Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

INSTRUMEN HAM (ICCPR) DAN ISU INKOMPABILITAS DENGAN


HUKUM ISLAM

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Islam dan HAM

Dosen Pengampu: Siti Masitoh, M.H.

Disusun Oleh :

Alya Maulida 2221508037

Salsa Bila Aulia 2221508077

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS

SAMARINDA

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur di panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya. Atas berkat rahmat dan hidayat-Nya serta berbagai
upaya.

tugas makalah mata kuliah Hukum Islam dan HAM yang membahas tentang
”Instrumen HAM (ICCPR) dan isu Inkompabilitas dengan hukum islam”.

Dalam penyusunan makalah ini, ditulis berdasarkan buku yang berkaitan dengan
islam, dan serta informasi dari media massa yang berhubungan dengan sejarah
berkembangnya islam. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih kurang
sempurna. Untuk itu diharapkan berbagai masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaannya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat membawa manfaat untuk pembaca.

Samarinda, 27 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 1

C. Tujuan Masalah .............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

A. Instrumen HAM (ICCPR) .............................................................................. 3

B. Perjanjian (Kovenan) Internasional ................................................................ 5

C. Isu Inkompatibilitas (Ketidaksesuaian) dengan hukum islam ........................ 7

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 11

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam perspektif islam sebagaimana yang dikonsepkan Al-qur’an, Hak
Asasi Manusia bersesuaian dengan Hak-hak Allah swt. Hal ini menunjukkan
bahwa konsep HAM dalam pandangan islam bukanlah hasil evolusi apapun
dari pemikiran manusia, namun merupakan hasil dari pemikiran manusia,
namun merupakan hasil dari wahyu ilahi yang telah diturunkan untuk umat
manusia.

ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan


penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur
represif negara yang menjadi negara-negara pihak ICCPR. Makannya hak-hak
yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negativ.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka dapat dibuat rumusan masalahnya
diantaranya:
1. Bagaimana pengertian dan pemahaman mengenai instrumen HAM
(ICCPR)?
2. Bagaimana isi pembahasan perjanjian (Kovenan) Internasional?
3. Bagaimana isu inkompatibilitas (ketidaksesuaiannya) dengan
hukum islam?

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan tujuan
permasalahannya diantaranya ialah:

1
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan mengenai apa itu Instrumen
HAM (ICCPR).
2. Membahas mengenai isi dari perjanjian (Kovenan) Internasional.
3. Mendeskripsikan mengenai isu inkompabilitas (ketidaksesuaian)
dengan hukum islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Instrumen HAM (ICCPR)


Hak Asasi Manusia (HAM) dipercayai memiliki nilai universal, yang berarti
tidak mengenal batas dan ruang waktu. Nilai universal HAM tersebut
dikukuhkan dalam instrumen Internasional, yang juga memuat institusi
(lembaga) Internasional sebagai lembaga pengawas dan penegakan HAM.
Konvenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik “International
Covenant on Civil and Political Rights” (ICCPR) adalah sebuah perjanjian
multilateral yang ditetapkan oleh majlis umum perserikatan bangsa-bangsa
berdasarkan resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966.
Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976 (tiga bulan setelah
penyerahan instrumen ratifikasi atau aksesi yang ketiga puluh lima kepada
Sekjen PBB, seperti yang diataur oleh pasal 49). Perjanjian ini mewajibkan
negara anggotannya untuk melindungi hak-hak sipil dan politik individu,
termasuk hak untuk hidup, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat,
kebebasan berkumpul, hak elektoral, dan hak untuk memperoleh proses
pengadilan yang adil dan tidak berpihak.
Pada bulan Februari 2017, terdapat 169 negara anggota dan enam
penandatangan lain yang belum meratifikasi. Perjanjian ini merupakan bagian
dari piagam Hak Asasi Manusia Internasional bersama dengan kovenan
Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya “Covenant and
Economic, Social and Cultural Rights” (ICESCR) dan deklarasi Hak Asasi
Manusia Universal.
Pelaksanaan perjanjian ini di awasi oleh Komite Hak Asasi Manusia (dari
dewan Hak Asasi Manusia PBB). Badan ini secara berkala meninjau laporan
dari negara anggota mengenai proses penerapan hak-hak yang terkandung di
dalam kovenan ini. Negara-negara harus memberikan laporan satu tahun

3
setelah menjadi negara anggota dan apabila diminta oleh komite (biasannya
setelah empat tahun). Komite ini berkumpul di Jenewa dan mengadakan tiga
sesi setiap tahunnya.
Definisi hukum Internasional yang diberikan oleh pakar hukum terkenal di
masa lalu, terbatas pada negara sebagai subyek hukum. Namun dengan
perkembangan pesat abad XX, terutama meningkatnya hubungan kerjasama
dan ketergantungan antar negara, menjamurnya organisasi Internasional,
menyebabkan ruang lingkup hukum Internasional menjadi lebih luas.1
Hukum Internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam
hubungannya dengan negara-negara. Dengan demikian, hukum Internasional
dapat dirumuskan sebagai suatu kaidah atau norma-norma yang mengatur hak
dan kewajiban para subyek hukum Internasional, yaitu negara, lembaga dan
organisasi Internasional, serta individu dalam hal tertentu2. Hukum
Internasional saat ini bukan saja mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
perdamaian dan keamanan, tetapi juga menyangkut masalah politik,
dekolonisasi, ekonomi, teknologi, masalah lingkungan, dan HAM demi
tercapainya kesejahteraan dan keserasian dan kehidupan antar bangsa.
Keputusan yudisial dan ajaran para ahli hukum, sebagai sumber hukum
internasioanl HAM juga dinyatakan oleh Pasal 38 (1) ICJ. Dalam konteks ini
putusan yang ditetapkan oleh Mahkamah Pengadilan Internasional (ICJ),
mempunyai posisi khusus, sebagai putusan yang dapat dijadikan sumber
hukum Internasional. Selain keempat sumber hukum tersebut, keputusan-
keputusan organisasi Internasional juga dapat disebut sebagai sumber hukum
Internasional yang penting dalam HAM, terutama disebabkan dapat munculnya
hak dan kewajiban Internasional di bidang HAM. Sebagai contoh, resolusi-
resolusi yang diadopsi dan ditetapkan Majelis Umum (General Assembly-GA),

1
Sodikin. “Hukum dan Hak Kebebasan Beragama” JURNAL CITA HUKUM [Online], Volume 1
Number 2 (2 Desember 2013), h. 177-178
2
Boer Manna, Hukum Internasional-Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global., (Bandung:
Alumni, 2001)., hal. 2
4
Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council-ECOSOC) atau
Komisi Hak hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights-CHR)
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).3

B. Perjanjian (Kovenan) Internasional


Rumusan mengenai perjanjian Internasional dalam arti yang luas
dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai berikut: “perjanjian
Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.”4
Dari batasan tersebut, dapat dipahami bahwa untuk dapat dinamakan
perjanjian Internasional, maka perjanjian tersebut harus diadakan oleh subyek
hukum Internasional yang menjadi anggota masyarakat Internasional. Jadi,
pertama tama termasuk di dalamnya adalah perjanjian antarnegara, antara
negara dengan organisasi Internasional dan di antara organisasi Internasional
itu sendiri.
Secara fungsional sebagai sumber hukum, maka pengertian perjanjian
Internasional itu dapat berfungsi sebagai “law making treaties”. Pengertian law
making treaties ini adalah bahwa perjanjian Internasional tersebut meletakkan
ketentuan ketentuan atau kaidah kaidah hukum bagi masyarakat Internasional
secara keseluruhan.
HAM dipercaya sebagai memiliki nilai universal, yang berarti tidak
mengenal batas dan ruang waktu. Nilai universal HAM tersebut dikukuhkan
dalam instrumen Internasional yang juga memuat institusi (lembaga)
Internasional sebagai lembaga pengawas dan penegakan HAM. Selain itu,
instrumen Internasional tentang HAM dapat berbentuk kebiasaan
Internasional, prinsip umum hukum yang diakui bangsa beradab (ius cogens),

3
Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum- Kelompok Kerja
Ake Arif, 2006), hal. 10
4
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 2003).
5
dan keputusan yudisial serta ajaran para ahli hukum. Perkembangan instrumen
Internasional tentang HAM, mengalami kemajuan yang pesat di bawah PBB,
baik berupa perjanjian Internasional dalam bentuk konvensi, kovenan, statuta
serta standar Internasional lainnya. Selain itu, terdapat deklarasi, proklamasi,
kode etik, aturan bertindak, prinsip-prinsip dasar dan rekomendasi.
Berdasarkan ini terlihat kesulitan yang bisa dihadapi oleh Indonesia
dalam menyeimbangkan antara tuntutan Syariat Islam. Pada satu sisi
Indonesia harus mematuhi ketentuan ICCPR dan CAT tentang hak-hak sipil
seperti hak untuk hidup dan hak untuk dari hukuman badan. Pada sisi lain,
Indonesia juga harus mengakomodasi tuntutan dari sejumlah warga
negaranya yang ingin menjalankan ajaran agamanya dengan bebas dan
seutuhnya, termasuk di sini penerapan hukum agama di bidang pidana.
Dalam ICCPR sendiri ada ketentuan tentang hak untuk menentukan nasib
sendiri bisakah pemenuhan tuntutan pemberlakuan hukum pidana Islam,
seperti yang terjadi di Aceh, dipahami dalam konteks pemenuhan hak-hak
sipil juga karena itu berarti negara dan masyarakat HAM internasional
menghormati hak internal umat untuk menentukan nasib sendiri. Persoalan ini
sangat kompleks dan tidak mungkin dijawab hanya dengan menggunakan
pendekatan universalisme HAM atau relativitas budaya secara ekslusif.
Kecenderungan yang berlebihan pada salah satu pendekatan tadi tidak akan
menyelesaikan persoalan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
Ini karena teori universalisme HAM akan bermanfaat untuk menjamin
perlindungan dan penegakan hak asasi individu dari pelanggaran yang
dilakukan oleh negara dan/atau kelompok masyarakat. Akan tetapi, penekanan
yang berlebihan pada pendekatan ini tanpa mempertimbangkan keyakinan
Muslim pada aspek ‘ketuhanan’ dari hukum pidana Islam hanya akan
menimbulkan resistensi terhadap penerapan standar hukum HAM
internasional dari umat Islam.5

5
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, April 2010, hal.104
6
C. Isu Inkompatibilitas (Ketidaksesuaian) dengan hukum islam
Ketentuan hukum Islam disyariatkan dalam dua sumber utama doktrin
Islam yakni al-Qur’an dan Hadis. Berdasarkan ketentuan dari dua sumber
utama doktrin Islam tadi dan ijma’ para sahabat, hukum pidana Islam
kemudian diteorisasikan dan disusun oleh para fuqaha pada tiga abad
pertama sejak kelahiran islam.
Hukum islam kemudian menjadi klasik dengan kemunculan empat
madzhab hukum sunni pada abad kesepuluh. Terdapat sejumlah perbedaan
terhadap ke empat madzhab tadi, namun tetap sesuai dan berlandaskan
dengan syari’at. Keempat madzhab ini juga tersebar di sejumlah negara
muslim sehingga mempengaruhi kandungan hukum islam pada masing-
masing daerah. Berdasarkan ini terlihat kesulitan yang bisa di hadapi oleh
Indonesia dalam menyeimbangkan antara tuntunan Syariat dengan adannya
norma HAM Internasional yang telah di ratifikasi terutama ICCPR.
Pada satu sisi Indonesia harus mematuhi ketentuan ICCPR tentang hak-
hak sipil, seperti hak untuk hidup dan hak untuk dari hukuman badan. Pada
sisi lain Indonesia juga harus mengakomodasi tuntutan dari sejumlah warga
negarannya yang ingin menjalankan ajaran agamannya dengan bebas dan
seutuhnya.
Indonesia sebagai negara anggota PBB, yang menyatakan sebagai negara
berkedaulatan rakyat (demokratis) dan negara hukum. Persoalan HAM
perlu mendapat perhatian dan perlindungan. Sebagai bagian dari masyarakat
dunia, Indonesia telah meratifikasi beberapa instrumen Internasional
tentang HAM. Ratifikasi dilakukan melalui peraturan perundang-undangan
dalam bentuk Undang-undang dan Keputusan Presiden.
Dalam hukum islam menyatakan secara gamblang bahwa hukuman mati
adalah sebuah keharusan dalam kejahatan pembunuhan, sedangkan menurut
konsep HAM khususnya dunia Internasional yang di dominasi negara barat
menyatakan bahwa hukuman mati tidak dianjurkan karena melanggar hak
hidup seseorang yang merupakan sebuah kaharusan.
7
Perjanjian ini (ICCPR) mewajibkan untuk negara anggotannya
melindungi:
1) Hak-hak sipil dan politik
adalah hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai
hakikat dari keberadaan seorang manusia. Arti kata sipil adalah
kelas yang melindungi hak-hak kebebasan individu dari
pelanggaran yang tidak beralasan oleh pemerintah dan organisasi
swasta, dan memastikan kemampuan seseorang untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sipil dan politik negara
tanpa deskriminasi atau penindasan. Perjuangan penegakan hak-
hak sipil dan politik telah dimulai jauh sebelum hak-hak tersebut
dijamin dalam Konvenan Internasional. Hak-hak sipil bervariasi
di setiap negara karena perbedaan dalam demokrasi, tetapi
mungkin untuk menunjukkan beberapa hak-hak sipil yang
sebagian besar tetap umum.
2) Hak- hak ekonomi, sosial dan budaya
Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah hak asasi
manusia yang terkait dengan aspek sosio ekonomi dan budaya
seperti hak pendidikan, hak atas perumahan, hak atas standar
hidup yang layak, hak kesehatan, dan hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan budaya.
melarang diskriminasi berdasarkan ras atau etnis terkait
dengan pemenuhan sejumlah hak ekonomi, sosial dan budaya
(walaupun pelarangan tersebut juga terkandung di dalam
perjanjian-perjanjian HAM lainnya).

Pasal 1(1) ICCPR menyatakan bahwa masyarakat internasional harus


menghormati hak internal untuk menentukan nasib sendiri. Hak khusus
bagi Muslim untuk menerapkan hukum agamanya bisa dipahami dari
8
perspektif ini karena ia mencakup hak untuk menentukan perkembangan
budaya sendiri tanpa intervensi dari luar.6
Dalam sejarah, hudud, qisas, dan ta`zir adalah bagian dari budaya
negara Muslim dan ketiganya diberlakukan dalam sistem hukum. Situasi
ini berubah ketika sebagian besar negara Muslim dijajah oleh bangsa
Eropa. Hukum pidana dari Eropa (Continental atau Anglo-Saxon) mulai
diperkenalkan di wilayah Islam dan hukum Islam secara sistematis
digantikan oleh hukum kolonial kecuali di bidang hukum keluarga Islam.
ICCPR sebagai instrumen hukum HAM internasional di bidang hak-hak
sosial dan politik telah mencantumkan jaminan kebebasan beragama dalam
pasal 18(1).
Kebebasan beragama yang dijamin tidak hanya kebebasan untuk
memeluk agama atau keyakinan tertentu, tapi juga kebebasan untuk
memanifestasikan agama/keyakinan itu dalam ibadah, upacara
keagamaan, praktek dan pengajarannya, baik sendiri maupun secara
berkelompok.
Oleh karena itu, umat Islam memiliki hak untuk memanifestasikan
keyakinan agamanya sebagaimana disyaratkan oleh Syariat, termasuk ke
dalamnya pelaksanaan hukum tindak pidananya.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pembatasan terhadap
kebebasan untuk memanifestasikan agama/kepercayaan adalah tidak sah
secara hukum jika, inter alia, pembatasan itu dirancang untuk mencegah
penganut suatu agama dari melakukan ritual agamanya dan perilaku yang
terkait dengan ritual itu.

6
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, April 2010. Hal. 110
9
BAB III

KESIMPULAN

HAM dipercaya sebagai memiliki nilai universal, yang berarti tidak


mengenal batas dan ruang waktu. Nilai universal HAM tersebut dikukuhkan dalam
instrumen Internasional yang juga memuat institusi (lembaga) Internasional sebagai
lembaga pengawas dan penegakan HAM.

Perjanjian Internasional sebagai instrumen Internasional, pada Statuta


International Court of Justice (ICJ) Pasal 38 (1) secara tegas menyebutkan bahwa
perjanjian (konvensi) Internasional yang menetapkan norma hukum yang diakui
oleh negara pihak yang terlibat, merupakan sumber utama dalam hukum
Internasional HAM.

Selain itu, instrumen Internasional tentang HAM dapat berbentuk kebiasaan


Internasional, prinsip umum hukum yang diakui bangsa beradab (ius cogens), dan
keputusan yudisial serta ajaran para ahli hukum.

Karakter penting dari HAM, bahwa hak adalah tak-terpisahkan, akan


terancam dengan masuknya pandangan dunia ketiga seperti penekanan yang
berlebihan terhadap keutamaan kelompok dari individu. Akibatnya, bisa saja
terjadi pelanggaran terhadap HAM yang kemudian didukung oleh negara
dengan alasan ketertiban/ketentraman umum.

10
DAFTAR PUSTAKA

Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. II No. 2 Desember 2015. ISSN: 2356-
1459 - 443

Alfitri; Telaah konsep Ham dan implementasi ratifikasi ICCPR dan CAT di
Indonesia

Ibnudin; Pemikiran Isu-Isu Kontemporer Dalam Dunia Keislaman

Dedy Nursamsi; FSH Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

11

Anda mungkin juga menyukai