Jenis dan Subjek Hukum Pidana Internasional Serta Tindak Pidana Trnasnasional dan
Transnasional Oraganisasi
Disusun oleh :
KELOMPOK 3 :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sejarah Hukum Pidana Internasional sudah berlangsung lama. Pada tahun 1927, Liga
Bangsa-Bangsa telah merintis dengan menetapkan perang agresi atau war of agression
merapakan International crime. Pernyataan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) tersebut merupakan awal
dari penyusunan kodifikasi dalam bidang Hukum Pidana Internasional. Perang Dunia II telah
melahirkan berbagai tindak pidana baru yang merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian
yang telah ditandatangani di antara negara anggota Liga Bangsa-Bangsa tersebut. Peristiwa
tersebut memperkuat kehendak untuk mengajukan kembali gagasan pembentukan suatu
Mahkamah Pidana Internasilonal pada tahun 1947.
Di dalam era Teknologi Informasi seperti saat ini, perkembangan tindak pidana
internasional semakin melewati batas ruang dan waktu. Untuk itu patut kita pelajari Hukum
Pidana Internasional dimulai dari pengertian. kriteria-kriteria, jenis-jenis hingga aspek-aspek
hukum Pidana Internasional.
2. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian dari hukum pidana internasional?
2) Apa jenis dan subjek hukum internasional serta tindak pidana transnasional dan
transnasional organisasi
BAB II
PEMBAHASASAN
Pengertian Hukum Pidana Internasional
Pengertian Hukum Pidana Internasional menurut Georg Schwarzenberger, yaitu:
1. Hukum Pidana Internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional (International
criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) adalah Hukum
Pidana Internasional memiliki lingkup kejahatan-kejahatan yang melanggar kepentingan
masyarakat internasional, akan tetapi kewenangan melaksanakan penangkapan, penahanan dan
peradilan atas pelaku-pelakunya diserahkan sepenuhnya kepada yurisdiksi kriminal negara yang
berkepentingan dalam batas-batas teritorial negara tersebut.
2. Hukum Pidana Internasional dalam arti aspek internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan
dalam hukum pidana nasional (International criminal law in the meaning of internationally
prescribed municipal criminal law) adalah Peristiwa-peristiwa tindak pidana dimana suatu negara
yang terikat pada hukum internasional berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan
perorangan sebagaimana ditetapkan di dalam hukum pidana nasionalnya. Kewajiban-kewajiban
ini dapat terjadi dan berasal dari perjanjian-perjanjian internasional atau dari kewajiban-
kewajiban negara-negara yang diatur di dalam hukum kebiasaan internasional.
3. Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat di dalam
hukum pidana nasional hukum pidana internasional (International criminal law in the meaning of
internationally authorized municipal criminal law) adalah ketentuan-ketentuan di dalam hukum
internasional yang memberikan kewenangan atas negara nasional untuk mengambil tindakan atas
tindak pidana tertentu dalam batas yurisdiksi kriminalnya dan memberikan kewenangan pula
kepada negara nasional untuk menerapkan yurisdiksi kriminal di luar batas teritorialnya terhadap
tindak pidana tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam hukum internasional. Tindak
pidana tertentu menurut hukum internasional ini adalah piracy dan war crimes
Negara;
Organisasi Internasional;
Palang Merah Internasional;
Tahta Suci atau Vatikan;
Perusahaan sebagai badan hukum internasional otorita;
Pihak Berperang;
Individu
Subjek hukum internasional yang paling pokok adalah Negara, setelah itu baru ada subjek-
subjek lainnya seperti organisasi internasional, palang merah internasional, tahta suci/vatikan,
perusahaan sebagai badan hukm internasional otorita, pihak berperang dan individu.
Negara
Hukum internasional baik ditinjau secara historis maupun secara faktual. Secara historis,
yang pertama-tama merupakan subyek hukum internasional pada awal mula lahir dan
pertumbuhan hukum internasional adalah negara.
Peranan negara sebagai subyek hukum internasional lama kelamaan juga semakin
dominan oleh karena bagian terbesar dari hubungan-hubungan internasional yang dapat
melahirkan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum internasional dilakukan oleh negara-
negara. Unsur tradisional suatu Negara terdapat dalam Pasal 1 Montevidio (Pan American)
Convention on Rights And Duties of State of 1933.[1] Pasal Tersebut Berbunyi sebagai berikut :
“The State as person of international law should posses the following qualification :
1. A permanent population
2. A defined territory
3. A government; and
4. A capacity to enter into relations with other State.”
Di antara unsur-unsur negara tersebut sebenarnya unsur kemampuan untuk mengadakan
hubungan dengan negsara-negara lain kurang penting, karena negara mungkin dapat berdiri
tanpa adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain, sehingga
disebut juga dengan unsur non phisik. Mengenai kemampuan mengadakan hubungan dengan
negara lain ini ada kaitannya dengan pengakuan baik hukum nasional maupun internasional
mengakui adanya kekuasaan dan kewenangan tersebut.
Unsur atau persyaratan seperti yang disebut diatas adalah hal yang paling penting dari segi
hukum internasional. Ciri-ciri diatas juga membedakan negara dengan unit-unit yang lebih kecil
seperti anggota-anggota federasi atau protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri
urusan luar negerinya dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat
internasional yang mandiri. Bahkan hukum itu sendiri boleh dikatakan bagian terbesar terdiri
atas hubungan hukum antara negara dengan negara.
Organisasi Internasional
Organisasi internasional dalam arti yang luas pada hakikatnya meliputi tidak saja
organisasi internasional public (Public International Organization) tetapi juga organisasi privat
(Privat International Organization). Organisasi semacam itu meliputi juga organisasi regional
dan organisasi sub-regional. Ada pula organisasi yang bersifat universal (organization of
universal character).
Dilihat dari pembentukannya, organisasi internasional mempunyai tiga aspek yaitu
administrasi, aspek filosofis, dan aspek hukum:
Menyangkut perlunya dibentuk suatu sekretariat tetap (permanent secretariat) yang lokasinya
berada di wilayah salah satu negara anggotanya yang ditetapkan melalui persetujuan antara
organisasi internasional tersebut dengan negara tuan rumah (Head quarters Agreement). Di
samping itu juga diperlukan adanya staf personalia (International civil servant)
Dari aspek administrasi ini organisasi juga membutuhkan anggaran belanja yang akan
ditanggung bersama oleh semua anggota. Pasal 17 piagam PBB misalnya menyebut bahwa
pembiayaan PBB akan di tanggung oleh anggotanya sesuai dengan skala penilaian (Scale of
Assessment) yang akan ditetapkan oleh Majelis Umum PBB yang menurut pasal 18 melalui 2/3
suara.
Pembentukan organisasi internasional akan dipengaruhi oleh filsafah kehidupan bangsa-
bangsa di sesuatu kawasan dimana organisasi tersebut akan didirikan. Misalnya dalam
pembentukan Organisasi Persatuan Afrika juga telah melihat sejarah bangsa afrika yang berasal
dari penjajahan, karena itu tema yang diambil adalah kerjasama untuk membebaskan belenggu
penjajahan, masalah penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan nasional maupun dasar falsafah
organisasi tersebut.
Organisasi internasional dibentuk melalui suatu perjanjian dari tiga negara atau lebih
sebagai pihak. Suatu organisasi hakekatnya merupakan suatu kesatuan yang menurut hukum
dipisahkan dari setiap organisasi lainnya dan akan terdiri dari satu badan atau lebih. Badan-badan
tersebut merupakan suatu kumpulan berbagai wewenang yang dikelompokkan di bawah satu
nama. Misalnya: Majelis Umum, Dewan Perwakilan, Mahkamah Internasional dan sekretariat
merupakan badan-badan utama yang mempunyai wewenang sendiri tetapi semuanya
dikelompokkan dalam suatu organisasi yang disebut PBB.
Agar dapat diakui statusnya di dalam hukum internasional, organisasi internasional harus
memenuhi tiga syarat, yaitu :
1. Adanya persetujuan internasional seperti instrument pokok itu akan membuat prinsip-
prinsip dan tujuan, struktur maupun cara organisasi itu bekerja.
2. Organisasi internasional haruslah mempunyai paling tidak satu badan.
3. Organisasi internasional haruslah dibentuk dibawah hukum internasional.
Palang Merah Internasional berkendudukan di Jenewa (austria) memiliki tempat tersendiri
dalam sejarah hukum internasional. Bahkan dapat dikatakan bahwa Palang Merah Internasional
sebagi subjek hukum (dalam arti terbatas) lahir karena sejarah; walaupun pada akhirnya badan
ini keberadaannya dan statusnya dikukuhkan dengan suatu perjanjian Internasional (konvensi),
yang sekarang adalah konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang.
Berdasarkan pada konvensi-konvensi Jenewa 1949 ini Palang Merah Internasioanl memiliki
kedudukan sebgai subjek hukum internasional, sekalipun dengan ruang lingkup terbatas
Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang
telah ada disamping negara. Hal ini merupakan peninggalan/kelanjutan sejarah sejak jaman
dahulu, ketika Paus bukan hanya bertindak sebagai kepala gereja Roma tetapi memiliki pula
kekuasaan duniawi. Walaupun hanya berkaitan dengan persoalan keagamaan (katolik), Tahta
Suci merupakan subjek hukum dalam arti penuh dan kedudukan sejajar dengan negara.
Hal ini terjadi terutama setelah dibuatnya perjanjian antar Italia dan Tahta Suci pada di Roma
kepada Tahta Suci yang selanjutnya dengan perjanjian ini dibentuk negara Vatikan, sekaligus di
akui oleh Italia. Hingga sekarang Tahta Suci memiliki perwakilan diplomatic yang
kedudukannya sejajar dengan perwakilan diplomatic suatu negara di berbagai negara penting
didunia, termasuk di Indonesia.
Pada hakikatnya perusahaan multinasional itu merupakan badan hukum(nasional) byang
terdaftar disuatu negara, maka sebenarnya perusahaan multinasional hanya merupakan subyek
hukum nasional, dan bukan subyek hukum internasional.[1]
Lain halnya dengan perusahaan yang merupakan badan hukum internasional Otorita,
menurut penulis ia merupakan subyek hukum internasional (dalam arti terbatas). Adapun
landasan hukumnya diatur dalam pasal 170 konvensi PBB tentang Hukum Laut (KHL 1982),
yang menentukan sebgai berikut :
Perusahaan dalam rangka bertindak sebagai badan hukum internasional Otorita, memiliki
kewenangan hukum sebagaimana ditetapkan dalam statuta seperti diatur dalam lampiran
IV. Perusahaan bertindak sesuai dengan konvensi ini dan ketentuan-ketentuan, peraturan-
peraturan dan prosedur Otorita maupun kebijaksanaan-kiebijaksanaan umum yang
ditetapkan oleh Majelis dan tunduk pada pengarahan dan pengawasan dewan. Perusahaan
ini memiliki kantor pusat yang berada ditempat kedudukan Otorita.
Sebagai badan hukum Internasional Otorita dan sesuai dengan Anggaran Dasar perusahaan
yang merupakan Lampiran IV KHL 1982, ia memiliki status hukum, hak-hak istimewa, dan
kekebalan. Dalam kaitan ini pasal 13 anggaran Dasar Perusahaan menentukan ;
1. Agar perusahaan dapat melaksanakan fungsinya, status, hak-hak istimewa dan kekebalan-
kekebalan yang ditetapkan dalam pasal ini harus diberikan kepada perusahaan dalam
wilayah-wilayah negara negara peserta dimana perlu dapat mengadakan perjanjian-
perjanjian khusus.
2. Perusahaan memiliki kapasitas hukum yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-
fungsinya, dan untuk mencapai tujuan-tujuannya ia memiliki kapasitas;
2). Mendapatkan, menyewa, mengusai dan menjual kekayan baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak.
Berdasarkan pada uraian diatas, maka tidak ada keraguan lagi bahwa perusahaan sebagai
badan hukum internasional Otorita merupakan subjek hukum internasional. Sebab ia memiliki
status hukum (pribadi hukum Internasional), memiliki hak-hak istimewa dan kekebalan-
kekebalan didalam wilayah negara-negara peserta otorita, memiliki kapasitas membuat kontrak-
kontrak dan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara dan organisasi-organisasi internasional,
serta ia dapat menjadi pihak dalam proses hukum.
Pihak Berperang
Berperang tidak semata-semata karena pernyataan suatu pihak untuk melakukan perang,
namun lebih identik dengan suatu “pemberontakan” terhadap Negara tertentu. Dalam lingkung
hukum Internasional kata “pemberontakan” dalam bahasa Inggris terdapat tiga istilah, yaitu
insurrection,rebellion dan revolution. Schuman memberikan definisi mengenai ketiga istilah
sebagai berikut ;
In general an Uprising directed toward a radical modification of the existing political or social
order throughout the whole teritority of a state is reffered to as a revolution, while the word
rebellion is more frequently confined to efforts on the part of portion of a state to throw off the
authority of the remainder. Insurrection usually refers to movements smaller in scope and
purpose than those described by the other terms.
Secara umum dapat diterjemahkan, revolusi bertujuan untuk merombak secara radikal suatu
susunan politik atau sosial diseluruh wilayah negara, rebeli adalah perjuangan sebagian wilayah
negara untuk menggulingkan kekuasaan di wilayah lainnya dan insurreksi adalah kegiatan-
kegiatan yang luas dan tujuannya lebih sempit dari revolusi dan rebellion.
Berdasarkan uraian Schuman tersebut diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
timbulnya suatu pihak berperang (belligerent) dalam suatu negara didahului dengan
adanya insurrection (pemberontakan dengan scoup yang kecil) , yang kemudian meluas
menjadi rebellion (rebelli) selanjutnya rebelli ini untuk dapat berubah statusnya menjadi pihak
berperang harus memenuhi syarat-syarat (obyektif).
Apabila para pemberontak itu belum dapat memenuhi syarat-syarat obyektif di atas, maka
para pemberontak baru berada pada taraf rebelli (rebellion). Apabila pada taraf ini ada negara
ketiga yang memberikan dukungan atau pengakuan, maka tindakan tersebut dianggap tergesa-
gesa dan dapat dipandang sebagai mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
Sebab dalam keadaan demikian, pemerintah yang memulihkan keadaan dan keamanan di
wilayah seperti semula. Sebaliknya apabila para pemberontak berdasarkan penilaian objektif
telah memeuhi syarat-syarat sebagai pihak berperang, maka negara ketiga berdasarkan
pertimbangan subjektif (biasanya bersifat politis) akan memberikan pengakuan terhadap
kelompok rebelli, yang selanjutnya dengan tindakan pengakuan in rebelli tersebut berubah
statusnya menjadi belligerent.[2]
Pemberian pengakuan bellegerensi kepada rebelli membawa akibat hukum bagi rebelli maupun
negara yang memberikan pengakuan, yaitu :
Dalam belligerent, terdapat contoh suatu konlfik non internasional yang kemudian
dianggap sebagai suatu konlifk internasional seperti “Internationalized internal armed conflict”
yang merupakan suatu konflik non international armed conflict yang dianggap telah
diinternasionalkan karena Negara yang diberontak mengakui pemberontakan sebagai belligerent.
Individu
Individu Sebagai Subyek Hukum Internasional Individu sebagai subyek hukum
internasional dikenal sejak terjadinya Perang Dunia I atas dasar perjanjian perdamaian, sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Chairul Anwar sebagai berikut:
Apabila memperhatikan uraian Chairul Anwar di atas menunjukkan bahwa individu
sebagai subyek hukum internasional merupakan pengembangan dari negara sebagai subyek
hukum internasional. Hal ini nampak dari kalimat “hubungan individu dangan hukum
internasional biasanya dilakukan melalui negara di mana individu tersebut menjadi warga
negara”. Sebagai individu mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan-tuntutan yang timbul
akibat dari perjanjian perdamaian pada pengadilan-pengadilan yang didirikan atas dasar
perjanjian internasional. Kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional merupakan
suatu perkembangan lebih lanjut dari negara sebagai subyek hukum internasional.
4. Tindak Pidana Transnasional dalam KUHP Mengenai tindak pidana transnasional ini,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia sudah mengaturnya. Hal ini
terlihat dari bunyi ketentuan-ketentuan dalam beberapa pasal di dalamnya, yaitu antara
lain: Pasal 2 KUHP “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang melakukan perbuatan pidana didalam Indonesia” Ketentuan ini selain
menunjukan penganutan terhadap azas teritorialitas (wilayah) dimana hukum pidana
berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di wilayah suatu negara tertentu
dalam hal ini Indonesia, juga berarti bahwa orang yang melakukan kejahatan tidak mesti
secara phisik betul-betul berada di Indonesia, tetapi deliknya (strafbaar feit) terjadi
diwilayah Indonesia. Demikian jugaorangatau subjek hukum yang melakukannya juga
tidak terbatas hanya pada warga negara Indonesia.
Pasal3 KUHP “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang di luar Indonesia, melakukan perbuatan pidana didalam perahu
Indonesia” Demikian juga ketentuan ini selain menunjukan penganutan azas teritorialitas
dimana hukum Indonesia berlaku di wilayah Indonesia termasuk diatas “perahu
Indonesia” di luar Indonesia,tapi juga menunjukanbahwa keberlakuan hukum nasional
juga bagi kejahatan-kejahatan yang melintasi batas negara atau transnasional.
Demikian juga ketentuan-ketentuan lainnya yang terdapat dalam KUHP, yaitu Pasal 4
KUHP yang diperluas dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan
Penerbangan menunjukan bahwa pengaturan tentang tindak pidana yang melintasi batas
negara telah diatur sejak lama meskipun belum disebut dengan terminologi transnasional.
Pasal 5 KUHP pun mengatur tentang berlakunya peraturan perundang-undangan
Indonesia, bagi warga negara indonesia yang melakukan kejahatan di luar wilayah
Indonesia. Pengaturan tentang kejahatan transnational sebagaimana dimuat dalam KUHP
dilandasi oleh asas-asas berlakunya hukum pidana, dalam hal ini 4 (empat) asas
berlakunya hukum pidana nasional[: yaitu asas teritorial (Pasal 2 & 3), asas nasional aktif
(Pasl 5), asas nasional pasif(Pasal 4 ke 1, 2 dan 4) dan asas universal (Pasal 4 ke 2 dan ke
4). Namun demikian asas-asas berlakunya hukum pidana berdasarkan KUHP tersebut
juga dibatasi pemberlakuan ketentuan hukum internasional yang telah diakui oleh
pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 9 KUHP . Bunyi ketentuan Pasal 9
KUHP tersebut mengandung makna yang mendalam dan luas, dalam arti bahwa, praktisi
penegak hukum di Indonesia termasuk juga pembentuk undang-undang harus memahami
sungguh-sungguh kekuatan hukum mengikat dari suatu perjanjian internasional yang
telah diratifikasi oleh Indonesia.
Dari dua substansi tersebut berdasarkan ruang lingkup berlakunya UNTOC (Pasal 3)
ada lima jenis tindak pidana transnasional yang terorganisasi, yaitu:
1. Berpartisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi (Pasal5);
2. Tindak pidana yang merupakan pencucian hasil tindak pidana (Pasal 6);
3.Tindak Pidana Korupsi (Pasal 8);
4. Tindak Pidana yang merupakan gangguan terhadap proses peradilan (pasal 23).
5. Tindak pidana serius (serious crime) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 huruf
Ad 1. Tindak Pidana atas partisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi;
Ketentuan ini mennyiratkan bagaimana seseorang atau beberapa orang melibatkan diri
dalam kegiatan dari kelompokterorganisasiyang sudah ada dan diketahuinya beraktivitas
melakukan tindak pidana.Ketentuan tentang penyertaan maupun permufakatan jahat yang
ada dalam perundang-undangan Indonesia, dapat dikatakan belum memenuhi
kriteriatindak pidana dalam kelompok pelaku yang terorganisasi, karena:
a) Penyertaan & permufakatan jahatbukan merupakan tindak pidana;
b) Penyertaan & permufakatan jahat selama ini digunakan dalam hal keterlibatan
orang-perorangan, bukan untuk keterlibatan seseorang dalam hubungannya dengan
kelompokteroraganisasi
Pasal 169 KUHP melarang keterlibatan seseorang dalam perkumpulan yang bertujuan
melakukankejahatan.Meski ketentuan tersebut sesungguhnya telah sejalan dan memenuhi
unsur semangat Pasal 5 Konvensi, namun ketentuan ini masih bersifat sangat umum dan
pada prakteknya pasal 169 KUHP hampir tidak pernah digunakan lagi.
Undang-undang Narkotika (UU No.35 Th. 2009) & UU tentang Pencegahan &
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, telah mengakomodasi sebagian ketentuan
Pasal 5 Konvensi dalam memaknai permufakatan jahat, namun ketentuan ini hanya
berlaku bagi tindak pidana narkotika, sedangkan bentuk keterlibatan lainnya belum diatur
secara khusus.
Ad.3. Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atasUndang-undangNo. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga Undang-
undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Corruption.
a. Objek gangguannya: Saksi dan Bukti Setiap perbuatan yang dengan sengaja
menggunakan kekuatan fisik ancaman atau intimidasi atau janji,menawarkan atau
memberi keuntungan yang tidak semestinya untuk membujuk, memberikan kesaksian
palsu atau mencampuri dalam pemberian satu kesaksianatau pembuatan bukti dalam
proses beracara. UU No.13 Tahun 2006 tentangPerlindungan Saksi dan Korban secara
khusus mengatur perlindungan saksi dan korban, tidak saja mengatur perlindungan secara
fisik tapi juga perlindungan dalam bentuk pemberian keterangan kesaksian yang
memungkinkan tidak perlu hadir di pengadilan
b. Objek gangguannya Pejabat Peradilan atau Penegak Hukum Setiap perbuatan yang
dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik ancaman atau intimidasi mencampuri
pelaksanaan tugas resmi pejabat peradilan atau penegak hukum. Ketentuan ini tidak
mengurangi hak negara (dalam perundang-undangan) untuk melindungi pejabat publik
dalam katagori lain.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Hukum internasional umum, Jenis hukum internasional ini adalah berisi peraturan
yang dilaksanakan secara global dan berlaku untuk umum bagi negara mana saja
yang terlibat.
2. Hukum internasional regional, Jenis hukum ini merupakan sebuah peraturan yang
ada karena sebuah hubungan antarnegara dan berlakunya hanya terbatas pada
lingkungan tersebut.
3. Hukum internasional khusus, Sesuai dengan namanya yakni khusus, maka hukum
jenis ini hanya berlaku pada negara-negara tertentu tidak terbatas karena tumbuh melalui
perjanjian internasional multilateral.