagai hukum kebiasaan internasional.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
15
DAFTAR PUSTAKA
Henckaerts, Jean Marie. 2005. Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional
Kebiasaan: Sebuah sumbangan bagi pemahaman dan penghormatan terhadap
tertib hukum dalam konflik bersenjata.
https://www.icrc.org/en/doc/assets/files/other/indo-irrc_857_henckaerts.pdf.
Diakses pada 8 September 2021.
Mataram, Haryo. 1988. Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang). Jakarta:
Bumi Nusantara Jaya.
Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni.
iii