Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Islam dan HAM
Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARIAH
SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur di panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya. Atas berkat rahmat dan hidayat-Nya serta berbagai
upaya.
tugas makalah mata kuliah Hukum Islam dan HAM yang membahas tentang
”Instrumen HAM (ICCPR) dan isu Inkompabilitas dengan hukum islam”.
Dalam penyusunan makalah ini, ditulis berdasarkan buku yang berkaitan dengan
islam, dan serta informasi dari media massa yang berhubungan dengan sejarah
berkembangnya islam. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih kurang
sempurna. Untuk itu diharapkan berbagai masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaannya.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat membawa manfaat untuk pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perspektif islam sebagaimana yang dikonsepkan Al-qur’an, Hak
Asasi Manusia bersesuaian dengan Hak-hak Allah swt. Hal ini menunjukkan
bahwa konsep HAM dalam pandangan islam bukanlah hasil evolusi apapun
dari pemikiran manusia, namun merupakan hasil dari pemikiran manusia,
namun merupakan hasil dari wahyu ilahi yang telah diturunkan untuk umat
manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka dapat dibuat rumusan masalahnya
diantaranya:
1. Bagaimana pengertian dan pemahaman mengenai instrumen HAM
(ICCPR)?
2. Bagaimana isi pembahasan perjanjian (Kovenan) Internasional?
3. Bagaimana isu inkompatibilitas (ketidaksesuaiannya) dengan
hukum islam?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan tujuan
permasalahannya diantaranya ialah:
1
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan mengenai apa itu Instrumen
HAM (ICCPR).
2. Membahas mengenai isi dari perjanjian (Kovenan) Internasional.
3. Mendeskripsikan mengenai isu inkompabilitas (ketidaksesuaian)
dengan hukum islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
setelah menjadi negara anggota dan apabila diminta oleh komite (biasannya
setelah empat tahun). Komite ini berkumpul di Jenewa dan mengadakan tiga
sesi setiap tahunnya.
Definisi hukum Internasional yang diberikan oleh pakar hukum terkenal di
masa lalu, terbatas pada negara sebagai subyek hukum. Namun dengan
perkembangan pesat abad XX, terutama meningkatnya hubungan kerjasama
dan ketergantungan antar negara, menjamurnya organisasi Internasional,
menyebabkan ruang lingkup hukum Internasional menjadi lebih luas.1
Hukum Internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam
hubungannya dengan negara-negara. Dengan demikian, hukum Internasional
dapat dirumuskan sebagai suatu kaidah atau norma-norma yang mengatur hak
dan kewajiban para subyek hukum Internasional, yaitu negara, lembaga dan
organisasi Internasional, serta individu dalam hal tertentu2. Hukum
Internasional saat ini bukan saja mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
perdamaian dan keamanan, tetapi juga menyangkut masalah politik,
dekolonisasi, ekonomi, teknologi, masalah lingkungan, dan HAM demi
tercapainya kesejahteraan dan keserasian dan kehidupan antar bangsa.
Keputusan yudisial dan ajaran para ahli hukum, sebagai sumber hukum
internasioanl HAM juga dinyatakan oleh Pasal 38 (1) ICJ. Dalam konteks ini
putusan yang ditetapkan oleh Mahkamah Pengadilan Internasional (ICJ),
mempunyai posisi khusus, sebagai putusan yang dapat dijadikan sumber
hukum Internasional. Selain keempat sumber hukum tersebut, keputusan-
keputusan organisasi Internasional juga dapat disebut sebagai sumber hukum
Internasional yang penting dalam HAM, terutama disebabkan dapat munculnya
hak dan kewajiban Internasional di bidang HAM. Sebagai contoh, resolusi-
resolusi yang diadopsi dan ditetapkan Majelis Umum (General Assembly-GA),
1
Sodikin. “Hukum dan Hak Kebebasan Beragama” JURNAL CITA HUKUM [Online], Volume 1
Number 2 (2 Desember 2013), h. 177-178
2
Boer Manna, Hukum Internasional-Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global., (Bandung:
Alumni, 2001)., hal. 2
4
Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council-ECOSOC) atau
Komisi Hak hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights-CHR)
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).3
3
Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum- Kelompok Kerja
Ake Arif, 2006), hal. 10
4
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 2003).
5
dan keputusan yudisial serta ajaran para ahli hukum. Perkembangan instrumen
Internasional tentang HAM, mengalami kemajuan yang pesat di bawah PBB,
baik berupa perjanjian Internasional dalam bentuk konvensi, kovenan, statuta
serta standar Internasional lainnya. Selain itu, terdapat deklarasi, proklamasi,
kode etik, aturan bertindak, prinsip-prinsip dasar dan rekomendasi.
Berdasarkan ini terlihat kesulitan yang bisa dihadapi oleh Indonesia
dalam menyeimbangkan antara tuntutan Syariat Islam. Pada satu sisi
Indonesia harus mematuhi ketentuan ICCPR dan CAT tentang hak-hak sipil
seperti hak untuk hidup dan hak untuk dari hukuman badan. Pada sisi lain,
Indonesia juga harus mengakomodasi tuntutan dari sejumlah warga
negaranya yang ingin menjalankan ajaran agamanya dengan bebas dan
seutuhnya, termasuk di sini penerapan hukum agama di bidang pidana.
Dalam ICCPR sendiri ada ketentuan tentang hak untuk menentukan nasib
sendiri bisakah pemenuhan tuntutan pemberlakuan hukum pidana Islam,
seperti yang terjadi di Aceh, dipahami dalam konteks pemenuhan hak-hak
sipil juga karena itu berarti negara dan masyarakat HAM internasional
menghormati hak internal umat untuk menentukan nasib sendiri. Persoalan ini
sangat kompleks dan tidak mungkin dijawab hanya dengan menggunakan
pendekatan universalisme HAM atau relativitas budaya secara ekslusif.
Kecenderungan yang berlebihan pada salah satu pendekatan tadi tidak akan
menyelesaikan persoalan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
Ini karena teori universalisme HAM akan bermanfaat untuk menjamin
perlindungan dan penegakan hak asasi individu dari pelanggaran yang
dilakukan oleh negara dan/atau kelompok masyarakat. Akan tetapi, penekanan
yang berlebihan pada pendekatan ini tanpa mempertimbangkan keyakinan
Muslim pada aspek ‘ketuhanan’ dari hukum pidana Islam hanya akan
menimbulkan resistensi terhadap penerapan standar hukum HAM
internasional dari umat Islam.5
5
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, April 2010, hal.104
6
C. Isu Inkompatibilitas (Ketidaksesuaian) dengan hukum islam
Ketentuan hukum Islam disyariatkan dalam dua sumber utama doktrin
Islam yakni al-Qur’an dan Hadis. Berdasarkan ketentuan dari dua sumber
utama doktrin Islam tadi dan ijma’ para sahabat, hukum pidana Islam
kemudian diteorisasikan dan disusun oleh para fuqaha pada tiga abad
pertama sejak kelahiran islam.
Hukum islam kemudian menjadi klasik dengan kemunculan empat
madzhab hukum sunni pada abad kesepuluh. Terdapat sejumlah perbedaan
terhadap ke empat madzhab tadi, namun tetap sesuai dan berlandaskan
dengan syari’at. Keempat madzhab ini juga tersebar di sejumlah negara
muslim sehingga mempengaruhi kandungan hukum islam pada masing-
masing daerah. Berdasarkan ini terlihat kesulitan yang bisa di hadapi oleh
Indonesia dalam menyeimbangkan antara tuntunan Syariat dengan adannya
norma HAM Internasional yang telah di ratifikasi terutama ICCPR.
Pada satu sisi Indonesia harus mematuhi ketentuan ICCPR tentang hak-
hak sipil, seperti hak untuk hidup dan hak untuk dari hukuman badan. Pada
sisi lain Indonesia juga harus mengakomodasi tuntutan dari sejumlah warga
negarannya yang ingin menjalankan ajaran agamannya dengan bebas dan
seutuhnya.
Indonesia sebagai negara anggota PBB, yang menyatakan sebagai negara
berkedaulatan rakyat (demokratis) dan negara hukum. Persoalan HAM
perlu mendapat perhatian dan perlindungan. Sebagai bagian dari masyarakat
dunia, Indonesia telah meratifikasi beberapa instrumen Internasional
tentang HAM. Ratifikasi dilakukan melalui peraturan perundang-undangan
dalam bentuk Undang-undang dan Keputusan Presiden.
Dalam hukum islam menyatakan secara gamblang bahwa hukuman mati
adalah sebuah keharusan dalam kejahatan pembunuhan, sedangkan menurut
konsep HAM khususnya dunia Internasional yang di dominasi negara barat
menyatakan bahwa hukuman mati tidak dianjurkan karena melanggar hak
hidup seseorang yang merupakan sebuah kaharusan.
7
Perjanjian ini (ICCPR) mewajibkan untuk negara anggotannya
melindungi:
1) Hak-hak sipil dan politik
adalah hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai
hakikat dari keberadaan seorang manusia. Arti kata sipil adalah
kelas yang melindungi hak-hak kebebasan individu dari
pelanggaran yang tidak beralasan oleh pemerintah dan organisasi
swasta, dan memastikan kemampuan seseorang untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sipil dan politik negara
tanpa deskriminasi atau penindasan. Perjuangan penegakan hak-
hak sipil dan politik telah dimulai jauh sebelum hak-hak tersebut
dijamin dalam Konvenan Internasional. Hak-hak sipil bervariasi
di setiap negara karena perbedaan dalam demokrasi, tetapi
mungkin untuk menunjukkan beberapa hak-hak sipil yang
sebagian besar tetap umum.
2) Hak- hak ekonomi, sosial dan budaya
Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah hak asasi
manusia yang terkait dengan aspek sosio ekonomi dan budaya
seperti hak pendidikan, hak atas perumahan, hak atas standar
hidup yang layak, hak kesehatan, dan hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan budaya.
melarang diskriminasi berdasarkan ras atau etnis terkait
dengan pemenuhan sejumlah hak ekonomi, sosial dan budaya
(walaupun pelarangan tersebut juga terkandung di dalam
perjanjian-perjanjian HAM lainnya).
6
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, April 2010. Hal. 110
9
BAB III
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. II No. 2 Desember 2015. ISSN: 2356-
1459 - 443
Alfitri; Telaah konsep Ham dan implementasi ratifikasi ICCPR dan CAT di
Indonesia
11