Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Disusun Oleh :

Ristar Mangaraja Sinaga 11010116120049

Dimas Ajie Ariandi Uty 11010116120007

Rahmah Pramesti 11010116130424

Pidana Internasional Kelas A

UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS HUKUM
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
merupakan tugas yang diberikan dalam mata kuliah Hukum Pidana Internasional di
Universitas Diponegoro.

Kami rasa masih banyak sekali kekurangan baik dari segi penulisan maupun materi
dalam makalah ini, mengingat akan kemampun yang saya miliki. Oleh karena itu, kami
mohon kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penulisan makalah ini.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Dosen Hukum Pidana
Internasional yang telah memberikan tugas dan petunjuk bagi kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.

Akhir kata, kami berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri
maupun para rekan pembaca sehingga dapat menambah pengetahuan kita bersama.

Semarang, 2 Maret 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum pidana internasional merupakan bagian dari aturan internasional yang
dirancang untuk melarangan kategori kejahatan tertentu. Hukum pidana internasional
juda dapat dikatakan sebagai hukum pidana nasional yang memiliki aspek
internasional. Hukum pidana internasional pada hakikatnya diberlakukan
pada hukum antar bangsa tanpa mengkesampingkan prinsip-prinsip internasional.

Tuntutan internasional perihal kejahatan perang menutut antar bangsa memberlakukan


hukum yang mengatur seperangkat aturan tentang larangan-larangan kategori
kejahatan tertentu. Hukum pidana internasional diberlakukan karena adanya
banyak kejahatan perang yang dikejam oleh negara internasional salah satunya
kejahatan genosida pada tahun 1981 terhadap pimpinan Jerman dan Turki yang
melakukan pembersihan etnis minoritas Armenia, pembantaian Suku Kurdi di Turki,
pembantaian oleh nazi Jerman. Melihat banyaknya pelanggaran-pelanggar berat
tersebut membuat antar negara membentuk hukum internasional. Hukum
internasional semakin sempurna setelah ditandatanganinya statuta Roma untuk
membentuk mahkamah pidana internasional yaitu sebuah pengadilan terhadap
tindak kejahatan paling berat seperti agresi genosida yaitu kejahatan terhadap
kemanusiaan serta berbagai bentuk kejahatan perang lainnya yang dikategorikan
sebagai pelanggaran berat.

Makalah ini membahas lebih lanjut mengenai hukum pidana internasional sebagai
ilmu hukum baru.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan
kami angkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
a. Apakah pengertian hukum pidana internasional?
b. Bagaimana sejarah terbentuknya hukum pidana internasional?
c. Apa saja sumber hukum pidana internasional?
d. Apa saja asas-asas dalam hukum pidana internasional?
e. Bagaimana karakteristik hukum pidana internasional?
f. Apa saja perbedaan hukum pidana internasional dan hukum pidana nasional?

1.3 Tujuan Makalah

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini di susun dengan tujuan untuk
mengetahui dan mendeskripsikan:

a. Pengertian hukum pidana internasional


b. Sejarah terbentuknya hukum pidana internasional
c. Sumber hukum pidana internasional
d. Asas-asas dalam hukum pidana internasional
e. Karakteristik hukum pidana internasional
f. Perbedaan hukum pidana internasional dan hukum pidana nasional
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Pidana Internasional

Hukum pidana nasional atau national criminal law adalah hukum pidana yang berkembang
didalam kerangka orde peraturan perundang-undangan nasional dan dilandaskan pada sumber
hukum nasional. Sedangkan hukum pidana internasional atau international criminal law
adalah hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan kejahatan-
kejahatan yang nyata-nyata telah dilakukan bilamana terdapat unsur-unsur internasional di
dalamnya.

Definisi hukum pidana internasional dari Basiouni menyebutkan bahwa hukum pidana
internasional adalah suatu hasil pertemuan pemildran dua disiplin hukum dua disiplin hukum
yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi.
Kedua disiplin hukum ini adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional dan
aspek-aspek internasional dari hukum pidana. Selanjutnya, dikatakan bahwa suatu studi
mengenai asal mula dan perkembangan aspek-aspek pidana dari hukum internasional, pada
hakikatnya mengungkapkan bahwa hal itu berkaitan dengan substansi hukum pidana
internasional atau kejahatan-kejahatan internasional. Bassiouni menegaskan pula bahwa
aspek pidana dalam hukum pidana internasional melalui tingkah laku atau tindakan yang
dilakukan oleh perorangan sebagai pribadi atau dalam kapasitas sebagai perwakilan atau
kolektif/kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan internasional dan dapat diancam
dengan pidana.

Edward M.Wise (dikutip dari Bassiouni, 1986: 103-104) menulis bahwa pengertian hukum
pidana internasional bukan merupakan pengertian yang kaku atau pasti oleh karena dalam arti
yang paling luas, pengertian ini meliputi tiga topik sebagai berikut:
1. Topik pertama adalah mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu
terhadp kasus-kasus yang melibatkan unsur-unsur asing. Termasuk ke dalam pengertian yang
pertamaadalah masalah-masalah yang menyangkut 22 yurisdiksi atas tindak pidana
internasional; pengakuan putusan-putusan pengadilan asing dan bentuk-bentuk kerjasama
dalam penanggulangan tindak pidana internasional tersebut, seperti ekstradisi.
2. Topik kedua adalah mengenai prinsip-prinsiphukum publik internasional yang menetapkan
kewajiban pada negara-negara yang dituangkan dalam hukum pidana nasional atau hukum
acara pidana nasional negara yang bersangkutan. Kewajiban-kewajiban internasional tersebut
meliputi kewajiban untuk menghormati hak-hak asasi tersangka atau untuk menuntut atau
menjatuhi pidana terhadap beberapa tindak pidana internasional. Kewajiban untuk
menghormati hak-hak asasi tersangka terdapat didalam ketentuan-ketentuan konvensi hak
asasi manusia, khususnya di dalam perjanjian internasional yang menyangkut masalah
tersebut; sedangkan kewajiban untuk menuntut dan memidana pelaku-pelaku tindak pidana
internasional terdapat di dalam konvensi-konvensi internasional, antara lain mengenai
pembajakan udara (highjacking) dan di laut (piracy); perdagangan budak (slave trade); lalu
lintas narkotika (illicit drugs-trafficking), kejahatan di dalam peperangan (war crimes),
pembasmian etnis tertentu (genocide), kejahatan terhadap diplomat, dan terorisme.
3. Topik ketiga adalah mengenai arti sesungguhnya dan keutuhan pengertian hukum pidana
internasional termasuk instrumen-instrumen yang mendukung penegakan hukum pidana
tersebut. Termasuk di dalam pengertian ini adalah keharusan adanya satu mahkamah
internasional dengan kelengkapannnya, hakim dan jaksa/penuntut umum.

2.2 Sejarah Hukum Pidana Internasional

Istilah Hukum Pidana Internasional atau international criminal law atau international
Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum
internasional dari Eropa seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss), Georg
Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman), Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman), J.P
Froncois pada tahun 1967, Rolling pada tahun 1979 (Belanda), Van Bemmelen pada tahun
1979 (Belanda), kemudian diikuti oleh pakar hukum dari Amerika serikat seperti: Edmund
Wise pada tahun 1965 dan Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat).
Pengembangan Hukum Pidana Internasional sebagai salah satu cabang ilmu hukum dimulai
dari pekerjaan oleh Gerhard O.W. Muelller dan Edmund M. Wise yang telah menyusun suatu
karya tulis International Criminal Law (1965) dalam rangka proyek dibawah judul,
Comparative Law Project dari University New York. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan
oleh Bassiouni dan Van. Nanda (1986), yang telah menulis sebuah karya tulis A Treatise on
International Criminal Law (1973). Menurut Pakar Hukum Pidana Internasional Georg
Sehwarzenberger (1950) memberikan enam pengertian Hukum Pidana Internasional ini
adalah sebagai berikut:

1. Hukum Pidana Internasional dalam arti lingkup territorial hukum pidana nasional
(international criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal
criminal law)
2. Hukum Pidana Internasional dalam arti aspek internasional yang ditetapkan sebagai
ketentuan dalam hukum pidana nasional (international criminal law the meaning of
internationally prescribed municipal criminal law)
3. Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat di
dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of
internationally authorized municipal criminal law)
4. Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui
sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab
(international criminal law in the meaning of municipal criminal law common to
civilized nations)
5. Hukum Pidana Internasional dalam arti kerjasama internasional dalam mekanisme
administrasi peradilan pidana nasional (international criminal law in the meaning of
international cooperation in the administration of municipal criminal justice.)
6. Hukum Pidana Internasional dalam arti kata materil (international criminal law in the
material sense of the world)

Hukum Pidana Internasional (HPI) telah diakui merupakan disiplin ilmu baru dalam
ilmu hukum sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua (1945). Hukum Pidana
Internasional telah diakui secara internasional pertama kali terjadi melalui resolusi
yang diajukan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 21 November
1947. Resolusi tersebut menghendaki dibentuknya suatu panitia kodifikasi Hukum
Internasional atau The Commite on Codifikation of International Law. Munculnya
hukum pidana internasional mungkin sebagai pertanda keberhasilan dalam hukum
internasional publik sejak 1990 dan berakhirnya Perang Dingin. tidak hanya
kumpulan hukum pidana substantif tetapi juga pengadilan, dimulai dengan Pengadilan
Yugoslavia (ICTY) dan berpuncak pada pengadilan tingkat internasional,
Internasional Pengadilan Kriminal (ICC).
2.3 Sumber Hukum Pidana Internasional

Pada Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional menyatakan bahwa dalam
mengadili perkara yang diajukan kepada Mahkamah Internasional akan digunakan:

1. Perjanjian Internasional.
2. Kebiasaan Internasional.
3. Prinsip Hukum Umum.
4. Keputusan Pengadilan dan Doktrin.

Pada sumber pertama, kedua, ketiga tergolong sumber utama yang langsung dapat berperan
sebagai hukum dalam memutus sengketa konkret, sementara sumber keempat tergolong
sumber tambahan yang biasanya berfungsi memastikan atau menafsirkan dari sumber utama.

1. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum
internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridis yang menampung
kehendak dan persetujuan negaraatau subjekhukum internasional lainnya untuk
mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam
perjanjiantersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan
negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini.
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk memberikan akibat hukum tertentu.
Dalam Pasal 2 Konvensi Wina1969, perjanjian internasional (treaty)
dirumuskan sebagai:

Suatu persetujuan yang dibuat antara negaradalam bentuk tertulis dan diatur oleh
hukum internasional, baik dalam bentuk instrumen tunggal, dua instrumen atau lebih
yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.

Sedangkan menurut undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional yang dibuat dengan merujuk kepada Konvensi Wina tersebut,
menyatakan bahwa perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang No.
24 Tahun 2000 adalah:
Setiap perjanjiandi bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan
dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional,atau subjek
hukum internasional lain.

Adapun bentuk-bentuk perjanjianinternasional yang sering dipraktekkan di


Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Traktat (Treaty): Bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang


sangat penting yang mengikat Negara secara menyeluruh, yang umumnya
bersifat multilateral.

b. Konvensi(Convention): Suatu perjanjianpenting dan resmi yang bersifat


multilateral. Konvensibiasanya bersifat “Law Making Treaty” dengan pengertian
yang meletakkan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional.

c. Persetujuan (Agreement): Suatu bentuk perjanjianinternasional yang isinya tidak


termasuk materi seperti yang dikategorikan dalam treaty atau convention.
Umumnya bersifat bilateral.

d. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding): Bentuk lain


dari perjanjianinternasional yang memiliki sifat khas. Dalam prakteknya,
kerjasama melalui MoU lebih disukai karena dianggap sederhana dan dapat
dibuat sebagaipersetujuan induk atau sebagai pelaksanaan perjanjian yang
mengatur hal-hal teknis. Karena dianggap sederhana maka umumnya MoU tidak
perlu diratifikasi.

e. Pengaturan (Arrangement): Bentuk perjanjianyang dibuat sebagai pelaksana teknis


dari suatu perjanjian internasional yang telah ada, atau sering disebut
implementing arrangement.

f. Agreed Minutes/Summary Records/Records of Discussion: Suatu kesepakatan


antara wakil-wakil lembagapemerintahan tentang hasil akhir atau hasil sementara dari
suatu pertemuan teknis. Bentuk ini banyak dipakai untuk merekam pembicaraan
pada acara-acara kunjungan resmi atau tidak resmi, atau untuk mencapai
kesepakatan sementara sebagai bagian dari rangkaian putaran perundingan mengenai
suatu masalah.
g. Pertukaran Nota Politik (Exchange of Notes): Instrumen diplomatic yang
berisi pertukaran penyampaian atau pemberitahuan resmi posisi Pemerintah
masing-masing yang telah disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu.
Exchange of Note dapat berupa sekedar pelaksanaan tindak lanjut dari suatu
persetujuan yang telah dicapai; konfirmasi dari kesepakatan lisan yang telah
dicapai sebelumnya; kesepakatan tentang perbaikan dari suatu perjanjianyang
telah berlaku; atau suatu perjanjian yang ditandatangani di tempat yang berbeda
dan dalam waktu yang tidak sama.

h. Atau istilah lain seperti Joint Statement, Modus Vivendi, Protocol, Charter, Joint
Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation, Side Letter,
Reciprocal Agreement, Letter of Intent, Aide Memoire, atau Demarche.

2. Kebiasaan Internasional

Hukum kebiasaan muncul dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan
yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu
kebijaksanaan dan kemudian diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali
serta tanpa adanya protes dari pihak lain, maka secara berangsur-angsur akan
terbentuk suatu kebiasaan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah setiap
kebiasaan internasional itu merupakan kaidah hukum yang akan menjadi sumber
hukum internasional atau hanya merupakan kesopanan internasional.

Pasal 38 ayat (1) sub (b) menyebutkan bahwa international custom, as evidence of a
general practice accepted as law, artinya bahwa hukum kebiasaaninternasional
adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima
sebagai hukum. Dari pengertian di atas dapat kita ketahui ada duaunsur yaitu harus
terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum dan kebiasaan tersebut harus diterima
sebagai hukum. Unsur ini disebut dengan unsur material dan unsur psikologis.

Contoh ketentuan hukum internasional yang timbul dari proses kebiasaan


internasional adalah penggunaan bendera putih sebagai bendera parlementer, yaitu
bendera yang digunakan untuk memberi perlindungan kepada utusan yang dikirim
untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh. Kini bendera putih dijadikan
sebagai simbol perdamaian atau menyerah kalah.
Sebaliknya, dalam hukum perang ada juga kebiasaan yang tidak pernah menjelma menjadi
ketentuan hukum internasional, karena tidak memenuhi rasa keadilan dan
perikemanusiaan. Contohnya dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II, kapal
selam Jerman biasa menenggelamkan kapal dagang pihak lawan tanpa pemberitahuan
terlebih dulu, dan tanpa memberi kesempatan kepada awak kapal untuk
menyelamatkan dirinya. Hal ini berlawanan dengan hukum perang di laut yang
mensyaratkan adanya pemberitahuan dan memberi kesempatan untuk menyelamatkan diri
sebelum menenggelamkan kapal musuh.

3 . Prinsip-Prinsip Hukum Umum

Menurut Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, yang dimaksud dengan
prinsip-prinsip hukum umum adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-
bangsa yang beradab (general principles of lawrecognized by civilized nation). Asas
hukum umum ini harus berdasarkan system hukum modern yaitu system hukum
positifyang didasarkan atas asas dan lembaga hukum Negara barat yang sebagian
besar merupakan asas dan lembaga hukum Romawi.

Walaupun hukum nasional suatu Negara berbeda satu sama lain, namun prinsip-
prinsip pokoknya tetap sama. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah asas pacta
sunt servanda, bona fides,dan asas abus de droit. Prinsip-prinsip hukum umum ini juga
termasuk didalamnya asas dalam hukum perdata, pidana, maupun hukum
internasional itu sendiri, seperti asas non intervensi, penghormatan kemerdekaan, dan
sebagainya.

Adanya prinsip hukum umum ini memberikan arti penting dalam perkembangan
hukum internasional karena dengan adanya prinsip-prinsip hukum umum maka
mahkamah tidak akan dapat menolak mengadili perkara dengan alasan tidak ada
hukum yang mengatur persoalan tersebut, sehingga mahkamah kemudian akan dapat
menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip hukum baru dalam hukum
internasional.
4. Putusan Pengadilan dan Doktrin
Berbeda dengan sumber hukum yang telah dibahas di atas, putusan pengadilan dan
doktrin merupakan sumber hukum tambahan dalam hukum internasional. Maksudnya
putusan pengadilan dan doktrin dapat digunakan untuk memperkuat atau
membuktikan tentang kaidahhukum internasional yang didasarkan pada sumber
utama di atas, yaitu perjanjian internasional, kebiasaan dan asas hukum umum.
Putusan pengadilan dan doktrin itu sendiri tidak mengikat atau tidak
dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.

Putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) sub (d) adalah semua
pengadilan dalam arti luas dan meliputi segala macam peradilan internasional maupun
nasional, termasuk didalamnya mahkamah dan komisi arbitrase.

Sedangkan yang dimaksud dengan doktrin yaitu ajaran sarjana hukum terkemuka
merupakan hasil karya mereka yang dapat dipakai untuk pegangan dan pedoman
untuk menemukan hukum internasional, walaupun ajaran itu sendiri tidak
menimbulkan hukum. Selain yang telah disebutkan di atas, ada juga sumber hukum
yang berasal dari keputusan badan perlengkapan organisasi dan lembaga
internasional. Keputusan badan ini dapat melahirkan berbagai kaidahyang
mengatur pergaulan antar anggota lembaga itu sendiri.

2.4 Asas-Asas Hukum Pidana Internasional

Secara garis besar asas-asas hukum pidana internasional ada yang bersumber dari
hukum internasional dan ada yang bersumber dari hukum pidana. Asas hukum pidana
internasional yang bersumber dari hukum internasional secara garis besar dibedakan
ke dalam asas umum dan asas khusus. Asas hukum pidana internasional yang berasal
dari hukum internasional dan umum sifatnya adalah pacta sunt servanda. Asas
tersebut merupakan asas hukum yang paling tua dan paling utama yang mengandung
arti bahwa perjanjian yang dibuat mengikat para pihak ibarat undang-undang.
Asas hukum internasional umum lainnya yang juga merupakan asas hukum pidana
internasional adalah asas itikat baik atau good faith (Inggris) atau goede trouw
(Belanda). Asas tersebut merupakan salah satu prinsip yang fundamental dalam
hukum internasional bahwa semua kewajiban Myang diembani oleh hukum
internasional harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Berikutnya adalah asas civitas
maxsima sebagai asas hukum pidana internasional yang bersumber dari asas hukum
internasional umum. Dalam beberapa literatur asas civitas maxima dikenal dengan
istilah asas imperium romanum atau asas roman empire. Asas ini mengandung arti
bahwa ada sistem hukum universal yang dianut oleh semua bangsa di dunia
dan harus dihormati serta dilaksanakan.

Asas hukum pidana internasional yang sangat penting dalam hubungan kerjasama
antar negara yang berasal dari asas hukum internasional umum adalah asas timbal
balik. Asas ini juga dikenal dengan asas resiprokal. Pada dasarnya asas resiprokal ini
mengandung makna bahwa jika suatu negara menginginkan suatu perlakuan yang
baik dari negara lain, maka negara yang bersangkutan juga harus memberi perlakuan
yang baik terhadap negara tersebut.

Asas hukum pidana internasional yang bersumber dari asas hukum internasional yang
khusus sifatnya, antara lain adalah asas aut dedere aut punere dan asas aut dedere aut
judicare. Asas aut dedere aut punere diciptakan oleh Hugo de Groot yang berarti
pelaku kejahatan internasional diadili menurut hukum tempat di mana ia melakukan
kejahatan. Asas aut dedere aut judicare dikemukakan oleh Cherif Bassiouni yang
berarti setiap negara berkewajiban menuntut dan mengadili pelaku kejahatan
internasional serta berkewajiban melakukan kerjasama dengan negara lain dalam
rangka menahan, menuntut dan mengadili pelaku kejahatan internasional.

Asas hukum pidana internasional yangbersumber dari hukum pidana antara lain
adalah asas legalitas, asas teritorial dan asas nebis in idem. Machteld Boot dengan
mengutip pendapat Jescheck dan Weigend, asas leglitas dalam hukum pidana
nasional memiliki empat syarat. Pertama, nullum crimen, noela poena sine lege
praevia. Artinnya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang
sebelumnya. Kedua, nullum crimen, nulla peona sine lege scripta. Artinya, tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undangundang tertulis. Ketiga, nullum
crimen, nulla poena sine lege certa. Artinya, tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Kempat, nullum crimen,
noela poena sine lege stricta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa undang-undang yang ketat.
Selanjutnya adalah asas teritorial yang menyatakan bahwa perundang-undangan
hukum pidana suatu negara berlaku bagi semua orang yang melakukan perbuatan
pidana di negara tersebut, baik oleh warga negaranya sendiri maupun warga
negara asing. Dalam rangka mengantisipasi berbagai kejahatan yang dilakukan di luar
wilayah suatu negara, hukum pidana mengenal perluasan asas teritorial.

2.5 Karakteristik Hukum Pidana Internasional

Ada beberapa karakteristik hukum pidana internasional yaitu:

 Hukum pidana internasional terdiri dari kumpulan berbagai disiplin ilmu, seperti
hukum internasional, hukum pidana, perbandingan hukum pidana, dan kriminologi.
 Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu hukum baru yang sangat lengkap
mempunyai asas-asas hukum, objek dan metoda keilmuan tersendiri serta mempunyai
lembaga tersendiri (ICC) untuk menerapkan asas-asas hukum dan kaidah-kaidah
hukum pidana internasional ke dalam praktik hubungan dua negara atau lebih.
 Hukum pidana internasional tidak hanya mempunyai fungsi deklaratif melainkan
sekaligus mempunyai fungsi preventif dan fungsi represif di dalam penerapan
yurisdiksi kriminal terhadap kejahatan yang melampaui batas territorial.
 Penegakan hukum pidana internasional lebih diutamakan daripada penegakan hukum
nasional dan hukum nasional dengan segala “kekhususannya”.
 Implemasi hukum pidana internasional dalam praktik, selalu berada di tengah-tengah
tarikan atau konflik kepentingan nasional dan kepentingan internasional, sehingga
tingkat kesulitan dan hambatan yang dihadapi lebih besar di bandingkan dengan
implementasi hukum nasional dan hukum internasional.

2.6 Perbedaan Hukum Pidana Internasional dengan Hukum Pidana Nasional

Terdapat 2 aliran mengenai perbedaan 2 perangkat hukum tersebut, yaitu monoisme dan
dualisme. Menurut pandangan monoisme, semua hukum merupakan satu sistem kesatuan
hukum yang mengikat apakah terdapat individu-individu dalam suatu negara ataupun terdapat
negara-negara dalam masyarakat internasional. Tokoh aliran monoisme ini adalah Kelsen dan
Georges Scelle. Sedangkan, para pendung aliran dualisme yaitu Triepel dan Anzilotti
menganggap bahwa hukum internasional dan hukum nasional adalah 2 sistem hukum yang
terpisah dan berbeda. Menurut aliran dualisme, perbedaan tersebut terdapat pada:

1. Perbedaan sumber hukum: Hukum nasional bersumberkan pada hukum kebiasaan dan
hukum tertulis suatu negara, sedangkan hukum internasional berdasarkan pada hukum
kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas kehendak bersama negara-negara dalam
masyarakat internasional.
2. Perbedaan mengenai subyek hukum: Subyek hukum nasional adalah individu-
individu yang terdapat dalam suatu negara, sedangkan subyek hukum internasional
adalah negara-negara anggota masyarakat internasional.
3. Perbedaan mengenadi kekuatan hukum: Hukum nasional mempunyai kekuatan
mengikat yang penuh dan sempurna kalau dibandingkan dengan hukum internasional
yang lebih banyak mengatur hubungan negara-negara secara horizontal.

Tetapi pandangan dualisme ini dibantan oleh golongan monoisme dengan alasan bahwa:

1. Walaupun kedua sistem hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, namun sistem
hukumnya tetap sama yaitu bukankah pada akhirnya yang diatur oleh hukum
internasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara.
2. Kedua hukum tersebut memiliki kekuatan hukum yang sama mengikat. Di saat
diakuinya hukum internasional sebagai suatu sistem hukum, maka tidaklah mungkin
untuk dibantah bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian
dari satu kesatuan ilmu hukum dan karena itu kedua perangkat hukum tersebut
memiliki kekuatan hukum yang sama mengikat.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.unila.ac.id/8268/3/bab%20II%20fix.pdf

http://repository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3. Sumber Hukum Pidana Internasional

Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties


http://treaties.un.org/doc/Treaties/1996/11/19961106%2005-51%20AM/Ch_XXIII_02p.pdf.

Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit Undip,


Semarang, 1995

https://journal.universitassuryadarma.ac.id/index.php/jihd/article/view/114/111

https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/43968/24280

https://watermark.silverchair.com/chp030 (The European Journal of International Law Vol.


20 no. 2 © EJIL 2009;)

https://www.academia.edu/4334228/PERBEDAAN_ANTARA_HUKUM_INTERNASIONA
L_DAN_HUKUM_NASIONAL

http://e-journal.upstegal.ac.id/index.php/diktum/article/view/983/pdf

http://repo.unsrat.ac.id/47/1/1-8_Kelly_Rumokoy.pdf

Anda mungkin juga menyukai