Anda di halaman 1dari 22

HAKIKAT DAN DASAR BERLAKU NYA HUKUM

INTERNASIONAL
MAKALAH

Dosen pengampu : Febilita Wulansari, S.H., M.H

Disusun Oleh
1. Cecep Kholik Suparman (cecep.31622016@mahasiswa.unikom.ac.id)
2. Annisa Nurfadila (annisa.31622005@mahasiswa.unikom.ac.id)
3. Tiara Dita (tiara.31622023@mahasiswa.unikom.ac.id)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
2024
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................i


KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Identifikasi Masalah..................................................................................2
C. Rumusan Masalah.....................................................................................2
D. Tujuan........................................................................................................2

BAB II ASPEK HUKUM DAN TEORI


A. Pengertian dan batasan Hukum Internasional...........................................3
B. Perjanjian dan Hukum Perjanjian..............................................................4
C. Subyek Hukum Internasional....................................................................5

BAB III PEMBAHASAN


A. Hakikat Hukum Internasional....................................................................8
B. Aliran Mengenai Berlakunya Hukum Internasional..................................10

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................15
B. Saran..........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hingga dewasa ini di antara para ahli hukum masih sukar untuk mengenal hukum
dengan penglihatannya. Untuk mengenal hukum dengan baik sama halnya usaha untuk
mengenal udara dengan penglihatannya. Udara hanya dapat dikenal atau dilihat melalui
penjelmaan dari udara itu sendiri, seperti dalam balon, dalam ban mobil atau motor,
hembusan udara sejuk dan sebagainya. Jadi yang dapat dikenal bukan dari wujud udara
itu sendiri. Demikian halnya dengan hukum, apabila hukum dilihat dari serangkaian
pasal-pasal dalam undangundang atau peraturan perundangan atau melalui proses
peradilan dalam sidang-sidang di pengadilan, berarti yang dilihat adalah penjelmaan
dari hukum. Bila demikian halnya maka setiap orang akan dapat melihat hukum. Namun
apabila hukum itu dilihat sebagai penjelmaan dari pergaulan hidup manusia dalam
masyarakat yang teratur, maka gambaran atau penglihatan tentang hukum akan
berbeda.1
Hukum bukan merupakan serangkaian pasalpasal yang diam pada setiap peraturan
perundangan atau bukan merupakan pasal-pasal yang “diadu” dalam proses peradilan,
namun hukum merupakan sesuatu yang hidup, merupakan serangkaian kaidahyang
hidup dalam masyarakat. Sehingga manfaat hukum dapat segera dirasakan dalam
kehidupan masyarakat.
Demikian juga dengan hukum internasional. Untuk mendapatkan gambaran tentang
hukum internasional tidak cukup bila hanya mengenal pasalpasal dalam Konvensi atau
Perjanjian Internasional saja, namun juga melihat pada serangkaian kaidah yang hidup
dalam pergaulan antar negara. Hukum internasional harus diasosiasikan dalam
kehidupan masyarakat internasional. Hukum internasional terjelma dalam masyarakat
internasional yang tertib dan teratur.2 Sekalipun sering didengar adanya perkosaan
terhadap perdamaian, adanya sengketa antar negara, bahkan aturan-aturan hukum
internasional justru dipakai sebagai alasan pembenar atas tindakan suatu negara dalam
rangka melawan negara lain;1 adanya pelanggaran hak asasai manusia dimanamana.
1
Kusumaatmadja, M., & Agoes, E. R. (2021). Pengantar hukum internasional. Penerbit Alumni.
2
Sunyowati, D. (2013). Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum dalam Hukum Nasional (Dalam
Perspektif Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional di Indonesia). Jurnal Hukum dan
Peradilan, 2(1), 67-84.
2

Dalam kondisi yang demikian maka sering hukum internasional dianggap bukan sebagai
hukum, karena pada kenyataannya hukum internasional tidak dapat bekerja secara
efektif.
Namun apabila dicermati, banyaknya pelanggaran terhadap hukum internasional
sama halnya yang terjadi pada hukum nasional. Sekalipun sudah ada hukum pidana
nasional, namun masih banyak pencurian, perkosaan, pembunuhan dan sebagainya.
Terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum (internasional) hendaknya dianggap sebagai
suatu gejala luar biasa atau perkecualian atas norma-norma atau kaidahkaidah standar
yang berlaku dalam masyarakat (internasional). Pelanggaran, pada hakikatnya hanya
menyangkut efektifitas hukum, bukan menyangkut validitas hukum.

B. Identifikasi Masalah
1. Untuk menjawab keragu-raguan terhadap eksistensi hukum internasional.
2. Menganalisis eksistensi hukum sebagai dasar kekuatan mengikat hukum
internasional.

C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Hakikat Hukum Internasional?
2. Ada berapa Aliran Mengenai Berlakunya Hukum Internasional?

D. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Hakikat Hukum Internasional.
2. Untuk mengetahui Aliran Mengenai Berlakunya Hukum Internasional.
3

BAB II
ASPEK HUKUM DAN TEORI

A. Pengertian dan batasan Hukum Internasional


Hukum internasional adalah kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan
atau hal-hal yang mengenai lintas batas negara antara negara dengan negara dan negara
dengan subyek hukum bukan negara atau subyek hukum bukan negara dengan subyek
hukum bukan negara. Hukum internasional digunakan untuk pengikat kepentingan-
kepentingan yang dimana ruang lingkup kepentingan tersebut sudah bukan lagi sebatas
kepentingan negara itu sendiri, namun ada pula kepentingan negara lain atau pun
subyek hukum internasional lainnya yang bukan hukum, salah satu contohnya yaitu
organisasi internasional. Hukum internasional tidak memiliki ciri khas khusus satu
negara saja, namun hukum internasional itu memuat kaidah-kaidah dan asas-asas yang
dianggap dapat diterima oleh seluruh masyarakat internasional yang berbeda-beda atau
masyarakat internasional yang multi-culture.3
Kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang diatur dalam hukum internasional
mencakup persoalan-persoalan yang melintasi negara-negara. Artinya, hukum
internasional ini bukanlah hukum internasional yang bersifat privat namun hukum
internasional yang bersifat publik. Ivan A. Shearer melalu definisinya tentang hukum
internasional menjelaskan sebagai berikut:
“Hukum internasional adalah hukum yang disusun karena prinsipprinsipnya yang
lebih besar dan aturan tentang prilaku, dimana negara terikat untuk mematuhi dan
karena itu, secara umum mematuhi hubungan negara dengan yang lain, dan juga pula:
1. Hukum yang berhubungan dengan fungsi dari institusi atau organisasi
internasional, hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan
negara dan individual, dan;
2. Hukum yang berhubungan dengan individu-individu dan subyek bukan negara
selama hak atau kewajiban mereka merupakan perhatian dari dunia
internasional.”

3
Widagdo, S., Suryokumoro, H., Widhiyanti, H. N., Puspitawati, D., Audrey, P., Kusumaningrum, A., ...
& Susanto, F. A. (2019). Hukum Internasional dalam Dinamika Hubungan Internasional. Universitas
Brawijaya Press.
4

Pandangan Shearer terhadap hukum internasional bahwa fungsi dari hukum


internasional adalah memuat aturan hukum yang berhubungan dengan institusi atau
organisasi internasional, negara, individu, termasuk di dalamnya individu yang menjadi
perhatian komunitas internasional.

B. Hukum Internasional dapat mengikat Negara


Hubungan antara subyek hukum pada hukum internasional merupakan hubungan
yang bersifat koordinasi, dengan adanya ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tidak adanya kekuasaan eksekutif yang kuat.
2. Kondisi masyarakat internasional adalah koordinasi, yaitu setara, karena negara-
negara di dunia adalah setara, tidak ada negara yang lebih tinggi dari negara
lainnya.
3. Tidak adanya lembaga yudikatif dan lembaga penegak hukum internasional
seperti polisi pada hukum nasional.
4. Tidak dapat memaksakan daya berlakunya hukum internasional.4
Dari ciri hubungan pada hukum internasional di atas, dapat disimpulkan bahwa sulit
untuk mengikat hukum internasional dengan negara, karena tidak ada yang dapat
memaksakan sebuah negara untuk memberlakukan internasional di wilayah
kedaulatannya dan tidak adanya penegak hukum yang dapat memaksakan dan
memastikan hukum internasional dapat berlaku. Namun, ada beberapa teori dan mazhab
yang dapat memberikan penjelasan tentang daya ikat hukum internasioal pada suatu
negara yaitu:
1. Teori Hukum Alam (Natural Law)
Menurut teori hukum alam, hukum internasional merupakan hukum alam yang
diterapkan pada masyarakat internasional, sehingga negara tunduk pada hukum
internasional. Pemikiran tentang hukum alam ini kemudia disempurnakan pada abada
XVIII oleh Emmerich Vattel, seorang ahli hukum dan diplomat dari negara Swiss, di
dalam bukunya Droit des Gens, yang mengungkapkan bahwa istilah hukum negara-
negara digunakan untuk menerapkan hukum alam ke negara-negara. Hal itu diperlukan
karena negara akan benar-benar terikat untuk mematuhinya.

4
Rosdiyanti, E., & Abustan, A. (2020). Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum dalam Hukum
Nasional (Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Di
Indonesia). JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi, 2(2).
5

2. Teori Kehendak Negara


Menurut teori kehendak negara, hukum internasional dapat mengikat karena negara
dengan kemauannya sendiri mengikatkan diri dan tunduk pada hukum internasional.
Zorn, salah satu pemuka pendapat teori kehendak negara mengungkapkan bahwa
hukum internasional adalah perwujudan dari hukum tata negara yang mengatur
hubungan luar negeri (auszeres Staatsrecht). Hukum internasional bukan hukum yang
lebih tinggi dan mempunyai kekuatan mengikat tanpa kemauan negara.
3. Teori Kehendak Bersama
Menurut Triepel, hukum internasional dapat mengikat karena adanya kehendak
bersama-sama dari negara-negara untuk mematuhi hukum internasional. Triepel
menyatakan kehendak negara menjadikan dasar mengikat hukum internasional, yang
dimana teori kehendak negara ini sama dengan teori kedaulatan dan aliran positivisme.
4. Mazhab Wiena
Menurut Mazhab Wiena, kekuatan mengikat sebuah kaidah hukum internasional
didasari oleh kaidah yang lebih tinggi yang dimana kaidah yang lebih tinggi ini didasari
kaidah yang lebih tinggi dan seterusnya sampai akhirnya ada pada puncak kaidah
tertinggi. Kaidah tertinggi ini yang disebut sebagai kaidah dasar (Grundnorm).
Grundnorm di sini adalah persoalan di luar hukum (metayuridis), dimana hukum
internasional itu mengikat karena nilai-nilai kehidupan manusia, yaitu keadilan dan
moral.
5. Mazhab Perancis
Menurut Mazhab Perancis, kekuatan mengikat hukum internasional terdapat pada
factor biologis, sosial, dan sejarah perjalanan hidup manusia yang disebut fakta
kemasyarakatan (fait social) yang tidak hanya mendasari kekuatan hukum internasional,
melainkan pula hukum secara umum.5

C. Subyek Hukum Internasional


Subyek hukum adalah semua hal yang dapat melaksanakan hak dan kewajiban yang
telah diberikan oleh hukum. Manusia (naturlijk persoon) adalah mahluk hidup yang
dapat melaksanakan hak dan kewajiban secara utuh. Selain manusia, ada subyek hukum
yang tergolong kepada subyek hukum bukan manusia, yaitu badan hukum (recht

5
Samekto, F. A., & SH, M. (2018). Negara dalam dimensi hukum internasional. PT Citra Aditya Bakti.
6

person). Badan hukum bertindak melaksanakan hak dan kewajiban seperti sekumpulan
manusia. Dalam hukum internasional, subyek hukumnya lebih beragam bila
dibandingkan dengan hukum nasional. Hukum internasional mengakui subyek-subyek
hukum internasional yaitu:
1. Negara merupakan subyek hukum internasional yang sudah diakui sejak hukum
internasional di zaman kerajaan. Negara-negara di dunia membuat hukum
internasional dan melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan hukum
internasional.
2. Takhta Suci (Vatican) adalah subyek hukum internasional yang sudah ada sejak
zaman dahulu di samping negara. Penyematan takhta suci sebagai subyek
hukum internasional dikarenakan factor dari sejarah dimana pada saat itu Paus
bukan hanya sebagai kepala gereja Roma, namun juga memiliki kekuasaan
duniawi. Takhta suci memiliki perwakilan diplomatik di banyak ibu kota.
3. Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross) adalah
yaitu lembaga bantuan yang pada saat itu membantu menolong korban-korban
perang dunia yang terluka tanpa mengenal dari mana asal muasal korban
tersebut. Palang Merah Internasional menjadi subyek hukum dikarenakan
perannya di sejarah dunia internasional dan peran-perannya yang diakui oleh
konvensi-konvensi palang merah. Namun, walaupun sebagai subyek hukum
internasional, kewenangannya sebagai subyek hukum internasional terbatas
sesuai dengan hukum internasional yang berlaku.
4. Organisasi internasional adalah badan-badan hukum internasional yang memiliki
hak dan kewajiban sesuai dengan konvensi-konvensi internasional. Organisasi
internasional memiliki hal-hal yang khusus yang dinaungi untuk membantu
menyelesaikan ataupun membuat hukum untuk mengatur masalah-masalah
khusus tersebut.
5. Individu merupakan orang per seorangan, dalam artian bahwa manusia itu
sendiri yang menjadi subyek hukum internasional. Pengakuan terhadap
diakuinya subyek hukum internasional sebagai subyek hukum internasional
sudah berlangsung lama. Perjanjian Perdamaian Versailles 1919 dan perjanjian
antara Jerman dan Polandia mengenai Silesia Atas (Upper Silesia)
7

memungkinkan individuindividu untuk mengajukan perkara ke hadapan


Mahkamah Arbitrase Internasional.
6. Pemberontak sebagai subyek internasional hanya dalam beberapa keadaan saja.
Pemberontak merupakan pihak yang bersengketa (belligerent) harus mendapat
pengakuan dari negara ketiga sebagai kekuatan yang dapat mengimbangi negara
yang diberontak. Dengan diakuinya sebagai beliigerent, maka pemberontak bisa
melakukan hubungan internasional dengan negara ketiga.6

6
Hasim, H. (2019). Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional Perspektif Teori Monisme dan
Teori Dualisme. Mazahibuna: Jurnal Perbandingan Mazhab.
8

BAB III
PEMBAHASAN

A. Hakikat Hukum Internasional


Mengenai hakikat dan dasar berlakunya hukum internasional secara teoritis banyak
menimbulkan kontroversi. Pembahasan tentang teori-teori berlakunya hukum
internasional mungkin akan membantu menjelaskan sebagian besar aspek penting dari
pokok permasalahan tersebut. Pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah hukum
internasional ini benar-benar hukum ? Satu teori yang telah memperoleh pengakuan luas
adalah bahwa “hukum internasional bukan hukum dalam arti yang sebenarnya,
melainkan suatu himpunan kaidah-kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan
moral semata”. Pendukung utama teori ini adalah John Austin (1790-1859) seorang
penulis yurisprudensi berkebangsaan Inggris. Penulis lainnya yang juga
mempertanyakan karakter sebenarnya dari hukum internasional adalah Thomas Hobbes,
Puffendorf, dan Jeremy Bentham.
Pandangan Austin terhadap hukum internasional diwarnai oleh teorinya tentang
hukum pada umumnya. Menurut teori Austin, hukum stricto sensu dihasilkan dari
keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislative yang benar-benar
berdaulat. Secara logis apabila kaidah-kaidah tersebut bukan berasal dari suatu otoritas
yang berdaulat, yang secara politis berkedudukan paling tinggi, atau apabila tidak
terdapat otoritas yang berdaulat demikian, maka kaidah-kaidah tersebut tidak dapat
digolongkan dalam kaidahkaidah hukum, melainkan hanya kaidah-kaidah dengan
validitas moral atau etika semata-mata.
Teori umum demikian apabila diterapkan pada hukum internasional yang “tidak
dihasilkan oleh suatu badan otoritas yang memiliki kekuasaan legislative atau otoritas
yang secara tegas berkuasa atas masyarakat negara-negara”; di samping itu hingga saat
ini kaidah-kaidah hukum internasional hamper secara eksklusif bersifat kebiasaan, maka
Austin menyimpulkan bahwa hukum internasional bukan hukum dalam arti yang
sebenarnya, melainkan hanya “moralitas internasional positive” (positive international
morality), yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok
9

atau masyarakat. Bahkan Austin menggambarkan hukum internasional sebagai terdiri


atas “opini-opini atau sentiment-sentimen yang berlangsung di antara bangsa-bangsa
pada umumnya”. Pandangan Austin ini sebenarnya sesuai dengan pandangan tentang
klasifikasinya mengenai tiga kategori hukum, yaitu hukum Tuhan (divine law), hukum
positive (positive law), dan moralitas positive (positive morality).
Argumentasi Austin dapat dibantah dengan jawaban sebagai berikut :
a. Yurisprudensi zaman moderen tidak memperhitungkan kekuatan teori umum
tentang hukum dari Austin, telah dibuktikan bahwa pada beberapa kelompok
masyarakat walaupun tidak memiliki otoritas legislative formal, suatu system
hukum telah berjalan dan ditaati. Hukum tersebut tidak berbeda dalam hal
kekuatan mengikatnya dari suatu negara yang benar-benar mempunyai otoritas
legislative.
b. Pendapat Austin tersebut meskipun benar pada zamannya, tetapi tidak tepat bagi
hukum internasional sekarang ini. Pada masa sekarang ini kebiasaan
internasional sebagai sumber hukum internasional sudah makin berkurang,
digantikan dengan perjanjian-perjanjian multilateral (konvensi) yang prosedur
pembentukannya melalui konferensi internasional, walaupun proses tersebut
tidak sama dengan proses pembuatan undangundang dalam suatu badan
legislative di dalam suatu negara.
c. Persoalan-persoalan hukum internasional senantiasa diperlakukan sebagai
persoalan-persoalan hukum oleh pejabatpejabat berwenang yang menangani
urusan internasional dalam berbagai kementerian luar negeri, atau melalui
berbagai badan administrasi internasional. Atau dengan kata lain badan-badan
otoritas yang bertangung jawab untuk memelihara hubunganhubungan
internasional tidak menganggap hukum internasional hanya sebagai himpunan
peraturan moral semata-mata.7
Di samping itu dalam praktik, negara-negara tertentu secara tegas memberlakukan
hukum internasional sebagai kaidah yang memiliki kekuatan mengikat yang sama
dengan hukum nasional yang mengikat warga-warga negara mereka. Contohnya
Konstitusi Amerika Serikat Pasal VI ayat (2) menentukan, bahwa “perjanjianperjanjian
adalah hukum tertingi” (the supreme law of the land) . Pada masa sekarang ini kekuatan

7
Latipulhayat, A. (2021). Hukum internasional: Sumber-Sumber Hukum. Sinar Grafika.
10

mengikat secara hukum dari hukum internasional ditegaskan oleh bangsa-bangsa di


dunia dalam suatu konferensi internasional, antara lain :
a. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan dalam Konferensi di San
Fransisco pada tahun 1945, di mana pembentukannya secara tegas maupun
implicit didasarkan atas legalitas sebenarnya dari hukum internasional;
b. Di dalam Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional, dinyatakan “untuk
memutuskan perkara-perkara demikian sesuai dengan hukum internasional yang
diajukan kepadanya (lihat pasal 38).
c. Deklarasi Helsinki tanggal 1 Agustus 1975, di mana lebih dari 30 negara Eropa,
Tahta Suci (Vatikan), USA, dan Kanada telah menyatakan pengikatan diri
kepada ikrar berikut : “negara-negara peserta dengan itikad baik akan memenuhi
kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum internasional (termasuk)
kewajiban-kewajiban demikian yang timbul dari prinsip-prinsip dan kaidah-
kaidah hukum internasional yang diakui umum dalam melaksanakan hak
berdaulat mereka, termasuk hak mereka akan menyesuaikan kewajiban-
kewajiban hukumnya menurut hukum internasional” (J.G. Starke, 2001 : 22).
Berdasarkan uraian di atas, maka tidak diragukan lagi bahwa hukum internasional
pada hakikatnya adalah hukum dalam arti yang sebenarnya, sama seperti halnya hukum
(positif) lainnya yang berlaku dalam suatu Negara, seperti hukum pidana, hukum
perdata, dan hukum tata negara.8

B. Aliran Mengenai Berlakunya Hukum Internasional


Apabila sudah tidak ada lagi keraguan mengenai hukum internasional, maka timbul
permasalahan berikutnya yaitu mengapa hukum internasional mengikat negara-negara,
apa yang menjadi landasan berlakunya sehingga ia mengikat negara-negara? Guna
menjawab permasalahan tersebut, maka kita menjawabnya berdasarkan aliran/paham
mengenai daya mengikat hukum internasional.
1. Aliran/paham hukum alam.
Teori hukum alam (natural law) merupakan teori tertua. Ajaran ini memiliki
pengaruh yang sangat besar atas hukum internasional sejak pertumbuhannya. Ajaran
ini semula memiliki ciri keagamaan (semi teologis) yang kuat yang kemudian
8
Safriani, A. (2018). Hakikat Hukum Dalam Perspektif Perbandingan Hukum. Jurnal
Jurisprudentie, 5(2), 23-31.
11

disekulerisasi hubungannya dengan keagamaan itu oleh sarjana berkebangsaan


Belanda Hugo Grotius. Pada bentuknya yang telah disekulerisasi, hukum alam
diartikan sebagai “hukum ideal yang didasarkan atas sifat hakikat manusia sebagai
makhluk yang berfikir, yaitu sebagai serangkaian kaidah yang diturunkan oleh alam
kepada akal budi manusia”.
Menurut para penganut ajaran hukum alam, hukum internasional itu mengikat
karena :
a. Hukum Internasional itu tidak lain daripada “hukum alam” yang diterapkan pada
kehidupan bangsa-bangsa; atau dengan perkataan lain.
b. Negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara
mereka satu sama lain, karena hukum internasional itu merupakan bagian dari
hukum yang tertinggi yaitu hukum alam.
Pada perkembangan selanjutnya konsep hukum alam ini pada abad ke XVIII
disempurnakan lagi antara lain oleh Emmerich Vattel (1714-1767) seorang ahli hukum
dan diplomat berkebangsaan Swiss yang menulis buku dengan judul Droit des Gens,
yang substansinya antara lain mengusulkan pemakaian istilah “hukum bangsa-bangsa”
yang mana hukum tersebut berasal dari penerapan hukum alam terhadap bangsa-bangsa.
Terhadap teori hukum alam mengenai daya mengikat hukum internasional ini dapat
diajukan keberatan-keberatan, yaitu karena masing-masing teoritikus mempergunakan
suatu konsepsi yang konkrit sebagai suatu kiasan, seperti nalar, keadilan, kemanfaatan,
kepentingan masyarakat internasional, kebutuhan atau perintahperintah agama. Hal ini
banyak menimbulkan kebingungan, karena penafsiran hukum alam sangat berlainan dan
sangat tergantung pada pendapat subyektif dari para teoritisi yang bersangkutan.
Teori hukum alam yang dominant pada abad ke 17 dan 18, mengalami kejenuhan
pada abad ke 19. Namun pada abad ke 20 teori hukum alam ini bangkit kembali sebagai
latar depan filasafat sosial dan hukum. Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang
dihasilkan sidang Majelis Umum PBB pada ahun 1948; Draft Declaration on the Rights
and Duties of States tahun 1949 yang dipersiapkan oleh Komisi Hukum Internasional
PBB; Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; dan Covenant on Civil and
Political Rights yang dihasilkan oleh sidang MU PBB tanggal 16 Desember 1966
(mulai berlaku tahun 1976), pembentukannya dilandasi oleh filsafat hukum alam.
Hukum alam juga dikemukakan untuk membenarkan penghukuman pelaku-pelaku
12

tindak pidana/kejahatan perang selama perang Dunia II yang dlakukan oleh tentara
Jepang dan Jerman.9
2. Aliran/paham positivisme
Aliran ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional atas kehendak
negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut penganut positivis,
“pada dasarnya negaralah yang merupakan sumber segala hukum, dan hukum
internasional itu mengikat karena negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada
hukum internasional”. Pengertian kehendak negara (state will) ini berasal dari ahli
filsafat Jerman yang terkenal yaitu Hegel. Adapun pemuka-pemuka aliran kehendak
negara ini adalah :
a. George Jellineck yang terkenal dengan “selbst-limitation theorie” (pembatasan
secara sukarela);
b. Zorn, berpendapat bahwa hukum internasional tidak lain adalah “hukum tata
negara yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres staatrecht)”.
Menurutnya hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang
mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan negara.
Teori kehendak negara ini juga memiliki kelemahankelemahan, yaitu :
a. Mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya
hukum internasional yang tergantung dari kehendak negara itu dapat mengikat
negara-negara;
b. Bagaimana apabila suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk mau
terikat pada hukum tersebut ?
c. Teori ini tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa suatu negara yang baru
merdeka dan berdiri di tengah-tengah masyarakat internasional sudah terikat
oleh hukum internasional, terlepas dari mau atau tidaknya tunduk pada hukum
tersebut ?
d. Teori ini juga tidak dapat menerangkan adanya hukum kebiasaan yang mengikat
negara-negara.
Kelemahan dan keberatan terhadap ajaran di atas dicoba untuk diatasi oleh Triepel
dalam bukunya “Volkerrecht und Landesrecht” (1899), yang menyandarkan kekuatan
mengikatnya hukum internasional pada kemauan bersama negara-negara. Menurut
9
Ali, M. (2017). Pemetaan Tesis dalam Aliran-Aliran Filsafat Hukum dan Konsekuensi
Metodologisnya. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 24(2), 213-231.
13

Triepel, hukum internasional mengikat bagi negaranegara, bukan karena kehendak


mereka satu per satu untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama
yang kedudukannya lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara. Kehendak
bersama negara ini dinamakannya “vereinbarung”; yang berlainan dengan kehendak
negara yang spesifik dan tidak perlu dinyatakan. Vereinbarungstheorie mencoba
menerangkan sifat mengikat hukum kebiasaan (customary law) dengan mengatakan,
bahwa dalam hal demikian kehendak untuk terikat diberikannya secara diam-diam.
Aliran yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kehendak negara
(disebut juga paham voluntaris) ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan
aliran positivisme yang menguasai alam fikiran dunia ilmu pengetahuan di benua Eropa,
terutama Jerman pada bagian kedua abad ke 19. Aliran ini pada dasarnya memandang
hukum internasional itu sebagai hukum perjanjian antar negara-negara. Aliran positif
lain yang mengupas daya mengikat hukum internasional adalah aliran obyektivitas.
Menurut aliran ini paham yang menerangkan hakikat hukum (kekuatan dasar
mengikatnya hukum) berdasarkan kehendak negara, tidak dapat diterima. Sebab dapat
saja subyek hukum (negara) itu melepaskan dirinya dari kekuatan mengikatnya hukum
dengan cara menarik kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum tersebut.
Menurut aliran obyektivitas, persetujuan negara untuk tunduk pada hukum
internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma hukum sebagai sesuatu
yang telah ada terlebih dahulu, dan berlakunya terlepas dari kehendak negara. Salah satu
aliran yang masuk dalam aliran obyektif adalah mazhab Vienna (Wina) penganutnya
adalah Hans Kelsen. Menurut mashab ini “bukan kehendak negara, melainkan suatu
norma hukumlah yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum
internasional”.
Apabila dicermati, mashab Wina ini memang dapat menerangkan mengikatnya
hukum internasional terhadap negaranegara secara logis, akan tetapi aliran ini tidak
dapat menerangkan dengan memuaskan mengapa kaidah dasar ini mengikat. Apabila
kekuatan mengikat kaidah dasar ini berdasarkan suatu hipotesa ini sama halnya
mengartikan kekuatan mengikatnya kaidah dasar hukum internasional ini sebagai suatu
persoalan di luar hukum (meta yuridis). Dengan demikian persoalan mengapa hukum
internasional itu mengikat dikembalikan kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar
14

hukum yakni rasa keadilan dan moral. Pada akhirnya teori mengenai dasar berlakunya
atau kekuatan mengikatnya hukum internasional kembali kepada teori hukum alam.
3. Aliran/paham kenyataan sosial (feit social)
Paham lain yang berusaha menerangkan kekuatan mengikatnya hukum internasional
tidak dengan teori yang spekulatif dan abstrak, melainkan menghubungkannya dengan
“kenyataan hidup manusia”. Paham ini disebut sebagai mazhab Perancis. Pemuka
mashab ini antara lain Fauchile, Scelle, dan Duguit yang mendasarkan kekuatan
mengikat hukum internasional (juga hukum pada umumnya) pada “factor biologis,
sosial, dan sejarah kehidupan manusia” yang mereka namakan fakta kemasyarakatan
(fait social). Fakta inilah yang menjadi dasar kekuatan mengikatnya segala hukum,
termasuk hukum internasional.
Menurut penganut mashab ini persoalannya dapat dikembalikan kepada sifat alami
manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya untuk bergabung dengan manusia lain dan
kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai orang-
perorangan, menurut mereka juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Dengan demikian dasar
kekuatan mengikat hukum (internasional) terdapat dalam kenyataan sosial, bahwa
mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia
(bangsa) untuk hidup bermasyarakat.10

10
Hasim, H. (2019). Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional Perspektif Teori Monisme dan
Teori Dualisme. Mazahibuna: Jurnal Perbandingan Mazhab.
15

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa hukum
internasional berkembangan sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat internasional. Kalau dulu masyarakat internasional itu hanya beranggotakan
kerajaan atau Negara kota, namun kini anggota masyarakat internasional telah
berkembang selain negara, juga individu, lembaga atau organisasi internasional, juga
perusahaan multinasional. Demikian juga persoalan yang diatur oleh hukum
internasional tentunya juga berkembang, tidak hanya menyangkut urusan dalam negeri
suatu negara namun menyangkut urusan-urusan luar negerinya, bahkan menyangkut
urusan negara lain. Kalau dulu negara hanya berdaulat dalam batas-batas wilayahnya,
kini muncul hak berdaulat negara. Namun demikian tidak bisa dipungkiri, bahwa
efektifitas hukum internasional sebagai hukum koordinasi, tergantung pada sikap pelaku
hukum dalam hubungan internasional dalam masyarakat internasional.

B. Saran
Hubungan Internasional yang dilakukan atau dilaksanakan oleh masyarakat
Internasional (Negara dengan Subyek Hukum Internasional Lainnya) diharapkan
mampu untuk menjaga kedaulatan antar negara atau dengan subyek hukum
internasional lainnya.
16

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. (2017). Pemetaan Tesis dalam Aliran-Aliran Filsafat Hukum dan Konsekuensi
Metodologisnya. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 24(2), 213-231.
Hasim, H. (2019). Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional Perspektif
Teori Monisme dan Teori Dualisme. Mazahibuna: Jurnal Perbandingan
Mazhab.
Hasim, H. (2019). Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional Perspektif
Teori Monisme dan Teori Dualisme. Mazahibuna: Jurnal Perbandingan
Mazhab.
Kusumaatmadja, M., & Agoes, E. R. (2021). Pengantar hukum internasional. Penerbit
Alumni.
Latipulhayat, A. (2021). Hukum internasional: Sumber-Sumber Hukum. Sinar Grafika.
Rosdiyanti, E., & Abustan, A. (2020). Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum
dalam Hukum Nasional (Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan
Hukum Nasional Di Indonesia). JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan
Administrasi, 2(2).
Safriani, A. (2018). Hakikat Hukum Dalam Perspektif Perbandingan Hukum. Jurnal
Jurisprudentie, 5(2), 23-31.
Samekto, F. A., & SH, M. (2018). Negara dalam dimensi hukum internasional. PT Citra
Aditya Bakti.
Sunyowati, D. (2013). Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum dalam Hukum
Nasional (Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional dan Hukum
Nasional di Indonesia). Jurnal Hukum dan Peradilan, 2(1), 67-84.
Widagdo, S., Suryokumoro, H., Widhiyanti, H. N., Puspitawati, D., Audrey, P.,
Kusumaningrum, A., ... & Susanto, F. A. (2019). Hukum Internasional dalam
Dinamika Hubungan Internasional. Universitas Brawijaya Press.
17

A.Manajemen sumberdaya
informasi merupakan
sebuah ide yang waktunya
telah
B.tiba. Sementara
gagasannya telah ada
selama lebih dari satu
dekade, perkembangan
C.terakhir di bidang
pemrosesan informasi telah
membuat konsep dan
filosofi yang
D.mendasari itu, bukan
hanya layak tetapi juga
penting. Ditafsirkan secara
harfiah,
18

E. manajemen sumber daya


informasi menyarankan
informasi itu harus diakui
sebagai
F. entitas yang
berharga.Sebagaimana kita
ketahui bersama evolusi
manajemen sumber
G.informasi. Karena
itu,informasi harus
mendapat perhatian
manajemen yang serius.Dua
H.fenomena bertanggung
jawab atas kemunculan dari
manajemen sumber
dayainformasi.
19

I. yang pertama adalah


adanya gagasan tentang
kerja ilmu pengetahuan
yangdiperkenalkan
J. pada tahun 1960-an diikuti
oleh konsep "masyarakat
pasca-industri" di
awaltahun 1970-
K.an, informasi ekonomi
berkontribusi agar dapat
menunjang dan
memperlakukan
L. sebuah informasi sebagai
sumber daya. Karakterisasi
ini sangat popular
dijelaskan pada
20

M. tahun 1970 sebagai "


periode informasi
"Fenomena bersamaan
adalah perkembangan
N.teknologi. Kecil, murah,
dan mudah digunakan
teknologi informasi yang
diwujudkan
O.dalam komputer pribadi
dapat diakses oleh semua
orang.

Anda mungkin juga menyukai