Anda di halaman 1dari 15

A.

Latar Belakang
Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum
yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang
harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam
hubunganhubungan antara yang satu dengan lainnya, serta juga mencakup
Pertama, Organisasi Internasional yaitu hubungan antara organisasi
internasional yang satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum
yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi
internasional dengan negara atau negara-negara, dan hubungan antara
organisasi internasional dengan individu atau individu-individu. Kedua,
peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu
dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-
hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hokum bukan negara
tersebut bersangkut dengan masalah masyarakat internasional.
Persoalan perdagangan manusia sangatlah kompleks dan saling
tumpah tindih satu dengan yang lainnya. Masalah perdagangan manusia atau
lebih dikenal dengan istilah human trafficking akhir-akhir ini muncul menjadi
salah satu masalah yang sangat banyak diperdebatkan baik ditingkat nasional,
regional, maupun internasional. Perdagangan manusia merupakan bentuk dari
perbudakan modern yang melanggar hak asasi manusia, masalah ini muncul
dikarenakan kejahatan perdagangan manusia tidak lagi merupakan kejahatan
yang ruang lingkupnya berada disatu wilayah saja melainkan kejahatan
perdagangan manusia ini sudah menjadi isu global dan merupakan kejahatan
yang berada pada ruang lingkup kejahatan trans-nasional.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada
makalah ini adalah “Bagaimana peran hukum internasional terhadap
perdagangan manusia”

1
C. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Hukum Internasional
Hukum internasional adalah sistem hukum independen yang berada di
luar tatanan hukum negara tertentu. Ini berbeda dari sistem hukum
domestik dalam beberapa hal. Misalnya, meskipun Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang terdiri dari perwakilan sekitar
190 negara, memiliki penampilan luar sebagai badan legislatif, ia tidak
memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan undang-undang yang mengikat.
Sebaliknya, resolusinya hanya berfungsi sebagai rekomendasi — kecuali
dalam kasus tertentu dan untuk tujuan tertentu dalam sistem PBB, seperti
menentukan anggaran PBB, menerima anggota baru PBB, dan, dengan
keterlibatan Dewan Keamanan, memilih hakim baru untuk Mahkamah
Internasional (ICJ). Selain itu, tidak ada sistem pengadilan dengan
yurisdiksi yang komprehensif dalam hukum internasional. Yurisdiksi ICJ
dalam kasus-kasus yang kontroversial didirikan atas persetujuan negara-
negara tertentu yang terlibat. Tidak ada kepolisian internasional atau sistem
penegakan hukum yang komprehensif, dan juga tidak ada otoritas eksekutif
tertinggi. Dewan Keamanan PBB dapat mengizinkan penggunaan kekuatan
untuk memaksa negara-negara mematuhi keputusannya, tetapi hanya dalam
keadaan tertentu dan terbatas; pada dasarnya, harus ada tindakan agresi
sebelumnya atau ancaman dari tindakan semacam itu. Selain itu, tindakan
penegakan hukum semacam itu dapat diveto oleh salah satu dari lima
anggota tetap dewan (China, Prancis, Rusia, Inggris Raya, dan Amerika
Serikat). Karena tidak ada militer PBB yang berdiri, pasukan yang terlibat
harus dikumpulkan dari negara-negara anggota secara ad hoc.
Hukum internasional adalah bagian khusus dari struktur umum
hubungan internasional. Dalam mempertimbangkan tanggapan terhadap
situasi internasional tertentu, negara biasanya mempertimbangkan hukum
internasional yang relevan. Meskipun perhatian yang cukup besar selalu

2
difokuskan pada pelanggaran hukum internasional, negara pada umumnya
berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan mereka sesuai dengan
aturan dan prinsip hukum internasional, karena bertindak sebaliknya akan
dianggap negatif oleh komunitas internasional. Aturan hukum internasional
jarang ditegakkan dengan cara militer atau bahkan dengan menggunakan
sanksi ekonomi. Sebaliknya, sistem itu dipertahankan oleh timbal balik
atau rasa kepentingan pribadi yang tercerahkan. Negara-negara yang
melanggar aturan internasional menderita penurunan kredibilitas yang
dapat merugikan mereka dalam hubungan masa depan dengan negara lain.
Dengan demikian, pelanggaran perjanjian oleh satu negara untuk
keuntungannya dapat menyebabkan negara lain melanggar perjanjian lain
dan dengan demikian menyebabkan kerugian bagi pelanggar asli. Lebih
lanjut, secara umum disadari bahwa pelanggaran aturan yang konsisten
akan membahayakan nilai yang dibawa sistem tersebut kepada komunitas
negara, organisasi internasional, dan aktor lainnya. Nilai ini terdiri dari
kepastian, prediktabilitas, dan pengertian tujuan bersama dalam urusan
internasional yang bersumber dari adanya seperangkat aturan yang diterima
oleh semua aktor internasional. Hukum internasional juga memberikan
kerangka kerja dan seperangkat prosedur untuk interaksi internasional,
serta seperangkat konsep umum untuk memahaminya.
Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional adalah hukum
bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hokum antarnegara. Hukum
bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan
aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu.
Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks
kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa atau negara.1

1
Hasanuddin Hasin, “Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional Perspektif Teori
monism dan Teori Dualisme”, Jurnal Perbandingan Mazhab, Vol.1 No. 2, Desember 2019, 170.

3
Menurut Akehurst: “hukum internasional adalah sistem hukum yang
dibentuk dari hubungan antara negara-negara”. Definisi hukum
internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu,
termasuk Grotius atau Akehurst, terbatas pada negara sebagai satu-satunya
pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya. Salah
satu definisi yang lebih lengkap yang dikemukakan oleh para sarjana
mengenai hukum internasional adalah definisi yang dibuat oleh Charles
Cheny Hyde: hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan
hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-
peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga
harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan
lainnya, serta yang juga mencakup:
a. Organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu
dengan lainnya,
b. Hubungan peraturanperaturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-
fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau
negaranegara; dan hubungan antara organisasi internasional dengan
individu atau individu-individu. Individu dan subyek hukum bukan
negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat
internasional”.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa hukum internasional
adalah hukum antar negara atau bangsa yang menunjukkan pada asas atau
kaidah yang mengatur hubungan masyarakat, bangsa atau negara. Hukum
internasional pada umumnya ditunjukkan untuk mengatur hubungan
negara-negara pada tatanan internasional.
2. Kedudukan Hukum Internasional
Kedudukan hukum intemasional dalam rangka hokum secara
keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau
bidang hukum, hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada

4
umumnya. Hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan
asas yang efektif yang hidup dimasayarakat dan karenanya mempunyai
hubungan yang efektif dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya,
diantaranya yang paling penting ialah ketentuan hukum yang mengatur
kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaannya masing-masing yang
dikenal dengan hukum nasional.
Di dalam teori ada 2 (dua) pandangan tentang hukum Internasional ini
yaitu pandangan yang dinamakan voluntarism, bahwa hukum internasional
dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup
berdampingan dan terpisah dan pandangan obyektifis, menganggapnya
sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat hubungannya
dengan yang dijelaskan tersebut adalah persoalan hubungan hirarkhiantara
kedua perangkat hukum itu, baik merupakan perangkat hukum yang
masing-masing berdiri sendiri maupun merupakan dua perangkat hukum
yang pada hakikatnya merupakan bagian dan satu keseluruhan tata hukum
yang sama.
3. Human Trafficking
Trafficking atau perdagangan manusia telah lama menjadi masalah
nasional maupun internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk
didalamnya Indonesia. Kejahatan perdagangan manusia yang marak terjadi
di indonesia sangat memprihatikan karena dari tahun ke tahun kejahatan
perdagangan manusia semakin meningkat dan sulit sekali memperkirakan
secara pasti.
Dari permasalahan ini pemerintah melakukan usaha untuk
mengembalikan mosi tidak percaya dari masyarakat dengan cara mulai
membenahi diri dan berusaha membuat keadaan menjadi lebih baik.
Perdagangan manusia yang terjadi di indonesia sangatlah beragam, dimana
yang diperdagangkan adalah perempuan dan anak pada umumnya dengan
tujuan ekploitasi seksual, mereka banyak yang dilacurkan (eksploitasi

5
tenaga kerja dan secara seksual) untuk kepentingan industri seks,
pornografi, dan untuk berbagai kepentingan lainnya.
Perdagangan manusia (human trafficking) menurut Global Alliance
Against Traffic in Women (GAATW) adalah semua usaha atau tindakan
yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer,
pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan
atau tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau
penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk
menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk
kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam
kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain
dari tempat di mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau
lilitan hutang pertama kali.2
di Indonesia terdapat peningkatan jumlah korban trafficking secara
signifikan. Indonesia berada satu kategori dengan negara Cambodia, China,
Malaysia, Macau dan Taiwan. Perkembangan tindak pidana perdagangan
manusia (human trafficking) di Indonesia, sudah mencapai taraf kejahatan
yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah Indonesia.
Menurut teori Dualisme, hubungan anatar hukum internasional dan
hokum nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan
berbeda satu sama lain. Hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai
hubungan, dimana hubungan antara kedua sistem hukum itu tidak ada
hubungannya antara satu dengan lainnya.
Dari penjelasan teori diatas, mengenai peran hukum internasional
terhadap tindak pidana human trafficking di indonesia, lebih cenderung
pada teori dualisme, karena peneliti mendeskripsikan bahwa peran hukum

2
Definisi Perdagangan Manusia menurut Global Alliance Against Traffic in Women
(GAATW).

6
internasional terhadap pemberantasan human trafficking yang dimana
hukum internasional hanya menyediakan perangkat hukum mengenai
human trafficking, namun hukum internasional berpengaruh ketika ada
negara yang mengikatkan diri dalam konvensi itu serta secara yuridis
kedudukan hukum internasional lebih rendah dibanding hukum nasional.
Dari definisi perdagangan manusia di atas bahwa istilah “perdagangan
manusia (human trafficking)” mengandung unsur yaitu rekrutmen dan
transportasi manusia, diperuntukkan untuk bekerja serta melayani, untuk
keuntungan pihak yang memperdagangkan. Meskipun trafficking
dilakukan atas izin tenaga kerja yang bersangkutan, izin tersebut sama
sekali tidak menjadi relevan (tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk
membenarkan trafficking tersebut), apabila terjadi penyalahgunaan atau
apabila korban berada dalam posisi tidak berdaya (misalnya karena terjerat
hutang), terdesak oleh kebutuhan ekonomi (misalnya membiayai orang tua
yang sakit), dibuat percaya bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan
pekerjaan yang lain, diperdayai oleh oknum yang melakukan perdagangan
manusia.3

D. Pembahasan
Perdagangan manusia merupakan sebuah masalah serius dan
menempati industri terbesar kedua di dunia. Perdagangan manusia mengacu
pada pelanggaran atas hak asasi manusia yang melakukan penyalahgunaan
manusia sebagai komoditas. Fenomena perdagangan manusia banyak
ditemukan di daerah yang cenderung miskin dan terpencil, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan dan lepas dari kemiskinan mendorong banyak korban
untuk percaya dengan janji-janji para trafficker. Menurut data International
Labour Organization (ILO) tahun 2012 sekitar 21 juta orang korban kerja

3
Emmy Lucy Smith, “Implementasi UU PTPPO bagi Anak Korban Perdagangan”, Jurnal
Perempuan, No.68 (2010): 11.

7
paksa dan penculikan, dan 4,5 juta orang dipaksa untuk melakukan eksploitasi
seks.
Dalam perkembangannya korban terbanyak dari perdagangan manusia
ialah wanita dan anak-anak yakni sekitar 80% yang rentan terhadap modus
dan terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia. Faktor lainnya yang
melatarbelakangi terjadinya perdagangan manusia adalah kebijakan One Child
yang mengatur secara ketat mengenai masalah kelahiran dengan
memperbolehkan pasangan hanya memiliki satu anak. Sehingga berhasil
menekan populasi dan angka kelahiran dan memunculkan masalah baru yaitu
terjadi ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan, yaitu sekitar 20-40
persen yaitu 33,59 juta lebih besar dibanding jumlah perempuan. Hal ini
terjadi karena kepercayaan masyarakat Tiongkok terhadap pemikiran
tradisional yang lebih meninggikan derajat laki-laki ketimbangperempuan
yang mengakibatkan terjadi kasus aborsi dan pembunuhan bayi perempuan.
Peran hukum internasional sangatlah signifikan dalam upaya yang
dilakukan baik di tingkat nasional, regional maupun internasional untuk
memberantas perdagangan manusia yang merupakan bentuk dari perbudakan
modern serta merendahkan hak asasi manusia. Masyarakat Internasional telah
berulang kali mencoba untuk menghapuskan praktek perdagangan manusia
melalui instrumen intenasional sejak tahun 1904 dan tidak terkecuali
Indonesia.
Usaha penghapusan tersebut ditandai dengan di selenggarakannya
konferensi internasional yang berkaitan dengan perdagangan manusia pertama
kali, yakni konferensi mengenai perdagangan wanita atau ”trafficking in
women” diadakan di Paris tahun 18953. Sembilan tahun kemudian pada tahun
1904, di kota yang sama, dunia internasional kembali mengadakan pertemuan
yang menghasilkan kesepakatan internasional yang pertama menentang
adanya perdagangan manusia yaitu Perdagangan Budak Berkulit Putih yang
dikenal dengan istilah Intenational Agreement the Supresssion of White Slave

8
Traffic. Kesepakatan ini menentang dipindahkannya perempuan ke luar negeri
dengan tujuan pelanggaran kesusilaan.
Dari penjelasan diatas bahwa hukum internasional sangat signifikan
menjalankan segala perannya untuk memerangi kejahatan perdagangan
manusia dengan cara mendorong negara-negara yang semula mempunyai
kasus yang sama tentang perdagangan manusia, ikut meratifikasi konvensi
yang sudah menjadi kesepakatan bersama, sehingga banyak dari kasus human
trafficking bisa terselesaikan. Adapun konvensi internasional mengenai
human trafficking yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia antara
lain, UU RI No. 7 Tahun 1984.
Disamping itu peran hukum internasional tidak berhenti pada tahap ini
saja melainkan peran hukum internasional malah semakin dihadapkan dengan
tantangan baru yaitu dimana hukum internasional dapat memberikan
perlindungan bagi korban dari kejahatan perdagangan manusia serta hukum
internasional memberikan implikasi hukum bagi para pelangarnya, yang
dimaksud implikasi disini ialah tanggung jawab secara internasional yang
disebabkan oleh tindakantindakan yang dilakukan sesuatu negara atau
organisasi internasional dalam melakukan segala tugas-tugasnya sebagai
person hukum internasional. Persoalan perdagangan manusia sangatlah
kompleks dan saling tumpah tindih satu dengan yang lainnya. Masalah
perdagangan manusia atau lebih dikenal dengan istilah human trafficking
akhir-akhir ini muncul menjadi salah satu masalah yang sangat banyak
diperdebatkan baik ditingkat nasional, regional, maupun internasional.
Perdagangan manusia merupakan bentuk dari perbudakan modern yang
melanggar hak asasi manusia, masalah ini muncul dikarenakan kejahatan
perdagangan manusia tidak lagi merupakan kejahatan yang ruang lingkupnya
berada disatu wilayah saja melainkan kejahatan perdagangan manusia ini
sudah menjadi isu global dan merupakan kejahatan yang berada pada ruang
lingkup kejahatan trans-nasional.

9
Upaya pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia telah
memiliki kerangka hukum dalam lingkup internasional maupun regional.
Diawali dengan kemunculan Protokol Palermo yang dilahirkan oleh
Perserikatan Bangsa-bangsa, hingga Deklarasi ASEAN sebagai perjanjian
regional yang mengatur mengenai perdagangan manusia. Disamping telah
membangun komitmen pada lingkup internasional maupun regional.
Perserikatan Bangsabangsa pada akhirnya merumuskan sebuah
protokol untuk mencegah, menindak dan menghukum perdagangan manusia,
terutama perempuan dan anak (United Nations Protocol to Prevent, Suppress
and Punish Trafficking in Persons, Especially Woman and Children).
Protokol Palermo berlaku sejak 25 Desember 2003, yang dirancang untuk
memperkokoh dan meningkatkan kerjasama internasional guna mencegah dan
memerangi perdagangan manusia. Protokol Palermo juga dipromosikan untuk
memperbaiki perlindungan dan bantuan bagi para korban. Protokol Palermo
mendorong agar setiap negara pihak harus menetapkan langkah-langkah
legislatif dan langkah-langka lain yang dianggap perlu untuk mencegah,
menindak dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan
anak-anak.
Berdasarkan penelitian Robinson mengenai kegiatan advokasi di
kalangan LSM mengenai trafficking yang berkembang di negara-negara maju,
khususnya di Amerika Serikat, terdapat tiga pandangan atau pemikiran:
a. Pemikiran kelompok abolisionis (abolitionists groups)Pemikiran ini
dimotori oleh Coalition Againts Trafficking in Women (CATW). Intisari
pemikiran kelompok ini menempatkan prostitusi, trafficking dan kekerasan
terhadap perempuan di dalam posisi yang sama. Ketiga elemen tersebut
diyakini tidak dapat dipisahkan dari pengamatan, analisa dan solusi
pemecahannya. Kelompok ini sepakat bahwa industry seks harus
dihilangkan dari muka bumi karena objektifikasi dan perlakuan opresif
mereka terhadap perempuan, melekat pada aktivitas seks yang hanya untuk

10
diperdagangkan. Kelompok ini dalam berbagai kegiatan dan kampanyenya
sering seiring dengan kelompok agama atau konservatif sebagaimana
sangat terlihat di Amerika Serikat pada masa pemerintahan George Bush
tahun 2001.
b. Pemikiran kelompok non abolisionis. Pemikiran ini dimotori oleh Global
Alliance Against Trafficking (GAATW), memiliki pandangan dan posisi
yang berbeda dengan pemikiran kelompok abolisionis. Pemikiran ini
memberikan pemahaman yang lebih luas dari kata trafficking dengan
memasukkan bentuk lain dari buruh paksa (forced labor) bersama-sama
dengan prostitusi yang dieksploitasi (coerced prostitution). Kelompok ini
menentang berbagai bentuk tekanan atau kekerasan dari pekerja seks
komersial di bawah rubrik prostitusi yang dieksploitasi. Meskipun
demikian, pada saat bersamaan mereka memberikan dukungan penuh
bahwa pekerjaan seks komersial sebagai sebuah profesi pekerjaan. Dalam
perkembangannya, karena begitufokus pada masalah perdagangan manusia,
kelompok ini seringkali mengabaikan fenomena sosial yang berkaitan,
misalnya pengalaman manusia dalam berimigrasi dan bekerja. Pandangan
anti trafficking kemudian berubah menjadi ”sesuatu” yang terlepas dari
konteksnya, dan menjadi sebuah kajian tersendiri. Akibat lanjutannya, hal
tersebut banyak dikritik karena kelompok ini menangani masalah
trafficking tanpa memahami konteks buruh dan migrasi yang berubah
dalam dunia yang mengglobal secara cepat. Mereka terjebak dalam
pandangan yang melihat trafficking semata-mata hanya sebagai sebuah
kejahatan dan bukan sebagai hasil dari sejumlah faktor sosial yang saling
berkaitan.
c. Pemikiran kalangan pekerja seks komersial (sex workers).
Kelompok ini berasal dari kalangan pekerja seks komersial itu sendiri (sex
workers), khususnya yang tergabung dalam organisasi seperti Network of

11
Sex Work Projects (NSWP) yang merupakan koalisi dari 40 kelompok
internasional, Sex Workers Outreach Project dan Sex Workers Project in
New York. Kelompok ini mengkritisi penggunaan istilah trafficking dalam
menggambarkan kondisi kelompok migran pekerja seks komersial. Dalam
banyak kasus, kelompok ini relatif siap untuk menggugat Komisi
Kejahatan PBB (United Nations Crimes Commission), misalnya dalam
perangkat hukum internasional mengenai trafficking. Secara historis,
menurut kelompok ini perangkat dan aturan-aturan hukum yang ada lebih
difokuskan pada upaya-upaya untuk melindungi ”perempuan baik-baik”
(innocent women) untuk tidak terjebak dalam prostitusi daripada
memastikan dan melindungi Hak Asasi Manusia dari perempuan-
perempuan yang berada dalam industri seks. Dalam aktivitasnya, dengan
bendera menentang kampanye anti prostitusi, kelompok ini sering sejalan
dengan organisasi feminis yang masuk dalam pandangan kedua seperti
GAATW. Kelompok ini mengadakan riset mengenai trafficking dan
memberikan bantuan dan penyuluhan sosial terhadap individu individu
yang terlibat dalam industri seks, tetapi mereka tidak menentang pekerja
seks komersial itu sendiri. Perhatian mereka tertuju pada memberdayakan
pekerja seks komersial dan membantu mengurangi akibat-akibat buruk
yang dialami pekerja seks komersial dengan cara diantaranya memberikan
konseling, melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, dan layanan
pendukung sosial lainnya. Dalam kontestasi politik yang ada, karena sikap
dan pandangan mereka yang menentang kelompok abolisionis, mereka
mengalami marjinalisasi secara sosial dan politik dan mendapatkan label
sebagai ”pro-prostitution lobby”.
Faktor-faktor di balik perdagangan orang, khususnya perempuan dan
anak, ternyata tidak dapat dipisahkan dari masalah-masalah ketertinggalan
atau kemiskinan. Dalam buku IV tentang Perdagangan Perempuan dan
Anak Perempuan yang diterbitkan oleh International Labour Organization

12
(ILO) Tahun 2004, ditemukan bahwa proses feminisasi kemiskinan,
pengangguran yang kronis dan kurangnya kesempatan ekonomi adalah
beberapa faktor yang mempengaruhi perdagangan perempuan dan anak.
Kaum miskin adalah alasan pertama bagaimana resiko dan kerentanan
terhadap perdagangan manusia terjadi. Sedangkan United Nations Global
Initiative to Fight Human Trafficking mengungkapkan sebab-sebab umum
terjadinya trafficking yaitu:
1) Kekerasan berbasis gender,
2) Praktek-praktek ketenagakerjaan yang diskriminatif,
3) Struktur sosial yang patriarkal,
4) Memudarnya jaringan ikatan keluarga,
5) Marjinalisasi etnik, ras dan agama,
6) Pemerintahan yang korup dan gagal,
7) Persoalan status (sebagai warga negara atau penetap legal yang
berkaitan dengan kerja),
8) Peran dan posisi perempuan dalam keluarga,
9) Hirarki kekuasaan dan tertib sosial,
10) Tanggungjawab dan peran anak-anak,
11) Menikah dini,
12) Tingginya laju perceraian dan stigma sosial yang menyertainya,
13) Rusaknya perkembangan kepribadian,
14) Terbatasnya prestasi atau pencapaian pendidikan, dan
15) Terbatasnya kesempatan ekonomi.
Mencermati sejumlah penyebab umum terjadinya trafficking
berdasarkan daftar tersebut di atas, dapat disadari bahwa masalah trafficking
adalah masalah yang rumit. Atas dasar itu pula berbagai kebijakan pemerintah
maupun organisasi internasional yang diarahkan untuk menangani masalah
trafficking dalam kenyataannya tidak selalu tepat sasaran atau berhasil.

13
Trafficking dikatakan sebagai tragedy kemanusiaan yang sudah
dianggap sebagai masalah kejahatan yang terorganisir, yang dalam
perkembangannya kemudian dikaitkan dengan faktor keamanan negara (state
security). Sehingga agenda penanganan trafficking sangat ditujukan pada
upaya kontrol ketat imigrasi, keamanan dan proteksi perbatasan dan
pengawasan komprehensif yang melampaui isuisu Hak Asasi Manusia,
khususnya hak asasi perempuan.

E. Kesimpulan
Dalam upaya mencegah dan memberantas trafficking, dikenal sebuah
kerangka hukum internasional yang menetapkan standar penanganan dan
pemenuhan hak korban trafficking yaitu United Nations Trafficking Protocol
atau dikenal juga sebagai Protokol Palermo. Sejarah kelahiran protoko
tersebut terkait Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa 53/111
pada 9 Desember 1998, yang pada saat itu majelis memutuskan untuk
membentuk sebuah komite ad hoc antar pemerintah tanpa batasan dengan
tujuan mengelaborasi sebuah konvensi internasional yang komprehensif untuk
menentang kejahatan transnasional yang terorganisir dan untuk membahas
elaborasi dari salah satunya, sebuah instrumen internasional yang menangani
perdagangan terhadap perempuan dan anak. Bertempat di Italia, Perdagangan
manusia yang terjadi di Indonesia terjadi karena banyak faktor, antara lain
kondisi dari masyarakat yang belum sepenuhnya sadar, peduli dan
berpengetahuan yang cukup tentang perdagangan manusia, praktek korupsi
yang memiliki akses ke instansi legal pemerintah serta rendahnya upaya
instrumen hukum dalam memberantas masalah perdagangan manusia itu
sendiri.

F. Saran

14
Demikianlah pembahasan makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi
rekan pembaca sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi
untuk perbaikan makalah selanjutnya.

15

Anda mungkin juga menyukai